NGO: INDEF

  • Pertambangan Jadi Sektor Terbesar ke-5 Penyumbang PDB

    Pertambangan Jadi Sektor Terbesar ke-5 Penyumbang PDB

     

    Liputan6.com, Jakarta Aktivitas industri tambang di sejumlah daerah penghasil mineral strategis dinilai tidak hanya menghasilkan komoditas, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Peran ini selaras dengan kontribusi sektor pertambangan yang masih solid dengan menyumbang sekitar 8,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

    Ekonom Indef Abra Talattov mengatakan bahwa pertambangan menjadi salah satu sektor yang menopang struktur ekonomi Indonesia, terutama di daerah yang bergantung pada sumber daya mineral.

    Menurut Abra, dinamika di sektor pertambangan lantas harus menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan karena memiliki dampak langsung terhadap kemampuan fiskal nasional dan daerah, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.

    “Sektor pertambangan ini menjadi sektor terbesar kelima yang menyumbang PDB kita, sumbangannya sekitar 8,5%. Dan beberapa daerah yang sangat bergantung terhadap sumber daya mineral ini,” ujar Abra, Jumat (14/11/2025).

    Dalam konteks ini, peran Holding Industri Pertambang MIND ID sebagai induk dari perusahaan pengelola sumber daya alam mineral strategis nasional terlihat jelas kontribusinya. Grup MIND ID menjadi penopang bagi penerimaan negara dan daerah sehingga menggerakkan pertumbuhan ekonomi di daerah operasionalnya.

    Perputaran barang dan jasa, rantai pasok lokal, dan kewajiban fiskal perusahaan memberikan kontribusi pada pajak dan retribusi daerah, yang kemudian menjadi penggerak utama belanja publik dan pembangunan infrastruktur.

    Di Papua Tengah, sektor tambang mendukung fiskal Kabupaten Mimika sebesar Rp407,77 miliar dengan total penerimaan daerah mencapai Rp5,8 triliun. Struktur penerimaan ini utamanya bersumber dari aktivitas sektor pertambangan dan berbagai kegiatan ekonomi terkait yang tumbuh di sekitar daerah operasional PT Freeport Indonesia.

     

  • Kala Prabowo Perintahkan Mensesneg Kawal Penyerapan APBD

    Kala Prabowo Perintahkan Mensesneg Kawal Penyerapan APBD

    Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Presiden Prabowo Subianto dalam memerintahkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi untuk memeriksa penyerapan anggaran pemerintah pusat maupun daerah menimbulkan berbagai pertanyaan. 

    Untuk diketahui, Prabowo menggelar rapat khusus dengan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih, Selasa (11/11/2025), sebelum bertolak ke Australia. Salah satu materi pembahasan adalah percepatan penyerapan anggaran pemerintah pusat maupun daerah jelang akhir tahun.

    Kendati membahas soal penyerapan anggaran, rapat khusus yang diselenggarakan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma itu tidak dihadiri oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

    Padahal, Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya menyebut Presiden sampai menunda penerbangannya selama dua jam untuk menggelar rapat tertutup itu. 

    “Presiden Prabowo Subianto menunda jadwal penerbangan selama dua jam untuk memimpin rapat khusus di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Selasa, 11 November 2025,” ujar Seskab Teddy dalam keterangan tertulisnya, dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet (Setkab), Selasa (11/11/2025). 

    Pada rapat tersebut juga, Teddy turut mengungkap bahwa Presiden telah memerintahkan Mensesneg Prasetyo Hadi untuk melakukan koordinasi lintas kementerian serta memastikan penyerapan anggaran berjalan optimal jelang akhir tahun. 

    “Presiden juga menugaskan Menteri Sekretaris Negara untuk segera mengoordinasikan serta memeriksa penyerapan anggaran dan penggunaan transfer ke daerah yang dikelola oleh para kepala daerah menjelang akhir tahun ini,” terangnya. 

    Kepala Negara, terangnya, memberikan arahan terkait dengan pentingnya pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan berorientasi pada hasil nyata bagi masyarakat. Prabowo disebut menekankan agar setiap anggaran yang bersumber dari uang rakyat digunakan dengan penuh tanggung jawab dan tepat waktu.

    “Setiap rupiah uang rakyat yang dialokasikan harus tepat sasaran dan harus digunakan sesuai periode waktu yang ditetapkan, termasuk dana di daerah, yang juga merupakan uang rakyat,” demikian pesan Prabowo yang disampaikan Teddy. 

    Adapun rapat itu dihadiri langsung oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Mensesneg Prasetyo Hadi, Menteri Luar Negeri Sugiono, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana serta Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya.

    Tepatkah Penunjukkan Mensesneg?

    Ketidakhadiran Purbaya menjadi pertanyaan lantaran Menkeu adalah pejabat yang diberikan kekuasaan oleh Presiden, selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, untuk mengelola fiskal. Hal ini menjadi amanat Undang-Undang (UU) tentang Keuangan Negara. 

    Direktur dan Pendiri Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, penunjukkan Mensesneg Prasetyo Hadi untuk mengurus belanja pemerintah pusat maupun daerah kurang tepat. Dia menilai harusnya koordinasi dilakukan oleh Menkeu Purbaya dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. 

    Namun, Bhima menduga belakangan kepercayaan Prabowo berkurang kepada Menkeu yang ditunjuk olehnya menggantikan Sri Mulyani Indrawati itu. Hal itu tidak hanya terlihat dari peranan koordinator belanja pemerintah yang tidak diinstruksikan kepada Purbaya.  

    “Contohnya adalah polemik APBN dalam utang Whoosh, di mana Purbaya sebelumnya menolak, tetapi Prabowo justru berkomitmen membantu keuangan Whoosh. Soal serapan anggaran yang diserahkan ke Mensesneg juga menjadi pertanyaan, kenapa bukan Purbaya?,” ujar Bhima kepada Bisnis, Selasa (11/11/2025). 

