NGO: IDAI

  • IDAI Soroti Kasus Gangguan Pendengaran pada Anak yang Tidak Terdeteksi Sejak Dini – Halaman all

    IDAI Soroti Kasus Gangguan Pendengaran pada Anak yang Tidak Terdeteksi Sejak Dini – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jaya, Prof Dr dr Rismala Dewi SpA mengungkapkan gangguan pendengaran pada anak masih sering tidak terdeteksi sejak dini.

    Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya kesadaran orangtua terhadap pentingnya pemeriksaan pendengaran.

    “Banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa gangguan pendengaran bisa berdampak pada keterlambatan bicara anak,” ujar Rismala dalam acara Pekan Bakti Sosial di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur, Minggu (23/2/2025).

    “Padahal, jika seorang anak tidak bisa bicara dengan baik, bisa jadi penyebabnya adalah karena ia tidak dapat mendengar dengan jelas,” lanjutnya.
     
    Rismala menjelaskan gangguan pendengaran pada anak bisa terjadi akibat berbagai faktor, salah satunya adalah kondisi kesehatan sejak lahir.

    “Bayi yang lahir prematur, mengalami perawatan intensif dengan oksigen dalam waktu lama, atau ibunya menderita infeksi saat hamil, berisiko mengalami gangguan pendengaran. Karena itu, bayi-bayi dengan risiko tinggi harus menjalani screening pendengaran sejak dini,” jelasnya.

    Ia menambahkan deteksi dini sangat penting untuk mencegah dampak jangka panjang terhadap perkembangan anak.

    “Jika gangguan pendengaran tidak segera terdeteksi, anak bisa mengalami kesulitan dalam belajar dan berkomunikasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas hidupnya,” ujar Rismala.

    Menurutnya, penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat sangat diperlukan agar lebih banyak anak bisa mendapatkan pemeriksaan sejak dini.

    “Kegiatan seperti Pekan Bakti Sosial ini sangat bermanfaat untuk membantu screening anak-anak yang berisiko mengalami gangguan pendengaran. Peran media juga penting untuk menyebarluaskan informasi agar semakin banyak orang tua yang sadar akan kesehatan pendengaran anak mereka,” pungkasnya.

  • Pekan Bakti Sosial Peringati Hari Pendengaran Sedunia Diharapkan Tingkatkan Kesadaran Masyarakat – Halaman all

    Pekan Bakti Sosial Peringati Hari Pendengaran Sedunia Diharapkan Tingkatkan Kesadaran Masyarakat – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Alivio Mubarak Junior

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam rangka memperingati Hari Pendengaran Sedunia yang jatuh pada 3 Maret 2025, Kasoem Hearing Center bersama PERHATI-KL Cabang DKI Jakarta menggelar Pekan Bakti Sosial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan pendengaran.

    Mengusung tema Mengubah Pola Pikir: Berdayakan Diri untuk Perawatan Telinga dan Pendengaran bagi Semua, kegiatan ini telah berlangsung pada 17-23 Februari 2025 di lima lokasi strategis di DKI Jakarta, dengan acara puncak di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur, pada Minggu (23/2/2025).

    Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Jakarta, Ani Ruspitawati, menekankan bahwa gangguan pendengaran masih sering tidak disadari oleh masyarakat. 

    “Sebagian dari kita belum menyadari bahwa ada masalah pendengaran sehingga lupa untuk melakukan pemeriksaan,” kata Ani Ruspitawati ditemui usai acara, Minggu.

    “Screening pendengaran di sekolah melalui program Upaya Kesehatan Sekolah (UKS) sudah dilakukan, namun perlu diperluas agar lebih banyak anak yang mendapatkan akses,” lanjutnya.

    Ia juga menambahkan masyarakat yang mengalami gangguan pendengaran dapat memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan untuk mendapatkan perawatan yang diperlukan. 

    “Tindakan operasi, pengobatan, atau pemberian alat bantu dengar bisa difasilitasi lewat BPJS,” jelasnya.

    Sementara itu Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jaya, Prof. Dr. dr. Rismala Dewi, SpA(K), menyoroti pentingnya deteksi dini gangguan pendengaran pada anak. 

    Menurutnya, keterlambatan bicara sering kali berkaitan dengan masalah pendengaran yang tidak terdeteksi sejak dini. 

    “Bayi dengan risiko tinggi, seperti bayi prematur atau yang lahir dari ibu dengan infeksi selama kehamilan, harus menjalani screening pendengaran sejak awal,” ungkapnya.

