NGO: IDAI

  • Yuk Stimulasi Bicara untuk Cegah Speech Delay!

    Yuk Stimulasi Bicara untuk Cegah Speech Delay!

    Asah kemampuan bicara anak sejak dini dengan melakukan stimulasi untuk mencegah speech delay atau keterlambatan bicara. Nah di video KuTips berikut ada 5 poin yang harus diperhatikan orang tua atau pengasuh untuk stimulasi bicara menurut Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial IDAI.

  • Video IDAI: Waspadai DBD di Musim Hujan Sebulan ke Depan

    Video IDAI: Waspadai DBD di Musim Hujan Sebulan ke Depan

    Video IDAI: Waspadai DBD di Musim Hujan Sebulan ke Depan

  • Sekilas Mirip, Begini Perbedaan Gejala Ruam Flu Singapura Vs Cacar Air

    Sekilas Mirip, Begini Perbedaan Gejala Ruam Flu Singapura Vs Cacar Air

    Jakarta

    Penyakit cacar air dan flu singapura pada anak memiliki gejala yang mirip sehingga mungkin orang tua bisa salah mengira antara kedua penyakit tersebut. Cacar air atau varicella dan flu singapura atau hand foot mouth disease (HFMD) memiliki kemiripan gejala berupa adanya ruam pada kulit.

    Penyebab dari cacar air dan flu singapura pun berbeda. Cacar air disebabkan oleh virus Varicella-zoster, sedangkan flu singapura disebabkan oleh virus keluarga enterovirus, terutama Coxsackievirus.

    Spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Irene Ratridewi, SpA(K), MKes menjelaskan meski kedua penyakit infeksi ini sama-sama memiliki gejala ruam, ada sedikit perbedaan di antara keduanya.

    “HFMD agak berbeda dari cacar air, sama-sama lentingan, tapi lentingannya lebih kecil, dan lebih padat. Biasanya ada di palatum atau langit-langit mulut, di bagian dalam pipi, ada di gusi bisa, lidah, kemudian di telapak tangan dan telapak kaki,” kata dr Irene dalam konferensi pers, Selasa (12/11/2024).

    “Walaupun lentingannya juga bisa timbul sampai dengan di paha atau di siku. Sedikit bagian dari lengan atas,” sambungnya.

    Untuk HFMD distribusi ruam biasanya hanya berada di sekitar tangan, kaki, dan mulut. Sementara ruam akibat cacar air distribusinya bisa di mana saja pada area kulit.

    dr Irene mengatakan bahwa HFMD dan cacar air memiliki kemiripan dalam proses transmisi atau penyebaran. Salah satu penyebarannya adalah melalui droplet.

    “Penularannya melalui droplet. Biasanya kalau ada pasien saya tanya, ‘habis dari mana?’ Jawabannya habis dari playground. Paling sering gitu, jadi seminggu sebelumnya habis dari playground.” ujar dr Irene.

    “HFMD sering disebut dengan flu singapura ini penularannya lebih cepat masa inkubasinya. Dibandingkan dengan cacar air sekitar 10-14 hari, yang gondongan bisa 2-3 minggu, HFMD hanya sekitar harian sampai satu minggu,” tandasnya.

    (avk/naf)

  • Kenali Gejala Pneumonia pada Anak

    Kenali Gejala Pneumonia pada Anak

    Jakarta, Beritasatu.com – Deteksi dini dan kenali gejala pneumonia bisa mencegah anak dari kematian. Untuk itu penting bagi orang tua mendapatkan edukasi yang baik agar anak tidak terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan ketika menderita pneumonia.

    Dokter spesialis anak yang juga anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Wahyuni Indawati mengatakan jika orang tua tidak mendapatkan edukasi yang baik soal gejala pneumonia, maka bisa tidak menyadari bahwa anak sudah mengalami kesulitan bernapas.

    “Kita tahu sebagian besar pneumonia itu penyebabnya adalah infeksi sehingga tentu gejala-gejala infeksi akan muncul. Misalnya, demam, anak terlihat lemah, lesu, nafsu makannya turun,” katanya dalam konferensi pers daring peringatan Hari Pneumonia Sedunia bersama Kementerian Kesehatan, Senin (11/11/2024).

