NGO: IDAI

  • Kasus Diabetes Anak ‘Ngegas’, IDAI Minta Perketat Makanan-Minuman Tinggi Gula

    Kasus Diabetes Anak ‘Ngegas’, IDAI Minta Perketat Makanan-Minuman Tinggi Gula

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebelumnya mencatat peningkatan kasus diabetes sebanyak 70 kali lipat pada 2022 dibandingkan 2010. Sekitar dua dari 100 ribu anak mengidap diabetes, pasien termuda yang sejauh ini ditemui bahkan berada di usia 13 tahun.

    Peningkatan tren kasus diabetes juga disebabkan gaya hidup tidak sehat termasuk tingginya konsumsi gula pada pangan olahan maupun siap saji. Menurut Ketua IDAI dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA (K), pemerintah harus tegas membatasi peredaran makanan dan minuman tinggi gula.

    “Saya kira sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian, sebagaimana pada bahaya rokok, terhadap bahaya gula ini,” ujar Piprim, dalam temu media daring, Selasa (26/11/2024).

    dr Piprim menyarankan untuk pemberian label keterangan gula pada setiap makanan atau jajanan anak, yang bisa mudah dimengerti. Misalnya diberikan dalam gambaran takaran sendok.

    “Seperti penjelasan memberi setiap minuman manis (kadar gulanya) setara dengan berapa sendok gula pasir,” katanya.

    Selama ini, peredaran makanan dan minuman tinggi gula relatif dianggap tidak berbahaya, tidak seperti ‘awareness’ risiko merokok/

    “Ditambah, pada kemasan rokok terdapat tulisan ‘rokok dapat membunuhmu’. Tapi kalau gula? Sampai saat ini kita belum melihat peringatan terhadap minuman atau makanan yang mengandung gula tinggi.”

    Pasalnya, dr Piprim menekankan sebagian besar makanan dan minuman yang beredar di pasaran mengandung gula dan pemanis buatan yang bila dikonsumsi secara jangka panjang, tentu membahayakan tubuh. Pada anak, kadar glukosa bisa meningkat dan menurun dengan cepat.

    Efek ini jelas membuat anak menjadi rentan tantrum, mudah marah, mengamuk, kelaparan, dan mengidam makanan manis untuk meredakan kondisinya. “Begitu terus, sehingga terjadi lingkaran setan, dan akhirnya anak menjadi adiksi, over-nutrisi, over-kalori, dan akhirnya terjadilah PTM seperti diabetes melitus, hipertensi, ginjal, dan lain sebagainya,” wanti-wanti dr Piprim.

    (naf/kna)

  • IDAI Sebut Anak dengan Diabetes Lebih Rentan Terkena Gagal Ginjal, Ini Alasannya

    IDAI Sebut Anak dengan Diabetes Lebih Rentan Terkena Gagal Ginjal, Ini Alasannya

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut anak-anak yang mengidap diabetes lebih rentan terkena penyakit lain seperti gagal ginjal. Hal ini bisa terjadi jika kontrol metabolik atau upaya menjaga kadar gula darah dalam batas normal terbilang buruk.

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi IDAI Dr dr Siska Mayasari Lubis, MKed(Ped), SpA(K) mengatakan komplikasi jangka panjang dari diabetes dapat memengaruhi kesehatan ginjal.

    “Kalau sudah ada komplikasi ke ginjal, ditakutkan terjadi gangguan yang menyebabkan anak harus cuci darah,” kata dr Siska dalam webinar daring, Selasa (26/11/2024).

    Meski begitu, lanjut dr Siska, kondisi ini bisa saja dihindari. Menurutnya, pola hidup sehat dan kontrol metabolik yang baik adalah kunci agar sang buah hati tidak harus sampai melakukan cuci darah.

    IDAI beberapa waktu lalu merilis data yang menunjukkan adanya peningkatan kasus diabetes pada anak. Prevalensi anak dengan diabetes meningkat 70 kali lipat pada Januari 2023 dibandingkan tahun 2010.

    dr Siska mengimbau kepada para orang tua untuk perlahan mengurangi konsumsi makanan atau minuman manis pada anak. Terlebih, saat mereka jajan di sekolah.

