NGO: ICW

  • 1
                    
                        Dugaan Korupsi Haji 2025 Dilaporkan ke KPK, Menag Klaim Tak Ada Masalah
                        Nasional

    1 Dugaan Korupsi Haji 2025 Dilaporkan ke KPK, Menag Klaim Tak Ada Masalah Nasional

    Dugaan Korupsi Haji 2025 Dilaporkan ke KPK, Menag Klaim Tak Ada Masalah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengeklaim tidak ada masalah dalam penyelenggaraan haji 2025 yang ditangani Kementerian Agama.
    Hal tersebut disampaikan Nasaruddin saat merespons laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai dugaan korupsi penyelenggaraan haji 2025 ke KPK.
    “Sudah, sudah, enggak ada masalah,” ujar Nasaruddin saat ditemui di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Minggu (10/8/2025) malam.
    Nasaruddin mengaku sudah memberikan klarifikasi terkait masalah ini.
    Akan tetapi, saat ditanya lebih jauh mengenai apa pembelaannya, Nasaruddin tidak menjawab dan langsung pergi.
    “Sudah diklarifikasi, sudah diklarifikasi,” ujar dia.
    Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan dugaan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji 2025 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Selasa (5/8/2025).
    Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, pihaknya melaporkan dua dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji, yaitu pertama, pelayanan Masyair, dan kedua, pengurangan spesifikasi konsumsi bagi jemaah haji.
    “Pertama adalah layanan masyair atau layanan umum bagi jemaah haji dari Muzdalifah, dari Mina, dan Arofah. Kemudian, yang kedua berkaitan dengan pengurangan spesifikasi konsumsi yang diberikan kepada jemaah haji,” kata Wana.
    Wana mengatakan, berdasarkan hasil investigasi ICW, diduga terjadi monopoli pasar terhadap pemilihan penyedia layanan di mana dua perusahaan dimiliki satu individu.
    Dia mengatakan, hal tersebut menjadi persoalan karena di dalam Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan bahwa suatu pasar tidak boleh dimonopoli oleh satu individu.
    “Berdasarkan hasil penghitungan kami, individu tersebut yang memiliki dua perusahaan itu menguasai pasar sekitar 33 persen dari layanan umum yang total jemaah hajinya sekitar 203.000 orang,” ujar dia.
    Wana mengatakan, dalam pengadaan catering untuk jemaah haji, ICW menemukan tiga persoalan.
    Pertama, makanan yang diberikan untuk jemaah haji tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019 terkait dengan angka kecukupan energi.
    Berdasarkan Permenkes tersebut, idealnya secara umum individu membutuhkan kalori sekitar 2.100.
    “Tapi, berdasarkan hasil penghitungan kami, rata-rata makanan yang diberikan oleh Kementerian Agama melalui penyedia kepada jemaah haji itu berkisar 1.715 sampai 1.765. Artinya, konsumsi yang diberikan itu tidak sesuai dengan kebutuhan gizi,” tutur dia.
    Kedua, ICW menduga adanya pungutan yang dilakukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap konsumsi yang telah dialokasikan oleh pemerintah sebesar 40 Riyal.
    Wana mengatakan, dari setiap makanan jemaah haji diduga terdapat pungutan sebesar 0,8 Riyal.
    “Sehingga berdasarkan hasil penghitungan kami, ketika adanya pungutan, dugaan pungutan yang dilakukan oleh pegawai negeri, maka terlapor yang kami laporkan kepada KPK itu mendapatkan keuntungan sekitar Rp 50.000.000.000 (50 miliar),” kata dia.
    Ketiga, ICW menemukan dugaan pengurangan spesifikasi makanan yang diterima oleh jemaah haji.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPR dukung pilkada lewat DPRD karena pilkada sebabkan korupsi

    Anggota DPR dukung pilkada lewat DPRD karena pilkada sebabkan korupsi

    Data KPK sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 mencatat ada 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota yang telah ditindak KPK karena kasus korupsi. ICW mencatat sepanjang tahun 2010-2018 ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi ole

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya mendukung usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) lewat DPRD karena pesta demokrasi secara langsung di daerah menyebabkan banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi akibat biaya pilkada langsung yang mahal.

    “Data KPK sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 mencatat ada 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota yang telah ditindak KPK karena kasus korupsi. ICW mencatat sepanjang tahun 2010-2018 ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum,” kata Indrajaya di Jakarta, Rabu.

    Dia mengatakan praktik politik uang dalam Pilkada juga perlu menjadi pertimbangan dalam usulan tersebut. Selama ini, politik uang di Pilkada tidak terbendung dan menggunakan modus yang semakin liar, hingga terungkap di sidang perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

    Di sisi lain, menurut dia, pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada juga kerap terjadi, terutama karena adanya petahana yang memicu penyalahgunaan kekuasaan dan politisasi birokrasi. ASN yang seharusnya netral, bisa terpengaruh untuk mendukung atau memihak petahana, baik secara sukarela maupun karena tekanan.

    Selama ini, kata dia, pemerintah harus mengeluarkan anggaran sangat besar untuk pelaksanaan pilkada, contohnya anggaran Pilkada serentak nasional tahun 2024 yang mencapai Rp41 triliun. Untuk itu, Pilkada 2024 sangat tepat dijadikan evaluasi akhir untuk efisiensi penganggaran Pilkada.

    “Karena Pilkada 2024 adalah Pilkada puncak serentak nasional yang dirancang dalam 5 gelombang sejak Pilkada 2015, Pilkada 2017, Pilkada 2018, dan Pilkada Tahun 2020,” kata dia.

    Dia menilai pilkada melalui DPRD juga bisa menghentikan kegaduhan hukum, sebab sejak Pilkada serentak gelombang pertama 2015, UU Pilkada mengalami empat kali perubahan, yaitu, UU Nomor 1 Tahun 2015, UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 6 Tahun 2020.

    “UU Pilkada menjadi UU paling banyak disengketakan di MK. MK mencatat ada 35 kali pengujian UU Pilkada sepanjang 2024,” kata dia.

    Banyaknya pengujian terhadap UU Pilkada, menurut dia, mengesankan bahwa pengundangannya tidak melalui kajian mendalam, adanya adanya akrobatik hukum, hingga sarat kepentingan. Akhirnya, kata dia, DPR dijadikan sebagai tumbal.

    “Untuk meninggikan derajat demokrasi, alasan kegaduhan hukum menjadi cara jitu mengembalikan Pilkada oleh DPRD,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Jakarta

    Sudah lewat satu bulan putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2024 dibacakan, pemerintah dan DPR masih belum merespons putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut ke dalam sebuah bentuk kebijakan konkret: revisi UU Pemilu dan Pilkada.

    Dalam putusan tersebut, MK memutus pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal: Pemilu nasional untuk memilih presiden dan DPR/DPD, dan pemilu lokal untuk memilih gubernur, walikota/bupati dan DPRD yang diperpanjang paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pemilu nasional selesai dilaksanakan.

