NGO: INDEF

  • Daftar Toko Ritel Tutup di RI: Ada Lulu Hypermarket & GS Supermarket

    Daftar Toko Ritel Tutup di RI: Ada Lulu Hypermarket & GS Supermarket

    Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mengungkap sebanyak tiga ritel yang tutup dalam lima bulan pertama 2025. Mereka di antaranya Lulu Hypermarket dan teranyar GS Supermarket.

    Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengaku baru mengetahui ada tiga ritel supermarket yang memutuskan untuk menghentikan operasinya di Indonesia. Selain skala besar, Budihardjo menyebut ada pula ritel skala kecil yang memutuskan menutup cabangnya.

    “Lulu [Lulu Hypermarket] kan mau tutup juga, GS Supermarket. Ada scan and go, itu supermarket kecil ada 3 cabang. Yang saya tahu baru 3 brand itu [yang tutup]. Yang luar Pulau belum tahun saya,” ujar Budihardjo saat dihubungi Bisnis, Kamis (8/5/2025).

    Untuk GS Supermarket, dia menjelaskan alasan GS akan diambil alih oleh investor yang tengah masih dalam proses negosiasi. Sayangnya, Budihardjo tak memberikan informasi secara detail siapa investor yang akan mengambil alih GS Supermarket di Indonesia.

    “Belum bisa ngomong ya. Nanti tunggulah bulan Mei nanti siapa yang akan ngambil, kan kita tunggu. Mungkin ada investor yang masih lagi negosiasi,” ujarnya.

    Seiring dengan adanya penutupan gerai cabang ritel, Budihardjo memproyeksikan tren bisnis ritel akan mengalami fluktuasi alias pasang-surut. Menurutnya, fenomena ini merupakan siklus yang normal.

    Meski demikian, dia juga tak memungkiri penurunan daya beli masyarakat menjadi salah satu alasan bagi ritel menutup bisnisnya. Namun, sejatinya bisnis ritel tengah dalam situasi yang kompleks, bukan hanya perihal daya beli yang melemah.

    “Tetapi juga ada yang buka, ada yang tutup, ada yang ramai, ada yang sepi. Kalau kami bilang saat ini lebih ke kompleks juga, bisa juga karena itu [penurunan daya beli], bisa karena persaingan usaha, bisa juga karena pergeseran orang belanja [pola gaya hidup],” ungkapnya.

    Saat ditanya lebih lanjut proporsi ritel yang akan tetap bertahan dan tutup, dia menyebut masih ada banyak ritel yang belum membuat laporan untuk membuka toko.

    “Saya nggak bisa jawab itu, itu terlalu sulit. Karena yang buka toko juga belum lapor. Jadi banyak yang belum lapor mau buka toko. Intinya banyak yang buka, banyak yang tutup juga,” terangnya.

    Daya Beli

    Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan penutupan gerai ritel ini merupakan implikasi dan dampak dari pelemahan daya beli dari masyarakat.

    “Tidak hanya ritel supermarket saja, tetapi ritel yang lain seperti pusat perbelanjaan mal, itu juga mengalami penurunan yang sama,” kata Andry kepada Bisnis, Kamis (8/5/2025).

    Andry menjelaskan, penurunan pengunjung maupun tingkat okupansi di pusat perbelanjaan akan mengurangi jumlah pembeli di supermarket. Adapun, penyebab utamanya dipicu daya beli masyarakat yang menurun.

    Menurut Indef, jika pemerintah tak memberikan paket stimulus sepanjang 2025, maka daya beli masyarakat berpeluang tidak akan terangkat alias melemah, bahkan bisa semakin buruk di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Di sisi lain, Andry menyebut persoalan yang tengah dihadapi industri ritel tak hanya sebatas persaingan antara toko fisik (offline) dan toko daring (online). Sebab, lanjut dia, sejatinya peritel sudah menyadari akan pergeseran ini dan mulai beralih ke penjualan online.

    Lebih lanjut, dia juga mengkhawatirkan jika daya beli masyarakat masih terus mengalami penurunan maka akan menggerus kinerja industri ritel di Tanah Air, sebab tidak ada pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

    “Perlu diperhatikan bahwa implikasi dari penurunan daya beli masyarakat itu cukup besar dan jika itu dibiarkan sampai dengan tahun ini berlangsung, maka tidak ada pertumbuhan konsumsi yang cukup tinggi dan pada akhirnya itu akan menggerus kinerja industri ritel di dalam negeri,” tuturnya.

  • Kemendag Respons Potensi Transhipment dari China

    Kemendag Respons Potensi Transhipment dari China

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) buka suara terkait potensi transhipment alias ekspor barang yang diproduksi dari China ke Indonesia untuk dikirim ke AS guna menghindari tarif tinggi yang dikenakan Presiden Donald Trump.

    Untuk diketahui, produk transhipment merupakan barang dengan bahan baku dari luar, dalam hal ini China, yang kemudian dikirim ke Indonesia hanya untuk dijahit sebelum diekspor ke AS.

    Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan Kemendag telah mengantisipasi potensi transhipment dengan menerbitkan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) imbas dari kebijakan Trump.

    “Sudah kami antisipasi dan kami juga sudah sampaikan kepada pelaku usaha dan mereka juga tidak akan melakukan [transhipment],” kata Budi seusai acara peluncuran Gerakan Kamis Pakai Lokal di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (8/5/2025).

    Budi menjelaskan nantinya Kemendag akan mengontrol barang yang masuk melalui KSA. Ini artinya, SKA akan digunakan sebagai barang bukti bahwa barang tersebut diproduksi dari Indonesia.