    Ia juga menekankan penyuluhan dan edukasi melalui media sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. 

    “Banyak orangtua yang belum memahami bahwa gangguan pendengaran ringan pun dapat berdampak besar pada perkembangan anak. Oleh karena itu, kegiatan seperti Pekan Bakti Sosial ini sangat bermanfaat untuk menjangkau lebih banyak orang,” tuturnya.

    Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 500 juta orang diperkirakan akan mengalami gangguan pendengaran yang membutuhkan rehabilitasi pada tahun 2030. 

    Lebih dari 1 miliar anak muda juga berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat paparan suara keras.

    Diharapkan dengan adanya kegiatan ini, semakin banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga kesehatan pendengaran dan melakukan pemeriksaan sejak dini untuk mencegah dampak jangka panjang.

     

  • Memperbaiki Jam Tidur Anak yang Kacau

    Memperbaiki Jam Tidur Anak yang Kacau

    Durasi tidur anak-anak berbeda tergantung pada usia. Jika anak kurang waktu tidurnya dalam sehari atau tidurnya terlambat hingga larut malam bisa berdampak pada tumbuh kembangnya dan kesehatannya. Untuk mengatasinya, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) membagikan tips memperbaiki jam tidur anak nih. Yuk simak di episode KuTips kali inI!

  • Leukemia Jadi Jenis Kanker Terbanyak pada Anak RI, IDAI Bicara Pemicunya

    Leukemia Jadi Jenis Kanker Terbanyak pada Anak RI, IDAI Bicara Pemicunya

    Jakarta

    Kisah Devin Nur Faeyza yang belakangan viral karena mengidap leukemia atau kanker darah di usia 6 tahun merupakan satu dari sekian banyak anak yang berjuang dengan kondisi yang sama. Data Global Burden of Cancer (Globocan) pada 2008 hingga 2022 menunjukkan kenaikan kanker anak bahkan mencapai 40 persen.

    Jenis kanker yang paling banyak ditemui pada anak adalah kanker darah. Berikut daftarnya di Indonesia, mengacu pada Globocan 2022:

    Leukemia Limfoblastik: 2.963 kasusLeukemia Myeloblastik Akut: 694 kasusRetinoblastoma: 523 kasusOsteosarkoma: 427 kasusLimfoma maligna Non-hodgkin (kecuali Burkitt Limfoma): 337 kasusNefroblastoma dan tumor ginjal nonepitel lainnya: 310 kasusNeuroblastoma ganglioneuroblastoma: 274 kasusRabdomiosarkoma: 272 kasusLeukemia Myeloblastik kronis: 243 kasusTumor ganas sel geminal gonad ganas: 233 kasusApa Pemicunya?

    Pemicu kanker pada anak belum benar-benar bisa dipastikan, tetapi ada beberapa faktor risiko yang perlu diwaspadai, salah satunya adalah obesitas yang menyebabkan anak mengalami inflamasi atau peradangan kronis.

    Hal ini diutarakan Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Airlangga Prof Dr dr I Dewa Gede Ugrasena SpA (K).

    “Jadi obesitas itu diidentifikasi sebagai faktor risiko. Kita tahu bahwa obesitas itu banyak lemak, itu peradangan kronis. Jadi kelebihan jaringan lemak pada tubuh dapat menyebabkan kronik inflamasi, peradangan kronis ya,” kata pria yang akrab disapa Prof Ugra dalam diskusi daring, Selasa (4/2/2025).

    Peradangan pada anak disebutnya dapat mendukung pertumbuhan sel abnormal yang menjadi bibit kanker. Terlebih, anak dengan kondisi obesitas juga umumnya mengalami gangguan keseimbangan hormon serta metabolisme.

    Hal ini juga kerap diikuti dengan peningkatan kadar insulin. Saat kedua gangguan tersebut terjadi, risiko munculnya sel abnormal yang berkembang menjadi kanker sulit dihindari.

    “Jadi yang kita tahu bahwa insulin dan insulin growth factor ini, keduanya berperan di dalam pertumbuhan sel. Jadi gangguan ini bisa meningkatkan risiko terjadinya mutasi atau proliberasi yang tidak terkendali nanti yang bisa menyebabkan timbulnya kanker,” beber dia.

    Meski begitu, Prof Ugra menilai perlu penelitian lebih lanjut untuk benar-benar memastikan keterkaitan keduanya.

