NGO: IDAI

  • Cerita Dokter Keluarkan Cacing 3 Kg dari Perut Bocah, Ini Gejala Awalnya

    Cerita Dokter Keluarkan Cacing 3 Kg dari Perut Bocah, Ini Gejala Awalnya

    Jakarta

    Cacing gelang atau Ascaris lumbricoides adalah jenis cacing yang paling banyak menginfeksi manusia. Hampir 80 persen pasien adalah usia anak sekolah yakni 5-10 tahun.

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI dr Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes menjelaskan infeksi cacing atau kecacingan jarang menyebabkan kematian secara langsung. Tetapi secara signifikan memengaruhi kondisi anak dan mengganggu tumbuh kembangnya.

    Dia menceritakan sempat menangani seorang pasien anak dengan infeksi cacing. Keluhan pertamanya konstipasi dan nyeri perut.

    “Kita pernah dapat kasus di RS Hasan Sadikin, dapat cacing sampai 3 kg. Setelah operasi, (kondisinya) baik,” kata dia dalam konferensi pers IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Kondisi anak tersebut dikatakan membaik setelah cacing dikeluarkan. Pemberian obat cacing juga dilakukan untuk membunuh larva yang ada di dalam tubuhnya.

    “Pasien sudah lama konstipasi, nyeri perut. Cacing dikeluarkan, minum obat cacing, sehat dia,” ucap dr Riyadi.

    Pada usia anak, kecacingan kronis bisa mempengaruhi asupan dan penyerapan gizi. Dapat juga menghambat perkembangan fisik, kecerdasan, menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya.

    “Kalau dia hidup di saluran cerna, biasanya jarang berat ya. Seringnya apa? Mual, nafsu makan kurang. Susah BAB. Kenapa? Karena dia nyumbat. Kalau sudah kronis tadi, bisa jadi stunting,” tutur dr Riyadi,

    (kna/kna)

  • Anak Usia Sekolah Jadi Kelompok Terbanyak yang Kecacingan, Waspadai Gejalanya

    Anak Usia Sekolah Jadi Kelompok Terbanyak yang Kecacingan, Waspadai Gejalanya

    Jakarta

    Belum lama ini, kasus kematian balita di Sukabumi, Jawa Barat karena kecacingan jadi sorotan. Sering dianggap sepele, penyakit ini kini mendapatkan banyak perhatian dari masyarakat.

    Cacing gelang atau Ascaris lumbricoides adalah jenis yang paling banyak menginfeksi manusia, baik di Indonesia maupun di dunia. Populasi yang terkena hampir 80 persennya adalah anak usia sekolah, yaitu 5-10 tahun.

    “Kenapa? karena mereka mereka aktif bermain di tanah, aktif bermain di luar. Nah ini mungkin kemampuan mereka, edukasi mereka tentang perilaku hidup bersih dan sehat belum optimal, makanya kenapa anak usia sekolah yang paling banyak,” kata Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI dr Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Kelompok kedua yang paling banyak terkena adalah anak usia pra sekolah, 2-5 tahun. Sebab mereka sudah mulai bisa berjalan dan bermain di luar.

    “Bagaimana kita mengedukasi nih orang tua, karena anak-anak ini, apalagi usia 2-5 tahun sama sekali kalau dilihat, ada yang bergerak di tanah mikirnya, oh ada mainan baru, malah dia pegang” tambahnya.

    Dikatakan bahwa seperdelapan populasi di dunia terinfeksi cacing gelang. Cacing ini senang di negara yang hangat dan lembab, seperti di Indonesia. Cacing gelang dapat hidup di tubuh manusia hingga 2 tahun.

    “Kalau besar, hidupnya bisa di usus halus. ini bisa sebesar ini, cacing yang jantannya bisa sampai 30 cm. Dan dia bisa hidup sampai 2 tahun,” kata dr Riyadi.

    “Kalau ada orang kecacingan, tidak diobati, dia buang air besar sembarangan, telurnya, satu cacing saja 200 ribu telur. Terbayang apabila satu orang individu, satu orang anak saja, punya cacing yang sampai 1-2 kg,” tambahnya.

    Sehingga, bukan cacing dewasa yang tertelan, tapi dalam bentuk telur, larva, baru menjadi cacing dewasa. Prosesnya memerlukan waktu selama 2-3 bulan sebelum menjadi cacing dewasa.

    “Artinya, kalau seorang anak sampai sudah ditemukan cacing dewasa, bukan saat itu dia tertular. Minimal sudah 3 bulan sebelumnya,” kata dr Riyadi.

    Apa Saja Gejala Cacingan?

    Saat cacing berbentuk larva, bisa terjadi batuk-batuk seperti orang yang terkena infeksi paru-paru, tapi bukan TBC. Jika bentuk dewasa hidupnya di saluran cerna.

    “Kalau dia hidup di saluran cerna, biasanya jarangnya tidak berat ya. Seringnya apa? mual Nafsu makan kurang. Susah BAB. Kenapa? Karena dia nyumbat. Kalau sudah kronis tadi, bisa jadi stunting,” tutur dr Riyadi,

    Cacing juga bisa berkumpul di usus, lalu ke usus buntu dan bisa juga ke saluran empedu. Jika sudah bermigrasi, bisa keluar ke anus, hidung, dan mulut.