    “Kami akan melakukan penertiban atau kontrol melalui SKA. Kami bisa mengontrol melalui itu,” jelasnya.

    Sebelumnya, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai pemerintah harus membuktikan Indonesia bukan menjadi pintu ekspor perdagangan China untuk masuk ke AS dengan menjadi transphiment, di tengah masih bergulirnya proses negosiasi antara AS—China dan negosiasi AS—Indonesia.

    “Indonesia harus membuktikan bahwa negara kita itu tidak menjadi transhipment dari China, artinya kita harus membuktikan bahwa Indonesia bukan pintu China masuk ke AS,” kata Andry kepada Bisnis,Rabu (7/5/2025).

    Menurut dia, jika Indonesia bisa membuktikan hal tersebut, maka ada peluang Presiden AS Donald Trump akan menurunkan tarif resiprokal terhadap Indonesia.

    Selain itu, Andry meminta agar pemerintah berhati-hati jika ada investasi asing yang masuk ke Indonesia, termasuk dari China.

    “Karena tarif resiprokal itu diberikan karena ketakutan akan berpindahnya pabrik dan pusat produksi dari China ke Indonesia,” tuturnya.

    Di samping itu, dia menyebut pemerintah juga harus menjaga dan memproteksi pasar dalam negeri agar tak terjadi banjir impor barang dari China.

  • Ekonomi Melambat, Suku Bunga Acuan BI Rate Perlu Dipangkas?

    Ekonomi Melambat, Suku Bunga Acuan BI Rate Perlu Dipangkas?

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonomi RI yang tumbuh melambat pada awal tahun membutuhkan dorongan, tidak terkecuali dari pelonggaran kebijakan moneter alias suku bunga. Bank Indonesia telah menahan BI Rate sebesar 5,75% dalam tiga bulan terakhir.

    Ekonomi Indonesia diprediksikan masih akan melaju lambat pada sisa tahun ini dan sulit mencapai 5%, apalagi pertumbuhan ekonomi 5,2% sesuai harapan pemerintah. 

    Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam menilai ekonomi Indonesia masih dapat dipacu, tetapi dengan syarat adanya kebijakan moneter yang lebih longgar. Menurutnya, pemerintah maupun bank sentral perlu melakukan perubahan kebijakan yang cukup mendasar yang mampu mengembalikan daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat. 

    “Tidak hanya sekedar menurunkan suku bunga, tetapi operasi moneter yang juga lebih ekspansif untuk mendorong bank-bank menyalurkan kredit,” ujarnya, dikutip pada Selasa (6/5/2025). 

    Adapun, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede melihat kekhawatiran yang meningkat tentang pertumbuhan yang melambat dapat membuka ruang untuk pelonggaran moneter. Meski demikian, lagi-lagi tetap menanti kondisi global. 

    “Jika ketidakpastian global berkurang dan ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed menguat, Bank Indonesia dapat menurunkan suku bunga BI hingga 50 basis poin sepanjang sisa tahun ini,” ujarnya, Selasa (6/5/2025). 

    Sementara The Fed pun belum memberikan sinyal pemangkasan. Para pejabat The Fed cenderung mempertahankan suku bunga—meski Trump mendorong pemangkasan—dalam pertemuan Rabu dan Kamis (6—7 Mei 2025). 

    Senada, Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan belum melihat Bank Indonesia akan memangkas suku bunga acuan pada bulan ini, sekalipun rupiah sudah menunjukkan penguatan. 

    Saat ini, kebijakan pro pertumbuhan dari BI terus dilakukan melalui insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) ketimbang pemangkasan suku bunga. 

    “Mungkin BI baru akan mengoreksi itu [memangkas BI Rate] ketika The Fed memberikan sinyal penurunan suku bunga,” ujarnya dalam Diskusi Publik: Ekonomi Melambat, Pertanda Gawat?, Selasa (6/5/2025). 

    Abdul Manap menyampaikan sekali pun suku bunga sudah dipangkas, pertumbuhan ekonomi hanya dapat terpacu jika suku bunga bunga kredit segera turun.

    Sayangnya, kebijakan pemangkasan pada Januari lalu tak kunjung memberikan efek penurunan suku bunga kredit sehingga ekonomi tertahan dan sulit naik lebih tinggi.

    Arah Pemangkasan BI Rate 

    Melansir dari Bloomberg, Selasa (6/5/2025), Bank Indonesia diperkirakan akan melanjutkan pelonggaran moneter setelah mempertahankan suku bunganya tidak berubah selama tiga pertemuan berturut-turut, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kenaikan tarif dan ketidakpastian kebijakan perdagangan.

    Para ekonom memperkirakan penurunan seperempat poin pada suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 5,5% di akhir kuartal kedua, menurut survei Bloomberg terbaru. Mereka melihat penurunan lebih lanjut sebesar 25 basis poin di kuartal ketiga, yang akan membawa suku bunga acuan menjadi 5,25% di akhir tahun.

    Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menyebutkan saat ini arah kebijakan BI Rate masih belum berubah, yakni tetap fokus menstabilkan rupiah. 

    Arah terbaru nantinya akan didiskusikan dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 20—21 Mei 2025 mendatang. 

    Sebelumnya Gubernur BI Perry Warjiyo menekankan pihaknya terus mencermati ruang penurunan suku bunga. 

    Perry meyakini inflasi yang rendah selama kuartal I/2025, termasuk inflasi inti sebesar 2,5% (year on year/YoY), akan semakin membuka ruang bagi penurunan BI Rate lebih lanjut.