    Di sisi lain, menurut Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurrahman, instruksi Prabowo ke Prasetyo untuk mengoordinasikan percepatan belanja pemerintah jelang akhir tahun mencerminkan upaya memperkuat fungsi eksekutif dalam memastikan efektivitas belanja publik. 

    Rizal melihat langkah Prabowo itu tidak serta-merta menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Purbaya, tetapi menandakan pendekatan manajerial Presiden yang menekankan kendali langsung dan percepatan koordinasi lintas kementerian serta pemerintah daerah. 

    Dalam konteks historis, lanjutnya, serapan anggaran yang menumpuk di akhir tahun menunjukkan kelemahan koordinasi antarlembaga dan perencanaan proyek. Oleh sebab itu, intervensi politik di level Presiden menjadi logis untuk mendorong pelaksanaan program yang stagnan.

    Kendati demikian, penugasan Mensesneg dinilai berisiko tumpang tindih dengan kewenangan Kemenkeu dan Bappenas. Risiko itu utamanya bisa terjadi apabila tidak disertai pembagian fungsi yang tegas antara koordinasi birokratis dan otoritas fiskal.

    “Keputusan ini menunjukkan pola kepemimpinan Prabowo yang berorientasi pada hasil dan kontrol sentral. Dengan menugaskan Mensesneg, Presiden memperluas lingkup koordinasi ke ranah administratif-implementatif untuk mengurangi bottleneck birokrasi yang kerap menghambat belanja pemerintah,” terang Rizal kepada Bisnis.

  • Gaya Hidup Tak Sesuai Isi Dompet

    Gaya Hidup Tak Sesuai Isi Dompet

    Jakarta

    Jumlah utang Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) di Indonesia semakin membludak. Terakhir, Otoritas Jasa Keuangan melaporkan outstanding pinjaman masyarakat per September 2025 tembus Rp 90,99 triliun, naik 22,16% secara tahunan (year-on-year/YoY).

    Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira memperkirakan peningkatan jumlah utang pinjol ini didorong oleh pelemahan daya beli masyarakat imbas terbatasnya penciptaan lapangan kerja formal baru hingga biaya hidup yang semakin besar, terutama di wilayah perkotaan.

    “Daya beli masyarakat sedang melemah, konsumsi rumah tangga secara agregat tumbuh tapi dibawah 5% pada kuartal III 2025. Sulitnya cari pekerjaan formal, dan biaya hidup yang naik terutama di perkotaan akibatkan masyarakat cari pinjaman online,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (11/11/2025).

    Di sisi lain, kemudahan dalam mengakses pinjaman juga menjadi faktor lain yang membuat pinjaman online masyarakat kian membengkak. Padahal menurutnya di balik kemudahan itu terdapat risiko yang cukup besar berupa beban bunga dan denda jika tak sanggup membayar.

    “Di satu sisi edukasi masih kurang soal risiko pinjol. Masyarakat tahunya cuma akses cepat, tinggal klik dan foto selfie dengan KTP, tapi konsekuensi besarnya beban bunga, denda administratif kadang dikesampingkan,” paparnya.

    Karenanya untuk mengatasi permasalahan ini, Bhima berpendapat pemerintah harus memiliki solusi untuk memperbaiki daya beli masyarakat sekaligus dorong edukasi keuangan. Di mana untuk peningkatan daya beli masyarakat ini menurutnya dapat didorong dengan peningkatan upah minimum hingga perluasan penerima bantuan sosial (bansos) tunai.

    “Menyelamatkan industri padat karya terutama garmen dan alas kaki, naikkan upah minimum 8,5-10% tahun depan, perluas bansos tunai ke desil 5 kelompok menengah, Tindak korupsi dan praktik orang dalam yang buat macet mobilitas sosial,” terang Bhima.

    Sementara itu, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad juga berpendapat faktor pendorong peningkatan jumlah utang pinjol ini adalah penurunan daya beli. Namun menurutnya faktor ini berlaku untuk kelas menengah ke bawah.

    Di luar itu, menurut Tauhid ada kelompok peminjam yang secara ekonomi sebenarnya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tanpa harus berutang di pinjol. Namun karena gaya hidup, pada akhirnya mereka mengajukan pinjaman.

    “Pinjaman online bisa disebabkan oleh daya beli. Karena mereka kurang, mereka pinjam begitu ya, itu terdapat pada kelompok yang bawah. Tapi yang menengah ke atas bukan karena daya beli, tapi karena gaya hidup,” ucapnya.

    “Untuk beberapa produk itu sangat konsumtif. Misalnya kebutuhan buat beli pulsa, kemudian beli kebutuhan perawatan kesehatan, alat rumah tangga dan sebagainya ketimbang untuk kebutuhan hidup,” sambung Tauhid.

    Faktor daya beli rendah dan gaya hidup yang tak sesuai isi dompet ini kemudian didorong oleh kemudahan masyarakat dalam mengajukan pinjaman online. Pada akhirnya mereka tergiur untuk meminjam, padahal cicilan dan bunga utang sudah menanti di bulan berikutnya.

    “Jadi dari sisi online, pinjaman online itu memang gecar melakukan promosi dengan beragam kemudahan-kemudahan pembayaran, dianggap bunga cicilan murah, gampang untuk mendapatkan, persyaratan mudah, kemudian jangka waktu relatif tidak dibatasi. Dari sisi demand ada, dari sisi supply tadi juga ada,” terang Tauhid.

    “Dengan sistem pinjaman yang mudah, nah ini kan bunganya ternyata mahal, bisa di atas 100% per tahun. Sehingga pada bulan berikutnya mereka harus melunasi kewajiban atau utangnya tersebut. Nah itu yang kemudian menggerus daya beli,” tegasnya.