    “Harus diingat. Keluarnya cacing dari tubuh bukan menandakan ganasnya cacing. Bukan. Artinya apa? Jumlah cacingnya sudah banyak. Sudah sampai bentuk dewasa. Tadi ya, minimal 3 bulan,” kata dr Riyadi.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Mengenal Ascaris Lumbricoides, Cacing Gelang yang Menginfeksi Raya”
    [Gambas:Video 20detik]
    (elk/kna)

  • Gen Z Ramai-ramai Beli Obat Cacing Imbas Kematian Bocah Sukabumi, Dokter Ingatkan Ini

    Gen Z Ramai-ramai Beli Obat Cacing Imbas Kematian Bocah Sukabumi, Dokter Ingatkan Ini

    Jakarta

    Kasus kematian balita di Sukabumi, Jawa Barat, menjadi perhatian serius. Penyakit kecacingan kerap dianggap sepele padahal bisa menurunkan kualitas hidup orang yang terinfeksi.

    Di media sosial, tidak sedikit Gen Z yang ‘borong’ obat cacing, menyusul kejadian nahas bocah di Sukabumi. Tidak sedikit yang mengaku takut dan parno sehingga akhirnya mengonsumsi obat cacing di usia dewasa.

    “Jangan lupa minum obat cacing 6 bulan sekali. Terakhir minum pas SD, sekarang umur 26 baru minum lagi,” tulis narasi video viral di TikTok.

    “Ketakutan Gen Z: minum obat cacing,” komentar pengguna lainnya.

    Menanggapi hal tersebut, Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI dr Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes mengatakan obat cacing secara umum aman dikonsumsi segala usia karena kecacingan bisa terjadi pada siapa saja.

    Tetapi dia mengingatkan konsumsi obat cacing albendazol hanya dengan indikasi dan harus dengan resep dokter.

    “Minum obat cacing kalau bergejala boleh, umur 1 tahun sampai umur berapa pun bisa. Di atas 1 tahun, kalau ada gejala, ada indikasi, jangan lupa minum obat harus dengan saran dokter,” kata dr Riyadi dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    “Obat cacing itu kayak antibiotik, dia antimikroba. Jangan berlebihan karena ada kemungkinan resisten,” tegas dia.

    Tak jauh berbeda dengan gejala kecacingan pada anak, infeksi di usia dewasa bisa terjadi akibat sanitasi dan kebersihan pribadi yang buruk, yang menyebabkan penularan melalui makanan atau tangan yang terkontaminasi telur cacing.

    Dikutip dari Mayo Clinic, gejala kecacingan bisa berupa gatal di anus atau vagina, masalah pencernaan seperti diare dan mual, penurunan berat badan, serta kelelahan.

    dr Riyadi menambahkan kecacingan sebenarnya jarang menyebabkan kematian namun berisiko kronis. Artinya, kecacingan bisa membuat seseorang lebih rentan terinfeksi penyakit lain, menyebabkan perburukan kesehatan.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Dokter Ingatkan soal Tren Beli Obat Cacing Usai Kasus Balita Sukabumi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (kna/up)

    Tren Gen Z Beli Obat Cacing

    5 Konten

    Kasus meninggalnya seorang bocah di Sukabumi karena kecacingan yang tidak tertangani menuai sorotan banyak pihak. Bahkan memunculkan tren baru di kalangan Gen Z, yakni ramai-ramai beli dan minum obat cacing sendiri.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Ingin Anak Tumbuh Cerdas? Jangan Lewatkan Nutrisi yang Tepat di Usia 0-3 Tahun

    Ingin Anak Tumbuh Cerdas? Jangan Lewatkan Nutrisi yang Tepat di Usia 0-3 Tahun

    Jakarta

    Sebagian besar struktur dan kapasitas otak terbentuk sejak dini sebelum anak berusia 3 tahun. Karenanya, nutrisi di rentang periode 0-3 tahun perlu dioptimalkan demi tumbuh kembang mereka.

    Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Wamendiktisaintek Prof Stella Christie menekankan perkembangan otak di golden periode tersebut relatif sangat cepat.

    “Gizi ini meningkatkan atau berpengaruh terhadap juga kondisi kognitif kita. Otak sebenarnya berkembang sangat cepat di 0 sampai 3 tahun. Jadi gizi-gizi yang diasup sejak di kandungan itu sudah mempengaruhi perkembangan otaknya,” tutur Prof Stella dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (18/7/2025).

    Bila tidak mendapatkan gizi yang tepat, dampak buruk yang muncul berpengaruh pada perkembangan kognitif, daya ingat, perhatian, dan kemampuan akademik di kemudian hari.

    Dampak Buruk ke Otak saat Kekurangan Nutrisi

    Mengacu jurnal ‘The Role of Nutrition in Brain Development: The Golden Opportunity of the ‘First 1000 Days’, otak terdiri dari berbagai wilayah anatomi dan proses, masing-masing memiliki lintasan perkembangan yang relatif berbeda. Sebagian besar, pertumbuhannya paling pesat terjadi dalam kandungan hingga sesaat setelah lahir.

    Mielinisasi ditemukan meningkat tajam pada usia kehamilan 32 minggu dan paling aktif dalam dua tahun pertama setelah lahir. Mielinisasi adalah proses pembentukan lapisan lemak yang disebut mielin di sekitar akson atau ‘serabut saraf’, berfungsi untuk mempercepat transmisi impuls saraf dan meningkatkan fungsi otak.

    Begitu juga dengan sistem neurotransmiter monoamin yang berperan dalam emosi, perasaan menghargai, dan suasana hati. Sistem ini mulai berkembang sejak prenatal dan terus bertumbuh cepat setidaknya hingga usia 3 tahun.

    Hal yang tidak kalah penting adalah hippocampus, pusat pengaturan memori dan pengenalan spasial. Keduanya memasuki fase pertumbuhan dalam sekitar usia kehamilan 32 minggu dan terus berkembang selama 18 bulan pertama pasca kelahiran.

    Dilanjut dengan korteks prefrontal, yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi vital dalam kemampuan multitasking anak, perkembangan bagian otak ini mulai melonjak dalam satu bulan pertama kehidupan.

