NGO: CSIS

  • CSIS Ungkap Masih Banyak Tantangan untuk Industri Hijau RI

    CSIS Ungkap Masih Banyak Tantangan untuk Industri Hijau RI

    JAKARTA – Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut bahwa transisi Indonesia menuju industri hijau masih menghadapi sejumlah tantangan kebijakan, baik dari sisi pasokan, permintaan, maupun kebijakan pendukung.

    Dari sisi pasokan, Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang dirilis CSIS di Jakarta, dikutip Antara, Sabtu, 21 Juni, menemukan bahwa meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas fiskal dan non-fiskal bagi pelaku usaha, sebagai besar insentif tersebut masih bersifat umum dan belum secara spesifik diarahkan untuk mendorong transisi hijau.

    Selain itu, sertifikasi industri hijau, yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 39 Tahun 2018, masih bersifat sukarela.

    “Sertifikasi ini juga belum terintegrasi dengan skema insentif fiskal maupun dijadikan prasyarat untuk mengakses pasar tertentu,” demikian laporan tersebut.

    Dari sisi permintaan, laporan tersebut menyebut bahwa meskipun kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan telah dituangkan dalam beberapa dokumen perencanaan, implementasinya masih sangat terbatas.

    Indonesia juga saat ini belum memiliki sistem pelabelan karbon untuk produk-produk industri. Menurut laporan CSIS, sistem ini seharusnya dapat memberikan sinyal pasar yang kuat dan insentif tambahan bagi pelaku industri yang telah melakukan efisiensi emisi.

    “Belum tersedianya strategi perdagangan hijau dan dukungan konkret untuk membantu industri beradaptasi terhadap standar ekspor yang semakin ketat juga menunjukkan perlunya penguatan kebijakan dari sisi permintaan industri hijau,” tambah laporan tersebut.

    Pada aspek kebijakan pendukung, CSIS mencatat beberapa inisiatif penting yang sedang berjalan. Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 2.0 telah mulai memasukkan sektor industri dalam kategorisasi aktivitas ekonomi hijau.

    TKBI adalah sistem klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial.

    Namun, CSIS menilai TKBI ini belum menyediakan indikator teknis yang cukup rinci untuk setiap subsektor industri, sehingga sulit digunakan sebagai acuan pemberian insentif pembiayaan hijau yang lebih terarah.

    CSIS merekomendasikan beberapa kebijakan kunci untuk mempercepat transisi industri hijau di Indonesia. Ini mencakup penguatan kebijakan terintegrasi, penyelarasan standar dan sertifikasi industri hijau, pengembangan permintaan untuk produk hijau, dan reformasi kebijakan energi untuk mendukung inisiatif ini.

    Menurut CSIS, transisi ini sangat penting karena permintaan dari sektor publik dan swasta di negara-negara maju terhadap produk dan jasa industri hijau terus meningkat, menjadikannya faktor penentu akses pasar dan investasi.

  • Sejjil ‘Senjata Burung Ababil’, Nama Rudal Iran Saat Gempur Israel

    Sejjil ‘Senjata Burung Ababil’, Nama Rudal Iran Saat Gempur Israel

    Jakarta

    Iran meluncurkan senjata burung ababil ‘Sejjil’ saat menggempur Israel. Senjata jenis rudal balistik jarak menengah, Sejjil-2, itu pertama kali digunakan Iran dalam perang ini.

    Dirangkum detikcom, Jumat (20/6/2025), senjata rudal Sejjil diluncurkan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC)dalam serangan ke Israel. Ini menjadi kali pertama Iran menggunakan rudal tersebut secara langsung dalam konflik bersenjata antara Iran dan Israel.

    Menurut IranWire, sebagaimana dilansir The Economic Times, peluncuran rudal itu merupakan bagian dari ‘Operasi Janji Sejati 3’, yakni rangkaian serangan pembalasan yang diluncurkan Iran. Meski tingkat kerusakan di wilayah Israel masih diverifikasi oleh pengamat independen dan analis militer, IRGC mengklaim telah menghantam beberapa target strategis seperti kantor Mossad, pangkalan angkatan udara, dan pusat intelijen.

