NGO: Buzzer

  • Ragam Tanggapan Publik Usai Tonton IG Live Pemeriksaan 7 Brimob Pelindas Ojol

    Ragam Tanggapan Publik Usai Tonton IG Live Pemeriksaan 7 Brimob Pelindas Ojol

    Jakarta

    Pemeriksaan 7 anggota Brimob pelindas driver ojol disiarkan live. Masyarakat merasa kurang puas.

    Divisi Propam Polri memeriksa 7 personel Brimob terkait tewasnya pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan karena dilindas kendaraan taktis (rantis). Pemeriksaan disiarkan live, Jumat (29/8/2025) di akun Instagram resmi Divisi Propam Polri.

    Tayangan ini mendapat atensi tinggi dan reaksi netizen Indonesia dengan penonton naik turun di angka 600-700 orang. Layaknya tayangan live pada umumnya, tentu komentar netizen ramai membanjiri.

    Apalagi yang menjadi bahan konten live ini adalah urusan yang lagi ramai membetot perhatian publik. Tewasnya driver ojol Affan dalam demo 28 Agustus 2025, membuat publik emosi dan memantik aksi unjuk rasa lagi pada hari ini.

    Ada berbagai komentar publik di sana. Rupanya banyak suara tidak puas karena beberapa hal misalnya merasa banyak buzzer yang menyerang netizen yang sedang mengkritik Polri, mereka yang tidak puas juga karena berharap menuntut keadilan untuk Affan.

    Inilah beberapa komentar mereka:

    “Yang buat kacau dpr, yang kena imbas polri dan masyarakat haduh,” kata @ismiii***.

    “SOP nya pak tolong ditegakkan lagi. Kami kalau berdemo harusnya merasa aman dan dilindungi,” kritik @april.di***.

    “Buzzer template sampah,” kata @dimas.rama*** mengomentari banyaknya buzzer menyerang netizen yang mengkritik Polri.

    “Yg buzzer blokir aja napa,” keluh @novilan***.

    “Cuma kata maaf doang nih?” sindir @_isn***.

    “Ingat, fokus utama adalah ke kaum-kaum biadab yang berjoget. Aparat dan instansi keamanan hanya sebagai pion mereka yang sebagai raja dan ratu parlemen,” pesan @ygn***.

    (fay/fyk)

  • Antropolog Belanda Sebut Fenomena Buzzer Bayaran di Indonesia Sudah Menjadi Industri

    Antropolog Belanda Sebut Fenomena Buzzer Bayaran di Indonesia Sudah Menjadi Industri

    GELORA.CO –  Antropolog politik komparatif University of Amsterdam Ward Berenschot menyebut fenomena pendengung atau buzzer di dunia maya sudah menjadi suatu industri di Indonesia. Kesimpulannya itu berdasarkan lima tahun riset atas fenomena kejahatan siber di Indonesia.

    “Kami sudah sekitar lima tahun melakukan riset tentang fenomena kejahatan siber di Indonesia,” kata Ward saat lokakarya yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jumat (22/8/2025).

    Berenschot menjelaskan riset dilakukan dengan cara mewawancarai orang-orang yang melaksanakan pekerjaan itu, mengerti bagaimana cara kerjanya, serta dari mana uang yang digunakan untuk membiayai berasal. “Temuannya memang menjadi industri karena justru banyak elite politik, elite bisnis yang mendanai tentara siber tersebut untuk mempengaruhi opini publik di media sosial,” tambahnya.

    Hasil penelitian ini, lanjut dia, diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang fenomena tersebut. Selain itu, menurut dia, Pemerintah Indonesia juga harus membuat kebijakan untuk menghentikan fenomena tersebut.

    “Pemilik suatu akun media sosial harus jujur ketika unggahannya dibayar, harus transparan,” katanya.

    Sementara Wakil Rektor (Warek) IV Undip Semarang Wijayanto mengatakan selain kampus ini, penelitian juga melibatkan University of Amsterdam serta Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Ia menjelaskan alasan pemilihan penelitian di Indonesia karena negara ini menjadi salah satu pengguna media sosial terbesar serta adanya praktik pemilihan langsung.

