NGO: CSIS

  • Pangkalan Militer Rahasia Milik Korut Ketahuan

    Pangkalan Militer Rahasia Milik Korut Ketahuan

    Jakarta

    Pangkalan militer rahasia milik Korea Utara (Korut) ketahuan. Pangkalan militer itu berada di dekat perbatasan China.

    Dirangkum detikcom dilansir kantor berita AFP, Kamis (21/8/2025), hal tersebut didapat dari penelitian terbaru yang mengungkapkan bahwa Korut telah membangun pangkalan militer rahasia di dekat perbatasannya dengan China. Pangkalan rahasia itu diduga menampung rudal balistik antarbenua (ICBM) terbaru buatan Pyongyang.

    Keberadaan pangkalan rudal Korut itu, terungkap dalam laporan penelitian terbaru yang dirilis oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), pada Rabu (20/8) waktu setempat.

    Disebutkan laporan CSIS itu bahwa Pangkalan Operasi Rudal Sinpung-dong yang “tidak dideklarasikan” oleh Korut berada di area berjarak sekitar 27 kilometer dari perbatasan China.

    Fasilitas yang ada di Provinsi Pyongan Utara ini, menurut laporan penelitian CSIS, kemungkinan menampung enam hingga sembilan rudal ICBM yang berkemampuan nuklir beserta peluncur-peluncurnya.

    Disebutkan bahwa senjata-senjata tersebut “menimbulkan potensi ancaman nuklir bagi Asia Timur dan daratan Amerika Serikat”.

    Korut semakin meningkatkan program senjata nuklirnya sejak pertemuan puncak dengan AS yang berujung kegagalan mencapai kesepakatan pada tahun 2019 lalu. Pemimpin Korut Kim Jong Un baru-baru ini menyerukan “ekspansi cepat” kemampuan nuklir negaranya yang terisolasi secara diplomatis.

    CSIS menyebut laporan penelitian terbarunya ini sebagai konfirmasi mendalam dan sumber terbuka pertama mengenai Sinpung-dong.

    Laporan penelitian CSIS itu juga menyebutkan bahwa pangkalan tersebut merupakan salah satu dari sekitar “15-20 pangkalan rudal balistik, fasilitas pemeliharaan, dukungan, penyimpanan rudal, dan penyimpanan hulu ledak yang tidak pernah dideklarasikan oleh Korea Utara”.

    Disebutkan juga oleh CSIS dalam laporannya bahwa fasilitas tersebut “tidak diketahui pernah menjadi subjek negosiasi denuklirisasi apa pun yang sebelumnya dilakukan antara Amerika Serikat dan Korea Utara”.

    Mengutip penilaian para analis mereka saat ini, CSIS mengatakan bahwa peluncur dan rudal-rudal tersebut dapat meninggalkan pangkalan itu saat terjadi krisis atau perang, terhubung dengan unit-unit khusus, dan mampu melakukan peluncuran yang lebih sulit dideteksi dari area-area lainnya di dalam Korut.

    Pangkalan rahasia itu, bersama beberapa pangkalan lainnya, sebut CSIS dalam laporannya, “mewakili komponen utama dari apa yang dianggap sebagai strategi rudal balistik Korea Utara yang terus berkembang, serta kemampuan pencegahan dan serangan nuklir tingkat strategis yang terus berkembang”.

    Pertemuan puncak antara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump di Hanoi, tahun 2019 lalu, gagal mencapai kesepakatan denuklirisasi karena kedua negara tidak sepakat mengenai apa yang akan diberikan oleh Pyongyang sebagai imbalan atas keringanan sanksi.

    Sejak saat itu, Korut berulang kali menyatakan tidak akan pernah menyerahkan senjatanya dan mendeklarasikan diri sebagai negara nuklir yang “tidak dapat diubah”.

    Lihat juga Video ‘Korsel Copot Pengeras Suara Anti-Korut di Perbatasan, Ingin Baikan?’:

    Halaman 2 dari 3

    (whn/wnv)

  • Pangkalan Militer Rahasia Milik Korut Ketahuan

    Terungkap! Korut Punya Pangkalan Militer Rahasia di Dekat Perbatasan China

    Pyongyang

    Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa Korea Utara (Korut) telah membangun pangkalan militer rahasia di dekat perbatasannya dengan China. Pangkalan rahasia itu diduga menampung rudal balistik antarbenua (ICBM) terbaru buatan Pyongyang.

    Keberadaan pangkalan rudal Korut itu, seperti dilansir AFP, Kamis (21/8/2025), terungkap dalam laporan penelitian terbaru yang dirilis oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), pada Rabu (20/8) waktu setempat.

    Disebutkan laporan CSIS itu bahwa Pangkalan Operasi Rudal Sinpung-dong yang “tidak dideklarasikan” oleh Korut berada di area berjarak sekitar 27 kilometer dari perbatasan China.

    Fasilitas yang ada di Provinsi Pyongan Utara ini, menurut laporan penelitian CSIS, kemungkinan menampung enam hingga sembilan rudal ICBM yang berkemampuan nuklir beserta peluncur-peluncurnya.