    “Menjaga lintasan perkembangan setiap wilayah otak sangat penting, bukan hanya agar wilayah itu berfungsi optimal, tetapi juga agar dapat bekerja secara terkoordinasi dalam jaringan otak kompleks yang membentuk perilaku,” beber Professor of Pediatrics Michael K Georgieff di University of Minnesota School of Medicine.

    Masa Kritis Perkembangan Otak Anak

    Bila kekurangan nutrisi terjadi lebih awal, bagian hippocampus lebih mungkin terdampak dibanding korteks prefrontal. Dalam temuan riset 2020 di The Journal of Pediatrics, ketidakseimbangan antara input hippocampal dan prefrontal di sirkuit otak, juga sirkuit area tegmental ventral, bisa menyebabkan gangguan perilaku serius, bahkan salah satunya skizofrenia, gangguan mental berat.

    Karenanya, sejumlah ilmuwan saraf menekankan pentingnya memperhatikan masa kritis dan sensitif. Masa kritis adalah periode awal kehidupan ketika masalah nutrisi menyebabkan konsekuensi jangka panjang yang tidak dapat dipulihkan.

    Sementara masa sensitif menjadi periode ketika otak lebih rentan terhadap faktor lingkungan, tetapi dampaknya tidak selalu permanen. Keduanya sama-sama penting sehingga tak boleh terabaikan.

    Dari temuan tersebut, orangtua perlu memahami apa saja nutrisi yang sebaiknya diberikan pada anak, bahkan sejak awal kehamilan. Rekomendasi Kemenkes RI terkait pedoman gizi seimbang, ibu hamil setidaknya memerlukan pemenuhan gizi asam folat, protein dari kacang-kacangan, juga hati dan sayur.

    Kalsium dari susu dan ikan-ikanan, protein dari ikan, ayam, serta telur, zat besi dari daging merah tanpa lemak, terakhir vitamin D dari ikan dan jeruk.

    Komite Nutrisi dari American Academy of Pediatrics merekomendasikan nutrisi tertentu untuk perkembangan otak yang sehat pada balita, di antaranya kolin, folat, yodium, hingga zat besi. Anak juga memerlukan asam lemak tak jenuh seperti omega 3, protein, vitamin A, D, B6, B12, juga seng.

    Makanan dan Nutrisi Penting pada Anak

    Tak ada satu makanan atau ‘superfood’ yang bisa sekaligus menjamin perkembangan otak maksimal pada anak. Anak perlu mendapatkan beragam nutrisi dari sejumlah sumber makanan:

    Dalam laman University of California Los Angeles (UCLA), berikut nutrisi yang disarankan untuk anak 0-3 tahun.

    Protein dan kolin

    Nutrisi peningkat kecerdasan otak termasuk kolin, vitamin B12, dan protein. Kolin sangat penting untuk perkembangan otak normal dan dapat meningkatkan fungsi kognitif. Sumbernya bisa didapatkan dari telur. Telur kaya akan gizi dan biasanya mudah disukai anak. Dua butir telur utuh sehari mencukupi kebutuhan kolin yang dibutuhkan anak usia 8 tahun ke bawah.

    Omega 3

    Nutrisi yang tak kalah penting adalah lemak omega 3. Bisa didapatkan dari ikan dan makanan laut lain yang kaya manfaat perkembangan otak, meliputi protein, seng, zat besi, kolin, yodium, dan lemak omega-3. Namun, hindari memberi anak dengan kandungan tinggi merkuri seperti tuna dan ikan todak.

    Terlalu banyak merkuri dapat berdampak buruk pada perkembangan sistem saraf anak. Sebagai gantinya, pilihlah pangan rendah merkuri seperti udang, salmon, nila, kepiting, atau ikan kod. Anak-anak di bawah usia 3 tahun dapat mengonsumsi satu porsi 25 gram dua hingga tiga kali seminggu.

    Asam folat

    Penelitian menunjukkan anak-anak yang mendapatkan cukup asam folat cenderung memiliki kemampuan kognitif lebih baik daripada anak-anak yang tidak mendapatkannya. Menurut dokter spesialis tumbuh kembang anak dr Bernie Endyarni Medise, SpA(K), MPH, dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), asupannya diperlukan sejak masa kehamilan hingga 2 tahun.

    “Jadi asam folat itu dibutuhkan untuk pembentukan sistem persarafan pada janin, jadi dia dibutuhkan pada ibu hamil, bahkan sebaiknya itu masa kandungan kehamilan yang di awal sekali,” pesan dr Bernie, beberapa waktu lalu.

    Bagi ibu hamil yang mungkin baru mengetahui masa kehamilannya pasca dua hingga empat pekan mengandung, tidak ada salahnya untuk langsung menambah suplementasi kebutuhan asam folat. Asam folat tidak hanya didapat dari suplemen, makanan sehari-hari juga bisa memperkaya kebutuhan kandungan tersebut, termasuk telur.

    Kacang kacangan, makanan tinggi protein, hingga sejumlah buah seperti alpukat juga kaya akan asam folat.

    “Itu kalau hamil harus sudah tercukupi dulu asam folatnya. Banyak sebenarnya pengganti asam folat, dari makanan sehari-hari, seperti telur, itu juga cukup, intinya kebutuhan asam folat wajib terpenuhi,” sambung dia.

    Zat besi

    Zat besi sangat penting bagi anak, karena berperan dalam mendukung kecerdasan otak anak. Minimnya asupan zat besi, memicu anak kesulitan belajar dan berpotensi mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

    Hal yang sama sempat dijelaskan dr Wisvici Yosua Yasmin, M.Sc, SpA, asupan zat besi wajib terpenuhi dalam golden period perkembangan anak setidaknya hingga 2 tahun.