    Senada, Ketua UKK Hemato Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Eddy Supriyadi SpA (K) PhD menyebut Indonesia perlu memiliki studi yang bisa melihat keseluruhan antara hubungan obesitas dengan kanker anak.

    Sebagai data awal, bisa terlihat dari perbandingan data proporsi kanker pada anak yang mengalami obesitas dengan tidak obesitas.

    “Kita perlu studi, nah untuk itu kita akan perlu pentingnya registrasi secara nasional. Termasuk kalau status gizi yang normal, underweight, atau obesity, itu seberapa besar yang kita temui pada populasi kanker,” kata Eddy.

    dr Eddy menekankan kanker pada anak dan dewasa secara profil biologis sangatlah berbeda.

    “Biasanya kanker dewasa terjadi karena pola makanan dan lingkungan, tapi di anak-anak lebih pada faktor genetik, dan banyak kejadian yang akut atau mendadak,” ungkapnya.

    (naf/naf)

  • Angka Kesintasan Pasien Kanker Anak di Indonesia Tergolong Rendah, Ini Penyebabnya – Halaman all

    Angka Kesintasan Pasien Kanker Anak di Indonesia Tergolong Rendah, Ini Penyebabnya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia(IDAI) Dr Eddy Supriyadi, Sp.A(K), Ph.D menyebut, angka kesintasan (Survival Rate) (angka harapan hidup) kanker pada anak Indonesia terbilang rendah hanya berkisar 20 – 30 persen.

    Jika dibandingkan di negara-negara maju yang mencapai 80 persen maka gap angka kesintasan kanker pada anak di Indonesia sangat jauh.

    “Ini pekerjaan rumah yang nyata dan menyedihkan. Di negara-negara maju survivornya 80 persen, tapi di negara berkembang termasuk Indonesia 20 – 25 persen. Inilah gap yang harus diatasi,” kata dia dalam press briefing via daring, Selasa (4/2/2025).

    Lantas apa penyebab kesintasan kanker pada anak di Indonesia rendah?

    Dokter Eddy menerangkan, angka kesintasan yang rendah di Indonesia disebabkan oleh kesenjangan dalam akses dan infrastruktur layanan kanker anak di Indonesia.

    Banyak pasien kanker anak yang mengalami keterlambatan penanganan sehingga berujung fatal dan kematian, terlebih pada tahap awal, penyakit keganasan pada anak ini seringkali sulit dikenali karena gejalanya mirip dengan penyakit lain yang lebih ringan.

    “Di Indonesia pusat layanan terpadu kanker banyak berada di pulau Jawa. Di Kalimantan hanya ada 2 RS, di pulau Sulawesi juga 2 RS, Maluku dan Papua belum punya sama sekali,” kata dia.

    Selain itu, hal ini mungkin disebabkan belum terintegrasinya data kanker dengan data kependudukan khususnya data kematian. Diharapkan evaluasi kesintasan dapat dilakukan secara rutin di masa mendatang.

    Di Indonesia jumlah kasus kanker anak, diperkirakan terdapat sekitar 10.000 kasus baru per tahunnya, dengan tingkat kesintasan tiga tahun sebesar 24 persen.

    Enam jenis kanker anak yang menjadi prioritas penanganan global mencakup Leukemia Limfoblastik Akut, Retinoblastoma, Nefroblastoma, Limfoma Burkitt, Limfoma Hodgkin, dan Glioma Derajat Rendah.

    Kanker anak juga dipilih sebagai prioritas karena menurut pengalaman global, enam jenis kanker yang umum diderita oleh anak dapat diobati (highly curable) melalui akses diagnostik, terapi, serta adanya layanan dukungan yang memadai. 

  • Video: IDAI Ungkap Leukemia Jadi Kanker yang Paling Banyak Diidap Anak

    Video: IDAI Ungkap Leukemia Jadi Kanker yang Paling Banyak Diidap Anak

    Video: IDAI Ungkap Leukemia Jadi Kanker yang Paling Banyak Diidap Anak

  • Wanti-wanti Dokter Anak soal Viral Bayi 9 Bulan Dikasih Makan Nasi Padang

    Wanti-wanti Dokter Anak soal Viral Bayi 9 Bulan Dikasih Makan Nasi Padang

    Jakarta

    Viral video seorang bayi 9 bulan diberi makan nasi padang menuai pro kontra di masyarakat. Dalam video tersebut terlihat banyak potongan cabai yang ada di nasi padang tersebut.

