NGO: IDAI

  • Kekurangan Zat Besi Bisa Hambat Kecerdasan Si Kecil, Masa Sih?

    Kekurangan Zat Besi Bisa Hambat Kecerdasan Si Kecil, Masa Sih?

    Jakarta – Guna memastikan tumbuh kembang anak optimal, orang tua tidak boleh hanya berfokus pada kesehatan fisik. Ayah dan Bunda juga harus memperhatikan pemenuhan nutrisi bagi Si Kecil.

    Salah satu zat gizi yang tidak boleh dilewatkan yaitu zat besi atau iron (Fe). Mirisnya, 1 dari 3 anak Indonesia dilaporkan mengalami anemia karena kekurangan zat besi. Padahal, mineral ini menjadi elemen penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak.

    Melansir laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), zat besi memiliki beberapa fungsi krusial. Zat besi memungkinkan sel darah merah membawa oksigen ke seluruh tubuh. Di samping itu, jurnal yang dirilis European Food Safety Association (EFSA) menyebutkan mineral ini juga dibutuhkan dalam pembentukan mielin (selubung saraf), yang berfungsi sebagai penghantar impuls saraf.

    Seperti diketahui, otak manusia terdiri dari miliaran sel saraf. Tanpa mielin, impuls saraf tidak dapat mengalir secara optimal. Mielin bekerja seperti lapisan pelindung dalam sistem listrik, yang memastikan aliran impuls berjalan lancar dan efisien.

    Defisiensi Zat Besi Ganggu Kecerdasan-Hambat Prestasi di Sekolah

    Angka kebutuhan rata-rata zat besi harian berbeda-beda, tergantung dengan tingkatan usia anak. Merujuk pada panduan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), bayi usia 6-12 bulan memerlukan zat besi sebanyak 11 mg per hari. Sedangkan dalam standar angka kecukupan gizi (AKG) yang ditetapkan Kemenkes, anak dengan usia di atas 1 tahun rata-rata membutuhkan asupan zat besi sebanyak 7-10 miligram per hari.

    Adapun remaja berusia di atas 12 tahun perlu memenuhi kebutuhan rata-rata zat besi paling tidak 11-15 miligram per hari. Jika tidak tercukupi, hati-hati anak bisa mengalami defisiensi zat besi. Kondisi ini tentu perlu diwaspadai, sebab kekurangan zat besi yang tidak diatasi bisa mengganggu kesehatan Si Kecil.

    Seperti diketahui, zat besi dibutuhkan untuk berbagai proses seluler di otak yang sedang berkembang, terutama dalam hal memori dan pembelajaran. Asupan zat besi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan menurunnya kecerdasan dan menghambat perkembangan otak.

    Penelitian yang dirilis World Nutrition mengungkapkan anak yang mengalami defisiensi zat besi kronis memiliki kemampuan kosakata yang rendah dibandingkan anak dengan status gizi yang baik. Kekurangan zat besi juga bisa menyebabkan anak menjadi sulit berkonsentrasi di sekolah, sehingga prestasinya menurun. Lebih lanjut anak yang pernah mengalami kekurangan zat besi juga menunjukkan nilai motorik dan IQ lebih rendah pada usia 11-14 tahun.

    Karena itu sebagai orang tua, Bunda tentu ingin memastikan kebutuhan zat besi bisa terpenuhi, agar perkembangan kognitif anak berjalan lancar. Nah, asupan mineral ini bisa didapat dari berbagai makanan harian Si Kecil, seperti telur, ikan tuna, susu, beberapa sayuran hijau lainnya.

    Namun apakah makanan bergizi saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan zat besi yang diperlukan tubuh? Cari tahu langsung dari pakar di acara Mom’s Health Corner yang diselenggarakan pada Kamis, 19 Desember 2024 pukul 14.00 WIB di Habitate, Jakarta. Lewat acara ini, detikHealth bersama Maltofer ingin membagikan edukasi seputar peran penting zat besi dalam perkembangan kognitif anak yang dikemas secara menarik & interaktif.

    Mom’s Health Corner bakal menghadirkan para expert, ada dokter spesialis anak dr. Wisvici Yosua Samin, M.Sc., Sp. A serta Vega Karina, momfluencer yang kerap membagikan konten seputar parenting.

    Di acara ini, Ayah dan Bunda bisa mengulik bagaimana kaitan anemia atau kekurangan zat besi yang dapat membuat perkembangan kognitif anak menurun, hingga cara mencegahnya khususnya dari 1000 hari pertama kehidupan. Selain itu, orang tua juga akan mendapatkan informasi apakah pemberian makanan sudah dapat memenuhi kebutuhan zat besi Si Kecil, atau perlu suplemen tambahan?

    Tentunya ini menarik untuk dibahas, ya. Jadi, jangan lewatkan acaranya! Datang dan saksikan Mom’s Health Corner ‘Peran Zat Besi terhadap Perkembangan Kognitif Anak’ tanggal 19 Desember 2024.

