NGO: ICW

  • 10
                    
                        Marak Kasus Keracunan MBG, ICW Desak Program Dihentikan
                        Nasional

    10 Marak Kasus Keracunan MBG, ICW Desak Program Dihentikan Nasional

    Marak Kasus Keracunan MBG, ICW Desak Program Dihentikan
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) dihentikan setelah rentetan kasus
    keracunan MBG
    yang menimpa siswa di berbagai daerah.
    Setidaknya, sudah terdapat lebih dari 200 siswa yang menjadi korban keracunan akibat menyantap menu MBG.
    “Kualitas makanan yang disediakan tidak memenuhi standar gizi minimal. Itu mencakup segi kandungan protein, vitamin, maupun keragaman menu. Terdapat temuan siswa di sekolah disajikan telur rebus yang tak layak dikonsumsi. Di beberapa sekolah, siswa bahkan membuang makanan karena rasa yang tak sedap,” tulis peneliti ICW lewat keterangan resminya, dikutip Jumat (25/4/2025).
    ICW juga melihat adanya ketimpangan layanan dan kualitas MBG antara satu sekolah dengan sekolah lainnya.
    Salah satunya adalah temuan wadah makanan yang berbahan plastik tipis. Hal itu tentu berbahaya karena bahan kimia dapat keluar jika wadah ditaruh makanan panas.
    “Hal ini menunjukan tidak adanya standarisasi layanan dalam pelaksanaan MBG,” tulis ICW.
    “Mengacu pada hal-hal di atas, Presiden Prabowo harus menunjukkan tanggung jawabnya dengan menghentikan proyek MBG,” sambung ICW menegaskan.
    Setidaknya sudah terjadi sederet kasus keracunan massal akibat menu MBG selama 2025. Mulai kasus keracunan yang menimpa 78 siswa dari MAN 1 dan SMP PGRI 1 Cianjur, Jawa Barat.
    Bahkan Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) karena kejadian tersebut.
    Kedua adalah 13 siswa yang mengalami gejala muntah dan sakit perut akibat menu MBG ayam tepung yang diduga basi SDN 33 Kasipute, Bombana, Sulawesi Tenggara.
    Kemudian, sebanyak 60 siswa mengalami mual dan sakit perut setelah mengonsumsi makanan program MBG di SDN Proyonanggan 5 Batang, Jawa Tengah.
    Selanjutnya terjadi di SD Katolik Andaluri, Waingapu, Sumba Timur, di mana 29 siswa mengalami keracunan.
    Kelima, sebanyak 40 siswa juga mengalami keracunan massal usai mengkonsumsi menu MBG di SDN Alaswangi 2, Pandeglang, Jawa Barat.
    Terakhir, keracunan makanan juga dialami oleh 40 siswa setelah mengkonsumsi MBG di SDN 3 Dukuh, Sukoharjo, Jawa Tengah.
    Jika mengacu pada kasus-kasus keracunan MBG di atas, setidaknya terdapat 260 siswa yang menjadi korban. Mayoritas korban MBG tersebut mengeluhkan gejala mual, diare, hingga sakit perut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Kembali Periksa Eks Tim Hukum Rasamala Aritonang Terkait Kasus TPPU SYL 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        21 April 2025

    KPK Kembali Periksa Eks Tim Hukum Rasamala Aritonang Terkait Kasus TPPU SYL Nasional 21 April 2025

    KPK Kembali Periksa Eks Tim Hukum Rasamala Aritonang Terkait Kasus TPPU SYL
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) kembali memeriksa mantan Tim Biro Hukumnya,
    Rasamala Aritonang
    , di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Senin (21/4/2025).
    Rasamala Aritonang diperiksa sebagai saksi dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Kementerian Pertanian untuk tersangka eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (
    SYL
    ).
    “Saksi. (Kasus) SYL,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto saat dikonfirmasi, Senin.
    Pantauan di lokasi, Rasamala tiba di Gedung Merah Putih, Jakarta, pukul 10.13 WIB.
    Ia terlihat mengenakan jaket biru dongker dan kacamata.
    Dia sempat duduk di lobi gedung, menunggu dipanggil untuk masuk ke ruangan penyidik.
    Pada pukul 10.30 WIB, Rasamala terlihat berjalan meninggalkan lobi menuju ruangan penyidik.
    Sebelumnya, KPK telah memeriksa Rasamala Aritonang sebagai saksi dalam kasus TPPU Kementerian Pertanian untuk tersangka SYL pada Rabu (19/3/2025).
    Pada hari yang sama, KPK juga menggeledah kantor firma hukum Visi Law Office di Pondok Indah, Jakarta.
    “Benar. Terkait Sprindiknya TPPU tersangka SYL,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Rabu.
    Tessa mengatakan, eks tim biro hukum KPK Rasamala Aritonang yang bergabung dalam firma hukum Visi Law tersebut ikut dalam penggeledahan kantornya.
    “Infonya ikut,” ujarnya.
    Dilansir dari laman resmi Visi Law Office, firma hukum Visi Law didirikan oleh mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah bersama mantan Peneliti ICW Donal Fariz pada Oktober 2020.
    Rasamala Aritonang kemudian bergabung sebagai Partner pada Januari 2022 setelah mengakhiri tugasnya sebagai Kepala Regulasi dan Produk Hukum pada salah satu lembaga negara.
    Ketiganya bersepakat untuk mengganti nama kantor hukum Visi Integritas Law Office menjadi Visi Law Office dan menetapkan tiga nilai filosofis yang menjadi dasar berdirinya Visi Law Office, yaitu Integrity, Trust, dan Fairness.
    SYL diduga melakukan pencucian uang atas praktik pemerasan dan gratifikasi yang ia lakukan selama menjabat sebagai Menteri Pertanian.
    Pada Mei 2024 lalu, penyidik KPK gencar menyita sejumlah aset SYL dan anak buahnya, mulai dari rumah hingga sejumlah mobil.
    Salah satu yang disita adalah mobil Mercedes-Benz Sprinter beserta kunci remot yang ditemukan penyidik di Perumahan Bumi Permata Hijau, Makassar.
    Selain itu, penyidik juga menyita dua unit kendaraan di Perum The Orchid, Jalan Orchid Indah, Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate, Makassar.
    Kendaraan dimaksud adalah satu unit mobil New Jimny warna ivory dengan satu buah kunci, serta satu unit motor Honda X-ADV 750 CC warna silver dominan beserta tiga buah kunci.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahfud: Korupsi Peradilan Itu Jorok Sekali
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 April 2025