    Sementara itu, akun X (sebelumnya Twitter) Daily Iran Military melaporkan bahwa ‘gelombang kedua belas’ dari operasi tersebut mencakup peluncuran rudal Sejjil ke arah yang mereka sebut sebagai “wilayah pendudukan Palestina.”

    Apa Itu Rudal Sejjil?

    Mengutip dari situs CSIS Missile Defense Project, rudal Sejjil adalah rudal balistik jarak menengah (medium-range ballistic missile/MRBM) buatan dalam negeri Iran yang menggunakan bahan bakar padat (solid-propellant). Berbeda dengan rudal berbahan bakar cair seperti Shahab-3, rudal berbahan bakar padat seperti Sejjil tidak memerlukan proses pengisian bahan bakar sebelum peluncuran sehingga lebih cepat dikerahkan dan sulit terdeteksi.

    Rudal ini menggunakan sistem dua tahap (two-stage) dan dikembangkan sebagai bagian dari program strategis Iran untuk memperkuat kemampuan pertahanannya tanpa bergantung pada teknologi asing. Uji coba pertama dilakukan pada November 2008, diikuti pengembangan lanjutan ke versi Sejjil-2.

    Sekilas Makna Nama ‘Sejjil’

    Foto: Ilustrasi rudal Iran Sejjil (NurPhoto via Getty Images/NurPhoto).

    Sebagai informasi, kata “Sejjil” (سِجِّيل) berasal dari bahasa Arab dan disebut dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surah Al-Fil ayat 4. Dalam konteks tersebut, “sejjil” merujuk pada batu dari “tanah liat yang dibakar”, yang digunakan oleh burung Ababil untuk menghancurkan pasukan bergajah. Nama ini juga digunakan dalam bahasa Persia dengan makna yang serupa.

    Riwayat Penggunaan dan Pengembangan

    Peluncuran uji coba pertama Sejjil dilakukan pada 2008 dan mencapai jarak sekitar 800 km. Pada Mei 2009, peluncuran kedua dilakukan untuk menguji sistem pemandu dan navigasi yang lebih akurat. Sejak saat itu, beberapa uji coba tambahan dilakukan dengan hasil yang lebih maksimal, termasuk uji terbang sejauh 1.900 km ke arah Samudra Hindia.

    Iran menyebut varian uji coba tahun 2009 sebagai Sejjil-2. Sementara itu, laporan yang belum terkonfirmasi menyebutkan bahwa Iran tengah mengembangkan Sejjil-3, yang diperkirakan akan memiliki tiga tahap, jangkauan hingga 4.000 km, dan bobot peluncuran sekitar 38.000 kg.

    Setelah lebih dari satu dekade tidak aktif, rudal Sejjil kembali dimunculkan dalam latihan militer “Nabi Azam 15” pada Januari 2021.

    Spesifikasi Rudal Sejjil Milik Iran

    Berdasarkan data dari CSIS Missile Defense Project, berikut adalah spesifikasi teknis rudal Sejjil:

    Nama lain: Ashoura, Ashura, Sajil, SajjilJenis rudal: Balistik jarak menengah (MRBM)Jangkauan maksimum: Sekitar 2.000 kilometer (km)Jenis bahan bakar: Padat (solid-propellant)Tahap peluncuran: Dua tahapPanjang: Sekitar 18 meter (m)Diameter: Sekitar 1.25 meter (m)Berat peluncuran: Sekitar 23.600 kilogram (kg)Kemampuan hulu ledak: Diduga mampu membawa hulu ledak konvensional atau non-konvensionalKemampuan peluncuran: Dari platform mobile launcher, meningkatkan fleksibilitas dan kerahasiaan operasi.

    Kemampuannya untuk diluncurkan dari kendaraan mobile memberi Iran fleksibilitas strategis dan kemampuan bertahan lebih tinggi terhadap serangan pendahulu (pre-emptive strike).

    Lihat juga Video: Momen Iran Tembakkan Rudal-rudalnya ke Israel

    Halaman 2 dari 2

    (whn/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • GRP dorong sinergi kebijakan dan Industri perkuat daya saing nasional

    GRP dorong sinergi kebijakan dan Industri perkuat daya saing nasional

    Jakarta (ANTARA) – PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP), produsen baja terintegrasi di Indonesia mendorong sinergi antara pemerintah selaku penyusun kebijakan dengan industri guna memperkuat daya saing nasional.