    “Jika napas cepat dan sudah ada tarikan dinding dada ke dalam saat bernapas, segara bawa ke fasilitas kesehatan (dokter atau rumah sakit) untuk mendapatkan pemeriksaan,” kata Wahyuni.

    Pneumonia adalah peradangan akut (kurang dari dua minggu) pada parenkim paru yang disebabkan oleh mikoroorganisme patogen seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. “Yang terbanyak memang karena bakteri dan virus,” kata Wahyuni.

    Pada saat bayi dan anak terkena pneumonia maka yang akan terdampak adalah paru sehingga bakal terjadi gangguan pada pernapasan dengan efek terberat adalah kematian.

    Pada anak yang berusia muda, seperti bayi, gejala yang muncul lebih tidak spesifik. Contohnya, anak terlihat lemah, lesu, dan rewel. Pasalnya, semakin muda usia anak gejala infeksi memang semakin tidak khas.

    Di samping itu, gejala spesifik pneumonia dapat terlihat dari gejala respiratori mengingat penyakit ini menyerang sistem pernapasan. Contohnya, batuk, pilek, anak bernapas cepat, dan anak berusaha bernapas dengan menarik dinding dada ke dalam.

    Wahyuni menjelaskan, orang tua harus mampu mendeteksi anak yang bernapas cepat dengan menghitung jumlah tarikan napas. Pada anak usia di bawah dua bulan, napas cepat mencapai 60 kali per menit, usia dua hingga sebelas bulan mencapai 50 kali napas per menit, usia satu hingga lima tahun mencapai 40 kali napas per menit, dan usia di atas lima tahun mencapai 30 kali napas per menit.

    Sementara itu, pada anak berusia lima tahun ke atas gejala yang dialami sama, tetapi dengan tingkat keparahan yang lebih ringan. Anak usia lima tahun ke atas juga biasanya merasakan nyeri saat bernapas, nyeri kepala, dan nyeri otot.

    “Kalau pada anak yang usianya lebih besar biasanya kita menganjurkan untuk dilakukan foto rontgen karena kita khawatir kondisinya lebih berat,” tambah Wahyuni.

    Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Yudhi Pramono menambahkan, data BPJS Kesehatan 2023 mencatat pneumonia menempati peringkat pertama penyakit pernapasan dengan beban pembiayaan tertinggi. Secara terperinci, pneumonia menelan biaya sekitar Rp 8,7 triliun, lebih tinggi dari beban pembiayaan tuberkulosis yaitu sekitar Rp 5,2 triliun.

    Melihat data itu, Yudhi menilai pencegahan pneumonia perlu menjadi perhatian masyarakat. Ini dapat dilakukan dengan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan, menghindari paparan asap rokok, cuci tangan secara teratur, memastikan rumah memiliki ventilasi yang cukup, hingga memberikan anak vaksin pneumococcal conjugate vaccine (PCV) sesuai jadwal.

    “Obati jika anak mengalami batuk atau kesulitan bernapas. Segera bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapat penanganan medis,” ungkap Yudhi.

  • Waspadai Kasus DBD Meningkat di Musim Hujan, Ini Siasat Kemenkes RI

    Waspadai Kasus DBD Meningkat di Musim Hujan, Ini Siasat Kemenkes RI

    Jakarta

    Memasuki musim hujan, penyakit-penyakit menular seperti demam berdarah dengue (DBD) mengalami peningkatan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes), melalui Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) memberikan imbauan terkait hal ini.

    Tim Kerja Arbovirosis Dirjen P2P Kemenkes Agus Handito mengungkapkan DBD masih menjadi masalah kesehatan yang cukup tinggi. Ini masih terus terjadi meski sudah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasinya.

    “Saat ini, prevalensi dengue di Indonesia menunjukkan tantangan yang serius. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini, terutama terkait Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), kita masih melihat angka kasus yang fluktuatif setiap tahunnya,” kata Agus dalam gelar wicara ‘Lindungi Keluarga dari Ancaman DBD’, Sabtu (9/11/2024).