    (adv/adv)

  • Dokter Wanti-wanti Cemaran Timbel Bisa Menempel pada Mainan Anak, Ortu Perlu Waspada

    Dokter Wanti-wanti Cemaran Timbel Bisa Menempel pada Mainan Anak, Ortu Perlu Waspada

    Jakarta

    Dokter spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Irene Yuniar, SpA(K), mengungkapkan anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap paparan timbel. Timbel atau timah hitam merupakan unsur logam berat yang biasanya digunakan untuk membuat pipa, keramik, baterai, hingga cat pewarna yang digunakan pada mainan anak.

    dr Irene menuturkan timbel bisa ditemukan di mana saja, termasuk pada mainan anak, makanan, hingga di lingkungan rumah yang kebersihannya tidak terjaga dengan baik atau memang berada di hotspot tempat paparan timbel tinggi, misalnya dekat pabrik tertentu.

    Selain itu, faktor yang membuat anak menjadi lebih rentan terpapar timbel hingga menimbulkan risiko keracunan adalah karena tubuhnya 4 hingga 5 kali lebih mudah menyerap timbel hingga kebiasaan anak memasukkan tangan atau benda ke dalam mulut.

    “Kita nggak bisa nahan anak-anak masukin tangannya ke mulut. Pasti sudah susah cuci tangan kalau nggak ada yang nyuruh, orang tua itu perlu diedukasi sebenarnya ya. Kira-kira bahaya-bahaya apa yang perlu dilakukan untuk pencegahan,” ujar dr Irene ketika ditemui awak media di Jakarta Selatan, Jumat (13/12/2024).

    Menurut dr Irene, menjaga kebersihan lingkungan dan tubuh anak menjadi langkah terbaik untuk menjaga anak dari paparan timbel. Selain mencuci tangan anak secara rutin, jangan lupa untuk membersihkan mainan yang digunakan anak secara berkala, khususnya bila anak masih dalam fase sering memasukkan benda dalam mulut.

    dr Irene menambahkan orang tua harus memerhatikan jenis mainan yang diberikan pada anak. Memastikan bahwa kecukupan gizi anak, khususnya zat besi dan kalsium terpenuhi, juga menjadi salah satu faktor penting.

    “Hati-hati pemberian mainan dengan label ‘kurang dari sekian tahun’, gitu ya. Kadang-kadang, masyarakat Indonesia kan, anak yang kecil ya dikasih aja, pokoknya beli-beli aja, padahal itu sudah dituliskan di mainannya, ‘tidak untuk anak di bawah usia tertentu’,” tandasnya.

    Berdasarkan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak dengan kadar timbel darah (KTD) lebih dari 5 µg/dL dianggap tinggi dan memerlukan intervensi medis. Menurut data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada tahun 2020, diperkirakan ada lebih dari 8 juta anak yang melewati batas tersebut.

    Secara umum, seorang anak memiliki KTD tinggi tidak memiliki gejala yang khas. Namun, beberapa dampak dan gejala yang mungkin timbul meliputi:

    Kesulitan belajar dan penurunan IQKeterlambatan perkembanganMemiliki masalah pendengaran dan keseimbanganKulit pucat tidak biasaKehilangan selera makanMual dan muntahAnemiaSakit perut

    (avk/suc)

  • Ketahui Tanda Seseorang Mengalami Resistensi Antibiotik – Halaman all

    Ketahui Tanda Seseorang Mengalami Resistensi Antibiotik – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Resistensi antibiotik akan menyebabkan infeksi bakteri pada tubuh sulit diobati.

    Resistensi antimikroba atau AMR adalah kondisi bakteri dalam tubuh menjadi kebal terhadap obat-obatan atau antibiotik akibat penggunaan kadar antibiotik yang tidak tepat. 

    Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Dr. dr. Edi Hartoyo, Sp.A (K) pun jelaskan apa saja ciri-ciri seseorang alami resistensi antibiotik. 

    Tanda paling menonjol adalah saat diberikan obat antibiotik sesuai dengan penyakit, pasien tidak menunjukkan perbaikan kondisi. 

    “Kalau misalnya dia infeksi di paru, pneumonia. Oh ternyata saya kasih antibiotik ini tidak membaik. Kemungkinan dia resisten,” ungkapnya pada media briefing virtual, Rabu (11/12/2024). 

    Hal ini juga berlaku pada penyakit lain. Jika dokter memberikan antibiotik sesuai indikasi, namun tidak membaik, maka bisa dicurigai telah terjadi resistensi. 

    Namun, selain resisten antibiotik, ada kemungkinan lain kenapa masih muncul masalah setelah diberikan antibiotik. 

    Misalnya, bisa disebabkan karena adanya reaksi alergi sebab pemilihan antibiotik yang tidak cocok dengan pasien. 

    “Alergi juga bisa. Misalnya saya minum Ampicilin (obat jenis antibiotik). Ternyata merah-merah. Jadi ruamnya bukan karena resistensi. Saya ‘mention’ saja karena alergi, bukan karena resistensi. Karena resistensi dengan klinisnya beda,” paparnya. 

    Faktor lain adalah pemberian dosis dan interval yang tidak tepat. 

