NGO: IDAI

  • IDAI Ingatkan Ancaman Penyakit yang Bisa Serang Anak Imbas Banjir Sumatera

    IDAI Ingatkan Ancaman Penyakit yang Bisa Serang Anak Imbas Banjir Sumatera

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas rangkaian bencana yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera, mulai dari banjir di Aceh, Sumut, hingga Sumbar. Ketua Umum IDAI, dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), menegaskan bahwa anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terdampak dalam situasi ini.

    “Kami dari IDAI menyampaikan keprihatian mendalam atas musibah banjir yang melanda Aceh, Sumut, Sumbar, sebelumnya juga ada erupsi abu vulkanik Semeru,” ujar dr Piprim.

    Ia menuturkan, IDAI melalui anggota, cabang, dan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana turut mendukung penanganan kesehatan di lokasi bencana.

    Anak Jadi Kelompok Rentan

    Dirinya menegaskan bahwa anak-anak menghadapi risiko paling besar dalam kondisi darurat seperti banjir dan pengungsian. Karena itu, pemenuhan kebutuhan dasar anak harus menjadi prioritas.

    “Anak adalah korban paling rentan di situasi seperti ini dan perlu kita lindungi, mereka bisa alami trauma, ketakutan, mimpi buruk,” ujarnya.

    Menurut dr Piprim, lingkungan pengungsian yang padat dan sanitasi terbatas meningkatkan risiko penyakit menular.

    “Anak-anak ini rentan termasuk juga rentan terhadap penyakit menular di pengungsian, ada campak yang bisa menular ke mana-mana,” jelasnya.

    Ia juga mengingatkan potensi penyakit lain yang dapat meningkat dalam kondisi banjir seperti diare, demam berdarah dan leptospirosis.

    Di akhir, dr Piprim menyampaikan harapan agar pemerintah dapat memberikan perhatian lebih besar terhadap bencana yang terjadi.

    “Mudah-mudahan bisa dimasukkan sebagai bencana nasional ya,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: IDAI Berharap Banjir di Sumatera Ditetapkan Jadi Bencana Nasional”
    [Gambas:Video 20detik]
    (kna/kna)

  • Kasus Pertama, Pria di AS Sakit Terpapar Virus yang Belum Pernah Serang Manusia

    Kasus Pertama, Pria di AS Sakit Terpapar Virus yang Belum Pernah Serang Manusia

    Jakarta

    Untuk pertama kalinya, seorang pria dari negara bagian AS, Washington, terinfeksi jenis flu burung yang sebelumnya hanya terdeteksi pada hewan dan belum pernah dilaporkan pada manusia.

    Pria tersebut dilaporkan sakit parah dan dirawat di rumah sakit dengan gejala berikut:

    demam tinggikebingungangangguan pernapasan.

    Ia dipastikan mengidap H5N5, subtipe flu burung yang dibawa oleh burung liar seperti bebek dan angsa.

    Departemen Kesehatan Negara Washington menggambarkan pasien yang tidak disebutkan namanya itu adalah lansia dan memiliki komorbid atau penyakit penyerta.

    Badan tersebut mencatat pria ini memang memiliki kawanan unggas domestik campuran di halaman belakang rumahnya, Grays Harbor County, pesisir Pasifik barat daya negara bagian tersebut.

    “Dua unggas tersebut baru-baru ini mati,” lapor Washington Post.

    Pejabat di Washington meyakini kedua kelompok unggas tersebut kemungkinan besar merupakan sumber paparan virus.

    Pria itu masih dirawat di rumah sakit hingga minggu lalu, sementara penyelidikan masih berlanjut. Risiko penularan meluas di publik dinilai relatif rendah, menurut pejabat kesehatan Washington dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS CDC.

    Tidak ada orang lain yang dites saat ini positif H5N5. Tidak ada bukti penularan antarmanusia, meskipun para ahli telah mengakui evolusi virus tidak pernah benar-benar bisa diprediksi.

    H5N1 telah menyebar di AS sejak 2022, menginfeksi burung liar, unggas domestik, sapi perah, dan bahkan, terkadang, manusia. Tercatat 71 kasus flu burung H5 pada manusia di AS sejak 2024.

    Sebagian besar kasus datang dengan gejala ringan, tetapi seorang pasien di Louisiana meninggal dunia pada bulan Januari. Pria itu memelihara ayam di halaman belakang rumah yang telah terpapar virus dari burung liar.

    Tonton juga video “IDAI: Banyak Kasus Pneumonia Anak di RI Disebabkan Influenza”

    (naf/kna)

  • Dokter Beberkan Ciri-ciri Demam pada Anak yang Bisa Picu Penyakit Jantung

    Dokter Beberkan Ciri-ciri Demam pada Anak yang Bisa Picu Penyakit Jantung

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyoroti salah satu kondisi kesehatan anak yang masih belum banyak menjadi perhatian, yaitu demam rematik dan penyakit jantung koroner. Demam rematik merupakan reaksi kekebalan tubuh yang muncul 1-5 minggu setelah anak mengalami radang tenggorokan akibat infeksi bakteri Streptococcus beta-hemolyticus grup A (SGA).

    Ketika anak terlambat ditangani oleh tim medis, salah satu komplikasi yang dapat muncul adalah penyakit jantung rematik. Kondisi ini dapat memicu kecacatan pada katup jantung, sehingga anak rentan mengalami gagal jantung dan stroke.