    Berdasarkan data Kemenkes, sampai dengan minggu ke-42 tahun 2024, terdapat 203.921 kasus dengue di 482 kabupaten/kota di 36 provinsi. Dengan 1.210 kematian di 258 kabupaten/kota di 32 provinsi.

    Maka dari itu, pihaknya semakin gencar mengajak masyarakat untuk melakukan vaksinasi DBD dosis lengkap untuk mencapai nol kematian akibat demam berdarah (Zero Dengue Death) pada tahun 2030.

    Saat ini, sudah ada dua jenis vaksin dengue yang telah mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Vaksin ini dapat digunakan melalui skema berbayar.

    Lantas, Kapan Orang Boleh Mendapatkan Vaksin DBD?

    Anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2004-2024, Prof Dr dr Soedjatmiko, SpA(K), mengungkapkan saat ini anak-anak di atas 5 tahun hingga orang dewasa usia 45 tahun bisa mendapatkan vaksinasi DBD. Tak terkecuali mereka yang sudah pernah terkena penyakit DBD.

    “Seperti kita tahu, virus dengue itu ada 4 macam. Jadi, kalau seorang anak atau dewasa sudah sembuh dari virus dengue tetap perlu divaksinasi. Kita nggak tau nanti terinfeksi berikutnya oleh virus tipe yang mana, karena untuk periksanya itu susah dan mahal,” jelas Prof Soedjatmiko.

    “Pokoknya, walaupun sudah kena dengue tetap bersihkan sarang nyamuk dan imunisasi dilakukan dua kali. Walaupun sudah sakit atau baru sembuh sakit, jaraknya sekitar 3 bulan setelahnya, kita vaksin lagi dan tetap akan dapat dua kali,” sambungnya.

    Meski DBD dapat menyerang semua usia, data menunjukkan hampir separuh kematian akibat DBD terjadi pada anak-anak berusia 5 hingga 14 tahun. Dengan angka kasus pada anak-anak usia sekolah sekitar 400-800 kasus. Mengapa bisa terjadi?

    Menurut Prof Soedjatmiko, ada dua alasan utama. Pertama, anak-anak di usia ini belum memiliki kekebalan tubuh yang cukup untuk melawan infeksi DBD.

    “Kedua, anak-anak sering terpapar gigitan nyamuk di sekolah, yang biasanya terjadi di siang hari, saat mereka bermain atau berkumpul,” katanya.

    NEXT: Terkait fogging dan gejala DBD yang muncul

  • Pakar: Rutin evaluasi pertumbuhan anak bisa cegah stunting primer

    Pakar: Rutin evaluasi pertumbuhan anak bisa cegah stunting primer

    Caranya secara rutin berat badan ditimbang, panjang atau tinggi badan diukur dengan alat yang berstandar

    Jakarta (ANTARA) – Pakar kesehatan dari Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Meta Hanindita, Sp.A(K) mengingatkan agar ibu rumah tangga secara rutin mengevaluasi tumbuh kembang anak untuk mencegah stunting primer yang kasusnya masih ditemukan di Jakarta.

    “Caranya secara rutin berat badan ditimbang, panjang atau tinggi badan diukur dengan alat yang berstandar dengan cara yang benar setiap bulan,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

    Meta menjelaskan dengan memantau anak setiap bulan bisa diketahui kondisi normal menurut usia.

    Kemudian untuk kewenangan pencegahan primer ini berada pada tingkat kader di posyandu.

    “Di posyandu, jika ada anak yang saat diukur dan ditimbang berat badannya atau panjang badannya kurang, atau status gizinya kurang, atau kenaikan berat badannya mulai seret maka harus segera dirujuk ke puskesmas,” kata Meta.

    Lalu, apabila anak sudah dirujuk ke puskesmas, maka masuk pencegahan sekunder. Menurut Meta, tenaga kesehatan di puskesmas harus mengonfirmasi ulang kondisi anak dengan kembali mengukur tinggi badan, berat badannya.

    Apabila dokter di puskesmas menemukan anak mengalami gangguan gizi, maka dia harus mencari penyebab dan mengatasinya.

    “Kalau memang diindikasikan (masalah gizi), boleh diterapi nutrisi,” kata Meta.