    Tak sedikit yang menyayangkan orang tua dari bayi tersebut, mengingat nasi padang identik dengan cita rasa pedas yang tidak cocok untuk anak seusia tersebut.

    “Kasian lambungnya,” kata netizen lainnya.

    “Kalau udah sakit perutnya, emaknya nangis-nangis. Boleh juga tp liat umur anak mbok d eman,” tutur netizen lainnya.

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Meta Herdiana Hanindita SpA(K) mengatakan pada dasarnya tak ada literatur terkait ketentuan kapan makan pedas boleh mulai diberikan. Menurutnya, makanan pedas tergantung dari budaya lokal itu sendiri.

    “Orang luar negri yang ga pernah makan makanan pedas, umur berapa pun kalau dikasih makanan pedasnya indonesia ya bisa bereaksi juga,” katanya saat dihubungi detikcom, Senin (27/1/2025).

    Meski begitu, dr Meta menjelaskan cabe tak mengandung nutrisi yang dibutuhkan bayi dan hanya perasa. Artinya, tak terlalu penting untuk diberikan saat bayi sudah Makanan Pendamping ASI (MPASI).

    dr Meta juga mewanti-wanti memberikan makanan pedas pada bayi bisa memicu sejumlah risiko kondisi kesehatan.

    “Yang saya lihat di video tadi ada banyak potongan cabenya. Tapi anaknya oke-oke saja ya nggak ngerasa kepedesan. Pedas=sangat subyektif. Tapi karena bayi masih sensitif, bisa bikin diare, sakit perut,” imbuhnya lagi.

    Di sisi lain, dr Meta menyebut MPASI pada bayi 9 bulan harus mengandung berbagai nutrisi penting, seperti karbohidrat, lemak, protein seperti hewani, sayur, hingga buah-buahan sedikit saja.

    Seandainya diberi nasi padang seperti nasi dan rendang, menurut dr Meta tidak masalah.

    “Nasi= karbo, Santan= lemak, Daging= protein hewani, Teksturnya disesuaikan dengan kemampuan,” katanya lagi.

    “Nasi padangnya boleh, tapi jangan langsung pedas juga,” katanya menyarankan.

    (suc/up)

  • Wanti-wanti Dokter Anak soal Viral Bayi 9 Bulan Dikasih Makan Nasi Padang

    Viral Bayi 9 Bulan Dikasih Nasi Padang, Dokter Anak Bilang Gini

    Jakarta

    Baru-baru ini viral video di media sosial bayi 9 bulan dikasih nasi padang. Video tersebut juga memperlihatkan banyak potongan cabai yang ada di nasi padang tersebut.

    Video tersebut menuai pro-kontra di masyarakat. Tak sedikit yang menyayangkan orang tua dari bayi tersebut, mengingat nasi padang identik dengan cita rasa pedas yang tidak cocok untuk anak seusia tersebut.

    “Wihh hebat ibu pintar sekali, nggak sekalian seblak bu?” kata seorang netizen.

    “Kasian lambungnya,” kata netizen lainnya.

    “Kalau udah sakit perutnya, emaknya nangis-nangis. Boleh juga tp liat umur anak mbok d eman,” tutur netizen lainnya.

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Meta Herdiana Hanindita SpA(K) ikut menyoroti video viral tersebut. Menurutnya, Makanan Pendamping ASI (MPASI) pada bayi 9 bulan harusnya mengandung karbohidrat, lemak, protein terutama hewani, dan sayur atau buah sedikit saja.

    Menurutnya, yang tampak sekilas dalam video tersebut memang tidak terlalu menggambarkan detail menu yang disuapkan. Namun seandainya diberikan nasi padang seperti nasi dan rendang, menurut dr Meta tidak masalah.

    “Nasi= karbo, Santan= lemak, Daging= protein hewani, Teksturnya disesuaikan dengan kemampuan,” katanya saat dihubungi detikcom, Senin (27/1/2025).

    Terkait rasa pedas, dr Meta mengatakan tidak ada literatur terkait ketentuan kapan makan pedas boleh mulai diberikan. Mengingat makanan pedas itu sangat tergantung dari budaya lokal.

    “Orang luar negri yang ga pernah makan makanan pedas, umur berapa pun kalau dikasih makanan pedasnya indonesia ya bisa bereaksi juga,” katanya lagi.