    Ketua Unit Kerja Koordinasi Kardiologi IDAI dr Rizky Adriansyah, M Ked(Ped), SpA, Subsp Kardio(K) mengungkapkan demam rematik secara umum dapat menyerang organ lain. Selain pada jantung, kondisi ini dapat memicu gangguan pada otak, kulit, hingga sendi.

    “Paling sering itu diserangnya bengkak sendi awalnya. Tapi karena sendi sering dilatih, akhirnya dia berpindah-pindah, seringkali tidak bisa lari. Yang paling sulit diketahui itu kadang muncul eritema (sejenis ruam merah melingkar pada kulit) yang terdiagnosis kondisi lain,” kata dr Rizky ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).

    “Lalu, serangannya juga bisa pada otak, sehingga anak sering gelisah muncul gerakan-gerakan itu seperti gerakan menari,” sambungnya.

    dr Rizky menjelaskan pada demam rematik, anak akan mengalami radang tenggorokan dan demam tinggi yang tidak turun selama lebih dari 48 jam atau dua hari. Apabila setelah diberi obat penurun demam kondisi anak tidak membaik, maka harus segera dibawa ke dokter untuk pemeriksaan pasti.

    “Memang kalau sudah demamnya tidak teratasi dengan obat biasa, yang dikonsumsi, parasetamol misalnya, jangan dibiarkan. Orang tua harus membawa anaknya ke dokter. Dokter yang menentukan, oh ini (infeksi) virus atau ini bakteri,” sambungnya.

    Gejala penyerta yang akan muncul adalah bengkak sendi atau artritis. Ketika ini muncul, biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan, misalnya pada jantung dan darah.

    Ketika anak sudah mengalami penyakit jantung rematik, biasanya akan ada suara yang tidak normal dari jantung anak melalui pemeriksaan. Suaranya menurut dr Rizky seperti jantung yang bocor.

    Menurut dr Rizky, kondisi ini harus menjadi perhatian lebih masyarakat dan pemerintah. Selain dapat berakibat fatal, Indonesia merupakan wilayah endemis dari demam rematik dan penyakit jantung rematik dengan angka kematian di atas 0,15 per 100 ribu penduduk.

    Pada saat ini angka kematian akibat penyakit jantung rematik Indonesia berada di angka 4,8 per 100 ribu penduduk. Jumlah tersebut lebih tinggi dari kematian akibat malaria di angka 3 per 100 ribu.

    “Bahkan kalau kita lihat angka, angkanya lebih tinggi daripada malaria. Malaria sudah masuk program pemerintah, program dunia, tapi ini yang namanya penyakit jantung rematik ini belum masuk,” tandasnya.

    Masalah demam rematik diawali dengan radang tenggorokan yang disebabkan bakteri SGA. Gejalanya meliputi:

    Demam tinggi lebih dari 48 jam.Nyeri menelan, tidak disertai batuk dan pilek yang berat.Nyeri di daerah kelenjar leher.Amandel merah bengkak, terkadang bernanah.Ruam-ruam kemerahan pada sebagian kasus (scarlet fever).

    Kemudian, masalah infeksi SGA ini berlanjut menjadi demam rematik. Gejalanya meliputi:

    Muncul 1-5 minggu setelah radang tenggorokan akibat bakteri SGA.Nyeri dan bengkak sendi yang berpindah (lutut, siku, pergelangan tangan, dan pergelangan kaki).Gelisah menari atau Chorea Sydenham.Ruam merah melingkar.

    Ketika jantung sudah mulai terpengaruh, mulai muncul tanda-tanda tersendiri. Gejalanya meliputi:

    Sesak napas.Mudah lelah.Jantung berdebar.Nyeri dada sebelah kiri.Bengkak pada tungkai dan wajah.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/suc)

  • Waspadai Weight Faltering, Kondisi Gagal Tumbuh pada Balita

    Waspadai Weight Faltering, Kondisi Gagal Tumbuh pada Balita

    JAKARTA – Selain masalah berat badan berlebih (obesitas), terdapat kondisi lain yang perlu diperhatikan pada balita, yaitu weight faltering. Kondisi ini dapat memengaruhi tumbuh kembang balita dan meningkatkan risiko stunting jika tidak ditangani dengan tepat.

    “Weight faltering adalah sinyal balita tidak mendapatkan nutrisi sesuai kebutuhannya. Jika tidak ditangani lebih awal, dampaknya dapat berlanjut pada stunting yang memengaruhi perkembangan otak dan pertumbuhan jangka panjang,” ujar Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, dikutip dari laman Nutriclub.

    Weight faltering adalah kondisi ketika berat badan balita tidak berkembang sesuai standar usianya. Artinya penambahan berat badan berlangsung sangat lambat atau tidak bertambah. Kondisi ini juga dikenal dengan istilah faltering growth.

    Keadaan ini paling sering terjadi dalam 15 bulan pertama kehidupan, khususnya pada bayi usia 3–4 bulan, baik yang mendapatkan ASI eksklusif maupun formula.

    Tanda-Tanda Weight Faltering pada Bayi

    Tanda utama adalah kenaikan berat badan yang kurang atau tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan. Beberapa balita bahkan mengalami penurunan berat badan. Menurut IDAI, kenaikan berat badan normal balita adalah:

    – 25-30 gram per hari (750-900 gram per bulan) pada usia 0-3 bulan.

