NGO: INDEF

  • Percepatan investasi hilirisasi selaras dengan pembukaan pasar baru

    Percepatan investasi hilirisasi selaras dengan pembukaan pasar baru

    Kalau itu bisa dioptimalkan maka memang punya dampak ke perekonomian, karena nilai tambahnya tinggi dan pada saat yang sama Pak Prabowo proaktif membuka pasar-pasar baru…

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan percepatan investasi proyek hilirisasi sebesar 38 miliar dolar Amerika Serikat (AS) selaras dengan pembukaan pasar-pasar baru di level global oleh Presiden RI Prabowo Subianto.

    “Kalau itu bisa dioptimalkan maka memang punya dampak ke perekonomian, karena nilai tambahnya tinggi dan pada saat yang sama Pak Prabowo proaktif membuka pasar-pasar baru dengan perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), lalu bergabung dengan BRICS, serta kemungkinan juga ke ASEAN,” ujar Eko saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

    Menurut dia, peluang yang muncul secara bersamaan ini harus segera dimanfaatkan, agar produk-produk hilirisasi Indonesia dapat masuk ke pasar-pasar baru tersebut.

    “Jadi peluang yang secara bersama ini harus dimanfaatkan, dan menurut saya produk hilirisasi harus masuk ke pasar-pasar itu nanti. Untuk kita bisa memastikan pertumbuhan yang lebih baik,” katanya pula.

    Dalam rangka mendorong hilirisasi, maka dibutuhkan dukungan yang cukup agar hilirisasi jika dilakukan dengan tata kelola yang baik dapat meningkatkan nila tambah.

    “Sehingga memang harus dipercepat, dan komoditas yang mau dihilirisasikan juga cukup banyak yang mana ada puluhan dari target pemerintah tidak hanya yang mineral kritis ya atau non-renewable, tapi yang juga yang bisa diperbarui seperti hasil-hasil pangan, kelautan, dan sebagainya,” kata Eko.

    Presiden Prabowo Subianto mengatakan pemerintah mempercepat berbagai proyek hilirisasi dengan nilai investasi sebesar 38 miliar dolar AS pada 2026.

    “Berbagai proyek hilirisasi dengan nilai investasi sekitar 38 miliar dolar akan kita percepat,” kata Presiden Prabowo dalam Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangannya, di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Kepala Negara menyampaikan proyek hilirisasi ini mencakup berbagai sektor, termasuk pertambangan mineral, hilirisasi batu bara, pertanian, perikanan, serta energi baru dan terbarukan (EBT).

    Lebih lanjut, Presiden Prabowo mengatakan upaya percepatan investasi dan perdagangan global ini tidak lepas dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai katalis, serta kerja sama antara Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan pihak swasta.

    DPR RI menggelar Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2025-2026, di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.

    Dalam acara tersebut, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangannya.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom sebut Presiden sangat menekankan pentingnya swasembada pangan

    Ekonom sebut Presiden sangat menekankan pentingnya swasembada pangan

    Kalau saya melihat dari Nota Keuangan RAPBN 2026 yang disampaikan Pak Prabowo tadi, sangat terlihat bahwa fokus utamanya ke arah swasembada pangan.

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan Presiden Prabowo Subianto sangat menekankan pentingnya swasembada pangan pada tahun 2026.

    “Kalau saya melihat dari Nota Keuangan RAPBN 2026 yang disampaikan Pak Prabowo tadi, sangat terlihat bahwa fokus utamanya ke arah swasembada pangan,” ujar Eko saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

    Menurut dia, Presiden Prabowo tersebut menekankan pentingnya ketahanan pangan sebanyak dua kali, pertama dalam pidato kenegaraannya, lalu pada penyampaian RAPBN 2026 beserta Nota Keuangannya.

    “Jadi memang sepertinya untuk konteks Astacita, penekanan pada aspek swasembada pangan itu sangat ditekankan, terutama beras karena tadi menyangkut pupuk juga,” katanya lagi.

    Presiden Prabowo Subianto mengalokasikan anggaran sebesar Rp164,4 triliun untuk ketahanan pangan nasional, yang masuk dalam salah satu agenda prioritas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2026.

    “Secara keseluruhan Rp164,4 triliun akan kita alokasikan di tahun 2026 untuk penguatan ketahanan pangan nasional,” ujar Presiden Prabowo dalam Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangannya, di Gedung Nusantara Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat.

    Kepala Negara merinci dari total anggaran tersebut, sebesar Rp53,3 triliun bakal dipersiapkan untuk lumbung dan cadangan pangan.

    Lebih lanjut, pemerintah juga merencanakan 9,62 juta ton pupuk subsidi senilai Rp46,9 triliun, serta Rp22,7 triliun ditujukan sebagai dukungan untuk Bulog.

    DPR RI menggelar Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2025-2026, di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.