    Tonton juga video “Bocah SMP di Kulon Progo Bolos Sekolah Sebulan gegara Terjerat Judol-Pinjol”

    (igo/fdl)

  • Karena Pinjol, Gaji Warga RI Habis Cuma buat Bayar Cicilan

    Karena Pinjol, Gaji Warga RI Habis Cuma buat Bayar Cicilan

    Jakarta

    Utang masyarakat di layanan Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) yang terus membengkak hingga Rp 90,99 triliun merupakan sinyal buruk untuk perekonomian nasional. Sebab kondisi ini menunjukkan banyaknya warga RI yang sudah tak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

    “Bukan sinyal pinjaman untuk menggerakkan sisi produktivitas ekonomi, tapi lebih ke survival mode atau bertahan hidup,” kata Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira kepada detikcom, Selasa (11/11/2025).

    Masalahnya jika kondisi ini terus berlanjut, Bhima mengatakan daya beli masyarakat yang sudah rendah dapat semakin tergerus karena gaji atau pendapatan mereka habis hanya untuk membayar bunga dan cicilan pinjol.

    Belum lagi jika ternyata mereka terjebak dalam siklus utang ke utang, di mana untuk bisa membayar utang sebelumnya mereka perlu menambah utang di pinjol lain. Alhasil jarak kemampuan ekonomi antara mereka yang terpaksa berutang di pinjol dengan mereka yang tidak akan semakin lebar.

    “Pendapatan dari gaji atau penghasilan lain akan terkuras buat bayar cicilan dan bunga pinjol,” tegasnya.

    “Ekonomi jauh lebih berat, yang rentan ketagihan pinjol, yang kaya beli emas batangan. Indikator ekonomi sedang hadapi perfect storm. Makin lebar ketimpangan,” jelas Bhima lagi.

    Senada, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad turut memperingatkan bagaimana peningkatan utang pinjol dapat menggerus daya beli masyarakat karena penghasilan mereka habis hanya untuk bayar cicilan dan bunga.

    “Mereka akan cenderung konsumtif, bukan produktif. Tentu saja daya belinya turun. Sehingga bisa jadi ketika utang mereka berlebih atau over leverage, itu akhirnya menyebabkan gagal bayar massal. Nah itu yang dikhawatirkan bagi rumah tangga tersebut,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Tauhid mengatakan secara makro tingginya utang masyarakat di pinjol ini dapat menyebabkan distorsi keuangan. Di mana karena kemudahan saat meminjam dana serta persyaratan yang lebih ringan, banyak orang malah akan lari ke pinjaman konsumtif berbunga tinggi.

    Sebab untuk mengajukan pinjaman dengan bunga yang lebih terjangkau seperti di bank mereka sudah tak memenuhi syarat imbas kepemilikan utang pinjol tadi. Masalahnya jika kondisi ini terus berlanjut, baik dari sisi peminjam maupun pemberi pinjaman akan menghadapi risiko gagal bayar utang yang semakin tinggi.

    “Nah itu akan membuat stabilitas sistem keuangan juga berisiko tinggi. Apalagi kalau Nilai pinjamannya di atas Rp 90 triliun ya ini yang tercatat dan tidak ada agunan, tidak ada jaminan dan sebagainya otomatis itu meningkatkan risiko gagal bayar jauh lebih besar,” terangnya.

    “Nah sehingga bukan ke investasi yang produktif. Kan kalau orang pinjamnya ke produktif itu akan baik buat perekonomian. Tapi kalau kelamaan buat konsumtif ya bisa buat ekonomi nggak berkembang,” jelas Tauhid lagi.

    Tonton juga video “Bocah SMP di Kulon Progo Bolos Sekolah Sebulan gegara Terjerat Judol-Pinjol”

    (igo/fdl)

  • Utang Pinjol Makin Menggunung, Gejala Buruk buat Ekonomi RI

    Utang Pinjol Makin Menggunung, Gejala Buruk buat Ekonomi RI

    Jakarta

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan outstanding utang masyarakat Indonesia di Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) per September 2025 tembus Rp 90,99 triliun. Jumlah ini tercatat naik hingga 22,16% secara tahunan (year-on-year/YoY).

    Secara bulanan, angka itu juga tercatat naik sekitar 3,86% dari bulan Agustus 2025 yang mencapai Rp 87,61 triliun. Parahnya lagi, pertumbuhan pembiayaan itu juga diiringi dengan peningkatan kredit macet atau tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) mencapai 2,82% pada September 2025.

    Jumlah wanprestasi ini lebih tinggi sedikit dibandingkan Agustus 2025 di level 2,60%. Menunjukkan bagaimana jumlah orang yang gagal bayar utang pinjol semakin bertambah.

    Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan jumlah utang pinjol masyarakat ini bukan sinyal positif untuk perekonomian nasional. Karena secara umum peningkatan jumlah utang tersebut menunjukkan bagaimana pendapatan masyarakat tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

    Masalahnya, menurut Bhima mayoritas utang pinjol digunakan untuk pendanaan konsumtif, sehingga dana tersebut habis begitu saja dan menyisakan bunga yang terus berlipat ganda. Jika tidak diatasi dengan baik, utang-utang ini malah akan menjadi beban yang semakin hari semakin berat.

    “Masyarakat makin butuh dana cepat, pinjol jadi jawabannya, dan ini bukan indikator ekonomi yang positif,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (11/11/2025).

    “Masyarakat tahunya cuma akses cepat, tinggal klik dan foto selfie dengan KTP, tapi konsekuensi besarnya beban bunga, denda administratif kadang dikesampingkan. Khawatir pinjol yang sifatnya konsumtif akan berakhir menjadi siklus utang ke utang. Untuk tutup tagihan pinjol, akhirnya pinjam ke pinjol lainnya,” sambungnya.