    Lalu, bila dalam satu atau dua minggu tidak ada perbaikan di level puskesmas, maka dokter umum harus merujuk sampai ke level rumah sakit umum daerah (RSUD) agar anak ditangani dokter spesialis anak.

    “Kalau sudah sampai di spesialis anak itu namanya sudah masuk pencegahan tersier. Ini dilakukan pada anak yang tidak bisa dilakukan penatalaksanaan dengan baik di puskesmas. Dokter yang akan menentukan pendeknya ini stunting atau bukan dengan melakukan pengukuran ulang” jelas dia.

    Stunting masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Kendati prevalensinya turun dari 30,8 persen pada tahun 2018 menjadi 21,5 persen pada tahun 2023. Pemerintah Pusat kemudian menargetkan penurunan stunting 18 persen pada 2025.

    Sementara itu, khusus di Jakarta, data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta memperlihatkan terdapat 36.664 balita menghadapi masalah gizi sepanjang Januari hingga Agustus 2024.

    Dari data tersebut, sebanyak 26,74 persen atau 10.340 anak mengalami stunting, lalu 4,24 persen atau 1.638 anak mengalami gizi buruk, kemudian 26,32 persen atau 10.178 anak mengalami gizi kurang, dan sekitar 42,70 persen atau 16.508 anak mengalami berat badan kurang.

    Walau begitu, dari 10.340 kasus stunting, sebanyak 5.969 anak sudah membaik dan 4.371 anak masih berjuang mengatasi kondisinya.

    Dalam mengurangi masalah stunting, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkolaborasi dengan berbagai pihak melalui program Jakarta Beraksi (Bergerak Atasi Stunting).

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Ganet Dirgantara
    Copyright © ANTARA 2024

  • Posyandu harus berjalan baik sebagai upaya cegah stunting

    Posyandu harus berjalan baik sebagai upaya cegah stunting

    Jakarta (ANTARA) – Praktisi kesehatan dari Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Meta Hanindita, Sp.A(K) mengatakan Posyandu harus berjalan baik dan lengkap fasilitasnya sebagai bagian upaya mencegah anak terkena stunting.

    “Program Posyandu harus berjalan dengan baik, dilengkapi fasilitasnya dengan alat timbangan atau pengukuran panjang dan tinggi badan terstandar,” kata dia saat dihubungi dari Jakarta, Kamis.

    Dalam hal ini, kata Meta, para kader Posyandu perlu dilatih termasuk cara menimbang bayi yang benar.

    “Misalnya, bagaimana menimbang yang baik karena bayi di bawah dua tahun ditimbang dengan telanjang. Tapi yang seringkali terjadi, popoknya semua ditimbang dan itu hasilnya jadi tidak akurat,” tutur dia.

    Posyandu, kata Meta, menjadi bagian dari pencegahan primer stunting. Di Posyandu, anak diukur dan ditimbang berat badannya atau panjang badannya dengan alat yang terstandar dengan cara yang benar setiap bulannya.

    Setelah pemantauan pertumbuhan tersebut, petugas lalu melakukan evaluasi.

    “Pencegahan primer artinya dilakukan pada anak-anak yang masih baik-baik saja, berat badan, tinggi badan, status gizinya, kenaikan berat badan setiap bulan juga normal menurut usianya,” ujar dia.

    Lalu, apabila petugas kesehatan menemukan masalah seperti berat, panjang badan anak kurang, status gizinya kurang atau masalah kenaikan berat badan, maka harus segera merujuk ke puskesmas.

    Kemudian, hal lain yang juga penting dalam pencegahan stunting, yakni memastikan alur rujukan dapat berjalan baik saat menemukan masalah gizi pada anak hingga kecurigaan anak terkena stunting atau tengkes.

    “Pastikan juga alur rujukan mulai dari Posyandu ke Puskesmas, Puskesmas ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), dapat berjalan baik,” kata dia.

    Meta mengatakan ketersediaan stok vaksin untuk menyukseskan program imunisasi anak juga perlu dipastikan dalam pencegahan stunting.