    “Misalnya Ampicilin harus diberikan 4 kali. (Tapi) malah diberikan 2 kali. Jadi ada beberapa faktor yang memang perlu dipertimbangkan,” tutupnya.

  • Jangan Sepelekan Reaksi Alergi Antibiotik pada Anak, Ketahui Kenali Ciri-Cirinya – Halaman all

    Jangan Sepelekan Reaksi Alergi Antibiotik pada Anak, Ketahui Kenali Ciri-Cirinya – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Reaksi alergi antibiotik pada anak sebaiknya tidak disepelekan oleh orangtua. 

    Karena dapat membahayakan nyawa dari penggunanya. 

    Terkait hal ini, Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Dr. dr. Edi Hartoyo, Sp.A (K) ungkap apa saja ciri-ciri anak tidak cocok atau alergi dengan antibiotik. 

    Menurutnya, ada banyak reaksi yang muncul jika anak mengalami alergi terhadap antibiotik.

    “Jadi, kalau dia alergi terhadap antibiotik, mekanisme alergi banyak. Bisa dari kulit merah-merah. Bisa saluran cerna seperti muntah atau diare. Atau yang paling berat, adalah anafilaksis. Tapi mekanisme beda-beda,” ungkapnya pada media briefing virtual, Selasa (10/12/2024). 

    Ia pun mengajak pada orang tua untuk melihat reaksi apa yang muncul usai anak mengonsumsi antibiotik. 

    Jika anak menunjukkan gejala alergi, maka orang tua perlu mempertimbangkan untuk menghentikan konsumsi antibiotik tersebut. 

    Atau, orang tua bisa mengganti sesuai dengan golongan antibiotik yang resiko alerginya lebih kecil. 

    Selain itu, orang tua dianjurkan untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada tenaga kesehatan sebelum memberikan antibiotik pada anak. 

    Lebih lanjut, dr Edi mengatakan orang tua bisa menolak antibiotik yang disarankan dokter. 

    “Kalau misalnya jelas-jelas, penyebab paling sering bukan karena infeksi bakteri. Seperti batuk dan pilek biasa. Kondisi umumnya baik, baru berlangsung 1-3 hari, ya mungkin sebagian besar antibiotik tidak diperlukan,” paparnya. 

    Oleh karena itu, orang tua perlu mendiskusikan dengan dokter terkait apakah penggunaan antibiotik benar-benar dibutuhkan. 

  • Kesalahan yang Sering Dilakukan Orangtua Saat Berikan Obat Antibiotik pada Anak – Halaman all

    Kesalahan yang Sering Dilakukan Orangtua Saat Berikan Obat Antibiotik pada Anak – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Ketika anak sakit, merupakan hal wajar jika orangtua merasa khawatir. 

    Berbagai cara pun dilakukan agar anak pulih kembali. Salah satunya mencari pengobatan yang sesuai untuk memulihkan kesehatan sang anak. 

    Walaupun diobati, ternyata ada beberapa kesalahan minum obat yang kerap orangtua lakukan pada anak. 

    Salah satunya saat memberikan obat antibiotik pada anak. 

    Menurut Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Dr. dr. Edi Hartoyo, Sp.A (K), ada beberapa kekeliruan yang dilakukan orang tua saat beri antibiotik pada anak. 

    Pertama, orangtua terkadang meminta lebih dahulu antibiotik tanpa mengetahui apa indikasinya. 

     

    “Jadi kesalahan yang banyak adalah kadang-kadang orangtua datang. Dok, saya minta antibiotik, satu, itu banyak. Artinya sebelum dokter memutuskan apakah dia diperlukan antibiotik atau enggak,” ungkapnya pada diskusi media daring, Selasa (10/12/2024). 

    Kedua, kadang-kadang ada beberapa orang yang terpengaruh oleh media.

    Sehingga, kadang orangtua sesungguhnya  perlu memberikan antibiotik pada anak setelah ditemukan penyebab infeksinya. 

    “Dok saya enggak perlu antibiotika, nanti dua hari datang lagi dok, anak saya enggak membaik. Itu kesalahan yang kedua,” imbuhnya. 

    Oleh karena itu, ia pun menyarankan pada orangtua untuk menghindari kekeliruan di atas. 

    Lalu melakukan beberapa hal seperti meminta pertimbangan pada dokter saat menggunakan antibiotik pada anak. 

    “Orangtua diskusi. Dok, anak saya penyakitnya apa, perlu antibiotik kah? Kalau perlu jenisnya apa,” papar dr Edi. 

    Selain itu, orangtua juga perlu menanyakan pada dokter berapa lama dan cara pemberian antibiotik yang tepat. 

    Karena ada pada jenis antibiotik tertentu yang harus diminum sebelum makan atau dalam kondisi perut kosong.

    Ada juga jenis antibiotik yang tidak boleh diminum setelah makan.

    “Itu perlu dijelaskan kapan minumnya, berapa kali sehari. Ada juga yang antibiotik harusnya tiga kali sehari,” tutupnya. 