    Karena sifat utang pinjol yang dominan digunakan untuk keperluan konsumtif inilah, Bhima melihat kenaikan outstanding utang yang kini mencapai Rp 90,99 triliun sebagai sebuah kekhawatiran. Ditakutkan, kondisi ini akan mendorong masyarakat untuk mau tak mau menggunakan pendapatan dari gaji atau penghasilan lain hanya untuk bayar cicilan dan bunga pinjol.

    Pada akhirnya, daya beli masyarakat yang sudah rendah hingga memaksa mereka untuk berutang akan semakin turun imbas kehabisan dana karena bayar utang, yang secara jangka panjang dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Daya beli makin turun, pertumbuhan ekonomi bisa sulit capai di atas 5,5% tahun ini,” tegas Bhima.

    Senada, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad menilai kenaikan outstanding utang pinjaman online bukan pertanda baik untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab saat utang pinjol terus membengkak, daya beli masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah malah semakin turun.

    Kondisi ini menunjukkan bagaimana uang atau gaji masyarakat sudah habis untuk membayar cicilan utang dan bunga. Alhasil mereka tidak memiliki kemampuan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain sampai utang-utangnya terlunasi.

    “Kalau kita perhatikan itu semakin tinggi utang pinjol, semakin rendah konsumsi masyarakat, grafiknya turun, berkebalikan,” terangnya.

    Permasalahannya, Tauhid juga berpendapat jika mayoritas utang pinjol ini digunakan masyarakat untuk kebutuhan konsumtif. Di mana untuk kelas menengah bawah banyak menggunakan utang untuk kebutuhan sehari-hari karena daya beli sudah rendah, sementara untuk kelas menengah dan menengah ke atas banyak menggunakan dana pinjaman ini untuk memenuhi gaya hidup.

    “Kalau produktif mungkin mereka nggak berani. Karena kan bunganya katakanlah total bisa di atas 100% per tahun. Mana ada bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan di atas 100% per tahun. Kan jadi sulit untuk digunakan ke sektor produktif, terjebak di konsumtif mulu,” kata Tauhid.

    Tonton juga video “OJK: Utang Pinjol Warga RI Naik ke Angka Rp 87,61 T”

    (igo/fdl)

  • Simalakama Jorjoran Smelter Nikel, Strategi Hilirisasi Perlu Diatur Ulang

    Simalakama Jorjoran Smelter Nikel, Strategi Hilirisasi Perlu Diatur Ulang

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia mulai gencar membangun smelter nikel dan mendorong hilirisasi mineral secara masif sejak 1 dekade lalu. Seiring berjalannya waktu, upaya tersebut kini dihadapkan sejumlah tantangan sehingga strategi hilirisasi perlu diatur ulang.

    Tekad pemerintah menggenjot industri nikel tak lepas dari tingginya kebutuhan global. Utamanya untuk industri baja dan bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle).

    Keseriusan pemerintah pun ditunjukan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara. Beleid ini mewajibkan perusahaan melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) di dalam negeri.

    Tak mau main-main, pada 2014, pemerintah menerapkan pelarangan terbatas ekspor bijih mineral mentah, termasuk nikel. Hal ini juga dilakukan demi mendorong investor membangun smelter domestik.

    Pembangunan smelter pun gencar dilakukan. Namun, maraknya proyek pembangunan tersebut malah menjadi buah simalakama, harga nikel kini tertekan.

    Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Cecep Mochammad Yasin menuturkan, industri nikel nasional memang tumbuh ekspansif dengan pembangunan sejumlah smelter baru dan peningkatan produksi dari berbagai produk turunan seperti nickel pig iron (NPI) dan nickel-based cathode (NFC).  

    Namun, pertumbuhan tersebut juga menimbulkan persoalan baru berupa potensi oversuplai dan tekanan harga di pasar global. Cecep mengatakan, saat ini, rata-rata harga nikel turun ke level US$15.000 per ton. Angka tersebut anjlok sekitar 40% dibandingkan 7 tahun lalu.

    “Beberapa hal yang menjadi tantangan adalah harga nikel itu sendiri yang saat ini tertekan di kisaran US$15.000 per ton. Ini salah satu sinyal adanya kelebihan pasokan,” katanya dalam Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Kamis (6/11/2025).

    Perkembangan Industri Baterai EV Tak Sesuai Ekspektasi

    Di sisi lain, Cecep mengatakan bahwa pemerintah juga dihadapkan pada dinamika pengembangan industri baterai nasional. Dia menjelaskan, saat ini Indonesia mendorong penguatan industri baterai berbasis nikel, yakni NFC.

    Namun, pasar global masih didominasi oleh teknologi baterai lithium iron phosphate (LFP). Pasalnya, LFP dinilai memiliki biaya produksi lebih rendah.

    “Meski LFP lebih murah, kita tetap ingin menonjolkan dan memperkuat industri nikel berbasis NFC,” ujar Cecep.

    Dia menambahkan bahwa sejumlah negara seperti Australia, bahkan telah menghentikan operasi tambang nikel karena harga yang tidak lagi kompetitif. Menurutnya, kondisi ini menjadi sinyal kuat perlunya pembenahan tata kelola dan kebijakan industri tambang di dalam negeri agar lebih adaptif terhadap dinamika global.

    Adapun, sejumlah upaya perbaikan tata kelola pertambangan yang dilakukan Kementerian ESDM salah satunya dengan memperbaiki aturan yang menyangkut ketentuan produksi. Cecep mengatakan, saat ini Kementerian ESDM mengontrol produksi berdasarkan demand.

    Oleh karena itu, kini penerbitan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) minerba dilakukan dari 3 tahun menjadi 1 tahun sekali. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan RKAB serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara.

    Menurut Cecep, aturan baru ini bisa menekan isu oversuplai, khususnya untuk komoditas nikel. “Itu yang jadi satu perubahan setidaknya untuk isuoversuplai bisa ditekan dengan pengaturan produksi,” ujarnya.