    Artinya, sejak hamil perlu diperhatikan. Ibu harus bisa memenuhi kebutuhan zat besi pribadi melalui asupan makanan padat nutrisi, atau dengan bantuan suplementasi.

    Menurutnya, proses ‘transfer’ perpindahan zat besi dari ibu ke janin paling besar terjadi pada trimester ke-3. Terlebih, perkembangan otak bayi berkembang secara signifikan pada enam bulan pertama, kemudian dilanjutkan dengan periode kedua pada usia 6-18 bulan, dilanjutkan sampai usia 2 tahun.

    “Jadi kita bilang dalam trimester 1 ke trimester 2, itu organnya terbentuk, rumahnya, wadahnya. Dan pemadatan sel-sel saraf itu terjadi di trimester 2 ke trimester 3. Begitu pula dengan transfer dari zat besi,” katanya beberapa waktu lalu.

    Kekurangan zat besi juga erat kaitannya dengan anemia. Insiden kasus anemia pada anak di Indonesia bahkan relatif masih cukup tinggi. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi anemia pada remaja usia 15-24 tahun adalah 15,5 persen. Untuk anak usia 5-14 tahun, prevalensinya berkisar 26 persen.

    Kolin dan Yodium

    Nutrisi seperti protein, seng, kolin, dan yodium dibutuhkan untuk memproduksi hormon tiroid, yang penting untuk perkembangan otak dan proses neurologis. Bahkan kekurangan yodium ringan pun dapat memengaruhi fungsi kognitif dan kemampuan berpikir anak secara keseluruhan.

    Pilihan sumber makanan kaya kandungan tersebut bisa didapatkan dari yogurt tanpa pemanis, cara mudah dan simpel untuk mendukung pertumbuhan otak si anak.

    Seng

    Seng juga berperan penting selama masa balita, saat otak sedang berkembang pesat. Kekurangan seng dapat memengaruhi perkembangan kognitif anak, mengganggu daya ingat dan kemampuan belajarnya.

    Makanan seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan selai kacang merupakan sumber kaya protein dan seng.

    Probiotik

    Perkembangan otak anak juga berkaitan dengan sistem pencernaan, sehingga penting untuk anak mendapatkan sumber probiotik yang cukup. Banyak riset menunjukkan hubungan erat antara otak dan sistem pencernaan melalui mekanisme yang dikenal gut-brain-axis.

    Mekanisme ini tidak hanya menunjukkan kondisi otak memengaruhi kesehatan saluran cerna, tetapi juga sebaliknya, sistem pencernaan bisa berdampak pada fungsi otak.

    Dalam riset ‘Microbiome-gut-brain axis in brain development, cognition and behavior during infancy and early childhood’ keduanya bahkan jelas berkaitan dan berperan penting dalam awal kehidupan.

    Otak dapat mengirimkan instruksi langsung ke saluran cerna. Sistem saraf ini dikenal sebagai enteric nervous system (ENS), dan kerap disebut sebagai ‘otak kedua’ karena kemampuannya mengatur sistem pencernaan secara otonom.

    Gut-Brain Axis dan Kaitannya dengan Otak

    1. Saraf Vagus: Jalur Penghubung Langsung

    Saraf vagus merupakan jalur utama yang menghubungkan otak dan usus. Studi dalam Nature Reviews: Neuroscience (2011) mencatat bahwa saraf ini memainkan peran penting dalam komunikasi dua arah tersebut. Misalnya, kondisi stres diketahui dapat menghambat aktivitas saraf vagus, yang berdampak pada munculnya gangguan pencernaan, seperti sakit perut, kembung, atau diare.

    2. Neurotransmiter: Pengendali Emosi dan Mood

    Neurotransmiter adalah senyawa kimia yang membawa pesan antarsel saraf. Salah satu yang paling dikenal adalah serotonin, yang berperan besar dalam mengatur suasana hati. Menariknya, sekitar 90 persen serotonin tubuh diproduksi di usus, bukan di otak.

    Selain serotonin, mikroba usus juga memproduksi GABA (gamma-aminobutyric acid), neurotransmiter yang berfungsi meredakan kecemasan dan stres. Ini memperkuat bukti bahwa usus memegang peran besar dalam mengatur emosi dan keseimbangan mental.

    Gut-brain axis tidak hanya memengaruhi sistem pencernaan atau suasana hati, tetapi juga berkontribusi dalam sejumlah proses vital.

    Menurut jurnal Neuroscience Letters (2016), SCFA seperti butirat membantu memperkuat blood-brain barrier atau sawar darah-otak, lapisan pelindung antara pembuluh darah otak dan jaringan saraf. Fungsi ini sangat krusial untuk mencegah zat-zat berbahaya seperti racun, alkohol, atau logam berat memasuki otak.

    Keseimbangan mikrobiota usus menjadi kunci untuk menjaga fungsi optimal gut-brain axis. Salah satu cara untuk merawatnya adalah dengan mengonsumsi makanan kaya serat, prebiotik, serta probiotik, seperti yogurt, tempe, dan produk fermentasi lainnya.

    Probiotik mengandung bakteri baik yang mendukung keberagaman mikroba usus, membantu sintesis neurotransmitter penting, serta memperkuat pertahanan terhadap patogen penyebab penyakit.

    Probiotik sudah teruji memelihara kesehatan pencernaan serta meningkatkan sistem imun tubuh. Terdapat pula Triple Bifidus, gabungan tiga jenis probiotik Bifidobacterium yang memiliki banyak manfaat.

    Tidak hanya merangsang produksi sel-sel imun, tetapi membantu meningkatkan penyerapan nutrisi makro dan mikro dengan lebih optimal. Enzim yang dimiliki spesies ini dapat menguraikan serat makanan yang sulit dicerna oleh tubuh.