     

  • Ketahui Penyakit Apa Saja yang Tidak Butuh Konsumsi Obat Antibiotik – Halaman all

    Ketahui Penyakit Apa Saja yang Tidak Butuh Konsumsi Obat Antibiotik – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Resistensi antimikroba masih menjadi masalah di dunia kesehatan. 

    Terjadinya resistensi antimikroba, ketika bakteri menjadi kebal akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat. 

    Bakteri seharusnya mati ketika terkena antibiotik. 

    Namun penggunaan antibiotik yang tidak tepat menjadikannya kebal sehingga ia bisa tetap berkembang.

    Hal ini tentu bisa berdampak panjang pada kesehatan dan keuangan.

    Padahal ada beberapa penyakit umum yang tidak memerlukan antibiotik. 

    Hal ini diungkapkan oleh Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Dr. dr. Edi Hartoyo, Sp.A (K). 

    Lebih lanjut ia menjelaskan apa saja penyakit yang tidak membutuhkan penyakit Antibiotik. 

    “Tidak butuh (antibiotik), pasti batuk pilek ya. Batuk pilek itu ada dua, ada penyebabnya banyak malah. Bisa karena alergi, sebagian besar oleh karena virus,” ungkapnya pada diskusi virtual, Selasa (10/12/2024). 

    Hanya sebagian kecil batuk dan pilek disebabkan oleh bakteri, sehingga pengguna obat antibiotik tidak  dibutuhkan. 

    Menurut dr Edi ada ciri-ciri pilek atau batuk yang disebabkan oleh bakteri. 

    Seperti demam tinggi dan lendir yang bewarna hijau dengan tekstur kental. 

    “Kalau dia banyak batuk dan pilek, (badan) hangat-hangat. Kemudian ingusnya masih encer, kemungkinan dua. Kalau tidak virus, ada alergi,”lanjutnya. 

    Kemudian beberapa penyakit demam belum tentu disebabkan oleh infeksi bakteri. Sehingga tidak diperlukan obat antibiotik. 

    Demam biasa umumnya akan turun dalam satu hingga dua hari. 

    “Biasanya bukan oleh karena infeksi bakteri. Tapi sebagian besar batuk pilek, kalau kurang dari satu minggu, sebagian besar adalah oleh karena virus. Sehingga tidak diperlukan antibiotik,” tutupnya. 

  • Pemberian Nutrisi Optimal Jadi  Solusi Masalah Imunitas, Alergi, dan Pertumbuhan Anak – Halaman all

    Pemberian Nutrisi Optimal Jadi  Solusi Masalah Imunitas, Alergi, dan Pertumbuhan Anak – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Riset kesehatan dasar 2018 dan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menemukan prevalensi persalinan dengan metode c-section (operasi cesar) dalam skala nasional meningkat dari 17,6 persen tahun 2018 menjadi 25,9 persen pada tahun 2023.

    Persalinan caesar dikaitkan memberikan pengaruh gangguan komposisi mikrobiota usus pada bayi yang berpotensi memengaruhi kesehatan jangka panjang.

    Pasalnya,  bayi yang lahir secara normal (vaginal) akan memiliki paparan mikroorganisme yang berbeda dengan bayi yang lahir melalui operasi caesar.

    Mikrobiota usus bayi yang lahir caesar cenderung kurang beragam dan didominasi oleh bakteri yang kurang menguntungkan yang berisiko mengganggu keseimbangan bakteri di dalam usus (disbiosis) pada anak dan kesehatan anak di kemudian hari.

    Dokter Spesialis Anak Konsultan Alergi Imunologi, Prof. Dr. dr. Anang Endaryanto, Sp.A(K) mengatakan, kondisi disbiosis dapat meningkatkan risiko bayi mengalami berbagai masalah alergi (seperti pilek, batuk kronik berulang, dan asma) dan gangguan imunitas tubuh (seperti infeksi, autoimun, dan penyakit inflamasi).

    “Sementara saat bayi lahir secara normal, akan terpapar mikroorganisme yang ada di jalan lahir dan saluran cerna ibunya dan paparan bakteri ini membantu membentuk mikrobiota usus bayi yang sehat dan beragam, didominasi oleh bakteri baik seperti Bifidobacterium dan Bacteroides,” kata Anang saat dalam sesi pertemuan ilmiah Expert Scientific Lecture yang diadakan di Pusat Riset dan Inovasi Global Danone, beberapa hari lalu di Utrecht, Belanda.

    Dikatakannya, mikrobiota usus yang sehat ini akan mendukung perkembangan sistem kekebalan tubuh bayi yang protektif dan seimbang, sehingga tubuh lebih tahan terhadap penyakit infeksi, kanker, alergi, dan autoimun, serta mendukung pertumbuhan yang optimal.

    “Dampak penting pasca operasi cesar adalah tantangan kesehatan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak seperti alergi. Alergi makanan berpotensi mempengaruhi status nutrisi dan pertumbuhan,” katanya.

    Salah satu contohnya adalah isu alergi susu sapi pada anak, yang mana kasus ini mencapai 0,5-7,5 persen per tahun dari jumlah kelahiran bayi di Indonesia. Alergi susu sapi (ASS) yang dimediasi IgE sering terjadi pada masa anak, mempengaruhi sekitar 1,9-4,9 persen anak di seluruh dunia.