    Di samping itu, Kementerian ESDM juga melakukan penyederhanaan perizinan lewat digitalisasi. Cecep mengatakan, kini pengusaha dapat mengajukan izin hingga perpanjangan RKAB melalui aplikasi MinerbaOne.

    Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara, Kamis (7/12/2023)./Bisnis-Fanny Kusumawardhani

    Arah Kebijakan Hilirisasi Perlu Ditinjau Ulang

    Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Abra Talattov mengingatkan pemerintah perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi mineral nasional agar lebih terarah dan berkelanjutan.

    Menurutnya, euforia terhadap prospek hilirisasi mineral dalam beberapa tahun terakhir berisiko menimbulkan guncangan baru bagi sektor industri. Abra menyebut, lonjakan investasi smelter yang cukup agresif, tidak diimbangi dengan permintaan yang stabil di pasar global.

    Hal ini tercermin dari fenomena shutdown sejumlah smelter pada tahun ini akibat harga nikel global yang anjlok dan permintaan yang melemah. Berdasarkan catatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), setidaknya terdapat empat smelter besar investasi dari China di wilayah Sulawesi yang menyetop sebagian atau total lini produksinya.

    Empat smelter yang dimaksud yaitu PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang mengurangi 15-20 lini produksi nikel sejak awal 2024. Sepanjang tahun lalu, tercatat 28 smelter ditutup di berbagai wilayah, paling banyak dari PT GNI.

    Kemudian, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang menghentikan beberapa lini baja nirkarat dan jalur cold rolling sejak Mei 2025. Lalu, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe yang mengurangi kapasitas produksi, meski datanya tidak menyebutkan jumlah lini spesifik.

    Terbaru, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) yang disebut telah mengurangi kapasitas agregat dan menghentikan operasional sementara sejak 15 Juli 2025. Alhasil, dikabarkan 1.200 karyawan terdampak dirumahkan.

    Abra menilai, tutupnya sejumlah smelter dipicu oleh kelebihan pasokan nikel di pasar global yang dipicu oleh produksi besar-besaran dari Indonesia.

    “Kita perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi sektor mineral. Roadmap hilirisasi seharusnya dibuat dengan konteks yang lebih terarah,” ujarnya.

    Dia menjelaskan, kebijakan hilirisasi tidak harus berorientasi pada pengolahan seluruh sumber daya mineral di dalam negeri. Pemerintah, kata dia, perlu mengidentifikasi komoditas yang memiliki daya saing dan nilai tambah ekonomi tertinggi untuk diolah. Sementara itu, sebagian lainnya dapat tetap diekspor dalam bentuk produk antara.

    “Tidak harus seluruh produk itu kita olah di dalam negeri. Ada produk yang bisa kita ekspor di tier 1 atau tier 2, tergantung daya saing dan dampaknya terhadap PDB [produk domestik bruto],” imbuhnya.

    Abra menambahkan bahwa pemerintah perlu menyeimbangkan antara optimisme terhadap hilirisasi dengan mitigasi risiko dari fluktuasi harga, kelebihan produksi, maupun perubahan teknologi global.

    “Kita jangan terlalu euforia terhadap potensi hilirisasi mineral. Pemerintah harus memastikan tata kelola dan arah kebijakan hilirisasi benar-benar matang agar tidak menimbulkan guncangan baru di sektor industri dan keuangan,” katanya.

    Perlunya Hilirisasi Tahap Lanjut

    Setali tiga uang, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mengkritik pola hilirisasi nikel yang justru membuat Indonesia terjebak sebagai eksportir produk setengah jadi atau intermediate seperti NPI. Akibatnya, Indonesia sebagai eksportir terbesar justru menghadapi risiko pelemahan harga yang signifikan.

    “Kita terlalu jorjoran dalam memproduksi nikel yakni NPI dan nickel matte. Kita ekspor produk nikel setahun kurang lebih 2 juta ton, sedangkan negara-negara lain paling 350.000 ton,” papar Sugeng.

    Sepakat dengan Cecep, Sugeng menyebut harga nikel kini anjlok hampir 40% dibandingkan dengan 5 sampai 7 tahun lalu, dari level US$38.000 per ton menjadi US$15.000 per ton.

    Ke depan, Sugeng menegaskan Indonesia harus melampaui fase produk intermediate dan langsung menuju hilirisasi tahap lanjut.

    Selain baterai kendaraan listrik, Indonesia juga harus mengembangkan battery energy storage system (BEST) serta mempersiapkan komoditas masa depan seperti tanah jarang (rare earth) yang menurutnya telah menjadi alat leverage dalam percaturan geopolitik global.

  • Menebas Aral Kemandirian Petrokimia Kala Produk China Banjiri RI

    Menebas Aral Kemandirian Petrokimia Kala Produk China Banjiri RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketatnya persaingan pasar dengan produk impor hingga ketersediaan bahan baku masih menjadi tantangan di tengah upaya mewujudkan kemandirian industri petrokimia dalam negeri. Pelaku usaha pun menantikan adanya kebijakan penguatan pasar domestik dan dukungan fiskal. 

    Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menilai pemerintah perlu memberikan insentif fiskal baru untuk menjaga daya saing industri dalam negeri, khususnya menghadapi tekanan produk impor dari China yang semakin agresif masuk ke pasar domestik. 

    Usulan ini muncul bersamaan dengan mulai beroperasinya pabrik petrokimia baru di Cilegon milik PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor. 

    Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiyono mengatakan, kehadiran pabrik baru ini juga perlu diiringi dengan pengawasan laju impor produk petrokimia dari China yang masuk ke Indonesia dengan harga lebih murah. 

    “Mungkin rasanya dalam hal ini PPN [pajak pertambahan nilai] ditanggung pemerintah adalah sesuatu hal yang perlu dikaji bersama-sama untuk diterapkan,” kata Fajar saat dihubungi Bisnis, Kamis (6/11/2025). 