    “Kita bisa evaluasi, tadi jajan apa di sekolah, beli apa. Misalnya dia bilang ‘oh tadi beli jus buah, saya beli jus kotak (kemasan), beli susu rasa coklat’,” kata dr Siska.

    “Jadi dari apa yang dikonsumsi anak sehari-hari, kita (orang tua) bisa menilai apakah anak saya gulanya berlebih,” lanjut dia.

    Pengurangan konsumsi gula ini, lanjut dr Siska harus dilakukan secara perlahan. Orang tua tidak bisa langsung ‘memotong’ gula pada anak, pasalnya hal ini bisa membuat anak menjadi mudah tantrum.

    (dpy/kna)

  • Daftar Minuman yang Dianggap ‘Sehat’ Tapi Bisa Bikin Anak Diabetes-Obesitas

    Daftar Minuman yang Dianggap ‘Sehat’ Tapi Bisa Bikin Anak Diabetes-Obesitas

    Jakarta

    Kasus diabetes pada anak dilaporkan meningkat. Penyakit kronis ini bisa menyerang anak salah satunya disebabkan oleh pola makan tak sehat si kecil.

    Spesialis anak konsultan endokrinologi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Siska Mayasari Lubis, MKed(Ped), SpA(K) mengatakan banyak minuman yang dilabeli untuk anak yang sebenarnya tak sehat. Ada beberapa minuman yang dianggap sehat tapi ternyata mengandung gula tersembunyi dan menjadi pemicu diabetes dan obesitas pada anak.

    “Jus buah dengan pemanis beredar luas di pasaran. Habis minum satu botol, mau minum lagi minum lagi. Ini menunjukkan addiction,” kata dr Siska dalam webinar, Selasa (26/11/2024).

    dr Siska mengatakan beberapa minuman yang dianggap sehat namun mengandung gula tambahan berlebih yakni:

    Jus buah: meski kaya serat dan vitamin, banyak jus buah dengan gula tambahan yang berbahaya. Dalam satu kotak jus buah berukuran 500 ml, diperkirakan ada sekitar 22 sendok teh kandungan gula di dalamnya.

    Susu dengan perisa: hampir semua susu yang beredar bukanlah susu murni sehingga dapat meningkatkan jumlah gula tambahan pada anak.

    Yogurt rasa buah: yogurt alami mengandung laktosa, tetapi yogurt rasa buah serangkali ditambahkan gula untuk membuat rasanya lebih manis.

    “Dalam jangka pendek, kecanduan gula akan menyebabkan lonjakan energi berlebih. Paparan gula jangka panjang juga mempengaruhi perkembangan otak anak,” tandas dr Siska.

    (kna/kna)

  • Dear Ortu, Begini Atasi Anak yang Mudah Tantrum gegara Kecanduan Gula

    Dear Ortu, Begini Atasi Anak yang Mudah Tantrum gegara Kecanduan Gula

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) beberapa waktu lalu merilis data yang menunjukkan adanya peningkatan kasus diabetes pada anak. Prevalensi anak dengan diabetes meningkat 70 kali lipat pada Januari 2023 dibandingkan tahun 2010.

    Makanan dan minuman manis menjadi salah satu pemicu diabetes pada anak. Ketika anak terlalu banyak mengonsumsi makanan manis, mereka akan lebih mudah tantrum. Konsumsi gula berlebih bisa menyebabkan anak tantrum karena kenaikan kadar gula darah yang memicu perilaku hiperaktif pada anak.

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi IDAI Dr dr Siska Mayasari Lubis, MKed(Ped), SpA(K) mengatakan salah satu hambatan yang biasa ditemui orang tua saat ingin mencoba mengurangi konsumsi gula pada anak adalah tantrum atau nangis.

    “Mengurangi makanan atau minuman manis itu tidak bisa, dari yang banyak terus total jadi nol gitu, nggak bisa. Jadi harus pelan-pelan, bertahap kita menguranginya. Tujuannya biar anak nggak tantrum,” ujar dr Siska dalam media gathering IDAI, Selasa (26/11/2024).

    dr Siska menambahkan orang tua juga wajib secara perlahan memberikan edukasi kepada anak tentang bahayanya mengonsumsi makanan atau minuman manis secara berlebih.