    Dalam acara tersebut, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangannya.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sidang Perdana Pembatalan Merek Arc’teryx ‘KW’ di Indonesia Dimulai

    Sidang Perdana Pembatalan Merek Arc’teryx ‘KW’ di Indonesia Dimulai

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemilik merek resmi Arc’teryx, Amer Sports Canada Inc., menghadiri sidang perdana gugatan terhadap perusahaan asal China yang secara tidak sah mendaftarkan merek Arc’teryx di Indonesia.

    Head of Legal Arc’teryx Equipment Cameron Clark mengatakan sidang gugatan tersebut menjadi tindak lanjut perusahaan setelah adanya toko tidak resmi Arc’teryx di Indonesia, 

    Dia menghargai bahwa proses persidangan resmi di Indonesia telah dimulai.

    “Tujuan utama kami adalah membatalkan pendaftaran tidak sah terhadap merek Arc’teryx oleh perusahaan asal China dan berharap mendapatkan keputusan positif yang akan membuka jalan bagi Amer Sports memasuki pasar Indonesia dengan produk resmi yang memenuhi standar tinggi kami,” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (13/8/2025).

    Cameron menambahkan bahwa upaya hukum ini tidak hanya bertujuan melindungi hak kekayaan intelektual milik Amer Sports, tetapi juga merupakan langkah penting untuk melindungi konsumen di Indonesia dari potensi peredaran produk-produk yang tidak resmi.

    “Ini adalah bentuk keseriusan perusahaan dalam memperjuangkan kepemilikan merek Arc’teryx di Indonesia,” imbuhnya.

    Dari perspektif ekonomi Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengatakan kasus ini dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap sistem perlindungan merek di Indonesia. 

    “Konsistensi dalam melindungi dan menegakkan hak kekayaan intelektual sangat penting untuk menjaga reputasi Indonesia sebagai negara yang ramah terhadap investasi dan bisnis global,” imbuhnya. 

    Terkait kasus ini, Arc’teryx mengimbau seluruh konsumen di Indonesia untuk tetap waspada dan selalu memverifikasi keaslian produk sebelum melakukan pembelian. Informasi mengenai toko resmi Arc’teryx dapat diakses di: http://stores.arcteryx.com

    Sebagai informasi, Arc’teryx adalah merek perlengkapan olahraga dan outdoor yang diproduksi oleh Arc’teryx Equipment, divisi dari Amer Sports Canada Inc. 

    Merek Arc’teryx sendiri pertama kali didaftarkan di Kanada pada 1992. Arc’teryx tidak pernah memberikan otorisasi distribusi, maupun menyediakan garansi untuk produk yang dijual di toko-toko yang beroperasi di Bali dan Jakarta itu. 

  • Industri Amankan Bahan Baku Meski Sinyal Kontraksi Manufaktur Berlanjut

    Industri Amankan Bahan Baku Meski Sinyal Kontraksi Manufaktur Berlanjut

    Bisnis.com, JAKARTA — Meski tren produktivitas manufaktur masih dalam fase kontraksi, pembelian bahan baku/penolong dan barang modal terus meningkat. Hal ini menunjukkan kesiagaan pelaku industri menghadapi tantangan usaha hingga akhir tahun.

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor bahan baku penolong naik juga mengalami kenaikan 2,56% yoy menjadi US$82,75 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$80,69 miliar.

    Tak hanya itu, impor barang modal pada Januari-Juni 2025 mencapai US$23 miliar atau melesat 20,90% (year-on-year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$19,03 miliar. 

    Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ariyo DP Irhamna mengatakan peningkatan impor bahan baku dan barang modal saat PMI manufaktur kontraksi mengindikasikan dua hal. 

    “Pertama, sebagian pelaku usaha melakukan front-loading impor untuk mengamankan stok di tengah ketidakpastian harga global dan kurs rupiah,” kata Ariyo kepada Bisnis, Selasa (12/8/2025). 

    Artinya, meski Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia terkontraksi 4 bulan beruntun, pengusaha secara hati-hati tetap mempersiapkan diri untuk ekspansi di tengah ketidakpastian global.

    Adapun, indeks kinerja manufaktur Indonesia menurut laporan S&P Global anjlok ke level 46,7 pada April 2025 dan masih berada di level kontraksi, yakni 49,2 pada Juli 2025.

    Kedua, Ariyo melihat sektor tertentu, seperti otomotif, makanan-minuman, dan elektronik masih tetap berinvestasi karena melihat peluang ekspor pasca penurunan tarif, meski secara keseluruhan ekspansi industri belum meluas. 

    “Artinya, pembelian barang modal belum sepenuhnya mencerminkan optimisme luas, melainkan strategi antisipatif,” tuturnya. 

    Dia pun memproyeksi pemulihan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia baru akan terjadi pada kuartal I atau kuartal II 2026. 