    Dalam hal ini, dia menilai PPN DTP sebesar 3% dapat menjadi angin segar bagi pelaku usaha industri petrokimia. Dengan demikian, produk yang dihasilkan pabrik lokal dapat lebih bersaing secara adil dengan barang impor. 

    Fajar menerangkan, insentif berupa tax holiday dan tax allowance yang diberikan pemerintah saat ini memang memudahkan investor. Namun, efektivitasnya masih kurang untuk persaingan di pasar.

    Untuk itu, usulan mulai diarahkan pada pemberian insentif PPN yang ditanggung pemerintah bagi industri petrokimia yang beroperasi secara terintegrasi. Fajar menyebut, skema tersebut penting agar rantai pasok hulu hingga hilir tidak saling terbebani. 

    Untuk diketahui, beroperasinya fasilitas naphtha cracker dan pabrik polipropilena baru milik Lotte Chemical Indonesia (LCI) dinilai mampu menekan ketergantungan pada impor ethylene (C2) dan propylene (C3). 

    Pasokan domestik yang meningkat diharapkan dapat memperbaiki keseimbangan impor-ekspor produk antara hulu hingga hilir. Namun, pelaku usaha menilai pembangunan pabrik saja belum cukup untuk membuat industri lebih kompetitif.

    “Dengan adanya ini mudah-mudahan neraca barang impor untuk C2 dan C3 lumayan kurang banyak,” ujarnya.

    Meski demikian, struktur produksi di Indonesia masih kurang fleksibel dibandingkan China. Negeri Tirai Bambu memiliki banyak jalur pengolahan bahan baku petrokimia, mulai dari refinery, coal to olefin, hingga methanol to olefin, yang memungkinkan mereka menyesuaikan biaya produksi mengikuti pergerakan harga global. 

    “Indonesia baru memiliki jalur refinery dan naphtha cracker sehingga biaya produksinya lebih sensitif terhadap fluktuasi harga bahan baku,” imbuhnya.

    Kondisi tersebut menyebabkan produk petrokimia China dapat masuk dengan harga jauh lebih rendah. Pelaku industri mengkhawatirkan bahwa pabrik baru sekalipun dapat kesulitan bersaing tanpa intervensi kebijakan. 

    Kebijakan Perlindungan 

    Senada, ekonom menyebut pabrik petrokimia baru milik LCI sudah berada pada posisi kompetitif secara teknis karena beroperasi terintegrasi dari proses cracking hingga polimerisasi. Namun, tanpa regulasi penguatan pasar dalam negeri, keunggulan biaya tersebut belum cukup untuk menghalangi penetrasi produk impor murah.

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, impor bahan baku plastik dari China terus meningkat tajam hingga 150.000 ton tahun ini, sementara pada tahun lalu hanya 80.000 ton. 

    “Volume produk plastik jadi impor yang masuk ke Indonesia juga sangat besar, yakni mencapai 900.000 hingga 1 juta ton per tahun dalam 2 tahun terakhir,” ujar Andry dihubungi terpisah. 

    Terlebih, ada potensi lonjakan menjadi 1,2 juta ton pada akhir tahun ini untuk produk plastik jadi. Di sisi lain, utilisasi pabrik nasional saat ini di bawah 70%, artinya persaingan masih ketat.  

    Adapun, investasi pabrik New Ethylene Project milik LCI ini mencapai US$3,9 miliar atau setara Rp62 triliun. Kapasitas produksinya yaitu 1 juta ton etilena, 520.000 ton propilena, 350.000 ton polipropilena, 140.000 ton butadiena, dan 400.000 ton BTX (benzena, toluena, xilena) setiap tahun. 

    “Dari total impor produk petrokimia sekitar 30 juta ton per tahun, proyek ini sendiri bisa menggantikan sekitar 6-7 juta ton. Artinya, hampir seperempat dari total impor bahan kimia dasar nasional bisa disubstitusi dengan produksi domestik,” tutur Andry.

    Untuk itu, Andry menyebut, pemerintah harus mendukung proyek strategis ini dalam bentuk perlindungan dalam bentuk hambatan tarif maupun nontarif untuk pengetatan produk impor. 

    “Menurut saya segera lakukan investigasi pengamanan perdagangan seperti anti‐dumping atau safeguard terhadap produk petrokimia yang terbukti masuk dengan harga di bawah biaya produksi atau berlaku subsidi besar dari luar negeri,” jelasnya. 

    Di sisi lain, dia juga mewanti-wanti industri hilir pengguna bahan baku petrokimia untuk tidak menggunakan produk impor murah hasil praktik dumping. 

    “Terkadang saya melihat industri hilir ini berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang pada akhirnya membuat industri hulu menjadi kalah saing dengan produk dumping impor,” terangnya. 

    Kebutuhan Kilang Petrokimia

    Selain persoalan kompetisi, ketersediaan bahan baku juga masih menjadi tantangan. Sebagian besar kebutuhan naphtha untuk petrokimia masih harus diimpor karena kapasitas kilang minyak Pertamina difokuskan untuk produksi BBM.

    Kondisi ini meningkatkan biaya produksi dan menambah kerentanan terhadap gejolak harga minyak mentah global. Inaplas pun menyoroti kebutuhan kilang minyak khusus untuk memasok nafta ke pabrik industri petrokimia nasional.

    Direktur Kemitraan Dalam Negeri dan Internasional Inaplas Budi Susanto Sadiman mengatakan, kehadiran pabrik Lotte dapat membuat pengembangan industri petrokimia dan plastik Indonesia menjadi prospektif. Namun, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan agar investasi jumbo ini optimal. 

