NGO: CSIS

  • Diandalkan di Indonesia, Ingin Dilumpuhkan di China

    Diandalkan di Indonesia, Ingin Dilumpuhkan di China

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dan China merupakan negara  dengan populasi terbesar di dunia. Keduanya memiliki sikap berbeda terhadap satelit orbit rendah (LEO) Starlink milik Elon Musk.

    Pemerintah Indonesia saat ini sangat bergantung dengan konektivitas satelit, baik Satria-1 maupun Starlink, dalam berkomunikasi di wilayah terdampak banjir di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh.

    Pada 3 Desember 2025, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyalurkan 32 unit perangkat Starlink untuk membantu masyarakat yang terdampak banjir dan longsor. Bantuan ini diberikan untuk mempercepat pemulihan layanan di wilayah yang mengalami kerusakan infrastruktur telekomunikasi. 

    Kepala Balai Monitor Kelas II Padang Kementerian Komdigi, M. Helmi, menjelaskan jumlah perangkat yang dikirimkan telah disesuaikan dengan permintaan dan kebutuhan masyarakat di lokasi bencana. 

    “Komdigi tidak memungut biaya untuk penggunaan Starlink ini oleh masyarakat terdampak bencana. Setelah masa tanggap darurat berakhir, kebijakan penggunaan akan disesuaikan, termasuk kemungkinan pemanfaatan komersial,” kata Helmi.

    Dia memaparkan perangkat Starlink memiliki jangkauan antara 500 meter hingga 1 kilometer dan dapat digunakan sekitar 60 pengguna sekaligus. 

    Kapasitasnya masih bisa ditingkatkan ketika perangkat dihubungkan dengan alat pendukung seperti hotspot tambahan. Kecepatan internet yang dihasilkan dapat mencapai hingga 300 Mbps.

    Helmi menambahkan Starlink dimanfaatkan sebagai jaringan pengganti sementara ketika BTS mengalami gangguan akibat listrik padam, putusnya transmisi, kerusakan fisik, maupun ketika melayani area blank spot. 

    “Akses komunikasi melalui satelit tidak bergantung pada kondisi infrastruktur darat, sehingga membantu percepatan pemulihan jaringan di daerah terdampak,” katanya.

    Perangkat penangkap sinyal Starlink

    Berbeda dengan Indonesia, pemerintah China saat ini justru tengah memikirkan cara untuk memadamkan satelit Starlink. Mereka khawatir Starlink hanya akan membuat kericuhan pada masa mendatang karena mereka dapat mengendalikan informasi lewat konektivitas satelit.

    Peneliti di China tengah menjajal metode baru untuk melumpuhkan jaringan internet satelit konstelasi, seperti Starlink, guna mengantisipasi potensi konflik di masa depan. 

    Berdasarkan studi terbaru, China diperkirakan membutuhkan ribuan drone untuk melakukan jamming atau pengacauan sinyal di wilayah seluas Taiwan.

    Melansir dari Dark Reading Kamis (11/12/2025), sebuah makalah akademis yang diterbitkan dalam jurnal Systems Engineering and Electronics mengungkapkan temuan tersebut. Peneliti dari dua universitas besar di China menemukan bahwa komunikasi yang disediakan oleh konstelasi satelit dapat diganggu, namun dengan biaya yang sangat besar.

    Studi tersebut mensimulasikan bahwa untuk memutus sinyal dari jaringan Starlink ke wilayah seluas Taiwan, militer membutuhkan pengerahan 1.000 hingga 2.000 drone yang dilengkapi perangkat jammer secara bersamaan.

    Diketahui sebelumnya, konstelasi satelit menjadi peran vital dalam perang Rusia dan Ukraina. Satelit terbukti menjadi urat nadi bagi pasukan Ukraina untuk menjaga konektivitas internet dan komunikasi militer tetap hidup meski di tengah gempuran serangan.

    Temuan ini menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah dan perusahaan antariksa global. Peneliti pertahanan siber senior di Center for Security Studies (CSS) ETH Zürich Clémence Poirier mengatakan bahwa riset ini adalah realita nyata mengenai strategi perang masa depan.

    Menurut Poirier, jika konflik pecah di Asia, terutama yang melibatkan China dan Taiwan, pemutusan konektivitas satelit akan menjadi strategi langkah pembuka.

    “Perusahaan antariksa harus memantau sistem mereka dengan ketat, memisahkan jaringan antara pelanggan sipil dan militer, serta memperbarui model ancaman mereka jika konflik terjadi,” ujar Poirier.

    Satelit kini memegang peran yang makin krusial, mulai dari menyediakan bandwidth berkecepatan tinggi berbiaya rendah untuk daerah pedesaan hingga komunikasi di zona konflik. 

    Hal ini menjadikan infrastruktur tersebut target utama. Sistem navigasi satelit global (GNSS) makin sering mengalami gangguan di sekitar zona perang, sementara peretas negara menargetkan kendali posisi satelit melalui serangan siber.

    Wakil Direktur Proyek Keamanan Dirgantara di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Clayton Swope juga menjelaskan mengapa serangan siber dan perang elektronik terhadap satelit kini lebih diminati dibandingkan serangan fisik.

    Menurut Swope, taktik ini memiliki risiko kerusakan tambahan yang lebih kecil dan kemungkinan eskalasi ketegangan yang lebih rendah.

    “Serangan kinetik (fisik) masih menjadi kekhawatiran, tetapi sulit membayangkan serangan kinetik terjadi di masa damai atau ketegangan tinggi karena terlalu memicu eskalasi perang terbuka,” kata Swope.

    Sebaliknya, dia menilai serangan siber serta pengacauan sinyal sering terjadi sebagai taktik “zona abu-abu” yang dianggap tidak mengancam eskalasi yang tidak diinginkan secara langsung.

    Meski China meriset cara melumpuhkannya, jaringan satelit konstelasi sangat sulit untuk dilumpuhlan secara total. Karakteristik satelit ini yang bergerak cepat, berjumlah banyak, dan menggunakan berbagai teknik koreksi sinyal membuat interferensi menjadi tantangan berat.