    Berdasarkan hasil penelitian tersebut, menurut dia, diperoleh kesimpulan tentang perlunya peningkatan literasi digital, etika politik, serta transparansi platform digital. “Kita harus membantu memastikan ruang publik bebas dari kabar bohong dan tidak mudah dimanipulasi,” katanya.

    Maraknya buzzer alias pendengung di media sosial ikut meresahkan Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarnoputri. Ia menyatakan sampai-sampai harus mengutus perantara meminta Presiden Prabowo Subianto memberangus para pelakunya.

    “Saya sudah bilang melalui seseorang supaya Pak Prabowo membuang itu namanya buzzer-buzzer yang hanya membuat yang namanya perpecahan di antara kita sendiri, belum tentu faktanya aja,” ujarnya dalam acara Serambi Pancasila dan Peluncuran Buku di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, Senin (11/8/2025).

    Ia menegaskan tak gentar kena serang para pendengung akibat komentar tersebut. “Saya ndak takut, karena ini adalah kebenaran, kebenaran yang hakiki,” ia menekankan.

    Keresahan itu disampaikan Megawati dengan asumsi saat ini banyak pihak yang memilih ramai di belakang bila tak setuju dengan pendapatnya. Menurutnya, kritik mestinya disampaikan secara langsung, bukan dengan “ngedumel di belakang”.

  • Didik J. Rachbini: Projo Jangan Menjadi Alap-alap dan Hama Demokrasi

    Didik J. Rachbini: Projo Jangan Menjadi Alap-alap dan Hama Demokrasi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Senior sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menyoroti masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), di mana organisasi relawan seperti Projo disebutnya telah merusak demokrasi.

    “Di masa pemerintahan Jokowi, lembaga ekstra demokrasi dari organisasi relawan seperti Projo berfungsi mendistorsi demokrasi dan menjadikan sistem demokrasi keropos dan terdegradasi,” ujar Didik dalam keterangan tertulisnya, dikutip pada Selasa (19/8/2025).

    Ia pun mendorong agar Projo bertransformasi menjadi partai politik formal sebagai bentuk dukungan memajukan demokrasi dengan menjadikan dirinya sebagai partai, yang formal, legal, dan diakui oleh konstitusi.

    “Projo jangan menjadi alap-alap dan hama demokrasi yang hidup di bawah karpet dan terus menggerogoti demokrasi,” tegasnya.

    Ia berharap Pemerintahan Prabowo mutlak harus bebas dari organisasi ekstra konstitusional dan ekstra legal seperti ini. Pemerintahan Prabowo harus menutup pintu rapat-rapat terhadap organisasi relawan, yang ingin masuk sebagai penumpang yang tidak konstitusional dan mengembalikannya ke jalur yang legal konstitusional.

    Tak hanya relawan seperti Projo yang dianggap merusak demokrasi, Didik juga menyoroti ruang publik politik yang semakin dijejali oleh buzzer yang bekerja di luar sistem formal demokrasi.

    Menurutnya, jika ruang publik, yang bersifat fisik atau common property, dikonsumsi atau dipakai secara tidak terbatas, maka ruang publik tersebut akan rusak dan hancur.

    “Selama 10 tahun ini, teknologi AI ini secara sengaja dan sistematis dipakai oleh negara untuk kepentingan politik yang sempit untuk membungkam demokrasi melalui buzzer-buzzer dan relawan,” paparnya.

  • UGM Tak Izinkan Roy Suryo dkk Rilis Buku ‘Jokowi’s White Paper’ di UC Hotel

    UGM Tak Izinkan Roy Suryo dkk Rilis Buku ‘Jokowi’s White Paper’ di UC Hotel

    GELORA.CO – Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan pihak kampus tak memberikan izin penggunaan University Club (UC) Hotel untuk penyelenggaraan acara yang digagas oleh Roy Suryo cs.

    Acara itu sendiri bertajuk ‘Kado Tercantik 80 Tahun Indonesia Merdeka’, dengan agenda Soft Launching Buku ‘Jokowi’s White Paper’ karya Roy Suryo, Rismon Sianipar dan Tiffauzia Tiyassuma.