    Disebutkan bahwa senjata-senjata tersebut “menimbulkan potensi ancaman nuklir bagi Asia Timur dan daratan Amerika Serikat”.

    Korut semakin meningkatkan program senjata nuklirnya sejak pertemuan puncak dengan AS yang berujung kegagalan mencapai kesepakatan pada tahun 2019 lalu. Pemimpin Korut Kim Jong Un baru-baru ini menyerukan “ekspansi cepat” kemampuan nuklir negaranya yang terisolasi secara diplomatis.

    CSIS menyebut laporan penelitian terbarunya ini sebagai konfirmasi mendalam dan sumber terbuka pertama mengenai Sinpung-dong.

    Laporan penelitian CSIS itu juga menyebutkan bahwa pangkalan tersebut merupakan salah satu dari sekitar “15-20 pangkalan rudal balistik, fasilitas pemeliharaan, dukungan, penyimpanan rudal, dan penyimpanan hulu ledak yang tidak pernah dideklarasikan oleh Korea Utara”.

    Disebutkan juga oleh CSIS dalam laporannya bahwa fasilitas tersebut “tidak diketahui pernah menjadi subjek negosiasi denuklirisasi apa pun yang sebelumnya dilakukan antara Amerika Serikat dan Korea Utara”.

    Mengutip penilaian para analis mereka saat ini, CSIS mengatakan bahwa peluncur dan rudal-rudal tersebut dapat meninggalkan pangkalan itu saat terjadi krisis atau perang, terhubung dengan unit-unit khusus, dan mampu melakukan peluncuran yang lebih sulit dideteksi dari area-area lainnya di dalam Korut.

    Pangkalan rahasia itu, bersama beberapa pangkalan lainnya, sebut CSIS dalam laporannya, “mewakili komponen utama dari apa yang dianggap sebagai strategi rudal balistik Korea Utara yang terus berkembang, serta kemampuan pencegahan dan serangan nuklir tingkat strategis yang terus berkembang”.

    Pertemuan puncak antara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump di Hanoi, tahun 2019 lalu, gagal mencapai kesepakatan denuklirisasi karena kedua negara tidak sepakat mengenai apa yang akan diberikan oleh Pyongyang sebagai imbalan atas keringanan sanksi.

    Sejak saat itu, Korut berulang kali menyatakan tidak akan pernah menyerahkan senjatanya dan mendeklarasikan diri sebagai negara nuklir yang “tidak dapat diubah”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • IHSG ditutup melemah di tengah `wait and see` RDG Bank Indonesia

    IHSG ditutup melemah di tengah `wait and see` RDG Bank Indonesia

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    IHSG ditutup melemah di tengah `wait and see` RDG Bank Indonesia
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 19 Agustus 2025 – 19:11 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa sore ditutup melemah di tengah pelaku pasar bersikap wait and see terhadap hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI).

    IHSG ditutup melemah 35,43 poin atau 0,45 persen ke posisi 7.862,95. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 5,83 poin atau 0,71 persen ke posisi 815,23.

    “Pelaku pasar menantikan hasil RDG BI, yang menurut konsensus akan mempertahankan BI Rate di level 5,25 persen, setelah pada RDG Juli 2025 menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin ,” sebut Tim Riset Phintraco Sekuritas dalam kajiannya di Jakarta, Selasa.

    Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih berpeluang menurunkan suku bunga lagi pada tahun ini, apabila laju inflasi masih terkendali dalam kisaran target BI sebesar 1,5-3,5 persen.

    Inflasi Mei-Juli berturut-turut mengalami kenaikan hingga mencapai 2,37 persen year on year (yoy) pada Juli 2025, yang merupakan inflasi tertinggi sejak Juni 2024, namun masih dalam kisaran target BI.

    Dari mancanegara, pelaku pasar mencermati keputusan moneter bank sentral China, yang diperkirakan akan kembali mempertahankan Loan Prime Rate 1 tahun pada level 3 persen dan 5 tahun pada level 3,5 persen.

    Suku bunga pada level rendah di China, disinyalir sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi China di tengah ancaman perang tarif, melemahnya daya beli dan mendorong pemulihan sektor properti.

    Dari kawasan Eropa, Inggris akan merilis data inflasi bulan Juli 2025 yang diperkirakan naik menjadi 3,7 persen (yoy) dari 3,6 persen (yoy) di Juni 2025 yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2024.

    Dibuka menguat, IHSG bergerak ke teritori negatif sampai penutupan sesi pertama perdagangan saham. Pada sesi kedua, IHSG masih betah di zona merah hingga penutupan perdagangan saham

    Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, tujuh sektor menguat yaitu dipimpin sektor industri yang naik sebesar 1,81 persen, diikuti oleh sektor transportasi dan logistik serta sektor barang kesehatan yang naik masing- masing sebesar 1,49 persen dan 0,26 persen.

