NGO: INDEF

  • Indef: RI Perlu Reformasi Diplomasi Ekonomi untuk Mengalap Tuah IEU-CEPA

    Indef: RI Perlu Reformasi Diplomasi Ekonomi untuk Mengalap Tuah IEU-CEPA

    Bisnis.com, JAKARTA — Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa (IEU-CEPA) dinilai berpotensi besar mendongkrak ekspor nasional ke pasar Eropa. Namun, perlu reformasi strategis untuk mengoptimalkan potensi kerja sama tersebut. 

    Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ariyo Irhamna mengatakan bahwa peluang IEU-CEPA hanya akan optimal jika diiringi dengan pembenahan kelembagaan dan strategi diplomasi ekonomi Indonesia di luar negeri.

    “Agenda ekspor kita tidak mentereng [ke Eropa] karena terhambat aspek kelembagaan, diplomasi ekonomi terpinggirkan agenda diplomasi politik karena duta besar dan wakil dubes dari Kemenlu, bukan Kemendag,” kata Ariyo kepada Bisnis, Senin (14/7/2025). 

    Menurut Ariyo, ada tiga faktor utama yang menjadi penentu peningkatan ekspor Indonesia ke Eropa setelah IEU-CEPA diratifikasi. Pertama, preferensi pasar Eropa terhadap produk-produk yang berkelanjutan dan memiliki standar tinggi. 

    Kedua, diversifikasi pasokan Eropa sebagai respons terhadap ketegangan geopolitik global seperti dengan China dan Rusia. 

    Ketiga, potensi penghapusan tarif impor (0%) dari Uni Eropa yang akan memberi keunggulan kompetitif bagi Indonesia dibanding negara Asean lain yang belum memiliki free trade agreement (FTA) dengan Uni Eropa.

    Meski demikian, Ariyo juga mencatat bahwa Uni Eropa memiliki tantangan struktural tersendiri. 

    “Struktur tarif dan regulasi teknis di UE jauh lebih kompleks daripada Amerika Serikat, misalnya ketentuan REACH, sertifikasi lingkungan, hingga carbon border adjustment mechanism,” ujarnya.

    Dia juga mengingatkan bahwa daya saing Indonesia ke depan harus dibangun berdasarkan keberlanjutan, kualitas, dan nilai tambah, bukan hanya sekadar substitusi pasar dari negara lain.

    Lebih lanjut, Ariyo menyoroti kelemahan mendasar dalam sistem diplomasi luar negeri Indonesia yang selama ini belum menempatkan ekspor dan investasi sebagai prioritas utama. 

    “Salah satu kelemahan krusial yang selama ini menghambat optimalisasi perjanjian dagang Indonesia adalah struktur kelembagaan diplomasi luar negeri yang terlalu terfokus pada agenda politik dan belum cukup menjadikan ekspor dan investasi sebagai prioritas utama,” tegasnya.

    Untuk itu, Ariyo merekomendasikan tiga reformasi strategis, yakni dengan menempatkan wakil duta besar dari kementerian teknis seperti Kementerian Perdagangan dan/atau Kementerian Investasi/BKPM. 

    “Saat ini mayoritas dubes dan wakil dubes berasal dari Kementerian Luar Negeri yang orientasinya masih sangat politis. Padahal, di era persaingan ekonomi global, KBRI harus berperan sebagai markas dagangIndonesia di luar negeri,” katanya. 

    Apalagi, negara-negara pesaing seperti Korea Selatan, China, dan Vietnam disebut sudah menempatkan diplomat ekonomi dari kementerian teknis di berbagai perwakilan luar negeri mereka.

    Ariyo menyoroti lemahnya kapasitas atase perdagangan yang selama ini menjadi ujung tombak diplomasi ekonomi. 

    “Di KBRI London saja, atase perdagangan bekerja sendirian, bahkan masih banyak KBRI yang tidak memiliki atase perdagangan sama sekali,” ungkapnya. 

    Idealnya, menurut dia, tim tersebut terdiri atas kombinasi diplomat karier dan profesional dari kementerian teknis, dengan tugas aktif membangun jejaring pasar, menyelesaikan hambatan regulasi, hingga membuka akses pembiayaan ekspor.

    Lebih lanjut, dia mendorong sinkronisasi perjanjian CEPA dengan program promosi perdagangan. 

    “Perjanjian seperti IEU-CEPA hanya akan berdampak nyata jika diikuti oleh aktivasi pasar. Tanpa aktivasi kelembagaan di lapangan, tarif 0% tidak akan otomatis meningkatkan ekspor,” pungkasnya. 

  • Ekonom Sebut Uni Eropa Bisa Jadi Pasar Lebih Menjanjikan Daripada AS

    Ekonom Sebut Uni Eropa Bisa Jadi Pasar Lebih Menjanjikan Daripada AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menyebut Uni Eropa adalah pasar yang lebih menjanjikan dibandingkan Amerika Serikat (AS), terutama dengan adanya perjanjian dagang Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU—CEPA).

    Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyebut sebagai mitra dagang, Uni Eropa mengantongi permintaan yang lebih tinggi dan potensi yang lebih menjanjikan daripada Negeri Paman Sam.

    “Uni Eropa merupakan pasar yang sangat potensial bagi Indonesia, bahkan lebih menjanjikan daripada AS,” kata Wijayanto kepada Bisnis.com, Minggu (13/7/2025).

    Terlebih, Wijayanto menilai perjanjian IEU—CEPA hadir pada saat Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia.

    Senada, Trump juga mengenakan tarif tinggi untuk Uni Eropa, yakni sebesar 30%. Untuk itu, dia memperkirakan nilai perdagangan Indonesia dan Uni Eropa akan melonjak.

    “Nilai perdagangan Indonesia dan Uni Eropa akan meningkat pesat, karena selama ini terhambat oleh tarif yang tinggi sehingga produk kita kalah bersaing dari produk negara lain seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand,” ujarnya.

    Adapun, Wijayanto menuturkan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya hingga tekstil dan produk tekstil dari Indonesia berpeluang meluas ke pasar Eropa. Pasalnya, dia menilai permintaan sederet produk tersebut akan melonjak di pasar Eropa.