    Dalam undangan yang dibagikan Roy Suryo pada Minggu (17/8) malam, dituliskan acara diselenggarakan di Ruang Nusantara, UC Hotel hari Senin (18/8) pukul 14.00-16.00 WIB.

    Akan tetapi, pada pukul 10.24 WIB hari ini Roy Suryo kembali mengirimkan pemberitahuan bahwa acara dibatalkan sepihak oleh pengelola UC UGM. Pakar Telematika dan eks Menpora RI itu menuding acara tersebut ‘diganggu’ sesuai prediksinya.

    “Sesuai prediksi, ternyata diganggu oleh Termul,” kata Roy melalui pesan broadcast via WA.

    Termul atau Ternak Mulyono sendiri adalah istilah yang sering dipakai untuk mengistilahkan buzzer alias pendengung kelompok pendukung Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

    Roy namun memastikan acaranya tetap berjalan dan ia meminta media untuk menunggu informasi selanjutnya.

    UGM melalui juru bicara kampus, I Made Andi Arsana tak menyangkal soal tidak adanya pemberian izin untuk acara Roy cs. Keputusan diambil berdasarkan dua alasan, yakni prosedural dan politis.

    “UGM memahami bahwa kegiatan ini bernuansa politis yang terkait erat dengan isu yang melibatkan Bapak Joko Widodo. UGM tidak melibatkan diri dalam isu tersebut karena tidak terkait dengan UGM secara langsung,” kata Made dalam keterangan yang dibagikan humas UGM, Senin (18/8).

    Dijelaskan Made, secara prosedural proses perencanaan acara ‘Konferensi Pers Tokoh Nasional Hadiah Kemerdekaan RI ke-80’ yang akan dilakukan di UC Hotel UGM tidak sesuai dengan kaidah berlaku di unit usaha kampus sebagai lembaga pendidikan.

    Made menguraikan, kronologi pemesanan kepada UC Hotel adalah pada 17 Agustus 2025 pukul 13.25 WIB. Katanya, seseorang mengaku bernama Aida menghubungi bagian pemasaran UC Hotel dan melakukan pemesanan ruang pertemuan untuk sebuah kegiatan. Sosok ini menyampaikan bahwa kegiatan yang dimaksud Adalah ‘Konferensi Pers Tokoh Nasional Hadiah Kemerdekaan RI ke-80’.

    “Pihak UC Hotel merespons secara profesional dengan melakukan tanya jawab terkait kebutuhan ruangan dan rincian kegiatan,” terang Made.

    Lanjut Made, mengacu data Aida, pihak UC UGM juga menyampaikan harga dan prosedur pembayaran. Di dalam perencanaan itu, pihak UC UGM menanyakan rincian kegiatan guna memastikan dan untuk mengambil keputusan profesional.

    Made menambahkan, Aida kala itu menjawab bahwa acaranya adalah “pertemuan kecil untuk membahas acara besar yang mau diadakan di Jogja”, selain itu juga jawaban tambahan berupa “Panitia Temu Kangen Silaturahmi Tokoh Jogja mau rapat kecil persiapan acara HUT Kemerdekaan”.

    Menurut Made, Aida juga menambahkan bahwa sebelum acara, ketua panitia, Bangun Sutoto akan datang ke UC Hotel bersama pihak UGM. Pihak UGM yang dimaksud dikatakan adalah “Keamanan Internal UGM”.

    Made bilang, sampai siaran pers ini dibuat, Bangun Sutoto dan Keamanan Internal UGM tidak pernah datang ke UC Hotel UGM untuk melakukan komunikasi atau konfirmasi lebih lanjut.

    Lalu, 17 Agustus 2025 pagi, UC Hotel UGM menerima bukti transfer dana yang dikirimkan oleh Aida dan dinyatakan sebagai pembayaran awal atau down payment (DP). Dana itu pun sudah dikembalikan karena acara yang akan dilaksanakan tidak sesuai dengan yang disampaikan di awal.

    “UGM menghormati aspirasi setiap warga negara untuk mempertanyakan dan mempersoalkan isu apa pun namun menolak untuk dilibatkan dengan cara dan prosedur yang tidak semestinya,” tegas Made.