    Di satu sisi, industri makanan misalnya, masih optimistis di tengah penerapan tarif bea masuk ke AS. Impor bahan baku terus ditambah, tak hanya untuk mendongkrak produktivitas, namun juga sebagai langkah negosiasi dengan AS untuk menurunkan tarif resiprokal.

    Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) menegaskan komitmen impor biji gandum atau wheat grain dari Amerika Serikat (AS) untuk pabrik tepung RI yang akan berlangsung selama 5 tahun ke depan. 

    Komitmen impor biji gandum 1 juta ton per tahun senilai US$250 juta hingga 2030 disebut menjadi salah satu pemanis negosiasi tarif bea masuk ke AS yang diterapkan Presiden Donald Trump dari sebelumnya 32% menjadi 19%.

    Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies mengatakan, pihaknya telah menandatangani kesepakatan impor bijih gandum AS dengan US Wheat Associates beberapa waktu lalu. 

    paya kita membantu pemerintah untuk negosiasi tarif, kami sekarang ini komitmen untuk pabrik kecil untuk mengambil gandum Amerika kami commit 1 juta ton per tahun 2025-2030,” kata Ratna kepada Bisnis, belum lama ini. 

    Dalam catatan Aptindo, impor biji gandum atau wheat grain dari Amerika Serikat sebanyak 692.882 metrik ton pada 2024. Tahun depan, pihaknya akan membeli gandum AS sebanyak 1 juta metrik ton per tahun hingga lima tahun ke depan. 

    Dengan demikian, nilai transaksi pembelian biji gandum selama 5 tahun mendatang dari AS dapat mencapai US$1,25 miliar atau setara Rp20,2 triliun (kurs Rp16.216 per USD). 

    Namun, di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi mengatakan hingga saat ini kondisi industri tekstil masih sulit untuk ekspansi dan tidak ada perubahan signifikan terkait produksi. 

    “Sangat sulit saat ini untuk bersaing di dalam negeri. Kami head to head dengan produk China yang melakukan dumping atau predatory pricing,” kata Farhan kepada Bisnis, dihubungi terpisah.

    Dia melihat konsumsi masyarakat saat ini memang cenderung naik namun lebih memilih produk-produk yang murah di pasar. Kondisi tersebut yang mengganggu daya saing industri dalam negeri.

    “Saat ini kami juga masih habiskan stok kami. Pasar domestik saat ini sangat penuh dengan produk bahan baku impor,” jelasnya. 

  • Daerah Mulai Waswas Efisiensi Bikin Kas Cekak, Ekonomi Bakal Tertekan?

    Daerah Mulai Waswas Efisiensi Bikin Kas Cekak, Ekonomi Bakal Tertekan?

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah daerah mulai terimbas oleh kebijakan efisiensi belanja transfer ke daerah. Mereka mulai menyiapkan antisipasi untuk memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak berdampak negatif terhadap target-target pembangunan daerah. 

    Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel), misalnya, berharap kebijakan efisiensi dana transfer ke daerah di pemerintah pusat tidak memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan program daerah. 

    Kepala Bidang Perekonomian dan Pendanaan Pembangunan Bappeda Sumsel Hari Wibawa mengatakan mekanisme penahanan dana efisiensi di pusat diharapkan tidak menjadi penghambat akselerasi program prioritas di Bumi Sriwijaya. Terutama, kata dia, pada pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan penguatan layanan publik yang dimana saat ini dampak dari penundaan sebenarnya sudah mulai terasa.

    “Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memahami bahwa efisiensi TKD sesuai PMK 56/2025 bertujuan untuk memastikan anggaran digunakan secara tepat sasaran,” ujarnya, Senin (11/8/2025). 

    Terlebih, Hari menuturkan, Sumsel memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional. Hal itu dapat dilihat dari share PDRB Sumsel terhadap Pulau Sumatera yang sebesar 13,63%. Sehingga kelancaran transfer dana akan berdampak langsung pada sejumlah instrumen penting daerah. 

    “Mulai dari pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan daya saing daerah,” jelasnya. 

    Sebagai upaya dalam menghadapi efisiensi anggaran, imbuh Hari, Pemerintah Provinsi Sumsel telah melakukan beberapa langkah. Pertama, melakukan penguatan pendapatan asli daerah (PAD), dengan meningkatkan jumlah kendaraan bermotor yang membayar pajak. Kedua, pihaknya juga mengirimkan Surat Gubernur kepada pemerintah pusat untuk tetap menganggarkan atau melanjutkan proyek-proyek PSN yang telah ditetapkan di Sumsel. 

    “Fokusnya pada proyek yang memberi multiplier effect besar terhadap perekonomian daerah, seperti infrastruktur distribusi hasil pertanian dan energi,” jelasnya.