    “Dalam jangka pendek prioritas kami adalah stabilitas rupiah, tetapi setelah stabilitas terjaga, ruang penurunan suku bunga itu semakin terbuka dan itulah waktu-waktu untuk menentukan kebijakan suku bunga lebih lanjut,” ujarnya dalam konferensi pers bulan lalu. 

  • Beragam Pandangan Soal Wacana Pengemudi Ojol Jadi Karyawan Tetap – Halaman all

    Beragam Pandangan Soal Wacana Pengemudi Ojol Jadi Karyawan Tetap – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Usulan agar pengemudi ojek online (ojol) dijadikan karyawan tetap kembali mencuat, kali ini lewat pernyataan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) pada 29 April 2025. 

    ASPEK menilai, pengemudi ojol seharusnya mendapat perlindungan lebih melalui status kerja tetap, termasuk jaminan kesehatan, asuransi, dan pensiun yang selama ini belum mereka nikmati dalam sistem kerja fleksibel.

    Usulan ini menuai berbagai tanggapan. Sebagian pihak menyambut baik karena dianggap memberikan keamanan dan stabilitas ekonomi. 

    Di sisi lain, muncul kekhawatiran terhadap dampaknya terhadap ekosistem ekonomi digital.

    Pendapat Para Ekonom

    Nailul Huda dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mengingatkan bahwa perubahan status ini bisa mengurangi insentif kerja bagi pengemudi. 

    Dalam sistem saat ini, mereka bisa bekerja sesuai permintaan pasar dan meraih penghasilan maksimal di jam sibuk. 

    Jika diubah menjadi karyawan tetap, fleksibilitas itu bisa hilang.

    Hal senada disampaikan ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, yang menekankan pentingnya menimbang dampak terhadap model bisnis. 

    Ia menilai, kebijakan ini bisa menghilangkan kesempatan bagi banyak orang yang mengandalkan pekerjaan fleksibel.

    Respons dari Perusahaan Aplikator

    Grab Indonesia, melalui Chief of Public Affairs Tirza Munusamy, dikutip dari siaran pers yang diterima Jumat (2/5/2025) juga menyampaikan kekhawatiran. 

    Ia menilai, menjadikan mitra ojol sebagai karyawan bisa memicu pembatasan jam kerja dan seleksi ketat, yang justru menaikkan hambatan masuk. 

    Saat ini, sistem kemitraan dinilai menjadi jaring pengaman sosial di tengah ketidakpastian ekonomi.

    Tirza juga menyoroti potensi kenaikan biaya operasional bagi perusahaan jika kebijakan ini diterapkan, yang akhirnya bisa membebani konsumen melalui tarif yang lebih tinggi.

    Sudut Pandang dari Organisasi dan Pengemudi

    Agung Yudha dari Modantara menilai, menjadikan ojol sebagai karyawan tetap bisa mengubah karakter inklusif dari sektor ini. Saat ini, siapa pun bisa menjadi mitra pengemudi, namun sistem kerja tetap bisa membatasi akses tersebut.

    Para pengemudi sendiri juga terpecah pendapatnya. Agus dari Jakarta lebih memilih sistem fleksibel karena bisa menyesuaikan waktu kerja dengan kebutuhan pribadi. Siti dari Yogyakarta bahkan khawatir tidak lolos seleksi jika harus jadi karyawan tetap dan kehilangan satu-satunya sumber pendapatan.

    Usulan Jalan Tengah: Masukkan Ojol sebagai UMKM

    Di tengah perdebatan, Menteri Koperasi dan UMKM, Maman Abdurrahman, mengusulkan agar pengemudi ojol dimasukkan ke dalam kategori pelaku UMKM. Dengan status ini, pengemudi bisa tetap mempertahankan fleksibilitas sembari mendapatkan manfaat seperti akses kredit usaha, pelatihan, dan jaminan sosial.

    Usulan ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk ekonom Wijayanto Samirin dan Izzudin Al Farras dari INDEF, yang menilai pendekatan ini lebih realistis. Nailul Huda juga menyetujui gagasan ini dengan catatan bahwa regulasi harus disusun bersama asosiasi pengemudi dan tetap menjunjung prinsip kemitraan setara.

    Implikasi Lebih Luas

    Jika kebijakan menjadikan ojol sebagai pekerja tetap diterapkan, dampaknya bisa meluas ke sektor digital lainnya seperti kurir dan pengemudi logistik. Tekanan regulasi bisa meningkat dan mengubah wajah ekonomi digital secara menyeluruh.

    Karena itu, keputusan ini perlu dikaji secara mendalam. Perlindungan sosial memang penting, tapi jangan sampai mengorbankan fleksibilitas yang selama ini menjadi kekuatan utama sektor ini. Gagasan menjadikan ojol sebagai bagian dari UMKM bisa menjadi solusi tengah yang menjaga keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan industri. (Tribunnews.com/Hasiolan EP)

  • Teknologi QRIS Jadi Andalan, dari Jajan Cilok sampai Tambah Penghasilan

    Teknologi QRIS Jadi Andalan, dari Jajan Cilok sampai Tambah Penghasilan

    Jakarta

    Indonesia patut berbangga karena telah memiliki standar kode QR nasional yang disebut QRIS. Ada yang menyebutnya ‘kris’, ‘kyuris’, bahkan ‘kyu-ar-ai-es’. Namun, apapun itu, QRIS telah menjelma jadi bagian lifestyle masyarakat Indonesia. Baik itu dari sisi konsumen, produsen, maupun pedagang.

    Misalnya yang dirasakan oleh Enggar (32) dan Rininta Oktaviana (28). Dua karyawan swasta di Jakarta Selatan ini selalu mengandalkan QRIS dalam transaksi mereka sehari-hari. Bahkan untuk jajan pinggir jalan sekalipun.