    Namun, lanjut dr Meta, cabe sebetulnya tidak mengandung nutrisi yang dibutuhkan bayi dan hanya buat perasa. Artinya tak terlalu penting untuk diberikan saat MPASI.

    “Nasi padangnya boleh, tapi jangan langsung pedas juga,” katanya menyarankan.

    “Yang saya lihat di video tadi ada banyak potongan cabenya. Tapi anaknya oke-oke saja ya nggak ngerasa kepedesan. Pedas=sangat subyektif. Tapi karena bayi masih sensitif, bisa bikin diare, sakit perut,” imbuhnya lagi.

    (suc/up)

  • Video: IDAI Ingatkan Pentingnya Protein Hewani di 1000 Hari Pertama Kehidupan

    Video: IDAI Ingatkan Pentingnya Protein Hewani di 1000 Hari Pertama Kehidupan

    Video: IDAI Ingatkan Pentingnya Protein Hewani di 1000 Hari Pertama Kehidupan

  • Catat Moms! Begini Panduan Makan untuk Anak Agar Tumbuh Sehat dan Cerdas

    Catat Moms! Begini Panduan Makan untuk Anak Agar Tumbuh Sehat dan Cerdas

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menekankan pentingnya pemenuhan nutrisi anak dalam meningkatkan kecerdasan anak. Disebutkan 1.000 hari pertama kehidupan merupakan waktu krusial ketika otak berkembang secara pesat.

    Apabila nutrisi yang diberikan tercukupi, bukan tidak mungkin ini dapat mengganggu perkembangan otak yang akhirnya berdampak pada menurunnya IQ (intelligence quotient) dan mengganggu kognitif.

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI Dr dr Meta Herdiana Hanindita SpA(K) menuturkan kunci utama dari nutrisi yang baik adalah gizi yang seimbang. Menurutnya, tidak ada satu jenis makanan khusus yang terbaik untuk meningkatkan kecerdasan anak.

    “Maka yang bisa kita lakukan adalah memberikan makanan bernutrisi lengkap dan seimbang. Harus seimbang ada sumber karbohidrat, protein terutama hewani, ada sumber lemak dan ada sayur dan buah dengan semua komposisi disesuaikan dengan usia,” kata dr Meta dalam temu media bersama IDAI, Selasa (21/1/2025).

    Untuk anak usia di bawah 2 tahun, makanan pendamping ASI (MPASI) yang diberikan bisa meliputi protein hewani, cenderung tinggi lemak, karbohidrat sebesar 25-60 persen, hingga sedikit sayur dan buah sebagai perkenalan rasa.

    Bagaimana untuk anak yang berada di atas 2 tahun? dr Meta menuturkan makanan yang dikonsumsi anak di atas 2 tahun biasanya lebih banyak sayur dan buahnya, serta porsi lemak sudah mulai dikurangi.

    “Kalau di atas 2 tahun, lemak yang dibutuhkan tidak setinggi untuk anak yang di bawah 2 tahun, porsi sayur atau buah juga tidak sedikit seperti anak di bawah 2 tahun,” sambungnya.

    Menurut dr Meta, nutrisi yang optimal adalah zat gizi yang mendukung tumbuh kembang secara keseluruhan. Gizi ini meliputi makronutrien seperti protein, karbohidrat, dan lemak, serta mikronutrien meliputi vitamin dan mineral.

    Fungsi makronutrien penting untuk sumber energi, membentuk sel, mengganti sel tubuh yang rusak, dan penting untuk metabolisme. Sedangkan mikronutrien baik untuk metabolisme tubuh, kekebalan tubuh, hingga pembentukan hemoglobin.

    Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, berikut ini adalah sederet jenis makanan bergizi yang disarankan untuk anak:

    Karbohidrat, terdiri dari makanan pokok seperti nasi, kentang, gandum, jagung atau ubi.

    Protein hewani, terdiri dari daging sapi, daging ayam/unggas, ikan, dan telur.

    Protein nabati, terdiri dari kacang-kacangan dan olahannya, seperti tahu dan tempe.

    Lemak sehat, seperti alpukat dan minyak zaitun.

    Vitamin A, bisa diperoleh dari wortel, apel dan pisang atau ubi jalar.

    Vitamin C, bisa diperoleh dari buah dan sayuran, seperti jeruk, pepaya dan brokoli.

    Zat besi, diperoleh dari hati (ayam dan sapi) dan sayur bayam.

    Asam folat, bisa diperoleh dari buah pisang dan sayuran berdaun hijau gelap.

    (avk/kna)