    Terlebih untuk anak-anak yang dalam usia sekolah, dr Siska mengimbau pada orang tua untuk lebih aktif menanyakan tentang makanan atau minuman apa yang mereka makan di kantin.

    “Kita bisa evaluasi, tadi jajan apa di sekolah, beli apa. Misalnya dia bilang ‘oh tadi beli jus buah, saya beli jus kotak (kemasan), beli susu rasa coklat’,” kata dr Siska.

    “Jadi dari apa yang dikonsumsi anak sehari-hari, kita (orang tua) bisa menilai apakah anak saya gulanya berlebih,” lanjut dia.

    Selain itu, orang tua juga dianjurkan untuk melakukan skrining terkait diabetes pada anak. Menurut dr Siska, skrining ini dianjurkan mulai dari anak usia 10 tahun ke atas.

    (dpy/kna)

  • Kasus Diabetes Makin Muda, Ada yang Masih 13 Tahun Sudah Kena Penyakit Gula

    Kasus Diabetes Makin Muda, Ada yang Masih 13 Tahun Sudah Kena Penyakit Gula

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) membenarkan terjadi kenaikan kasus diabetes melitus tipe 2 pada anak. Penyebab diabetes tipe 2 ini salah satunya karena kebiasaan mengonsumsi minuman manis yang berlebihan.

    “Termuda di rumah sakit kami itu pasien diabetes tipe dua umur 13 tahun,” kata dr Siska Mayasari Lubis, MKed(Ped), SpA(K), Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi IDAI dari RS Adam Malik, Medan, dalam webinar Selasa (26/11/2024).

    Diabetes tipe 2 terjadi ketika sel-sel tubuh menjadi kurang responsif terhadap upaya insulin untuk mendorong glukosa ke dalam sel, suatu kondisi yang disebut resistensi insulin.

    Dalam jangka panjang jika tidak mendapat penanganan, diabetes pada anak bisa memicu gangguan ginjal yang berujung pada cuci darah atau hemodialisis di usia dewasa.

    Oleh karena itu, dr Siska mengingatkan pengawasan lebih oleh orang tua terutama pada jajanan anak. Sebab banyak minuman kemasan yang dijual ternyata mengandung gula tambahan dengan kadar cukup tinggi sehingga bisa memicu risiko diabetes pada anak.

    “Kita bisa evaluasi jajan apa di sekolah, misal dia bilang beli jus buah kotak dan beli susu rasa coklat,. Dari yang mereka konsumsi kita sudah bisa menilai asupan gula anak sudah berlebih,” tandas dia.

    (kna/kna)

  • Kagetnya Menkes Banyak Anak di RI Kena Diabetes

    Kagetnya Menkes Banyak Anak di RI Kena Diabetes

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kaget mengetahui banyak anak-anak di Indonesia yang terkena diabetes. Dia pun menekankan pentingnya deteksi dini dan penanganan diabetes pada anak-anak.

    Hal ini karena ia khawatir terhadap peningkatan kasus diabetes tipe 1 pada anak-anak di Indonesia maupun dunia.

    “Saya juga kaget bahwa ternyata, banyak anak di dunia dan juga di Indonesia yang terkena diabetes sejak kecil, istilahnya diabetes tipe 1. Diabetes tipe 1 ini jika tidak dirawat dengan cepat, bisa meninggal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun,” ucapnya dikutip dari laman Kemenkes RI.

    Menkes mengatakan diabetes tipe 1 yang tak segera mendapatkan pengobatan dapat berdampak fatal, bahkan kematian. Dalam upaya menangani permasalahan ini, pemerintah berinisiatif menerapkan skrining kesehatan gratis untuk masyarakat Indonesia, termasuk anak-anak pada 2025.

    “Kebetulan kan Pak Prabowo akan launching Skrining Kesehatan untuk masyarakat di Indonesia. Nah, saya sudah putuskan memasukan skrining diabetes ini untuk kelompok anak-anak, supaya ketahuan lebih dini. Dengan begitu, kita bisa lakukan pengobatannya segera mungkin,” tambahnya.

    Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik utama pada anak yang sifatnya kronis dan potensial mengganggu tumbuh kembang anak. Pada anak dikenal 2 jenis diabetes yang paling banyak dijumpai, yaitu DM tipe-1 dengan jumlah kadar insulin rendah akibat kerusakan sel beta pankreas, dan DM tipe-2 yang disebabkan oleh resistensi insulin, walaupun kadar insulin dalam darah normal.

    Faktor penyebab utama DM tipe-1 adalah faktor genetik dan autoimun, sedangkan pada DM tipe-2 biasanya disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat dan kegemukan.

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebelumnya merilis data yang menunjukkan bahwa prevalensi anak pengidap diabetes meningkat 70 kali lipat pada januari tahun 2023 dibandingkan tahun 2010. IDAI mencatat 1.645 anak di Indonesia mengidap diabetes, prevalensinya sebesar 2 kasus per 100.000 anak. Hampir 60 persen pengidapnya adalah anak perempuan. Sedangkan berdasarkan usianya, sebanyak 46 persen berusia 10-14 tahun, dan 31 persen berusia 14 tahun ke atas.

    (suc/naf)

  • Menkes Budi Kaget Banyak Anak-anak Indonesia Kena Diabetes Tipe 1

    Menkes Budi Kaget Banyak Anak-anak Indonesia Kena Diabetes Tipe 1

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menekankan pentingnya deteksi dini dan penanganan diabetes pada anak-anak. Dia mengaku khawatir terhadap peningkatan kasus diabetes tipe 1 pada anak-anak, khususnya di Indonesia.

    “Saya sangat kaget bahwa ternyata banyak anak-anak di dunia, termasuk Indonesia, yang terkena diabetes tipe 1 sejak kecil. Jika tidak diobati dengan cepat, diabetes tipe 1 ini bisa berakibat fatal,” ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin saat Peringatan Hari Diabetes Sedunia di RSUP Dr Cipto Mangunkusomo (RSCM) dikutip dari Antara, Minggu (24/11/2024). 

    Menkes Budi mengungkapkan diabetes tipe 1 yang tidak segera ditangani dengan tepat dapat berakibat fatal. Bahkan, ada kemungkinan bisa menyebabkan kematian pada anak.

    Dalam upaya untuk menangani masalah ini, Menkes mengungkapkan dukungannya terhadap inisiatif pemerintah yang dipelopori oleh Presiden Prabowo Subianto, yaitu program skrining kesehatan untuk masyarakat Indonesia, termasuk anak-anak.

    “Saya sudah memutuskan untuk memasukkan skrining diabetes ini untuk kelompok anak-anak, agar masalah ini bisa terdeteksi lebih dini dan penanganannya lebih cepat,” ujarnya. 

    Budi Gunadi juga mengapresiasi langkah kolaboratif antara IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dan pihak terkait yang telah mengembangkan aplikasi PrimaKu yang terintegrasi dengan Satu Sehat.

    Aplikasi ini diharapkan dapat mempermudah pemantauan dan tindak lanjut pasien diabetes anak. Dalam paparannya, Menkes Budi menyebutkan sudah terdapat 160 ribu pengukuran pada 883 pasien yang terdaftar di sistem PrimaKu.

    “Dengan integrasi antara Primaku dan Satu Sehat, data pasien akan lebih rapi dan terintegrasi dengan baik. Ini akan memungkinkan kita untuk memantau anak-anak yang terkena diabetes secara lebih efektif dan memberikan pengobatan yang lebih baik,” kata Menkes.

    Data yang ada menunjukkan lebih dari ribuan anak di bawah usia 18 tahun di Indonesia menderita diabetes, dan sebagian besar dari mereka diperkirakan mengalami diabetes tipe 1.

    Menkes berharap integrasi aplikasi ini akan meningkatkan kualitas pemantauan dan pengobatan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat kesembuhan dan mengurangi angka kematian akibat diabetes pada anak-anak.

    “Semoga dengan adanya sistem yang lebih baik, kita bisa memastikan bahwa anak-anak yang menderita diabetes mendapatkan perawatan yang tepat dan terjangkau. Dengan deteksi dini dan penanganan yang cepat, kita dapat meningkatkan peluang mereka untuk hidup sehat,” kata Budi Gunadi Sadikin. 