    “CPO dan produk turunannya, tekstil dan produk tekstil, sepatu, elektronik, dan produk perhiasan atau kerajinan. Demand produk tersebut dari Uni Eropa sangat tinggi, sedangkan Indonesia merupakan produsen yang kompetitif,” tuturnya.

    Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan perjanjian IEU—CEPA bukan hanya sekadar meningkatkan kinerja perdagangan kedua negara, melainkan juga mendorong agar investasi Eropa masuk ke Indonesia.

    “Tentunya goals-nya itu [dari IEU—CEPA] menurut saya bukan hanya dari sektor perdagangan saja, tetapi bagaimana kita bisa mendorong agar investasi dari Eropa itu bisa masuk ke Indonesia,” ujar Andry.

    Untuk itu, dia berharap sederet perusahaan yang bergerak di bidang maupun sektor kimia dan farmasi, teknologi tinggi, dan energi terbarukan bisa masuk ke Tanah Air. Apalagi, menurut Andry, Eropa juga berminat jika diberikan kesempatan untuk berinvestasi di sektor tersebut.

    “Jadi bagaimana kita bisa mendorong agar penggunaan sumber-sumber energi terbarukan ini semakin banyak dan banyak di antaranya itu berasal dari Eropa,” ujarnya.

    Indef juga berharap dengan produk asal Indonesia bisan masuk ke pasar Eropa dengan harga yang kompetitif tanpa adanya bea masuk seiring adanya perjanjian IEU—CEPA, termasuk CPO dan produk turunannya. Sebab, selama ini produk yang menjadi komoditas unggulan Indonesia ini sulit menembus pasar Eropa.

    “Menurut saya produk-produk yang berbahan baku sawit rasa-rasanya jadi salah satu produk yang kita dorong untuk masuk ke pasar Eropa karena selama ini kan sulit untuk produk-produk CPO kita masuk ke pasar Eropa,” tuturnya.

    Finalisasi IEU-CEPA

    Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut melalui perjanjian dagang IEU—CEPA, produk Indonesia yang akan masuk ke Eropa tidak akan dikenakan bea masuk alias tarif 0%.

    “Berarti antara Indonesia dan EU itu akan produk kita bisa masuk ke Eropa dengan tarif 0%,” kata Airlangga dalam keterangan pers dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (13/7/2025).

    Menko Airlangga mengungkap bahwa negosiasi perjanjian dagang IEU—CEPA telah memasuki tahun ke-10 dengan lebih dari 19 putaran. Namun, dia memastikan perundingan IEU—CEPA akan rampung dan segera ditandatangani Presiden.

    “IEU—CEPA ini kita sudah berunding masuk tahun ke-10, lebih dari 19 putaran. Namun seluruh isunya akan selesai. Dan ini tentu merupakan sebuah milestone baru di tengah situasi ketidakpastian,” ujarnya.

    Rencananya, Airlangga menuturkan bahwa perjanjian IEU—CEPA ini akan ditandatangani pada kuartal III/2025 di Jakarta. Sayangnya, dia enggan memberikan informasi lebih detail terkait jadwal penandatanganan IEU—CEPA.

    “Nanti akan ada penandatanganan di kuartal ke-3 tahun ini dan di Jakarta. Tapi kita tunggu pengumuman dari Presiden. Jadi kita tidak, tidak spill-spill,” katanya.

  • Ada IEU-CEPA, Indef Harap Arus Investasi Eropa Lebih Deras Masuk ke RI

    Ada IEU-CEPA, Indef Harap Arus Investasi Eropa Lebih Deras Masuk ke RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) berharap perjanjian Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU—CEPA) bisa menjadi pintu masuk Eropa menanamkan investasinya di Indonesia, termasuk investasi di sektor teknologi tinggi hingga energi terbarukan.

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan perjanjian IEU—CEPA bukan hanya sekadar meningkatkan kinerja perdagangan kedua negara, melainkan juga mendorong agar investasi Eropa masuk ke Indonesia.

    “Tentunya goals-nya itu [dari IEU—CEPA] menurut saya bukan hanya dari sektor perdagangan saja, tetapi bagaimana kita bisa mendorong agar investasi dari Eropa itu bisa masuk ke Indonesia,” kata Andry kepada Bisnis, Minggu (13/7/2025).

    Andry berharap sederet perusahaan yang bergerak di bidang maupun sektor kimia dan farmasi, teknologi tinggi, dan energi terbarukan bisa masuk ke Tanah Air. Apalagi, menurutnya, Eropa juga berminat jika diberikan kesempatan untuk berinvestasi di sektor tersebut.

    “Jadi, bagaimana kita bisa mendorong agar penggunaan sumber-sumber energi terbarukan ini semakin banyak dan banyak di antaranya itu berasal dari Eropa,” tuturnya.

    Selain itu, Andry juga berharap dengan produk asal Indonesia bisan masuk ke pasar Eropa dengan harga yang kompetitif tanpa adanya bea masuk seiring adanya perjanjian IEU—CEPA, termasuk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya.

    Pasalnya, sambung dia, selama ini produk CPO beserta turunannya asal Indonesia sulit menembus pasar Eropa.

    “Menurut saya produk-produk yang berbahan baku sawit rasa-rasanya jadi salah satu produk yang kita dorong untuk masuk ke pasar Eropa karena selama ini kan sulit untuk produk-produk CPO kita masuk ke pasar Eropa,” tuturnya.

    Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan sudah tak ada lagi substansi yang menjadi permasalahan dalam perundingan IEU—CEPA.

    Budi menerangkan bahwa dalam hal bernegosiasi, semua pihak melakukan tawar-menawar, termasuk Indonesia dan Uni Eropa. Namun, lanjut dia, terkadang untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan bukan sesuatu hal yang mudah.

    Kendati demikian, Budi memastikan semua substansi yang menjadi permasalahan dalam perundingan IEU—CEPA sudah selesai.

    “Semua sudah selesai, secara substansi sudah tidak ada masalah [terkait perundingan IEU-CEPA]. Jadi besok Presiden [Prabowo Subianto] tinggal mengumumkan. Jadi, enggak ada masalah,” ujar Budi dalam keterangan pers dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (13/7/2025).