    Alasannya sederhana, MK berkaca pada dua peristiwa pemilu serentak sebelumnya (2019 dan 2024); karena pemilih kebingungan ketika disodorkan banyaknya surat suara dan calon; dekatnya jarak waktu antara pemilu dan pilkada yang membuat pemilih jenuh; beratnya beban penyelenggara yang berakibat pada kelelahan hingga kematian.

    Selain itu ada juga alasan sulitnya parpol dalam mempersiapkan kader untuk bertarung; dan yang paling penting karena permasalahan daerah kerapkali tidak mendapat perhatian serius akibat tertimpa isu nasional.

    Kontradiksi Norma dan Pilihan Paling Mungkin

    Apabila dicermati, dalam putusan ini MK tidak bertindak dalam fungsinya sebagai negative legislator (pembatal undang-undang), melainkan sebagai positive legislator (pembentuk undang-undang).

    Meskipun MK masuk ke dalam wilayah teknis penyelenggaraan pemilu yang seharusnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang (open legal policy), tetap dapat dibenarkan dan putusannya tetap dianggap sah secara hukum (erga omnes).

    Karena, di tengah rusaknya kualitas demokrasi akibat kartelisasi politik yang kuat seperti sekarang ini, MK dapat melakukan penyelamatan demokrasi melalui judicial activism untuk menjembatani kehendak rakyat yang suaranya seringkali diabaikan di dalam ruang pembentukan kebijakan.

    Namun, akibat campur tangan MK dalam membuat norma baru tersebut, kontradiksi hukum tak dapat dielakkan, khususnya dalam mengatasi permasalahan pemilu lokal yang jadwal pelaksanaannya bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

    Dalam pemilu lokal, MK memutus dilaksanakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional usai dilaksanakan. Konsekuensinya, akan ada kekosongan masa jabatan dalam waktu yang cukup lama (2-2,5 tahun) yang harus dipikirkan oleh pembentuk undang-undang untuk diisi oleh siapa dan bagaimana cara pengisiannya.

    Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi, mungkin masih bisa dilakukan penunjukan penjabat (Pj) oleh presiden dan mendagri.

    Meskipun pilihan tersebut bertentangan dengan prinsip yang paling penting di dalam demokrasi, yakni legitimasi, kemungkinan yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah demikian. Tapi dengan catatan bahwa masyarakat sipil harus mendesak presiden dan DPR untuk mempersiapkan norma yang membatasi dan mengawasi para Pj tersebut agar tidak menjadi alat politik kekuasaan untuk cawe-cawe memenangkan calon tertentu.

    Sementara, untuk mengisi kekosongan masa jabatan DPRD, belum ada landasan norma yang bisa dijadikan tempat bersandar untuk memperpanjang masa jabatan mereka. Sehingga mau tidak mau harus dibuat aturan mainnya agar tidak terjadi kekosongan jabatan.

    Jika opsi yang dipilih adalah memperpanjang masa jabatan DPRD selama dua tahun, tentu saja kebijakan itu bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga DPRD harus berasal dari mandat rakyat yang dipilih secara sah melalui pemilu.

    Jika pun selama dua tahun itu ditunjuk pelaksana tugas, maka juga bertentangan dengan nilai demokrasi yang mengedepankan legitimasi ketimbang legalitas.

    Di antara kebuntuan itu, pilihan yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan dibuatnya pemilu sela untuk memilih anggota DPRD yang akan menjabat selama 2 hingga 2,5 tahun sampai dilaksanakannya pemilu lokal di tahun 2032.

    Yang Prosedural dan Yang Substansial

    Jika ditelaah lebih dalam, walaupun putusan tersebut dianggap oleh sebagian pengamat adalah putusan yang progresif, tapi nyatanya, hanya menyentuh persoalan prosedural. Bukan persoalan substansial dari berbagai persoalan pemilu yang sudah-sudah. Mahar politik, politik uang, pengerahan aparat dan birokrat untuk memenangkan calon tertentu, dan lain sebagainya.

    Berharap adanya jeda selama 2 sampai 2,5 tahun agar partai politik bisa bernafas dan mempersiapkan kader secara serius juga adalah sebuah alasan paling utopis yang pernah ada di negeri demokrasi yang mau berumur 80 tahun merdeka ini.

    Dalam Kronik Otoritarianisme Indonesia yang ditulis Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan, Herlambang P. Wiratraman mengatakan, demokrasi di Indonesia cenderung telah didominasi dan difasilitasi oleh sistem politik yang telah terkartelisasi.

    Fenomena ini oleh Richard S Katz dan Peter Mair disebut dengan istilah “partai kartel” yang kenunculannya ditandai dengan hubungan erat antara partai politik dan negara yang saling bekerja sama dalam berkolusi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Salah satunya berkolusi dalam memenangkan pemilu.

    Tak bisa dipungkiri, demokrasi elektoral kita telah dilumuri politik uang. Biaya politik elektoral yang tinggi membuat partai politik memberi karpet merah kepada pemilik modal untuk ikut serta mengendalikan pemilu dan menjadi bagian di dalam negara. Akibatnya, pemilu hanya menjadi sarana bagi oligarki untuk mengontrol kebijakan negara.

    Untuk dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya, partai politik tidak lagi memilih calon legislatif maupun eksekutif berdasarkan standar ideologis. Lebih condong kepada standar pragmatis. Sudah menjadi rahasia umum, mulai dari sejak fase pra pemilu (rekrutmen calon), yang dilihat paling pertama oleh partai politik bukanlah kualitas (kapabilitas), tetapi kuantitas (seberapa besar isi brangkas).

    Alhasil, mengutip laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), yang diperoleh dari pemilu berbiaya tinggi tersebut adalah: Dari total 580 anggota DPR periode 2024- 2029, sekitar 354 orang (61%) terafiliasi dengan sektor bisnis. Dengan kata lain, sebagian besar anggota DPR yang memenangkan pemilu dan duduk di parlemen hari-hari ini adalah politisi pebisnis. Bukan ideolog, bukan pula aktivis, atau politisi yang berasal dari beragam latar belakang.

    Dengan besarnya postur politisi pebisnis yang duduk di DPR saat ini, jangan heran apabila mereka abai melaksanakan demokrasi deliberatif dalam pengambilan keputusan politik negara, terutama dalam proses pembentukan undang-undang kontroversial akhir-akhir ini (UU BUMN, UU Minerba, UU TNI).

    Data ini tidak hanya memperburuk kualitas parlemen dan pemerintahan kita, tapi juga akan memperpanjang nasib demokrasi elektoral yang berbiaya tinggi. Apalagi, di tahun 2024, menurut data yang dirilis Bank Dunia, angka kemiskinan masyarakat Indonesia mencapai 194,4 juta jiwa atau setara 68,2% dari total populasi sebanyak 285,1 juta penduduk.