    “UGM menerima berbagai informasi yang bisa dipercaya, termasuk undangan yang beredar di media sosial, bahwa acara yang akan berlangsung di UC Hotel pada pukul 14.00-17.00 WIB Adalah peluncuran buku dengan judul “”JOKOWI’s WHITE PAPER” yang merupakan karya RRT / Roy-Rismon-Tifa, ++500 halaman). UGM memandang bahwa acara ini bernuansa politis seperti yang sudah disebutkan di atas dan UGM tidak bersedia terlibat dan memfasilitasi acara tersebut,” sambungnya.

    Made menambahkan, selain itu acara ini jelas berbeda dengan yang disampaikan di awal saat melakukan pemesanan. Secara prosedur ini adalah kesalahan dan menjadi alasan administratif bagi UC UGM untuk melakukan penolakan atau pembatalan.

    Made pun memastikan, UGM sejatinya mendukung keterbukaan dalam pertukaran gagasan dan berkomitmen untuk berkontribusi positif untuk mewujudkannya. UGM juga bertanggung jawab untuk melakukan serta mendukung pertukaran gagasan yang sehat guna menjaga kondisi yang kohesif atau tenang di masyarakat.

    “Bagi UGM, acara yang dimaksud di atas tidak menunjukkan keterbukaan dari awal dan berpotensi menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu sehingga dengan ini UGM melakukan penolakan,” tutup Made.

    Sementara, berdasarkan pantauan acara Roy cs tidak dilaksanakan di Ruang Nusantara UC Hotel melainkan, coffee shop masih di kompleks UC.

  • Megawati Desak Prabowo Singkirkan Buzzer, Prof Didik J Rachbini: Merusak Demokrasi

    Megawati Desak Prabowo Singkirkan Buzzer, Prof Didik J Rachbini: Merusak Demokrasi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Demokrasi Indonesia menghadapi tantangan serius akibat rusaknya ruang publik politik yang semakin dijejali oleh buzzer dan relawan politik yang bekerja di luar sistem formal demokrasi.

    Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini, menegaskan bahwa kerusakan demokrasi ini dapat dipahami melalui teori “Tragedy of the Commons”. Menurutnya, jika ruang publik, yang bersifat fisik atau common property, dikonsumsi atau dipakai secara tidak terbatas, maka ruang publik tersebut akan rusak dan hancur.

    Fenomena serupa kini terjadi pada ruang publik yang bersifat intangible, yaitu demokrasi dan arus informasi.

    “Arus informasi yang super cepat masuk ke dalam sistem politik dan demokrasi mengakibatkan sistem demokrasi mengalami kelelahan yang hebat dan kerusakan yang kritis. Fungsi check and balances menjadi rusak dan artificial karena aspirasi tidak lagi datang dari hati nurani, tetapi dibuat oleh mesin bot yang diciptakan gerombolan buzzer politik,” jelas Didik di Jakarta, Senin (18/8/2025).

    Kerusakan demokrasi ini, menurutnya, semakin parah selama satu dekade terakhir. “Selama 10 tahun ini, teknologi AI ini secara sengaja dan sistematis dipakai oleh negara untuk kepentingan politik yang sempit untuk membungkam demokrasi melalui buzzer-buzzer dan relawan,” tambahnya.

    Kondisi ini juga menjadi perhatian Presiden Kelima RI, Megawati Soekarnoputri, yang beberapa hari lalu menyampaikan pesan khusus kepada Presiden Prabowo Subianto. 

    “Saya sudah bilang melalui seseorang supaya Pak Prabowo membuang itu namanya buzzer-buzzer yang hanya membuat yang namanya perpecahan di antara kita sendiri, belum tentu faktanya aja,” demikian penegasan Megawati.