    DAK Fisik Jabar Berkurang Rp169 Miliar

    Pemerintah Provinsi Jawa Barat terdampak efisiensi anggaran yang beleidnya diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Beleid yang berlaku mulai 5 Agustus 2025 lalu, sejak awal menjadi bahan pembahasan dalam perancangan APBD Perubahan 2025 Provinsi Jawa Barat. Sekda Jabar Herman Suryatman mengatakan kepada Bisnis jika aturan tersebut memiliki dampak pada kementerian dan lembaga di tingkat Pusat.

    “Untuk daerah hanya berpengaruh pada Dana Transfer Daerah,” katanya, Senin (11/8/2025).

    Namun, diakui Herman, PMK 56/2025 tetap membawa dampak pada pengurangan anggaran ke Provinsi Jawa Barat. “Untuk Jawa Barat terkena dampak pengurangan DAK Fisik sebesar Rp169 miliar,” ujarnya.

    Adapun, pada Rancangan APBD perubahan Jabar 2025, Pemprov Jabar menargetkan  Pendapatan Daerah mengalami peningkatan semula sebesar Rp30,99 triliun menjadi sebesar Rp31,09 triliun atau bertambah sebesar Rp94,95 miliar, naik 0,31%. 

    Rinciannya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp19,31 triliun bertambah sebesar Rp64,42 miliar menjadi Rp19,37 triliun. Sedangkan Pendapatan Transfer yang semula Rp11,67 triliun bertambah sebesar Rp30,52 miliar menjadi Rp11,70 triliun, naik 0,26%. Sementara, Pendapatan Daerah lain-lain tidak mengalami perubahan yaitu Rp23,19 miliar.

    Risiko Ekonomi Tertekan 

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai langkah pemerintah pusat mencadangkan TKD hasil efisiensi dan tidak menyalurkannya ke daerah—sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (4) dan (5) PMK 56/2025—akan memukul belanja modal daerah.

    “Belajar dari enam bulan terakhir saat Inpres 1/2025 berlaku, pemotongan TKD sekitar Rp50 triliun, terutama pada DAK [Dana Alokasi Khusus] fisik, berdampak signifikan. Hampir setengah DAK fisik dipangkas dan itu sangat mengganggu proyek-proyek infrastruktur yang menjadi kewenangan daerah,” ujar Armand kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

    Menurutnya, DAK fisik memiliki peran ganda, yaitu mendorong pemerataan pembangunan dan pencapaian prioritas nasional, serta menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi lokal. Pemangkasan anggaran tersebut, lanjutnya, membuat daerah kehilangan daya dorong untuk menjalankan pembangunan sesuai kebutuhan masing-masing.

    KPPOD mencatat bahwa selain infrastruktur, efisiensi belanja juga memukul sektor jasa. Misalnya, larangan penggunaan anggaran untuk kegiatan di hotel berdampak pada industri perhotelan dan restoran di daerah, serta mengurangi penerimaan pajak daerah dari sektor tersebut.

    “Kalau aktivitas di hotel dan restoran berkurang, penerimaan dari pajak hotel dan restoran juga turun. Jadi efeknya berlapis,” ujar Armand.

    Sejalan, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman meyakini efisiensi TKD melalui penahanan pencairan dana akan berdampak langsung ke keterlambatan proyek infrastruktur daerah, pengurangan belanja modal, dan hilangnya potensi efek pengganda (multiplier effect) di sektor riil daerah.

    Menurut pengajar di Universitas Trilogi Jakarta itu, daerah dengan ketergantungan tinggi pada TKD seperti daerah tertinggal dan otonomi khusus akan merasakan kontraksi belanja publik yang signifikan.

    “Dalam jangka pendek, ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi regional, memperlambat penciptaan lapangan kerja, dan menurunkan daya beli. Dalam jangka panjang, ketertinggalan infrastruktur dan layanan publik bisa semakin lebar antarwilayah,” ungkap Rizal kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

  • Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025 Diragukan, Ekonom Indef Desak Transparansi

    Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025 Diragukan, Ekonom Indef Desak Transparansi

    Bisnis.com, JAKARTA — Keraguan data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2025 menjadi sorotan di kalangan ekonom. Salah satu lembaga riset, Indef, mendesak pemerintah untuk memberikan keterbukaan atau transparansi informasi publik guna menjaga kinerja makroekonomi. 

    Ekonom Indef Ariyo DP Irhamna mengatakan dalam konteks pengelolaan kebijakan dan kinerja ekonomi nasional, transparansi data publik tak hanya sebagai mandat moral dan konstitusional, melainkan fondasi utama dalam membangun kepercayaan pasar dan masyarakat.

    “Saya mendorong pemerintah, khususnya Presiden dan para Menteri, utamanya Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, dan Kepala BPS, untuk mengembalikan komitmen terhadap keterbukaan data dan transparansi informasi publik,” kata Ariyo dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (10/8/2025). 