    Mahfud: Korupsi Peradilan Itu Jorok Sekali Nasional 20 April 2025

    Mahfud: Korupsi Peradilan Itu Jorok Sekali
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK),
    Mahfud MD
    menyorot maraknya kasus
    korupsi
    yang menyeret nama-nama
    hakim
    .
    Menurutnya, korupsi di peradilan saat ini sedang tumbuh dan dipandangnya sebagai sesuatu yang sangat jorok.
    Hal tersebut disampaikan Mahfud dalam dialog publik yang mengangkat tema “Enam Bulan Pemerintahan Prabowo”, digelar di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Kamis (17/4/2025).
    “Sekarang juga yang tumbuh adalah
    korupsi peradilan
    itu jorok sekali ya. Karena sekarang kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan itu menjadi korupsi baru,” ujar Mahfud dikutip dari kanal Youtubenya, Minggu (20/4/2025).
    Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) itu pun menyinggung empat hakim yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) agar divonis lepas.
    “Jadi kasus ada korupsinya, tapi dibilang bukan korupsi ‘ini kasus perdata, ini bukan korupsi’, jadi dibebaskan itu tiga korporasi yang makan uang triliunan itu,” ujar Mahfud.
    Menurutnya, kasus korupsi di pengadilan akan menjadi sangat berbahaya dan seakan menjadi jaringan.
    “Gila ini sangat berbahaya, ini sangat jorok sekarang,” tegas Mahfud.
    Mahfud pun menyorot langkah
    Mahkamah Agung
    (
    MA
    ) dalam melihat kasus korupsi yang melibatkan pengadilan.
    Bahkan, MA seakan normatif saja dalam menanggapi kasus-kasus yang menyeret nama hakim.
    “Selalu saja ini terjadi dan biasanya Mahkamah Agung itu normatif saja jawabannya,” tegas Mahfud.
    “Bahkan yang kasus Ronald Tanur di Surabaya itu, kan sejak awal dikatakan ini korupsi, ini ada penyuapan, tapi oleh Mahkamah Agung dibilang sudah ada prosedurnya, hakim-hakim itu paham nasionalis semua, hakim-hakim pahlawan,” sambungnya.
    Sebanyak 29 hakim telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dalam kurun waktu 13 tahun, sejak 2011 hingga 2024.
    Data tersebut merupakan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menemukan bahwa 29 hakim tersebut diduga menerima suap untuk mengatur hasil putusan.
    “Berdasarkan pemantauan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mereka diduga menerima suap untuk “mengatur” hasil putusan. Nilai suap mencapai Rp 107.999.281.345,” lewat keterangan resmi ICW, Rabu (16/4/2025).
    ICW menilai, perlu adanya pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola internal di MA.
    “Penetapan tersangka suap menunjukkan bahaya mafia peradilan. Praktik jual-beli vonis untuk merekayasa putusan berada pada kondisi kronis,” tulis ICW.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dilakukan Terbuka, DPR Jamin Tak Ada Kucing-Kucingan Pembahasan RUU KUHAP

    Dilakukan Terbuka, DPR Jamin Tak Ada Kucing-Kucingan Pembahasan RUU KUHAP

    Jakarta: Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyebut  pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pernah dilakukan pada tahun 2012 tetapi terjadi deadlock.

    Saat itu RUU KUHAP disebut oleh ICW sebagai pembunuh KPK karena dihilangkannya penyelidikan dan adanya pengaturan soal Hakim Pemeriksaan Pendahuluan (HPP) yang memegang kekuasaan menentukan bisa atau tidaknya dilakukan penahanan  dan upaya paksa lainnya.

    “Banyak pihak terutama KPK sendiri yang meminta agar pembahasan RUU KUHAP dihentikan,” kata Habiburokhman dalam keterangan pers, Kamis, 17 April 2025.
     

    Bahkan katanya pada 2014 pemerintah dan DPR sepakat akan menunda pembahasan RUU KUHAP sembari memprioritaskan pembahasan RUU KUHP.

    Pada akhirnya draft RUU KUHAP tersebut tidak bisa untuk dibahas kembali karena DPR telah berganti periode sampai tiga kali dan RUU KUHAP dengan Draft tahun 2012 tersebut tidak termasuk RUU yang masuk dalam status carry over sebagaimana diatur Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

    Politisi Gerindra ini menyatakan dalam rapat internal Komisi III DPR Masa Keanggotaan 2024-2029 pada 23 Oktober 2024, Komisi III melakukan penyusunan RUU Hukum Acara Pidana. Komisi III selanjutnya menugaskan Badan Keahlian DPR untuk menyiapkan NA dan RUU Hukum Acara Pidana.

    Dalam proses menyiapkan NA dan RUU Hukum Acara Pidana, Badan Keahlian telah melakukan serangkaian kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat berupa diskusi dengan aparat penegak hukum antara lain Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Sosek Polri Iwan Kurniawan hingga Wamenkum Edward Omar Syarief Hiariej, diskusi dengan sejumlah LSM antara lain ICJR, LeIP, IJRS.