    Sedangkan, empat sektor melemah yaitu sektor infrastruktur paling dalam minus 0,41 persen, diikuti oleh sektor keuangan dan sektor barang konsumen non primer yang turun sebesar 0,34 persen dan 0,34 persen.

    Adapun saham-saham yang mengalami penguatan terbesar yaitu BEER, KBLV, MAYA, CSIS dan ASLC. Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar yakni INPP, AMMS, ZYRX, AREA, dan ARTA.

    Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 2.176.070 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 40,05 miliar lembar saham senilai Rp18,55 triliun. Sebanyak 405 saham naik 242 saham menurun, dan 155 tidak bergerak nilainya.

    Bursa saham regional Asia sore ini antara lain Indeks Nikkei melemah 124,81 poin atau 0,33 persen ke 43.571,00, indeks Shanghai melemah 0,74 poin atau 0,02 persen ke 3.727,71, indeks Hang Seng melemah 53,95 poin atau 0,21 persen ke posisi 25.122,45, dan indeks Straits Times menguat 28,81 poin atau 0,69 persen ke 4.216,20.

    Sumber : Antara

  • Berburu di Kebun Binatang, Target Pajak Rp2.358 Triliun 2026 Bebani Wajib Pajak?

    Berburu di Kebun Binatang, Target Pajak Rp2.358 Triliun 2026 Bebani Wajib Pajak?

    Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas fiskal tidak akan menaikkan tarif ataupun menerapkan kebijakan baru pada 2026, meski target penerimaan pajak ambisius capai Rp2.357,7 triliun. Pemerintah akan lebih banyak melakukan insentifikasi kepatuhan wajib pajak yang sudah terdaftar alias ‘berburu di kebun binatang’.

    Target penerimaan pajak Rp2.357,7 triliun itu sendiri tercantum dalam Rancangan Anggaran dan Pendapat Negara (RAPBN) 2026 yang sudah diserahkan Presiden Prabowo Subianto ke parlemen pada akhir pekan lalu. Angka itu naik 13,5% dari outlook penerimaan pajak 2025 sebesar Rp2.076,9 triliun.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah tidak akan memberlakukan pajak baru maupun menaikkan tarif pajak pada 2026, meski target penerimaan negara naik cukup tinggi.

    Sri Mulyani menjelaskan kebijakan perpajakan tahun depan akan tetap mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan regulasi lainnya yang sudah ada.

    “Tadi kan pertanyaan menjurus ke, ‘Apakah ada pajak baru, tarif baru?’ Kita tidak, tapi lebih kepada reform di internal,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RAPBN 2026, Jumat (15/8/2025).

    Bendahara negara itu menjelaskan, reformasi internal akan diarahkan pada penguatan administrasi dan penegakan hukum. Caranya, sambung Sri Mulyani, Kementerian Keuangan akan terus memperbaiki sistem inti administrasi perpajakan alias Coretax.

    Selain itu, intensifikasi pertukaran data akan ditingkatkan melalui perluasan kolaborasi, tidak hanya di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea Cukai, tetapi juga dengan kementerian/lembaga lain seperti Kementerian ESDM.

    Menurutnya, akurasi dan ketepatan waktu data menjadi kunci untuk meningkatkan kepatuhan, menutup celah penghindaran pajak, dan menekan praktik ekonomi bayangan (shadow economy) maupun aktivitas ilegal.

    “Dengan data yang akurat dan timing yang tepat, peluang untuk enforcement yang lebih baik akan terbuka,” tegasnya.

    Beban Wajib Pajak?

    Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengingatkan bahwa pertumbuhan rata-rata penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir hanya 5—6%. Oleh sebab itu, menurutnya, target kenaikan penerimaan pajak hingga 13,5% terasa terlalu tinggi.

    Masalahnya, Deni meyakini bahwa pemerintah tidak bisa memaksakan peningkatan penerimaan pajak terutama dalam waktu singkat akibat struktur perekonomian yang belum memadai. Menurutnya, ada lima permasalahan yang menghambat peningkatan penerimaan pajak secara masif dalam waktu singkat.

    “Pertama, ada masalah ekonomi informal atau underground economy yang sebesar. Sebesar 59% tenaga kerja itu ada di sektor informal [sehingga tidak tercatat secara administratif dalam sistem perpajakan],” jelas Deni dalam media briefing CSIS, Senin (18/8/2025).

    Kedua, basis pajak yang sangat kecil. Dari 145 juta angkatan kerja, yang tercatat sebagai wajib lapor pajak atau surat pemberitahuan tahunan (SPT) hanya 17 juta. Ketiga, Deni meyakini kepatuhan formal UMKM ataupun perusahaan-perusahaan besar juga masih lemah.

    Keempat, struktur penerimaan dari sumber daya alam (SDA) masih sangat bergantung royalti sehingga rentan terhadap praktek transfer pricing dari perusahaan-perusahaan. Kelima, administrasi pajak yang masih jauh dari efisien.