    Presiden Direktur GRP, Fedaus menyatakan membangun daya saing nasional tidak bisa dilakukan secara terpisah, sebaliknya diperlukan pendekatan yang lebih terintegrasi antara pemerintah, pelaku industri, dan institusi riset agar kebijakan industri responsif serta progresif.

    “Sinergi antara kebijakan dan pelaku industri adalah kunci. Kebijakan yang tepat sasaran harus lahir dari pemahaman menyeluruh terhadap realita industri di lapangan,” katanya dalam peluncuran Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di Jakarta, Jumat.
    .
    Sebaliknya, lanjut dia, industri juga harus mampu beradaptasi dan berinovasi dalam kerangka kebijakan yang semakin menekankan keberlanjutan dan daya saing global.

    Dalam sesi diskusi panel bertema “Mencapai Resiliensi dan Keberlanjutan di Tengah Ketidakpastian” itu Fedaus menegaskan bahwa posisi industri baja sangat strategis bagi keberlangsungan sektor industri lain.

    Ia menyebut baja sebagai “Mother of Industry”, istilah yang menggambarkan peran baja sebagai fondasi utama dari hampir seluruh aspek pembangunan nasional.

    Oleh karena itu, tambahnya, transformasi industri baja sebagai bagian dari strategi jangka panjang menghadapi perubahan global dan transisi ekonomi rendah karbon merupakan hal yang penting dilakukan.

    GRP, menurut dia menekankan bahwa dekarbonisasi bukan sekadar tanggung jawab perusahaan individu. Lebih dari itu, dekarbonisasi juga merupakan agenda kolektif untuk menjadikan industri baja Indonesia lebih kompetitif secara internasional.

    Terkait dekarbonisasi itu pula, GRP telah menjalankan berbagai langkah nyata. Mulai penyusunan Net Zero Roadmap hingga pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap berkapasitas 9,3 MWp.

    Upaya ini diperkuat melalui peningkatan tata kelola dan pelaporan tahunan terkait keberlanjutan, seperti perolehan skor CDP Climate Change B- pada 2024, serta penguatan daya saing produk melalui sertifikasi Environmental Product Declaration (EPD).

    “Kami melihat dekarbonisasi sebagai bagian dari strategi industri, bukan sekadar kewajiban lingkungan. Dunia akan semakin selektif terhadap produk dengan jejak karbon rendah. Jika industri baja nasional ingin tetap bersaing, kita harus memulai dari sekarang, bersama-sama,” katanya.

    Menyinggung partisipasi GRP dalam forum CSIS, Fedaus menjelaskan hal itu merupakan bagian dari komitmen perusahaan untuk terlibat aktif dalam pembentukan arah kebijakan industri nasional yang tangguh, adaptif, dan relevan terhadap tantangan global, serta menjawab kebutuhan keberlanjutan masa depan secara kolaboratif.

    Pewarta: Subagyo
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • CSIS ungkap tantangan kebijakan industri hijau di Indonesia

    CSIS ungkap tantangan kebijakan industri hijau di Indonesia

    Jakarta (ANTARA) – Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut bahwa transisi Indonesia menuju industri hijau masih menghadapi sejumlah tantangan kebijakan, baik dari sisi pasokan, permintaan, maupun kebijakan pendukung.

    Dari sisi pasokan, Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang dirilis CSIS di Jakarta, Jumat, menemukan bahwa meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas fiskal dan non-fiskal bagi pelaku usaha, sebagai besar insentif tersebut masih bersifat umum dan belum secara spesifik diarahkan untuk mendorong transisi hijau.

    Selain itu, sertifikasi industri hijau, yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 39 Tahun 2018, masih bersifat sukarela.

    “Sertifikasi ini juga belum terintegrasi dengan skema insentif fiskal maupun dijadikan prasyarat untuk mengakses pasar tertentu,” demikian laporan tersebut.

    Dari sisi permintaan, laporan tersebut menyebut bahwa meskipun kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan telah dituangkan dalam beberapa dokumen perencanaan, implementasinya masih sangat terbatas.

    Indonesia juga saat ini belum memiliki sistem pelabelan karbon untuk produk-produk industri. Menurut laporan CSIS, sistem ini seharusnya dapat memberikan sinyal pasar yang kuat dan insentif tambahan bagi pelaku industri yang telah melakukan efisiensi emisi.