    “Alergi protein susu sapi yang dimediasi IgE merupakan salah satu alergi makanan yang paling umum terjadi pada anak usia dini dan penatalaksaan anak dengan alergi protein susu sapi yang terpenting adalah dengan menghindari alergen yaitu protein susu sapi dan memberikan penggantinya,” katanya.

    Para ibu yang menyusui juga disarankan menghindari konsumsi protein susu sapi dan turunannya.

    Faktor risiko terjadinya alergi protein susu sapi meliputi kelahiran prematur, alergi makanan pada ibu, pemberian antibiotik selama kehamilan, dan pengenalan makanan pendamping saat anak berusia kurang dari 4 bulan serta kelahiran melalui operasi caesar.

    Sebagian besar dokter anak di Indonesia sudah cukup memahami alergi susu sapi dan rekomendasi yang disusun IDAI. Namun, upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keakuratan dalam diagnosis alergi susu sapi akan terus dilakukan.

    Untuk meminimalisir dampak alergi ini, pedoman European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) merekomendasikan eHF berbasis protein susu sapi sebagai pengobatan lini pertama untuk anak-anak dengan kondisi alergi protein susu sapi.

    Bagi anak yang memiliki alergi susu sapi seperti ini, direkomendasikan untuk berkonsultasi dengan dokter dalam memberikan formula pengganti berupa formula protein susu sapi yang terhidrolisis ekstensif (eHF), formula asam amino (AAF), atau formula isolat protein soya atau kedelai (SIF).

    Masalah yang tidak optimal juga merupakan isu penting karena dapat mempengaruhi perkembangan anak dalam jangka panjang. Masalah pertumbuhan terbanyak di Indonesia adalah stunting, yaitu panjang/tinggi badan kurang dari -2 SD (Standar Deviasi) grafik WHO14 yang disebabkan oleh malnutrisi kronik.

    Masalah gizi lainnya adalah weight faltering, gizi kurang, dan gizi buruk. Semua masalah gizi tersebut akan menyebabkan dampak jangka pendek, yatu menurunnya imunitas dan dampak jangka panjang, yaitu risiko sindrom metabolik dan gangguan perkembangan kognitif.

    “Oleh karena itu penting untuk mencegah stunting dengan cara mendeteksi weight faltering/berat badan kurang dan tata laksana segera,” kata Anang.

    Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Stunting, maka pencegahan stunting dimulai dari tingkat Posyandu, yaitu dengan pemberian makanan yang mengandung protein hewani yang cukup.

    Penelitian di 54 negara berkembang pada tahun 2001 menunjukkan bahwa weight faltering dan length deceleration (kenaikan panjang yang tidak adekuat) banyak terjadi pada masa pemberian MPASI.

    Anak  yang telah mengalami weight faltering, berat badan kurang, atau gizi kurang harus ditangani di Puskesmas oleh dokter umum. 

    “Pada anak tersebut, dibutuhkan pemberian makanan terapeutik, misalnya susu formula pertumbuhan. Anak yang telah mengalami stunting harus dirujuk ke Rumah Sakit untuk ditangani dokter anak segera, karena penatalaksanaan stunting memberikan hasil terbaik bila dilakukan sebelum usia 2 tahun,” katanya.

    Terapi untuk anak yang mengalami stunting meliputi pemberian makanan yang mengandung kalori, protein hewani, dan mikroutrien cukup serta pangan keperluan medis khusus (PKMK). Namun, penting untuk diperhatikan bahwa pemberian PKMK harus diresepkan oleh dokter anak karena dosis harus dihitung sesuai dengan kondisi klinis pasien.

    Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik, dr. Klara Yuliarti, Sp.A(K) mengatakan, tata laksana stunting yang dilakukan dokter spesialis anak berupa asuhan nutrisi pediatrik, yang terdiri dari 5 langkah, yaitu penilaian adakah penyakit medis dan status gizi, penentuan kebutuhan /kalori dan protein, penentuan rute pemberian nutrisi, pemilihan jenis nutrisi (makanan padat dan PKMK), serta pemantauan dan evaluasi.

    Terapi stunting membutuhkan asupan kalori yang cukup dengan protein energy ratio (PER) 10-15 persen. Pemilihan PKMK didasarkan pada kebutuhan pasien, densitas energi, protein-energy ratio, persyaratan kandungan sukrosa, dan palatabilitas.

    Persayaratan komposisi PKMK diatur dalam Perka BPOM No. 24 tahun 2020 tentang perbaikan ke-2 Perka No.1 tahun 2018 tentang PKMK. Densitas energi pada PKMK untuk dukungan nutrisi (disebut juga oral nutrition supplement, ONS) minimal 0,9 kkal/mL.

    “Berdasarkan densitas energi, ONS dikategorikan menjadi ONS energi tinggi (1.5 kkal/mL atau lebih) dan ONS energi standar,” kata Klara.