  • Menjaga Demokrasi Tetap Hangat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 Agustus 2025

    Menjaga Demokrasi Tetap Hangat Nasional 11 Agustus 2025

    Menjaga Demokrasi Tetap Hangat
    Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung
    DEMOKRASI
    sebenarnya rumah besar yang dibangun dari rasa saling percaya, dialog, dan kesetaraan warganya. Rumah besar ini memiliki atap yang bernama konstitusi sebagai pelindungnya. Sementara itu, kebebasan merupakan penghangat ruangannya.
    Kehangatan demokrasi akan membuat warga merasa aman berbicara dan nyaman berbeda pendapat. Mereka akan percaya bahwa perbedaan pandangan bukan alasan untuk saling menyerang dan meniadakan.
    Namun, sejarah politik di banyak negara saat ini menunjukkan bahwa kehangatan ini sering diganggu oleh “orang iseng” yang ingin merebut “selimut” demokrasi. Selimut yang mestinya milik semua warga berubah milik segelintir pihak.
    Mereka yang iseng itu kerap menyusup dalam bentuk populis oportunis, kelompok buzzer yang pandai memanipulasi emosi publik, atau bentuk lainnya.
    Modus mereka adalah mempersonalisasi demokrasi dan mengganti ruang bersama menjadi ruang milik pribadi. Mereka mengendalikan “termometer” politik agar kehangatan hanya dirasakan oleh kelompoknya.
    Perilaku iseng seperti ini berbahaya. Kehangatan demokrasi yang seharusnya menyatukan banyak orang bisa berubah menjadi suhu sempit yang menguntungkan satu kubu dan membuat dingin warga lain. Akibatnya, warga mulai merasa tidak lagi memiliki rumah bersama.
    Ketika perilaku iseng yang menjadi gangguan ini terjadi, demokrasi bisa retak dari dalam. Institusi melemah, hukum ditarik ke arah kepentingan sempit, dan kebebasan berubah menjadi selektif, hak istimewa yang terbatas.
    Agar demokrasi tetap hangat dan bukan milik eksklusif orang tertentu, paling tidak ada empat langkah yang harus kita sadari.
    Pertama, pengelolaan kekuasaan harus selalu mengacu pada prinsip
    checks and balances
    yang sebenarnya, bukan basa-basi. Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif jangan berkomplot, tapi harus saling menjaga.
    Jika tidak demikian, maka selimut akan demokrasi mudah dihela oleh tangan-tangan jahil yang ingin membungkus dirinya sendiri.
    Kedua, pemanfaatan ruang digital yang sehat sebagai sumber panas yang menjaga suhu demokrasi tetap stabil kehangatannya.
    Biarkan masyarakat berpartisipasi secara bebas, namun “diliterasi” secara terencana dan terpola. Untuk yang kedua ini perlu tenaga besar untuk mengupayakannya.
    Ketiga, partai politik harus memperkuat literasi masyarakat. Niatkan dan usahakan secara sistematis agar warga paham haknya, memahami proses politik, agar tidak mudah dikelabui oleh retorika kosong.
    Literasi inilah akan melindungi demokrasi dari “embusan angin dingin” manipulasi informasi.
    Keempat, demokrasi tidak cukup hanya diatur oleh hukum. Ia membutuhkan
    political virtue
    , yaitu etika politik yang dijunjung tinggi.
    Para aktor politik harus menyadari bahwa perebutan kekuasaan adalah bagian dari permainan demokrasi, tetapi memonopoli “kehangatan” adalah pengkhianatan terhadap semangatnya.
    Kehangatan demokrasi bukan api yang membakar lawan, melainkan api unggun yang mengundang semua duduk melingkar.
    Agar api itu tetap menyala, kita harus waspada terhadap orang iseng yang ingin menarik selimut untuk dirinya sendiri.
    Sebab, jika selimut itu hilang dari tangan rakyat, api demokrasi akan menyusut. Dan lambat laun “rumah besar kita” akan menjadi dingin, kosong, bahkan asing bagi penghuninya.
    Demokrasi itu ibarat api unggun di tengah malam, dibuat untuk memberi cahaya, mengusir dingin, dan menyatukan orang-orang dalam lingkaran kehangatan.
    Namun, api unggun demokrasi memiliki sifat ganda. Ia bisa menghangatkan, tetapi juga bisa membakar jika terlalu panas (
    overheat
    ).
    Kehangatan yang berlebihan terjadi ketika rasa nyaman berubah menjadi mabuk kuasa. Ketika konsensus berubah menjadi kolusi. Dan, ketika aturan main yang jelas diabaikan oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga “api unggun”.
    Overheat
    ini sering dimulai dari rasa percaya diri yang berlebihan pada stabilitas sistem. Para politisi, hakim, hingga media, sebagai operator demokrasi, merasa bahwa rumah demokrasi ini sudah terlalu kokoh untuk runtuh.
    Mereka mulai longgar mematuhi prosedur (SOP) yang semestinya menjaga api tetap terkendali.
    Rapat publik yang seharusnya terbuka berubah menjadi pertemuan eksklusif. Mekanisme
    check and balances
    dilonggarkan demi “efisiensi”. Kebebasan berpendapat dibungkus dengan retorika, lalu dibatasi pelan-pelan atas nama ketertiban.
    Kehangatan demokrasi berubah menjadi panas tak terkendali ketika sistem mulai memanjakan segelintir aktor. Partai politik yang terlalu nyaman di kursi kekuasaan menjadi malas berkompetisi secara sehat.
    Media yang terlalu akrab dengan penguasa kehilangan keberaniannya untuk mengkritik.
    Mencegah demokrasi dari
    overheat
    berarti mengembalikan kepatuhan pada SOP demokrasi. Supremasi hukum yang tegas, transparansi pengambilan keputusan, dan partisipasi publik yang aktif.
    Ketika menjadi terlalu “hangat” tanpa kendali dan protokol SOP yang tegas, demokrasi dapat berubah menjadi bentuk dominasi terselubung. Demokrasi bukan lagi sistem yang inklusif, tetapi alat untuk mengutak-atik kekuasaan.
    Sangat penting untuk disadari oleh para operator demokrasi bahwa kita bukan pemilik api, melainkan sama-sama sebagai penjaganya.
    Ketika kita sadar bahwa menjaga kehangatan demokrasi adalah tugas bersama, bukan kesempatan untuk menguasainya, maka lingkaran warga akan tetap rapat.
    Masyarakat akan saling memandang dalam cahaya. Merasa akan merasa bahwa rumah besar ini aman dari kobaran liar yang merusak segalanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cuma Tujuh Persen yang Percaya Ijazah Jokowi Asli, Itu pun Bots