    – 20 gram per hari (600 gram per bulan) pada usia 4-6 bulan.

    – 15 gram per hari (450 gram per bulan) pada usia 6-9 bulan.

    Selain berat badan yang tidak naik sesuai usia, tanda lainnya antara lain:

    – Pertambahan lingkar kepala lebih kecil dari standar

    – Pertumbuhan panjang badan terhambat

    – Keterlambatan perkembangan sosial seperti kurang respons terhadap ekspresi wajah

    – Keterlambatan motorik, misalnya belum mampu berguling setelah usia 6 bulan atau belum duduk pada usia 9 bulan

    Pemantauan dapat dilakukan melalui KMS atau Buku KIA.

    Penyebab Weight Faltering

    Kondisi ini umumnya terjadi karena asupan nutrisi yang tidak memadai, namun ada beberapa faktor lain yang dapat memengaruhinya:

    1. ASI atau MPASI tidak mencukupi

    ASI eksklusif penting selama 6 bulan pertama. Setelah itu diperlukan MPASI yang kaya energi, protein, dan mikronutrien.

    2. Pola makan balita yang kurang baik

    Nafsu makan rendah, pemilih makanan (picky eater) atau kebiasaan makan yang tidak teratur dapat membatasi asupan nutrisi.

    3. Gangguan penyerapan nutrisi

    Beberapa balita kesulitan menelan, menyusu, atau memiliki kondisi yang membuat tubuh tidak dapat menyerap nutrisi dengan baik.

    4. Riwayat atau kondisi medis tertentu

    Sekitar 5% kasus berkaitan dengan masalah pencernaan atau penyakit lain yang mengganggu penyerapan zat gizi.

    Dampak Weight Faltering

    Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat menyebabkan underweight, wasting, gagal tumbuh dan risiko stunting meningkat. Selain itu, perkembangan penglihatan, kemampuan belajar, motorik, dan imunitas juga dapat terpengaruh.

    Cara Mengatasi Weight Faltering

    1. Terus berikan ASI

    ASI tetap menjadi sumber nutrisi utama bayi di bawah usia 1 tahun. Bila diperlukan, dokter dapat menyarankan tambahan susu sesuai kebutuhan.

    2. Perbaiki pola makan

    Pastikan jadwal makan teratur dan porsi yang sesuai dengan usia serta kondisi bayi.

    3. Cukupi energi dan protein

    – 0–5 bulan: 550 kkal dan 9 gram protein/hari

    – 6–11 bulan: 800 kkal & 15 gram protein/hari

    4. Hindari makanan berlebihan saat pemulihan

    Pemberian berlebihan dapat memicu diare dan mengganggu penyerapan nutrisi.

    5. Konsultasi dan perawatan medis bila perlu

    Beberapa balita membutuhkan pemantauan intensif oleh tenaga medis.

    Pencegahan Weight Faltering

    – Rutin kontrol selama kehamilan

    – Pantau pertumbuhan balita secara berkala

    – Berikan ASI eksklusif 6 bulan dan MPASI seimbang setelahnya

    – Pelajari teknik perlekatan menyusui yang benar

    – Segera konsultasi jika berat badan tidak sesuai grafik

  • Tanda Klinis, Pemicu, dan Cara Pulihnya

    Tanda Klinis, Pemicu, dan Cara Pulihnya

    Jakarta

    Masa batita menjadi salah satu periode yang penuh tantangan, salah satunya dalam hal makan. Tak sedikit orang tua yang menghadapi situasi sulit saat anak menolak makanan.

    Trauma makan (Post traumatic Feeding Disorder) atau gangguan makan adalah perilaku yang ditunjukkan ketika bayi mengalami pengalaman maka yang menakutkan. Dikutip dari laman Rise and Shine, menurut Psikiater dari Children’s National sekaligus pakar gangguan makan anak, Irena Chatoor, gangguan ini juga dikenal sebagai fobia tersedak, fobia menelan, dan disfagia fungsional.

    Menurut jurnal berjudul How to Approach Feeding Difficulties in Young Children yang diterbitkan dalam National Library of Medicine, tanda dan pemicu dari trauma makan meliputi:

    Penolakan makan yang mengikuti kejadian traumatis atau berulang kali mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan pada saluran pencernaan yang memicu rasa cemas atau ketakutan seperti tersedak hingga muntah hebat.Penolakan makan yang konsisten, yang terwujud dalam salah satu tanda seperti, anak menolak minum dari botol saat terbangun, tetapi menerima makanan yang ditawarkan dengan sendok dan minum dari botol saat tidur, menolak makanan padat, tapi menerima pemberian susu botol.

    Selain itu, trauma makan juga bisa dipicu karena orang tua yang memaksa anaknya mau menelan makanan. Menurut Prof Dr dr Damayanti, SpA(K), pakar nutrisi dan metabolik anak, paksaan makan juga bisa memicu trauma makan yang berdampak panjang pada tumbuh kembang anak.

    “Kalau dia sudah tidak mau makan, ya sudah stop. Minimal, maksimal lamanya makan itu hanya setengah jam. Sesudah itu stop. Kenapa? Biar anaknya belajar bahwa waktu makan itu nggak sepanjang mau dia, ada waktunya,” kata Prof Damayanti kepada detikcom, Kamis (17/9/2025).