  • Kasus Diabetes Anak ‘Ngegas’, IDAI Minta Perketat Makanan-Minuman Tinggi Gula

    Pneumonia pada Anak Bisa Dideteksi dengan Menghitung Napas, Bagaimana Caranya?

    Jakarta

    Orang tua perlu mewaspadai apabila anak mengalami gejala seperti napas cepat. Hal ini dikarenakan napas cepat bisa menjadi salah satu tanda infeksi pneumonia atau kondisi yang merujuk pada kesehatan paru-paru, yakni terjadi peradangan atau infeksi pada organ paru.

    Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof dr Hartono Gunardi, SpA(K) menjelaskan cara untuk menghitung frekuensi napas anak sebagai indikator potensi pneumonia.

    “Kalau mau menentukan pada bayi ada periodic breathing (nafas periodik), jadi kita harus hitung satu menit. Kurang dari dua bulan (frekuensi nafas) 60 kali per menit, kalau dua bulan sampai 12 bulan 50 kali per menit,” ujarnya saat ditemui di Jakarta Selatan, Senin (18/11).

    “Satu tahun sampai lima tahun 40 kali per menit, di atas lima tahun 30 kali per menit,” lanjutnya.

    Menurut Prof Hartono, mengukur frekuensi napas pada anak, terutama bayi di bawah dua tahun, perlu ketelitian karena sifat napas bayi yang bisa berfluktuasi.

    Orang tua juga perlu memperhatikan apakah ada tarikan dinding dada yang tidak biasa, yang dapat menjadi tanda anak mengalami sesak napas.

    “Napasnya cepat, napasnya cepat. Kalau kita napas, napasnya biasa, kalau napas cepat kan seperti orang lari ya, seperti itu,” imbuhnya lagi.

    Selain menghitung frekuensi napas, Prof Hartono menyarankan agar orang tua mewaspadai tanda pneumonia pada anak lainnya, seperti demam dan batuk. Gejala ini perlu dicurigai lebih lanjut, terutama jika disertai dengan napas cepat.

    Tak hanya itu, Prof Hartono juga menekankan pentingnya pemberian nutrisi yang baik dan seimbang. Orang tua disarankan untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi dan memastikan asupan nutrisi yang mencakup karbohidrat, lemak, dan protein.

    “Kalau dulu ada istilahnya 4 sehat, 5 sempurna, jadi karbohidrat, lemak, protein. Nggak boleh karbohidrat melulu sama lemak, anaknya nggak boleh dikasih MPASI hanya karbohidrat saja, buah-buahan saja, kalau bayi harus seimbang ada protein zat pembangun,” tuturnya.

    Orang tua juga disarankan untuk menjaga kebersihan diri, rajin mencuci tangan, menjaga kebersihan rumah, serta memastikan adanya ventilasi yang baik untuk menjaga bayi agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi.

    “Jangan sampai ada polusi di dalam rumah, seperti asap rokok,” pungkas Prof Hartono.

    (suc/suc)

  • Kipas Angin dan Mandi Malam Sebabkan Pneumonia? Ini Faktanya

    Kipas Angin dan Mandi Malam Sebabkan Pneumonia? Ini Faktanya

    Jakarta, Beritasatu.com – Dokter spesialis anak subspesialisasi respirologi dari Universitas Indonesia (UI), Wahyuni Indawati menyampaikan, penggunaan kipas angin atau kebiasaan mandi malam tidak secara langsung memicu terjadinya pneumonia atau radang paru-paru.

    Pneumonia merupakan peradangan akut pada alveoli paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau parasit.

    “Kipas angin bukan penyebab langsung dari penyakit pneumonia, tetapi bisa jadi media untuk memperluas transmisi penularannya,” kata Wahyuni Indawati, dikutip dari Antara, Minggu (17/11/2024).

    Wahyuni menjelaskan, risiko penularan hanya ada apabila kipas angin digunakan di ruangan tertutup yang sebelumnya dihuni oleh individu yang membawa bakteri.