    Cuma Tujuh Persen yang Percaya Ijazah Jokowi Asli, Itu pun Bots

    GELORA.CO – Pegiat media sosial Tifauzia Tyassuma alias Dokter Tifa masih terus mengungkap temuan terkait ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terindikasi palsu. 

    Terbaru, Dokter Tifa mengumumkan hasil riset algoritma based termutakhir, di mana terungkap sebanyak 93 persen rakyat percaya bahwa ijazah Jokowi palsu, dan hanya 7 persen yang percaya ijazah asli.

    “Terdeteksi bahwa 7 persen itu Bots, dan akun-akun buzzer bayaran, algoritma tampak artifisial atau tidak organik,” kata Dokter Tifa dikutip dari akun Facebook pribadinya, Senin 11 Agustus 2025.

    Menurut Dokter Tifa, selama 10 tahun Jokowi telah membuat kesal semua orang karena selalu berkelit untuk menunjukkan ijazah aslinya.

    “Bahkan makan korban, berupa ditahannya Bambang Tri dan Gus Nur,” kata Dokter Tifa.

    Dokter Tifa melihat saat ini Jokowi sedang kesal sendiri. Gara-garanya segala jurus, tipu muslihat, buzzer dan pendukung sudah diturunkan, namun tetap tidak mengubah nilai tujuh persen yang mempercayai ijazahnya betul-betul asli.

    “Kenapa 93 persen rakyat percaya bahwa ijazah palsu? Karena kami RRT The Musketeers pakai Ilmu, pakai riset ilmiah, bukan pakai urat leher asal teriak  dan kami tidak perlu bayar badut sirkus,” kata Dokter Tifa.