    “Harapannya lewat Coretax, dia bisa mengintensifkan penerimaan pajak.
    Itu kayak mengejar, berburu di kebun binatang. Jadi, orang yang selama ini bayar pajak, ya itu yang akan dikejar terus,” ujar Deni.

    Senada, Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Riandy Laksono menyatakan target penerimaan pajak yang naik 13,5% terkesan terlalu optimis. Secara historis, sambungnya, kenaikan penerimaan pajak hingga 13,5% hanya terjadi ketika terjadi commodity boom sekitar 2003—2012 yang ditopang peningkatan besar-besaran dari industri China.

    Masalahnya, commodity boom sudah berakhir. Malahan, harga komoditas unggulan Indonesia seperti CPO, batu bara, nikel, dan gas alam beberapa tahun belakangan menurun.

    Semua itu tak lepas dari perekonomian China yang tumbuh melandai beberapa waktu belakangan, ditambah perang tarif antara Negeri Panda dengan Paman Sam.

    “Intinya adalah commodity boom enggak akan lagi balik waktu Cina booming waktu itu.
    Nah, sehingga basis penerimaan akan susah,” kata Riandy pada kesempatan yang sama.

    Mau tak mau, sambungnya, pemerintah harus jalan panjang. Dia mendorong pemerintah memperbaiki struktur ketenagakerjaan di Indonesia karena masih banyak pekerja informal yang tidak tercatat dalam administrasi perpajakan.

    Caranya, kembali fokus melakukan industrialisasi. Sayangnya, dia melihat arah investasi semakin menjauh dari industri pengolahan dan manufaktur yang selama ini menjadi penciptaan lapangan kerja berkualitas utama di Indonesia.

    Riandy mencontohkan, dari total investasi langsung yang mengarah ke sektor padat modal hanya berkisar 30—40% dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal pada 2002—2010, persentasenya mencapai 50—80%.

    Menurutnya investasi yang fokus ke sektor padat modal memperlemah penciptaan lapangan kerja berkualitas.

    “Jadi strategi industrialisasinya harus dibenerin, begitu, karena penyedia pekerja formal dan pembayar pajak paling besar itu dari industri pengolahan,” ungkapnya.

    Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar tidak heran apabila pemerintah tak mau menaikkan tarif maupun menetapkan pajak baru pada tahun depan, terutama resistensi masyarakat yang masih besar.

    “Opsi kebijakan pajak punya risiko politik. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang juga masih tinggi,” katanya kepada Bisnis, Jumat (15/8/2025).

    Rp524 Triliun dari Sumber Pajak Baru

    Padahal sebelumnya, Center of Economics and Law Studies (Celios) mengungkapkan bahwa terdapat potensi penerimaan negara Rp524 triliun setiap tahunnya dari sumber-sumber pungutan pajak baru.

    Temuan itu diungkapkan Celios dalam publikasi bertajuk Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang.

    Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar menilai pemerintah semakin bergantung pada pajak konsumsi yang regresif seperti pajak pertambahan nilai (PPN). Misalnya kontribusi PPN mencapai Rp819 triliun atau 36,7% dari total penerimaan pajak pada 2024.

    Masalahnya, sambung Media, PPN lebih menekan rakyat kecil yang hampir seluruh pendapatannya dipakai untuk konsumsi—beda dengan para kelompok kaya yang pendapatannya hanya sebagian kecil untuk konsumsi.

    “Coba bayangkan Rafi Ahmad, Deddy Corbuzier, mereka punya uang triliunan rupiah, mereka gak mungkin spending Rp1 miliar per hari. Mereka hanya bisa spending sedikit uang secara persentase dari total pendapatan mereka. Berbeda dengan masyarakat miskin, yang menghabiskan bahkan 120% dari pendapatannya untuk spending, 20%-nya datang dari hutang,” ujar Media dalam agenda peluncuran publikasi di Jakarta, Selasa (12/8/2025).

    Oleh sebab itu, dia melihat pemerintah hanya gagah di hadapan rakyat kecil tapi kurang bernyali di hadapan super kaya. Celios pun mendorong agar pemerintah menerapkan pajak progresif.

    Mereka mengidentifikasi sebelas sumber potensi penerimaan baru yang lebih progresif. Pertama, tinjauan ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran dengan potensi penerimaan capai Rp137,4 triliun per tahun.

    Kedua, penerapan pajak kekayaan. Berdasarkan perhitungan Celios, potensi penerimaan negara dari pajak kekayaan hanya dari 50 orang terkaya di Indonesia saja mencapai Rp81,6 triliun per tahun.

    Ketiga, pajak karbon dengan potensi penerimaan mencapai Rp76,4 triliun per tahun. Keempat, pajak produksi batu bara dengan potensi penerimaan sebesar Rp66,5 triliun per tahun.

    Kelima pajak windfall profit atau pungutan atas kenaikan laba berturut-turut akibat lonjakan harga komoditas sektor ekstraktif dengan potensi penerimaan Rp50 triliun per tahun. Keenam, pajak pengurangan keanekaragaman hayati dengan potensi Rp48,6 triliun per tahun.