    Dalam hal ini, dia juga menyoroti sejumlah paparan publik yang dilewatkan oleh pemerintah beberapa waktu terakhir. Menurut Ariyo, beberapa data penting terkait kinerja ekonomi dan kebijakan publik mengalami pengurangan intensitas publikasi.

    Misalnya, publikasi ‘APBN Kita’ yang sebelumnya dirilis rutin tiap bulan oleh Kementerian Keuangan sebagai instrumen akuntabilitas fiskal, namun belakangan tidak lagi diterbitkan sejak awal tahun.

    “Padahal, laporan tersebut memuat informasi strategis terkait belanja negara, defisit, dan realisasi pendapatan yang sangat diperlukan untuk analisis independen para akademisi, pengusaha, dan masyarakat luas,” tuturnya. 

    Tak hanya itu, data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sebelumnya dirilis secara berkala oleh Kementerian Ketenagakerjaan kini publikasinya mengalami kemunduran dalam hal waktu. 

    Menurut Ariyo, data tersebut sangat penting di tengah dinamika pasar tenaga kerja yang sensitif terhadap perubahan ekonomi dan teknologi.

    Kekhawatiran makin meningkat ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% (year-on-year) yang disebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan.

    Sebab, dia menilai mesin-mesin pertumbuhan seperti investasi dan ekspor terlihat masih belum sepenuhnya pulih. Sementara itu, konsumsi rumah tangga menunjukkan pelemahan yang konsisten dengan sinyal-sinyal tekanan daya beli masyarakat. 

    “Jika pemerintah memaksakan narasi positif tanpa dukungan data yang utuh dan kredibel, maka kepercayaan pasar dan publik justru bisa terguncang,” jelasnya. 

    Dia menekankan bahwa sejumlah ekonom dan akademisi memiliki kemampuan serta perangkat analitis untuk mendeteksi anomali atau manipulasi data. 

    Dengan keterbukaan dan publikasi data yang konsisten, pemerintah justru akan dapat masukan yang objektif dan berbasis bukti yang dibutuhkan dalam merumuskan dan mengevaluasi kebijakan publik secara berkelanjutan.

    Sebab, Ariyo menilai setiap pemerintahan, tanpa terkecuali, pasti memiliki blindspot terhadap efektivitas kebijakan maupun kondisi di lapangan, terlebih di negara seluas dan sekompleks Indonesia. 

    Dalam hal ini, transparansi data memungkinkan terjadinya dialog kebijakan yang sehat, dan pada akhirnya berujung pada kebijakan yang lebih responsif dan berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat.

    “Ketidaktransparanan bukan hanya merusak kredibilitas pemerintah saat ini, tapi juga mengurangi kualitas pengambilan keputusan jangka panjang,” tuturnya. 

  • Giliran Paramadina Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12% dari BPS

    Giliran Paramadina Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12% dari BPS

    Bisnis.com, JAKARTA — Universitas Paramadina mempertanyakan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY).

    Dalam keterangan resminya, Paramadina menilai data tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil perekonomian, di tengah lemahnya daya beli masyarakat, stagnasi konsumsi rumah tangga, pesimisme produsen, dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri.

    “Banyak kalangan tidak percaya, dan ini berpotensi bergulir menjadi bola liar yang merusak kredibilitas BPS,” tulis pernyataan Paramadina, Jumat (9/8/2025).

    Paramadina meminta BPS menjelaskan secara rinci metodologi dan asumsi perhitungan produk domestik bruto (PDB), termasuk sumber data, pembobotan sektor, serta metode estimasi. Lembaga itu juga mendesak adanya penjelasan atas kesenjangan antara data pertumbuhan ekonomi dengan indikator sektoral yang menunjukkan perlambatan.

    Selain itu, BPS diminta menegaskan komitmen menjaga independensi penuh dari intervensi pihak mana pun, agar data tetap menjadi cerminan realitas ekonomi dan bukan alat legitimasi politik.

    “Jika data yang dirilis tidak selaras dengan kenyataan di lapangan, kebijakan ekonomi nasional akan salah arah,” tulis Paramadina.

    Menurut mereka, revisi data merupakan hal wajar dan bagian dari proses akademis. Sebaliknya, menutup diri akan menjadikan statistik bergeser dari ranah akademik ke ranah politik, yang berisiko mengikis kredibilitas BPS.

    Paramadina juga mengajak ekonom, ilmuwan, dan akademisi untuk memantau kualitas data statistik nasional, mengingat hal tersebut menjadi pijakan penting menuju Indonesia maju dan sejahtera.

