NGO: IDAI

  • Anjuran Mengkonsumsi Obat Cacing Yang Tepat

    Anjuran Mengkonsumsi Obat Cacing Yang Tepat

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI dr Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes mengungkapkan obat cacing bisa dikonsumsi kapan saja. Meski begitu, ia menyebut waktu yang optimal adalah mengonsumsi obat cacing pada saat perut kosong.

    Lalu bagaimanakah pemberian obat cacing yang disarankan? Yuk simak penjelasan dokter berikut ini.

    Tonton juga berita video lainnya di sini ya…

  • Video Catatan Ketua IDAI soal Penyakit Cacingan: Bukan Masalah Biasa

    Video Catatan Ketua IDAI soal Penyakit Cacingan: Bukan Masalah Biasa

    Video Catatan Ketua IDAI soal Penyakit Cacingan: Bukan Masalah Biasa

  • RSCM Buka Suara soal Ramai Ketua IDAI Tak Boleh Layani Pasien BPJS

    RSCM Buka Suara soal Ramai Ketua IDAI Tak Boleh Layani Pasien BPJS

    Jakarta

    Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) buka suara terkait ramai pengakuan Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), Subsp Kardio(K), tidak lagi diperbolehkan melayani pasien BPJS.

    Pihaknya menekankan dr Piprim secara resmi sudah dimutasi ke RSUP Fatmawati. Proses mutasi tersebut dinilai menjadi hal wajar bagi aparatur sipil negara (ASN). RSCM memastikan ketersediaan tenaga medis dan subspesialis terutama kardiologi anak tetap terjaga dengan dimutasinya dr Piprim.

    “Proses manajemen talenta yang berlangsung tidak akan mengurangi jaminan akses pelayanan kepada pasien,” demikian keterangan resmi RSCM, seperti yang diterima detikcom, Sabtu (23/8/2025).

    Adapun alasan mutasi diberlakukan bermaksud untuk pemenuhan kebutuhan organisasi, pengembangan potensi pegawai, serta peningkatan kinerja.

    “RSCM mendukung penuh kebijakan mutasi ini karena pada dasarnya bertujuan memperluas jangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan demikian, layanan jantung anak tidak hanya tersedia di RSCM, tetapi juga di RSUP Fatmawati,” lanjut pihak RSCM.

    Berdasarkan status tersebut, dr Piprim secara administratif kini berpindah kepegawaian menjadi berada di RSUP Fatmawati. RSCM menyebut dr Piprim tetap bisa melanjutkan pelayanan baik pada peserta BPJS Kesehatan maupun non-JKN di jam kerja yang sesuai kewenangan RSUP Fatmawati.

    “Sebagai rumah sakit rujukan nasional, RSCM menegaskan tetap menjunjung tinggi regulasi serta norma terkait pengelolaan ASN. Dengan prinsip profesionalisme, integritas, dan pelayanan terbaik, RSCM berkomitmen menghadirkan kenyamanan serta kepastian akses layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat,” tutup pernyataan tersebut.

    Duduk Perkara Mutasi dr Piprim

    Terpisah, dr Piprim menjelaskan awal mula perkara dirinya hingga tidak lagi diperkenankan berpraktik melayani pasien BPJS. Pada Rabu (20/8) ia dipanggil jajaran direksi untuk menutup akun pelayanan BPJS di RSCM. Karenanya, ia hanya bisa melayani pasien swasta di RSCM Kencana.

    “Yang mungkin teman-teman tahu sendiri ya tarif RSCM Kencana itu konsultasinya saja kira-kira hampir ada Rp 1 juta lebih bahkan, tergantung kelasnya,” tuturnya, pasca menghadiri deklarasi Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI), Jumat (22/8).

    Sementara tarif untuk memeriksa USG jantung atau echocardiography (echo) bisa sekitar Rp 3 juta. Karenanya total perkiraan untuk mendapatkan pelayanan non-JKN dengan dr Piprim di RSCM minimal sekitar Rp 4 juta.

    “Jadi kalau pasien mau ketemu saya di poli swasta Kencana itu kira-kira dia harus siap Rp 4 juta, sementara akun pelayanan BPJS saya di poliklinik pelayanan jantung terpada dan juga di RSCM Kiara yang biasanya gratis itu ditutup,” sesalnya.