    Trauma makan berbeda dengan gerakan tutup mulut (GTM). Menurut Prof Damayanti, trauma ini terbentuk akibat pengalaman negatif yang berulang, seperti dipaksa makan atau dimarahi setiap kali menolak makanan.

    Dikutip dari laman IDAI, perilaku orang tua memang memegang peranan paling penting dalam praktik pemberian makan pada anak. Hal ini bisa dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya, serta adat istiadat orang tua. Misalnya anak dipaksa minum jamu-jamuan yang dipercaya bisa menambah nafsu makan, tapi malah menimbulkan trauma mendalam pada psikologis anak yang berakibat semakin sulit makan.

    Cara Memulihkan Anak dengan Trauma Makan

    Ada beberapa prinsip dasar dalam pemberian makan untuk anak-anak yang kesulitan makan. Dikutip dari jurnal yang sama, hal pertama yang harus dilakukan yaitu, pertahankan batasan makan yang sesuai. Dalam jurnal Frekuensi Makan, Asupan Energi dan Protein Terhadap Status Gizi pada Balita di Puskesmas Minggir Sleman, dikatakan, kebutuhan asupan energi yang dibutuhkan anak usia 1-3 adalah 1125 kalori.

    Menurut Prof Damayanti, protein hewani adalah nutrisi yang wajib ada dalam menu makan anak sehari-hari. Dibandingkan protein nabati, protein hewani lebih mudah diserap tubuh sekaligus kaya mikronutrien penting, mulai dari zat besi, vitamin D, omega-3, hingga zinc. Zat- zat ini berperan dalam mendukung fungsi otak, sistem imun, serta pertumbuhan sel dan organ tubuh.

    “Harus protein hewani. Kenapa? Karena asam amino esensialnya lengkap. Asam amino esensial itu nggak bisa diproduksi badan kita sendiri,” jelas Prof Damayanti.

    Selanjutnya, hindari semua jenis gangguan atau kebisingan di meja makan. Kemudian, beri makan anak dengan interval 3-4 jam untuk mendorong dan memaksimalkan nafsu makan dan hindari makanan ringan dan minuman di antara waktu makan.

    Sejalan dengan hal ini, Prof Damayanti menyarankan untuk menerapkan feeding rules sejak bayi. Cara tersebut dilakukan agar anak mengetahui bahwa waktu makan tidak sepanjang dia mau.

    “Menerapkan feeding rules mengajari anak bertanggung jawab dengan kecukupan jumlah makanannya dalam waktu 30 menit. Jika dia hanya makan sedikit pengasuhnya tidak akan memberikan di luar jam makan, meskipun dia memaksa dengan tantrum cukup diberitahu jadwal makan berikutnya tanpa harus marah-marah,” ucap Prof Damayanti.

    Selanjutnya, pertahankan sikap netral yang menyenangkan dengan wajah tersenyum selama makan dan tidak dengan wajah cemas dan marah. Batasi durasi makan tidak lebih dari 20-30 menit.

    Sajikan makanan yang sesuai dengan usia dengan perkembangan motorik oral anak, serta gunakan ukuran porsi yang cukup kecil. Perkenalkan makanan baru secara sistematis satu per satu dan langkah demi langkah, dan tawarkan makanan secara berulang, setidaknya 5-15 kali.

    Prof Damayanti juga menyarankan untuk memberikan makanan yang bervariasi pada anak. Yang terpenting, komposisi makanannya lengkap dan anak makan cukup.

    “Variasi. Nanti kan kita lihat nih, anak sukanya apa. Ada yang bilang, ‘anaknya saya gak mau, sukanya cuman makan mie doang’. Emang kenapa kalau makan mie? Boleh aja dia makan mie. Ya. Tapi mie-nya tentu dipilih mie anak.” kata Prof Damayanti.

    “Terus dia ganti jadi pasta, atau apa. Nanti sekali-sekali dibikin nasi, atau bihun, atau apa kan bisa. Variasi,” tambahnya.

    Waktu emas pertumbuhan Si Kecil hanya terjadi sekali, & tak bisa terulang kembali. Jangan biarkan Gerakan Tutup Mulut (GTM) menghalangi tumbuh kembangnya. Setiap pilihan apapun, kapanpun – terasa seperti momen penentu yang akan membentuk masa depan Si Kecil.

    Yuk Moms kita ubah Gerakan Tutup Mulut (GTM) menjadi Gerakan Tumbuh Maximal karena pilihan terbaik Bunda hari ini, menentukan masa depan Si Kecil esok hari.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: Cegah Alergi Lewat Pengenalan Beragam Makanan Saat Mulai MPASI”
    [Gambas:Video 20detik]
    (elk/elk)

  • Cara Sederhana Membiasakan Anak Makan Teratur

    Cara Sederhana Membiasakan Anak Makan Teratur

    Jakarta

    Bagi banyak orang tua, waktu makan sering kali menjadi momen penuh drama. Anak menolak makan, sulit duduk diam, atau baru mau makan jika disuapi sambil menonton video favorit. Padahal, kebiasaan seperti ini bisa mengganggu kemampuan alami anak mengenali rasa lapar dan kenyang.