    Ikuti Celios hingga Indef

    Sebelumnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) turut menyatakan keraguan atas data pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS. Bahkan, lembaga yang menaungi sejumlah ekonom seperti Bhima Yudhistira dan Nailul Huda itu menyurati Komisi Statistik PBB itu terkait dengan transparansi hingga independensi penghitungan data PDB oleh BPS untuk tiga bulan kedua 2025. 

    Berdasarkan dokumen yang dilihat Bisnis, surat tertanggal 8 Agustus 2025 itu ditujukan untuk Komisi Statistik PBB. Celios menyurati lembaga itu atas keprihatinan ihwal reliabilitas dan akurasi penghitungan pertumbuhan PDB Indonesia oleh BPS. 

    “Kami menulis surat ini untuk menyampaikan keprihatinan mendalam kami terkait meningkatnya jumlah inkonsistensi dan anomali yang ditemukan dalam data ekonomi nasional [PDB triwulan kedua 2025] yang baru-baru ini diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik [BPS],” demikian dikutip Bisnis, Jumat (8/8/2025). 

    Persoalan-persoalan ini, lanjut surat tersebut, khususnya berkaitan dengan penghitungan PDB, telah menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi, akurasi, dan independensi praktik statistik di Indonesia.

    Beberapa inkonsistensi pada data BPS itu, terang Celios, dinilai tidak merepresentasikan realitas ekonomi dalam negeri. Beberapa komponen utama PDB dinilai tidak terhubung dengan indikator utama, seperti pendapatan pemerintah, volatilitas data yang tidak dijelaskan serta kurangnya keterbukaan atas metodologi penghitungan. 

    Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga mempertanyakan data yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025. 

    Ekonom senior dan salah satu pendiri Indef, M. Fadhil Hasan, menilai bahwa konsensus proyeksi para ekonom maupun lembaga biasanya mirip dengan realisasi ekonomi atau hanya memiliki selisih tipis. Namun, anomali terjadi pada kuartal II/2025, ketika para ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 4,8% tetapi realisasinya ternyata mencapai 5,12%.

    “Menimbulkan pertanyaan apakah ada metodologi yang harusnya diperbaiki atau disempurnakan, ataukah ada basis datanya, atau sebab-sebab lainnya yang membuat kita belum mengetahuinya secara pasti?” ujar Fadhil dalam diskusi publik yang berlangsung di kantor Indef, Jakarta pada Rabu (6/8/2025).

    Indef pun menelisik sejumlah data yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), mulai dari konsumsi sebagai komponen utama produk domestik bruto (PDB), investasi, ekspor, maupun sektor atau lapangan usaha. Namun, Indef merasa belum terdapat kejelasan dari data yang ada.

    Menurut Fadhil, BPS patut menjelaskan mekanisme pengambilan maupun pengolahan data, karena menurutnya data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 tidak cukup mencerminkan kondisi riil di lapangan.

    Fadhil menjabarkan bahwa setidaknya terdapat 12 indikator utama perekonomian yang kurang sejalan dengan capaian tinggi ekonomi kuartal II/2025, mulai dari kinerja penjualan kendaraan bermotor, kinerja investasi, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Lemahnya penjualan mobil dan motor menurutnya mencerminkan konsumsi masyarakat kelas menengah-atas yang turun. Hal itu juga seolah mengafirmasi fenomena rojali, alias rombongan jarang beli yang belakangan menjadi perbincangan.

    Lalu, Fadhil juga menyoroti kondisi Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur yang masih kontraksi. Pada Juni 2025 atau akhir kuartal II/2025, PMI Manufaktur ada di level 49,60 alias masih kontraksi karena di bawah 50.

    Indikator lainnya adalah konsumsi rumah tangga yang masih lemah. Sebagai kontributor utama PDB, laju konsumsi rumah tangga masih lebih kecil dibandingkan pertumbuhan ekonomi.

  • Pertamina tembus Fortune Global 500, INDEF: Bukti GCG berjalan baik

    Pertamina tembus Fortune Global 500, INDEF: Bukti GCG berjalan baik

    Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.

    Pertamina tembus Fortune Global 500, INDEF: Bukti GCG berjalan baik
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 06 Agustus 2025 – 21:11 WIB

    Elshinta.com – Keberhasilan PT Pertamina (Persero) kembali masuk dalam daftar Fortune Global 500 tahun 2025 dinilai sebagai bukti nyata perusahaan pelat merah tersebut berhasil menerapkan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).

    Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan, penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang konsisten turut mendorong kinerja keuangan Pertamina tetap terjaga.

    “Ya, tentu saja (karena penerapan transformasi bisnis dan inovasi). Intinya GCG Pertamina sudah berjalan dengan baik,” kata Tauhid kepada wartawan, Rabu (6/8).

    Menurutnya, keberadaan Pertamina dalam daftar perusahaan terbesar dunia selama lebih dari satu dekade mencerminkan fundamental keuangan yang kuat. Selain itu, kinerja BUMN energi ini juga terus membaik seiring dengan transformasi dan digitalisasi yang dijalankan.