    Ketujuh, pajak digital dari perusahaan jasa digital besar dengan potensi penerimaan capai Rp29,5 triliun per tahun. Kedelapan, peningkatan tarif pajak warisan dengan potensi penerimaan Rp20 triliun per tahun.

    Kesembilan, pajak kepemilikan rumah ketiga dengan potensi penerimaan Rp4,7 triliun per tahun. Kesepuluh, kenaikan tarif pajak capital gain atau keuntungan dari saham dan aset finansial lainnya sebesar Rp7 triliun per tahun.

    Kesebelas atau terakhir yaitu cukai minuman berpemanis dalam kemasan, yang dinilai dapat mendukung kesehatan publik sekaligus menambah potensi penerimaan hingga Rp3,9 triliun.

    “Ini kalau kita total dengan pendekatan yang progresif atau optimis, itu kita bisa mendapat penerimaan hingga Rp524 triliun. Saya kira sangat besar kalau setiap tahun kita bisa memaksimalkan angka hingga Rp524 triliun,” ujar Peneliti Celios Jaya Darmawan pada kesempatan yang sama.

  • Prabowo Target APBN 2028 Tanpa Defisit, CSIS Khawatir Danantara Jadi Korban

    Prabowo Target APBN 2028 Tanpa Defisit, CSIS Khawatir Danantara Jadi Korban

    Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Riandy Laksono mengaku khawatir Presiden Prabowo Subianto akan menggunakan Badan Pengelola Investasi Danantara untuk mewujudkan target APBN tanpa defisit atau anggaran berimbang pada 2028.

    Ambisi APBN tanpa defisit itu sendiri Prabowo sampaikan ketika menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2026 ke parlemen pada akhir pekan lalu.

    Riandy menilai target APBN tanpa defisit itu tidak realistis, mengingatkan selama ini pemerintah masih kesusahan meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan. Artinya, harus ada sumber pendapatan negara lain selain pajak untuk menutup defisit anggaran yang sudah berlangsung puluhan tahun.

    Menurutnya, sumber pendapatan negara baru yang signifikan dan realistis dalam waktu singkat adalah Danantara. Riandy menghitung, dengan aset US$1.000 miliar dan asumsi imbal hasil (return on equity/ROE) 5%, Danantara bisa menyumbang US$50 miliar atau sekitar Rp700 triliun per tahun ke kas negara.

    “Rp700 triliun itu memang setara dengan defisit anggaran kita beberapa tahun terakhir. Jadi wajar saja ketika balance budget [anggaran seimbang] ditutup dari Danantara,” ujar Riandy dalam media briefing CSIS, Senin (18/8/2025).

    Kendati demikian, dia menilai APBN seimbang sesungguhnya tidak mutlak diperlukan selama pengelolaan fiskal tetap berkelanjutan. Masalahnya, sambung Riandy, pemerintah tidak bisa memaksakan Danantara menyetor Rp700 triliun setiap tahun ke kas negara.

    Riandy mengingatkan bahwa aset Danantara kebanyakan dana pihak ketiga dan tidak semuanya produktif. Selain itu, dia takut Danantara malah melakukan investasi secara agresif yang bisa menimbulkan efek crowding out sehingga sektor swasta malah menarik diri.

    Lebih lanjut, dia menilai target Prabowo untuk menghapus defisit APBN mencerminkan konsistensi dengan sikap lamanya yang cenderung anti-utang. Narasi anti-utang itu, sambungnya, kerap disampaikan Prabowo sebelum masuk ke pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo.

    “Jadi obsesi tanpa utang kembali lagi, tetapi tidak diiringi oleh strategi dan kemampuan menarasikan dari mana penerimaan itu datang, kecuali dengan menjadikan Danantara sebagai cash cow [mesin uang] yang baru,” pungkasnya.

    Adapun, Presiden Prabowo Subianto berambisi menekan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga mencapai titik nol pada 2028.

    Dalam pidato penyampaian Nota Keuangan RAPBN 2026 di hadapan DPR, Prabowo menyatakan pemerintah akan terus melaksanakan efisiensi belanja negara secara konsisten.

    “Defisit ini ingin kami tekan sekecil mungkin. Adalah cita-cita saya, suatu saat — apakah dalam 2027 atau 2028 — saya ingin berdiri di majelis ini, menyampaikan bahwa kita berhasil punya APBN yang tidak ada defisitnya sama sekali,” ujar Prabowo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

  • Prabowo Tak Bahas Penciptaan Lapangan Kerja dalam Nota Keuangan, CSIS: Sudah Lemah Lumayan Lama

    Prabowo Tak Bahas Penciptaan Lapangan Kerja dalam Nota Keuangan, CSIS: Sudah Lemah Lumayan Lama

    JAKARTA – Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyayangkan isu penciptaan lapangan kerja tak dibahas di dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026.

    Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Riandy Laksono menilai, seharusnya pemerintah menaruh perhatian serius terhadap isu penciptaan lapangan kerja lantaran diyakini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi RI.