  • 7
                    
                        Terbantahnya Isu Irjen Karyoto Marah ke Kapolri karena Jabatan, Penyebar Hoaks Diburu
                        Megapolitan

    7 Terbantahnya Isu Irjen Karyoto Marah ke Kapolri karena Jabatan, Penyebar Hoaks Diburu Megapolitan

    Terbantahnya Isu Irjen Karyoto Marah ke Kapolri karena Jabatan, Penyebar Hoaks Diburu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Karyoto diterpa isu miring usai dimutasi dari jabatan Kapolda Metro Jaya menjadi Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri.
    Desas-desus muncul melalui sebuah tangkapan layar yang beredar di grup WhatsApp wartawan Polda Metro Jaya.
    Foto itu memperlihatkan unggahan akun TikTok @legsob208 yang menyebut Karyoto berseteru dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
    Unggahan itu berjudul, “
    Jabatan Tidak Sesuai Kesepakatan, Irjen Karyoto Marah di Kantor Kapolri”.
    “Sssstt ada Jenderal sama Kapolri lagi saling serang. Dijanjikan Kabareskrim, eh dikasih Kabaharkam. Langsung deh ngamuk-ngamuk sama yang ngejanjiin
    ,” tulis akun @legsob208.
    Karyoto akhirnya buka suara. Dia memastikan isu yang disebarkan akun tersebut mengenai dirinya marah ke Kapolri adalah berita bohong.
    “Jadi sangat hoaks dan tidak benar isi ceritanya,” tegas Karyoto saat dikonfirmasi, Jumat (8/8/2025).
    Menurut Karyoto, akun tersebut anonim dan sengaja untuk melemparkan hoaks ke masyarakat.
    “Itu akun anonim dan akun yang memang sengaja diembuskan untuk membuat berita-berita seperti itu,” ucap dia.
    Jenderal bintang dua itu menilai, isu liar yang beredar ingin merusak hubungannya dengan Listyo selaku pimpinannya di Polri.
    “Itu akunnya betul-betul ingin seolah-olah mempertentangkan saya dengan Pak Kapolri,” ucap Karyoto.
    Mantan Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu memastikan hubungannya dengan Listyo baik-baik saja.
    “Hubungan saya sama Pak Kapolri itu sangat bagus. Beliau sangat sayang kepada saya,” imbuh dia.
    Menurut Karyoto, pemberian jabatan Kabaharkam Polri adalah bentuk kepercayaan dari Kapolri.
    Ia pun berterima kasih atas jabatan baru yang diberikan dan menerimanya dengan baik.
    “Saya dikasih jabatan itu (Kabaharkam Polri), saya mengucapkan terima kasih,” ucap dia.
    Karyoto memastikan Polda Metro Jaya tengah mencari pemilik akun yang menyebarkan berita bohong tersebut.
    “Sedang di-
    trace
    . Biasanya, akun luar negeri.
    Buzzer
    mahal,” kata Karyoto.
    Saat ditanya apakah pemilik akun tersebut akan diproses secara hukum jika sudah ditemukan, jenderal bintang dua itu menegaskan akan menindak tegas.
    “Pasti,” tegas dia.

    Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo merotasi Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Karyoto dari Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya.
    Promosi jabatan yang didapatkan Karyoto tertuang dalam surat telegram (ST) Kapolri dengan nomor ST/1764/VIII/KEP/2025 tertanggal 5 Agustus 2025.
    Listyo menempatkan besan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi itu sebagai Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri.
    Karyoto menduduki jabatan itu untuk menggantikan posisi Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Mohammad Fadil Imran yang dipromosikan sebagai Asisten Utama Kapolri Bidang Operasi (Astamaops) Kapolri.
    Posisi Kapolda Metro Jaya diisi oleh Irjen Pol Asep Edi Suheri yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Wakabareskrim).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Irjen Karyoto Ancam Proses Hukum Penyebar Isu Marah ke Kapolri: Sedang Ditelusuri, Ini Buzzer Mahal – Page 3

    Irjen Karyoto Ancam Proses Hukum Penyebar Isu Marah ke Kapolri: Sedang Ditelusuri, Ini Buzzer Mahal – Page 3

    Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menunjuk Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto menjadi Kabaharkam Polri. Isu liar pun muncul, menyebut bahwa Karyoto marah dengan rotasi tersebut, sebab dijanjikan mengisi posisi Kabareskrim Polri.

    Sejumlah akun TikTok yang dilihat Liputan6.com, Jumat (8/8/2025), membuat narasi kemarahan Karyoto terhadap Kapolri. Mulai dari rasa kecewa hingga disebut akan pensiun dini.