    Healthcare Nutrition Director Danone SN Indonesia, dr. Ashari Fitriyansyah mengatakan, pihaknya mengajak Healthcare Professional Tanah Air untuk bertukar pikiran dan berdiskusi secara aktif melalui forum scientific yang membahas berbagai topik terkait isu kesehatan serta nutrisi anak.

    “Diantaranya mengenai dampak kelahiran pasca c-section, hubungan imunitas serta alergi dan gangguan pertumbuhan, stunting dan malnutrisi serta anemia defisiensi besi,” katanya.

  • Fakta-fakta Musim Hujan, Prediksi BMKG hingga Mitos Kehujanan Bikin Sakit

    Fakta-fakta Musim Hujan, Prediksi BMKG hingga Mitos Kehujanan Bikin Sakit

    Jakarta

    Hujan dengan intensitas sedang hingga lebat diprediksi terjadi di hampir seluruh Indonesia di awal Desember 2024. Badan Meterorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi cuaca ekstrem di sebagian wilayah.

    Dalam sepekan ke depan, diprediksi terjadi fenomena atmosfer yang mempengaruhi pola cuaca. Beberapa fenomena yang berkontribusi pada pembentukan awan hujan sebagaimana dipaparkan BMKG antara lain:

    Dipole mode negatif. Berlangsung konsisten, meningkatkan pasokan uap air yang memperkuat curah hujan di wilayah barat IndonesiaMadden-Julian Oscillation (MJO). Berada di fase 4 yang aktif di wilayah barat dan tengah Indonesia, mendukung pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.Gelombang Rossby, Kelvin, dan Low Frequency. Meningkatkan peluang pembentukan awan hujan signifikan di wilayah barah dan timur Indonesia.

    Kehujanan bikin sakit, mitos atau fakta?

    Selain risiko bencana hidrometeorologi, risiko kesehatan juga banyak diantisipasi di musim hujan. Banyak anggapan, kehujanan dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit. Benarkah?

    “Jadi, hujan itu sendiri tidak menyebabkan sakit,” kata Tanner Dunn, seorang praktisi keperawatan keluarga dari Mayo Clinic Health System di Wisconsin.

    “Namun demikian, efek hujan dapat mempengaruhi tubuh membuatnya lebih rentan terhadap penyakit,” jelasnya.

    Disebutkan, hujan dapat membuat temperatur tubuh mengalami penurunan. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang memungkinkan bakteri tertentu berkembang biak dan melemahkan sistem imun atau daya tahan tubuh.

    Di sisi lain, hujan ringan justru memberikan manfaat bagi kesehatan bagi yang sebagian orang yang menyukai aktivitas outdoor. Dikutip dari VeryWellHealth, Neal Patel, seorang pakar kedokteran keluarga di St Joseph Hospital California menyebut kualitas udara cenderung lebih baik saat hujan.

    “Salah satu keuntungan jalan-jalan saat hujan adalah udara lebih bersih dan segar untuk pernapasan,” katanya.

    Selain itu, olahraga di tengah cuaca hujan cenderung membakar lebih banyak kalori. Hal ini disampaikan oleh Eric Ascher, seorang dokter di Lenox Hill Hospital di New York. Alasannya, seseorang cenderung bergerak lebih cepat dan intens saat hujan.

    “Tubuh secara alamiah bergerak sedikit lebih keras dan membakar lebih banyak kalori,” katanya.

    NEXT: Tak disarankan olahraga outdoor saat hujan jika…..

    Simak Video “Video IDAI: Waspadai DBD di Musim Hujan Sebulan ke Depan”
    [Gambas:Video 20detik]

  • 7 Tanda Tubuh Sudah ‘Overdosis’ Gula yang Kerap Tak Disadari

    7 Tanda Tubuh Sudah ‘Overdosis’ Gula yang Kerap Tak Disadari

    Jakarta

    Kasus diabetes pada anak meningkat hingga 70 kali lipat berdasarkan laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam perbandingan data sekitar 10 tahun terakhir.

    Kementerian Kesehatan RI juga melaporkan tren peningkatan prevalensi diabetes melitus pada usia kurang dari 15 tahun, dari semula 10,9 persen menurut Riskesdas 2019, meningkat menjadi 11,7 persen dalam data Survei Kesehatan Indonesia (2023).

    Jika dirinci lebih lanjut, kasus diabetes usia 18-59 tahun tiga kali lipat lebih tinggi terjadi pada obesitas sentral yakni lemak berlebih di sekitar perut. Batasan obesitas sentral adalah jika nilai lingkar perut pada laki-laki lebih besar dari 90 cm dan di kalangan perempuan lebih besar dari 80 cm.

    Faktor risiko lain ditemukan berkaitan dengan aktif bergerak. Pada kelompok yang sama, risiko diabetes 1,3 kali lebih tinggi pada kelompok yang minim bergerak.

    Ada sejumlah tanda yang kerap diabaikan saat tubuh sebetulnya sudah kelebihan mengonsumsi gula. Mengacu pada penjelasan sejumlah pakar, berikut tanda-tandanya:

    “Asupan gula yang berlebihan memengaruhi energi, suasana hati, berat badan, dan risiko penyakit kita,” kata Jessica Cording, RD, seorang pelatih kesehatan di New York City dan penulis The Little Book of Game Changers.