    Sebagai contoh, Starlink saat ini mengoperasikan sekitar 9.000 satelit yang bergerak di low-earth orbit. Taiwan sendiri telah mengantisipasi risiko ini dengan menandatangani kontrak bersama Eutelsat OneWeb, konstelasi satelit lain yang memiliki lebih dari 600 satelit, untuk menjamin konektivitas jika terjadi bencana atau perang.

    Direktur Strategi dan Keamanan Nasional di The Aerospace Corp Sam Wilson menambahkan bahwa dengan beralihnya AS dan negara lain ke konstelasi satelit terdistribusi yang besar, senjata anti-satelit tradisional menjadi kurang bernilai secara strategis.

    “Menghancurkan satu aset memang akan menyebabkan kerusakan, tetapi tidak akan mematikan seluruh konstelasi. Hal ini mendorong musuh untuk mempertimbangkan vektor ancaman lain, termasuk perang elektronik dan siber,” jelas Wilson. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • China Waswas Starlink Picu Konflik Masa Depan, Misi Lumpuhkan Satelit Musk Dimulai

    China Waswas Starlink Picu Konflik Masa Depan, Misi Lumpuhkan Satelit Musk Dimulai

    Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti di China mempelajari cara untuk melumpuhkan jaringan internet satelit konstelasi, seperti Starlink, guna mengantisipasi potensi konflik di masa depan. Terdapat beberapa metode yang ditemui meski ongkosnya cukup mahal.

    Diketahui jumlah satelit Starlink milik Elon Musk terus bertambah dan dikabarkan telah menembus lebih dari 10.000 pada Oktober 2025, menjadikannya konstelasi satelit terbesar di dunia yang mengorbit Bumi untuk menyediakan internet berkecepatan tinggi.

    China mulai khawatir. Berdasarkan studi terbaru, China memperkirakan butuh ribuan drone untuk melakukan jamming atau pengacauan sinyal di wilayah seluas Taiwan.

    Melansir dari Dark Reading Minggu (14/12/2025), sebuah makalah akademis yang diterbitkan dalam jurnal Systems Engineering and Electronics mengungkapkan temuan tersebut. Peneliti dari dua universitas besar di China menemukan bahwa komunikasi yang disediakan oleh konstelasi satelit dapat diganggu, namun dengan biaya yang sangat besar.

    Studi tersebut mensimulasikan bahwa untuk memutus sinyal dari jaringan Starlink ke wilayah seluas Taiwan, militer membutuhkan pengerahan 1.000 hingga 2.000 drone yang dilengkapi perangkat jammer secara bersamaan.

    Diketahui sebelumnya, konstelasi satelit menjadi peran vital dalam perang Rusia dan Ukraina. Satelit terbukti menjadi urat nadi bagi pasukan Ukraina untuk menjaga konektivitas internet dan komunikasi militer tetap hidup meski di tengah gempuran serangan.

    Temuan ini menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah dan perusahaan antariksa global. Peneliti pertahanan siber senior di Center for Security Studies (CSS) ETH Zürich Clémence Poirier mengatakan bahwa riset ini adalah realita nyata mengenai strategi perang masa depan.

    Menurut Poirier, jika konflik pecah di Asia, terutama yang melibatkan China dan Taiwan, pemutusan konektivitas satelit akan menjadi strategi langkah pembuka.

    “Perusahaan antariksa harus memantau sistem mereka dengan ketat, memisahkan jaringan antara pelanggan sipil dan militer, serta memperbarui model ancaman mereka jika konflik terjadi,” ujar Poirier.

    Satelit kini memegang peran yang makin krusial, mulai dari menyediakan bandwidth berkecepatan tinggi berbiaya rendah untuk daerah pedesaan hingga komunikasi di zona konflik. 

    Hal ini menjadikan infrastruktur tersebut target utama. Sistem navigasi satelit global (GNSS) makin sering mengalami gangguan di sekitar zona perang, sementara peretas negara menargetkan kendali posisi satelit melalui serangan siber.

    Wakil Direktur Proyek Keamanan Dirgantara di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Clayton Swope juga menjelaskan mengapa serangan siber dan perang elektronik terhadap satelit kini lebih diminati dibandingkan serangan fisik.

    Menurut Swope, taktik ini memiliki risiko kerusakan tambahan yang lebih kecil dan kemungkinan eskalasi ketegangan yang lebih rendah.

    “Serangan kinetik (fisik) masih menjadi kekhawatiran, tetapi sulit membayangkan serangan kinetik terjadi di masa damai atau ketegangan tinggi karena terlalu memicu eskalasi perang terbuka,” kata Swope.

    Sebaliknya, dia menilai serangan siber serta pengacauan sinyal sering terjadi sebagai taktik “zona abu-abu” yang dianggap tidak mengancam eskalasi yang tidak diinginkan secara langsung.

    Meski China meriset cara melumpuhkannya, jaringan satelit konstelasi sangat sulit untuk dilumpuhlan secara total. Karakteristik satelit ini yang bergerak cepat, berjumlah banyak, dan menggunakan berbagai teknik koreksi sinyal membuat interferensi menjadi tantangan berat.

    Sebagai contoh, Starlink saat ini mengoperasikan sekitar 9.000 satelit yang bergerak di low-earth orbit. Taiwan sendiri telah mengantisipasi risiko ini dengan menandatangani kontrak bersama Eutelsat OneWeb, konstelasi satelit lain yang memiliki lebih dari 600 satelit, untuk menjamin konektivitas jika terjadi bencana atau perang.

    Direktur Strategi dan Keamanan Nasional di The Aerospace Corp Sam Wilson menambahkan bahwa dengan beralihnya AS dan negara lain ke konstelasi satelit terdistribusi yang besar, senjata anti-satelit tradisional menjadi kurang bernilai secara strategis.

    “Menghancurkan satu aset memang akan menyebabkan kerusakan, tetapi tidak akan mematikan seluruh konstelasi. Hal ini mendorong musuh untuk mempertimbangkan vektor ancaman lain, termasuk perang elektronik dan siber,” jelas Wilson. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • China Temukan Cara Lumpuhkan Satelit Starlink Elon Musk, Ongkosnya Mahal

    China Temukan Cara Lumpuhkan Satelit Starlink Elon Musk, Ongkosnya Mahal

    Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti di China tengah menjajal metode baru untuk melumpuhkan jaringan internet satelit konstelasi, seperti Starlink, guna mengantisipasi potensi konflik di masa depan. 