    Untuk itu, Budi menyatakan Uni Eropa bisa menjadi pasar baru sekaligus pasar alternatif bagi Indonesia untuk memasarkan produk lebih luas. Hal ini sejalan dengan perundingan negosiasi IEU—CEPA yang telah rampung.

    “Dan ini alternatif baru buat pasar kita. Impor EU ke dunia kan US$6,6 triliun, kalau kita bandingkan Amerika US$3,3 something triliun. Jadi, kalau kita bisa masuk lebih besar ke EU, saya pikir ini pasar yang bagus buat kita untuk alternatif pasar-pasar di negara lain,” tuturnya.

    Ketika proses IEU—CEPA segera rampung, ungkap Budi, maka kebijakan produk bebas deforestasi alias European Deforestation Regulation (EUDR) yang berisiko menjadi hambatan rantai internasional akan mulai mereda. Sebabm menurutnya, Eropa akan menjalin kerja sama kemitraan dengan Indonesia ke depan.

    “Jadi nanti harapan kita, ini kita menyelesaikan EU—CEPA dulu yang lain itu sebenarnya sudah soft, sudah mulai melunak karena mereka juga tentu ingin bermitra dengan kita ke depannya,” imbuhnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan Presiden Prabowo akan menemui Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Dewan Eropa Antonio Costa untuk membahas perundingan IEU—CEPA.

    Menko Airlangga menuturkan, negosiasi perjanjian dagang IEU—CEPA telah memasuki tahun ke-10 alias satu dekade dengan lebih dari 19 putaran. Namun, dia memastikan perundingan IEU—CEPA akan rampung dan segera ditandatangani Presiden.

    “IEU—CEPA ini kita sudah berunding masuk tahun ke-10, lebih dari 19 putaran. Namun seluruh isunya akan selesai. Dan ini tentu merupakan sebuah milestone baru di tengah situasi ketidakpastian,” ujar Airlangga.

    Airlangga menyebut melalui perjanjian dagang ini, maka produk Indonesia yang akan masuk ke Eropa tidak akan dikenakan bea masuk alias tarif 0%. “Berarti antara Indonesia dan EU itu akan produk kita bisa masuk ke Eropa dengan tarif 0%,” ungkapnya.

    Adapun, Airlangga menuturkan bahwa rencananya perjanjian IEU—CEPA ini akan ditandatangani pada kuartal III/2025 di Jakarta. Sayangnya, dia enggan memberikan informasi lebih detail terkait jadwal penandatanganan IEU—CEPA.

    “Nanti akan ada penandatanganan di kuartal ke-3 tahun ini dan di Jakarta. Tapi kita tunggu pengumuman dari Presiden. Jadi kita tidak, tidak spill-spill,” tandasnya.

  • Produk Farmasi Kena Tarif Trump 200%, Indef: Sasarannya Bukan RI

    Produk Farmasi Kena Tarif Trump 200%, Indef: Sasarannya Bukan RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Indef memproyeksi rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengenakan tarif 200% terhadap impor produk farmasi tidak akan membuat Indonesia merugi secara signifikan. 

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef adalah Andry Satrio Nugroho mengatakan, kebijakan tarif tinggi tersebut menyasar ke produk farmasi yang berasal dari Irlandia. 

    “Kemungkinan akan menyasar ke negara seperti Irlandia ya, yang mana AS pada tahun 2024 mengimpor setara US$50,3 miliar dan negara-negara lain yang menyuplai produk-produk farmasi seperti Swiss, Jerman, bahkan Singapura dan India,” kata Andry kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025). 

    Untuk itu dia meyakini sasaran utama dari pengenaan tarif tersebut tidak menyasar ke Indonesia. Terlebih, ekspor produk farmasi Indonesia ke AS sangat minim. 

    Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor produk farmasi (HS 30) ke AS mencapai US$14.897 dengan volume 397 kg pada periode Januari-April 2025. 

    Secara nilai, angka tersebut naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$8.875, sedangkan secara volume lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 596 kg. 

    “Jadi, tentu kalau berbicara mengenai Indonesia, Indonesia sendiri menurut saya masih sedikit ya ekspor ke Amerika Serikat, bahkan banyak ekspor yang dilakukan oleh Indonesia itu mengarah kepada negara-negara tetangga atau negara Asia Tenggara,” jelasnya. 

    Adapun, ekspor produk farmasi Indonesia tahun lalu tercatat US$111 juta dengan negara tujuan terbesar ke India, Filipina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. 

    Kendati demikian, kebijakan Trump ini disebut dapat berdampak pada investasi AS di sektor farmasi global. Andry melihat cukup banyak investasi sektor farmasi AS di Indonesia. 

    “Hari ini produk-produk farmasi kita masih dipenuhi oleh produk-produk impor, harapannya sebetulnya kan investasi masuk dari manufaktur yang tentunya berasal dari Amerika Serikat,” tuturnya. 

    Jika diberlakukan pengenaan tarif 200%, Indonesia maupun negara lain dinilai akan kesulitan mendapatkan investasi dari perusahaan farmasi AS. 

    Diberitakan sebelumnya, Trump menyatakan akan memberi waktu sekitar 1 hingga 1,5 tahun agar produsen farmasi bisa memindahkan produksi mereka ke dalam negeri, sebelum memberlakukan tarif tinggi. 

    “Kami akan beri waktu sekitar setahun atau 1,5 tahun. Setelah itu, jika masih mengimpor obat-obatan dan produk terkait ke AS, mereka akan dikenakan tarif sangat tinggi, sekitar 200%. Kami beri masa transisi agar mereka bisa bersiap,” jelas Trump.

    Trump berulang kali menyebut produksi obat di luar negeri sebagai ancaman keamanan nasional dan mendorong perusahaan untuk merelokasi pabrik ke AS. Beberapa perusahaan farmasi telah menanggapi dengan mengumumkan investasi manufaktur bernilai miliaran dolar di AS. 

    Jika diberlakukan, tarif tersebut diprediksi akan sangat berdampak pada Irlandia—negara yang mencatat surplus perdagangan sebesar US$54 miliar dengan AS, sebagian besar berasal dari ekspor produk farmasi.  

    Irlandia menjadi basis produksi bagi perusahaan AS seperti Eli Lilly dan Pfizer, yang mengoperasikan hampir dua lusin fasilitas manufaktur untuk mengekspor ke AS, menurut analisis TD Cowen.