    Menurut Prof Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K), pakar nutrisi dan metabolik anak, salah satu cara sederhana agar anak terbiasa makan secara teratur tanpa drama adalah dengan menerapkan prinsip feeding rules 2-30-2.

    “Biar anaknya belajar bahwa waktu makan itu nggak sepanjang mau dia. Pengosongan lambung sekitar dua sampai tiga jam, jadi di tengahnya dikasih snack. Kalau waktunya sudah lewat, ya tunggu makan berikutnya,” ujar Prof. Damayanti dalam wawancara dengan detikcom (17/9/2025).

    Apa Itu Feeding Rules 2-30-2?

    Istilah 2-30-2 merujuk pada tiga prinsip utama dalam manajemen waktu makan anak:

    2 jam: jeda minimal antar waktu makan utama atau camilan.30 menit: durasi maksimal setiap sesi makan.2 kali snack: pemberian selingan sehat di antara tiga waktu makan utama.

    Konsep feeding rules 2-30-2 sejalan dengan pendekatan responsive feeding yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) dan UNICEF dalam dokumen Responsive Feeding: Promoting Healthy Growth and Development for Infants and Young Children (2019).

    Dalam panduan tersebut disebutkan bahwa makan terstruktur dengan durasi wajar dan tanpa distraksi membantu anak:

    mengenali sinyal lapar dan kenyang,terhindar dari feeding difficulties,serta memiliki pola pertumbuhan berat dan tinggi badan yang lebih stabil.

    Hal senada juga disampaikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam Panduan Pemberian Makan Bayi dan Anak Kecil (2021), yang menegaskan bahwa durasi makan ideal untuk anak tidak lebih dari 30 menit. Jika melebihi waktu tersebut, biasanya anak sudah tidak lapar secara fisiologis dan cenderung kehilangan fokus makan.

    Dampak Feeding Rules terhadap Pertumbuhan Anak

    Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan makan yang tidak teratur atau terlalu lama bisa menyebabkan gangguan asupan energi dan berujung pada risiko weight faltering, yakni melambatnya kenaikan berat badan dibanding kurva pertumbuhan usia.

    Sebuah studi oleh Brown & Lee (2011) yang dipublikasikan di jurnal Appetite menemukan bahwa anak yang dibesarkan dengan pola makan terstruktur dan penuh respons menunjukkan kontrol diri makan yang lebih baik dan cenderung tidak menjadi picky eater.

    Penelitian di Pekanbaru berjudul Pengaruh Edukasi Kesehatan Terhadap Feeding Rules dan Perilaku Makan Pada Balita menunjukkan bahwa edukasi mengenai feeding rules pada orang tua secara signifikan meningkatkan praktik makan anak, termasuk durasi makan yang lebih teratur dan lingkungan makan yang lebih tenang.

    Temuan serupa juga dilaporkan oleh penelitian UGM berjudul Responsive feeding ibu dan asupan makan anak stunting usia 2-5 tahun, yang menegaskan bahwa responsive feeding berkaitan dengan kecukupan asupan gizi dan penurunan risiko stunting pada anak usia 2-5 tahun

    Tips Menerapkan Feeding Rules 2-30-2 di Rumah

    Menerapkan aturan makan 2-30-2 bisa jadi langkah sederhana agar anak terbiasa makan dengan teratur. Dengan menerapkan aturan sederhana ini secara konsisten, anak akan belajar mengenali sinyal lapar dan kenyang, makan lebih tenang, dan tumbuh dengan nutrisi yang lebih seimbang.

    “Biar anaknya belajar bahwa waktu makan itu nggak sepanjang mau dia,” tegas Prof. Damayanti.

    Berikut tips feeding rules yang bisa dicoba di rumah

    Tentukan jadwal tetap. Misalnya: sarapan pukul 07.00, snack 09.30, makan siang 12.00, snack sore 15.30, dan makan malam 18.00.Batasi waktu makan. Setelah 30 menit, hentikan sesi makan dengan lembut. Anak akan belajar bahwa waktu makan ada aturannya.Bebas distraksi. Hindari televisi, mainan, atau gadget saat makan.Tanpa paksaan. Biarkan anak memilih dari dua-tiga opsi makanan sehat agar ia merasa punya kontrol.Berikan contoh. Duduk dan makan bersama anak. Anak belajar lewat meniru perilaku orang tuanya.

    Waktu emas pertumbuhan Si Kecil hanya terjadi sekali, & tak bisa terulang kembali. Jangan biarkan Gerakan Tutup Mulut (GTM) menghalangi tumbuh kembangnya. Setiap pilihan apapun, kapanpun – terasa seperti momen penentu yang akan membentuk masa depan Si Kecil.

    Yuk Moms kita ubah Gerakan Tutup Mulut (GTM) menjadi Gerakan Tumbuh Maximal karena pilihan terbaik Bunda hari ini, menentukan masa depan Si Kecil esok hari.

    Halaman 2 dari 3

    (kna/kna)

  • Investasi Kesehatan Seumur Hidup, Ini Waktu Terbaik untuk Vaksin HPV

    Investasi Kesehatan Seumur Hidup, Ini Waktu Terbaik untuk Vaksin HPV

    Jakarta

    Investasi tidak selalu tentang uang, emas, atau saham. Ada jenis investasi lainnya yang tidak kalah penting, yaitu investasi kesehatan seumur hidup. Selain dapat meningkatkan kualitas hidup, investasi kesehatan juga mengurangi risiko penyakit sehingga dapat menjalankan rutinitas sehari-hari dengan maksimal.