    Berdasarkan studi terbaru, China diperkirakan membutuhkan ribuan drone untuk melakukan jamming atau pengacauan sinyal di wilayah seluas Taiwan.

    Melansir dari Dark Reading Kamis (11/12/2025), sebuah makalah akademis yang diterbitkan dalam jurnal Systems Engineering and Electronics mengungkapkan temuan tersebut. Peneliti dari dua universitas besar di China menemukan bahwa komunikasi yang disediakan oleh konstelasi satelit dapat diganggu, namun dengan biaya yang sangat besar.

    Studi tersebut mensimulasikan bahwa untuk memutus sinyal dari jaringan Starlink ke wilayah seluas Taiwan, militer membutuhkan pengerahan 1.000 hingga 2.000 drone yang dilengkapi perangkat jammer secara bersamaan.

    Diketahui sebelumnya, konstelasi satelit menjadi peran vital dalam perang Rusia dan Ukraina. Satelit terbukti menjadi urat nadi bagi pasukan Ukraina untuk menjaga konektivitas internet dan komunikasi militer tetap hidup meski di tengah gempuran serangan.

    Temuan ini menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah dan perusahaan antariksa global. Peneliti pertahanan siber senior di Center for Security Studies (CSS) ETH Zürich Clémence Poirier mengatakan bahwa riset ini adalah realita nyata mengenai strategi perang masa depan.

    Menurut Poirier, jika konflik pecah di Asia, terutama yang melibatkan China dan Taiwan, pemutusan konektivitas satelit akan menjadi strategi langkah pembuka.

    “Perusahaan antariksa harus memantau sistem mereka dengan ketat, memisahkan jaringan antara pelanggan sipil dan militer, serta memperbarui model ancaman mereka jika konflik terjadi,” ujar Poirier.

    Satelit kini memegang peran yang makin krusial, mulai dari menyediakan bandwidth berkecepatan tinggi berbiaya rendah untuk daerah pedesaan hingga komunikasi di zona konflik. 

    Hal ini menjadikan infrastruktur tersebut target utama. Sistem navigasi satelit global (GNSS) makin sering mengalami gangguan di sekitar zona perang, sementara peretas negara menargetkan kendali posisi satelit melalui serangan siber.

    Wakil Direktur Proyek Keamanan Dirgantara di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Clayton Swope juga menjelaskan mengapa serangan siber dan perang elektronik terhadap satelit kini lebih diminati dibandingkan serangan fisik.

    Menurut Swope, taktik ini memiliki risiko kerusakan tambahan yang lebih kecil dan kemungkinan eskalasi ketegangan yang lebih rendah.

    “Serangan kinetik (fisik) masih menjadi kekhawatiran, tetapi sulit membayangkan serangan kinetik terjadi di masa damai atau ketegangan tinggi karena terlalu memicu eskalasi perang terbuka,” kata Swope.

    Sebaliknya, dia menilai serangan siber serta pengacauan sinyal sering terjadi sebagai taktik “zona abu-abu” yang dianggap tidak mengancam eskalasi yang tidak diinginkan secara langsung.

    Meski China meriset cara melumpuhkannya, jaringan satelit konstelasi sangat sulit untuk dilumpuhlan secara total. Karakteristik satelit ini yang bergerak cepat, berjumlah banyak, dan menggunakan berbagai teknik koreksi sinyal membuat interferensi menjadi tantangan berat.

    Sebagai contoh, Starlink saat ini mengoperasikan sekitar 9.000 satelit yang bergerak di low-earth orbit. Taiwan sendiri telah mengantisipasi risiko ini dengan menandatangani kontrak bersama Eutelsat OneWeb, konstelasi satelit lain yang memiliki lebih dari 600 satelit, untuk menjamin konektivitas jika terjadi bencana atau perang.

    Direktur Strategi dan Keamanan Nasional di The Aerospace Corp Sam Wilson menambahkan bahwa dengan beralihnya AS dan negara lain ke konstelasi satelit terdistribusi yang besar, senjata anti-satelit tradisional menjadi kurang bernilai secara strategis.

    “Menghancurkan satu aset memang akan menyebabkan kerusakan, tetapi tidak akan mematikan seluruh konstelasi. Hal ini mendorong musuh untuk mempertimbangkan vektor ancaman lain, termasuk perang elektronik dan siber,” jelas Wilson. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • China Pelajari Cara Lumpuhkan Starlink, Butuh 2.000 Drone untuk Putuskan Internet Taiwan

    China Pelajari Cara Lumpuhkan Starlink, Butuh 2.000 Drone untuk Putuskan Internet Taiwan

    China, Rusia, dan Amerika Serikat telah mengembangkan kemampuan anti-satelit yang signifikan.

    “Namun seiring AS dan negara lain beralih ke konstelasi satelit terdistribusi yang besar, senjata yang sebelumnya diteliti, seperti amunisi anti-satelit pendakian langsung (ASAT), menjadi kurang bernilai strategis,” kata Direktur Strategi dan Keamanan Nasional di Pusat Kebijakan dan Strategi Luar Angkasa di The Aerospace Corp, Sam Wilson.

    “Meskipun melumpuhkan satu aset saja akan menyebabkan kerusakan dan berpotensi meningkatkan konflik, hal itu tidak akan melumpuhkan seluruh konstelasi,” ujarnya.

    Menurut CSIS, China saat ini sedang mengembangkan teknologi konstelasi sendiri untuk mendapatkan manfaat dari jaringan ruang angkasa terdistribusi. setara Starlink. Sehingga dalam skenario konflik, AS dan sekutunya juga harus mempertimbangkan bagaimana cara menghambat akses PLA ke jaringan tersebut.

    Sementara Secure World Foundation mencatat, sejak 2015, Rusia telah melakukan uji ASAT, China melakukan enam pengujian, dan India melakukan dua pengujian sejak 2015.

    Selain gangguan sinyal, sejumlah negara mengembangkan operasi ruang angkasa aktif, termasuk Prancis yang berencana menyebarkan satelit nano kecil untuk pertahanan, India menciptakan kemampuan docking di orbit, dan China beberapa kali melakukan “dogfighting” antar satelit manuver antar wahana yang menunjukkan kemampuan operasi jarak dekat.