    “Secara keseluruhan, hal itu dapat memengaruhi kesejahteraan fisik dan mental kita.”

    1. Mudah Lapar dan Berat Badan Naik

    Jika mengonsumsi banyak kalori ekstra melalui gula tambahan, tanda utama yang kerap muncul adalah rasa lapar terus-menerus. “[Gula] memuaskan selera, tetapi tidak benar-benar memuaskan atau mengenyangkan perut kita,” kata Keri Stoner-Davis, RDN, yang bekerja di Lemond Nutrition di Plano, Texas.

    Tanpa protein, serat, dan lemak sehat, yang tidak terdapat dalam sebagian besar camilan olahan dan makanan manis, tubuh membakar gula dengan cepat dan meningkatkan rasa lapar, yang dapat menyebabkan ngemil tanpa berpikir dan bahkan kompulsif.

    Konsumsi minuman manis yang mengandung gula meningkatkan kenaikan berat badan pada orang dewasa dan anak-anak, menurut penelitian. Namun, bukan hanya kalori ekstra yang dapat menambah berat badan.

    Menurut penelitian, mikrobioma usus, ekosistem yang terdiri dari lebih dari 100 triliun mikroorganisme, memainkan peran penting dalam sistem pertahanan tubuh.

    Terlebih lagi, gula dapat merusak hormon lemak, termasuk leptin, yang menghambat rasa lapar. “Gula yang tinggi mengganggu metabolisme, sebagian dengan mengganggu leptin,” kata dr Keri. “Mengonsumsi gula membuat ingin makan lebih banyak gula, yang membuat lebih lapar.”

    2. Gampang Tersinggung

    Jika merasa murung, mudah tersinggung, atau gelisah, stres mungkin bukan satu-satunya alasan, itu bisa jadi pertanda bahwa seseorang mengonsumsi terlalu banyak gula.

    Satu penelitian menunjukkan bahwa mengonsumsi terlalu banyak gula tambahan dapat memicu peradangan, memperburuk suasana hati, dan menyebabkan gejala depresi.

    “Ketika tubuh terburu-buru memproses semua itu, tingkat energi anjlok, membuat merasa lesu dan mudah tersinggung,” kata Cording.

    “Selain itu, ketika kadar glukosa rendah dalam aliran darah karena kadar insulin melonjak setelah mengonsumsi banyak gula tambahan, kadar glukosa darah di otak juga menurun. Otak kita sangat bergantung pada kadar gula darah normal untuk mengisinya,” lanjutnya.

    3. Kelelahan

    Gula mudah diserap dan dicerna, jadi jika merasa lelah, itu bisa jadi karena jumlah gula yang dikonsumsi dalam makanan terlalu berlebihan.

    “Gula adalah sumber energi yang sangat cepat, jadi berapa pun banyaknya yang dimakan, dalam 30 menit, akan merasa lapar lagi, kekurangan energi, atau mencari energi lagi,” kata Stoner-Davis.

    Perubahan besar kadar gula darah dan insulin juga dapat menyebabkan kadar energi anjlok dan memengaruhi kadar energi secara keseluruhan.

    4. Makanan Terasa Tak Cukup Manis

    Jika menyadari bahwa makanan tidak terasa semanis dulu, atau jika perlu menambahkan gula ke makanan agar rasanya enak, misalnya: menaburi sereal dengan gula merah, bisa jadi tubuh kamu sudah mengonsumsi terlalu banyak gula.

    Jika mencoba membuat pilihan yang lebih sehat, misalnya dengan beralih dari yogurt beraroma ke yogurt tawar, perbedaannya akan lebih terlihat.

    “Otak dilatih untuk mengharapkan kadar kemanisan yang sangat tinggi, dan jika terbiasa dengan itu, akan lebih sulit untuk merasa puas dengan makanan yang kurang manis karena Anda sudah siap untuk mengharapkan kadar kemanisan yang tinggi,” kata Cording.

    5. Tekanan Darah Tinggi

    Jika telah didiagnosa mengidap hipertensi (tekanan darah tinggi), terlalu banyak gula tambahan dalam makanan bisa menjadi penyebabnya.

    Penelitian menunjukkan mengonsumsi minuman manis memiliki hubungan yang signifikan dengan tekanan darah tinggi dan insiden hipertensi yang lebih tinggi.

    Kadar glukosa yang tinggi dapat merusak lapisan pembuluh darah kita, sehingga lipid seperti kolesterol lebih mudah menempel pada dinding pembuluh darah.

    “Ketika itu terjadi, pembuluh darah mengeras. Ketika pembuluh darah mengeras, tekanan darah naik,” kata pakar.

    6. Jerawat dan Kerutan

    Jika kamu tengah berjuang melawan jerawat, mungkin ada baiknya untuk mempertimbangkan berapa banyak gula tambahan yang selama ini dimakan.