    Salah satu jenis investasi kesehatan seumur hidup yang bisa dilakukan perempuan adalah melalui vaksinasi Human papillomavirus (HPV). Vaksinasi ini bertujuan untuk mencegah penyakit seperti kanker serviks. Sebagai informasi, kanker serviks menjadi salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Lantas, mengapa vaksin HPV penting? Dan kapan waktu terbaik untuk mendapatkan vaksin HPV?

    Apa Itu Virus HPV?

    Foto: Dok. Istimewa

    HPV adalah virus yang dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker leher rahim (kanker serviks), kanker anogenital, serta kutil anogenital. Virus HPV memiliki 200 tipe yang beredar di dunia. Tipe HPV risiko tinggi sering menyebabkan kanker, sementara tipe HPV risiko rendah sering menyebabkan kutil anogenital.

    Kanker yang disebabkan oleh HPV menjadi ancaman serius bagi populasi di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Menurut laporan WHO, diperkirakan ada 660 ribu perempuan terdiagnosis kanker serviks di seluruh dunia pada 2022.

    Laporan WHO juga menyebutkan bahwa di Indonesia, kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua pada perempuan Indonesia dengan 36 ribu kasus baru dan 21 ribu kematian setiap tahunnya. Jumlah perempuan yang akan terdampak kanker leher rahim akan terus meningkat.

    Sementara itu dilansir dari Mayo Clinic, kanker serviks adalah jenis kanker yang terjadi pada sel-sel leher rahim, yaitu bagian bawah rahim yang terhubung ke vagina. Berbagai jenis HPV dan infeksi menular seksual berperan dalam menyebabkan sebagian besar kanker serviks.

    Pada umumnya, kanker serviks berkembang perlahan dan baru menunjukkan gejala ketika memasuki stadium lanjut. Untuk itu, mendeteksi kanker serviks sejak dini menjadi hal penting yang perlu dilakukan.

    Mengapa Vaksin HPV Penting?

    Foto: Dok. Istimewa

    Vaksin HPV menjadi penting dalam mencegah infeksi HPV penyebab kanker dan penyakit terkait HPV lainnya, baik pada pria maupun perempuan. Sebab jika tidak ditangani, bisa berakibat fatal hingga menyebabkan kematian.

    Data WHO mencatat lebih dari 95 persen kasus kanker serviks di Indonesia disebabkan oleh infeksi HPV risiko tinggi. Ketua Umum POGI Prof. Dr. dr. Yudi Mulyana Hidayat, Sp.OG, Subsp. Onk pun menjelaskan di Indonesia, tipe HPV risiko tinggi yang paling umum ditemukan adalah tipe 52, 16, 18, dan 58, yang sebagian besar ditularkan melalui aktivitas seksual.

    “Kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV, dan jika tidak ditangani, dapat berakibat fatal hingga menyebabkan kematian. Kabar baiknya, infeksi HPV dapat dicegah melalui vaksinasi HPV. Oleh karena itu, sangat dianjurkan seseorang melakukan vaksinasi HPV sebelum aktif secara seksual, seperti pada fase pranikah,” ungkap Prof Yudi dalam keterangannya, Rabu (29/10/2025).

    Senada, Dr. dr. Fitriyadi Kusuma, Sp.OG, Subsp.Onk mengatakan vaksinasi sebelum aktivitas seksual juga dapat mencegah hingga 90 persen kanker terkait HPV. Di sisi lain, bagi perempuan yang sudah aktif secara seksual, vaksin HPV dapat membantu dalam mengurangi risiko dan memberikan perlindungan dari kanker serviks.

    Ia juga menjelaskan vaksinasi HPV pada masa pascapersalinan bisa menjadi bagian integral dari kunjungan nifas.

    “Vaksinasi HPV dapat diberikan untuk ibu menyusui dan dapat diberikan bersamaan dengan layanan skrining serviks. Kami menyusun panduan ini agar dokter, bidan, dan tenaga kesehatan memiliki acuan praktis dan konsisten dalam memberikan edukasi dan layanan vaksinasi HPV, khususnya bagi kelompok wanita dewasa yang belum tercakup,” jelasnya..

    Berdasarkan alasan tersebut, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) resmi mengeluarkan rekomendasi klinis terbaru untuk vaksinasi. Rekomendasi sini menargetkan dua kelompok kunci, yaitu perempuan pra-nikah dan perempuan pascapersalinan.

    Rekomendasi ini juga mendapat dukungan dari PT Merck Sharp & Dohme Indonesia (MSD Indonesia), yang konsisten mendorong edukasi dan perluasan akses vaksinasi HPV di Indonesia.

    Kapan Vaksin HPV Sebaiknya Dilakukan?

    Foto: Istimewa

    Vaksinasi HPV diharapkan mampu menekan angka kematian akibat kanker serviks dan mempercepat tercapainya target eliminasi secara nasional dan global. Namun, perlu dipahami, vaksinasi HPV hanya dapat mencegah infeksi HPV baru, tetapi tidak mengobati infeksi atau penyakit HPV yang sudah ada. Oleh karena itu, vaksinasi HPV sebaiknya dilakukan sedini mungkin.