    Stunting menjadi salah satu masalah kesehatan anak di Jakarta. Menurut data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, terdapat 36.664 balita di Jakarta menghadapi masalah gizi sepanjang Januari hingga Agustus 2024.

    Dari data tersebut, sebanyak 26,74 persen atau 10.340 anak mengalami stunting, lalu 4,24 persen atau 1.638 anak mengalami gizi buruk. Kemudian 26,32 persen atau 10.178 anak mengalami gizi kurang dan sekitar 42,70 persen atau 16.508 anak mengalami berat badan kurang.

    Kendati demikian, dari 10.340 kasus stunting, sebanyak 5.969 anak sudah membaik dan 4.371 anak masih berjuang kondisinya.

    Dalam mengurangi masalah stunting, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkolaborasi dengan berbagai pihak melalui Program Jakarta Beraksi (Bergerak Atasi Stunting).

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2024

  • Heboh Bikin Sekolah ‘Lockdown’, Gimana Biar Anak Tak Kena Cacar Air?

    Heboh Bikin Sekolah ‘Lockdown’, Gimana Biar Anak Tak Kena Cacar Air?

    Jakarta

    Penyakit cacar air membuat sejumlah sekolah terpaksa ‘lockdown’ dan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Setidaknya ada 53 siswa di SMPN 8 Tangsel yang terjangkit cacar air.

    Selain itu SD di Situbondo juga melakukan PJJ setelah beberapa siswa dan guru terjangkit cacar air.

    Kasus cacar air anak memang disebut meningkat karena kurangnya vaksinasi. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut salah satu cara mencegah anak dari penyakit tersebut adalah dengan memutus rantai penularan dengan lockdown.

    “Tetap awasi anak-anak dalam berkegiatan dan berinteraksi dengan teman-temannya. Berikan edukasi kepada mereka tentang pentingnya kebersihan pribadi dan menjaga jarak jika ada teman yang sedang sakit,” kata Anggota Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik IDAI dr Anggraini Alam, SpA (K) kepada ANTARA.

    Cacar air bisa menular melalui droplets sehingga akan mudah menulari anak ketika sedang beraktivitas. Untuk itu orang tua diimbau mengajarkan anak menggunakan masker saat berada di sekitar pasien cacar air untuk mencegah penularan.

    Langkah pencegahan yang cukup efektif dalam menghindari terjadinya cacar air adalah dengan menjalani vaksinasi. Vaksinasi ini dianjurkan untuk anak kecil dan orang dewasa yang belum melakukan vaksinasi.

    Pada anak kecil, penyuntikan vaksin Varicella atau cacar air pertama dilakukan pada umur 12 hingga 15 bulan, dan penyuntikan lanjutan dilakukan ketika anak berusia 2 hingga 4 tahun. Sedangkan anak yang lebih besar dan dan orang dewasa perlu mendapat 2 (dua) kali vaksinasi, dengan perbedaan waktu setidaknya 28 hari.

    “Serta yang sudah kita ketahui bersama sebagai bentuk pencegahan penyakit menular adalah dengan vaksinasi sebagai langkah pencegahan utama yang jelas sudah sangat direkomendasikan. Tetap pantau jadwal vaksinasi anak-anak dan lengkapi imunisasi, terutama imunisasi dasar, untuk memberikan perlindungan optimal terhadap penyakit menular,” kata dia.

    (kna/kna)

  • Gaduh SMP di Tangerang Lockdown, IDAI Wanti-wanti Kasus Cacar Air Lagi ‘Ngegas’

    Gaduh SMP di Tangerang Lockdown, IDAI Wanti-wanti Kasus Cacar Air Lagi ‘Ngegas’

    Jakarta

    Sebanyak 53 siswa di SMP Negeri 8 Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten beberapa waktu lalu terinfeksi cacar air. Wabah ini bahkan memaksa pihak sekolah untuk melakukan ‘lockdown’ sementara.

    Sekolah memutuskan untuk sementara melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal ini dilakukan sebagai upaya agar tidak terjadi penularan cacar air kepada siswa-siswa lain.

    Merespons hal ini, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso SpA(K) mengatakan kasus cacar air pada anak saat ini jumlahnya kian meningkat.