    “Saya hampir selalu memakai QRIS sebagai alat bayar. Mulai dari jajan cilok di pinggir jalan sampai jajan di mal,” ujar Rininta kepada detikINET, Sabtu (26/4).

    Hari itu, beberapa kali dia beli jajan dan makanan dengan mengandalkan QRIS, salah satunya lewat aplikasi BRImo. Beli kopi gerobak Rp 8.000-an tinggal scan, transaksi langsung beres 1 detik.

    Menurut Rininta yang termasuk Gen Z, mula-mula dirinya sudah terbiasa menggunakan teknologi pembayaran digital. Dia mengaku sudah jarang membawa uang tunai. Menurutnya cara ini lebih aman dari risiko menerima uang palsu.

    “Sebagai Gen Z yang lebih suka bayar secara cashless, QRIS memudahkan dan lebih cepat sehingga efisien dari segi waktu,” lanjutnya.

    Tak cuma untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sendiri, mereka juga lebih mudah berdonasi dengan adanya QRIS. Jadi, menurut Enggar, walaupun sedang tidak punya uang tunai kecil di dompet, mereka tetap bisa membantu orang lain. Enggar mengaku beberapa kali memberikan donasi untuk seniman jalanan yang ditemui di public space.

    “Biasa selain buat belanja sehari-hari, juga buat persembahan di gereja, kadang bisa untuk donasi, apresiasi seniman jalanan juga pernah pakai QRIS,” jelas pengguna BRImo ini.

    Pengguna QRIS BRI (Foto: Debora Danisa Sitanggang/detikcom)

    Belakangan, penggunaan QRIS tengah jadi perbincangan hangat setelah disorot Pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam dokumen National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025. Muncul kekhawatiran bahwa nantinya QRIS tidak bisa digunakan lagi karena ada permintaan dari pihak luar.

    “Kalau QRIS nggak ada itu sama saja dengan kemunduran ekonomi dan teknologi sih, karena harus kembali membawa uang tunai ke mana-mana,” ujar Rininta.

    Senada, Enggar juga menilai keberadaan QRIS sudah sulit dilepas dari aktivitas ekonomi warga Indonesia. Kalaupun memang ada penyesuaian, dia khawatir perputaran ekonomi khususnya di kalangan menengah berpotensi melambat.

    “Kayaknya kalau QRIS nggak ada, selain repot juga bakal lebih jarang ngeluarin duit,” sebutnya.

    Padahal, sebelum mencuat sorotan mengenai QRIS serta Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) ini, sudah ada inovasi baru berupa QRIS Tap sejak 20 Maret 2025 lalu. Teknologi ini memungkinkan transaksi dilakukan dengan menempelkan ponsel dengan fitur NFC ke perangkat pembayaran. Metode ini menjadi alternatif bagi transaksi QRIS yang selama ini dilakukan dengan pemindaian melalui kamera ponsel.

    Enggar dan Rininta juga mengaku menanti-nantikan penggunaan QRIS Tap lebih masif. Untuk saat ini, mereka masih jarang menemukan merchant yang sudah menggunakan QRIS Tap.

    “Layanan QRIS Tap masih belum bisa digunakan di banyak merchant. Harapannya ke depan supaya lebih diperbanyak lagi merchantnya,” kata Enggar.

    Pengusaha rumah makan gunakan QRIS. Foto: Debora Danisa Sitanggang/detikcom

    Tak cuma konsumen, pedagang juga merasakan manfaat yang sama dari penggunaan QRIS. Putri, pemilik rumah makan Jawa Timuran di Mampang Prapatan, mengaku pendapatannya lebih meningkat setelah menggunakan QRIS. Sebab, rata-rata konsumennya dari kalangan karyawan perusahaan jarang membawa uang tunai. Kalaupun bawa, pecahannya besar.

    “Sekarang transaksi lebih banyak QRIS. Soalnya seringan pada pakai HP. Kalau dibandingkan kurang lebih 2 banding 3 antara yang pakai tunai dan QRIS,” jelas Putri kepada detikINET, Rabu (30/4/2025).

    Putri mengaku tak masalah meskipun butuh waktu untuk pencairan QRIS. Menurutnya, justru QRIS lebih menguntungkan bagi usahanya karena pendapatan bisa meningkat. Putri sendiri sudah menggunakan QRIS BRI selama 2 tahun.

    “Tetap harus ada QRIS, karena itu mempermudah transaksi. Ada peningkatan penghasilan sampai 70%,” paparnya.

    Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad menyebut tingkat awareness masyarakat akan QRIS sudah mulai naik. Walaupun mengacu pada data BI, baru sekitar 20-30 juta orang yang aktif menggunakan QRIS. Pengguna didominasi kalangan menengah dan masyarakat perkotaan. Sementara di pedesaan atau kelas menengah ke bawah, menurutnya QRIS belum terlalu banyak digunakan mengingat sumber keuangan masyarakat masih terbatas.

    “Ketika penetrasi digital itu sudah tinggi ya, sudah di atas 60% penduduk sudah mulai paham penggunaan layanan digital kita, artinya mereka sudah aware. Kalau UMKM yang sudah memenuhi sekitar 30%, bahkan di atas itu,” katanya dihubungi detikINET.

    Terkait sorotan AS terhadap penggunaan QRIS yang berpengaruh pada layanan Visa dan MasterCard, Tauhid berpendapat hal itu wajar terjadi. Sebab, kebanyakan transaksi orang Indonesia hanya di dalam negeri, sehingga tidak membutuhkan layanan Visa dan MasterCard yang terkoneksi secara global. Hanya kalangan tertentu saja yang menggunakan layanan tersebut.