    Kondisi ini tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan sekali pukul perubahan jadwal pemilu, tapi juga harus diiringi dengan pembenahan di berbagai sektor: Partai politik, pembiayaan partai politik dan pemilu, hingga sistem pengawasan yang kuat. Jika tidak, kaki-kaki oligarki di dalam tubuh negara akan semakin kokoh, dan pemilu 2029 dan 2032 hanya akan memperluas potensi politik uang yang muaranya akan menghasilkan pemimpin serakah.

    Dengan begitu, mau sistem pemilu seperti apapun, baik serentak ataupun tidak, terpisah antara nasional dan lokal sekalipun, jika tidak diiringi dengan pembenahan lintas sektor, maka pemisahan jadwal pemilu hanya akan memperpanjang peluang oligarki untuk mengontrol kebijakan publik dengan seluruh perangkat yang mereka punya. Uang, media, aparat, dan segenap perangkat lainnya. Pada akhirnya, putusan MK tidak menyumbang apa-apa untuk peningkatan kualitas demokrasi kita.

    Zieyad Alfeiyad Ahfi atau Ziyad Ahfi. Mahasiswa pascasarjana hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang tengah mengambil studi Hukum Tata Negara.

    (rdp/rdp)

  • 2
                    
                        Berkaca dari Kasus Tom Lembong, Eks Pimpinan KPK Khawatir Kopdes Merah Putih Dapat Dijerat Pidana
                        Nasional

    2 Berkaca dari Kasus Tom Lembong, Eks Pimpinan KPK Khawatir Kopdes Merah Putih Dapat Dijerat Pidana Nasional

    Berkaca dari Kasus Tom Lembong, Eks Pimpinan KPK Khawatir Kopdes Merah Putih Dapat Dijerat Pidana
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
    Saut Situmorang
    khawatir program
    Koperasi Desa Merah Putih
    dapat dijerat pidana, menyusul vonis 4,5 tahun untuk
    Tom Lembong
    dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
    “Hari ini kan lagi rame. Hari ini diresmikan Koperasi (Desa/Kelurahan) Merah Putih. Hari ini diresmikan. Itu (Presiden) Prabowo bisa dihukum sama 3 hakim (yang memvonis Tom) ini loh, nanti,” kata Saut Situmorang dalam program
    Gaspol! Kompas.com
    , dikutip Sabtu (26/7/2025).
    Pasalnya, vonis itu didapat Tom lantaran majelis hakim menilai mantan Menteri Perdagangan tersebut menganut sistem ekonomi kapitalis dalam mengimpor gula, bukan Pancasila.
    Sementara, Saut menyebutkan bahwa program koperasi lekat dengan sistem ekonomi Sosialis, yang sama-sama bukan Pancasila.
    Ia tidak memungkiri, tujuan dibentuknya Koperasi Desa Merah Putih sangat baik, yakni agar terjadi pemerataan ekonomi di desa-desa.
    Namun, vonis hakim dalam kasus Tom Lembong justru membuktikan bahwa menganut sistem ekonomi tertentu dalam pengambilan kebijakan dapat dijerat pidana.
    “Lo bicara koperasi, lo bicara sosialis. Ini kan Lembong ini dikenakan karena kapitalis, kan. Kalau kapitalis bisa dihukum, sosialis bisa dihukum. Hati-hati, Prabowo bakal dihukum sama (tiga) orang (hakim) ini,” ucap Saut.
    “Karena dia bilang kalau kapitalis bisa dihukum, sosialis bisa, dong. Jadi hati-hati nih di Koperasi Merah Putih,” imbuh dia.
    Karena hal itu pula, ia menilai vonis majelis hakim terhadap Tom sangat tidak beralasan.
    Ia tidak menemukan adanya
    mens rea
    atau niat jahat Tom untuk memperkaya diri sendiri saat mengimpor gula.
    Saut pun menilai para hakim yang mengadili Tom perlu dilaporkan kepada Mahkamah Kehormatan Hakim karena dianggap melakukan penilaian subjektif.
    “Tiga orang ini mesti dibawa ke Mahkamah Kehormatan Hakim sebenarnya. Bisa dibawa mereka ke sana. Itu bisa dibahas. Yang menurut saya, kalau kita bicara pertimbangan-pertimbangan kapitalis dihukum, sosialis nggak dihukum, itu menjadi aneh,” kata Saut.
    Sebelumnya diberitakan, Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dihukum 4 tahun dan 6 bulan penjara dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
    Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyebut, Tom Lembong terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.
    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, Thomas Trikasih Lembong, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika, membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025) lalu.
    Hakim menilai Tom Lembong mengedepankan ekonomi kapitalis dalam kebijakan impor gulanya, bukan
    ekonomi Pancasila
    .
    Argumentasi soal “ekonomi kapitalis” ini menjadi salah satu hal yang memberatkan hukuman Tom Lembong.
    Di sisi lain, argumentasi ini mendapat kritikan dari banyak pihak.
    Mantan Menko Polhukam Mahfud MD misalnya, menilai putusan itu keliru.
    “Hakim juga bercanda lucu bahwa salah satu yang memberatkan Tom Lembong adalah membuat kebijakan yang kapitalistik. Tampaknya hakim tak paham bedanya ide dan norma,” kata Mahfud kepada
    Kompas.com
    , Selasa (22/7/2025).
    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah juga mengungkapkan belum pernah menemukan putusan pengadilan seperti yang dialami Tom.
    Wana menyebut, putusan hakim terkait perbuatan Tom yang menjalankan ekonomi kapitalis perlu didiskusikan di ruang publik.
    “Paling tidak sampai saat ini belum pernah menemukan putusan yang semacam itu. Jadi rasanya ini penting juga untuk dijadikan sebagai diskursus publik mengenai kerugian yang mengakibatkan untuk kapitalis,” kata Wana di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Rabu (23/7/2025).

    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Koruptor Muda dan Sistem yang Renta

    Koruptor Muda dan Sistem yang Renta

    Koruptor Muda dan Sistem yang Renta
    Asisten Dosen dan Peneliti di Departemen Administrasi Publik, Universitas Airlangga
    DI PANGGUNG
    politik Indonesia yang penuh dengan wajah-wajah lama, kemunculan anak muda sering kali dirayakan sebagai harapan.
    Mereka diharapkan membawa energi baru, gagasan segar, dan paling penting integritas yang tak ternoda untuk melawan sistem korup. Namun, kenyataan tak seindah ekspektasi dan harapan.
    Ketika anak muda akhirnya masuk ke dalam lingkar kekuasaan, mereka diharapkan pada sistem lama yang sudah lebih mapan, licin, dan penuh jebakan kompromi.
    Ialah Nur Afifah Balqis (NAB), di usianya yang masih 24 tahun saat ditangkap KPK, seharusnya menjadi personifikasi ekspektasi dan harapan tersebut.
    Ia kembali viral di media sosial setelah belakangan ini disebut sebagai koruptor termuda di Indonesia. 
     