    Penyebaran bakteri terjadi melalui droplet atau percikan air liur saat seseorang batuk, bersin, atau berbicara. Droplet yang menempel di kipas angin dapat bertahan di permukaan benda untuk waktu tertentu, sehingga meningkatkan potensi penularan.

    Terkait mandi malam, Wahyuni menegaskan aktivitas tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan pneumonia.

    Menurutnya, mandi malam hanya menyebabkan perubahan suhu tubuh, terutama apabila menggunakan air dingin. Apabila daya tahan tubuh sedang menurun, risiko terkena penyakit memang meningkat, tetapi menurutnya tidak ada penelitian yang menghubungkan mandi malam dengan pneumonia.

    Pemberian vaksin pneumokokus konjugat (PCV) terbukti efektif menekan angka kejadian pneumonia. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga merekomendasikan vaksin PCV15 untuk memberikan perlindungan yang lebih luas terhadap bakteri pneumokokus pada anak-anak.

  • Jadi Penyakit Pemicu Kematian Anak Tertinggi di RI, Waspadai Gejala Pneumonia

    Jadi Penyakit Pemicu Kematian Anak Tertinggi di RI, Waspadai Gejala Pneumonia

    Jakarta

    Pneumonia atau radang paru merupakan penyakit penyebab kematian anak terbanyak di Indonesia. Pneumonia menempati peringkat satu di atas diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dengan estimasi sekitar 20-30 ribu anak meninggal di Indonesia setiap tahun.

    Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof dr Hartono Gunardi, SpA(K) mengatakan pneumonia memang bukan satu-satunya masalah penyakit infeksi pada anak. Namun, ada beberapa faktor yang membuat penyakit ini begitu mematikan.

    Prof Hartono menjelaskan pneumonia begitu mematikan karena penyebarannya yang sangat mudah dan vitalnya organ paru yang terinfeksi. Pneumonia yang disebabkan infeksi bakteri dan virus dapat menyebar melalui droplet mirip dengan COVID-19.

    Hal ini belum juga ditambah dengan kondisi imunitas anak yang belum berkembang sempurna dan sering terlambatnya penanganan pneumonia pada anak.

    “Seringkali pasien itu kan bisa mengalami ISPA menjalar ke infeksi saluran napas bawah (ISPB), itu adanya dengan nafas cepat dan tarikan dinding dalam, sesak napas,” kata Prof Hartono ketika ditemui awak media di Jakarta Selatan, Minggu (17/11/2024).

    “Sehingga ini kalau misalnya pas anak pakai baju mungkin kan nggak terlalu diperhatikan ibunya, tau-tahu sesak, tahu-tahu biru, nah dibawa dalam keadaan sudah berat. Ini juga salah satu faktor yang dapat memperburuk prognosis dan angka kesembuhan anak,” sambungnya.

    Spesialis anak konsultan respirologi dr Wahyuni Indawati, SpA(K) dalam kesempatan yang sama mengatakan terdapat beberapa gejala pneumonia yang harus diperhatikan orang tua. Beberapa di antaranya demam, nyeri dada, dan batuk.

    Selain itu beberapa gejala khas dari pneumonia adalah napas yang cepat atau napas yang sesak. Apabila melihat gejala tersebut, dr Wahyuni mengimbau orang tua untuk segera memeriksakan kondisi anak ke dokter, terlebih gejala pneumonia mirip dengan sakit batuk-pilek ‘biasa’.

    Adapun beberapa faktor risiko pneumonia pada anak meliputi anak tidak diberi ASI eksklusif minimal 6 bulan, malnutrisi, polusi, hingga paparan asap rokok.

    “Untuk pencegahannya kalau memang anak itu masih dalam usia dalam kurang dalam 6 bulan maka berikan ASI eksklusif. Kemudian cegah malnutrisi dengan memberikan nutrisi cukup, cegah defisiensi vitamin A,” ujar dr Wahyuni.

    “Menjadi PR kita juga polusi, domestik rumah ya. Seperti asap rokok, kompor, kemudian kalau kita sedang sakit kita lupa menerapkan etika batuk, lupa cuci tangan, sehingga memberikan transmisi atau penularan pada sekeliling kita,” tandasnya.

    (avk/kna)