    Pada 23 Januari 2025 BK DPR RI mengadakan Webinar dengan narasumber Edward Omar Syarief Hiariej, Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Kapolri Iwan Kurniawan, Guru Besar FH UNAIR Nur Basuki Wirana, Akademisi Univ Trisakti Albert Aries, Advokat Magdir Ismail, Advokat Teuku Nasrullah, Ketua YLBHI Muhamad Isnur.

    “Webinar diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta melalui zoom dan lebih dari 7.300 peserta melalui Youtube DPR RI. Peserta webinar ini berasal dari kalangan perguruan tinggi, kementerian/lembaga, organisasi kemasyarakatan, organisasi advokat, dan aparat penegak hukum,” jelasnya.

    Penyerapan aspirasi masyarakat terus berlanjut di Komisi III yang melakukan 8 kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat yaitu Rapat Kerja dengan Ketua Komisi Yudisial pada 10 Februari 2025, Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI dan Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung RI tanggal 12 Februari 2025, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Advokat yaitu Maqdir Ismail, Luhut M.P. Pangaribuan dan Petrus Bala Pattyona, pada  5 Maret 2025, Publikasi NA dan RUU tentang Hukum Acara Pidana melalui laman www.dpr.go.id pada 20 Maret 2025.

    “Kami juga mengadakan konferensi pers terkait launching RUU tentang Hukum Acara Pidana 20 Maret 2025, RDPU dengan Advokat dan Akademisi yaitu Juniver Girsang, Julius Ibrani dan Romli Atmasmita pada 24 Maret 2025, Konferensi Pers terkait Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU Hukum Acara Pidana bisa diselesaikan dengan Restorative Justice 24 Maret 2025 dan Penyerapan Aspirasi dengan PBHI, YLBHI, Amnesty International, LEIP, IJRS, ICJR, LBH Jakarta, AJI, dan ILRC 8 April 2025,” jelasnya.

    Habiburokhman menyatakan beberapa hal penting didapat saat penyerapan aspirasi masyarakat tersebut. Yang pertama ternyata MA justru menolak keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), yang kedua advokat menginginkan adanya pasal khusus yang mengatur imunitas advokat.

    “Yang ketiga seluruh Fraksi setuju agar pasal penghinaan Presiden di KUHP harus diselesesaikan terlebih dahulu dengan RJ dan keempat pasal keharusan adanya izin peliputan media dihapus atas permintaan Aliansi Jurnalis Indepeden,” ujarnya.

    Pada 16 Februari 2025 Komisi III menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Pimpinan DPR RI melalui Surat Pimpinan Komisi III DPR RI Nomor B/447-DW/KOM.III/MP.II/02/2025. Selanjutnya rapat paripurna 18 Februari 2025 menyepakati RUU Hukum Acara Pidana menjadi RUU usul DPR RI.

    “Menindaklanjuti surat Komisi III tersebut, Ketua DPR menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Presiden melalui Surat Nomor B/2651/LG.01.01/02/2025 baru kemudian Presiden mengirimkan Surat Presiden RI kepada Ketua DPR RI Nomor R-19/Pres/03/2025 tanggal 19 Maret 2025 perihal Penunjukan Wakil Pemerintah untuk membahas RUU Hukum Acara Pidana,” jelasnya.

    Proses selanjutnya adalah Pembahasan RUU KIUHAP di Komisi III DPR RI secara resmi sebagaimana diatur Pasal 142 ayat (1) Tata Tertib DPR yang diawali dengan Rapat Kerja Komisi III dengan wakil pemerintah. 

    “Sebelum dan setelah rapat Panja, Komisi III akan terus menyerap aspirasi masyarakat. Kami pastikan semua rapat pembahasan KUHAP akan dilaksanakan di Gedung DPR secara terbuka dan disiarkan secara langsung oleh TV Parlemen sehingga bisa diikuti oleh masyarakat di manapun berada,” ujar politisi senior ini.

    Jakarta: Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyebut  pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pernah dilakukan pada tahun 2012 tetapi terjadi deadlock.
     
    Saat itu RUU KUHAP disebut oleh ICW sebagai pembunuh KPK karena dihilangkannya penyelidikan dan adanya pengaturan soal Hakim Pemeriksaan Pendahuluan (HPP) yang memegang kekuasaan menentukan bisa atau tidaknya dilakukan penahanan  dan upaya paksa lainnya.
     
    “Banyak pihak terutama KPK sendiri yang meminta agar pembahasan RUU KUHAP dihentikan,” kata Habiburokhman dalam keterangan pers, Kamis, 17 April 2025.
     

    Bahkan katanya pada 2014 pemerintah dan DPR sepakat akan menunda pembahasan RUU KUHAP sembari memprioritaskan pembahasan RUU KUHP.

    Pada akhirnya draft RUU KUHAP tersebut tidak bisa untuk dibahas kembali karena DPR telah berganti periode sampai tiga kali dan RUU KUHAP dengan Draft tahun 2012 tersebut tidak termasuk RUU yang masuk dalam status carry over sebagaimana diatur Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
     
    Politisi Gerindra ini menyatakan dalam rapat internal Komisi III DPR Masa Keanggotaan 2024-2029 pada 23 Oktober 2024, Komisi III melakukan penyusunan RUU Hukum Acara Pidana. Komisi III selanjutnya menugaskan Badan Keahlian DPR untuk menyiapkan NA dan RUU Hukum Acara Pidana.
     
    Dalam proses menyiapkan NA dan RUU Hukum Acara Pidana, Badan Keahlian telah melakukan serangkaian kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat berupa diskusi dengan aparat penegak hukum antara lain Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Sosek Polri Iwan Kurniawan hingga Wamenkum Edward Omar Syarief Hiariej, diskusi dengan sejumlah LSM antara lain ICJR, LeIP, IJRS.
     
    Pada 23 Januari 2025 BK DPR RI mengadakan Webinar dengan narasumber Edward Omar Syarief Hiariej, Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Kapolri Iwan Kurniawan, Guru Besar FH UNAIR Nur Basuki Wirana, Akademisi Univ Trisakti Albert Aries, Advokat Magdir Ismail, Advokat Teuku Nasrullah, Ketua YLBHI Muhamad Isnur.
     