    “Kontrol glikemik (proses menjaga kadar gula darah dalam kisaran yang sehat, tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah) berperan penting dalam kesehatan kulit dan jerawat,” kata Cording.

    Misalnya, satu penelitian menunjukkan bahwa resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan risiko timbulnya jerawat. Resistensi insulin terjadi ketika sel-sel di hati, otot, dan lemak tidak merespons insulin sebagaimana mestinya, hormon dalam tubuh yang membantu menjaga kadar gula darah tetap stabil. Mengonsumsi makanan yang mengandung banyak gula tambahan merupakan faktor risiko resistensi insulin.

    7. Nyeri Sendi

    Jika merasakan nyeri pada sendi, mungkin bukan hanya karena usia. Mengonsumsi terlalu banyak gula dapat menyebabkan peradangan sistemik, yang dapat menyebabkan nyeri sendi. Meski begitu, ada beberapa kemungkinan penyebab nyeri sendi, jadi memperbaiki pola makan dengan mengurangi makanan manis mungkin bukan solusi ajaib, kata Cording.

    (naf/kna)

  • Imunisasi BCG Diberikan Umur Berapa? Ini Jadwal hingga Efeknya

    Imunisasi BCG Diberikan Umur Berapa? Ini Jadwal hingga Efeknya

    Jakarta

    Imunisasi BCG diberikan pada usia kurang dari tiga bulan atau tidak lama setelah lahir. Tujuannya adalah membentuk kekebalan tubuh anak, sehingga bisa melindungi diri sendiri dari berbagai ancaman penyakit infeksi.

    Dalam praktiknya, imunisasi BCG diberikan melalui vaksin Bacille Calmette-Guérin (BCG). Golongan vaksin dasar selain imunisasi BCG adalah polio, hepatitis B, DPT, MMR, rotavirus, PCV, dan HiB.

    Apa itu Imunisasi BCG?

    Dilansir The Royal Children’s Hospital, imunisasi BCG diberikan untuk mencegah penyakit tuberkulosis (TBC). Penyakit akibat infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis mudah menular lewat udara melalui batuk dan bersin.

    Imunisasi BCG dinamai dari nama penemunya yaitu Dr. Albert Calmette dan Dr. Camille Guerin. Vaksinnya dikembangkan dari bakteri Mycobacterium bovis, yang mirip dengan bakteri penyebab TBC.

    BCG bekerja dengan mencegah perkembangan TBC, bukan menghindari seseorang agar tidak terinfeksi bakteri penyebabnya. BCG termasuk vaksin hidup yang telah diproses panjang dan teliti sehingga penggunaannya tergolong aman.

    Imunisasi BCG Umur Berapa?

    Imunisasi BCG paling baik diberikan pada usia 2-3 bulan, sesuai anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Vaksin pada bayi usia kurang dari 2 bulan dinilai kurang efektif karena sistem imunnya belum matang. Pelaksanaan vaksin BCG cukup sekali dan imunisasi booster tidak dianjurkan.

    Di Mana Imunisasi BCG Disuntikkan?

    Vaksin BCG biasanya disuntikkan di lengan kiri atas, tepat di bawah kulit. Terkadang tes kulit TBC (tes Mantoux) diperlukan sebelum disuntikkan imunisasi BCG untuk memeriksa apakah anak pernah terinfeksi TBC.

    Jika hasil tes positif, artinya anak mungkin pernah terinfeksi TBC sebelumnya sehingga vaksin tidak boleh diberikan. Imunisasi BCG baru diberikan, jika hasil tes kulit adalah negatif.

    Efek Imunisasi BCG

    Secara umum, imunisasi BCG aman bagi anak dan terbukti melindungi tubuh dari infeksi TBC. Dalam beberapa kasus, mungkin muncul kemerahan atau benjolan kecil di tempat suntikan dan diikuti luka terbuka kecil setelah beberapa minggu.

    Ulkus (luka) berdiameter kurang dari 1 cm ini dapat berlangsung beberapa minggu hingga bulan, sebelum sembuh dan meninggalkan bekas. Efek lainnya adalah terjadi nyeri, bengkak, dan muncul jaringan parut di lokasi suntikan.

    Sudah Imunisasi BCG tapi Terinfeksi TBC, Kok Bisa?

    Selain imunisasi BCG, perilaku hidup bersih dan sehat ikut menentukan risiko terinfeksi TBC. Menurut dr Mohammad Subuh, MPPM, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes, kebersihan dan sistem imun yang baik akan melindungi tubuh dari penyakit tersebut.

    Subuh menjelaskan, bakteri TBC yang masuk ke dalam tubuh sering kali tidak langsung memunculkan gejala. Bakteri akan tidur, hingga akhirnya bermanifestasi saat daya tahan tubuh sedang turun. Jika dites, pasien yang terinfeksi akan memberikan hasil positif TBC.

    Karena itu, usaha menjaga kesehatan tubuh dan kebersihan lingkungan wajib selalu dilaksanakan, selain imunisasi BCG. Apalagi dikutip dari situs NHS, perlindungan imunisasi BCG bertahan hingga 15 tahun.

    (azn/row)