    “Pertamina selalu ada di posisi terbesar dan terdepan. Hal itu terlihat dari kontribusinya sebagai penyumbang dividen terbesar kepada negara. Sektor energi memang menjanjikan, selain perbankan dan telekomunikasi,” ujarnya.

    Tauhid menambahkan, pembayaran utang pemerintah kepada Pertamina pada 2024 untuk pengadaan BBM subsidi juga memberi dampak positif terhadap performa keuangan perusahaan.

    “Hal itu otomatis meningkatkan performance Pertamina,” ucapnya.

    Majalah Fortune dalam edisi terbaru merilis daftar Fortune Global 500, di mana Pertamina berhasil menempati peringkat ke-171 dunia. Sementara di kawasan Asia Tenggara, perusahaan portofolio Danantara Indonesia itu menempati posisi ketiga dalam daftar Fortune South East Asia 500.

    Capaian ini menempatkan Pertamina di atas sejumlah perusahaan energi global. Sebagai perbandingan, perusahaan migas asal Spanyol Repsol menempati posisi ke-260, sementara ConocoPhillips asal Amerika Serikat berada di peringkat ke-245.

    Di tingkat regional, Pertamina juga unggul jauh dibanding Petronas Malaysia yang tercatat di peringkat ke-44 pada daftar Fortune South East Asia 500.

    Menurut Tauhid, pencapaian tersebut menunjukkan Pertamina memiliki daya saing tinggi di kancah global dan layak menjadi tujuan investasi.

    “Dengan kebutuhan migas nasional yang masih sangat tinggi, posisi Pertamina yang kuat akan menjadi sinyal positif bagi para investor,” katanya seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Supriyarto Rudatin, Rabu (6/8). 

    Sumber : Radio Elshinta

  • Indef: Investor Belum Pede Investasi meski Data Ekonomi Tumbuh Tinggi

    Indef: Investor Belum Pede Investasi meski Data Ekonomi Tumbuh Tinggi

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai bahwa investor belum menunjukkan kepercayaan diri penuh untuk menggenjot investasi di Indonesia meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia melampaui konsensus proyeksi, yakni mencapai 5,12% pada kuartal II/2025.

    Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menjelaskan bahwa respons pasar bisa menjadi cerminan bagaimana investor menyikapi data pertumbuhan ekonomi.

    Pada hari pengumuman pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025, Selasa (5/6/2025), IHSG ditutup menguat ke level 7.515,18 atau 0,68%. Namun, pada Rabu (6/8/2025) kembali melemah ke level 7.503,75 atau turun 0,15%.

    “Kalau dalam jangka pendek, kita sebenarnya bisa melihat kemarin IHSG masih relatif hijau, rupiah juga menguat, menggambarkan masih ada kepercayaan pasar. Namun, masalahnya, angka yang dirilis oleh BPS itu melawan puluhan leading indicator [indikator ekonomi], sehingga jika data-data ini tidak terefleksikan di real economy, investor jadi akan mencermati lagi perkembangannya,” ujar Eko kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025).

    Menurut Eko, Agustus ini akan menjadi bulan penting bagi investor untuk mencermati bagaimana perbandingan data ekonomi per Juni 2025 dengan kondisi riil, seperti peningkatan kredit dan Purchasing Manager’s Index atau PMI Manufaktur. Investor juga akan mencermati indikator yang bersifat bulanan seperti Mandiri Spending Index.

    “Jika memang tidak menunjukkan peningkatan [seperti yang tergambar dalam ekonomi kuartal II/2025], respons paling cepat nanti di pasar itu, di IHSG dan nilai tukar rupiah,” ujarnya.

    Eko menilai bahwa pihak-pihak yang mengantongi dana jumbo, seperti industri asuransi dan investor asing, masih akan menunggu alias wait and see untuk melakukan investasi. Data ekonomi kuartal II/2025 yang tumbuh tinggi 5,12% tidak akan serta merta menarik investasi.

    Industri asuransi maupun investor asing, menurutnya, akan membandingkan data primer dan sekunder. Data primer yang dia maksud adalah informasi produk domestik bruto (PDB) dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan informasi sekundernya adalah data pembanding dari berbagai indikator ekonomi.

    “Ketika data-data itu tidak match, dalam jangka menengah mereka akan wait and see. Artinya, misalkan 6 bulan ke depan, dunia usaha belum tentu akan ekspansi, investor juga harus diyakinkan dulu,” ujarnya.