    “Webinar diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta melalui zoom dan lebih dari 7.300 peserta melalui Youtube DPR RI. Peserta webinar ini berasal dari kalangan perguruan tinggi, kementerian/lembaga, organisasi kemasyarakatan, organisasi advokat, dan aparat penegak hukum,” jelasnya.
     
    Penyerapan aspirasi masyarakat terus berlanjut di Komisi III yang melakukan 8 kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat yaitu Rapat Kerja dengan Ketua Komisi Yudisial pada 10 Februari 2025, Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI dan Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung RI tanggal 12 Februari 2025, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Advokat yaitu Maqdir Ismail, Luhut M.P. Pangaribuan dan Petrus Bala Pattyona, pada  5 Maret 2025, Publikasi NA dan RUU tentang Hukum Acara Pidana melalui laman www.dpr.go.id pada 20 Maret 2025.
     
    “Kami juga mengadakan konferensi pers terkait launching RUU tentang Hukum Acara Pidana 20 Maret 2025, RDPU dengan Advokat dan Akademisi yaitu Juniver Girsang, Julius Ibrani dan Romli Atmasmita pada 24 Maret 2025, Konferensi Pers terkait Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU Hukum Acara Pidana bisa diselesaikan dengan Restorative Justice 24 Maret 2025 dan Penyerapan Aspirasi dengan PBHI, YLBHI, Amnesty International, LEIP, IJRS, ICJR, LBH Jakarta, AJI, dan ILRC 8 April 2025,” jelasnya.
     
    Habiburokhman menyatakan beberapa hal penting didapat saat penyerapan aspirasi masyarakat tersebut. Yang pertama ternyata MA justru menolak keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), yang kedua advokat menginginkan adanya pasal khusus yang mengatur imunitas advokat.
     
    “Yang ketiga seluruh Fraksi setuju agar pasal penghinaan Presiden di KUHP harus diselesesaikan terlebih dahulu dengan RJ dan keempat pasal keharusan adanya izin peliputan media dihapus atas permintaan Aliansi Jurnalis Indepeden,” ujarnya.
     
    Pada 16 Februari 2025 Komisi III menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Pimpinan DPR RI melalui Surat Pimpinan Komisi III DPR RI Nomor B/447-DW/KOM.III/MP.II/02/2025. Selanjutnya rapat paripurna 18 Februari 2025 menyepakati RUU Hukum Acara Pidana menjadi RUU usul DPR RI.
     
    “Menindaklanjuti surat Komisi III tersebut, Ketua DPR menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Presiden melalui Surat Nomor B/2651/LG.01.01/02/2025 baru kemudian Presiden mengirimkan Surat Presiden RI kepada Ketua DPR RI Nomor R-19/Pres/03/2025 tanggal 19 Maret 2025 perihal Penunjukan Wakil Pemerintah untuk membahas RUU Hukum Acara Pidana,” jelasnya.
     
    Proses selanjutnya adalah Pembahasan RUU KIUHAP di Komisi III DPR RI secara resmi sebagaimana diatur Pasal 142 ayat (1) Tata Tertib DPR yang diawali dengan Rapat Kerja Komisi III dengan wakil pemerintah. 
     
    “Sebelum dan setelah rapat Panja, Komisi III akan terus menyerap aspirasi masyarakat. Kami pastikan semua rapat pembahasan KUHAP akan dilaksanakan di Gedung DPR secara terbuka dan disiarkan secara langsung oleh TV Parlemen sehingga bisa diikuti oleh masyarakat di manapun berada,” ujar politisi senior ini.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DEN)

  • Polisi Dinilai Berkacamata Sempit karena Tak Usut Dugaan Korupsi Pagar Laut
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 April 2025

    Polisi Dinilai Berkacamata Sempit karena Tak Usut Dugaan Korupsi Pagar Laut Nasional 18 April 2025

    Polisi Dinilai Berkacamata Sempit karena Tak Usut Dugaan Korupsi Pagar Laut
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Langkah Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum)
    Bareskrim Polri
    yang tidak mengusut dugaan adanya
    korupsi
    dalam kasus pagar laut di Tangerang menuai kritik tajam.
    Aktivis antikorupsi sekaligus mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
    Agus Sunaryanto
    menjelaskan bahwa bentuk korupsi yang dibahas dalam konstruksi tindak pidana korupsi sangat luas.
    “Sayang sekali Bareskrim memahami korupsi dalam kacamata yang sempit sebatas kerugian negara, padahal pidana korupsi sangat luas, ada suap, gratifikasi, ada perbuatan curang, pemerasan, dan lain-lain,” ujar Agus kepada Kompas.com, Kamis (17/4/2025).
    Agus meyakini bahwa dalam kasus pagar laut ini telah terjadi peralihan hak milik tanah dari negara menjadi milik pribadi atau perusahaan.
    Peralihan barang milik negara ini pasti memiliki potensi suap atau gratifikasi kepada pejabat publik yang berwenang untuk mengubah akta kepemilikan.
    “Kalau kita lihat secara sederhana dari kasus pagar laut ini, ada peralihan milik negara menjadi hak milik pribadi atau perusahaan, itu kan pasti ada potensi suap atau gratifikasi dari pejabat publik yang berwenang mengubah akta kepemilikan,” jelas Agus.
    Ia pun menyarankan agar penyidik Bareskrim Polri dan tim dari Kejaksaan duduk bersama agar dapat menyamakan konstruksi atau pemahaman terhadap kasus yang tengah ditangani.
    Atau, berkas ini diserahkan kepada Kortas Tipikor untuk diusut lebih tuntas.
    “Lebih baik, biarkan tim Kortas Tipikor Polri saja yang fokus penyidikan kasus pagar laut ini. Biar satu frekuensi dengan
    Kejaksaan Agung
    ,” kata Agus.
    Agus meyakini bahwa pemalsuan surat di lahan pagar laut di Tangerang memiliki potensi menyebabkan kerugian keuangan negara.
    Hal ini dilihat dari harga tanah yang seharusnya dimiliki negara menjadi berpindah tangan ke pihak lain.
    “Ini kan rencananya setelah dipagari lautnya, dugaan saya, kemudian akan diuruk dengan tanah (reklamasi). Setelah direklamasi jadi daratan pasti nilai tanahnya akan sangat tinggi,” imbuh Agus.