    “Upaya yang kita lakukan untuk memiliki daya saing adalah dengan membangun kilang minyak dedicated untuk petrokimia. Idealnya di Banten untuk menyuplai cracker CAP [Chandra Asri Petrochemical] dan pabrik Lotte Chemical,” kata Budi kepada Bisnis, Kamis (6/11/2025). 

    Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, bahan baku yang dibutuhkan untuk menunjang proyek Lotte Chemical yaitu 1,2 juta ton LPG dan 2 juta ton nafta. 

    “Nafta ini dari minyak dan LPG gas, jadi ini membuktikan hilirisasi Indonesia tidak hanya mineral batu bara, tetap beranjak pada hilirisasi oil and gas [migas],” tuturnya. 

    Bahlil menyebut, dengan teknologi desain mutakhir dari Korea, kompleks petrokimia LCI ini menggabungkan efisiensi energi tinggi dan sistem rendah karbon. 

    Fasilitas ini juga dirancang untuk menggunakan hingga 50% LPG selain nafta sebagai bahan baku utama, memungkinkan efisiensi biaya dan operasional yang signifikan. 

    Di sisi lain, Sekjen Inaplas Fajar Budiyono mengatakan bahwa impor bahan baku untuk Lotte Chemical masih full impor, utamanya 2 juta ton nafta yang belum dapat dipenuhi domestik. 

    “Itu impor full nafta dari luar karena nafta yang dihasilkan Pertamina ini sekarang masih konsentrasi untuk BBM, belum untuk industri petrokimia,” jelasnya. 

    Dia pun mendorong Pertamina untuk dapat membangun kilang-kilang baru dan khusus untuk industri petrokimia. Fajar menyebut, idealnya Indonesia mesti memiliki kapasitas produksi minyak 3 juta barel per hari, sedangkan hari ini baru 1,5 juta barel per hari.

  • Indef Dorong Pemerintah Tinjau Ulang Arah Kebijakan Hilirisasi Mineral

    Indef Dorong Pemerintah Tinjau Ulang Arah Kebijakan Hilirisasi Mineral

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat mengingatkan pemerintah perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi mineral nasional agar lebih terarah dan berkelanjutan. Hal ini perlu dilakukan di tengah dinamika harga global serta perubahan teknologi industri.

    Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Abra Talattov menilai, euforia terhadap prospek hilirisasi mineral dalam beberapa tahun terakhir berisiko menimbulkan guncangan baru bagi sektor industri.

    Menurutnya, lonjakan investasi smelter yang cukup agresif, tidak diimbangi dengan permintaan yang stabil di pasar global. Hal ini tercermin dari fenomena shutdown sejumlah smelter pada tahun ini akibat harga nikel global yang anjlok dan permintaan yang melemah.

    Tutupnya sejumlah smelter juga dipicu oleh kelebihan pasokan nikel di pasar global yang dipicu oleh produksi besar-besaran dari Indonesia.

    “Kita perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi sektor mineral. Roadmap hilirisasi seharusnya dibuat dengan konteks yang lebih terarah,” ujar Abra dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Kamis (6/11/2025).

    Dia menjelaskan, kebijakan hilirisasi tidak harus berorientasi pada pengolahan seluruh sumber daya mineral di dalam negeri. Pemerintah, kata dia, perlu mengidentifikasi komoditas yang memiliki daya saing dan nilai tambah ekonomi tertinggi untuk diolah. 

    Sementara itu, sebagian lainnya dapat tetap diekspor dalam bentuk produk antara.

    “Tidak harus seluruh produk itu kita olah di dalam negeri. Ada produk yang bisa kita ekspor di tier 1 atau tier 2, tergantung daya saing dan dampaknya terhadap PDB [produk domestik bruto],” imbuhnya.

    Abra juga mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak dalam euforia global, seperti tren kendaraan listrik (EV) yang mendorong investasi besar pada rantai pasok baterai berbasis nikel-mangan-kobalt (NMC).

    Menurut dia, munculnya teknologi baru seperti lithium ferro phosphate (LFP) bisa mendisrupsi investasi NMC yang sudah terlanjur besar. Dia berpendapat, kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian industri hilirisasi mineral, bahkan dapat berimbas pada sektor keuangan yang ikut menyalurkan pembiayaan ke proyek-proyek tersebut.

    “Ketika teknologi seperti NMC terdisrupsi oleh LFP, investasi yang sudah dialokasikan bisa menjadi idle dan menimbulkan kerugian. Ini harus diantisipasi,” jelasnya.

    Abra menambahkan bahwa pemerintah perlu menyeimbangkan antara optimisme terhadap hilirisasi dengan mitigasi risiko dari fluktuasi harga, kelebihan produksi, maupun perubahan teknologi global.

    “Kita jangan terlalu euforia terhadap potensi hilirisasi mineral. Pemerintah harus memastikan tata kelola dan arah kebijakan hilirisasi benar-benar matang agar tidak menimbulkan guncangan baru di sektor industri dan keuangan,” katanya.

  • Pabrik Petrokimia Lotte di RI Beroperasi Kala Produk Impor China Merangsek

    Pabrik Petrokimia Lotte di RI Beroperasi Kala Produk Impor China Merangsek

    Bisnis.com, JAKARTA — Pabrik petrokimia terbesar di Asia Tenggara milik PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) resmi beroperasi hari ini, Kamis (6/11/2025). Kendati demikian, terdapat tantangan utama yang dihadapi terkait persaingan pasar, utamanya dengan produk impor. 

    Selama ini, Indonesia masih bergantung pada produk impor petrokimia lebih dari 50%. Pabrik LCI disebut mampu mendukung kemandirian nasional hingga 67% untuk kebutuhan industri domestik. 

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, impor bahan baku plastik dari China terus meningkat tajam hingga 150.000 ton tahun ini, sementara pada tahun lalu hanya 80.000 ton. 