    “Belum tersedianya strategi perdagangan hijau dan dukungan konkret untuk membantu industri beradaptasi terhadap standar ekspor yang semakin ketat juga menunjukkan perlunya penguatan kebijakan dari sisi permintaan industri hijau,” tambah laporan tersebut.

    Pada aspek kebijakan pendukung, CSIS mencatat beberapa inisiatif penting yang sedang berjalan. Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 2.0 telah mulai memasukkan sektor industri dalam kategorisasi aktivitas ekonomi hijau.

    TKBI adalah sistem klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial.

    Namun, CSIS menilai TKBI ini belum menyediakan indikator teknis yang cukup rinci untuk setiap subsektor industri, sehingga sulit digunakan sebagai acuan pemberian insentif pembiayaan hijau yang lebih terarah.

    CSIS merekomendasikan beberapa kebijakan kunci untuk mempercepat transisi industri hijau di Indonesia. Ini mencakup penguatan kebijakan terintegrasi, penyelarasan standar dan sertifikasi industri hijau, pengembangan permintaan untuk produk hijau, dan reformasi kebijakan energi untuk mendukung inisiatif ini.

    Menurut CSIS, transisi ini sangat penting karena permintaan dari sektor publik dan swasta di negara-negara maju terhadap produk dan jasa industri hijau terus meningkat, menjadikannya faktor penentu akses pasar dan investasi.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perundingan Dagang Indonesia-Eropa Tak Kunjung Rampung, Ternyata Ini Gara-garanya – Page 3

    Perundingan Dagang Indonesia-Eropa Tak Kunjung Rampung, Ternyata Ini Gara-garanya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perdagangan kembali menyoroti perjanjian ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Eropa. Molornya perundingan itu tak sebatas bicara mengenai penetapan tarif ekspor-impor antar kedua pihak.

    Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Internasional Kemendag, Olvy Andrianita menyampaikan perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) buka hanya perkara naik-turunnya tarif.

    “Debatable EU, bukan cuma tarif turun, tarif naik, tarif turun, tarif naik, enggak, bukan di situ. TSD, Trade and Sustainable Development, itu masih menjadi debatable sampai hari ini,” kata Olvy dalam Peluncuran Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025, di Auditorium CSIS, Jakarta, Jumat (20/6/2025).

    Olvy mengatakan isu keberlanjutan itu menjadi bahasan serius. Menurutnya, Uni Eropa sendiri tidak benar-benar menjalankan prinsip itu dengan maksimal. Dia enggan jika ada standar ganda yang diberlakukan ke Indonesia.

    Dia menegaskan kembali, kalau panjangnya perundingan tersebut bukan merupakan perdebatan pada satu aspek. Tapi, ada kepentingan yang sama-sama perlu menjadi perhatian.

    “Bukan perdebatan, artinya kita itu sama-sama concern di hal yang sama. Jadi perdagangan itu kan bukan cuma dagang, bukan cuma tarif, tetapi ada juga aspek lain yang kita harus disepakati bersama. Nah trade and sustainable, ini development, ini menjadi salah satu isu bahasan penting di dalam perundingan dengan EU,” tutur dia.

     

  • Indonesia perlu selaraskan standar produk agar masuk ke pasar global

    Indonesia perlu selaraskan standar produk agar masuk ke pasar global

    Jakarta (ANTARA) – Indonesia harus menyelaraskan standar produk domestiknya dengan standar yang berlaku di pasar global jika ingin memperkuat daya saing ekspor dan memenuhi tuntutan pasar internasional yang makin mengedepankan keberlanjutan.

    Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang dirilis CSIS di Jakarta, Jumat, menyoroti bahwa meskipun pemerintah telah menunjukkan komitmen kuat terhadap transisi industri hijau melalui berbagai dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, tapi kebijakan dan ketidaksesuaian standar nasional dengan internasional masih menjadi tantangan.

    CSIS menemukan produk-produk Indonesia kesulitan memenuhi persyaratan ekspor, yang pada akhirnya melemahkan posisi Indonesia dalam rantai pasok global yang makin mengedepankan aspek keberlanjutan.

    Oleh karena itu, CSIS merekomendasikan agar kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab atas agenda industri hijau memastikan bahwa standar nasional selaras dengan standar yang berlaku di pasar global.