    “Biaya QRIS kita lebih murah antara 0,7-1,5%, kalau mereka 2-3% per transaksi. Kalau kita lihat orang luar yang ada di Indonesia, mereka juga bisa pakai QRIS. Itu yang tidak terdeteksi oleh layanan global tadi. Pasarnya sudah diambil oleh kita,” lanjutnya.

    Transaksi QRIS BRI, Tembus Rp 2,8 T Tahun 2024

    BRI pun tidak ketinggalan untuk terus mengembangkan teknologi pembayaran yang semakin memudahkan nasabah. Dept Head Funding & Transaction Ecosystem Sales 2 BRI Fransisca menyampaikan QRIS BRI dapat memudahkan pengelolaan transaksi, meningkatkan efisiensi operasional, meminimalisir kerugian karena uang palsu, hingga menjaga likuiditas bisnis.

    “Bagi merchant yang sudah aktif bertransaksi menggunakan QRIS BRI juga memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan support dari BRI dalam hal pengembangan usaha,” jelasnya dalam keterangan tertulis kepada detikINET, Selasa (29/4).

    Selama tahun 2024, volume transaksi QRIS BRI, khususnya di Regional Jakarta 2, mencapai Rp 2.872.942.000.000 atau Rp 2,8 T. Untuk memperluas penggunaan QRIS di aplikasi BRImo, BRI aktif melakukan edukasi dan sosialisasi melalui komunitas untuk para pemilik usaha. Sedangkan untuk nasabah, BRI membuat berbagai program promo seperti cashback dalam transaksi di merchant-merchant menggunakan QRIS BRImo.

    Saat ini, lanjutnya, sudah dilakukan pengembangan untuk transaksi menggunakan QRIS Tap (Tanpa Pindai) berbasis NFC (Near Field Communication) untuk handphone nasabah yang sudah terinstal BRImo, yakni transaksi pembayaran QRIS dapat dilakukan dengan menempelkan HP-nya ke EDC yang sudah support memiliki fitur QRIS TAP.

    (fyk/fay)

  • Investasi Korsel di Indonesia Meningkat pada Kuartal I/2025, Meski LG Hengkang

    Investasi Korsel di Indonesia Meningkat pada Kuartal I/2025, Meski LG Hengkang

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal melaporkan realisasi investasi dari Korea Selatan meningkat meskipun LG Energy Solution hengkang dari salah satu proyek ekosistem baterai kendaraan listrik di Indonesia.

    Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani memaparkan investasi dari Korea Selatan (Korsel) mencapai US$683,29 juta pada kuartal I/2025. Jumlah tersebut meningkat 18,17% secara kuartalan, yang mana realisasi investasi dari Korsel sebesar US$559,1 juta pada Kuartal IV/2024.

    Rosan mengaku bahwa LG memang membatalkan sejumlah proyek yang didanainya di Indonesia, tetapi tidak semuanya. Menurut Rosan, LG tetap berkomitmen menanamkan modalnya ke empat proyek ekosistem baterai kendaraan listrik di Indonesia.

    Dari empat proyek tersebut, Rosan menyatakan satu proyek sudah terealisasikan investasinya sehingga terus berjalan. Malah, dia mengaku LG sudah berkomitmen menambah nilai investasi di proyek tersebut.

    “Pembicaraan selanjutnya mereka akan expand [ekspansi] lagi, nilainya kurang lebih US$1,7 miliar, yang sudah terealisasi US$1,1 miliar,” ujar Rosan dalam konferensi pers di Kantor BKPM, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2025).

    Lebih lanjut, mantan bos Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu ia berencana kunjungi lokasi pabrik dari hasil investasi LG tersebut pada Rabu (30/4/2025) esok.

    Rosan pun menggarisbawahi bahwa Korsel masih mempunyai komitmen besar untuk menanamkan modalnya di Indonesia meski ada sejumlah proyek yang batal.

    “Yang kemarin diumumkan tidak jadi, sebenarnya itu tidak semuanya tidak jadi, tapi ada satu bagian yang jadi mengenai baterai dan ekspansinya akan dilakukan segera,” jelasnya.

    Sebelumnya, konsorsium LG bersama konsorsium BUMN Indonesia Battery Corporation (IBC) tergabung dalam Proyek Titan dengan total komitmen investasi senilai US$9,8 miliar atau sekitar Rp142 triliun. Komitmen investasi itu terdiri atas investasi di hulu tambang senilai US$850 juta, smelter HPAL US$4 miliar, pabrik prekursor/katoda senilai US$1,8 miliar, dan pabrik sel baterai senilai US$3,2 miliar.

    Pada Februari 2025, IBC (anak usaha anak MIND ID, PLN, Pertamina, dan Antam) melaporkan bahwa kerja sama dengan konsorsium LG masih dalam status sedang berlangsung (on progress) untuk fase pembahasan studi kelayakan (feasibility study). Hanya saja, beberapa waktu lalu terungkap konsorsium LG itu batal investasi di Indonesia.

    Kabar Beda Perlakuan Korea Selatan dan China

    Sementara itu, Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo mengungkap konsorsium LG mengundurkan diri dari proyek baterai nikel terintegrasi dari hulu ke hilir di Indonesia karena takut rugi.

    Dradjad mengaku sudah bertemu dengan pihak dari Korsel, termasuk LG. Dia pun coba merunut persoalannya.

    Menurut Dradjad, awalnya pemerintah mengundang konsorsium LG untuk berinvestasi di proyek baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Menurutnya, pihak LG sepakat untuk berinvestasi sekitar US$2 miliar.