    Alasan Menolak Dimutasi

    Penutupan tersebut diduga menjadi berawal dari polemik adanya dualisme kolegium Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Pihaknya tetap konsisten dari hasil kongres bersama organisasi profesi, mempertahankan kolegium dari IDAI.

    “Sementara Menteri Kesehatan bikin kolegium anak, ini kan jadi ada dualisme kolegium dan kemudian karena saya dianggap tidak kooperatif, maka saya dimutasi,” tuturnya.

    dr Piprim menyebut sudah menerima kabar mutasi sejak dua bulan lalu sebelum akhirnya surat resmi ia terima. Kala itu, ia mengaku sempat diberitahu oleh senior bila tidak kooperatif dalam pembentukan kolegium, proses mutasi akan diberlakukan. Karenanya, dr Piprim menolak mutasi tersebut dengan alasan tidak transparan dan termasuk tindakan abuse of power.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: dr Piprim IDAI Minta Mutasinya dari RSCM ke RS Fatmawati Ditinjau Ulang”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Ketua IDAI Tak Boleh Layani Pasien BPJS di RSCM, Kemenkes Beri Penjelasan

    Ketua IDAI Tak Boleh Layani Pasien BPJS di RSCM, Kemenkes Beri Penjelasan

    Jakarta

    Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Piprim Basarah Yanuarso mulai Jumat (22/8/2025), tak lagi diperkenankan menangani pasien anak dengan cover BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

    Dalam sebuah video yang diunggah melalui akun Instagram pribadinya, dokter spesialis jantung anak itu menjelaskan keputusan tersebut merupakan arahan dari Direksi RSCM dan Kementerian Kesehatan.

    “Kepada seluruh orang tua pasien saya, anak-anak dengan penyakit jantung bawaan maupun didapat, mohon maaf sebesar-besarnya. Mulai hari ini saya tidak bisa lagi melayani putra-putri bapak ibu yang menggunakan BPJS di PJT atau di Kiara RSCM. Atas arahan Direksi RSCM, saya hanya bisa melayani pasien di Poli Swasta Kencana RSCM,” ujar dr Piprim.

    Ia menambahkan, kondisi ini berimbas pada biaya yang harus ditanggung pasien. Salah satunya adalah pemeriksaan echocardiography (echo). “Sehingga untuk bisa berobat dan diperiksa echo sekarang Bapak Ibu harus membayar sekitar Rp 4 juta rupiah karena di sana tidak dicover BPJS,” ucapnya.

    Menanggapi pemberitaan tersebut, Kementerian Kesehatan menyampaikan klarifikasi. Sejak April 2025, dr Piprim disebut sudsh resmi dimutasi untuk bertugas di RSUP Fatmawati Jakarta. Dengan penugasan baru itu, dr Piprim tetap dapat memberikan pelayanan kesehatan, termasuk bagi pasien pengguna BPJS.

    “Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), seorang dokter memang harus siap ditugaskan di manapun. Mutasi ini dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta mempertimbangkan kebutuhan institusi dan pengembangan layanan kesehatan bagi masyarakat,” demikian penjelasan Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, Sabtu (23/8).

    Kemenkes memastikan, pasien yang selama ini mendapatkan perawatan dari dr Piprim masih bisa mengakses layanannya di RSUP Fatmawati. Skema pembiayaan yang tersedia disebut tetap beragam, mulai dari mandiri, asuransi swasta, hingga Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan.

    Pemindahan tenaga kesehatan senior seperti dr Piprim diklaim Kemenkes sebagai bagian dari strategi memperkuat layanan rujukan di rumah sakit pusat.

    Dengan fasilitas dan kapasitas RSUP Fatmawati, Kemenkes berharap pelayanan kesehatan anak, terutama pada kasus-kasus kompleks, dapat lebih optimal dan tetap terjangkau bagi masyarakat.

    (naf/naf)

  • Video: Dokter Jelaskan Proses Cacing Gelang Bisa Hidup di Tubuh Manusia

    Video: Dokter Jelaskan Proses Cacing Gelang Bisa Hidup di Tubuh Manusia

    Jakarta – Sebagaimana diberitakan soal meninggalnya Raya, anak 4 tahun di Sukabumi yang meninggal akibat infeksi cacing gelang (Ascaris Lumbricoides). Sebelum meninggal, cacing-cacing juga sempat keluar dari lubang hidung dan mulutnya dalam keadaan hidup.