    “Memang isu penciptaan lapangan kerja sudah lemah untuk waktu lumayan lama dan ini tidak menjadi perhatian di dalam RAPBN ataupun pidato kenegaraan yang menjadi arah kebijakan (pemerintah) ke depannya,” ujar Riandy dalam media briefing bertajuk RAPBN 2026: Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal, dipantau secara daring, Senin, 18 Agustus.

    Terlebih, kata Riandy, saat ini industri manufaktur sebagai mesin pencipta lapangan kerja utama pun belum benar-benar pulih sejak asian financial crisis (AFC) atau Krisis Finansial Asia 1997.

    Pasalnya, setelah Krisis Finansial Asia 1997, pertumbuhan industri manufaktur RI sudah tak mampu lagi tumbuh double digit di kisaran 10-12 persen.

    “Kenapa kami ingin sekali meng-highlight isu penciptaan lapangan kerja? Karena memang ini menjadi perhatian dan menjadi isu di lapangan sekarang ini, kenapa? Karena manufaktur sebagai mesin pencipta lapangan kerja utama ini belum benar-benar pulih sejak asian financial crisis (AFC),” katanya.

    Menurut Riandy, belum pulihnya pertumbuhan industri manufaktur itu yang menyebabkan stagnasi terhadap pertumbuhan ekonomi RI dalam kurun waktu terakhir ini.

    “Jadi, back in the day manufaktur ini menjadi ular ekonomi growth (pertumbuhan), tumbuh double digit sekitar 10-12 (persen). Itu yang menyebabkan ekonomi kami tumbuh dan penerapan tenaga kerja banyak. Sekarang pertumbuhan manufaktur kami nggak lagi secepat itu, sehingga pertumbuhan ekonomi juga ikut lambat,” terang Riandy.

    Riandy menilai, pemerintah seharusnya menaruh perhatian lebih ke industri pengolahan. Pasalnya, sektor tersebut yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan cukup banyak ketimbang sektor-sektor lainnya.

    “Kenapa lagi-lagi industri pengolahan, karena industri pengolahan atau manufaktur adalah pencipta lapangan kerja berkualitas nomor satu di Indonesia dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya kalau kami bisa agregasi secara kecil-kecil,” jelas Riandy.

    Namun demikian, lanjut dia, pihaknya menyayangkan isu penciptaan lapangan kerja tak menjadi pembahasan yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto saat berpidato dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026 belum lama ini.

    “Jadi, dapat dipahami kenapa isu lapangan kerja ini menjadi makin bermasalah sekarang ini,” pungkasnya.

  • Demi Program Prioritas, Apa Saja yang Dikorbankan Prabowo dalam RAPBN 2026?

    Demi Program Prioritas, Apa Saja yang Dikorbankan Prabowo dalam RAPBN 2026?

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto memfokuskan alokasi anggaran ke program-program unggulannya. Di tengah keterbatasan fiskal, harus ada yang menjadi korban dari ambisi Prabowo memenuhi janji politiknya

    Presiden sendiri telah menyerahkan Nota Keuangan dan RAPBN 2026 ke parlemen pada akhir pekan lalu. Dalam pidatonya, Prabowo memaparkan fokus anggaran pada tahun depan.

    Jika dibandingkan dengan postur APBN tahun ini maka tampak belanja negara menjadi lebih tersentralisasi. Belanja pemerintah pusat naik 17,8% dari Rp2.663,4 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp3.136,5 triliun (RAPBN 2026).

    Sebaliknya, transfer ke daerah (TKD) turun 24,8% dari Rp864,1 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp650 triliun (RAPBN 2026). Artinya, Prabowo mengorbankan anggaran yang selama ini digunakan daerah untuk melakukan pembangunan sesuai keinginannya.

    “Jadi, semua program itu akan didorong dan dijalankan sebagian besar oleh pemerintah pusat. Sementara, pemerintah daerah hanya akan tergantung lewat DAK [dana alokasi khusus] atau DAU [dana alokasi umum] yang semuanya juga banyak telah diarahkan pengeluarannya,” jelas Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan dalam media briefing, Senin (18/8/2025).

    Sementara berdasarkan jenis belanja pemerintah pusat, Prabowo tampak mengorbankan investasi jangka panjang. Ketika jenis belanja lain meningkat, belanja modal yang biasanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pembelian aset pemerintah justru berkurang cukup drastis.

    Perinciannya, belanja modal turun 20,4% dari Rp344,33 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp274,17 triliun (RAPBN 2025). Akibatnya porsinya belanja modal terhadap total belanja pemerintah pusat menurun drastis yaitu dari 12,9% (outlook APBN 2025) menjadi 8,7% (RAPBN 2026).

    “Ini menjadi pertanyaan tentang kapasitas, produktivitas atau production capacity dari negara ini karena belanja modalnya makin hari makin kecil,” ujar Deni.

    Sementara itu, jenis belanja pemerintah pusat jenis lain mengalami kenaikan nilai anggaran seperti belanja pegawai (naik 11,6%), belanja barang (47,5%), pembayaran bunga utang (8,6%), subsidi (10,7%), hibah (73%), bantuan sosial (8,5%), dan belanja lain-lain (50,4%).