  • Darurat Rokok Ilegal, Bea Cukai Bentuk Satgas Nasional

    Darurat Rokok Ilegal, Bea Cukai Bentuk Satgas Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penindakan Barang Kena Cukai Ilegal sebagai upaya memperkuat pemberantasan rokok ilegal di Indonesia.

    Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Djaka Budhi Utama menjelaskan satuan tugas (satgas) itu merupakan langkah menciptakan ekosistem usaha yang sehat dan melindungi penerimaan negara dari kebocoran akibat peredaran rokok ilegal.

    “Satgas ini adalah bukti nyata komitmen pemerintah untuk memberantas peredaran rokok ilegal secara berkelanjutan,” ujar Djaka dalam konferensi pers di Malang, dikutip dari rilis media Bea Cukai, Rabu (9/7/2025).

    Dia menjelaskan satgas akan bergerak secara nasional, dengan mengedepankan operasi terpadu yang masif dan berdampak langsung terhadap potensi penerimaan negara. Bea Cukai, sambungnya, juga akan memperkuat koordinasi dengan TNI, Polri, aparat penegak hukum lainnya, hingga pemerintah daerah.

    Pembentukan satgas ini merupakan kelanjutan dari Operasi Gurita, operasi nasional Bea Cukai untuk memberantas rokok ilegal.

    Hingga 6 Juli 2025, Operasi Gurita telah mencatat: 4.214 kali penindakan, 195,4 juta batang rokok ilegal diamankan, 22 kasus naik ke tahap penyidikan, 11 surat tagihan cukai (STCK) senilai Rp1,2 miliar diterbitkan, 363 kasus penindakan ultimum remedium dengan potensi penerimaan negara Rp24,4 miliar.

    “Data ini membuktikan bahwa penindakan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Diperlukan sinergi lintas instansi untuk memutus rantai peredaran rokok ilegal dari hulu ke hilir,” kata Djaka.

    Djaka menegaskan, keberhasilan pemberantasan rokok ilegal tidak hanya bergantung pada aparat, tetapi juga pada kesadaran pelaku usaha dan masyarakat. 

    Cukai Tinggi Penyebab Rokok Ilegal?

    Adapun Kepala Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho meyakini maraknya rokok ilegal merupakan imbas dari cukai tinggi yang memicu harga rokok legal mahal.

    “Peningkatan rokok ilegal itu menjadi salah satu hal yang menurut saya justru meningkatkan risiko terhadap turunnya penerimaan dari cukai,” kata Andry kepada Bisnis, Rabu (18/6/2025).

    Untuk itu, dia mendukung moratorium atau penangguhan sementara kenaikan tarif cukai selama 2—3 tahun sebagai solusi untuk memperbaiki penerimaan negara yang dinilai tidak optimal dalam beberapa tahun terakhir.

    Usulan ini muncul seiring dengan kekhawatiran terhadap terus menurunnya efektivitas kebijakan cukai akibat meningkatnya peredaran rokok ilegal.

    “Pertama yang saya ingin tekankan adalah tentunya kita apresiasi kepada pemerintah yang sudah menerapkan cukai secara multi-year. Artinya perusahaan atau para pelaku industri dari tembakau ini bisa menghitung terkait dengan setoran cukai yang akan datang,” ujarnya. 

    Hanya saja, dia menyoroti bahwa kenaikan tarif cukai yang tinggi tidak serta merta mendongkrak penerimaan negara. Sebaliknya, tingginya tarif justru memperlebar selisih harga antara rokok legal dan ilegal, sehingga konsumen cenderung beralih ke produk tanpa cukai.

    Di sisi lain, kebijakan moratorium juga disebut dapat memberikan ruang bagi industri untuk beradaptasi dan kembali memperkuat fondasi usahanya. 

    Sementara itu, pemerintah bisa menggunakan waktu tersebut untuk mengevaluasi kebijakan cukai secara menyeluruh agar lebih seimbang antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri.

    “Kalau hanya dari sisi law enforcement pastinya akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Maka yang perlu digali adalah bagaimana dari sisi regulasi kebijakan cukainya itu sendiri, mencari titik tengah,” ujarnya.

    Apabila kebijakan saat ini terus berlanjut tanpa penyesuaian, dia memperingatkan bahwa bukan hanya penerimaan negara yang terancam hilang, tetapi juga penyerapan tenaga kerja dan dampak ekonomi di wilayah sentra industri tembakau.

  • Industri Padat Karya RI Terancam Babak Belur Imbas Tarif Trump 32%

    Industri Padat Karya RI Terancam Babak Belur Imbas Tarif Trump 32%

    Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut Indonesia bisa kehilangan pasar Amerika Serikat (AS) imbas pengenaan tarif resiprokal sebesar 32% dari Presiden AS Donald Trump.

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengkhawatirkan kebijakan Tarif Trump berdampak pada kinerja ekspor Indonesia ke AS. Imbasnya, Indonesia bisa kehilangan pangsa pasar di Negara Paman Sam.

    “Jika kita memang dikenakan tarif resiprokal tetap 32%, lalu Trump benar mengatakan bahwa akan mengenakan tambahan 10% untuk negara-negara BRICS, tentu saja Indonesia kehilangan pasar dari Amerika Serikat,” kata Andry kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025).

    Apalagi, dia mengungkap dampak tarif resiprokal 32% ini bisa mempengaruhi kinerja industri padat karya yang banyak mengekspor ke AS, seperti tekstil, alas kaki, elektronik ringan, industri perikanan, karet, hingga furniture.

    Menurutnya, pemerintah harus segera memberikan stimulus atau insentif tambahan kepada industri-industri yang terdampak. Serta, melakukan diversifikasi ekspor melalui misi dagang, terutama BRICS.

    “Kementerian Perdagangan harus membawa sejumlah pengusaha yang memang terdampak atau pelaku usaha yang terdampak ke negara-negara yang potensial kita bisa bekerja sama dengan mereka, dan dorongan yang cukup kuat adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan pasar dari BRICS,” ujarnya.