    “Harmonisasi ini penting untuk meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia dalam rantai nilai global,” demikian laporan tersebut.

    Untuk mendukung harmonisasi ini, laporan CSIS juga merekomendasikan perlunya sistem sertifikasi yang transparan, kredibel, disertai insentif fiskal seperti pengurangan pajak bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi hijau, kesepakatan ekonomi hijau dengan negara mitra, serta permodalan untuk memenuhi standar serta insentif non-fiskal seperti percepatan perizinan dan ketersediaan infrastruktur energi ramah lingkungan.

    Selain harmonisasi standar, CSIS juga merekomendasikan beberapa langkah kunci lainnya: penguatan kebijakan terintegrasi untuk agenda industri hijau secara keseluruhan, pengembangan ekosistem permintaan produk hijau melalui program green public procurement, reformasi kebijakan energi, penerapan carbon pricing yang menyeluruh, serta pengembangan skema pembiayaan inovatif untuk berbagi risiko investasi.

    “Pemerintah juga dapat berperan sebagai first-loss guarantee untuk menarik investasi swasta, melihat opsi-opsi seperti kerja sama publik badan usaha internasional, ataupun memobilisasi sumber daya yang tersedia di Danantara,” tambah laporan itu.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Adi Lazuardi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • CSIS sebut Indonesia berpotensi jadi produsen baja hijau dunia

    CSIS sebut Indonesia berpotensi jadi produsen baja hijau dunia

    Jadi sudah ada ekosistem yang terbentuk dari baja hijau.

    Jakarta (ANTARA) – Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi produsen baja hijau dunia, sebuah langkah yang tidak hanya mendukung target dekarbonisasi, tetapi juga membuka pintu ke pasar ekspor global yang kian menuntut produk berkelanjutan.

    Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang dirilis CSIS di Jakarta, Jumat, menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil baja terbesar di Asia Tenggara, bahkan Indonesia menempati peringkat ke-4 sebagai eksportir baja terbesar pada 2023, dengan China menjadi tujuan utama ekspor baja (69 persen), diikuti oleh Taipei (8 persen), India (6 persen), dan Vietnam (4 persen).

    Pada 2023, kapasitas produksi baja Indonesia mencapai 16 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 33 juta-35 juta ton pada 2030.

    Laporan tersebut menyebut bahwa perkembangan ini, ditambah dengan inisiatif beberapa perusahaan seperti PT Gunung Raja Paksi dan PT Krakatau Posco yang sudah mulai beralih ke teknologi yang lebih bersih, membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya dalam rantai pasok global industri baja hijau.

    Namun, Research Associate Climate Policy Research Unit CSIS Indonesia Via Azlia mengatakan bahwa perjalanan menuju dominasi baja hijau di pasar global tidak tanpa hambatan. Salah satu tantangan utama adalah harga baja hijau yang lebih tinggi, membuatnya kurang kompetitif di pasar domestik dibandingkan produk konvensional.

    Selain itu, produk baja impor yang belum memenuhi standar lingkungan menciptakan persaingan yang tidak adil bagi produsen domestik yang berupaya untuk lebih berkelanjutan. Via juga menyoroti ketidaksesuaian standar yang kini dimiliki Indonesia dengan standar internasional.

    Dari sisi regulasi, Via menyebut Indonesia masih menghadapi fragmentasi kebijakan terkait industri hijau. Belum ada kerangka kebijakan yang menyeluruh atau “payung” yang dapat mengintegrasikan berbagai inisiatif seperti India yang sudah memiliki green steel taxonomy, yang menciptakan ekosistem pendukung bagi baja hijau.

    “Jadi sudah ada ekosistem yang terbentuk dari baja hijau. Dan juga kalau kita lihat tantangan implementasinya sendiri penggunaan energi memang masih menjadi tantangan karena masih bergantung pada batu bara,” kata Via.

    Laporan tersebut merekomendasikan beberapa kebijakan yang dapat mendorong percepatan transisi menuju industri hijau di Indonesia, antara lain penguatan kebijakan terintegrasi untuk agenda industri hijau, harmonisasi standar serta sertifikasi industri hijau, serta pengembangan ekosistem permintaan terhadap produk hijau.

    Lebih lanjut, laporan tersebut menyebutkan bahwa dekarbonisasi industri-industri dengan emisi tinggi seperti besi dan baja menjadi penting.

    Sebab, dari sisi permintaan, perhatian sektor publik dan swasta di negara-negara maju terkait cara produksi yang lebih hijau dan jasa industri hijau terus bertumbuh, sehingga seringkali menjadi faktor penentu untuk mendapatkan akses pasar ke dalam negeri mereka maupun investasi mereka di luar negeri.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Wamendag Indonesia perlu lebih mempromosikan komoditas hijau

    Wamendag Indonesia perlu lebih mempromosikan komoditas hijau

    Isu ini menjadi perhatian publik, kalau dari konteks perdagangan berarti bagaimana kita bisa mendorong dan mempromosikan ekonomi hingga memajukan ekonomi hijau

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti menyebut Indonesia harus terus menggali dan mempromosikan komoditas hijau karena saat ini pasar global mulai beralih ke perdagangan yang ramah lingkungan atau berkelanjutan.

    Menurutnya, saat ini masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap pertumbuhan ekonomi hijau. Dalam konteks perdagangan ini, Pemerintah harus bisa menggali bagaimana komoditas hijau ini bisa berkembang.

    “Isu ini menjadi perhatian publik, kalau dari konteks perdagangan berarti bagaimana kita bisa mendorong dan mempromosikan ekonomi hingga memajukan ekonomi hijau,” ujar Roro dalam acara Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 di kantor CSIS, Jakarta, Jumat.

    Roro menyampaikan pemerintah telah berkomitmen bahwa Indonesia akan nol emisi karbon atau net zero emissions pada 2060. Hal ini juga sudah disepakati oleh lintas sektor dan bersama-sama didorong percepatannya.

    Dari sisi perdagangan sendiri, terdapat perjanjian-perjanjian dagang yang mengedepankan komoditas ramah lingkungan, mulai dari hulu hingga ke hilirnya.

    “Saya ingin mendorong agar kemudian awareness ini kita gali lagi dan kami di pemerintah juga berkomitmen untuk bekerja sama dalam mencari solusi terbaik,” kata Roro.

    Ia juga menyampaikan, saat ini negara-negara di dunia menghadapi berbagai tantangan ekonomi yang sama. Menurutnya, Indonesia terus berupaya untuk memperbaiki hubungan dagang dengan negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa.

    Menurutnya, hubungan bilateral antarnegara semakin dikuatkan dengan kolaborasi dan kerja sama.

    Selain itu, pemerintah khususnya Kementerian Perdagangan terus membaca perubahan kebiasaan konsumsi Indonesia. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar didorong oleh sektor konsumsi.

    “Bagaimana ke depannya kita bisa semakin, bagaimana kita bisa memperkuat kebiasaan masyarakat ini yang ternyata juga menjadi bagian dari pendorong atau penggerak lokomotif dari pertumbuhan ekonomi nasional,” imbuhnya.

    Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
    Editor: Faisal Yunianto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rudal AS Bisa Hancurkan Bunker Nuklir Iran Seketika, Ini Teknologinya

    Rudal AS Bisa Hancurkan Bunker Nuklir Iran Seketika, Ini Teknologinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat memiliki senjata super canggih yang diyakini menjadi satu-satunya yang mampu menghancurkan fasilitas nuklir Iran yang tersembunyi jauh di dalam tanah.

    Senjata itu adalah GBU-57 Massive Ordnance Penetrator (MOP), bom penghancur bunker seberat 13,6 ton yang dikembangkan untuk menembus perlindungan beton dan batuan sedalam 61 meter, sebelum meledak.

    Desain untuk bom ini dimulai pada awal 2000-an, dan pesanan untuk 20 unit yang ditempatkan pada Boeing pada tahun 2009.

    Bom GBU-57 didesain khusus untuk menghancurkan target yang terlindungi. Dengan panjang 6,6 meter, bom ini memiliki lapisan baja keras dan peledak berfuse khusus yang tidak langsung meledak saat menabrak permukaan.

    Senjata ini akan menembus lapisan beton dan batu sebelum meledak tepat di target terdalam.

    “Senjata ini dirancang dengan selongsong baja yang agak tebal, baja yang dikeraskan, untuk menembus lapisan batu ini,” kata Masao Dahlgren, seorang peneliti di bidang pertahanan rudal di Center for Strategic and International Studies (CSIS), dikutip dari AFP, Kamis (19/6/2025).

    Satu-satunya pesawat yang mampu membawa dan menjatuhkan bom ini adalah B-2 Bomber, pesawat siluman milik AS. Tiap pesawat bisa membawa dua unit GBU-57.

    Menurut pengamatan citra satelit, sejumlah pesawat B-2 sempat terlihat di pangkalan militer Diego Garcia, Samudera Hindia, pada awal Mei lalu, lokasi strategis yang memungkinkan operasi ke Timur Tengah.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • IHSG ditutup melemah seiring pasar cermati tensi di Timur Tengah

    IHSG ditutup melemah seiring pasar cermati tensi di Timur Tengah

    Jakarta (ANTARA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore ditutup melemah seiring pelaku pasar tengah mencermati meningkatnya konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah.

    IHSG ditutup melemah 139,15 poin atau 1,96 persen ke posisi 6.968,64. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 17,95 poin atau 2,26 persen ke posisi 774,81.

    “IHSG dan bursa regional Asia bergerak melemah seiring sikap kegelisahan pelaku pasar diguncang oleh meningkatnya konflik antara Israel dan Iran,” ujar Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus di Jakarta, Kamis.

    Amerika Serikat (AS) disebut sedang mempersiapkan serangan potensial terhadap Iran, yang meningkatkan kekhawatiran terhadap ketidakstabilan regional yang lebih luas, serta keterlibatan AS yang lebih dalam.

    Hal itu dilatarbelakangi seiring AS mempertimbangkan potensi konflik langsung dengan Iran. Pejabat senior AS sedang mempersiapkan kemungkinan serangan terhadap Iran dalam beberapa hari mendatang.

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump telah mengadakan pertemuan dengan Dewan Keamanan Nasional untuk membahas konflik antara Iran dan Israel, sambil mempertimbangkan kemungkinan keterlibatan dalam serangan militer Israel terhadap Iran.

    Hal itu berpotensi meningkatkan ketegangan internasional dan eskalasi konflik yang dapat menyebabkan kerugian besar, serta dampak terhadap stabilitas regional dan hubungan diplomatik AS dengan negara-negara lain.

    Di sisi lain, The Fed dalam pertemuannya mempertahankan suku bunga pada level tetap 4.25-4.50 persen. Pasar menilai keputusan tersebut setelah mempertimbangkan dengan berhati-hati di tengah kekhawatiran atas dampak inflasi dari tarif Presiden AS Donald Trump.

    Ketua The Fed Jerome Powell memperingatkan inflasi yang signifikan ke depan, bahwa kenaikan tarif dagang kemungkinan akan meningkatkan harga dan menambah bahwa dampak terhadap inflasi bis lebih persisten. Sehingga ketidakpastian yang disebabkan oleh tarif mempersulit upaya bank sentral untuk melonggarkan kebijakan.

    Dibuka melemah, IHSG betah di teritori negatif sampai penutupan sesi pertama perdagangan saham. Pada sesi kedua, IHSG masih betah di zona merah hingga penutupan perdagangan saham.

    Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, sebelas atau semua sektor melemah yaitu paling dalam sektor barang baku yang minus 3,98 persen, diikuti oleh sektor transportasi & logistik dan sektor energi yang masing-masing turun sebesar 3,58 persen dan 1,74 persen.

    Saham-saham yang mengalami penguatan terbesar yaitu CSIS, LABA, NZIA, PTMR, dan BALI. Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar yakni OBAT, CBUT, MBSS, IOTF, dan KOPI.

    Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 1.453.227 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 24,90 miliar lembar saham senilai Rp13,96 triliun. Sebanyak 92 saham naik, 571 saham menurun, dan 139 tidak bergerak nilainya.

    Bursa saham regional Asia sore ini antara lain indeks Nikkei menguat 256,17 poin atau 0,67 persen ke 38.567,50, indeks Hang Seng melemah 80,69 poin atau 0,53 persen ke 23.980,48, indeks Shanghai menguat 1,32 poin atau 0,04 persen ke 3.387,78, dan indeks Strait Times melemah 22,18 poin atau 0,57 persen ke 3.930,64.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.