    Walhasil, anak akan lebih mudah mendapatkan nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan, termasuk perkembangan otaknya.

    Masa depan Si Kecil bukan terjadi karena kebetulan, tapi terbentuk dari pilihan terbaik yang orang tua buat hari ini. Karena #WaktuTakBisaKembali Morinaga memahami bahwa peran orang tua sangat penting dalam menentukan arah tumbuh kembang anak. Karena itu, Morinaga hadir mendampingi Bunda dan Ayah melalui tiga kunci penting: memberikan Atensi penuh di setiap tahap perkembangan Si Kecil, mengasah Potensi unik yang dimilikinya, dan memenuhi kebutuhan Nutrisi Tepat sebagai fondasi tumbuh kembang optimal. Dengan dukungan terbaik sejak sekarang, setiap pilihan Ayah dan Bunda adalah langkah besar menuju masa depan terbaik Si Kecil.

    Morinaga. Your Choice, Their Future

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video: Ini Batas Normal Tantrum Anak, Waspada Bila Berlebihan “
    [Gambas:Video 20detik]
    (up/up)

  • IDAI Soroti Cek Kesehatan Gratis, Anak Putus Sekolah Juga Perlu Dapat

    IDAI Soroti Cek Kesehatan Gratis, Anak Putus Sekolah Juga Perlu Dapat

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyambut baik salah satu program quick win Presiden Prabowo Subianto. Program itu adalah Cek Kesehatan Gratis (CKG) bagi anak sekolah di Indonesia.

    Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr Hikari Ambara Sjakti, SpA, Subsp Hema-Onk(K), mengungkapkan cek kesehatan rutin ini dapat menjadi salah satu deteksi dini berbagai masalah kesehatan pada anak. Mulai dari malnutrisi, anemia, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, infeksi, atau penyakit kronis lainnya.

    “IDAI berharap program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) untuk anak usia sekolah yang sangat baik ini dapat dilakukan secara menyeluruh dan merata pada semua anak Indonesia dan bukan hanya di sekolah-sekolah perkotaan atau daerah dengan fasilitas kesehatan memadai,” tutur dr Hikari dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Jumat (8/8/2025).

    “Karena Program PKG dilakukan melalui sekolah, maka perlu juga dipikirkan bagaimana untuk menjangkau anak putus sekolah,” sambungnya.

    dr Hikari juga mendorong agar hasil pemeriksaan dari program ini dapat disertai dengan rujukan ke fasilitas kesehatan lain. Misalnya seperti ke puskesmas atau rumah sakit, terutama bagi anak yang kurang mampu untuk membantu terkait biaya dan aksesnya.

    Selain itu, kesiapan infrastruktur harus diperhatikan. Sebab, masih banyak daerah yang memiliki keterbatasan dari alat pemeriksaan dasar, seperti timbangan, stadiometer, atau alat ukur hemoglobin.

    Menurut dr Hikari, hal ini yang membuat cek kesehatan sering terbatas pada pengukuran tinggi badan, berat badan, dan tekanan darah, tanpa pemeriksaan lanjutan seperti tes hemoglobin (untuk anemia), pemeriksaan kesehatan gigi-mulut, atau skrining gangguan mental.

    “Tentunya ini akan mengurangi efektifitas program tersebut. Dalam jangka panjang, beberapa penyakit penting juga diharapkan menjadi bagian dari Pemeriksaan Kesehatan Gratis seperti skrining thalasemia yang pembiayaannya sangat besar. Skrining thalasemia sangat penting untuk mencegah terjadinya sakit thalasemia sehingga akan sangat mengurangi pembiayaan kesehatan,” tuturnya.

    Tantangan lainnya adalah bagaimana menyadarkan orang tua dan pihak sekolah soal pentingnya cek kesehatan pada anak-anak. IDAI berharap program ini dapat berjalan beriringan dengan edukasi masyarakat terkait upaya pencegahan penyakit.

    Selain itu, IDAI berharap program ini tidak hanya menjadi formalitas, tetapi dapat berjalan secara berkelanjutan.

    Ketua Pengurus Pusat IDAI, dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA, Subs Kardio(K), program ini dapat melibatkan dokter spesialis anak yang jumlahnya lebih dari 5.600 dokter.

    “IDAI juga telah mengembangkan panduan protokol pemeriksaan kesehatan anak sekolah yang terstandarisasi,” tambah dr Piprim.

    dr Hikari berharap semua pihak, termasuk masyarakat, untuk bersama-sama memastikan program ini berjalan efektif dan berkelanjutan.

    “Dengan kolaborasi semua pihak, program ini dapat memberi dampak yang lebih besar bagi kesehatan anak Indonesia,” tutup dr Hikari.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/naf)

  • Pentingnya Kesehatan Mental pada Ibu Hamil dan Menyusui

    Pentingnya Kesehatan Mental pada Ibu Hamil dan Menyusui

    Jakarta

    Kelahiran seorang bayi bisa memunculkan beragam emosi yang kuat, mulai dari kebahagiaan dan antusiasme, hingga rasa takut dan cemas. Namun, di balik momen penuh haru ini, tak jarang muncul kondisi yang tak terduga: depresi.

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 10 persen Ibu hamil dan 13 persen Ibu yang baru melahirkan mengalami gangguan mental, terutama depresi. Di negara berkembang, angka ini bahkan lebih tinggi, yakni 15,6 persen selama kehamilan dan 19,8 persen setelah melahirkan.

    Sebagian besar Ibu baru akan mengalami kondisi yang dikenal sebagai baby blues setelah melahirkan. Gejalanya mencakup perubahan suasana hati, mudah menangis, rasa cemas, hingga gangguan tidur. Baby blues biasanya muncul dalam 2 hingga 3 hari pertama setelah persalinan dan dapat berlangsung hingga dua minggu.