    Sebab, lanjut dia, BRICS memiliki total perdagangan yang cukup besar dibandingkan negara lain, yakni dengan kinerja ekspor dan impor sebesar 20% dari pangsa ekspor dan impor dunia.

    Selain itu, Andry menuturkan bahwa pemerintah juga perlu menjajaki pasar di Timur Tengah, Amerika Selatan, dan Eropa. Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah segera melakukan diversifikasi ekspor lantaran membutuhkan waktu yang cukup panjang.

    “Kalau kita melakukan diversifikasi tanpa adanya proses akselerasi melalui kerja sama dengan mitra dagang, melalui misi dagang juga antara pemerintah dan juga pengusaha yang terdampak,” terangnya.

    Di samping itu, dia menuturkan bahwa pemerintah harus segera melakukan upaya mitigasi, terutama mengamankan dan memasarkan pasar domestik di tengah penurunan daya beli masyarakat.

    “Karena tentunya negara-negara yang terdampak [tarif Trump] pasti akan mengirimkan produk-produknya ke Indonesia, karena dirasa cukup mudah untuk memasarkan produk mereka di Indonesia,” ungkapnya.

    Pasalnya, Andry mengkhawatirkan jika pemerintah terlambat mengangtisipasi tarif Trump, justru akan berdampak pada melonjaknya angka pengangguran di Tanah Air.

    “Jika terlambat menurut saya ancaman pengangguran ini akan semakin nyata. Ini menurut saya hal yang harus segera dilakukan dengan cepat,” pungkasnya.

    Sebagai gambaran, AS menjadi penyumbang surplus tertinggi ke perdagangan Indonesia, yakni sebesar US$7,08 miliar pada Januari—Mei 2025. AS berhasil menggeser posisi India yang selama ini berada di urutan pertama bagi perdagangan Indonesia.

    Sejak 2020–2024, neraca perdagangan Indonesia dengan AS terus menorehkan surplus di kisaran US$10 miliar—US$16,6 miliar dengan tren pertumbuhan surplus sebesar 5,32%.

    Pada Januari—Desember 2024, surplus neraca perdagangan dengan AS tercatat sebesar US$14,34 miliar. Pada periode itu, Negara Paman Sam menempati posisi kedua penyumbang surplus terbesar bagi Indonesia.

    Pada 2024, AS menjadi negara tujuan ekspor utama nomor kedua bagi Indonesia dengan pangsa sebesar 9,94% atau senilai US$26,3 miliar. Di sisi lain, untuk negara asal impor, AS merupakan negara pemasok utama keempat bagi Indonesia dengan pangsa sebesar 5,12% atau senilai US$12 miliar.

  • Elektrifikasi Diyakini Perkuat Ekonomi Nasional di Tengah Gejolak Energi

    Elektrifikasi Diyakini Perkuat Ekonomi Nasional di Tengah Gejolak Energi

    Jakarta

    Sektor ketenagalistrikan dinilai menjadi solusi strategis bagi Indonesia untuk memperkuat ketahanan energi nasional di tengah gejolak pasokan energi global.

    Institute for Development of Economics & Finance (Indef) menyebut elektrifikasi lintas sektor bisa mengurangi ketergantungan impor BBM sekaligus mendorong investasi energi bersih.

    “Sektor ketenagalistrikan bisa menjadi solusi Indonesia dari ketergantungan terhadap impor BBM. Terutama dari kawasan Timur Tengah yang penuh konflik, menimbulkan risiko tinggi terhadap pasokan dan fluktuasi harga energi,” kata Direktur Indef Imaduddin Abdullah di Jakarta, Senin (7/7/2025).

    Imaduddin menjelaskan, rendahnya kapasitas produksi minyak dalam negeri dan depresiasi Rupiah kian memperberat ketergantungan pada energi impor, sehingga membuat sistem energi nasional rentan.

    “Produksi minyak tidak mampu mengimbangi kebutuhan energi domestik. Kombinasi masalah tersebut menciptakan kerentanan bagi sistem energi nasional,” ujarnya.

    Menurut dia, pemerintah perlu serius mendorong diversifikasi sumber energi dengan fokus pada pengembangan ketenagalistrikan. Langkah elektrifikasi di sektor industri, transportasi, hingga rumah tangga diyakini bisa menciptakan efek domino positif bagi perekonomian dan lingkungan.

    “Ketika konsumsi listrik meningkat secara signifikan, hal itu mampu menciptakan efek domino positif, mulai dari peningkatan investasi pada energi terbarukan hingga terbentuknya ekosistem energi yang tangguh dan berkelanjutan,” kata Imaduddin.

    Ia menambahkan, meningkatnya permintaan listrik akibat elektrifikasi menjadi daya tarik bagi investor untuk masuk ke sektor energi bersih dan modern. Dengan begitu, elektrifikasi tidak hanya menjawab tantangan jangka pendek, tetapi juga membuka jalan menuju masa depan energi nasional yang lebih aman dan kompetitif.

    “Optimalisasi ketenagalistrikan tak hanya memperkuat fondasi energi nasional, tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan memperbesar daya saing Indonesia di kancah global,” pungkasnya.

    (rrd/rir)

  • Pertaruhan Kinerja Manufaktur Hadapi Gejolak Perang Dagang & Geopolitik

    Pertaruhan Kinerja Manufaktur Hadapi Gejolak Perang Dagang & Geopolitik

    Bisnis.com, JAKARTA — Produktivitas manufaktur nasional dipertaruhkan di tengah ketidakpastian kondisi perekonomian dan geopolitik global. Sebab, industri pengolahan rentan dalam menghadapi ketegangan konflik perdagangan maupun perang di Timur Tengah.

    Kerentanan ini juga tercerminkan dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang terkontraksi 3 bulan beruntun. Terbaru, pada Juni 2025, level PMI kembalii terperosok ke level 46,9 atau turun dari Mei 2025 di level 47,4 dan April di angka 46,7.

    Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, dampak tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia sebesar 32% dapat menekan kinerja ekspor produk lokal hingga 2,83%.

    “Tetapi kita memiliki peluang beberapa komoditas, misalnya peralatan utilitas kendaraan bermotor, pertambangan, itu positif, tetapi tekstil, komputer, alas kaki, logam, peralatan listrik, itu negatif,” kata Tauhid dalam KTT Indef 2025, Rabu (2/7/2025).