    Saat itu, Hyundai Ioniq Electric memerlukan baterai. LG pun siap untuk menyediakan kebutuhan sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki.

    “Mereka penuhi semua peraturan, TKDN mereka penuhi, semua mereka penuhi,” ungkap Dradjad dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025).

    Setelah dihitung dengan segala pertimbangan biaya produksi di Indonesia, mobil listrik Ioniq tersebut bisa dijual dengan harga sekitar Rp700 juta—Rp800 juta.

    Ternyata di luar dugaan, produsen mobil listrik asal China BYD Auto Co. Ltd. tidak bisa menjual produknya di Eropa karena perang dagang. Akibatnya, BYD menjual produknya ke negara-negara lain di luar Eropa termasuk Indonesia.

    Saat masuk ke Indonesia, pemerintah ternyata memberikan BYD berbagai kemudahan sehingga harganya bisa jauh lebih murah. Masalahnya, berbagai kemudahan tersebut tidak diberikan kepada LG.

    “Ya otomatis enggak bisa bersaing. Harganya Ioniq sekitar 50%—60% di atas harga BYD dengan spesifikasi yang sama, ya gimana bisa bersaing?” ujar anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 itu.

    Akibatnya, permintaan terhadap Ioniq menurun. LG pun memikirkan ulang rencana investasinya.

    “LG mikir dong kalau mau investasi terus, pasarnya turun kok, kami enggak diperlakukan sama kok dengan teman-teman dari China,” kata Dradjad.

    Menurut ekonom senior Indef ini, perbedaan perlakuan atas perusahaan asal Korea Selatan dengan China itu karena adanya konstelasi politik. Dradjad pun meminta seharusnya tidak ada perlakuan khusus seperti itu ke depannya.

  • Perbandingan Rasio Utang Pemerintah RI Vs Asean, Indonesia Posisi Kelima Terendah

    Perbandingan Rasio Utang Pemerintah RI Vs Asean, Indonesia Posisi Kelima Terendah

    Bisnis.com, JAKARTA — Rasio utang pemerintahan Prabowo Subianto terhadap produk domestik bruto/PDB tercatat sebesar 39,7% per Januari 2025 dan diprediksi IMF mencapai 40,1% pada akhir tahun nanti. 

    Sejumlah lembaga internasional menyampaikan bahwa posisi utang yang saat ini berjumlah Rp8.909,14 triliun tersebut tergolong rendah. 

    Sementara mengacu ketentuan Undang-Undang (UU) No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah ditetapkan maksimal 60% dari PDB.

    Sejumlah ekonom mengingatkan, meski gap antara realisasi dan batas aman masih ada sekitar 20%, namun kekhawatiran tetap mengintai. Utamanya soal kemampuan bayar pemerintah, mengingat rasio penerimaan pajak tak bergerak naik. 

    Membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia dengan negara satu kawasan Asean, benar adanya utang tersebut tercatat cukup rendah. 

    Dalam laporan World Bank Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, rasio utang Indonesia lebih rendah dari negara tetangga Malaysia yang mencapai 64,6% pada 2024 maupun proyeksi 2025 yang mencapai 65%. 

    Vietnam, Kamboja, Timor Leste, dan Brunie Darussalam tercatat memiliki rasio utang yang lebih rendah dari Indonesia. 

    Masing-masing sebesar 37,5%, 27%, 14,3%, dan 2,29% pada 2024. Lalu, masing-masing sebesar 36,9%, 27,8%, 15,1%, dan 2,2% untuk proyeksi 2025. 

    Rasio utang tertinggi tercatat diduduki Singapura yang mencapai 174,3% dari PDB (2024) atau senilai SGD1,29 triliun. Tertinggi kedua ditempati Laos dengan rasio utang mencapai 112,2% terhadap PDB. 

    Secara umum meski terpantau lebih rendah, Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan hal utama yang menjadi kekhawatiran adalah kemampuan bayar pemerintah yang ditunjukkan oleh besaran rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). 

    “Ketika rasio penerimaan utang kita terhadap PDB relatif enggak naik-naik, maka sebenarnya penambahan utang baru itu sangat berisiko,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025). 

    Per 2024, rasio pajak terhadpa PDB atau tax to GDP ratio tercatat sebesar 10,08% atau turun dari pertumbuhan 10,31% pada 2023. 

    Tauhid menjelaskan risiko dari bertambahnya utang tanpa diikuti dengan peningkatan penerimaan pajak menimbulkan konsekuensi pembayaran utang menggunakan utang baru alias “gali lubang tutup lubang”.

    Adapun pada tahun ini, pemerintah merencananakan penarikan utang baru senilai Rp775,87 triliun untuk membiayai APBN 2025. Per akhir Maret 2025, pemerintah telah menarik utang senilai Rp270,4 triliun. 

    Debt to GDP Ratio 2024/2025 (%):

    Negara 
    2024 (estimasi)
    2025 (proyeksi)

    Brunei Darussalam*
     2,29
    2,2

    Timor Leste 

    14,3
    15,1

    Kamboja 
    27
    27,8

    Vietnam
    37,5

    36,9

    Indonesia 

    39,2

    40,1

    Filipina (national government debt)
    60,7
    60,2

    Myanmar (public sector debt)

    62,2
    62,4

    Thailand 
    63,3
    66

    Malaysia
     64,6
    65

    Laos
    112,2
    112,2

    Singapura*
    174,3
    174,94

    Sumber: Bank Dunia, IMF, diolah

    *data bersumber dari IMF mengacu General Government gross debt

  • Kinerja Manufaktur Kian Suram Imbas Tarif Trump? Ini Saran Ekonom

    Kinerja Manufaktur Kian Suram Imbas Tarif Trump? Ini Saran Ekonom

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah perlu mewaspadai pelambatan pertumbuhan lapangan usaha industri yang terjadi sejak 2023. Apalagi, ada potensi semakin tertekan oleh kebijakan Trump. 