    Namun, pada beberapa Ibu, gejala tersebut berkembang menjadi kondisi yang lebih serius dan berlangsung lebih lama, yaitu depresi pascapersalinan atau disebut postpartum depression, karena bisa muncul sejak masa kehamilan dan berlanjut setelah melahirkan. Dalam kasus yang sangat jarang, Ibu dapat mengalami gangguan suasana hati yang ekstrem yang dikenal sebagai postpartum psychosis atau psikosis pascapersalinan.

    Perlu dipahami bahwa depresi pascapersalinan bukanlah tanda kelemahan atau kekurangan pribadi. Ini adalah salah satu bentuk komplikasi medis yang dapat terjadi setelah melahirkan. Dengan penanganan yang cepat dan tepat, gejala dapat dikelola, dan hubungan emosional antara Ibu dan bayi tetap dapat terjalin dengan kuat.

    Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) melaporkan 57 persen Ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues. Persentase ini disebut menjadikan angka Ibu yang mengalami baby blues di Indonesia tertinggi se-Asia.

    “Lima puluh tujuh persen Ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues, angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara peringkat tertinggi di Asia dengan risiko baby blues,” kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Kemendukbangga/BKKBN Nopian Andusti dalam sebuah sesi diskusi daring.

    Sementara itu menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sekitar 9,1 persen Ibu mengalami keluhan saat masa nifas, 1,1 persen di antaranya mengalami baby blues.

    Guru Besar Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Endang Retno Surjaningrum, S.Psi, M.Appa, Psych, PhD, mengatakan pada 2019 tercatat prevalensi depresi postpartum pada rentang 20,5 hingga 25,4 persen, menjadikan satu dari lima perempuan mengalami kondisi kesehatan mental yang buruk.

    Ada berbagai faktor yang membuat seorang Ibu mengalami depresi dan gangguan mental, misalnya, perubahan hormon, stres fisik dan emosional, komplikasi kehamilan, hingga kurangnya dukungan sosial.

    “Ibu dengan masalah kesehatan mental berisiko mengalami komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Menyebabkan kunjungan ke perawatan antenatal dan postnatal terganggu, cakupan gizi yang tidak memadai, peningkatan risiko preeklamsia, melahirkan prematur, dan kesulitan menyusui,” papar Prof Endang, dikutip dari laman Universitas Airlangga (Unair).

    Ibu yang mengalami depresi setelah melahirkan dapat mengalami penderitaan yang mendalam, hingga kesulitan untuk menjalani aktivitas dasar seperti makan, mandi, atau merawat diri sendiri. Kondisi ini meningkatkan risiko gangguan kesehatan, baik fisik maupun mental.

    Menurut WHO, bayi baru lahir sangat sensitif terhadap lingkungan sekitarnya dan kualitas pengasuhan yang diterima. Karena itu, bayi sangat mungkin terdampak jika diasuh oleh Ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental.

    Depresi atau gangguan mental yang berat dan berkepanjangan dapat menghambat ikatan emosional antara Ibu dan bayi, termasuk mengganggu proses menyusui dan pemberian Air Susu Ibu (ASI).

    Hubungan Kesehatan Mental Ibu dengan Kelancaran ASI

    Pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada dasarnya dimulai dalam satu jam pertama setelah kelahiran dan dilanjutkan dengan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan. Artinya, bayi hanya diberikan ASI tanpa tambahan makanan atau minuman lain, termasuk air putih.

    Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan RI, dr Lovely Daisy, MKM, menjelaskan, ASI eksklusif sejak usia 0 hingga 6 bulan merupakan sumber gizi utama yang mengandung zat gizi terlengkap dan terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi.

    “ASI mengandung zat antibodi yang penting untuk kekebalan tubuh bayi dalam mencegah ataupun melawan penyakit infeksi,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (21/7/2025).

    “Di dalam ASI terdapat kandungan Asam Lemak (DHA dan ARA) yang penting untuk perkembangan otak sehingga pemberian ASI Eksklusif sangat disarankan pada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan. Menghemat pengeluaran keluarga dan negara jika dibandingkan dengan minuman selain ASI,” lanjutnya.

    Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, cakupan ASI eksklusif di Indonesia mencapai 68,6 persen. Provinsi dengan cakupan tertinggi antara lain Nusa Tenggara Barat (87,9 persen), Jambi (81,3 persen), dan Nusa Tenggara Timur (79,7 persen). Sementara itu, provinsi dengan cakupan terendah adalah Gorontalo (47,4 persen), Papua Barat Daya (47,7 persen), dan Sulawesi Utara (52 persen).

    Pentingnya Kesehatan Mental pada Ibu Hamil dan Menyusui Foto: infografis detikHealth

    Sementara itu, menurut data terbaru dari Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 74,73 persen anak usia 0-5 bulan mendapatkan ASI eksklusif.

    Meski angkanya cukup tinggi, masih ada bayi yang mungkin tak mendapatkan ASI eksklusif. Kondisi ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah gangguan kesehatan mental yang dialami Ibu pasca melahirkan.

    Gangguan seperti baby blues maupun depresi pascapersalinan dapat menghambat proses menyusui. Ibu yang mengalami kondisi ini sering kali merasa cemas, sedih, atau kelelahan secara emosional, sehingga kesulitan memberikan ASI secara optimal.

    Menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Clinical Nutrition yang berjudul ‘Maternal stress in the Postpartum Period is Associated with Altered Human Milk Fatty Acid Composition’, stres yang dialami Ibu pada bulan pertama setelah melahirkan berhubungan dengan penurunan kadar total asam lemak (fatty acid) dalam ASI. Temuan ini mengindikasikan perubahan dalam komposisi ASI bisa menjadi salah satu jalur penularan dampak stres dari Ibu ke bayi.