  • Kabel Data Bawah Laut AS-Asia Rentan Disabotase?

    Kabel Data Bawah Laut AS-Asia Rentan Disabotase?

    Jakarta

    Kabel bawah laut adalah tulang punggung globalisasi di era internet. Kabel ini membentang di lautan untuk menghubungkan negara-negara dan benua di seantero dunia. Pada 2021, penelitian dari Total Telecom menyebut setidaknya ada hampir 500 kabel yang membentang dengan panjang keseluruhan mencapai sekitar 1,3 juta kilometer. Jumlah itu terus bertambah.

    “Semua pertukaran data di dunia terhubung dari kabel-kabel ini,” kata Johannes Peters, kepala Center for Maritime Strategy and Security di Christian Albrechts Univerity, Kiel.

    “Internet, pembayaran, berbagai informasi yang Anda pikirkan, berbagai jenis komunikasi digital verbal, semuanya terhubung secara eksklusif di kabel ini,” lanjut Johannes kepada DW. “Kita bergantung pada kabel-kabel ini dalam konteks global.”

    Namun, kini jaringan komunikasi ini kian dipandang sebagai target sabotase.

    Sinyal bahaya terendus dari berbagai insiden yang terjadi di perairan Baltik. Studi dari Washington University, Seattle menuturkan bahwa ada 10 kabel yang dipotong sejak 2022. Tujuh di antaranya dipotong dalam rentang waktu November 2024-Januari 2025. Itu di luar penambahan kasus yang dilaporkan pada musim panas ini.

    Bila dilihat dari pergerakan kapal dan jangkar, Rusia dinyatakan sebagai terduga pelaku pemotongan kabel. Namun, klaim ini belum sepenuhnya terbukti. Di samping klaim bahwa kabel sengaja dirusak, ada pula kemungkinan bahwa kabel tersebut rusak karena kelalaian.

    Tiongkok juga dicurigai merusak sebagian kabel data di perairan Baltik. Khususnya di area dekat Taiwan. November 2025, Swedia mendesak Cina untuk bertanggung jawab terkait insiden tersebut.

    Masalah muncul di Pasifik?

    Menurut laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, Cina sudah membangun kapal yang bisa memotong kabel yang terletak 4000 meter di bawah permukaan laut.

    Pihak Amerika Serikat juga mengumumkan peringatan serupa. Baru-baru ini, The US China Economic and Security Review Commission yang ditugaskan untuk memasok informasi kepada anggota Kongres AS, menyatakan bahwa Cina telah “semakin terlibat dalam aktivitas pengguntingan kabel bawah laut sebagai salah satu taktik intimidasi di zona abu-abu dan ada pula bukti bahwa Beijing sedang membuat teknologi baru untuk memotong kabel bawah laut yang bisa digunakan di saat perang.”

    Dampak jika kabel bawah laut rusak

    Putusnya kabel data bawah laut dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat besar. Ini adalah Kesimpulan Kenny Huang, kepala organisasi Asia Pacific Information Center (APIC) yang melayani registrasi alamat internet untuk kawasan Asia Pasifik.

    Bila kabel data bawah laut utama rusak, “Anda akan kehilangan seluruh koneksi internet,” kata Kenny kepada DW.

    “Kalau Anda kehilangan koneksi internet, berarti Anda kehilangan segalanya,” sambungnya.

    Kawasan yang terdampak bahkan tidak akan bisa menggunakan jejaring internal mereka. Misalnya di Taiwan, pulau tersebut akan jadi “gelap” dengan dampak kerusakan yang bergulir jauh melampaui komunikasi, merambah ke sektor pendidikan, ekonomi, agrikultur, dan masih banyak lainnya.

    Negara-negara lain bisa menghadapi kasus serupa bila ada serangan terhadap kabel data bawah laut. Meskipun tidak terputus atau rusak, kabel-kabel data bawah laut tersebut bisa dimanfaatkan sebagai jaringan informasi lintas benua.

    “Negara-negara musuh bisa memanfaatkan kelemahan ini untuk data intelijen atau untuk membuat strategi menguntungkan di ranah konflik keamanan maritim,” tulis Global Defense Insight, majalah online, dalam tulisan yang terbit pada Februari 2025.

    Perairan Baltik jadi arena perang hibrida

    Menurut Peters, secara teknis, merusak kabel data bawah laut tidak terlalu sulit.

    “Cukup dengan menyeret jangkar di dasar laut yang bisa menarik dan memutus kabel. Anda tidak membutuhkan performa kapal yang tinggi,” kata Johannes kepada DW.

    “Cina akan mencermati dengan saksama bagaimana Barat merespons serangan terhadap kabel data bawah laut. Mereka akan mencoba mengidentifikasi permasalahan teknis dan legal yang ditimbulkan oleh negara-negara Barat yang bersumber dari hukum maritim internasional. Dalam hal ini, perairan Baltik saat ini menjadi semacam tempat pembuktian bagi peperangan maritim, yang tentu saja diamati dari belahan dunia lain.”

    Bisakah kabel data bawah laut dilindungi?

    Menurut Kenny, ini adalah salah satu alasan untuk meningkatkan perlindungan hukum untuk kabel data bawah laut. Termasuk sanksi berat bagi pihak yang memotong jalur komunikasi.

    Di saat yang bersamaan ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjaga kabel data bawah laut. Contohnya, ketika kabel data bawah laut rusak, lalu lintas data bisa diubah ke kabel data lain atau ke penyedia layanan berbeda. Berbagai rencana cadangan bisa membawa perubahan.

    Kenny juga memperingatkan, ketika serangan militer terhadap kabel data bawah laut terjadi, “Tidak ada pihak yang bisa bertahan dari serangan tersebut.”

    Inilah mengapa negara-negara di kawasan tersebut fokus merancang rencana pencegahan. Menurut studi CSIS, Jepang dan sekutunya berencana mengeliminasi perusahaan Cina dari berbagai proyek yang berhubungan dengan kabel data bawah laut bila sudah ada keterlibatan dari investor dan perusahaan AS. Di samping itu, Jepang sedang menyebarkan kabel data bawah laut mereka ke area yang lebih besar sehingga satu serangan tidak akan jadi ancaman untuk seluruh system.