    Berkaca dari kasus tersebut, banyak yang menanyakan gimana bisa cacing hidup di tubuh anak. Dokter dari UKK Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menjelaskan bahwa proses dari telur cacing yang tertelan hingga jadi cacing dewasa di tubuh manusia itu terjadi sekitar 2-3 bulan.

    detikers, klik di sini untuk menonton video lainnya!

    (/)

  • IDAI Soroti Masalah di Balik Kematian Balita Sukabumi Pasca Kecacingan

    IDAI Soroti Masalah di Balik Kematian Balita Sukabumi Pasca Kecacingan

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menilai kasus balita meninggal akibat cacingan di Sukabumi menjadi pengingat pentingnya upaya promotif dan preventif kesehatan anak. Edukasi pola hidup bersih dan sehat (PHBS) serta akses layanan kesehatan dasar dinilai krusial untuk mencegah kejadian yang sama terulang.

    Ketua Umum IDAI, dr Piprim Basarah Yanuarso, mengatakan persoalan kecacingan tidak bisa dilihat semata dari aspek medis, melainkan juga berkaitan dengan faktor sosial.

    “Kalau masalah kecacingan, kita tidak bisa melihatnya dari satu aspek saja, yaitu penyakit. Ini masalah sosial juga,” ujar Piprim di Jakarta, Jumat, (22/8/2025).

    IDAI memiliki program Pediatrician Social Responsibility, yakni inisiatif saat satu dokter anak menjadi relawan untuk mendampingi dua puskesmas. Menurut Piprim, pendekatan ini bisa diperluas ke tenaga kesehatan dan kader untuk memastikan edukasi PHBS berjalan efektif.

    Ia mencontohkan, edukasi dasar seperti cara mencuci tangan yang benar, pemberian obat cacing secara berkala setiap enam bulan, serta pengawasan langsung kader menjadi langkah nyata yang bisa dilakukan.

    “Kalau pemberian obatnya diawasi dengan baik, lalu ada balita yang tidak datang kemudian didatangi, maka pencegahannya bisa berjalan optimal,” katanya.

    Selain itu, ia menilai program Bina Keluarga Balita (BKB) perlu digiatkan kembali sebagai bagian dari pencegahan. Piprim menekankan, pembangunan kesehatan seharusnya dimulai dari hulu, yakni melalui edukasi dan pengobatan preventif, bukan sekadar hilirisasi kesehatan gedung-gedung RS belasan lantai dan cathlab miliaran rupiah.

    Sebelumnya, seorang balita bernama Raya dibawa ke RSUD Syamsudin, Sukabumi, pada 13 Juli 2025 karena dalam kondisi kritis. Saat penanganan, cacing sempat keluar dari hidung balita tersebut.

    Hasil pemeriksaan medis menunjukkan Raya terkena ascariasis, yakni infeksi akibat cacing gelang (Ascaris lumbricoides).

    Ibunya disebut mengalami masalah mental sehingga kesulitan mengasuh, sementara ayah-nya mengidap tuberkulosis (TB). Keluarga juga tidak memiliki kepesertaan BPJS Kesehatan, sehingga sulit mengakses layanan medis.

    Raya meninggal dunia pada 22 Juli 2025. Menanggapi kasus ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjatuhkan sanksi administratif kepada Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi. Ia memutuskan menghentikan sementara pencairan dana desa karena menilai perangkat desa lalai dalam menjalankan tanggung jawab terhadap warganya.

    (naf/kna)

  • Fenomena Gen Z Ramai Minum Obat Cacing di Medsos, Dokter Ingatkan: Jangan Asal Konsumsi, Tiap Obat Pasti Ada Efeknya
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        23 Agustus 2025

    Fenomena Gen Z Ramai Minum Obat Cacing di Medsos, Dokter Ingatkan: Jangan Asal Konsumsi, Tiap Obat Pasti Ada Efeknya Bandung 23 Agustus 2025