    Meski naik dari segi nilai anggaran, ada yang mengalami penurunan dari segi persentasenya terhadap total belanja pemerintah pusat: porsi belanja pegawai turun dari 19,5% (outlook APBN 2025) menjadi 18,5% (RAPBN 2025), pembayaran bunga utang turun dari 20,7% menjadi 19,1%, subsidi turun dari 10,8% menjadi 10,2%, dan bantuan sosial turun dari 5,8% menjadi 5,3%.

    “Jadi peningkatan [anggaran] program-program prioritas pemerintahan Prabowo mengorbankan belanja dari bantuan sosial yang cenderung menurun, dan walaupun porsi pembayaran bunga utang sedikit berkurang, porsinya itu dalam belanja negara masih sangat besar yaitu sekitar 19%,” tutup Deni.

    RAPBN 2026 Diarahkan untuk Program Prioritas Prabowo

    Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui RAPBN 2026 disusun untuk mendukung agenda-agenda prioritas Prabowo. Berbagai agenda prioritas itu masing-masing mendapat anggaran sebesar Rp164,4 triliun untuk ketahanan pangan, Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan (Rp335 triliun di antaranya atau hampir 44% untuk biayai program makan bergizi gratis).

    Kemudian Rp244 triliun untuk anggaran kesehatan; Rp181,8 triliun untuk pembangunan desa, koperasi merah putih, dan UMKM; Rp402,4 triliun untuk anggaran ketahanan energi; Rp608,2 untuk anggaran perlindungan sosial; Rp424,8 triliun untuk pertahanan semesta; Rp530 triliun untuk kontribusi investasi; dan Rp57,7 triliun untuk program tiga juta rumah.

    Untuk biayai semua itu di tengah kapasitas fiskal yang sempit, Sri Mulyani tidak menampik anggaran transfer ke daerah atau TKD menjadi menurun. Hanya saja, dia meyakini penurunan itu akan terkompensasi dengan anggaran program kementerian atau lembaga (K/L) yang diklaim langsung diterima dan dirasakan masyarakat senilai Rp1.376,9 triliun.

    “Itu yang makanya diharapkan sesuai dengan arahan bapak Presiden, para menteri harus rajin untuk menyampaikan ke masing-masing daerah,” tuturnya di konferensi pers RAPBN 2026 di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jumat (15/8/2025).

    Di samping itu, Bendahara Negara mengakui bahwa ada beberapa daerah yang memiliki kapasitas fiskal sebagaimana pemetaan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Oleh sebab itu, lanjutnya, pemerintah akan mengatasi agar pelayanan minimal daerah-daerah tersebut bisa tetap dilakukan untuk publik.

    Pada kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan harapannya agar alokasi anggaran itu tepat sasaran dan sesuai dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah.

    Tito menjelaskan, daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal kuat lantaran kepemilikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Sementara itu, ada daerah juga yang masih sangat bergantung dengan transfer dari pemerintah pusat.

    Menurut Tito, standar minimum kapasitas fiskal daerah ditentukan dengan kemampuan masing-masing pemerintah daerah untuk memenuhi pelayanan minimal mereka. Misalnya, belanja operasional, pegawai, maupun belanja-belanja standar pelayanan minimal (SPM) yang meliputi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perumahan, kawasan dan permukiman serta perlindungan sosial (perlinsos).

    “Nanti mungkin kita akan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan [Dasar dan Menengah], Kementerian Pekerjaan Umum terutama untuk meng-cover problem-problem di tiga bidang yang sangat dasar itu di daerah-daerah sehingga ada pengalihan anggaran ke pusat ke kementerian/lembaga, tapi pemerintahan tetap berjalan dan dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat karena langsung dikerjakan pemerintah pusat,” terang mantan Kapolri itu.

  • RAPBN 2026 Fokus MBG, CSIS Khawatir Sektor Perhotelan Makin Terkontraksi

    RAPBN 2026 Fokus MBG, CSIS Khawatir Sektor Perhotelan Makin Terkontraksi

    Bisnis.com, JAKARTA — Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia memaparkan postur RAPBN 2026 yang berfokus pada proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat memperdalam kontraksi pertumbuhan sejumlah sektor industri, tak terkecuali perhotelan.

    Peneliti CSIS Indonesia Riandy Laksono menjelaskan anggaran pemerintah saat ini banyak dialihkan untuk mendukung proyek MBG seperti sektor pertanian dan jasa makanan-minuman.

    Efisiensi belanja pemerintah pusat yang dicanangkan berlanjut pada tahun depan juga menjadi faktor penguat pandangan tersebut.

    “Uang sudah ditarik dari sektor-sektor seperti konstruksi dan perhotelan, karena orang tidak boleh lagi berjalan dinas, infrastruktur juga berkurang. Jadi sektor konstruksi dan perhotelan ini terkontraksi,” katanya dalam media briefing yang disiarkan di kanal YouTube CSIS Indonesia, Senin (18/8/2025).