    Adapun vaksinasi HPV bisa diberikan pada anak perempuan mulai 9 tahun. Hal ini sesuai dengan rekomendasi IDAI 2023 dan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2020, yaitu diberikan pada anak perempuan usia 9-14 tahun atau sebelum aktif secara seksual. Sementara untuk dewasa, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) telah mengeluarkan jadwal imunisasi dewasa, yaitu vaksinasi HPV bisa diberikan mulai usia 19 tahun.

    Pentingnya Revaksinasi HPV dengan Vaksin yang Tepat

    Pada tahun 2023, terdapat enam vaksin HPV yang tersedia secara global, dan tiga vaksin HPV yang tersedia di Indonesia. Dikutip dari WHO, semuanya melindungi terhadap tipe HPV risiko tinggi yang menyebabkan sebagian besar kanker leher rahim dan anogenital, yaitu tipe 16 dan 18. Vaksin ini pun telah terbukti aman dan efektif dalam mencegah infeksi HPV, kanker leher rahim dan anogenital.

    Namun, terdapat tipe HPV risiko tinggi selain tipe 16 dan 18, yaitu tipe 52 dan 58 yang masih mendominasi. Teknologi vaksin terbaru memungkinkan adanya pilihan vaksin yang melindungi lebih banyak virus, termasuk HPV tipe 52 dan HPV tipe 58.

    Oleh karena itu, PAPDI mendorong masyarakat untuk aktif melakukan vaksinasi HPV dan revaksinasi HPV demi perlindungan yang lebih lengkap dan menyeluruh.

    Dokter Spesialis Penyakit Dalam, dr. Anshari Saifuddin Hasibuan, Sp.PD, K-AI mengungkapkan saat ini, sudah tersedia pilihan vaksin HPV yang memiliki cakupan proteksi yang lebih luas hingga sembilan tipe HPV. Vaksin ini memungkinkan perlindungan lebih komprehensif terhadap subtipe yang paling umum menjadi penyebab kanker leher rahim.

    “Yang perlu diwaspadai, tipe HPV yang dominan di Indonesia seperti HPV 52 dan 58 ternyata tidak tercakup dalam vaksin HPV generasi lama. Oleh karena itu, masyarakat dapat melakukan revaksinasi HPV yaitu dengan vaksinasi HPV terbaru yang dapat melindungi dari 9 tipe virus, termasuk tipe 52 dan 58 yang paling sering ditemukan di Indonesia. Masyarakat bisa memulai dengan berdiskusi dengan tenaga kesehatan untuk mendapat info yang lebih mendalam dan menyeluruh dalam kaitannya dengan vaksinasi ini,” tuturnya.

    Senada, Ketua Satgas Imunisasi PP PAPDI, Dr. dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, K-AI, FINASIM mendorong masyarakat yang sudah divaksin dengan vaksin HPV generasi sebelumnya, untuk melakukan revaksinasi HPV generasi baru.

    “Kami mendorong masyarakat mengambil langkah untuk mencegah infeksi HPV dengan vaksinasi HPV sesuai rekomendasi PAPDI. Bagi yang sudah divaksin dengan generasi sebelumnya, revaksinasi HPV dengan vaksin HPV generasi baru dapat dipertimbangkan. Bagi yang belum divaksinasi, bisa mempertimbangkan vaksinasi generasi baru agar mendapat perlindungan yang lebih luas. Vaksinasi HPV terbaru akan memberikan perlindungan yang lebih optimal terhadap beberapa jenis HPV penyebab kanker leher rahim seperti HPV tipe 52 dan HPV tipe 58,” ucapnya.

    Itulah penjelasan tentang pentingnya vaksin HPV penting sebagai investasi kesehatan seumur hidup bagi perempuan. Bagi Anda yang belum menerima vaksinasi HPV atau memiliki riwayat medis tertentu, segera konsultasi dengan tenaga kesehatan demi mendapatkan informasi dan rekomendasi yang sesuai.

    (akd/ega)

  • Video KuTips: Rekomendasi Makanan bagi Anak Susah Makan gegara Flu

    Video KuTips: Rekomendasi Makanan bagi Anak Susah Makan gegara Flu

    Jakarta – Saat anak sedang sakit, misalnya terkena influenza atau flu, biasanya suka nggak napsu makan dan minum karena merasa nggak nyaman. Orang tua seringkali khawatir dengan kondisi begini. Takut anak tambah ngedrop karena nggak ada yang masuk, padahal tubuhnya tetap butuh asupan nutrisi dan cairan.

    Dokter Spesialis Anak yang tergabung sebagai UKK Respirologi IDAI, Nastiti Kaswandani, bilang saat kondisi begini orang tua perlu berinovasi menyediakan makanan. Disarankan sajikan makanan bergizi yang mudah ditelan dan tidak berlemak. Untuk rekomendasinya detikers bisa tonton di video KuTips ini ya!

    (/)

  • Hampir 2 Juta Kasus Mirip COVID Ngegas di DKI, Kemenkes RI ‘Pasang Radar’

    Hampir 2 Juta Kasus Mirip COVID Ngegas di DKI, Kemenkes RI ‘Pasang Radar’

    Jakarta

    Dinas Kesehatan DKI Jakarta membenarkan adanya peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sejak Juli 2025. Hingga Oktober, keluhan mirip COVID-19 hampir mencapai 2 juta kasus.