    Operasi tangkap tangan KPK atas kasus suap Bupati Penajam Paser Utara pada 2022, menjadi anomali menyakitkan, sebuah nekrolog bagi idealisme yang menunjukkan bagaimana harapan regenerasi justru mengkhianati dirinya sendiri.
    Kasus NAB adalah bukti paling menyakitkan bahwa
    korupsi
    di negeri ini bukan lagi penyakit generasi tua, melainkan wabah sistemik yang siap menginfeksi siapa saja, bahkan tunas yang baru bersemi.
    Kegagalannya adalah cermin dari kegagalan kita sebagai bangsa dalam menyiapkan ladang politik yang subur untuk integritas.
    Fenomena seperti ini bukanlah kasus tunggal. Lebih dari itu, ini menjadi alarm tren korupsi yang semakin masif dan sistemik di berbagai level kekuasaan dan lintas generasi.
    Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2023 tercatat 791 kasus korupsi—angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
    Jumlah ini meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya: 579 kasus pada 2022; 533 kasus pada 2021; 444 kasus pada 2020; dan 271 kasus pada 2019.
    Peningkatan ini juga tercermin dari jumlah tersangka yang terlibat, dengan 1.695 orang ditetapkan sebagai tersangka pada 2023.
    Untuk memahami mengapa seorang anak muda bisa terjerumus dalam praktik ini, kita tidak bisa hanya menyalahkan individunya saja.
    Kasus ini harus dilihat sebagai simptom dari penyakit sistemik yang sudah mendarah daging sebagai produk dari struktur, budaya, dan rasionalitas yang cacat.
    NAB tidak masuk ke arena steril, ia masuk dalam struktur patron-klien (
    patron-clientelism
    ) yang mengakar, di mana seorang patron (bupati) mendistribusikan sumber daya (proyek, jabatan, uang) untuk membeli loyalitas dari kliennya (tim sukses, bendahara).
    Dalam sistem seperti ini, tindakan korupsi dianggap menjadi “pilihan rasional”. Ketika biaya untuk menolak (tersingkir dan kehilangan peluang) jauh lebih besar daripada potensi keuntungan dari berkompromi (akses, kekayaan, kekuasaan), maka korupsi dianggap bukan lagi penyimpangan, melainkan suatu strategi bertahan hidup.
    Menjabat sebagai Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan, menempatkannya di episentrum sistemik ini, di mana menolak perintah atasan adalah sama dengan bunuh diri politik.
    Bisa jadi NAB bukanlah inisiator, melainkan operator yang terperangkap dalam kalkulasi rasional dari sistem yang memang sudah korup.
    Sosiolog Robert K. Merton (1938) melalui Teori Anomie menjelaskan bagaimana penyimpangan terjadi ketika ada ketidaksesuaian antara tujuan yang dilembagakan oleh budaya (
    cultural goals
    ) dengan cara-cara yang sah untuk mencapainya (
    institutionalized means
    ).
    Budaya kita hari ini sangat menekankan tujuan kesuksesan material, kondisi ini melahirkan budaya pragmatisme akut.
    Logika bergeser dari “apa yang benar secara etis” menjadi “apa yang paling efisien untuk mencapai tujuan”.
    Ketika jalan pintas terbukti menjadi rute tercepat menuju kekuasaan dan kekayaan, idealisme menjadi barang mewah yang tidak praktis. Sikap semua orang juga melakukannya menjadi pembenaran yang melumpuhkan nurani.
    Kekacauan ini merupakan implikasi dari krisis keteladanan yang semakin tampak di permukaan.
    Generasi NAB tumbuh dengan menyaksikan para
    koruptor
    —banyak di antaranya adalah senior di dunia politik—mendapat hukuman ringan, menikmati kemewahan pasca-penjara, dan bahkan kembali menduduki jabatan publik.
    Penjara tidak lagi menjadi momok menakutkan, melainkan sekadar “risiko bisnis” yang bisa dikalkulasi.
    Berdasarkan temuan Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK dan analisis tim Universitas Airlangga (2025), korupsi tampaknya telah menjadi budaya yang dinormalisasi oleh sebagian masyarakat.
    Dalam praktik pengadaan barang dan jasa, misalnya, perilaku koruptif bahkan dianggap “fungsional” untuk mempertahankan kelangsungan usaha.
    Artinya, korupsi tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan, melainkan sebagai bagian dari prosedur tak tertulis yang dianggap wajar.
    Dalam konteks ini, penegakan hukum saja tidak memadai. Menghukum individu seperti NAB adalah keharusan hukum, tetapi memenjarakannya saja tidak akan menyelesaikan masalah. Itu laksana memangkas rumput liar tanpa mencabut akarnya.
    Jika kita serius ingin mencegah lahirnya koruptor-koruptor baru, intervensi harus menyasar benteng individu sekaligus merombak sistem yang ada.
    Di tingkat individu, intervensi hulu melalui pendidikan antikorupsi dan internalisasi integritas harus menjadi fondasi sejak dini.
    Di tingkat sistem, mekanisme pencegahan harus diperkuat secara radikal, mulai dari integrasi total
    e-Budgeting
    dan
    e-Procurement
    , analisis LHKPN yang proaktif, hingga jaminan perlindungan penuh bagi pelapor (
    whistleblower
    ).
    Lebih dari itu, sistem ini hanya akan berjalan jika ditopang oleh keteladanan kepemimpinan nyata, sanksi hukum yang tak kenal kompromi, dan independensi lembaga antikorupsi. Kolaborasi lintas sektor pun mutlak untuk menciptakan pengawasan efektif.
    Pada akhirnya, semua strategi ini akan sia-sia jika tidak ditopang oleh pilar transformasi mentalitas masyarakat.
    Selama publik masih permisif terhadap gratifikasi dan memaklumi praktik korup, kita hanya akan terus menyaksikan regenerasi politik yang melahirkan koruptor-koruptor muda berikutnya. Perubahan harus dimulai dari kita.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua pengacara serta seorang panitera terkait dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO di PN Jakarta Pusat.

    Kasus itu menambah daftar panjang kasus terkait mafia peradilan yang telah diungkap oleh penegak hukum. Sebelumnya, Kejagung juga berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiga hakim itu ditangkap atas dasar tuduhan menerima suap dalam proses penanganan perkara pembunuhan dengan terdakwa Gregorius Ronald Tanur.

    Tidak berhenti sampai di situ, penyidik berhasil mengembangkan informasi bahwa dalam perkara yang sama, terdapat upaya mempengaruhi proses hukum kasasi yang diajukan oleh Ronald Tanur. Benar saja, tidak lama berselang, pihak yang diduga sebagai makelar kasus akhirnya turut ditetapkan sebagai tersangka, yakni Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung.

    Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengungkapkan, fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

    Bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Meski pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) maupun Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang.

    ilustrasi

    “Sebenarnya sudah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan,” ujar Sudirta.

    Namun seolah permasalahan itu tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Menurutnya, reformasi peradilan bukan hanya berbicara dari permasalahan suap di pengadilan yang diungkap Kejagung, tapi juga berbicara di seluruh tahap peradilan.

    “Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi, seluruh tahap seolah memiliki tarif,” imbuhnya.