    “Ya ada peningkatan kasus (cacar air),” ujar dr Piprim saat dihubungi detikcom, Jumat (1/11/2024).

    dr Piprim menambahkan meningkatkan wabah cacar air ini sayangnya tidak dibarengi dengan jumlah vaksinasi pada anak.

    “Vaksinasi cacar air memang belum jadi vaksin program nasional, sehingga cakupan vaksinasi masih rendah. Hanya orang yg bisa membayar vaksinasi cacar air di layanan swasta yang bisa mendapatkan vaksinasi,” katanya.

    IDAI Mengimbau untuk Tidak Menyepelekan Cacar Air

    Senada, anggota Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik IDAI Dr dr Anggraini Alam SpA(K) mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menganggap enteng penyakit ini. Pasalnya, cacar air bisa menyebabkan komplikasi yang serius jika tidak ditangani dengan tepat.

    “Jika disepelekan, penyakit ini tentu saja bisa menyebabkan komplikasi serius, terutama pada anak-anak dengan sistem imun yang lemah,” kata dr Anggraini saat dihubungi detikcom, Jumat (1/11/2024).

    “Komplikasi yang mungkin terjadi termasuk infeksi bakteri pada kulit, infeksi paru-paru (pneumonia), penurunan kesadaran, dan penyakit lainnya yang dapat menyerang anak karena kondisi imunitasnya yang sedang turun,” lanjut dia.

    Meskipun cacar air bisa menyerang siapa saja, dr Anggraini mengatakan anak-anak di bawah usia 10 tahun lebih rentan terinfeksi. Bahkan, bayi di bawah usia satu tahun pun juga rentan terdampak karena belum bisa menerima vaksin varicella.

    (dpy/naf)

  • Gaduh SMP di Tangerang Lockdown, IDAI Wanti-wanti Kasus Cacar Air Lagi ‘Ngegas’

    IDAI Sebut Kasus Cacar Air Anak Meningkat, Ini Kemungkinan Penyebabnya

    Jakarta

    Wabah penyakit cacar air (Varicella) pada anak jumlahnya semakin meningkat. Terbaru, ada sekitar 53 pelajar di SMPN 8 Tangerang Selatan, Banten yang terserang penyakit ini. Pihak sekolah pun sampai menggelar pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama dua pekan.

    Merespons hal ini, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso SpA(K) mengatakan meningkatnya kasus cacar air pada anak dibarengi dengan jumlah vaksinasi yang rendah.

    “Ya ada peningkatan kasus dan vaksinasi cacar air memang belum jadi vaksin program nasional, sehingga cakupan vaksinasi masih rendah. Hanya orang yg bisa membayar vaksinasi cacar air di layanan swasta yang bisa mendapatkan vaksinasi,” ujar dr Piprim saat dihubungi detikcom, Jumat (1/11/2024).

    Kemenkes Siapkan Surat Edaran soal Cacar Air

    Terpish, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) terus berupaya untuk menekan angka kasus cacar air pada anak. Pihaknya saat ini sedang berproses untuk segera menerbitkan Surat Edaran (SE) Kewaspadaan Penyakit Cacar Air (Varicella) dan Gondongan (Mumps).

    Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Aji Muhawarman menyebutkan SE tersebut akan diterbitkan oleh Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes kepada seluruh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) provinsi, kabupaten, kota, rumah sakit, dan puskesmas di Indonesia.

    “Fasyankes agar terus memperkuat kewaspadaan dan diseminasi informasi kepada masyarakat terkait penyakit cacar air dan gondongan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakitnya,” kata Aji dikutip dari Antara, Jumat (1/11/2024).

    Kemenkes mengimbau kepada masyarakat khususnya para orang tua untuk menjaga kebersihan. Selain itu, jika menemukan anak-anak yang mengalami gejala gondongan atau cacar air untuk segera melakukan isolasi.

    “Jika anak-anak usia sekolah mengalami gejala Mumps atau gondongan maupun Varicella atau cacar air, maka segera melakukan isolasi mandiri di rumah serta dapat melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di rumah sampai anak tersebut sembuh,” kata Aji.

    (dpy/kna)