    Sementara itu, Johannes beranggapan bahwa negara-negara juga dapat membatasi lalu lintas perairan di area-area tertentu dan menerbitkan izin khusus untuk kapal-kapal yang berlayar di dekat kabel data bawah laut.

    “Kabel data bawah laut itu sendiri pun bahkan bisa juga diproteksi menggunakan sensor yang tepat,” pungkas Johannes.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Joan Aurelia Rumengan

    Editor: Muhammad Hanafi

    (ita/ita)

  • RI Belum Siap Hadapi Penipuan Digital

    RI Belum Siap Hadapi Penipuan Digital

    Bisnis.com, JAKARTA — Kerugian akibat penipuan digital atau scam di Indonesia menembus Rp8 triliun dalam setahun. CSIS menilai Indonesia masih belum sepenuhnya siap menghadapi kompleksitas penipuan digital.

    Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat scam. Berdasarkan data Indonesia Anti-Scam Centre (IASC), sepanjang 22 November 2024 hingga 21 November 2025 tercatat 360.541 laporan diterima, 112.680 rekening diblokir, Rp387,8 miliar dana dibekukan, dan kerugian publik mencapai Rp8 triliun.

    Deputi Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Medelina K. Hendytio menilai Indonesia sebenarnya telah memiliki hampir seluruh instrumen untuk menangani kasus scam. Namun, menurutnya masih terdapat sejumlah catatan penting untuk perbaikan.

    “Kerangka kebijakan Indonesia sudah cukup lengkap, tetapi belum sepenuhnya siap menghadapi kompleksitas penipuan digital,” ujarnya dalam seminar Penguatan Perlindungan Konsumen melalui Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) yang diselenggarakan Indonesia Fintech Society (IFSoc) pada Senin (1/12/2025).

    Salah satu isu yang mencuat dalam seminar tersebut adalah belum direvisinya Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1999, meski sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Revisi ini dinilai sangat penting untuk memberikan payung hukum yang lebih relevan bagi perlindungan konsumen di ruang digital.

    Perubahan teknologi yang sangat cepat turut menuntut pembaruan regulasi. UU yang berlaku saat ini dinilai tidak lagi mengikuti perkembangan era digital sehingga penanganan scam menjadi kurang optimal.

    Dalam sesi diskusi, sejumlah narasumber termasuk Medelina mengaku pernah menjadi korban scam. Dia menceritakan bahwa mendapatkan bantuan dari pihak berwenang tidaklah mudah. Menurutnya, proses akan jauh lebih efektif jika masyarakat tahu cara meminta pertolongan, sementara aparat dapat memproses pengaduan dengan sigap.

    Direktur Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir juga mengungkapkan keluhan serupa.

    “Kita ini dihadapi dengan aturan yang muter terus ya kan. Kami berharap ke depannya antara operator dengan IASC bisa langsung, regulatornya bisa lakukan pendekatan sebagai regulator secara terus menerus, dan harus melihat apa sih yang terjadi dalam kejahatan,” ujarnya.

    Sebagai informasi, IASC mencatat ada sepuluh jenis scam dengan laporan tertinggi di Indonesia, meliputi penipuan transaksi belanja, fake call, penipuan investasi, penipuan kerja, penipuan media sosial, phishing, social engineering, pinjaman online fiktif, dan APK WhatsApp scam.

    Untuk memperkuat pemberantasan scam, Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) bersama IASC memiliki beberapa rencana ke depan, yaitu penguatan penegakan hukum, peningkatan sosialisasi masif dan kerja sama antarpemangku kepentingan, pengembangan sistem IASC, serta penguatan anggota IASC. (Nur Amalina)

  • Kemenko Perekonomian: IEU-CEPA modal ekonomi tumbuh delapan persen

    Kemenko Perekonomian: IEU-CEPA modal ekonomi tumbuh delapan persen

    Depok, Jawa Barat (ANTARA) – Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian menyatakan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) menjadi modal untuk mewujudkan ekonomi RI tumbuh delapan persen pada 2029.

    “Kita harapkan menjadi pendorong agar kita bisa tumbuh 5,4 persen di 2026, dan juga menjadi modal kita untuk tumbuh 8 persen di 2029,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha BUMN Kemenko Perekonomian Ferry Irawan dalam Indonesia Economic Outlook di Depok, Jabar, Senin.

    Menurut dia, kesepakatan tersebut membuka akses pasar yang lebih luas bagi produk Indonesia di kawasan Uni Eropa, yang juga memberikan sejumlah manfaat, seperti penurunan tarif untuk sebagian besar pos tarif Indonesia ke Eropa, peningkatan nilai ekonomi nasional, serta kemudahan proses visa melalui kebijakan fast-track.

    “Ada 98,61 persen pos tarif untuk Indonesia yang akan diturunkan, kemudian peningkatan nilai ekonomi Indonesia, serta pemberlakuan visa fast-track policy sehingga proses visa menjadi lebih mudah,” kata dia.

    Lewat perjanjian itu pula, kata dia, beberapa komoditas ekspor Indonesia akan menikmati tarif 0 persen, mulai dari produk pertanian dan perkebunan seperti sawit, kopi, kakao, dan karet, produk perikanan seperti ikan, lobster, dan udang, komoditas kehutanan seperti kayu, kayu olahan, dan panel kayu, hingga produk tekstil dan elektronik.

    Lebih lanjut, ia menyampaikan, selain memanfaatkan perjanjian IEU-CEPA sebagai modal pemajuan ekonomi, pemerintah turut memperkuat ekonomi nasional dengan mendorong produktivitas, penerapan ekonomi biru dan hijau, menjadikan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan, serta memacu investasi.

    Selanjutnya, penguatan industrialisasi, penguatan pariwisata dan ekonomi kreatif, mempercepat transformasi digital, serta memaksimalkan belanja negara untuk produktivitas.

    Sebelumnya, Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti menegaskan pentingnya memperkuat implementasi kerja sama Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) guna meningkatkan perdagangan, investasi serta daya saing yang berkelanjutan.

    “Jika kita ingin memperkuat perdagangan dan daya saing, kita harus menghadapi proteksionisme dengan kolaborasi yang lebih dalam,” ujar Wamendag Roro dalam sambutannya pada acara CSIS Strategic Dialogue bertema “Trade and Competitiveness in a Changing Global Landscape: Building a Stronger Economic Partnership Between Europe and Indonesia” di Jakarta, Selasa (4/11/2025).

    Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menyeimbangkan Pengamanan Transaksi Elektronik dan Inklusi Keuangan

    Menyeimbangkan Pengamanan Transaksi Elektronik dan Inklusi Keuangan

    Jakarta

    Saat ini teknologi digital telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita, termasuk dalam melakukan transaksi ekonomi. Dari berbagai penggunaan digital ekonomi, satu yang terlihat menonjol dan berkembang sangat pesat adalah penggunaan teknologi tersebut dalam transaksi keuangan. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi melalui Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melesat menjadi Rp 659,93 triliun dari 6,24 miliar transaksi di tahun 2024 dari hanya Rp 8,21 triliun yang berasal dari 124,11 juta transaksi di tahun 2020. Sementara transaksi uang elektronik naik 34,62 persen menjadi Rp 2,5 kuadriliun di tahun 2024 dari Rp 1,85 kuadriliun di tahun sebelumnya.

    Tetapi, selalu ada dua sisi dari kemajuan teknologi. Seiring masifnya transaksi keuangan digital, praktek-praktek penipuan atau scam menggunakan platform digital juga mengalami peningkatan tajam. Berdasarkan laporan Indonesia Anti-Scam Center (IASC), terdapat 323.841 laporan terkait penipuan yang dihimpun selama satu tahun sejak peluncurannya pada November 2024. Besarnya permasalahan ini tentu saja perlu ditangani secara tepat agar berbagai pihak yang terlibat dalam transaksi keuangan mendapatkan perlindungan yang mencukupi, tanpa memberatkan semua pihak, dan dapat diterapkan secara efektif.

    Dalam rangka memberikan perlindungan tersebut, Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang baru saja direvisi tahun lalu, mengharuskan setiap transaksi elektronik yang memiliki risiko tinggi untuk menggunakan tanda tangan elektronik tersertifikasi (TTET). Apa yang dimaksud dengan transaksi berisiko tinggi? Ternyata dalam penjelasan UU tersebut, definisinya adalah “transaksi keuangan yang tidak dilakukan dengan tatap muka secara fisik”. Definisi yang sangat luas ini tentu saja dapat menimbulkan berbagai implikasi kepada seluruh pemangku kepentingan.

    Satu hal yang pasti adalah akan adanya tambahan biaya operasional dari kewajiban tersebut. Kewajiban ini bukan saja membebani pelaku industri, tetapi juga bisa menjadi biaya tambahan kepada pengguna. Bila hal tersebut terjadi, maka kebijakan yang diambil menjadi kontradiktif terhadap upaya peningkatan inklusi keuangan, terutama di daerah area tertinggal. Padahal peningkatan inklusi keuangan, dengan target 93 persen pada 2029 telah menjadi indikator Sasaran Utama Prioritas Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

    Dari sisi industri keuangan, kewajiban ini juga tentunya akan menimbulkan tambahan beban biaya. Ini dapat memberikan disinsentif bagi industri untuk melakukan berbagai inovasi yang diperlukan, bukan hanya dalam pelayanan, tetapi juga inovasi dalam pengamanan. Sebenarnya, sudah banyak invoasi yang diterapkan untuk meningkatkan pengamanan dan perlindungan, seperti know your customer (KYC), one-time password (OTP), biometrik, dan two-factor authentification (2FA). Berbagai inovasi tersebut juga sudah diakui oleh lembaga regulator terkait, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

    Patut juga dipertanyakan efektifitas dari aturan ini. Kejahatan siber yang sering terjadi di Indonesia bukanlah pemalsuan identitas data pribadi, tapi lebih sering dalam bentuk social engineering untuk mengelabui korban dalam melakukan pembayaran secara legal dan terotorisasi. Titik paling rentan bagi keamanan pengguna layanan keuangan digital adalah literasi digital dan keuangan masyarakat Indonesia yang belum memadai, bukan penggunaan data pribadi secara ilegal. Kewajiban penggunaan TTET ini tidak akan efektif menyelesaikan permasalahan yang ada, karena memang permasalahan utama bukanlah hal yang akan diselesaikan oleh kebijakan tersebut.

    Mengingat bahwa kebijakan tersebut memberikan beban tambahan kepada pengguna maupun industri, sementara efektifitasnya masih diragukan, pemerintah perlu menetapkan batasan yang lebih jelas bagi transaksi elektronik berisiko tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkannya dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 71/2019.

    Tanpa adanya kebijakan yang memberikan batasan, maka keharusan penggunaan TTET justru dapat menjadi bumerang dan kontra produktif terhadap inklusi keuangan. Ini juga memberikan pengaruh yang tidak diinginkan terhadap perkembangan ekonomi digital secara keseluruhan dan berpotensi menganggu pencapaian pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang direncanakan.

    Sebenarnya ada beberapa alternatif solusi yang lebih efektif dalam memitigasi risiko penggunaan transaksi elektronik. Yang utama dan paling penting adalah memperkuat sosialisasi dan edukasi literasi keuangan di Indonesia. Upaya ini perlu ditingkatkan secara terstruktur, konsisten, dan berkelanjutan, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan terhadap penipuan.

    Selain itu, kolaborasi dan sinergi lintas sektor dalam melawan penipuan/scam pada transaksi elektronik perlu dilakukan melalui fraud detection system maupun fraud database yang dapat menindak secara cepat para pelaku kejahatan elektronik. Inisiatif yang diluncurkan OJK melalui Indonesia Anti Scam Center (IASC) menjadi sebuah refleksi dari kolaborasi antara regulator dan industri keuangan pada 2024 untuk berbagi informasi daftar hitam secara real-time. Selain itu, IASC juga dapat menjadi acuan upaya anti scam berbasis prinsip ekonomi di sektor jasa keuangan.

    State of Scams in Indonesia 2025 Report yang diterbitkan oleh Global Anti Scam Alliance (GASA) mencatat bahwa 66 persen orang dewasa di Indonesia terpapar upaya scam setiap bulannya, dengan total 55 upaya scam per orang per tahun. Hal ini mencerminkan betapa masif dan terorganisasinya pola scam saat ini. Dalam konteks ini, kehadiran IASC menjadi sebuah tonggak penting yang menunjukkan bahwa Indonesia mulai membangun sistem pertahanan digital yang lebih terintegrasi.