    Komoditas yang kinerja ekspornya diproyeksi masih tumbuh tersebut lantaran memiliki daya saing yang masih kuat untuk berkompetisi dengan negara lain yang dikenai tarif jauh lebih tinggi.

    Dalam laporan Indef, ekspor komoditas peralatan transportasi dan lainnya diproyeksi masih tumbuh 12%, utilitas dan komunikasi 5%, kendaraan bermotor dan suku cadang 5%, pertambangan 4,2%, dan lainnya.

    Sementara itu, Tauhid memperkirakan ekspor logam besi dan baja terkontraksi hingga 1,47%, pengolahan makanan 2,81%, sektor kehutanan 5,41%, produk kimia 9%, tekstil dan produk pakaian 9,16%, dan peralatan listrik 13%.

    “Sedangkan porsi kita ekspor maupun impor ke kawasan Timur Tengah itu relatif kecil ya 4,6% dan 4,1%. Ini yang memberikan efek dari perang dari Iran-Israel kecil dengan asumsi harga komoditas energi tidak melampaui batas APBN,” jelasnya.

    Kendati demikian, Kementerian Perindustrian mulai mengantisipasi risiko dari kebijakan tarif Trump dan ancaman eskalasi peran Iran dan Israel terhadap industri manufaktur nasional.

    Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza mengatakan, eskalasi konflik Timur Tengah dan ancaman penutupan Selat Hormuz sebagai jalur distribusi pasokan energi sangat memengaruhi produksi industri.

    “Kondisi inilah yang mengancam juga kelangsungan industri nasional kita, seperti industri padat karya, tekstil, elektronik rumah tangga, hingga komponen otomotif yang saat ini sedang menghadapi penurunan permintaan ekspor,” jelasnya dalam RDP Komisi VII DPR RI, Rabu (2/7/2025).

    Tak hanya kinerja ekspor yang terganggu, sentimen pasar global dan ketidakpastian perdagangan ini juga memengaruhi keputusan investasi. Dia menyebutkan, terdapat investasi senilai Rp1 triliun yang masih tertahan, serta utilitas produksi dan stabilitas tenaga kerja yang terganggu.

    Ancaman Terhadap Pasar Domestik

    Dalam hal ini, Faisol mewanti-wanti fenomena trade diversion atau pengalihan perdagangan yang dilakukan banyak negara dari AS ke pasar yang lebih mudah diakses, termasuk Indonesia.

    Untuk diketahui, AS merupakan pasar utama dari tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki Indonesia dengan pangsa pasar masing-masing sebesar 40,6% dan 34,2% pada 2024. Artinya, nyaris setengah dari ekspor TPT dan sepertiga ekspor alas kaki bergantung pada permintaan AS. Adapun, 95% ekspor TPT ke AS merupakan produk pakaian jadi yang merupakan industri padat karya.

    “Posisi ini mencerminkan bahwa produk TPT dan alas kaki Indonesia memiliki daya saing global. Namun, rentan karena perubahan peta pasokan global yang dipicu ketegangan geopolitik dan tarif masing-masing negara,” jelasnya.

    Di sisi lain, Faisol melihat pangsa pasar China di AS mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2020, produk TPT China masih menguasai pasar AS hingga 38,4%. Namun, pada 2024 hanya dapat mencapai 25,6%.

    Hal serupa juga terjadi pada produk alas kaki, di mana pangsa pasar China di AS turun dari 42% pada 2020 menjadi 36,1% pada tahun lalu. Kondisi ini yang membuat pemerintah mewaspadai adanya potensi dumping produk China ke Indonesia.

    Apalagi, terdapat kondisi peningkatan nilai impor TPT dari China ke Indonesia yang mencapai 8,84%, sedangkan impor produk alas kaki naik melonjak hingga 30,89% pada Januari hingga April 2025.

    Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) impor produk tekstil (HS 60-63) dari China ke Indonesia tercatat senilai US$834 juta pada Januari-April 2025 atau meningkat dari periode yang sama tahun lalu senilai US$309,7 juta.

    Hal serupa juga terjadi pada produk alas kaki (HS 64) yang nilai impornya dari China tercatat mencapai US$199,4 juta pada Januari-April 2025 atau meningkat dari periode yang sama tahun lalu senilai US$152,36 juta.

    “Oleh karena itu pemerintah perlu mengambil langkah strategis melindungi pasar domestik sekaligus memanfaatkan peluang expands to export yang terbuka di pasar global,” jelasnya.

    Tak hanya TPT dan alas kaki, Faisol juga menyoroti produk dari sektor industri agro, yang juga merupakan industri padat karya, saat ini terdapat indikasi adanya pengalihan pasar produk China dari Amerika.

    Pada Januari-April 2025, terlihat bahwa ekspor produk agro China ke Amerika turun sebesar US$1,17 miliar atau sekitar 7%. Sementara itu, pada saat yang sama Indonesia justru mencatat lonjakan impor produk agro dari China sebesar US$477.000 meningkat sekitar 30%.

    “Sekurang-kurangnya terdapat tujuh pos HS yang menunjukkan kenaikan impor yang signifikan. Mulai dari HS23 yaitu limbah industri makanan dan pakan ternak naik sekitar 11%, HS03 ikan dan krustasea, dan HS18 kakao dan olahan melonjak impornya lebih dari 100%. Lonjakan tertinggi terjadi pada produk perikanan yaitu sekitar 105,4%,” jelasnya.

    Di sisi lain, dampak kebijakan tarif yang diberlakukan Amerika berpotensi menimbulkan efek trade diversion ataupun dumping produk baja dan aluminium dari China ke pasar lain termasuk Indonesia.

    Apalagi, AS secara khusus menetapkan tarif impor produk baja dan aluminium yang semula 25% menjadi 50% sejak 4 Juni 2025. Peningkatan tarif ini secara spesifik diterapkan terhadap produk baja yang tercakup HS 73 produk aluminium (HS 76).

    Di satu sisi, secara proporsi ekspor produk baja Indonesia ke Amerika memang hanya 0,6%, sementara ekspor aluminium 0,54%. Hal ini menunjukkan bahwa produk ini bukan merupakan produk unggulan dari Indonesia ke Amerika.