    Dalam praktek di lapangan, banyak modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan. Karena itu, reformasi peradilan tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut.

    Sudirta menjelaskan, permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukan hal baru karena terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal itu teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan, pertama adalah korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.

    “Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya gesture belaka atau untuk meredam amarah publik,” tuturnya.

    Kedua, sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem karir yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh, koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut.

    “Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “koneksi”. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan,” tukas Sudirta.

    Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.

    Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi. Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial (KY) maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan, bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan.

    Persoalan selanjutnya kata Sudirta, adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam denah (roadmap) untuk penanggulangannya.

    Hal yang paling dapat terlihat tentunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan atau penegakan hukum. Ketidakpastian berdampak pada sistem ekonomi dan investasi serta pelindungan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dapat terlihat adanya penyimpangan terhadap tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hingga kini adagium seperti “keadilan hanya milik penguasa atau orang kaya” atau “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” akan selalu muncul.

    Penguatan Sistem Pengawasan Internal dan Eksternal Bisa Menekan Praktik Mafia Peradilan

    Sudirta mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan suap dan penyimpangan dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertama, reformasi struktur peradilan dan penegakan hukum perlu dijamin. Kedua, penguatan fungsi pengawasan melalui sistem, pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Sistem peradilan pidana misalnya memiliki pengawasan hakim secara internal (Bawas MA), Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, hingga aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) ataupun penegakan hukum.

    “Perlu dipikirkan kembali bagaimana sistem dapat secara otomatis mengawasi akuntabilitas dan keakuratannya. Revisi Hukum Acara Pidana harus memungkinkan upaya untuk mengajukan keberatan terhadap beberapa tindakan atau upaya paksa yang telah diatur dalam undang-undang, secara obyektif dan transparan,” terangnya.

    Keempat, transparansi dari rekrutmen, pembinaan karir, uji kompetensi, dan peningkatan integritas harus dapat dijamin, diharapkan akan mendorong publik agar ikut mengawasi. Sistem pembinaan karir, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, obyektif, dan kepastian atau ketegasan. Jaminan untuk pembinaan karir dan penempatan di wilayah harus dilakukan dengan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya.

    Kelima, perhatian terhadap hakim dan kesejahteraan maupun fasilitas yang mendukung optimalisasi kerja dan profesionalitas. Saat ini, banyak hakim atau aparat yang mengalami kekurangan dari sisi kesejahteraan maupun dukungan sarana dan prasarana kerja. Penanganan terhadap pelanggaran etik maupun hukum harus dapat dilakukan secara terbuka atau membuka ruang publik untuk dapat mengadu dan mendapat tindak lanjut yang jelas.

    “Pemanfaatan teknologi informasi juga dapat dioptimalkan untuk pengawasan dan transparansi publik. Hal terkait adalah penggunaan whistleblowing system dapat saling melaporkan penyimpangan tentunya dengan penghargaan jika terbukti dan bermanfaat,” tambah Sudirta.

    Keenam, peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan. Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat; dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan obyektif.

    “Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia,” tegas politikus dari PDI Perjuangan itu.

    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya menilai, pengungkapan kasus mafia peradilan seperti pada penangkapan Zarof Ricar bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab modus yang dilakukan oleh Zarof serupa dengan yang dilakukan oleh jaringan mafia peradilan lainnya yang sebelumnya pernah diproses hukum oleh KPK, yakni Sekretaris MA, Nurhadi dan Hasbi Hasan. Sekalipun ketiganya bukan merupakan hakim atau pihak yang menangani perkara, namun dengan pengaruh besar yang dimiliki, mereka memperdagangkan pengaruh itu untuk menjadi perantara suap kepada hakim yang menangani perkara.

    “Modus ini juga setidaknya juga menjadi salah satu modus korupsi yang telah dipetakan oleh ICW sejak tahun 2003 silam. Artinya, modus korupsi di sektor peradilan tidak pernah berubah. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa, meski sudah pernah ada jaringan mafia peradilan yang diproses hukum, dan modus-modusnya sudah terpetakan, namun prakteknya masih ada hingga saat ini,” tuturnya.

    Menurut Diky, dua kemungkinan penyebab eksistensi mafia peradilan. Pertama, proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK atau penegak hukum lainnya tidak pernah menyasar hingga aktor-aktor intelektualnya. Kedua, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh MA untuk melakukan upaya reformasi yang berdampak signifikan untuk menutup ruang gerak bagi hakim, panitera, atau pegawai pengadilan untuk melakukan praktik-praktik bertindak sebagai makelar kasus.

    Kondisi ini tentu semakin menunjukkan bahwa moralitas para penegak hukum, khususnya hakim di lembaga peradilan, telah berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Maka tidak berlebihan rasanya jika publik, yang notabene merupakan para pencari keadilan, mengharapkan bahwa pengungkapan Zarof Ricar dijadikan sebagai momentum bagi penegak hukum untuk mengungkap jaringan mafia peradilan yang lebih luas di Mahkamah Agung.

    Selain itu, penguatan kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman juga perlu diperkuat. Sebab, prakteknya saat ini, Komisi Yudisial hanya dapat memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan aduan mengenai pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, dan kewenangan untuk memutusnya tetap di Mahkamah Agung.

    “Sebagai langkah menghindari adanya potensi konflik kepentingan, maka Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada hakim. Namun yang paling penting, agar simultan dengan strategi-strategi tersebut, perlu ada terobosan kebijakan dari Ketua MA untuk menjadi orkestrator dalam upaya mereformasi lembaganya guna mengembalikan kembali muruah lembaga peradilan,” tutup Diky.

  • Film `Karya untuk Negeri` soroti praktik korupsi di industri seni

    Film `Karya untuk Negeri` soroti praktik korupsi di industri seni

    Film Karya Untuk Negeri mengisahkan tentang Diandra, seorang seniman muda yang berjuang menggelar pertunjukan teater pertamanya. (foto: ist)

    Film `Karya untuk Negeri` soroti praktik korupsi di industri seni
    Hiburan   
    Editor: Widodo   
    Sabtu, 05 Juli 2025 – 06:11 WIB

    Elshinta.com – Jakarta – Mahasiswa Program Studi Performing Arts Communication dari LSPR Institute of Communication and Business memproduksi film pendek musikal berjudul “Karya Untuk Negeri” untuk menyuarakan isu korupsi di industri seni pertunjukan Indonesia.

    Film ini mengisahkan tentang Diandra, seorang seniman muda yang berjuang menggelar pertunjukan teater pertamanya bersama anak-anak dari rumah singgah, namun terhambat oleh birokrasi korup dan dilema moral yang mengguncang relasi serta idealismenya.

    Waka Waka Production menggandeng anak-anak hebat dari Taman Anak Pesisir, komunitas belajar dan seni yang berbasis di kawasan pesisir Pantai Wika, Kalibaru, Cilincing – Jakarta Utara.