    Fenomena Gen Z Ramai Minum Obat Cacing di Medsos, Dokter Ingatkan: Jangan Asal Konsumsi, Tiap Obat Pasti Ada Efeknya
    Editor
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Kasus kematian seorang balita akibat telat penanganan penyakit kecacingan membuat banyak kalangan masyarakat resah, terutama generasi muda.
    Rasa takut akan bahaya cacingan kini ramai diperbincangkan di media sosial.
    Bahkan, sejumlah konten memperlihatkan generasi Z berbondong-bondong membeli obat cacing dan mengkonsumsinya demi mencegah infeksi cacing gelang.
    Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran baru, pasalnya, konsumsi obat cacing tanpa indikasi medis dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.
    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI, DR Dr Riyadi,SpA Subs IPT (K) MKes mengingatkan masyarakat untuk tetap bijak dalam penggunaan obat cacing.
    “Minum obat cacing kalau memang ada gejala itu boleh, dari umur 1 tahun sampai dewasa. Kalau di bawah 1 tahun, obat yang aman adalah pirantel pamoat. Namun, untuk anak di atas 1 tahun dan orang dewasa, konsumsi obat sebaiknya dilakukan atas saran dokter,” kata dr Riyadi dalam wawancara virtual, Jumat (22/8/2025).
    Menurut dr. Riyadi, obat cacing termasuk dalam kategori obat antimikroba yang bekerja melawan mikroorganisme.
    Sama seperti antibiotik, obat ini tidak boleh digunakan sembarangan.
    Kalau digunakan secara berlebihan tanpa indikasi yang jelas, ada kemungkinan menimbulkan resistensi meskipun saat ini belum ada bukti nyata, tapi kita harus waspada.
    “Selain itu, setiap obat tetap punya efek samping meski kecil. Jadi kalau tidak ada gejala, lebih baik jangan minum,” kata dia.
    Ia juga menekankan pentingnya mengikuti rekomendasi resmi dari tenaga kesehatan atau dinas kesehatan setempat.
    “Ikuti indikasi dan anjuran yang diberikan dokter atau otoritas kesehatan. Jangan hanya ikut-ikutan tren di media sosial,” tegasnya.
    Lebih lanjut, dr. Riyadi menjelaskan cara kerja obat cacing.
    “Rata-rata obat cacing bekerja dengan membuat larva terbunuh atau menghambat kemampuan cacing menyerap glukosa. Jadi cacing tidak mendapatkan gula, kemudian mati secara alamiah. Itu wajar jika cacing keluar bersama feses. Justru bagus, berarti obat bekerja, yang berbahaya kalau cacingnya malah mati dan menyumbat di dalam usus,” paparnya.
    Kasus kematian balita akibat kecacingan ini diharapkan menjadi pengingat pentingnya deteksi dini dan penanganan medis yang tepat.
    Cacingan bukanlah penyakit sepele, namun juga tidak bisa ditangani dengan konsumsi obat secara asal.
    Peran orang tua dalam menjaga kebersihan anak, memperhatikan pola makan, serta rutin melakukan pemeriksaan kesehatan sangatlah penting untuk mencegah penyakit ini.
    Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul
    Fenomena Gen Z Ramai Konsumsi Obat Cacing di Medsos, Dokter Ingatkan Jangan Konsumsi Tanpa Indikasi
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tren Beli Obat Cacing di Kalangan Gen Z Buntut Meninggalnya Bocah Sukabumi

    Tren Beli Obat Cacing di Kalangan Gen Z Buntut Meninggalnya Bocah Sukabumi

    Jakarta

    Kasus kematian Raya, balita di Sukabumi, Jawa Barat, pasca infeksi kecacingan sontak menjadi perhatian publik. Penyakit yang selama ini dianggap ringan ternyata bisa berdampak serius bila tidak kunjung diobati, lantaran berpengaruh pada kondisi gizi anak.

    Imbas peristiwa tersebut, tidak sedikit warganet utamanya generasi Z panik dan buru-buru membeli obat cacing. Video-video di TikTok memperlihatkan sejumlah Gen Z yang kembali minum obat cacing setelah bertahun-tahun tidak pernah mengonsumsinya.

    “POV: gen z setelah lihat kasus yang lagi viral, langsung buru-buru minum obat cacing setelah 2 tahun nggak minum obat cacing,” beber salah satu pengguna akun TikTok **iau**lll, seperti dilihat detikcom Jumat (22/8/2025).

    “Jangan lupa minum obat cacing 6 bulan sekali. Terakhir minum pas SD, sekarang umur 26 baru minum lagi,” tulis salah satu narasi video viral.

    “Ketakutan Gen Z: minum obat cacing,” komentar pengguna TikTok lain.

    Kasus Raya memicu diskusi lebih luas di publik, apakah orang dewasa yang tinggal di perkotaan dengan kondisi sehat juga perlu rutin minum obat cacing?