    Harga tanah reklamasi ini menjadi potensi kerugian keuangan negara. Namun, penghitungan ini membutuhkan waktu karena standar harganya perlu ditentukan dahulu.
    “Luasan area laut yang dipagari ini yang harus dinilai sebagai kerugian negara. Cuma, mungkin butuh waktu karena bisa jadi BPN sedang mencari standar nilai jual luasan area per m²,” kata Agus.
    Berhubung perhitungan kerugian keuangan negara ini membutuhkan waktu, penyidik perlu mencari alternatif potensi korupsi lain selain unsur kerugian keuangan negara.
    Diberitakan, pengusutan kasus pagar laut di Tangerang, Banten, tak kunjung masuk ke meja hijau. Sebab, antara Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri masih berbeda pendapat dalam penanganan kasus ini, utamanya terkait dugaan korupsi.
    Kejagung
    menduga bahwa ada persoalan korupsi dalam penerbitan dokumen sertifikat lahan. Sementara itu, Bareskrim menilai bahwa persoalan yang terjadi hanya sebatas pada pemalsuan dokumen semata.
    Sejak awal pengusutan hingga kini, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri sudah dua kali melimpahkan berkas perkara ke Kejagung. Namun, keduanya dikembalikan oleh Kejagung.
    Sejak pengembalian pertama pada 25 Maret 2025, Kejagung telah memberikan instruksi kepada Bareskrim agar turut mengusut dugaan suap atau gratifikasi yang berkaitan dengan korupsi dalam kasus ini.
    Jaksa menemukan adanya dugaan atau potensi terjadinya korupsi dalam pemalsuan surat tanah yang dilakukan Kepala Desa Kohod, Tangerang, Arsin bersama jajaran stafnya.
    Petunjuk dan catatan Jampidum soal pengusutan korupsi ini kembali dipertegas dalam pengembalian berkas kali kedua pada 16 April 2025.
    Akan tetapi, tim peneliti berkas menyampaikan bahwa Bareskrim Polri belum mengikuti petunjuk dari Kejaksaan Agung sehingga berkas harus dikembalikan lagi. “Jadi, berkas perkara yang kita terima, itu tidak ada perubahan dari berkas perkara yang awal. Tidak ada satu pun petunjuk yang dipenuhi,” ujar Ketua Tim Peneliti Berkas Jaksa P16 Jampidum, Sunarwan, saat konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (16/4).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • "Naluri Dagang" Hakim Buat Mereka Disuap Rp 107 Miliar pada 2011-2024
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 April 2025

    "Naluri Dagang" Hakim Buat Mereka Disuap Rp 107 Miliar pada 2011-2024 Nasional 16 April 2025

    “Naluri Dagang” Hakim Buat Mereka Disuap Rp 107 Miliar pada 2011-2024
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sebanyak 29
    hakim
    telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dalam kurun waktu 13 tahun, sejak 2011 hingga 2024.
    Data tersebut merupakan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (
    ICW
    ), yang menemukan bahwa 29 hakim tersebut diduga menerima suap untuk mengatur hasil putusan.
    “Berdasarkan pemantauan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mereka diduga menerima suap untuk ‘mengatur’ hasil putusan. Nilai suap mencapai Rp 107.999.281.345,” lewat keterangan resmi ICW, Rabu (16/4/2025).
    Kini pada awal 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan empat hakim sebagai tersangka dalam
    kasus suap
    penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO).
    Keempat hakim tersebut adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat. Lalu hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).
    Lalu ada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang memberikan suap kepada Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto.
    ICW menilai, perlu adanya pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola internal di Mahkamah Agung (MA).
    “Penetapan tersangka suap menunjukkan bahaya mafia peradilan. Praktik jual-beli vonis untuk merekayasa putusan berada pada kondisi kronis,” tulis ICW.
    ICW juga mendesak MA untuk memandang mafia peradilan sebagai masalah laten yang harus segera diberantas.
    MA harus memetakan potensi korupsi di lembaga pengadilan dengan menggandeng Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan elemen masyarakat sipil.
    “Mekanisme pengawasan terhadap kinerja hakim dan syarat penerimaan hakim juga perlu diperketat. Ini dilakukan untuk menutup ruang potensi korupsi,” tulis ICW.
    Anggota
    Komisi III
    DRP Hinca Panjaitan mengatakan, empat hakim yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO menandakan banyaknya hakim yang mempunyai naluri berdagang.
    Ia melihat, banyak hakim saat ini yang melihat keadilan dapat menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.
    “Pada realitasnya banyak hakim yang berkompromi dengan naluri dagang. Akhirnya, keadilan jadi komoditas, seolah bisa dijual dan dibeli. Menurut saya, suap terjadi karena pelaku melihat manfaat ekonomi yang melebihi risiko,” ujar Hinca lewat keterangan tertulisnya, Selasa (15/4/2025).
    Hinca mengatakan, suap terhadap hakim dapat disebabkan dua hal, yakni kekosongan moralitas atau longgarnya pengawasan
    Di samping itu, ia juga menanggapi wacana dinaikkannya gaji hakim untuk mencegah terjadinya praktik suap.
    Menurutnya, praktik suap tetap dapat terjadi di lingkungan peradilan dengan caranya tersendiri.
    “Maka godaan suap akan tetap menemukan jalannya. Kita bisa menambah angka pendapatan setinggi langit, tetapi bila peluang lolos dari hukuman lebih menggoda, akhirnya transaksi hitam menjadi pilihan rasional,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Reaksi Armuji Dilaporkan Pengusaha karena Tindaklanjuti Aduan Ijazah Ditahan: Biar Hukum Berbicara – Halaman all

    Reaksi Armuji Dilaporkan Pengusaha karena Tindaklanjuti Aduan Ijazah Ditahan: Biar Hukum Berbicara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Wakil Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Armuji alias Cak Ji, dilaporkan oleh seorang pengusaha bernama Jan Hwa Diana, setelah menindaklanjuti aduan penahanan ijazah dari warga.