    Film ini menjadi medium kolaboratif yang inklusif dan menyuarakan perubahan, dengan harapan dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lain dan generasi muda secara luas untuk terus berkarya dan memperjuangkan ruang kreatif yang inklusif dan berkelanjutan.

    Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango, dalam pernyataannya pada 1 Juli 2024, menyampaikan bahwa sepanjang lima bulan pertama tahun 2024, KPK telah menangani 93 kasus tindak pidana korupsi dengan 100 tersangka. 

    Sementara itu, data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sedikitnya 138 peserta Pilkada 2024 diduga terlibat dalam kasus korupsi. Namun di luar angka-angka tersebut, terdapat satu sektor krusial dalam ekosistem ekonomi kreatif Indonesia, yang jarang disorot: industri seni pertunjukan.

    Banyak pelaku seni yang berkarya dalam keterbatasan akibat sistem yang tidak adil, penuh pungutan liar, dan rendahnya integritas sejumlah pihak yang seharusnya menjadi pendukung kemajuan seni.

    Melihat fenomena ini, mahasiswa Program Studi Performing Arts Communication dari LSPR Institute of Communication and Business merasa perlu menyuarakan isu tersebut dalam bentuk karya sebagai bagian dari Tugas Akhir. Mereka menghadirkannya melalui film pendek musikal berjudul “Karya Untuk Negeri”, produksi dari Waka Waka Production.

    Film pendek musikal berdurasi 45 menit ini melibatkan 20 cast dan 60 crew profesional lintas disiplin, serta disaksikan secara langsung oleh 300 tamu undangan dalam acara premier di CGV Central Park, Jakarta pada Kamis, 3 Juli 2025. 

    Menurut keterangan dari Amelia Angeliqa Hadinata, penulis sekaligus sutradara Musikal Karya Untuk Negeri, proses pembuatan karya ini penuh dengan perjuangan, dan juga merupakan hasil dari campur tangan banyak pihak. Lebih dari sekadar ruang kritik sosial, film ini menjadi medium kolaboratif yang inklusif. 

    Di bawah pendampingan Aceng Gimbal, pendiri Yayasan Sanggar Seni Trotoar, anak-anak ini kerap tampil dalam pertunjukan teater jalanan yang sarat makna sosial. 

    “Bagi kami karya ini bukan sekadar tugas akhir semata, melainkan bentuk nyata dari cinta kami terhadap seni. Kami sebagai generasi muda tidak ingin hanya diam, kami ingin industri kreatif di Indonesia bertumbuh, diberi ruang, dan dihargai. Kami ingin para seniman muda bisa punya kesempatan untuk bersinar.” lanjut Amelia.

    Sebagai dosen pembimbing, Mikhael Yulius Cobis, M.Si., M.M menilai karya ini lahir dari proses panjang, bukan hanya dilihat dari sudut pandang artistik saja, tetapi juga kedewasaan berpikir, kemampuan bekerja dalam tim, dan keberanian menyuarakan gagasan. Angel, Ester, dan Cecil sebagai produser menunjukkan semangat sebagai bagian dari generasi muda yang ingin mengambil peran aktif dalam mendorong pertumbuhan ekosistem kreatif di tanah air.

    “Selama proses pendampingan, saya menyaksikan berbagai dinamika, mulai dari tantangan teknis, konflik gagasan, hingga pencarian bentuk artistik yang paling sesuai dengan nilai yang ingin mereka sampaikan. Namun semua itu dihadapi dengan sikap reflektif dan tekad yang kuat. Saya berharap karya ini tidak hanya menjadi capaian akademik, tetapi juga bisa menjadi inspirasi bagi mahasiswa lain dan generasi muda secara luas untuk terus berkarya, menyampaikan gagasan melalui medium seni, dan tetap konsisten memperjuangkan ruang kreatif yang inklusif dan berkelanjutan,” ungkap Mikhael.

    “Karya Untuk Negeri” bukan sekadar hiburan musikal, tetapi juga sebuah pernyataan sosial — menyoroti realitas pahit di balik layar industri seni: praktik korupsi, birokrasi yang menyulitkan, dan rendahnya integritas yang kerap membelenggu para pelaku seni muda. Lewat narasi tokoh Diandra dan Adrian, film ini menggugah penonton untuk mempertanyakan: “Apakah karya harus tunduk pada sistem yang tidak adil?”

    Sebagai bagian dari misi menyuarakan perubahan, film ini akan dipublikasikan secara luas melalui platform digital YouTube dan Spotify agar dapat dinikmati oleh masyarakat luas, khususnya generasi muda dan komunitas seni di seluruh Indonesia.

    Sinopsis
    Diandra (21), seorang seniman muda, bertekad mengadakan pertunjukan teater pertamanya bersama murid-murid dari rumah singgah. Namun ia dihadapkan pada kenyataan pahit: birokrasi yang penuh pungli dan tekanan sistem korup. Kekasihnya, Adrian (28), seorang jurnalis, mencoba merasionalisasi kompromi, menciptakan konflik antara prinsip, cinta, dan perjuangan. Dalam dilema moral dan sistem yang timpang, mampukah mereka menjaga integritas dan tetap mewujudkan mimpi mereka? (Dd)

    Sumber : Elshinta.Com

  • Dugaan Korupsi Rp13,3 M Dana Zakat dan Hibah, KPK Mulai Telusuri BAZNAS Jabar

    Dugaan Korupsi Rp13,3 M Dana Zakat dan Hibah, KPK Mulai Telusuri BAZNAS Jabar

    PIKIRAN RAKYAT – Dugaan korupsi senilai total Rp13,3 miliar di tubuh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Jawa Barat kini tengah dalam proses telaah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Laporan yang sebelumnya disampaikan oleh Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber) ini telah dinyatakan terverifikasi dan diterima KPK untuk ditindaklanjuti.

    “Tentunya harapannya dugaan korupsi yang ada di BAZNAS Jawa Barat untuk segera ditindaklanjuti dan ditangani oleh KPK,” ujar M. Rafi Saiful Islam, Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan LBH Bandung, seusai audiensi di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, 18 Juni 2025.

    Dana Zakat untuk Mobil Mewah dan Gaji Fantastis

    Dugaan korupsi tersebut terdiri dari dua sumber, yakni, penyelewengan dana zakat senilai Rp9,8 miliar dan dana hibah APBD Jawa Barat sebesar Rp3,5 miliar.

    Wana Alamsyah, Kepala Divisi Hukum dan Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), menyebutkan bahwa modus utama adalah penggunaan biaya operasional melebihi batas yang diatur undang-undang.

    “BAZNAS Jawa Barat mengambil hak amil hingga 20 persen dari dana zakat, padahal aturan hanya memperbolehkan maksimal 12,5 persen,” tegas Wana, merujuk pada Keputusan Menteri Agama No. 606 Tahun 2020 dan Peraturan BAZNAS No. 1 Tahun 2016.