    Ekspor baja Indonesia justru lebih dominan ke Australia yang porsinya mencapai 48,20% jauh lebih tinggi dibanding ke Amerika. Sementara itu, untuk aluminium, China menjadi tujuan utama ekspor Indonesia yang share-nya mencapai 32,20% kemudian baru diikuti oleh Amerika.

    “Ini yang mengkhawatirkan kita mengingat Indonesia memiliki ketergantungan impor baja dan aluminium yang tinggi terutama dari China,” imbuhnya.

    Adapun, impor baja Indonesia dari China mencapai 51,40% dengan nilai sekitar US$2,17 miliar dan impor aluminium dari China sebesar 46,10% atau sekitar US$1 miliar.

    “Tentu, kita harus mitigasi dengan monitoring secara intensif perkembangan perdagangan produk baja dan aluminium di border kita. Langkah ini bertujuan untuk mengantisipasi dan merespon secara cepat jika terjadi lonjakan impor yang tidak wajar melalui mekanisme anti-dumping maupun safeguard demi melindungi industri dalam negeri,” tegasnya.

    Industri Berbenah

    Tak hanya perlindungan pasar, industri nasional perlu mempersiapkan diri menghadapi berbagai guncangan konflik geopolitik saat ini. Meski mulai mereda, risiko eskalasi perang Timur Tengah tetap harus diantisipasi.

  • Ekonom Ingatkan Risiko Penggunaan Saldo Anggaran Lebih untuk Tutup Defisit APBN 2025

    Ekonom Ingatkan Risiko Penggunaan Saldo Anggaran Lebih untuk Tutup Defisit APBN 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih atau SAL sebesar Rp85,6 triliun untuk pembiayaan defisit APBN 2025 yang melebar dinilai memiliki dampak negatif jangka panjang. Meski demikian, langkah itu juga dinilai strategis untuk keberlanjutan fiskal jangka pendek.

    Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai bahwa penggunaan SAL menjadi pilihan pragmatis untuk menghindari tambahan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), terutama di tengah tekanan defisit fiskal yang melebar serta penurunan penerimaan pajak pada awal tahun 

    “Dalam kondisi volatilitas pasar global dan tingginya cost of fund [beban bunga dana], pemanfaatan SAL ini memang dapat menahan tekanan yield obligasi dan menjaga kredibilitas fiskal dalam jangka pendek,” ujar Rizal kepada Bisnis, Kamis (3/7/2025).

    Meskipun efektif secara jangka pendek, Rizal menekankan bahwa penggunaan SAL tidak bisa terus-menerus dijadikan katup pengaman untuk menutup defisit fiskal. Data Kementerian Keuangan menunjukkan sebagian besar SAL berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) kementerian/lembaga yang mencerminkan lemahnya penyerapan anggaran, bukan efisiensi belanja.

    “Jika akumulasi SAL ini mayoritas berasal dari belanja modal atau belanja produktif yang tertunda, maka pemanfaatannya justru berisiko menunda multiplier effect yang sangat dibutuhkan dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional,” jelasnya.

    Oleh sebab itu, dia mengingatkan pemerintah agar pemanfaatan SAL dibarengi dengan upaya perbaikan struktural yang konkret. Seharusnya, sambung Rizal, fokus utama pemerintah bukan sekadar menutup defisit melainkan perbaikan kualitas perencanaan dan efektivitas belanja negara.

    Pengajar di Universitas Trilogi Jakarta ini juga mendorong pemerintah untuk tetap fokus pada reformasi penerimaan negara dan perbaikan desain belanja agar APBN lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan

    “Transparansi penggunaan SAL, penguatan tata kelola fiskal, serta evaluasi program kementerian/lembaga yang selama ini menciptakan SiLPA struktural perlu menjadi syarat utama. Jangan sampai SAL menjadi preseden buruk yang justru melemahkan agenda konsolidasi fiskal,” tutupnya.

    Sementara itu, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai penggunaan SAL bisa menjadi opsi yang bijak di tengah kondisi pasar keuangan global yang penuh ketidakpastian.

    Dia melihat pemanfaatan SAL justru bisa menjadi solusi di tengah tingginya biaya pendanaan (cost of fund) akibat kenaikan imbal hasil (yield) di pasar obligasi global.

    “Penerbitan utang baru memang agak mahal sekarang, karena yield sedang tinggi. Sementara SAL itu bisa digunakan at no cost, jadi ini opsi yang baik,” kata Riefky kepada Bisnis, Kamis (3/7/2025).

    Di samping itu, Riefky mengingatkan pemerintah tetap perlu berhati-hati dalam menentukan besaran penggunaan SAL. Pasalnya, pemerintah juga perlu menjaga likuiditas kas negara secara berkelanjutan atau jangka panjang.

    “Pemerintah tetap harus menjaga cash flow agar tidak terjadi masalah likuiditas di kemudian hari,” tuturnya.

    DPR Setujui Penggunaan SAL

    Adapun, Badan Anggaran (Banggar) DPR menyetujui rencana pemerintah untuk memanfaatkan SAL senilai Rp85,6 triliun pada 2025. Persetujuan ini diberikan sebagai bagian dari strategi pembiayaan APBN 2025 yang dihadapkan pada pelebaran defisit fiskal.

    Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Wihadi Wiyanto menyampaikan bahwa pemanfaatan SAL tersebut akan digunakan untuk mengurangi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), memenuhi kewajiban pemerintah, serta menutup belanja prioritas dan defisit anggaran.

    “Sampai dengan akhir 2025, realisasi pembiayaan anggaran diperkirakan mencapai Rp662 triliun. Di dalamnya termasuk pemanfaatan SAL sebesar Rp85,6 triliun,” ujar Wihadi dalam rapat pembacaan hasil pembahasan Outlook APBN 2025 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (3/7/20245).

    Berdasarkan kesepakatan DPR dan pemerintah, defisit APBN 2025 hingga akhir tahun ditetapkan mencapai Rp662 triliun atau sekitar 2,78% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Outlook itu lebih tinggi dari target defisit anggaran yang sudah ditetapkan dalam UU APBN 2025 yaitu sebesar Rp616,2 triliun atau setara 2,53% dari PDB.

    Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan terima kasih atas persetujuan pelebaran defisit APBN 2025 anggaran menjadi 2,78% dari PDB, termasuk penggunaan SAL dalam mendanai pelebaran defisit tersebut.

    “Ini diharapkan dapat menjadi pendukung dari berbagai program-program pemerintah dan sekaligus melakukan counter cyclical terhadap ekonomi yang mendapatkan tekanan dari perekonomian global,” ujar Sri Mulyani pada kesempatan yang sama.

    Usai rapat, bendahara negara itu belum bisa memastikan apakah SAL sebesar Rp85,6 triliun yang telah disetujui pemanfaatannya akan digunakan semua. Dia hanya menekankan bahwa penggunaan SAL akan tergantung dari realisasi defisit.

    “Tergantung dari defisitnya yang akan terjadi, tapi paling tidak sudah mendapat persetujuan sehingga kita bisa punya pilihan nanti ya,” ungkap Sri Mulyani.

  • Dikejar Tenggat Tarif Trump, Mendag: Kalau Bisa RI Tak Kena Tarif

    Dikejar Tenggat Tarif Trump, Mendag: Kalau Bisa RI Tak Kena Tarif

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) berharap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tidak mengenakan tarif resiprokal terhadap Indonesia. Hal ini mengingat penundaan tenggat tarif akan berakhir pada 9 Juli mendatang.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyebut, pengenaan tarif resiprokal AS terhadap semua negara, termasuk Indonesia ditiadakan alias tarif impor 0%.

    “Ya kalau perlu nggak ada tarif impor dari sana [AS]. Kalau perlu kan. Ya penginnya kan begitu kan, hapus semua. Jadi kita cari yang adil lah ya nanti,” kata Budi saat ditemui di Jakarta, Kamis (3/7/2025).

    Meski begitu, Budi mengaku bahwa hingga saat ini pemerintah masih menunggu keputusan akhir tarif resiprokal dari AS.

    “Kita kan sudah waktu datang pertama pun kita juga sudah ngasih posisi kita seperti apa. Jadi kita masih menunggu juga kesepakatan dengan Amerika,” ujarnya.

    Untuk itu, dia berharap hasil negosiasi tarif AS—Indonesia segera rampung dalam waktu dekat.

    “Ya secepatnya, tapi kan kita juga harus bareng-bareng. Kita juga nunggu juga dari Amerika. Tapi mudah-mudahan sih ya cepat selesai, mudah-mudahan,” imbuhnya.

    Untuk diketahui, pada 2 April 2025, Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif resiprokal kepada Indonesia sebesar 32%, lantaran Indonesia dianggap menghambat laju perdagangan AS, yakni penerapan tarif sepihak (tidak timbal balik), TKDN, sistem perizinan impor kompleks, dan devisa hasil ekspor (DHE).

    Selanjutnya, pada 9 April 2025, AS menangguhkan pengenaan tarif resiprokal selama 90 hari untuk 56 negara mitra, termasuk Indonesia. Kemudian, pada 4 Juni 2025, Presiden AS menggandakan tarif sektoral (baja, aluminium, dan produk turunannya) menjadi 50% untuk semua negara, kecuali Inggris.

    Sebelumnya, Mendag Budi mengungkap jalur diplomasi merupakan salah satu strategi pemerintah dalam menghadapi tarif resiprokal AS.

    “Kita sebenarnya sudah mempersiapkan tim negosiasi kita, artinya ada di kedutaan. Jadi kadang-kadang Amerika ini kan cepat sekali berubah. Sehingga kita harus antisipasi kalau ada perubahan ya kita sudah siap,” ungkap Budi dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, dikutip pada Kamis (3/7/2025).

    Adapun, diplomasi ini dilakukan bersamaan dengan proses deregulasi kebijakan impor dan kebijakan dalam mendorong ekspor. Kemudian strategi kedua Indonesia dalam menghadapi tarif resiprokal adalah melalui pengalihan pasar ekspor.

    Budi menjelaskan Kemendag terus mendorong penyelesaian perundingan kerja sama perdagangan seperti Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU—CEPA), Indonesia—Eurasian Economic Union (I—EAEU) CEPA, I-Peru CEPA, Indonesia—Tunisia Preferential Trade Agreement (Indonesia—Tunisia PTA) sebagai upaya melakukan diversifikasi sekaligus pengalihan pangsa ekspor Indonesia.

    Kemendag juga mempercepat proses ratifikasi Indonesia-Canada CEPA dan Indonesia-Iran PTA sebagai upaya untuk mempercepat pemanfaatan preferensi oleh pelaku usaha nasional.

    “Pasar ekspor kita banyak di negara lain dan salah satu caranya adalah bagaimana kita mempercepat proses negosiasi perjanjian dagang kita dengan negara lain atau kawasan lain. Itu yang kita lakukan dan tahun ini banyak progres yang bisa kita lakukan,” ungkap.

    Kemudian yang ketiga, antisipasi limpahan barang impor. Dalam hal ini, pemerintah mengoptimalkan pemanfaatan mekanisme tindakan pengamanan perdagangan (trade remedies) WTO berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), serta memperketat mekanisme pengawasan lalu lintas ekspor impor barang di seluruh pintu masuk kepabeanan.

    Selain itu, Kemendag juga akan meningkatkan pengawasan peredaran barang di pasar domestik (post border). “Jangan sampai ketika barang itu tidak bisa diterima di Amerika, kemudian masuknya ke Indonesia,” ungkapnya.

    Selanjutnya, strategi keempat adalah evaluasi perjanjian perdagangan. Budi menjelaskan, pemerintah melakukan evaluasi setiap perjanjian perdagangan yang sudah terimplementasi untuk mendapatkan outputterbaik bagi perdagangan internasional.

    “Kita tentu tidak hanya sekadar membuat perjanjian dagang yang baru, tetapi kita itu sudah ada 19 perjanjian dagang yang sudah implementasi, 10 [perjanjian dagang] yang sedang proses ratifikasi, dan 16 yang sedang dirundingkan,” ujarnya.

    Budi menerangkan bahwa perjanjian dagang harus saling menguntungkan kedua belah pihak. Artinya proses neraca perdagangan antara kedua negara harus seimbang, tetapi saling menguntungkan.