    Menurutnya, kontribusi sektor konstruksi dan perhotelan terhadap pertumbuhan ekonomi Tanah Air saat ini juga telah menurun. 

    Berdasarkan data yang ditampilkan, sektor perhotelan menyumbang sekitar 0,215% terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2024, lantas melandai 0,003% pada kuartal II/2025.

    Sebaliknya, jasa makanan dan minuman menunjukkan pertumbuhan sepanjang tahun berjalan, dan dapat berlanjut dengan catatan masalah disbursement alias pencairan MBG dapat diatasi.

    Riandy menjelaskan bahwa saat ini disbursement anggaran MBG baru sebesar Rp8 triliun dari Rp71 triliun pada 2025. Menurutnya, untuk memacu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, pemerintah perlu mengalokasikannya kembali untuk sektor perhotelan.

    “Di saat ekonomi sulit, yang penting uangnya mengucur ke bawah. Ini yang paling penting, karena kita ingin menolong rakyat. Bukan menahan-nahan uangnya ada di kantong pemerintah,” ujarnya.

    Adapun, anggaran untuk MBG tahun 2026 dialokasikan sebesar Rp335 triliun. Jumlah ini melonjak dari yang ditetapkan di APBN 2025 sebesar Rp71 triliun.

    Sebelumnya, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mengungkapkan adanya penurunan okupansi hotel berbintang di Tanah Air pada Juni 2025.

    Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri menjelaskan bahwa memasuki paruh pertama tahun ini, perkembangan industri perhotelan Indonesia terbilang masih dinamis.

    “Pada Juni tahun ini terdapat penurunan tingkat okupansi hotel bintang sebesar 4,71% dibandingkan Juni tahun lalu,” kata Widiyanti sebagaimana dikutip dari YouTube Kementerian Pariwisata, Minggu (17/8/2025).

    Sementara itu, apabila ditilik dari periode Januari–Juni tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dia menyampaikan terdapat penurunan sebesar 3,54%.

  • Utang Raksasa Rp 800 Triliun jadi Ujian Berat Pemerintahan Prabowo – Page 3

    Utang Raksasa Rp 800 Triliun jadi Ujian Berat Pemerintahan Prabowo – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan serius dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

    Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, menyoroti bahwa pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo tahun depan diperkirakan mencapai sekitar Rp800 triliun. Jumlah ini menjadi salah satu faktor utama yang membuat ruang fiskal semakin sempit.

    “Dari sisi defisit, kita lihat bahwa besarnya pembayaran pokok dan bunga utang yang akan jatuh tempo tahun depan, yang diperkirakan akan sekitar Rp800 triliun,” kata Deni dalam Media Briefing CSIS RAPBN 2026: Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal, Senin (18/8/2025).

    Menurut Deni, beban utang yang menumpuk berbarengan dengan belanja mengikat lainnya, seperti subsidi dan belanja pegawai, membuat fleksibilitas anggaran pemerintah sangat terbatas.

    Kondisi tersebut memaksa pemerintah untuk berhitung cermat agar tetap mampu membiayai program prioritas tanpa mengorbankan stabilitas fiskal.

    “Dan beberapa tahun berikutnya, bersamaan dengan berbagai item belanja mengikat lainnya, itu membuat ruang fiskal kita menjadi sempit,” ujarnya.

    Meski demikian, ia menilai disiplin fiskal pemerintah tetap patut diapresiasi. Dengan defisit dijaga di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), ada sinyal positif bahwa keberlanjutan fiskal masih menjadi perhatian utama.

    “Beruntungnya atau baiknya, ada kedisiplinan fiskal pemerintah dengan menjaga keseimbangan primer dan defisit, anggaran terkendali di bawah 3% dari PDB. Ini adalah hal yang positif dan perlu diapresiasi,” ujarnya.

     

  • CSIS: Pemerintah Perlu Desain Ulang Program Prioritas dalam RAPBN 2026 – Page 3

    CSIS: Pemerintah Perlu Desain Ulang Program Prioritas dalam RAPBN 2026 – Page 3

     MBG misalnya, melonjak dari Rp171 triliun menjadi Rp335 triliun. Alokasi besar juga diberikan untuk koperasi Merah Putih Rp181,8 triliun, pembangunan rumah Rp57,7 triliun, serta ketahanan energi Rp402,4 triliun.

    Namun, di balik angka fantastis itu, CSIS mengingatkan adanya konsekuensi serius terhadap postur fiskal. Keterbatasan ruang fiskal membuat pemerintah harus menjaga defisit tetap terkendali di 2,48 persen.

    “Keterbatasan ruang fiskal dan upaya pemerintah untuk menjaga defisit APBN di bawah 3 persen, dalam hal ini defisitnya menjadi 2,48 persen, itu membuat pelaksanaan program-program tersebut berpotensi untuk memaksa peningkatan penerimaan negara dan atau mengorbankan belanja-belanja lainnya,” ujarnya.