    Dana operasional itu diduga digunakan untuk membiayai fasilitas mewah lima pimpinan BAZNAS Jabar, termasuk sewa mobil mewah yang melonjak dari Rp11 juta (2020) menjadi Rp493 juta (2022). Selain itu, terdapat dugaan pengadaan laptop dan ponsel, sopir pribadi, serta tunjangan yang tidak wajar.

    Kenaikan beban gaji juga menjadi sorotan. Pada tahun 2020, gaji karyawan tercatat sebesar Rp1,5 miliar, namun melonjak menjadi Rp3,3 miliar pada 2022, diduga karena rekrutmen besar-besaran dari kerabat pimpinan. Honorarium pimpinan bahkan naik drastis hingga 121%, dari kisaran Rp13 juta menjadi Rp30 juta per bulan.

    Dana Hibah Covid-19 Diduga Disalahgunakan

    Selain dana zakat, BAZNAS Jabar juga diduga menyalahgunakan Rp3,5 miliar dana hibah APBD Provinsi Jawa Barat, yang semula diperuntukkan untuk bantuan penanggulangan COVID-19.

    Temuan Koliber menunjukkan bahwa bantuan tersebut banyak yang tidak tersalurkan, tidak tepat sasaran, dan bahkan dikapling untuk kolega pimpinan dan mitra tertentu.

    Ironisnya, alih-alih mendapat perlindungan hukum, TY, pelapor kasus ini yang juga mantan Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal BAZNAS Jabar, justru ditetapkan sebagai tersangka dengan menggunakan Pasal 32 UU ITE.

    “Penetapan TY sebagai tersangka merupakan bentuk kriminalisasi terhadap whistleblower dengan memanfaatkan pasal karet di UU ITE. Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada TY dan whistleblower lain,” kata Direktur Eksekutif SafeNet, Nenden Sekar Arum.

    Pihak KPK dalam audiensi menyatakan turut prihatin dan menyesalkan tindakan aparat yang tidak memahami pentingnya melindungi pelapor korupsi.

    Kasus kriminalisasi TY dinilai melanggar berbagai aturan perlindungan pelapor, antara lain:

    Pasal 10 ayat (12) UU No. 31 Tahun 2014, yang melarang tuntutan hukum terhadap pelapor sebelum laporan selesai diperiksa. Pasal 41 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999, yang menjamin hak masyarakat untuk melapor. Pasal 1 angka 6 UU No. 31 Tahun 2014, yang melarang intimidasi terhadap pelapor.

    “Penggunaan Pasal 32 UU ITE untuk menjerat TY justru mengalihkan fokus dari substansi laporan korupsi,” ucap Rafi dari LBH Bandung. Ia juga meminta Kepolisian menghentikan proses kriminalisasi dan mengembalikan fokus pada investigasi korupsi.

    Desakan Koalisi Antikorupsi

    Danang Widoyoko, Sekjen Transparency International Indonesia (TII), menyebut bahwa tindakan ini bertolak belakang dengan komitmen Indonesia terhadap Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang mewajibkan negara melindungi pelapor korupsi.

    “Indonesia tidak dapat mengklaim memerangi korupsi sambil mengadili mereka yang mengungkapnya,” ucap Danang.

    Koalisi Koliber mendesak lima langkah konkrit:

    Usut tuntas dugaan korupsi Rp13,3 miliar di BAZNAS Jabar secara transparan. Hentikan kriminalisasi terhadap TY dan berikan perlindungan hukum. Fokus pada kerugian negara, bukan membungkam pelapor. Tindak aparat yang membocorkan identitas pelapor. Reformasi UU ITE untuk melindungi whistleblower. ***

  • Diusut Kejagung, Nadiem Ungkap Fakta Pengadaan Laptop Rp 9,9 Triliun

    Diusut Kejagung, Nadiem Ungkap Fakta Pengadaan Laptop Rp 9,9 Triliun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Nadiem Makarim yang pernah menjabat sebagai Mendikbudristek buka suara alasan memilih laptop Chromebook untuk proyek pengadaan. Proyek 2019-2022 dengan anggaran sebesar Rp 9,9 triliun tengah diusut oleh Kejaksaan Agung.

    Nadiem menegaskan pemilihan Chromebook telah melakukan kajian oleh pihak kementerian. Mulai dari harga dan spesifikasi yang dimiliki perangkat.

    “Untuk menjawab mengenai kenapa Chromebook, ini menurut saya sangat penting bahwa dalam pengadaan sebesar ini kita harus selalu berhati-hati dan melakukan kajian dengan detail. Tim di Kemendikbutristek melakukan kajian Mengenai perbandingan antara Chromebook dan operating system lainnya,” kata Nadiem, dikutip dari Detik.com, Selasa (10/6/2025).

    Dari segi harga, Chromebook dinilai lebih murah dari laptop lainnya. Sistemnya juga disebut mudah untuk diakses dan juga gratis.

    Nadiem mencontohkan operating sistem perangkat lain berbayar. Setidaknya harus mengeluarkan tambahan sekitar Rp 1,5 hingga Rp 2,5 juta.

    Selain itu, Chromebook dipilih karena aplikasi yang masuk di dalamnya dapat terpantau. Termasuk juga spesifikasinya mendukung untuk pendidikan.

    “Di luar itu ada berbagai macam fungsi Mohon rekan media mengingat bahwa ini adalah untuk fungsi pendidikan. Di mana keamanan murid-murid dan guru-guru kita menjadi prioritas di Kemendikbutristek, dan salah satu hal terpenting dari kajian tersebut adalah kontrol terhadap aplikasi yang bisa ada di dalam Chromebook,” jelasnya

    Terkait kasus proyek pengadaan laptop, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menjelaskan Kemendikbudristek menyusun rencana pengadaan bantuan peralatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada 2020. Ini diperuntukkan bagi satuan pendidikan, dari tingkat dasar hingga menengah atas.

    Namun rencana tersebut bukan menjadi kebutuhan siswa. Hal yang sama pernah juga dilakukan tahun 2018-2019 yang berjumlah 1.000 laptop, tapi hasilnya tak efektif.

    “Karena sesungguhnya, kalau tidak salah, di tahun 2019 sudah dilakukan uji coba terhadap penerapan Chromebook itu terhadap 1.000 unit, itu tidak efektif,” kata Harli kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (26/5).

    Sebelumnya, ICW telah menyoroti spesifikasi laptop Chromebook yang disebut tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Khususnya salah satu target distribusi di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terlua).

    Laptop Chromebook, disebut ICW, akan berfungsi optimal jika tersambung dengan internet. Namun hingga sekarang jaringan internet di tanah air belum merata ke semua daerah.

    (fab/fab)

  • ICW Beberkan Kejanggalan Proyek Laptop Kemendikbud Rp 9,9 T di Era Nadiem

    ICW Beberkan Kejanggalan Proyek Laptop Kemendikbud Rp 9,9 T di Era Nadiem

    Jakarta

    Kejagung tengah menyelidiki dugaan korupsi pada pengadaan laptop Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2020-2022 yang anggarannya mencapai Rp 9,9 triliun. ICW mendukung pengusutan Kejagung serta ikut membeberkan hal-hal janggal terkait pengadaan tersebut.