    Dalam penerapan kewajiban TTET, pemerintah juga perlu menggunakan cost-benefit analysis dalam menajamkan definisi transaksi berisiko tinggi yang akan menggunakan TTET melalui revisi PP No. 71/2019. Ini juga perlu diikuti dengan proses benchmarking secara sistematis untuk memutuskan kebijakan yang tepat terhadap pengamanan transaksi elektronik. Tidak ada satu negara pun yang mewajibkan penggunaan TTET sebagai cara untuk terhadap risiko penipuan/scam.

    Pengaturan teknis lanjutan mengenai transaksi berisiko tinggi sebaiknya ditetapkan regulator dengan kewenangan paling sesuai, misalnya BI dan OJK pada sektor keuangan. Ini dilakukan agar penerapan kebijakan menjadi lebih kontekstual, sehingga memastikan keseimbangan pengendalian risiko dan keberlanjutan inovasi di industri transaksi elektronik, serta menghidari dampak kontraproduktif terhadap pencapaian perkembangan ekonomi digital dan inklusi keuangan di Indonesia.

    Ditulis oleh Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif, Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Lulusan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan master The Australian National University ini juga mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

    (asj/asj)

  • Penyebutan IKN Sebagi Ibu Kota Politik Dinilai Rancu

    Penyebutan IKN Sebagi Ibu Kota Politik Dinilai Rancu

    Bisnis.com, JAKARTA — Terminologi ibu kota politik bagi IKN Nusantara terkesan rancu dan perlu dijelaskan oleh pemerintah.

    Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dominique Niky Fahrizal mengatakan bahwa ibu kota politik bisa berarti bahwa IKN adalah pusat dari kekuasaan atau pemerintahan. Bisa jadi, tuturnya, di dalam IKN itu nanti ada tiga cabang kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif yang  berkantor di tempat itu.

    “Jadi memang agak rancu tetapi kita harus menafsirkannya supaya masyarakat bisa mengetahui secara lebih baik apa artinya ibu kota politik,”, ujarnya dalam program Broadcast, di kanal youtube Bisniscom, dikutip Selasa (11/11/2025).

    Menurutnya, penggunaan istilah itu sengaja dipilih oleh pemerintahan Prabowo karena ingin menetapkan Jakarta sebagai pusat finansial atau bisnis di Indonesia.

    Namun menurutnya, adalah sebuah kemustahilan untuk memisahkan Jakarta sebagai ikon ekonomi dan finansial dengan politik karena kota itu tumbuh secara organik ketimbang IKN.

    Niky Fahrizal menilai sebenarnya penyebutan istilah ibu kota politik itu juga merupakan pilihan yang paling realistis dari Prabowo yang harus melanjutkan proses pembangunan IKN yang dirintis oleh Joko Widodo.

    Pada era presiden sebelumnya, pembentukan undang-undang IKN berjalan supercepat dan tanpa perencanaan sebelumnya. Hal ini, terangnya, dapat dilihat pada masa kampanye presidensial 2019 di mana tidak pernah ada janji dari Jokowi tentang IKN.

    Kala itu, Jokowi hanya berbicara tentang omnibus law. IKN, ujarnya, baru muncul di masa pandemi Covid-19.

    Sementara itu, karena sudah terlanjur ditetapkan dan pembangunannya pun sudah terlanjur dilaksanakan, mau tidak mau Prabowo mesti melanjutkan.

    “Kita tahu persis bahwa relasi Pak Prabowo dan Pak Jokowi ini kan memang bagian dari circle kekuasaan di mana mereka berkolaborasi. Jadi harus berlanjut dan dicari justifikasinya apa untuk pindah ke sana. Mau tidak mau ya kota pemerintahan dan menggunakan terminologi yang cukup unik, Ibu kota politik,” paparnya.

    Meski IKN menjadi ibu kota politik, namun Niky Fahrizal meyakini kota itu tidak akan bisa menyamai berbagai infrastruktur yang dimilki oleh kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Makassar yang tumbuh secara organik karena merupakan kota pelabuhan serta perdagangan.

    Infrastruktur yang belum lengkap di IKN itu pula yang menurutnya, jadi penyebab pemerintahan tidak bisa segera pindah ke daerah di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur itu.

    “Dampak pindah ibu kota secara terburu-buru menurut saya akan serius, jika tidak dipersiapkan infrastrukturnya secara baik, juga apabila tidak dipersiapkan dengan baik Karena infrastrukturnya harus terus dikembangkan, lalu bagaimana memindahkan para birokrat ke sana Lalu bagaimana fasilitas pendukungnya Pesekolah, rumah sakit,” pungkasnya.

  • Mampukah Barat Lepas Cengkraman China atas Logam Tanah Jarang?

    Mampukah Barat Lepas Cengkraman China atas Logam Tanah Jarang?

    Beijing

    Perang dagang antara Amerika Serikat dan China belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Di tengah ketegangan itu, perhatian dunia kembali tertuju pada sekelompok logam yang dikenal sebagai rare earth elements — Logam Tanah Jarang (LTJ) yang vital bagi industri teknologi tinggi.

    China mendominasi hampir seluruh rantai pasok tanah jarang. Sekitar 70 persen produksi tambang dunia dan hingga 90 persen hasil olahannya dikuasai China.

    Laporan terbaru Badan Energi Internasional (IEA) pekan ini menyebut, “konsentrasi pasar yang tinggi” di China membuat rantai pasok global di sektor strategis — mulai dari energi, otomotif, pertahanan hingga pusat data kecerdasan buatan — “rentan terhadap gangguan besar.”

    Awal Oktober, China memperketat kendali atas ekspor logam langka. Mulai 1 Desember, perusahaan asing di mana pun di dunia harus memperoleh izin pemerintah di Beijing jika ingin mengekspor produk yang mengandung bahan rare earth asal China, bahkan dalam jumlah kecil sekalipun, atau yang diproses dengan teknologi China.

    Langkah ini ditetapkan setelah Washington memperluas daftar perusahaan China yang dilarang mengakses cip semikonduktor dan teknologi paling canggih dari Amerika Serikat.

    Keputusan Beijing itu memicu kekhawatiran akan kelangkaan pasokan yang bisa mengganggu produksi berbagai barang penting, mulai dari mobil listrik, peralatan militer, hingga sistem energi terbarukan.

    Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, menyebut kebijakan baru itu “sangat agresif” dan “tidak proporsional”. Kepala perdagangan Uni Eropa, Maros Sefcovic, menilainya “tidak beralasan dan merugikan.”

    Kenapa LTJ bernilai strategis?

    Unsur tanah jarang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Berkat sifat fisik, magnetik, dan kimianya yang unik, logam ini menjadi bahan utama untuk membuat magnet permanen, yang tak kehilangan daya meski tanpa sumber listrik.

    Dari ponsel, laptop, mobil hibrida, turbin angin, hingga panel surya—semuanya bergantung pada logam langka. Ia juga menjadi bahan vital dalam teknologi pertahanan: mesin jet tempur, sistem kendali rudal, pertahanan antirudal, satelit luar angkasa, hingga jaringan komunikasi militer.

    Meski disebut “langka”, unsur ini sebenarnya cukup melimpah di kerak bumi, bahkan lebih banyak dari tembaga atau emas. Namun, mereka jarang ditemukan dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk ditambang secara ekonomis.

    Selain di China, cadangan logam langka juga ada di Kanada, Australia, Amerika Serikat, Brasil, India, Afrika Selatan, dan Rusia. Unsur-unsur ini terbagi dua jenis utama berdasarkan proses pemisahannya: light rare earths dan heavy rare earths. China memiliki hampir monopoli penuh, terutama untuk pengolahan kategori kedua.

    Menurut Benchmark Mineral Intelligence, lembaga riset energi asal Inggris, perusahaan China menguasai hingga 99 persen pengolahan heavy rare earths dunia.

    Mengapa dunia sulit lepas dari China?

    Amerika Serikat pernah swasembada dalam produksi logam langka. Namun, dalam dua dekade terakhir, China mengambil alih pangsa pasar dan perlahan menguasai rantai pasok global. Dominasi itu sudah terlihat sejak sepuluh tahun lalu. Banyak pihak menduga Beijing sengaja menggunakan logam langka sebagai alat tawar dalam konflik geopolitik.

    Pada 2010, China sempat menutup ekspor LTJ ke Jepang akibat sengketa wilayah, memicu kekhawatiran dunia industri. Saat perang dagang antara Washington dan Beijing memuncak pada 2019, media pemerintah China bahkan mengisyaratkan kemungkinan penghentian ekspor logam langka ke Amerika sebagai balasan atas sanksi AS.

    Presiden Xi Jinping ketika itu menyebut unsur tanah jarang sebagai “sumber daya strategis penting.” Namun, upaya negara lain untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasokan China sejauh ini masih jalan di tempat.

    Langkah balasan Amerika

    Untuk menandingi dominasi China, pemerintahan Amerika Serikat—yang dimulai sejak era Donald Trump—berusaha menjalin kemitraan baru guna mengamankan pasokan logam langka. Namun, tantangan terbesar justru ada pada tahap hilir: pengolahan dan pemurnian.

    “Hal pertama yang perlu dilakukan AS adalah memprioritaskan bagian tengah rantai pasok—yakni pengolahan dan pemurnian,” kata Karl Friedhoff, peneliti di Chicago Council on Global Affairs, dalam sebuah tulisan blog 16 Oktober lalu.

    “Tanpa kendali di tahap itu, kita memang punya bahan mentah, tapi tetap harus mengirimkannya ke China untuk diolah,” ujarnya. Artinya, AS butuh membangun pabrik pemrosesan dan kilang di luar wilayah China. Namun, proyek semacam itu datang dengan segudang persoalan—terutama masalah lingkungan.

    Harga mahal dominasi China

    Keunggulan China dalam industri logam langka dibayar mahal oleh lingkungannya. Proses penambangan membawa risiko besar bagi kesehatan manusia dan alam, sebab bijih rare earth mengandung unsur radioaktif seperti uranium dan torium yang dapat mencemari udara, air, dan tanah.

    Di negara-negara Barat, membangun pabrik pengolahan serupa menghadapi rintangan berat: regulasi lingkungan yang ketat membuat biayanya melambung dan prosesnya panjang. Selain itu, pengolahan logam langka memerlukan energi dan air dalam jumlah besar, sering kali menimbulkan penolakan publik di wilayah yang dijadikan lokasi.

    Teknologi pengolahannya pun rumit. China memiliki keunggulan teknologi tak tertandingi, dengan pengalaman puluhan tahun, tenaga ahli, dan ekosistem industri yang sulit disaingi.

    Laporan Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Washington pada Juli lalu menyebut China memiliki “keahlian teknis yang tak tertandingi dalam pemrosesan logam langka, terutama dalam ekstraksi pelarut”—tahap penting dan paling rumit dalam pemisahan unsur tersebut.

    “Perusahaan-perusahaan Barat tertinggal karena keterbatasan tenaga ahli, riset dan pengembangan, serta tekanan regulasi lingkungan,” tulis laporan itu.

    Menurut CSIS, upaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman pasokan China tak cukup hanya dengan membuka tambang baru di luar negeri. Dunia juga membutuhkan fasilitas pemurnian baru, tenaga kerja terampil, dan insentif ekonomi bagi perusahaan, termasuk stabilitas harga dan kontrak pembelian jangka panjang dengan industri pengguna seperti otomotif dan pertahanan.

    Laporan itu mendesak AS membangun kembali keahlian teknis di bidang logam langka dan membentuk pusat-pusat pemrosesan baru. Namun, upaya itu memerlukan lebih dari sekadar bahan baku murah. Diperlukan juga akses terhadap energi terjangkau, infrastruktur transportasi yang efisien, teknologi pemrosesan termutakhir, dan tenaga kerja yang terampil.

    Meski berbagai strategi tengah disusun, para analis memperkirakan China masih akan mendominasi industri ini dalam waktu dekat. Tanpa langkah cepat dan terkoordinasi, tulis CSIS, “jendela untuk menandingi dominasi China akan semakin sempit, menempatkan teknologi, industri, dan kepentingan keamanan dunia dalam risiko yang terus meningkat.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    (nvc/nvc)