    Terkait pelaporan itu, sebanyak 50 pengacara siap memberi bantuan hukum untuk Cak Ji.

    Cak Ji sendiri mengaku tak gentar atas laporan Diana. Ia bahkan memastikan bakal menghargai proses hukum yang berjalan.

    “Tidak takut sama sekali. Biarlah hukum yang berbicara. Saya menghargai semua proses yang ada,” kata Cak Ji, Senin (14/4/2025), dilansir TribunJatim.com.

    Ia pun membenarkan, puluhan pengacara dijadwalkan berkunjung ke rumah dinasnya untuk memberi bantuan hukum.

    Cak Ji mengapresiasi niat baik puluhan pengacara tersebut.

    “Nanti puluhan lawyer spontan akan memberi dukungan ke saya ke rumah dinas. Menawarkan bantuan hukum.”

    “Kami menghargai. Lihat saja nanti seperti apa tujuan wong wong iku (pengacara),” kata dia.

    Pelaporan terhadap Cak Ji bermula dari adanya aduan warga Surabaya terkait penahanan ijazah di perusahaan milik Diana.

    Aduan itu diterima Cak Ji lewat Rumah Aspirasi pada Selasa (25/3/2025).

    Cak Ji diketahui melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke CV SS milik Diana, Selasa (8/4/2025), untuk menindaklanjuti aduan tersebut.

    Namun, Cak Ji mendapat perlakuan kurang menyenangkan sebab ia tak dibukakan pintu. Pintu perusahaan bahkan tertutup rapat.

    Saat Cak Ji berusaha menghubungi Diana, ia justru dituduh sebagai penipu.

    “Saya enggak kenal sampeyan (Anda), sampeyan penipuan,” kata Diana lewat telepon.

    Buntut kedatangan Cak Ji itu, Diana lantas melaporkan Wakil Wali Kota Surabaya tersebut ke Polda Jatim atas dugaan pencemaran nama baik terkait UU ITE, Kamis (10/4/2025).

    Diketahui, Diana melaporkan akun Instagram milik Cak Ji, @cakj1, karena mengunggah fotonya bersama sang suami tanpa izin.

    Dikutip dari laman resmi Indonesia Corruption Watch (ICW), Armuji alias Cak Ji adalah pria asli Surabaya. Ia lahir pada 8 Juni 1965.

    Ia merupakan lulusan Strata 1 Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya (ITATS).

    Saat menjadi mahasiswa, Cak Ji berperan aktif dalam gerakan mahasiswa untuk menumbangkan orde baru.

    Ia pernah tergabung dalam aksi unjuk rassa dan penyegelan DPRD Kota Surabaya pada 1998.

    Kala itu, Cak Ji merupakan anggota Arek Suroboyo Pro Reformasi (ASPR).

    Sebelum menjadi Wakil Wali Kota Surabaya, Cak Ji sudah kenyang pengalaman sebagai politikus.

    Ia merupakan anggota DPRD Surabaya selama tiga periode dan pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Timur.

    Karier Cak Ji sebagai politikus dimulai pada 1999, saat menjadi anggota DPRD Surabaya.

    Setelahnya, ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua dan Ketua DPRD Surabaya.

    Dari wakil rakyat, Cak Ji menjajal peruntungan di Pilkada Surabaya 2020.

    Ia maju sebagai Wakil Wali Kota Surabaya mendampingi Eri Cahyadi.

    Hasilnya, Eri-Cak Ji lolos Pilkada 2020 dan resmi menjadi Wali Kota-Wakil Wali Kota Surabaya.

    Keduanya kembali mencalonkan diri dalam formasi yang sama pada Pilkada 2024.

    Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menetapkan Eri-Cak Ji sebagai pemenang PIlkada 2024, Kamis (9/1/2025).

    Eri-Cak Ji melawan kotak kosong dengan perolehan surara 980.380 atau 81.38 persen, dikutip dari Kominfo Jatim.

    Cak Ji diketahui merupakan kader PDIP.

    Di partai berlogo banteng itu, ia pernah menjabat sebagai Sekretaris DPC PDIP Surabaya hingga Wakil Ketua Bidang Pariwisata DPD PDIP Jatim.

    Berikut riwayat karier dan organisasi Cak Ji, dikutip dari Wikipedia:

    Karier

    Anggota DPRD Surabaya (1999-2019);
    Wakil Ketua DPRD Surabaya (2009-2014);
    Ketua DPRD Surabaya (2003-2004 dan 2014-2019);
    Anggota DPRD Jawa Timur (2019-2020);
    Wakil Wali Kota Surabaya (2021-sekarang).

    Organisasi

    Sekretaris DPC PDIP Surabaya (2010-2015);
    Wakil Ketua DPC PDIP Surabaya (2015-2019);
    Wakil Ketua Bidang Buruh DPD PDIP Jatim (2010-2015);
    Wakil Ketua Bidang Pariwisata DPD PDIP Jatim (2015-2020).