    Peneliti ICW Almas Sjafrina membeberkan sejumlah kejanggalan terkait pengadaan laptop ini sejak 2021. ICW saat itu meminta Kemdikbud menghentikan dan mengkaji ulang rencana belanja laptop di tengah pandemi Covid-19 tersebut.

    Kejanggalan pertama yakni pengadaan laptop dan sejumlah perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) lainnya bukan kebutuhan prioritas pelayanan pendidikan di tengah pandemi Covid-19. Kemudian, penggunaan anggaran yang salah satunya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik menyalahi Perpres No. 123 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis DAK Fisik.

    “Penggunaan DAK seharusnya diusulkan dari bawah (bottom-up), bukan tiba-tiba diusulkan dan menjadi program kementerian. Pencairan DAK juga harus melampirkan daftar sekolah penerima bantuan, sedangkan saat itu tak jelas bagaimana dan kepada sekolah mana laptop akan didistribusikan,” kata Almas dalam siaran pers, dikutip Sabtu (7/6/2025).

    Almas mengatakan rencana pengadaan laptop ini juga tidak tersedia dalam aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP). Ia menyebut informasi pengadaan yang direncanakan dilakukan dengan metode pemilihan penyedia e-purchasing tidak banyak publik ketahui.

    Selain itu, dasar penentuan spesifikasi laptop harus memiliki OS chromebook tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, khususnya daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar) yang menjadi salah satu target distribusi laptop. Menurutnya, laptop chromebook akan berfungsi optimal jika tersambung dengan internet. Sedangkan infrastruktur jaringan internet di Indonesia belum merata.

    Almas mengatakan spesifikasi chromebook dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga mempersempit persaingan usaha karena hanya segelintir perusahaan yang dapat menjadi penyedia.

    “Penyedia potensial mengerucut hanya pada enam perusahaan, yaitu PT Zyrexindo Mandiri Buana (Zyrex), PT Supertone, PT Evercoss Technology Indonesia, Acer Manufacturing Indonesia (Acer), PT Tera Data Indonesia (Axio), dan PT Bangga Teknologi Indonesia (Advan). Kondisi penyedia yang terbatas bertentangan dengan semangat UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” ucapnya.

    “Sehingga, kami melihat pengadaan ini rentan dikorupsi dan gagal mencapai tujuan kebijakannya. Pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan dan terkesan dipaksakan kerap berangkat dari adanya permufakatan jahat dan berujung pada korupsi berbagai modus, seperti mark up harga, penerimaan kick back dari penyedia, hingga pungutan liar dalam proses distribusi barang. Permufakatan jahat terindikasi dari diabaikannya kajian tim teknis Kementerian Pendidikan yang menyebut OS Chrome tak cocok dengan program digitalisasi pendidikan yang menarget daerah lemah internet,” ucapnya.

    Selengkapnya di halaman berikut

    Dari kajian itu, Peneliti Kopel Indonesia Anwar Razak mendukung Kejagung untuk menyelidiki lanjut dugaan korupsi pengadaan laptop. Ia menilai kasus ini tidak hanya berputar pada staf khusus saja, tapi juga ada pihak lain yang perlu diusut.

    “Berangkat dari kajian yang kami lakukan dan tidak transparannya pengadaan laptop Kemendikbud, kami mendukung dilakukannya penyelidikan oleh Kejaksaan Agung. Namun, kami meragukan bahwa pihak yang potensial terlibat dalam kasus ini hanya berpusat pada staf khusus menteri,” ujarnya.

    Menurutnya, staf khusus tidak mempunyai kewenangan langsung dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Dalam pengadaan dengan metode e-purchasing dengan nilai di atas Rp200 juta, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) merupakan pihak sentral, termasuk yang berwenang melakukan rencana pengadaan dan melaksanakan pengadaan.

    PPK, menurutnya, bertanggung jawab melakukan pelaporan kepada pengguna anggaran (menteri) atau kuasa pengguna anggaran yang ditunjuk oleh menteri. Sehingga, peran stafsus dalam pengadaan ini perlu diusut telusuri siapa pemberi perintah/ pesan dan bagaimana stafsus melakukan perannya tersebut.

    “Oleh karena itu, pihak lain dari pelaku pengadaan yang perlu diperiksa oleh penyidik Kejagung diantaranya yaitu PPK, kuasa pengguna anggaran, dan Nadiem Makarim selaku menteri atau pengguna anggaran,” ujarnya.

    Anwar juga meminta Kejagung harus memperjelas informasi dugaan korupsi laptop Kemendikbud, termasuk didalamnya mengenai bentuk korupsi hingga taksiran dugaan kerugian negara. Kepada Kemdikbud, Anwar meminta adanya evaluasi dan mengumumkan kepada publik mengenai distribusi pengadaan laptop dan analisis atas hasil dan capaian program digitalisasi pendidikan 2019-2024.

    “Menggunakan anggaran negara, kementerian ini -terlepas dari menteri atau pimpinannya telah berganti- mempunyai kewajiban untuk melakukan evaluasi kebijakan dan akuntabilitas kepada publik,” ucapnya.

    Kejagung Bakal Periksa Eks Stafus Nadiem

    Sejumlah hal sudah dilakukan Kejagung dalam mengusut kasus ini. Sejauh ini sudah ada 28 saksi diperiksa, termasuk para stafsus Nadiem.

    Dalam kasus ini, Kejagung sudah memeriksa dua apartemen Staf Khusus eks Menteri Dikbudristek, yakni FH, di Kuningan Place, kemudian Apartemen Ciputra World 2 Tower Orchard, kediaman JT Staf Khusus Menteri Dikbudristek. Terbaru Kejagung menggeledah kediaman I, staf khusus eks Mendikbud Nadiem Makarim di kediamannya kawasan Cilandak Jaksel.

    “Ada I, dan tempatnya juga sudah digeledah,” ujar Harli Siregar kepada wartawan, Selasa (3/6/2025).

    “Staf Khusus Menteri merangkap staf teknis. Ibrahim ya. Barang bukti elektronik, HP sama laptop. Ibrahim yang HP sama laptop kan. Itu stafsusnya menteri dan tim teknis,” kata dia.

    Selain itu, penyidik saat ini melakukan pendalaman terhadap barang bukti berupa dokumen elektronik. Tujuannya adalah mencari informasi apa yang saja yang terjadi dalam kasus ini.

    “Yang kedua, bahwa penyidik juga sekarang sedang fokus melakukan pembacaan melakukan pendalaman, kajian terhadap semua barang bukti yang sudah disita dalam bentuk baik dalam dokumen maupun barang bukti elektronik,” ucapnya.

    Kejagung pun telah memanggil mantan staf khusus Nadiem tersebut, namun berkali-kali mangkir. Tiga mantan stafsus itu kini masih dicari. Tidak menutup kemungkinan, Kejagung juga akan memanggil dan memeriksa Nadiem.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini