NGO: CSIS

  • Paket Dagang Vietnam Lebih Menggiurkan, Indonesia Terancam dalam Negosiasi Tarif Trump

    Paket Dagang Vietnam Lebih Menggiurkan, Indonesia Terancam dalam Negosiasi Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai paket dagang yang ditawarkan Vietnam kepada AS jauh lebih menggiurkan dibandingkan dengan Indonesia, sehingga dinilai wajar apabila Negeri Paman Sam lebih memprioritaskan Vietnam dalam negosiasi tarif.

    Dandy Rafitrandi, peneliti pada Department of Economics CSIS menyebut posisi perdagangan Vietnam dan Indonesia terhadap AS sangat berbeda, baik dari sisi skala maupun dampak ekonominya.

    “Kalau AS mau menurunkan defisit neraca perdagangannya, deal dengan Vietnam ini sudah cukup besar dampaknya. Defisit AS dengan Vietnam jauh lebih besar dibandingkan dengan Indonesia,” ujarnya dalam media briefing di Kantor CSIS, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).

    Dia mencontohkan, simulasi CSIS menunjukkan bahwa jika Vietnam menurunkan tarif impor menjadi 0% atas produk AS maka ekspor Negeri Paman Sam bisa naik hingga US$3 miliar per tahun. Angka tersebut bisa berulang setiap tahun sehingga potensi manfaatnya bagi AS bisa terus bertambah seiring waktu.

    Selain itu, deal antara Vietnam-AS beberapa waktu lalu juga menyepakati tarif sebesar 20% atas barang Vietnam yang masuk AS. Dandy mengungkapkan, kesepakatan itu bisa membuat penerimaan AS bertambah US$30 miliar per tahun.

    Di sisi lain, pemerintah Indonesia hanya menawarkan paket impor dan investasi sebesar US$34 miliar ke AS. Meski lebih besar dari tawaran Vietnam ke AS, namun Dandy mengingatkan bahwa paket yang ditawarkan Indonesia tidak berkelanjutan (one-off) seperti yang ditawarkan Vietnam.

    “Jadi kalau tadi dibilang bahwa Indonesia mempunyai paket sebesar US$34 miliar dolar yang kita offer [tawarkan], berarti agak tidak apple to apple [setara] karena Vietnam itu menawarkan US$30 miliar ini per tahun,” paparnya.

    Lebih jauh, Dandy menyoroti pentingnya koordinasi antara negara-negara Asean untuk menghadapi tekanan tarif dari AS. Menurutnya, Indonesia perlu menghindari kebijakan yang bersifat scattered atau tidak terkoordinasi, agar tidak saling menjatuhkan di kawasan.

    Dandy menyarankan, solusi terbaik bagi Asean adalah menyusun respons yang terkoordinasi, dengan tetap mengedepankan prinsip non-discriminatory dan most favored nation (MFN) dalam sistem perdagangan multilateral.

    Meski demikian, dia mengakui, langkah ini membutuhkan kemauan politik yang kuat dari seluruh negara Asean, yang hingga saat ini masih menjadi tantangan tersendiri.

    “Dibandingkan nanti Vietnam sudah deal sendiri, Thailand kalau tidak salah juga akan buka 0%. Ini jadi makan teman sendiri. Itu yang kita ingin hindarkan dari negosiasi Trump ini,” ungkapnya.

    RI Ingin Punya Tarif Terendah

    Pemerintah menargetkan agar tarif impor yang dikenakan AS terhadap produk asal Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asean lain.

    Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto menyampaikan bahwa pemerintah masih berupaya keras melobi AS untuk menurunkan tarif resiprokal 32% yang sebelumnya diumumkan Presiden AS Donald Trump.

    Dia menegaskan bahwa angka 32% tersebut belum final karena masih ada ruang negosiasi yang terbuka, setidaknya sebelum berlaku pada 1 Agustus 2025 seperti yang diumumkan Trump.

    “Targetnya kita [setara dengan yang] rendah di Asean atau mungkin lebih rendah,” ujar Haryo dalam keterangan pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025).

  • Negosiasi Tarif 32% Trump, CSIS Dorong Pemerintah Tawarkan ‘Pemanis’ Non-Ekonomi

    Negosiasi Tarif 32% Trump, CSIS Dorong Pemerintah Tawarkan ‘Pemanis’ Non-Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai perlu memperluas strategi negosiasi dengan Amerika Serikat terkait kebijakan tarif yang ditetapkan sebesar 32% per 1 Agustus 2025. Negosiasi bukan hanya mengandalkan insentif ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan instrumen non-ekonomi yang relevan dengan kepentingan Presiden AS Donald Trump.

    Peneliti Departemen Hubungan Internasional Center for Strategic and International Studies (CSIS) Muhammad Habib menilai bahwa selama ini Indonesia cenderung fokus pada economic sweetener atau insentif ekonomi semata dalam upaya menekan tarif AS.

    “Akan lebih baik apabila misalnya pemerintah juga mempertimbangkan aspek-aspek non-ekonomi untuk bernegosiasi dengan Trump. Ada aspek kebijakan luar negeri, beberapa area kerjasama, yang mungkin kita bisa tawarkan,” ujarnya dalam media briefing di Kantor CSIS, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).

    Habib mencontohkan, sejumlah isu non-ekonomi yang menjadi perhatian utama Trump yaitu imigrasi, pemberantasan narkotika seperti fentanyl, transshipment, serta sikap terhadap kebijakan anti-AS di kawasan. Menurutnya, isu-isu itu bisa dijadikan pintu masuk untuk negosiasi.

    Dia mendorong pemerintah menawarkan kerja sama di bidang-bidang tersebut kepada AS, asalkan tidak menomorduakan kepentingan nasional.

    “Apa yang sangat dipedulikan oleh Trump tentunya adalah konstituennya, maka kita juga harus melakukan pendekatan untuk memahami apa yang sebenarnya bisa menjual di hadapan konstituennya Trump,” paparnya.

    Di luar isu non-ekonomi, Habib juga menyoroti potensi besar Indonesia dalam perdagangan mineral kritis, khususnya timah, yang bisa menjadi instrumen tawar-menawar penting dalam negosiasi dagang dengan AS.

    Menurutnya, timah dari Indonesia sebenarnya sudah menjadi bahan baku penting bagi perusahaan-perusahaan teknologi besar asal AS seperti Apple, Microsoft, hingga Nvidia meski tanpa adanya perjanjian khusus terkait mineral kritis.

    Dia juga mencatat bahwa Executive Order terkait tarif yang diterbitkan AS secara spesifik mengecualikan mineral kritis mentah dari pengenaan tarif tinggi.

    “Ini yang kemudian perlu dikomunikasikan lebih lanjut bagaimana misalnya Indonesia dan AS bisa bekerjasama untuk eksplorasi soal critical mineral ini,” ungkapnya.

    Indonesia Kena Tarif 32%

    Adapun Trump mengumumkan bahwa Indonesia akan tetap dikenakan tarif resiprokal sebesar 32% pada 1 Agustus 2025 melalui surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto yang diunggah di akun Truth Social @realDonaldTrump pada Selasa (8/7/2025).

    Sebagai perbandingan, Thailand dikenakan tarif 36%, Kamboja 36%, Bangladesh 35%, Myanmar 40%, Laos 40%. Sementara itu, Malaysia, Korea Selatan, Jepang dikenakan tarif 25%.

    Tanggapi keputusan itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berada di Washington sejak Rabu (9/7/2025) waktu setempat untuk melanjutkan negosiasi tarif. Airlangga dijadwalkan akan bertemu dengan perwakilan USTR (Kantor Perwakilan Dagang AS), Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick, dan Menteri Keuangan AS Scott Bessent.

    Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto menyampaikan bahwa pemerintah masih berupaya keras melobi AS untuk menurunkan tarif resiprokal 32% yang diumumkan Trump.

    Dia menegaskan bahwa angka 32% tersebut belum final karena masih ada ruang negosiasi yang terbuka, setidaknya sebelum berlaku pada 1 Agustus 2025 seperti yang diumumkan Trump.

    “Targetnya kita [setara dengan yang] rendah di Asean atau mungkin lebih rendah,” ujar Haryo dalam keterangan pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025).

  • RI Kena Tarif Trump 32%, Bisa Picu Pengangguran-Ekspor Loyo

    RI Kena Tarif Trump 32%, Bisa Picu Pengangguran-Ekspor Loyo

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengirimkan surat kepada Presiden RI Prabowo Subianto mengenai penetapan tarif untuk Indonesia sebesar 32%. Tarif itu akan resmi berlaku mulai 1 Agustus 2025.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan tarif ini akan mengakibatkan turunnya nilai ekspor Indonesia hingga Rp 105,9 triliun. Kemudian turunnya output ekonomi nasional sebesar Rp 164 triliun.

    “Jadi ini cukup signifikan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia, karena beberapa sektor padat karya masih bergantung pada Amerika Serikat. Alas kaki pakaian jadi dominan ke Amerika,” katanya saat dihubungi detikcom, Selasa (8/7/2025).

    Bhima menambahkan, dampak langsung yang akan dirasakan masyarakat ialah menurunnya pendapatan tenaga kerja di Indonesia. Ia menyebut penurunan pendapatan tenaga kerja mencapai Rp 52 triliun.

    Kemudian, ia menyebut bahwa tarif 32% ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan serapan tenaga kerja hingga mencapai 1,2 juta orang. Hal ini karena tarif ini sangat berdampak terhadap industri padat karya.

    “Itu dampak langsungnya bagi masyarakat soal pengangguran dan pendapatan tenaga kerja turun tajam,” katanya.

    Dengan kondisi tersebut, Bhima mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna merespons kebijakan tarif tersebut dengan melakukan diversifikasi tujuan ekspor ke sejumlah negara lain.

    “Salah satunya ke Intra ASEAN, kemudian lebih penetrasi lagi ke negara BRICS. Atau ke daerah lain misalnya di Timur Tengah, kemudian Amerika Latin, Asia Selatan juga. Jadi mau nggak mau memang harus terus melakukan perluasan pasar ekspor,” katanya.

    Senada, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan bahwa tarif ini akan berdampak terhadap menurutnya ekspor Indonesia ke AS. Terlebih ekspor Indonesia ke AS lebih banyak padat karya yang bakal menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor tersebut.

    “Tentunya akan ada pressure, akan ada challenge juga terhadap industri padat karya ini. Termasuk juga kemungkinan pemutusan hubungan kerja seperti misalnya industri tekstil atau garment saja itu ada sekitar 1 juta orang yang terlibat di dalamnya. Dan itu kalau misalnya ekspor yang ke Amerika Serikat akan turun tentunya akan berdampak terhadap employment di sektor ini,” katanya saat dihubungi detikcom.

    Tonton juga “Trump Bakal Kenakan tarif 50% Pada Impor Tembaga” di sini:

    (acd/acd)

  • Deal! Trump Turunkan Tarif Impor Vietnam Jadi 20%, Bagaimana Nasib RI?

    Deal! Trump Turunkan Tarif Impor Vietnam Jadi 20%, Bagaimana Nasib RI?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan dagang baru dengan Vietnam yang secara signifikan menurunkan tarif impor menjadi 20%, lebih rendah dari yang dijanjikan sebelumnya, dalam upaya meredakan ketegangan menjelang tenggat kebijakan tarif besar-besaran yang dijadwalkan berlaku pada 9 Juli mendatang.

    Presiden Donald Trump pada Rabu (2/7/2025) waktu setempat menyampaikan bahwa kesepakatan tersebut merupakan hasil dari pembicaraan langsungnya dengan pemimpin tertinggi Vietnam, To Lam.

    “Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk mengumumkan bahwa saya baru saja membuat kesepakatan dagang dengan Republik Sosialis Vietnam,” tulis Trump di platform Truth Social.

    Menurut Trump, barang-barang ekspor dari Vietnam kini akan dikenai tarif 20%, jauh lebih rendah dibandingkan rencana tarif 46% yang diumumkan pada April lalu. Namun, barang-barang yang dikirim ulang dari negara ketiga, seperti China melalui Vietnam, akan tetap dikenai tarif lebih tinggi sebesar 40%.

    Trump juga menambahkan bahwa Vietnam akan menerima barang-barang asal AS tanpa bea masuk alias tarif 0%.

    Sementara itu, pemerintah Vietnam dalam pernyataannya membenarkan telah menyepakati sebuah kerangka kerja perdagangan bersama dengan AS, namun tidak merinci angka-angka tarif seperti yang disebutkan oleh Trump.

    Pemerintah Hanoi menyebutkan bahwa mereka akan memberikan akses pasar yang lebih menguntungkan untuk barang-barang AS, termasuk mobil bermesin besar.

    Kesepakatan ini datang hanya beberapa hari sebelum tenggat 9 Juli, di mana Trump berencana menaikkan tarif impor terhadap sebagian besar barang dari negara-negara mitra dagang utama AS jika kesepakatan bilateral belum tercapai. Kebijakan ini menjadi salah satu ciri khas ekonomi Trump yang kontroversial dan berdampak global.

    Sejak Trump memberlakukan tarif terhadap ratusan miliar dolar barang asal China pada masa jabatan pertamanya (2017-2021), perdagangan AS dengan Vietnam melonjak drastis.

    Data dari Biro Sensus AS menunjukkan ekspor Vietnam ke AS meningkat hampir tiga kali lipat dari kurang dari US$50 miliar pada 2018 menjadi sekitar US$137 miliar pada 2024. Namun, ekspor AS ke Vietnam hanya naik sekitar 30% dalam periode yang sama.

    Lonjakan tersebut didorong oleh perusahaan-perusahaan AS yang mencari jalan alternatif untuk menghindari tarif tinggi atas produk asal China. Banyak perusahaan memindahkan proses akhir produksi ke Vietnam sebelum mengirimkannya ke AS, strategi yang dikenal sebagai transshipment.

    “Transshipment adalah istilah yang samar dan sering dipolitisasi dalam penegakan perdagangan. Bagaimana ia didefinisikan dan diterapkan akan membentuk masa depan hubungan dagang AS-Vietnam,” ujar Dan Martin, penasihat bisnis di Dezan Shira & Associates, dikutip dari Reuters.

    Kesepakatan dengan Vietnam menjadi dorongan politik penting bagi Trump, yang tengah berupaya menyelesaikan kesepakatan dagang dengan lebih dari selusin negara sebelum kebijakan tarif baru berlaku.

    Sejauh ini, kesepakatan dengan negara lain seperti Inggris, India, dan China hanya bersifat terbatas dan belum menyentuh akar perbedaan. Perundingan dengan Jepang bahkan dikabarkan mengalami kebuntuan.

    Perundingan dengan Indonesia, yang menghadapi tarif 32%, juga belum menghasilkan kata sepakat.

    Menurut lembaga kajian CSIS, kebijakan Trump yang semula akan memberlakukan tarif 46% sempat menimbulkan kekhawatiran di Hanoi bahwa Vietnam akan kehilangan daya saing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Langkah tersebut juga dinilai bisa mengganggu kepercayaan dan kerja sama keamanan antara kedua negara.

    “Jika Trump tetap pada tarif 46%, itu akan merugikan Vietnam secara kompetitif, khususnya di Asia Tenggara,” kata Murray Hiebert, peneliti senior Program Asia Tenggara di CSIS.

    “Hal ini bisa menggerus kepercayaan Vietnam pada AS dan membuat mereka mengurangi kerja sama keamanan dengan Washington, terutama di saat China mengalihkan perhatiannya dari Vietnam ke Filipina di Laut China Selatan.”

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ketakutan Bayangi AS, Iran Bisa Tiru Korut untuk Kembangkan Nuklir

    Ketakutan Bayangi AS, Iran Bisa Tiru Korut untuk Kembangkan Nuklir

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kekhawatiran atas respons Iran terhadap serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklirnya makin menguat.

    Jim Himes, anggota senior Partai Demokrat di Komite Intelijen DPR AS, memperingatkan bahwa langkah militer tersebut justru berpotensi mendorong Teheran untuk menjalankan program nuklirnya secara sembunyi-sembunyi, mirip dengan pendekatan yang dilakukan Korea Utara.

    Himes menyampaikan keprihatinannya bahwa serangan semacam itu akan menutup pintu diplomasi dan menghilangkan transparansi dari program nuklir Iran.

    “Kekhawatiran saya bukan soal serangan militer terhadap aset Angkatan Laut kita di Bahrain atau pangkalan udara di Qatar. Kekhawatiran saya adalah bahwa Iran akan melakukan persis seperti yang dilakukan Korea Utara,” ujarnya kepada MSNBC, dikutip Kamis (26/6/2025).

    Himes menilai dari sudut pandang Iran, jalur diplomatik telah gagal total. Ia menyinggung keputusan mantan Presiden AS Donald Trump yang pada 2018 menarik diri dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), kesepakatan nuklir 2015 yang sempat memperlambat pengembangan senjata nuklir Iran.

    “Ketika jalur diplomasi terbukti tidak efektif, terutama setelah serangan militer yang diluncurkan Israel awal bulan ini lewat Operasi Rising Lion, Teheran kemungkinan menganggap bahwa hanya kekuatan militer yang dihormati,” lanjut Himes.

    Ia menambahkan bahwa Iran dapat mengambil pelajaran dari negara-negara seperti Ukraina dan Libya yang menyerahkan program nuklir mereka namun tetap menjadi sasaran intervensi asing. “Alternatif [bagi Iran] adalah meniru Korea Utara, yang mengembangkan bom secara diam-diam,” kata Himes.

    Meskipun Presiden Donald Trump mengeklaim bahwa serangan AS telah menghancurkan kemampuan Iran untuk membuat bom nuklir, laporan intelijen awal yang dikutip oleh CNN International dan The New York Times justru meragukan efektivitas operasi tersebut.

    Sementara itu, Daryl Kimball, Direktur Eksekutif Arms Control Association (ACA), menyebut bahwa serangan militer semata tidak akan menghancurkan pengetahuan nuklir yang telah dimiliki Iran.

    “Serangan militer mungkin hanya akan menunda program nuklir Iran untuk sementara. Tapi ini bisa justru menjadi pembenaran bahwa senjata tersebut diperlukan sebagai alat pencegah, dan bahwa Washington tidak tertarik dengan diplomasi,” jelas Kimball dalam pernyataan resminya.

    Kekhawatiran serupa disampaikan oleh lembaga think tank ternama di AS, Center for Strategic and International Studies (CSIS), yang dalam laporannya Oktober 2024 lalu menegaskan bahwa serangan militer bisa mendorong Iran untuk mengalihkan aktivitas nuklir mereka ke bawah tanah, secara harfiah dan metaforis, sehingga semakin sulit dipantau oleh komunitas internasional.

    Presiden Dewan Nasional Iran-Amerika (NIAC), Jamal Abdi, dalam pernyataannya kepada Newsweek juga menyoroti ketidakpastian seputar komponen-komponen utama dari program nuklir Iran.

    “Masih banyak pertanyaan signifikan tentang ke mana arah program ini akan dibawa Iran setelah serangan-serangan tersebut,” ujarnya.

    Sampai saat ini, dampak penuh dari serangan militer AS terhadap fasilitas nuklir Iran masih belum diketahui secara pasti. Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, bahkan menyebut bahwa keberadaan sebagian stok uranium yang telah diperkaya oleh Iran masih misterius.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • 3
                    
                        Israel Diduga Tak Mampu Perang Lama Lawan Iran, Trump Langsung Beri Gencatan Senjata
                        Internasional

    3 Israel Diduga Tak Mampu Perang Lama Lawan Iran, Trump Langsung Beri Gencatan Senjata Internasional

    Israel Diduga Tak Mampu Perang Lama Lawan Iran, Trump Langsung Beri Gencatan Senjata
    Tim Redaksi
    WASHINGTON DC, KOMPAS.com
    – Presiden Amerika Serikat (AS)
    Donald Trump
    pada Selasa (24/6/2025) mengumumkan gencatan senjata antara
    Iran
    dan Israel, menyusul ketegangan militer selama hampir dua pekan terakhir.
    Namun, efektivitas dan keberlangsungan kesepakatan itu masih diragukan berbagai pihak, termasuk para analis Timur Tengah.
    “Saya tidak berpikir Pemerintah
    Israel
    mampu mempertahankan perang jangka panjang, tetapi saya pikir faktor utamanya di sini adalah Presiden Trump. Dia tidak ingin melihat perang baru di wilayah tersebut pecah di bawah pengawasannya,” ujar Will Todman, peneliti senior di Program Timur Tengah, Center for Strategic and International Studies (CSIS), seperti dikutip
    AFP
    .
    Gencatan senjata itu diumumkan hanya beberapa hari setelah Iran menembakkan rudal ke pangkalan militer AS di Qatar.
    Menurut laporan, serangan tersebut dilakukan secara terukur dan mudah dicegat oleh sistem pertahanan.
    Merespons insiden itu, Trump memilih tidak melakukan serangan balasan dan justru mendesak Israel jangan melanjutkan rencana operasi militer ke wilayah Iran.
    Langkah ini dipandang sebagai manuver cepat Trump untuk menghindari konflik berkepanjangan, sekaligus menepis kritik terhadap komitmennya selama kampanye untuk tidak menyeret militer AS ke konflik luar negeri.
    “Itulah yang mengubah kalkulasi untuk Israel dan juga untuk Iran,” tambah Todman.
    Puncak eskalasi terjadi saat militer AS meluncurkan serangan udara terhadap salah satu situs-situs nuklir utama Iran pada Sabtu (21/6/2025).
    Meski Trump mengeklaim fasilitas tersebut telah “dihancurkan”, laporan rahasia yang dilansir
    CNN
    dan
    The New York Times
    menyebutkan bahwa bagian inti dari tiga lokasi nuklir Iran tidak mengalami kerusakan berarti.
    Sementara itu, Iran dikabarkan sedang mencari jalan keluar dari konflik setelah mengalami serangan terburuk sejak perang Iran-Irak pada 1980–1988.
    Trump juga memberi sinyal akan menawarkan insentif kepada Teheran, termasuk pelonggaran sanksi agar China dapat kembali membeli minyak Iran.
    Adapun Israel berada dalam tekanan berat. Serangan udara Iran dalam beberapa hari terakhir disebut sebagai yang paling mematikan dalam beberapa dekade terakhir, bersamaan dengan operasi militer di Gaza, Suriah, dan Lebanon.
    Setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji langkah Trump, peringatan yang dilontarkan Trump sehari kemudian dianggap sebagai sinyal bahwa ada batas dalam dukungan AS terhadap Israel.
    “Trump secara vokal menggunakan kekuatan
    troll
    -nya untuk mencoba menahan tindakan Israel dan Iran, tetapi dia kalah penting dibandingkan peran yang terus dimainkan oleh negara-negara ini (Teluk),” ujar Brian Katulis, peneliti senior di Middle East Institute.
    Katulis menyebut, negara seperti Qatar yang memiliki hubungan strategis dengan berbagai pihak di kawasan, memainkan peran penting dalam meredakan ketegangan.
    Menurutnya, pendekatan Trump yang menggabungkan komunikasi digital dengan kebijakan militer justru membingungkan banyak pengamat dan aktor global.
    “Operasi militer yang bersifat taktis, dikombinasikan dengan banyak komunikasi strategis, membingungkan orang Amerika dan aktor global tentang apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh pemerintahan Trump,” kata Katulis.
    “Operasi militer AS yang berkepanjangan bisa berpotensi memecah dukungan terhadap Presiden Trump, bahkan dari basis pendukungnya sendiri,” kata Jonathan Panikoff dari Atlantic Council.
    Kendati demikian, Panikoff memperkirakan dukungan dari kelompok konservatif dan basis Partai Republik masih akan bertahan.
    Di sisi lain, kritik terhadap pendekatan Trump juga datang dari berbagai kalangan, termasuk dari Partai Demokrat.
    Annelle Sheline, peneliti di Quincy Institute for Responsible Statecraft, menilai Trump harus bertanggung jawab untuk menjaga konsistensi implementasi gencatan senjata.
    “Trump menunjukkan bahwa dia dapat mengendalikan Israel ketika dia memilih untuk melakukannya. Sekarang dia harus melakukan hal yang sama untuk bersikeras pada gencatan senjata di Gaza,” ujarnya.
    Ia juga menyayangkan tindakan militer Israel yang tetap melancarkan serangan ke Lebanon dan Gaza, meski kesepakatan gencatan senjata telah diumumkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MPR ingatkan amanat konstitusi dalam sikapi konflik antarnegara

    MPR ingatkan amanat konstitusi dalam sikapi konflik antarnegara

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945 dalam menyikapi konflik antarnegara yang sedang berkecamuk saat ini.

    “Dalam menyikapi sejumlah konflik yang terjadi saat ini, konstitusi kita telah mengamanatkan agar pemerintah Indonesia harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,” kata Rerie, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

    Hal itu disampaikannya saat memberikan sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema “Senjata Nuklir atau Pergantian Rezim? Perkembangan Perang Israel-Iran” yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu.

    Dia mengingatkan amanat konstitusi UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta ikut mewujudkan perdamaian dunia harus mampu direalisasikan dalam menyikapi konflik yang terjadi antarnegara di dunia.

    “UUD 1945 juga menekankan bahwa sebagai bagian dari tujuan bernegara Indonesia harus ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” ujarnya.

    Dia pun menilai situasi geopolitik dalam beberapa bulan terakhir berdampak signifikan pada berbagai bidang kehidupan.

    “Dampak tersebut secara langsung maupun tidak langsung juga berdampak pada sejumlah sektor seperti ekonomi dan politik di Indonesia,” ucapnya.

    Untuk itu, dia berharap para pemangku kebijakan di Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menyikapi sejumlah konflik di dunia, dengan tetap mengedepankan upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.

    Sementara itu, pengamat militer Jaleswary Pramodhawardani berpendapat serangan Israel ke Iran pada 13 Juni lalu bukanlah insiden biasa, melainkan menggeser dinamika kawasan global secara fundamental dengan terlibatnya Amerika dalam konflik Israel-Iran.

    Menurut dia, dalam waktu dekat eskalasi konflik di kawasan itu akan berdampak pada ekonomi global dalam bentuk disrupsi pada perdagangan minyak dunia, serta diperkirakan akan mengarah pada meluasnya perang di kawasan.

    “Indonesia harus mampu menyiapkan langkah strategis untuk merespons dampak disrupsi ekonomi tersebut,” ujarnya.

    Untuk itu, dia mendorong adanya upaya dialog dan de-eskalasi konflik tersebut melalui berbagai saluran diplomatik, baik multilateral dan bilateral.

    “Segera desain strategi cepat jangka pendek untuk merespons dampak negatif konflik Iran-Israel,” katanya.

    Adapun peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Pieter Pandie memandang perkembangan konflik Israel-Iran yang terjadi saat ini masih terlalu dini untuk bisa diperkirakan kondisi akhirnya.

    Menurut dia, kondisi gencatan senjata pada konflik Israel-Iran saat ini pun masih berpotensi diabaikan oleh keduabelah pihak.

    “Jadi, masih sulit untuk memperkirakan konflik ini akan berakhir,” ujar dia.

    Forum diskusi tersebut turut diisi pula oleh mantan Duta Besar RI untuk Iran, Dian Wirengjurit, hingga Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • AS Pakai Bom Dahsyat Bobol Bunker di Iran, Begini Kecanggihannya

    AS Pakai Bom Dahsyat Bobol Bunker di Iran, Begini Kecanggihannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – AS diketahui baru saja meluncurkan serangan ke sejumlah fasilitas nuklir di Iran. Tidak ada informasi amunisi yang digunakan, salah satu kemungkinannya adalah dengan GBU-57 Massive Ordnance Penetrator (MOP).

    Senjata itu dapat menghancurkan bunker dan mampu menyerang perlindungan beton serta batuan. Kabarnya MOP bisa menembus sedalam 61 meter sebelum akhirnya meledak.

    “Senjata ini dirancang dengan selongsong baja yang tebal, baja yang dikeraskan, untuk menembus lapisan batu ini,” jelas Masao Dahlgren, peneliti pertahanan rudal dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), dikutip AFP.

    MOP memiliki berat 13,6 ton dengan panjak 6,6 meter. Senjata buatan AS itu dilengkapi dengan peledak berhulu ledak khusus dan tidak langsung meledak meski sudah menyentuh permukaan.

    Bom akan menembus lapisan keras yang ada. Kemudian baru akan meledak pada titik terdalamnya.

    Kabarnya hanya pesawat siluman B-2 Bomber milik AS yang bisa memboyong senjata tersebut. Setiap kapal dapat membawa dua unit bom sekaligus.

    Kabarnya sejak Mei 2025, B-2 Bomber terlihat di pangkalan militer Diego Garcia yang berada di Samudera Hindia. Wilayah itu sangat strategis untuk menuju kawasan Timur tengah, termasuk Iran.

    Sementara itu, tiga fasilitas nuklir Iran yang dibombardir AS terletak di Fordow, Natanz dan Esfahan. Kabarnya berfokus pada fasilitas yang berada di Fordow.

    AS mengirim 7 pesawat pengebom B-2 yang menempuh perjalanan 37 jam kemudian menjatuhkan 14 unit 14 MOP di Fordw dan Natanz. Sementara itu, fasilitas di Esfahan dihantam dengan puluhan rudal Tomahawk dari kapal selam milik AS.

    Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi serangan itu. Dia juga menekankan untuk Iran melakukan perdamaian.

    “Kami telah menyelesaikan serangan kami yang sangat sukses terhadap tiga lokasi Nuklir di Iran, termasuk Fordow, Natanz, dan Esfahan,” tulis Trump di media sosial dikutip CNBC International.

    “Semua pesawat dalam perjalanan pulang dengan selamat. Selamat kepada Prajurit Amerika kita yang hebat. Tidak ada militer lain di Dunia yang dapat melakukan ini. SEKARANG WAKTUNYA UNTUK PERDAMAIAN!” tulis presiden.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ini Senjata Pemusnah Nuklir Milik AS, Sekali Hantam Iran Bisa Habis

    Ini Senjata Pemusnah Nuklir Milik AS, Sekali Hantam Iran Bisa Habis

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) memiliki senjata rahasia yang diyakini mampu meluluhlantakkan fasilitas nuklir bawah tanah Iran hanya dalam satu hantaman. Senjata itu adalah GBU-57 Massive Ordnance Penetrator (MOP), bom penghancur bunker paling mematikan yang pernah dibuat Negeri Paman Sam.

    Bom seberat 13,6 ton ini dirancang khusus untuk menembus perlindungan beton dan batuan sedalam 61 meter sebelum meledak dan menghancurkan target utama yang tersembunyi jauh di dalam tanah.

    “Senjata ini dirancang dengan selongsong baja yang tebal, baja yang dikeraskan, untuk menembus lapisan batu ini,” jelas Masao Dahlgren, peneliti pertahanan rudal dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), dikutip AFP di Jakarta, Minggu (2/6/2025).

    GBU-57 memiliki panjang sekitar 6,6 meter dan dilengkapi peledak berfuse khusus yang tidak langsung meledak saat menyentuh permukaan. Sebaliknya, bom ini terus menembus lapisan keras terlebih dahulu, baru kemudian meledak di titik terdalam, tepat di mana target paling sensitif berada.

    Tak sembarang pesawat bisa membawa senjata ini. Hanya pesawat siluman B-2 Bomber milik AS yang mampu menerbangkan dan menjatuhkan GBU-57. Setiap B-2 dapat membawa dua unit bom penghancur bunker tersebut.

    Menariknya, citra satelit menunjukkan keberadaan sejumlah pesawat B-2 di pangkalan militer AS di Diego Garcia, Samudera Hindia, pada awal Mei 2025 lalu. Lokasi itu dinilai sangat strategis untuk melancarkan operasi ke kawasan Timur Tengah, termasuk Iran.

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan bahwa pihaknya baru saja mengebom tiga fasilitas nuklir Iran. Hal ini diumumkannya secara resmi, Sabtu (21/6/2025), malam waktu AS.

    Secara perinci, bom AS menghantam tiga lokasi nuklir di Fordow, Natanz, dan Esfahan, nmun kerusakan besar difokuskan pada fasilitas nuklir yang berada di Fordow. Trump kemudian meminta Iran untuk merundingkan perdamaian.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Trump Turunkan Jet B-2 Hancurkan Pusat Nuklir Iran, Ini Spesifikasinya

    Trump Turunkan Jet B-2 Hancurkan Pusat Nuklir Iran, Ini Spesifikasinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pesawat pengebom B-2 Amerika Serikat (AS) terlibat dalam serangan terhadap situs nuklir Iran. Hal ini dikonfirmasi oleh seorang pejabat AS kepada Reuters, Sabtu (21/6/2025) malam waktu AS.

    Pesawat itu terlibat dalam sebuah operasi di tiga lokasi nuklir yang terletak Fordow, Natanz, dan Esfahan. namun kerusakan besar difokuskan pada fasilitas nuklir yang berada di Fordow. 

    “Kami telah menyelesaikan serangan kami yang sangat sukses terhadap tiga lokasi Nuklir di Iran, termasuk Fordow, Natanz, dan Esfahan,” tulis Trump di media sosial dikutip CNBC International.

    “Semua pesawat dalam perjalanan pulang dengan selamat. Selamat kepada Prajurit Amerika kita yang hebat. Tidak ada militer lain di Dunia yang dapat melakukan ini. SEKARANG WAKTUNYA UNTUK PERDAMAIAN!” tulis presiden.

    Sebelumnya pada hari Sabtu, beberapa pembom siluman B-2 Angkatan Udara AS meninggalkan Missouri, menuju barat melintasi Samudra Pasifik. Pesawat-pesawat besar itu merupakan satu-satunya pesawat AS yang mampu membawa GBU-57 Massive Ordnance Penetrator (MOP), bom seberat 30.000 pon yang dikenal sebagai “penghancur bunker.”

    Desain untuk bom GBU-57 MOP ini ini dimulai pada awal 2000-an, dan pesanan untuk 20 unit yang ditempatkan pada Boeing pada tahun 2009. Bom GBU-57 didesain khusus untuk menghancurkan target yang terlindungi.

    Dengan panjang 6,6 meter, bom ini memiliki lapisan baja keras dan peledak berpemicu khusus yang tidak langsung meledak saat menabrak permukaan. Senjata ini akan menembus lapisan beton dan batu sebelum meledak tepat di target terdalam.

    “Senjata ini dirancang dengan selongsong baja yang agak tebal, baja yang dikeraskan, untuk menembus lapisan batu ini,” kata Masao Dahlgren, seorang peneliti di bidang pertahanan rudal di Center for Strategic and International Studies (CSIS), dikutip dari AFP, Kamis (19/6/2025).

    Sementara itu, sejumlah situs nuklir Iran sendiri disebutkan berada di dalam tanah. Kedalaman situs ini pun disebutkan mencapai ratusan meter, yang membuatnya sulit ditembus sejumlah bom selain dengan GBU-57 ini.

    “Anda butuh menjatuhkan dua bom pada lokasi yang sama, dan kemungkinan harus beberapa kali,” ujar pakar militer dari National Defense University AS, David Des Roches.

    “Bahkan setelah itu, tak ada jaminan seluruh fasilitas lumpuh. Untuk benar-benar menghancurkannya, pasukan darat mungkin perlu dikerahkan untuk menanam bahan peledak dari dalam.”

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]