    “Volume produk plastik jadi impor yang masuk ke Indonesia juga sangat besar, yakni mencapai 900.000 hingga 1 juta ton per tahun dalam 2 tahun terakhir,” ujar Andry kepada Bisnis, Kamis (6/11/2025). 

    Terlebih, ada potensi lonjakan menjadi 1,2 juta ton pada akhir tahun ini untuk produk plastik jadi. Di sisi lain, utilisasi pabrik nasional saat ini di bawah 70%, artinya persaingan masih ketat.  

    Adapun, investasi pabrik New Ethylene Project milik LCI ini mencapai US$3,9 miliar atau setara Rp62 triliun. Kapasitas produksinya yaitu 1 juta ton etilena, 520.000 ton propilena, 350.000 ton polipropilena, 140.000 ton butadiena, dan 400.000 ton BTX (benzena, toluena, xilena) setiap tahun. 

    “Dari total impor produk petrokimia sekitar 30 juta ton per tahun, proyek ini sendiri bisa menggantikan sekitar 6-7 juta ton. Artinya, hampir seperempat dari total impor bahan kimia dasar nasional bisa disubstitusi dengan produksi domestik,” tutur Andry.

    Untuk itu, Andry menyebut, pemerintah harus mendukung proyek strategis ini dalam bentuk perlindungan dalam bentuk hambatan tarif maupun nontarif untuk pengetatan produk impor. 

    “Menurut saya segera lakukan investigasi pengamanan perdagangan seperti anti‐dumping atau safeguard terhadap produk petrokimia yang terbukti masuk dengan harga di bawah biaya produksi atau berlaku subsidi besar dari luar negeri,” jelasnya. 

    Di sisi lain, dia juga mewanti-wanti industri hilir pengguna bahan baku petrokimia untuk tidak menggunakan produk impor murah hasil praktik dumping. 

    “Terkadang saya melihat industri hilir ini berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang pada akhirnya membuat industri hulu menjadi kalah saing dengan produk dumping impor,” terangnya. 

    Lebih lanjut, tak hanya mengurangi impor, kehadiran pabrik petrokimia Lotte ini juga diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam rantai industri plastik, serat sintetis, dan bahan kimia industri yang menjadi input utama bagi industri manufaktur domestik. 

  • Raperda KTR Difinalisasi, Ketua DPRD DKI Pastikan Merokok dan Penjualannya Tetap Boleh di Tempat Hiburan  

    Raperda KTR Difinalisasi, Ketua DPRD DKI Pastikan Merokok dan Penjualannya Tetap Boleh di Tempat Hiburan  

    JAKARTA – Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DPRD DKI Jakarta telah memfinalisasi pembahasan Raperda KTR. Setelahnya, draf raperda dibawa ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta untuk dimatangkan sebelum pengesahan.

    Pada draf tersebut, Pansus memutuskan tetap mempertahankan pasal pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan.bSelain itu, Raperda KTR yang telah rampung juga menegaskan tidak ada lagi ruang merokok di dalam ruangan tertutup.

    Meski begitu, Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin menegaskan merokok maupun aktivitas perdagangan rokok masih diperbolehkan di tempat-tempat hiburan.

    “Untuk tempat-tempat tertentu di tempat hiburan, kafe, itu dibolehkan. Jangan sampai merokoknya para perokok bisa mengganggu kesehatan orang lain. Kalau untuk berdagang, kan, masih boleh. Berdagang boleh. Iya, masih boleh di tempat hiburan seperti itu ya,” kata Khoirudin kepada wartawan, Kamis, 6 November.

    Khoirudin menyampaikan, penerapan kawasan tanpa rokok tidak dimaksudkan untuk melarang aktivitas merokok secara keseluruhan, tetapi membatasi agar tidak dilakukan di lingkungan yang rentan, terutama pendidikan dan kesehatan.

    “Karena ini adalah lembaga pendidikan, calon-calon pemimpin masa depan yang harus steril. Yang kedua, untuk lembaga kesehatan dan lain-lain,” papar Khoirudin.

    Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI merampungkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) kembali menuai sorotan.

    Sejumlah pasal dalam rancangan aturan itu dinilai berpotensi menekan sektor ekonomi rakyat kecil, terutama pedagang pasar tradisional dan pelaku usaha mikro.

    Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Rizal Taufikurahman, menilai ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat bawah. Pelarangan yang meluas berpotensi menekan pedagang kecil dan memutus rantai ekonomi informal yang selama ini menopang perekonomian Jakarta.

    “Jangan lupa bahwa pedagang kecil merupakan bantalan ekonomi Jakarta. Jika larangan penjualan diterapkan, efek domino negatifnya mencakup turunnya omzet, lesunya daya beli, dan meningkatnya pengangguran terselubung. Kondisi ini bisa menekan stabilitas sosial dan memperlebar kesenjangan ekonomi di tingkat bawah,” ujar Rizal kepada wartawan, Rabu, 5 November.

    Menurut Rizal, pembuat kebijakan perlu berhati-hati karena Raperda KTR juga berpotensi menggerus pendapatan daerah. Pansus sendiri sebelumnya mengakui bahwa penerapan aturan ini dapat menurunkan penerimaan daerah hingga 50 persen dari sektor pertembakauan.

    “Jadi, bukan langsung memangkas sumber penerimaan tanpa pengganti yang siap. Oleh karena itu, Ranperda KTR seharusnya mengedepankan keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi rakyat,” ujarnya.

    Rizal menambahkan, kebijakan ini seharusnya dirancang secara proporsional dan adaptif, dengan menitikberatkan pada edukasi serta pengaturan kawasan publik bebas rokok tanpa menutup ruang legal bagi usaha mikro.

    “Yang berfokus pada edukasi dan kawasan publik bebas rokok, namun tetap beri ruang legal bagi usaha mikro agar kebijakan ini inklusif dan tidak menimbulkan eksklusi ekonomi baru,” tutur Rizal.