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Wakil Wali Kota Armuji Syok Tak Dibukakan Pintu saat Sidak Pabrik yang Tahan Ijazah, Disebut Nipu

    (Tribunnews.com/Pravitri Retno W, TribunJatim.com/Ani Susanti/Nuraini Faiq)

  • Siapa Fathroni Diansyah? Adik Eks Jubir KPK Diduga Terlibat Kasus Korupsi Eks Mentan SYL

    Siapa Fathroni Diansyah? Adik Eks Jubir KPK Diduga Terlibat Kasus Korupsi Eks Mentan SYL

    GELORA.CO – Belum lama ini nama Fathroni Diansyah Edi tengah ramai jadi perbincangan publik.

    Bukan tanpa sebab, hal ini terjadi usai adik eks Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (Jubir KPK) Febri Diansyah ini disebut terlibat dalam putaran kasus tindak pidana.

    Yang mana, dirinya diduga ikut andil dalam kasus korupsi eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).

    Usut punya usut, Fathroni Diansyah yang diduga terlibat dalam kasus itu ternyata sempat bekerja di Indonesia Corruption Watch (ICW).

    Sebagaimana dikutip Pojoksatu.id dari akun media sosial platfrom LinkedIn milik Fathroni pada Sabtu (29/3/2025).

    Dalam akunnya, Fathroni menyematkan bahwa dirinya sempat bekerja di ICW pada 2009-2014 silam.

    Yang mana, dirinya bekerja di ICW sebagai Koordinator Fundraising hingga diamanatkan perusahaan pada posisi Marketing.

    Namun, rekam Jejak Fathroni ini justru tercoreng usai dirinya diduga terlibat dalam putaran kasus eks Mentan SYL.

    Diketahui, keterlibatan Fathroni dalam kasus tersebut diketahui usai tempatnya bekerja di Visi Law Office digeledah para penyidik KPK.

    Yang mana, dirinya diduga menerima aliran uang korupsi saat menangani kasus eks Mentan tersebut.

    Seperti diketahui, Fathroni merupakan salah satu kuasa hukum SYL dalam perkara dugaan korupsi.

    Hal ini dikonfirmasi oleh Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika yang mengungkap kebenaran kasus korupsi tersebut.

    Tessa menuturkan bahwa hasil penggeledahan yang dilakukan di area firma hukum tersebut, pihak KPK menemukan beberapa dokumen yang menyeret nama eks Mentan.

    “Didalami terkait beberapa dokumen hasil penggeledahan dari kantor Visi Law Office,” ucap Tessa yang dikutip dari portal Pojoksatu.id.

    “Yang di antaranya dokumen konfirmasi biaya bantuan hukum kepada Syahrul Yasin Limpo dan kawan-kawan,” lanjutnya. ***

  • Organisasi Advokat Desak KPK Hentikan Dugaan Kriminalisasi Terhadap Febri Diansyah Usai Jadi Pengacara Hasto 

    Organisasi Advokat Desak KPK Hentikan Dugaan Kriminalisasi Terhadap Febri Diansyah Usai Jadi Pengacara Hasto 

    PIKIRAN RAKYAT – Delapan organisasi advokat dan masyarakat sipil bergabung dalam Forum Peduli Advokat Indonesia. Mereka kompak menolak dugaan intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Febri Diansyah yang saat ini menjadi tim kuasa hukum Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. 

    Perlu diketahui, Febri Diansyah yang pernah menjadi juru bicara KPK kini mendampingi Hasto untuk menghadapi KPK dalam persidangan kasus dugaan suap pergantian antarwaktu anggota DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku. Persidangan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. 

    “Kami dari Forum Peduli Advokat Indonesia yang saat ini terdiri dari 15 perwakilan Organisasi Advokat dan Masyarakat Sipil di bidang HAM dan Hukum, dengan ini menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap Advokat yang sedang menjalankan tugas memberikan pendampingan hukum,” kata Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Erman Umar saat membacakan pernyataan sikap di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Maret 2025.

    Tindakan KPK yang Dianggap Mengkriminalisasi Febri

    Erman menduga KPK melakukan eskalasi tekanan setelah Febri Diansyah mendampingi Hasto Kristiyanto. Forum Peduli Advokat Indonesia mencatat ada beberapa tindakan lembaga antirasuah yang dianggap bermasalah, seperti penggeledahan kantor hukum Visi Law Office pada 19 Maret 2025. Sebagai informasi, Visi Law didirikan oleh Febri Diansyah dan eks peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz. 

    Tindakan selanjutnya adalah pemanggilan adik kandung Febri Diansyah, Fathroni Diansyah sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Padahal, kata Erman, status Fathroni di Visi Law hanya magang. 

    Kemudian, pemanggilan Febri sebagai saksi dalam perkara Harun Masiku dan Donny Tri Istiqomah yang bertepatan dengan jadwal sidang Hasto Kristiyanto pada Kamis, 27 Maret 2025. Atas serangkaian tindakan itu, Forum Peduli Advokat Indonesia meminta pimpinan KPK menertibkan para penyidik agar tidak mengkriminalisasi yang sedang mendampingi klien termasuk Febri Diansyah. 

    “Mendesak Pimpinan KPK untuk memperingatkan bahkan menertibkan anak buahnya yang bekerja sebagai penyidik, agar tidak mengkriminalisasi advokat yang sedang memberikan pendampingan hukum bagi kliennya,” ujarnya. 

    Erman menegaskan, tindakan tersebut berpotensi mengganggu independensi profesi advokat yang dijamin di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18/2003 tentang Advokat. Menurutnya, perundangan itu juga mengatur hak imunitas advokat. 

    “Tak hanya itu, KPK juga harus ingat bahwa kerja advokat membantu penegak hukum dalam mendampingi hak-hak tersangka maupun terdakwa,” ucap Erman. 

    Lebih lanjut, Erman menyinggung soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah berjalan di DPR RI. Ia meminta DPR RI mempertimbangkan penguatan hukum posisi dan perlindungan hukum bagi Advokat dalam menjalankan tugasnya.