    “Asam lemak dalam ASI sangat krusial untuk perkembangan anak, termasuk neurologis,” tulis para ilmuwan dalam jurnal tersebut.

    Meski begitu, penelitian lanjutan diperlukan untuk menentukan apakah perubahan ini berdampak terhadap perkembangan anak di masa depan.

    Studi lainnya yang dipublikasikan di International Breastfeeding Journal dengan judul ‘Association Between Postpartum Anxiety and Depression and Exclusive and Continued Breastfeeding Practices: a Cross-Sectional Study in Nevada, USA,’ juga mengatakan gejala kecemasan dan depresi pasca-persalinan Ibu sebagai faktor yang terkait dengan praktik menyusui yang lebih rendah di antara anak-anak di bawah usia dua tahun (0-23 bulan).

    “Adanya depresi serta adanya komorbiditas gejala kecemasan dan depresi pascapersalinan dikaitkan dengan Exclusive Breastfeeding (EBF) yang lebih rendah. Selain itu, gejala kecemasan pascapersalinan dikaitkan dengan (Continuous Breastfeeding) yang lebih rendah,” demikian laporan jurnal tersebut.

    Senada, Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Naomi Esthernita, SpA, SubspNeo(K) menjelaskan kesehatan mental Ibu sangat memengaruhi kelancaran menyusui, baik dari segi kuantitas maupun kualitas ASI yang dihasilkan.

    “Literatur banyak sekali yang membahas terutama mental. Itu ada anxiety, stress, dan depresi postpartum. Ibu-Ibu yang mengalami stress postpartum itu akan berbeda dalam hal ASI-nya berbeda kualitas dari efek fatty acid-nya. Jadi asam lemaknya beda. Dan setelah diteliti banyak hal, beberapa case juga kan skor stresnya tingginya si Ibu nih,” ucapnya kepada detikcom, Senin (21/7).

    Tak hanya itu, stres emosional juga menyebabkan peningkatan kadar hormon kortisol, yang pada gilirannya dapat menurunkan kadar prolaktin, hormon utama untuk produksi ASI. Bahkan, stres yang berkelanjutan juga bisa mengubah komposisi mikrobiota dalam ASI, yang penting untuk membentuk kekebalan tubuh bayi.

    “Berarti memang masalah kesehatan mental ini baik baby blues atau postpartum depression ini sangat mempengaruhi kualitas dan produksi ASI itu sendiri. Jadi komposisi ASI juga menurut literatur akan berbeda. Terus juga dengan stress volume asinnya juga bisa berkurang karena stres, cortisol nya naik, hormon prolaktinnya jadi turun,” lanjutnya.

    Karena itu, menurut dr Naomi, isu kesehatan mental seperti baby blues dan depresi pascapersalinan perlu mendapat perhatian serius karena sangat berpengaruh terhadap keberhasilan menyusui. Tanpa dukungan yang tepat, gangguan mental pada Ibu dapat menghambat keterikatan Ibu dan bayi, serta menurunkan keberhasilan pemberian ASI eksklusif.

    Terlebih, anak yang tak mendapatkan ASI dikaitkan dengan risiko kesehatan, termasuk stunting. Menurut studi yang dipublikasikan di Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia dengan judul ‘Tinjauan Sistematis: Faktor Pelindung dari Risiko Stunting pada Masa Menyusui’, ASI mengandung berbagai nutrisi penting, mulai dari makronutrien seperti protein, karbohidrat, lemak, dan karnitin, hingga mikronutrien seperti vitamin, mineral, serta zat bioaktif yang dIbutuhkan oleh bayi dan anak di bawah lima tahun.

    “Pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan risiko stunting, karena bayi dan anak di bawah lima tahun sangat membutuhkan nutrisi yang terkandung dalam ASI,” demikian bunyi studi tersebut.

    Sebaliknya, rendahnya cakupan pemberian ASI dapat berdampak buruk terhadap kualitas hidup anak di masa depan dan bahkan memengaruhi kondisi ekonomi suatu negara.
    “Upaya penurunan stunting di mana satu di antaranya adalah pemberian ASI eksklusif,” ucap dr Daisy.

    dr Daisy juga mengatakan penting pula menekankan proses menyusui secara langsung atau Direct Breastfeeding (DBF), karena dapat membangun ikatan emosional (bonding) antara Ibu dan bayi. Jika ASI diberikan tidak secara langsung, maka perlu menggunakan perantara seperti botol dan dot yang berisiko terkontaminasi jika tidak dicuci dan disterilkan dengan benar.

    Selain manfaat dari sisi psikologis, menyusui secara langsung juga memberikan stimulasi pada otak Ibu melalui isapan bayi. Proses ini merangsang pelepasan hormon prolaktin yang berfungsi memproduksi ASI, serta hormon oksitosin yang membantu mengalirkan ASI. Dengan demikian, produksi ASI cenderung lebih optimal ketika bayi menyusu langsung dari payudara.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: Jangan Panik Moms Jika ASI Tak Langsung Keluar Setelah Melahirkan”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/up)

  • Video IDAI Minta Tunjangan Dokter Spesialis Daerah 3 T Jangan Dipotong!

    Video IDAI Minta Tunjangan Dokter Spesialis Daerah 3 T Jangan Dipotong!

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyambut baik kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan tunjangan Rp30 juta tiap bulan bagi dokter spesialis maupun subspesialis yang bekerja di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T).

    Ketua Pengurus Pusat IDAI, DR. Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), meminta pemerintah wajib banget kasih tunjangan & insentif full, gak boleh ada potongan sama sekali. Harus ada dasar hukum yang jelas juga, biar gak sekadar janji.