    Berikut daftar 12 indikator utama yang menurut Indef tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025:

    Penjualan mobil dan motor turun: indikator langsung konsumsi masyarakat menengah-atas menurun
    PMI Manufaktur dalam fase kontraksi: industri lesu, permintaan domestik dan ekspor lemah
    Konsumsi rumah tangga turun: padahal konsumsi menyumbang >50% PDB, sinyal pelemahan ekonomi
    Penurunan investasi asing (foreign direct investment): menandakan kepercayaan investor melemah, berdampak ke investasi riil
    Inflasi naik pada Juli 2025: menggerus daya beli, menaikkan angka pengangguran terselubung
    Peningkatan PHK: memperburuk daya beli, menaikkan angka pengangguran terselubung
    Kredit perbankan melemah: mengindikasikan kehati-hatian pelaku usaha dan rumah tangga
    Indeks kepercayaan konsumen menurun: ekspektasi masa depan negatif
    Warga pesimistis terhadap penghasilan: mendukung hipotesis konsumsi lemah dan peningkatan ketimpangan
    Tekanan eksternal meningkat: adanya tarif Trump menekan pertumbuhan ekonomi global. Ekspor turun, suku bunga global tinggi, ketidakpastian geopolitik—memperburuk situasi perdagangan dan investasi
    Pasar keuangan Indonesia tidak terlalu menarik lagi: Capital outflow pasar saham Rp59 triliun, SRBI Rp77,4 triliun, nett buy SBN Rp59 triliun
    Penerimaan pajak turun: PPN dan PPnBM turun pada semester I/2025 sekitar 19,7%, pajak yang lemah tetapi PDB tumbuh tinggi membuat rasio pajak (tax ratio) akan turun.

  • Ekonomi Kuartal II/2025 Naik 5,12%, Indef: Apakah Data Ini Valid?

    Ekonomi Kuartal II/2025 Naik 5,12%, Indef: Apakah Data Ini Valid?

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tetap mempertanyakan data yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025. 

    Sebagaimana dilaporkan sebelumnya, BPS mencatat pertumbuhan PDB kuartal II/2025 sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY) dari periode yang sama tahun sebelumnya. 

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan bakal tetap mempertanyakan data-data yang disampaikan oleh BPS mengenai pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua 2025 itu. 

    “Kita tetap mempertanyakan kepada BPS apakah data-data ini valid dan mencerminkan kondisi di lapangan,” ujarnya pada diskusi yang diselenggarakan secara daring, Rabu (6/8/2025). 

    Senada, Ekonom Senior Indef, M. Fadhil Hasan juga masih mempertanyakan data itu karena indikator utama perekonomian RI justru menunjukkan pelemahan. 

    Misalnya, penjualan motor dan mobil, PMI manufaktur dalam fase kontraksi di bawah 50, konsumsi rumah tangga turun, serta investasi. 

    Padahal, investasi atau PMTB dilaporkan BPS tumbuh 6,99% yoy pada kuartal II/2025 atau tertinggi sejak kuartal II/2021. Investasi dan konsumsi rumah tangga menjadi dua motor terbesar pertumbuhan kuartal II/2025. 

    Fadhil lalu merujuk pada data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, yang menunjukkan turunnya perolehan penanaman modal asing atau PMA (foreign direct investment/FDI). 

    “FDI asing, ini keterangan dari Pak Rosan sendiri [Menteri Investasi] menyatakan bahwa turun Rp202,2 triliun dari periode tahun lalu triwulan II/2024 Rp217,3 triliun,” kata Fadhil pada acara yang sama. 

    Kemudian terdapat indikator lain seperti pertumbuhan kredit yang disebut memiliki korelasi tinggi dengan situasi perekonomian. 

    Selanjutnya, ada peningkatan PHK selama semester I/2025, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang turun, serta pesimisme terhadap penghasilan masyarakat. 

    Lalu, ada net capital outflow di pasar keuangan Indonesia serta turunnya penerimaan pajak, khususnya PPN dan PPnBM. Pajak, kata Fadhil, seharusnya seiring dengan pertumbuhan ekonomi. 

    “Jadi saya kira ini sesuatu yang juga menyebabkan atau  mendorong seharusnya pemerintah itu lebih transparan lagi lebih terbuka lagi, lebih akuntabel lagi dalam hal pendataan tentang pertumbuhan ekonomi tersebut,” ujarnya.

    Fadhil menyebut ekonomi kuartal II/2025 sebelumnya diperkirakan tumbuh di bawah 5% yoy, atau seperti halnya konsensus 30 analis yang dihimpun Bloomberg sebelumnya. Analis-analis tersebut mengestimasi nilai median pertumbuhan hanya 4,8% yoy. 

    “Tapi karena pengumuman pemerintah merupakan sesuatu yang official, yang menjadi rujukan resmi, ya kita mendorong pemerintah untuk memberikan penjelasan dan komunikasi lebih lanjut. Dan mendorong pemerintah agar melihat secara lebih mendasar lagi mungkin dari sisi metodologinya,” ucapnya.