    “Total kasus ISPA di DKI Jakarta hingga Oktober 2025 sebesar 1.966.308. Peningkatan kasus terlihat mulai bulan Juli. ISPA merupakan penyakit tertinggi di Puskesmas karena penularannya sangat mudah, yakni melalui droplet dan aerosol,” tutur Kepala Dinkes DKI, Ani Ruspitawati, kepada detikcom Kamis (16/10/2025).

    Meski demikian, Ani mengatakan tren ini tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Keluhan batuk tidak sembuh-sembuh cenderung meningkat di tengah cuaca tidak menentu dan menurunnya imunitas tubuh.

    “Tapi sejauh ini nggak sangat signifikan. Jadi masih di dalam kendali,” katanya.

    Meski demikian, Ani mewanti-wanti gejala yang muncul seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, hingga demam. Gejala lain yang menyertai adalah hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri otot, hingga bersin dan suara serak.

    “Pada kasus ISPA yang lebih berat, gejala dapat mencakup sesak napas, yang membutuhkan penanganan segera,” pesannya.

    Kemenkes RI Pantau Perkembangan Kasus

    Adanya tren peningkatan kasus mirip flu dan ISPA juga dikonfirmasi oleh Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan, Aji Muhawarman. Menurutnya, tren kasus penyakit influenza dan sejenisnya meningkat beberapa pekan terakhir.

    “Telah terjadi peningkatan tren kasus penyakit influenza/sejenisnya (ILI, ISPA, COVID) di Indonesia dalam beberapa minggu terakhir. Data diperoleh dari laporan oleh fasyankes ke SKDR (Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons),” sebutnya.

    Tren serupa, menurut Aji, juga terpantau di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Di negara tersebut, kasus didominasi virus Influenza Tipe A.

    Sebagai antisipasi, Kemenkes melakukan pengamatan kasus influenza melalui SKDR dan surveilans sentinel ILI (Influenza Like Illness) dan SARI (Severe Accute Respiratory Infection). Komunikasi risiko juga dilakukan melalui berbagai media.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video IDAI: Indonesia Punya Kasus Influenza Sepanjang Tahun”
    [Gambas:Video 20detik]
    (up/up)

    Dihantui Penyakit Mirip COVID

    11 Konten

    Dinas Kesehatan DKI mencatat tren peningkatan penyakit dengan keluhan mirip COVID-19, yakni batuk yang tidak sembuh-sembuh. Sementara itu, COVID-19 justru mengalami penurunan. Lalu penyakit apa yang lagi ngegas saat ini?

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Dear Ortu, Jangan Malas Bawa Anak Imunisasi! Ini Alasan Tak Cukup Sekali Suntik

    Dear Ortu, Jangan Malas Bawa Anak Imunisasi! Ini Alasan Tak Cukup Sekali Suntik

    Jakarta

    Ketua Satgas Imunisasi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof Dr dr Hartono Gunardi SpA(K) mengungkapkan alasan mengapa imunisasi yang dijalani anak harus dilakukan secara berulang. Ia menuturkan salah satu tantangan dalam memenuhi cakupan imunisasi di Indonesia adalah keengganan orang tua untuk memberikan imunisasi secara berulang.

    Berdasarkan survei yang dilakukan UNICEF Nielsen pada 2023, disebutkan 37,7 persen orang tua enggan membawa anaknya imunisasi karena takut suntik lebih dari satu kali.

    Prof Hartono menjelaskan proteksi dari vaksin akan memicu peningkatan kekebalan yang disebut dengan respons primer. Seiring waktu, proteksi akan menurun dan perlu diperbarui.

    “Kekebalan tersebut meningkat tapi selama beberapa lama dia akan menurun lagi oleh karena itu dia perlu diberikan antigen yang kedua yang akan menimbulkan pembentukan antibodi yang lebih cepat dan lebih tinggi daripada antibodi sebelumnya,” ujar Prof Hartono ketika ditemui awak media, di Jakarta Selatan, Rabu (15/10/2025).

    “Orang tua sering kali bertanya kok imunisasi nggak ada habis-habisnya, ya jadi diulang-ulang terus,” sambungnya.

    Lalu, mengapa dosis imunisasi yang dibutuhkan tidak sekalian diberikan di waktu awal dan harus diberi jeda waktu? Prof Hartono menjelaskan tubuh membutuhkan waktu untuk ‘mempelajari’ antibodi yang masuk melalui imunisasi.

    Setelah dipelajari, imunisasi booster digunakan untuk memperkuat sistem pertahanan yang ada.

    “Seperti kita melatih pelajaran, nggak bisa anak itu diajar sekaligus matematika yang sampai integral gitu ya. Nggak bisa, jadi harus satu-satu,” ujar Prof Hartono.

    “Demikian juga sistem tubuh itu belajar pelan-pelan. Karena tadi kita lihat satu antigen dia sedikit naik-naiknya, belum lengkap antibodinya, belum cukup untuk jangka panjang. Akhirnya itu mereka diulang. Banyak ulangannya, semakin tinggi antibodi yang terbentuk dan semakin lama perlindungannya,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Upaya Kemenkes Cegah Misinformasi Seputar Imunisasi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (avk/naf)