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes, menegaskan obat cacing pada dasarnya aman dikonsumsi segala usia. Lantaran kecacingan tidak hanya menyerang anak-anak, tetapi juga bisa dialami orang dewasa.

    “Minum obat cacing kalau bergejala boleh, umur 1 tahun sampai umur berapa pun bisa. Di atas 1 tahun, kalau ada gejala, ada indikasi, jangan lupa minum obat harus dengan saran dokter,” jelas dr Riyadi dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Namun, ia mengingatkan agar penggunaan obat cacing tetap harus sesuai indikasi. “Obat cacing itu kayak antibiotik, dia antimikroba. Jangan berlebihan karena ada kemungkinan resisten,” tegasnya.

    Infeksi cacing bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang dewasa. Penularannya biasanya melalui makanan yang terkontaminasi atau kebiasaan hidup dengan sanitasi buruk.

    Dikutip dari Mayo Clinic, gejalanya dapat berupa:

    Gatal di area anus atau vaginaGangguan pencernaan seperti diare, mual, atau nyeri perutPenurunan berat badan tanpa sebab yang jelasRasa lelah berkepanjangan

    Menurut dr Riyadi, meskipun jarang secara langsung menyebabkan kematian, kecacingan memiliki dampak kronis. “Kecacingan bisa membuat seseorang lebih rentan terinfeksi penyakit lain dan memperburuk kesehatan dalam jangka panjang,” ujarnya.

    Tidak Semua Orang Perlu Minum

    Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof Zullies Ikawati, mengingatkan agar masyarakat tidak serta-merta latah ikut membeli obat cacing jika tidak ada indikasi. Menurutnya, konsumsi obat cacing tidak diwajibkan bagi semua kelompok masyarakat.

    “Orang dewasa yang sehat, tinggal di lingkungan dengan sanitasi baik, air bersih, serta kebersihan pribadi terjaga, sebenarnya tidak perlu minum obat cacing setiap enam bulan. Namun, tetap dianjurkan bila ada risiko tinggi atau gejala,” tutur Prof Zullies.

    Meski begitu, ia menegaskan bahwa pemberian obat cacing rutin enam bulan sekali sangat dianjurkan bagi mereka yang tinggal di daerah endemis atau wilayah dengan angka kecacingan masih tinggi.

    “Pemberian obat cacing dianjurkan secara rutin setiap 6 bulan sekali, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa yang tinggal di daerah endemis. Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO dan Kementerian Kesehatan RI melalui program mass drug administration (MDA),” jelasnya.

    Risiko Infeksi Ulang

    Prof Zullies menambahkan, obat cacing yang selama ini diberikan, seperti albendazol 400 mg atau mebendazole 500 mg dosis tunggal, efektif membunuh cacing dewasa, tetapi tidak bisa mencegah telur atau larva baru masuk ke tubuh.

    “Seseorang bisa kembali terinfeksi dalam beberapa minggu hingga bulan setelah pengobatan. Obat hanya membunuh cacing dewasa,” ungkapnya.

    Karena itu, bagi kelompok berisiko tinggi, pemberian obat cacing secara berkala menjadi penting agar infeksi tidak berulang dan tidak menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang.

    Kelompok Prioritas Pemberian Obat Cacing

    Prof Zullies merinci kelompok masyarakat yang lebih rentan terinfeksi cacing, sehingga menjadi prioritas dalam pemberian obat cacing rutin, yaitu:

    Anak prasekolah (1-5 tahun): sering bermain tanah tanpa alas kaki.Anak usia sekolah (6-14 tahun): target utama program pemberian obat cacing di sekolah dasar.Wanita usia subur: termasuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga.Orang dewasa di daerah endemis dengan sanitasi buruk: seperti pekerja sawah, kebun, tambang, atau mereka yang sering kontak dengan tanah.Populasi dengan status gizi rendah.

    “Dengan memahami sasaran dan jadwal yang tepat, pemberian obat cacing akan lebih efektif dalam mencegah malnutrisi, anemia, serta dampak jangka panjang akibat kecacingan,” pungkas Prof Zullies.

    Fenomena paniknya Gen Z yang ramai-ramai membeli obat cacing memperlihatkan adanya kekhawatiran yang wajar, tetapi perlu dilandasi informasi yang tepat. Obat cacing aman dan bermanfaat, tetapi harus digunakan sesuai indikasi dan anjuran tenaga kesehatan.

    Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis atau masuk kelompok berisiko, pemberian obat cacing rutin merupakan langkah penting untuk menjaga kesehatan. Namun, bagi mereka yang hidup di lingkungan bersih dengan sanitasi baik, konsumsi obat cacing bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan gejala yang muncul dan tetap perlu anjuran dokter.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video: Dokter Ingatkan soal Tren Beli Obat Cacing Usai Kasus Balita Sukabumi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

    Tren Gen Z Beli Obat Cacing

    5 Konten

    Kasus meninggalnya seorang bocah di Sukabumi karena kecacingan yang tidak tertangani menuai sorotan banyak pihak. Bahkan memunculkan tren baru di kalangan Gen Z, yakni ramai-ramai beli dan minum obat cacing sendiri.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Berkaca dari Kasus di Sukabumi, Mengapa Cacingan Picu Kematian? Ini Kata IDAI

    Berkaca dari Kasus di Sukabumi, Mengapa Cacingan Picu Kematian? Ini Kata IDAI

    Jakarta

    Kecacingan termasuk sebagai penyakit tropis yang terabaikan karena gejalanya yang tidak spesifik dan butuh waktu lama untuk muncul. Penyakit ini jarang menimbulkan gejala berat, sehingga sering kali luput dari perhatian.

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI dr Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes mengingatkan untuk tidak mengabaikan penyakit kecacingan.

    “Kecacingan jangan kita lupakan, karena perjalanannya lama. Kalau kita obatinya dengan cepat, kita lakukan tindakan pencegahan tidak akan sampai dalam kondisi yang berat,” kata dr Riyadi dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Ada tiga jenis kelompok besar cacing, yaitu cacing pita, cacing gelang, dan cacing hisap. Kendati demikian cacing gelang yang paling banyak menginfeksi. Cacing dikatakan tidak menyebabkan kematian tinggi, tapi secara signifikan bisa memengaruhi anak.

    “Efeknya kalau dia (anak) terkena kecacingan karena dia penyakit yang berlangsung lama akan memengaruhi tumbuh kembangnya efeknya ya tadi bisa memengaruhi generasi kita di kemudian hari ya,” tambah dr Riyadi.

    Kecacingan bisa mempengaruhi asupan pencernaan dan penyerapan. Semua aspek makanan yang masuk akan diganggu cacing, sebab makanan yang dikonsumsi dimakan juga oleh cacing, sehingga tidak optimal.

    Ada juga cacing tambang yang suka menghisap darah yang membuat anak hilang darah dan menyebabkan sering pucat. Hal ini membuat perkembangan fisik dan kecerdasan produktivitas kerjanya terganggu sebab kurangnya nutrisi.

    “Sehingga selain dia cacingan sendiri, bisa mudah kena penyakit lain,” tuturnya.

    Jika ada anak sampai meninggal, bisa jadi kecacingan menjadi faktor yang memperberat. Kemudian ada faktor lain yang membuat anak terkena penyakit dan menyebabkan hal fatal.

    “Kalau anak sampai meninggal, ada faktor lain, misalnya terkena penyakit lain yang menyebabkan hal fatal. Karena berlangsung kronis, bisa menjadi stunting. Stunting selain penyebabnya gizi kurang, tapi juga penyakit kronis salah satunya kecacingan,” tandas dr Riyadi.

    (elk/elk)

  • Video: Hampir 80 Persen Cacingan Gelang Terjadi pada Usia Sekolah

    Video: Hampir 80 Persen Cacingan Gelang Terjadi pada Usia Sekolah

    Jakarta – Belakangan tengah viral kasus balita di Sukabumi yang meninggal karena terinfeksi lebih dari 1 kilogram cacing di dalam tubuhnya. Kemenkes mengungkap kasus yang dialami balita tersebut karena cacing gelang atau cacing Ascaris Lumbricoides.

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI DR Dr Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes mengungkapkan hampir 80 persen cacing gelang terjadi pada anak usia sekolah yaitu sekitar 5-10 tahun. Adapun, kelompok kedua yang paling banyak terkena adalah anak usia pra-sekolah yaitu sekitar 2-5 tahun.

    Klik di sini untuk menonton video lainnya…

    (/)

    kasus balita kasus balita di sukabumi balita cacingan balita raya sukabumi 1 kilogram cacing cacing ascaris lumbricoides ascaris lumbricoides cacing gelang