    “Agar Advokat tidak mudah diintimidasi dan dikriminalisasi dalam menjalankan tugas profesinya,” tuturnya.

    Alasan Febri Diansyah Jadi Pengacara Hasto 

    Febri Diansyah termasuk dalam 17 pengacara yang mendampingi Hasto untuk menghadapi KPK dalam sidang kasus dugaan suap PAW anggota DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku. Febri menjelaskan alasannya mengambil keputusan menjadi pengacara Hasto. 

    “Saya jadi advokat itu sejak sebelum masuk ke KPK 2012-2013, saya sudah disumpah sebagai advokat dan itulah profesi yang saya jalankan saat ini,” kata Febri di kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Maret 2025. 

    Awalnya, Febri menceritakan setelah meninggalkan KPK pada Oktober 2020, ia sepenuhnya kembali ke profesi advokat. Sebelum memutuskan menjadi pengacara Hasto, ia sudah mempelajari putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap atas terdakwa mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Saeful Bahri, dan Agustiani Tio Fridelina. 

    Menurut Febri, di dalam putusan tiga terdakwa tersebut menunjukkan tidak ada bukti yang mengarah pada keterlibatan Hasto. Ia menekankan bahwa uang suap yang diterima Wahyu Setiawan bersumber di kantong Harun Masiku, bukan dari Hasto. Fakta hukum ini yang menjadi alasan Febri memberikan pendampingan hukum kepada Hasto. 

    “Jadi bisa dibayangkan kalau tiba-tiba pekara ada tersangka baru dan nanti ada perubahan lagi misalnya di proses persidangan. Lalu bagaimana dengan fakta sidang yang sudah ada sebelumnya,” ujar Febri. 

    “Setelah kami pelajari itulah, kemudian kami cukup yakin bahwa kasus ini seharusnya diuji secara rinci dan secara detail dalam proses persidangan nanti,” ucapnya melanjutkan.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • 26 Organisasi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah dan DPR Cabut UU TNI yang Baru Disahkan – Halaman all

    26 Organisasi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah dan DPR Cabut UU TNI yang Baru Disahkan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – 26 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berserikat mendesak pemerintah dan DPR segera mencabut Undang-Undang TNI yang baru disahkan dalam Rapat Paripurna di DPR RI pada Kamis (20/3/2025).

    Mereka yang tergabung dalam koalisi tersebut yakni Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), IMPARSIAL, dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta).

    Kemudian Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya), Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru (LBH Pekanbaru), Lembaga Bantuan Hukum Padang (LBH Padang), Lembaga Bantuan Hukum Samarinda (LBH Samarinda), dan Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBh Bandung)

    Selanjutnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Internasional (HRWG), Indonesia Parliamentary Center (IPC), dan Arus Pelangi.

    Selain itu, ada pula Solidaritas Perempuan, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), dan Jaringan Gusdurian.

    Kemudian Lab Demokrasi, Borneo Institute, Institut Mosintuwu, Koalisi Seni, Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, serta Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).

    Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat Riza Abdali dalam tuntutan yang dibacakan menyatakan dan menegaskan koalisi menyerukan pencabutan pengesahan terhadap revisi UU TNI dan mengutuk keras segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap pembela hak asasi manusia dan aktivis pro demokrasi.

    Ia mengatakan hal tersebut memundurkan dan memperdalam regresi demokrasi, mempersempit kebebasan sipil, dan melanggar hak asasi manusia.

    Koalisi Kebebasan Berserikat, kata dia, menegaskan tindakan represif terhadap aktivis dan pembela hak asasi manusia yang menyerukan penolakan terhadap revisi UU TNI merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang serius.

    Negara, kata dia, wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga negara untuk berekspresi, berkumpul, dan berserikat sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

    Hal itu disampaikannya saat konferensi pers Koalisi Kebebasan Berserikat bertajuk “Menyikapi Kekerasan Aparat Terhadap Aksi Tolak Revisi UU TNI di Berbagai Kota” yang disiarkan di kanal Youtube YAPPIKA-ActionAid pada Rabu (26/3/2025).

    “Oleh karena itu Koalisi Kebebasan Berserikat mendesak yang pertama pemerintah dan DPR RI untuk segera mencabut UU TNI yang melanggar prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik serta merusakan tatanan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia,” kata Riza.

    Kedua, mereka mendesak aparat keamanan dan militer segera menghentikan segala bentuk kekerasan, kriminalisasi, penyiksaan, dan segala bentuk serangan digital terhadap masyarakat sipil, kelompok rentan lainnya, perempuan pembela HAM serta aktivis pro-demokrasi yang menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI.

    Ketiga, mereka mendesak Pemerintah untuk memastikan adanya mekanisme akuntabilitas yang kuat terhadap tindakan aparat dalam merespons aksi-aksi protes penolakan terhadap revisi UU TNI.

    Keempat, mereka mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk evaluasi secara menyeluruh terhadap peran TNI dalam pemerintahan sipil guna memastikan supremasi sipil dan pemisahan yang jelas antara ranah pertahanan dan pemerintahan.

    Kelima, mereka juga mendesak pemerintah harus menjamin perlindungan bagi jurnalis, aktivis, dan pembela HAM dari segala bentuk ancaman, baik fisik maupun digital, yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara.

    Keenam, mereka juga mendorong ASEAN dan PBB untuk segera mencatat, melaporkan, dan memantau secara langsung pelanggaran hak asasi manusia yang semakin memperburuk situasi demokrasi Indonesia.

    Ketujuh, mereka juga mendorong dan menyerukan organisasi dan gerakan masyarakat sipil di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk memperkuat dukungan terhadap penolakan pengesahan UU TNI.

    “Koalisi Kebebasan Berserikat bersama masyarakat sipil terus mengawal upaya penolakan terhadap pengesahan UU TNI ini dan memastikan bahwa hak-hak demokratis warga negara tetap dijamin dan dilindungi,” pungkas Riza.