    Tonton juga berita video lainnya di sini ya…

  • IDAI Kasih Catatan soal Kebijakan Tunjangan Dokter di Daerah 3T

    IDAI Kasih Catatan soal Kebijakan Tunjangan Dokter di Daerah 3T

    Akhirnya dokter spesialis yang ngabdi di pelosok dapet perhatian lebih nih! Presiden Prabowo teken aturan soal tunjangan khusus.

    Tapi IDAI ngasih reminder, duit saja nggak cukup kalau fasilitas dasar kayak listrik, air, dan internet masih ngadat. katanya ini bukan soal bonus doang, tapi soal layak hidup buat yang berjuang di garis depan kesehatan

    Tonton juga berita video lainnya di sini ya…

  • Donor ASI Tak Bisa Sembarangan, Ini Kata Dokter Anak

    Donor ASI Tak Bisa Sembarangan, Ini Kata Dokter Anak

    JAKARTA – Di Indonesia, praktik donor Air Susu Ibu (ASI) semakin mendapat perhatian, terutama karena belum tersedianya fasilitas resmi seperti milk bank (bank ASI) yang berstandar nasional. Meski demikian, kebutuhan akan ASI donor terus meningkat, terutama untuk bayi-bayi dengan kondisi kesehatan kritis seperti prematuritas.

    Oleh karena itu, edukasi mengenai prosedur dan standar keamanan donor ASI menjadi sangat penting agar pemberiannya tidak menimbulkan risiko kesehatan baik bagi pendonor maupun penerima.

    Ketua Satuan Tugas ASI dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Naomi Esthernita F.D., Sp.A., Subsp.Neo(K), menekankan bahwa proses donor ASI tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Baik pendonor maupun penerima harus memenuhi persyaratan medis tertentu, dan pelaksanaannya sebaiknya berbasis fasilitas kesehatan.

    “Donor ASI tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan informasi dari internet. WHO sendiri menyatakan bahwa donor ASI tidak boleh dilakukan melalui platform daring tanpa prosedur medis yang benar. Setiap pendonor harus melalui proses screening, dan ASI yang diberikan harus melalui proses pasteurisasi,” jelas dr. Naomi dalam sebuah webinar, seperti dikutip ANTARA.

    Lebih lanjut, dr. Naomi menjelaskan bayi yang layak menerima ASI donor umumnya adalah mereka yang memiliki indikasi medis jelas, seperti bayi prematur dengan berat badan di bawah 1.500 gram dan belum dapat menerima ASI dari ibunya. Pemberian donor ASI bukan untuk alasan kenyamanan semata, apalagi jika ibu bayi sebenarnya mampu menyusui.

    “ASI donor hanya diberikan jika ada indikasi medis. Bukan karena ibunya tidak ingin menyusui, lalu memilih cara praktis dengan mencari donor ASI,” tegasnya.

    Dari sisi pendonor, ada tanggung jawab besar yang harus dipenuhi. Seorang ibu baru bisa menjadi pendonor jika produksi ASI-nya melebihi kebutuhan bayinya sendiri. Apabila produksinya belum mencukupi untuk anaknya, maka ia tidak disarankan untuk menjadi donor karena dapat mengganggu pertumbuhan bayinya sendiri.

    Selain memastikan kecukupan ASI, calon pendonor juga wajib menjalani serangkaian pemeriksaan medis untuk memastikan bahwa ia dalam kondisi sehat dan tidak membawa penyakit menular. Pemeriksaan tersebut meliputi Hepatitis B, Hepatitis C, HIV, CMV (Cytomegalovirus), dan sifilis.

    “Semua calon pendonor harus melalui tahapan screening yang ketat di rumah sakit. Jika hasilnya dinyatakan aman, barulah ASI tersebut bisa diberikan kepada bayi lain, dan harus melewati proses pasteurisasi untuk membunuh kemungkinan mikroorganisme berbahaya,” tambah dr. Naomi.

    Walaupun Indonesia saat ini belum memiliki bank ASI resmi berskala nasional, beberapa rumah sakit pendidikan mulai mengembangkan unit-unit donor ASI sebagai langkah awal menuju sistem yang lebih terorganisir. Unit ini dapat menjadi pusat informasi dan edukasi yang valid bagi masyarakat yang membutuhkan atau ingin menjadi pendonor ASI.

    “Bank ASI nasional memang belum tersedia. Tapi beberapa rumah sakit besar sudah memiliki unit donor ASI yang mengikuti prosedur medis sesuai standar,” ujar dr. Naomi.

    Dengan pemahaman dan edukasi yang tepat, diharapkan masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan donor ASI dengan cara yang aman, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan medis.

  • Video IDAI Tekankan Pentingnya Akses Pelayanan Kesehatan di RI

    Video IDAI Tekankan Pentingnya Akses Pelayanan Kesehatan di RI

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ungkap pada tahun 2023, Indonesia punya sebanyak 10.180 puskemas, 2.636 rumah sakit, 14.564 klinik pratama, 2.697 klinik Utama dan 12.411 praktik mandiri tenaga medis. Sementara standar internasional WHO ungkap setidaknya harus ada 2 puskesmas primer per 100.000 penduduk untuk memastikan akses layanan Kesehatan yang memadai, terutama di wilayah-wilayah yang padat penduduk atau sulit dijangkau.

    Atas hal ini, Pediatri Sosial IDAI dr.Hesti Lestari tekankan meskipun Indonesia butuh jumlah fasilitas dan layanan kesehatan yang memadai. Namun, kulitas pelayanan juga tak kalah penting. Berikut penjelasan lengkapnya…

    detikers, klik di sini untuk menonton video lainnya!