    Selain itu, tidak sedikit industri yang telah mengambil langkah efisiensi biaya produksi dan logistik. Sayangnya hal tersebut tidak cukup bahkan sebagian sudah melakukan efisiensi tenaga kerja alias pemutusan hubungan kerja (PHK). 

    Bhima mengkhawatirkan hal tersebut akan berdampak pada berlanjutnya penurunan daya beli dan mempersempit pengalihan pasar ekspor yang terimbas perang dagang ke pasar domestik. 

    “Di satu sisi persaingan dengan impor barang jadi makin ketat. Solusinya adalah mempercepat realisasi investasi di sektor padat karya terutama pakaian jadi, tekstil, dan furnitur,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025). 

    Bhima menuturkan bahwa Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia (PMI BI) memang memberikan sinyal adanya perlambatan kinerja pada sektor tesktil dan furnitur pada kuartal I/2025 maupun kuartal II/2025, 

    Bank Dunia atau World Bank dalam laporan Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025 meramalkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor industri hanya mencapai 3,8% pada 2025, lebih rendah dari estimasi 2024 yang sebesar 5,2%. 

    Di mana ketidakpastian kebijakan perdagangan, melemahnya harga komoditas, dan ketidakpastian kebijakan dalam negeri dapat menjadi tantangan bagi pertumbuhan

    Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha, yakni Industri tumbuh 4,43% pada 2024 (angka sangat sementara). Lebih rendah dari 4,64% pada 2023, maupun 4,89% pada 2022.

    Pemerintah sendiri mencanangkan target pertumbuhan industri manufaktur nasional sebagai motor penggerak ekonomi sebesar 7,29% untuk tahun ini. Artinya, terdapat gap 3,49% terhadap proyeksi lembaga internasional. 

    Untuk itu, Bhima meminta pemerintah agar membantu sektor industri dengan mencegah masuknya barang impor yang memiliki substitusi lokal. 

    Pencegahan tersebut salah satunya dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. 

    Sementara langkah insentif bagi industri berupa diskon tarif listrik dan pajak dapat diberikan untuk meringankan input produksi. Misalnya, perluasan kategori Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 karyawan Ditanggung Pemerintah (DTP) diperluas ke berbagai sektor.

    Saat ini, insentif PPh tersebut hanya diberikan kepada karyawan dengan penghasilan maksimal Rp10 juta dan bekerja di sektor padat karya. 

    Bukan hanya soal PHK dan daya beli, Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus turut mengkhawatirkan penurunan ekspor produk dari hasil hilirisasi.  

    Bagi fiskal negara, penerimaan pajak dari industri juga terancam menurun akibat lesunya produksi. Di samping daya beli, akses dan kepastian pasar yang penting diperlukan industri ini juga sedang tertekan. 

    Heri melihat faktor-faktor lain seperti input produksi industri turut dalam kondisi yang kurang kompetitif, termasuk biaya energi, logistik, dan perpajakan.

    “Berbagai faktor pendukung yg memengaruhi industri sedang dalam kondisi yang kurang mendukung,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025)

  • Pertumbuhan PDB Industri Melandai sejak 2023, Bukti Daya Beli Lesu

    Pertumbuhan PDB Industri Melandai sejak 2023, Bukti Daya Beli Lesu

    Bisnis.com, JAKARTA — Laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dari sektor industri terpantau melandai sejak 2023. Padahal, lapangan usaha ini menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi.

    Bank Dunia atau World Bank dalam laporan terbarunya, Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, meramalkan pertumbuhan sektor industri hanya mencapai 3,8% pada 2025, lebih rendah dari estimasi 2024 yang sebesar 5,2%.

    Proyeksi tersebut nyatanya sama dengan realisasi pertumbuhan PDB industri pada 2019 yang saat ini juga berada di angka 3,8%.

    Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha, yakni Industri tumbuh 4,43% pada 2024 (angka sangat sementara). 

    Angka tersebut lebih rendah dari realisasi 2023 yang tumbuh sebesar 4,64% maupun pada 2022—kala itu ekonomi mulai pulih dari Covid-19—yang mencapai 4,89%.

    Secara terperinci, pertumbuhan tertinggi pada 2024 berasal dari industri logam dasar sebesar 13,34%. Realisasi itu bahkan lebih rendah daripada tahun sebelumnya yang mencapai 14,17% maupun pada 2022 yang berada di level 14,8%.

    Sementara industri yang cukup tertekan pada tahun lalu adalah industri alat angkutan yang pertumbuhannya negatif 2,1%. Berbanding terbalik dengan 2023 yang tumbuh hingga 7,63%.

    Secara umum, proyeksi melambatnya sektor industri tersebut turut tercermin dalam data Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia.

    Tren penurunan kinerja dari Industri Furnitur diperkirakan akan berlanjut pada kuartal II/2025, menuju zona kontraksi di level 47,8% dari 52,95% pada kuartal I/2025. 

    Industri Tekstil dan Pakaian Jadi—yang hasil outputnya menjadi komoditas ekspor unggulan ke Amerika Serikat—masih di level kontraksi sebesar 49,27% pada kuartal I/2025. Kontraksi yang lebih dalam diperkirakan terjadi pada kuartal berikutnya, menjadi 46,5%.

    Meski demikian, secara umum kinerja industri pengolahan diperkirakan tetap terjaga pada fase ekspansif di level 51,92%.

    Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan pelemahan terlihat pada sejumlah indikator lapangan usaha, selain dipicu kebijakan tarif dari Presiden AS Donald Trump yang mengganggu perdagangan global. 

     “Kalau proyeksi indikator-indikator ini menurun maka ada sinyal perlambatan pada sektor riil, seperti pada manufaktur, hal ini salah satunya disebabkan karena melambatnya indikator dari sisi konsumsi [daya beli],” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025). 

    Di samping daya beli, akses dan kepastian pasar sebagai aspek penting yang diperlukan industri juga tertekan.

    Heri juga melihat faktor-faktor lain seperti input produksi industri turut dalam kondisi yang kurang kompetitif, termasuk biaya energi, logistik, dan perpajakan. 

    “Berbagai faktor pendukung yang memengaruhi industri sedang dalam kondisi yang kurang mendukung,” lanjutnya. 

     Adapun, Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri manufaktur nasional sebagai motor penggerak ekonomi sebesar 7,29% untuk tahun ini.

    Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha (persen), 2020

    2019
    2020
    2021
    2022
    2023*
    2024**

    Industri Pengolahan/Manufacturing
    3,8
    -2,93
    3,39
    4,89
    4,64
    4,43

    Industri Batubara dan Pengilangan Migas
    -1,11
    -6,81
    0,57
    3,72
    4,16
    1,04

    Industri Makanan dan Minuman
    7,78
    1,58
    2,54
    4,9
    4,47
    5,9

    Industri Pengolahan Tembakau
    3,36
    -5,78
    -1,32
    -2,34
    4,8
    3,49

    Industri Tekstil dan Pakaian Jadi
    15,35
    -8,88
    -4,08
    9,34
    -1,98
    4,26

    Industri Kulit, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki
    -0,99
    -8,76
    7,76
    9,36
    -0,34
    6,83

    Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus; dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan, dan Sejenisnya

    -4,55
    -2,16
    -3,71
    0,59
    1,2
    2,79

    Industri Kertas dan Barang dari Kertas
    8,86
    0,22
    -2,89
    3,71
    4,52
    2,61

    Industri Kimia, Farmasi, dan Obat Tradisional
    8,48
    9,39
    9,61
    -,69
    0,11
    5,86

    Industri Karet; Barang dari Karet dan Plastik
    -5,5
    -5,61
    1,08
    -4,1
    -3,63
    1,75

    Industri Barang Galian bukan Logam
    -1,03
    -9,13
    0,89
    -2
    4,11
    -0,6

    Industri Logam Dasar
    2,83
    5,87
    11,5
    14,8
    14,17
    13,34

    Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik

    -0,51
    -5,46
    -1,62
    6,71
    13,67
    6,16

    Industri Mesin dan Perlengkapan
    -4,13
    -10,17
    11,43
    11,37
    -0,03
    -0,42

    Industri Alat Angkutan
    -3,43
    -19,86
    17,82
    10,67
    7,63
    -2,1

    Industri Furnitur
    8,35
    -3,36
    8,16
    -1,99
    -2,04
    2,07

    Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan

    5,17
    -0,88
    -1,64
    6,08
    -2,1
    3,54

    Sumber: BPS

    *angka sementara 

    **angka sangat sementara

  • Ketidakpastian Global Ancam Unicorn RI, Merger dan Akuisisi Jadi Opsi Rasional

    Ketidakpastian Global Ancam Unicorn RI, Merger dan Akuisisi Jadi Opsi Rasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Gelombang ketidakpastian ekonomi global dan suku bunga tinggi yang masih membayangi, terutama di Amerika Serikat, makin menekan industri startup, termasuk jajaran unicorn di Tanah Air.

    Kondisi ini memaksa para investor untuk lebih selektif dalam menyalurkan modal, sehingga mendorong perusahaan rintisan untuk mencari jalan keluar melalui efisiensi operasional, salah satunya melalui skema merger dan akuisisi (M&A).

    Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras Adha mengatakan opsi M&A menjadi makin relevan di tengah tantangan ekonomi saat ini. Menurutnya, para investor startup dalam kondisi sulit untuk mencapai profitabilitas yang kemungkinan berdampak pada pendanaan ke startup yang makin seret. 

    “Para investor startup makin kesulitan untuk mencapai target keuangan yang diharapkan,” ujar Izzudin kepada Bisnis, Sabtu (26/4/2025).

    Lebih lanjut, Izzudin menjelaskan efisiensi operasional menjadi kunci bagi keberlangsungan startup. Setelah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, opsi M&A kini menguat sebagai strategi untuk mencapai efisiensi yang lebih signifikan.

    Izzudin juga menyoroti bahwa perusahaan digital berskala besar saat ini membutuhkan skala ekonomi yang lebih baik untuk menjangkau pasar yang lebih luas dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Hal ini makin memperkuat daya tarik skema M&A sebagai langkah strategis.

    “Opsi merger dan akuisisi juga menguat karena perusahaan digital yang besar saat ini butuh skala ekonomi yang lebih baik untuk menjangkau pasar yang lebih besar dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi,” jelasnya.

    Izzudin juga memprediksi badai PHK di startup masih terjadi seiring dengan aksi M&A yang akan lebih dominan pada tahun ini. 

    “Aksi merger dan akuisisi lebih mungkin terjadi pada tahun ini dan kemudian diikuti oleh layoff pekerja dari perusahaan induk terhadap pekerja dari perusahaan yang diakuisisi/lebih kecil,” pungkas Izzudin.

    Rumor Merger Traveloka, Gojek, dan Bukalapak …