    Karyoto dengan tegas membantah isu liar tersebut. Dia menyatakan semua kabar yang beredar di sosial media tentang kekecewaannya atas rotasi jabatan adalah berita bohong alias hoaks.

    “Tidak ada, sama sekali tidak ada. hubungan saya sama Pak Kapolri itu sangat bagus. Beliau sangat sayang ke saya, dan saya sangat hormat ke beliau. kalau ada apa-apa saya pasti ngomong ke beliau,” tutur Karyoto kepada wartawan.

  • Ekonom Senior: PPATK Blokir Rekening Dormant Kebijakan Sembarangan

    Ekonom Senior: PPATK Blokir Rekening Dormant Kebijakan Sembarangan

    Bisnis.com, Jakarta — Ekonom Senior Didik J Rachbini protes terhadap kebijakan para pejabat publik yang dalam beberapa tahun terakhir tidak jelas dan sembarangan. Salah satunya soal pemblokiran rekening tak aktif atau dormant milik nasabah oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). 

    Didik menilai PPATK sudah sembarangan melakukan pemblokiran rekening yang tidak aktif tiga bulan lamanya.

    “Kebijakan buruk PPATK yang semau gue memblokir rekening tidak aktif selama tiga bulan dengan alasan untuk mencegah penyalahgunaannya untuk kriminal, pencucian uang, dan sebagainya,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (31/7/2025). 

    Menurutnya, aksi PPATK tersebut dianggap telah menyalahi tugas dan fungsi lembaga intelijen keuangan negara. Dia menjelaskan jika ada laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (LTKM), maka PPATK bekerja sama dengan dan melaporkan kepada aparat hukum.  

    “PPATK bukan aparat hukum yang bisa bertindak sendiri lalu memblokir secara masif akun-akun yang dianggap terindikasi tersebut,” tutur ekonom senior INDEF tersebut. 

    Sebelumnya, PPATK menyampaikan bahwa rekening dormant selama tiga bulan berpotensi untuk diblokir atau dihentikan sementara transaksinya. Rekening dormant dikhawatirkan disalahgunakan untuk tindak pidana. 

    Terdapat tiga bentuk penyimpangan rekening dormant yang pernah ditemukan PPATK. Pertama, 150.000 rekening diduga pernah dialiri dana ilegal sebelum dinyatakan dormant.

    Berdasarkan hasil analisis maupun pemeriksaan yang dilakukan PPATK sejak 2020, terdapat lebih dari 1 juta rekening perbankan yang dianalisis berkaitan dengan dugaan tindak pidana. 

    Sebanyak 150.000 di antaranya adalah rekening tidak aktif atau dormant, yang sebelumnya digunakan untuk tindak pidana. 

    “Dari 1 juta rekening tersebut, terdapat lebih dari 150.000 rekening adalah nominee, di mana rekening tersebut diperoleh dari aktivitas jual beli rekening, peretasan atau hal lainnya secara melawan hukum, yang selanjutnya digunakan untuk menampung dana dari hasil tindak pidana, yang kemudian menjadi menjadi tidak aktif/dormant,” jelas Natsir melalui siaran pers, Selasa (29/7/2025). 

    Dari 150.000 rekening nominee itu, PPATK turut menemukan bahwa lebih dari 50.000  di antaranya tidak ada aktivitas transaksi sebelum digunakan untuk transaksi dana ilegal. 

    Kedua, rekening dormant penerima bantuan sosial (bansos). Lembaga intelijen keuangan itu menemukan bahwa lebih dari 10 juta rekening penerima bantuan sosial yang tidak pernah dipakai selama lebih dari 3 tahun. 

    Dana bansos sebesar Rp2,1 triliun hanya mengendap sehingga menunjukkan indikasi penyaluran belum tepat sasaran. 

    Ketiga, lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran yang menganggur alias dormant. Total dana di rekening itu Rp500 miliar. 

    Dia meyakini alasan pemerintah membuat kebijakan yang ngawur lantaran seluruh anggota DPR sudah dikondisikan secara mutlak oleh pemerintah pusat, sehingga tidak ada lagi dialektika antara DPR dan pemerintah ketika ingin buat kebijakan baru

    “Pada periode kedua Jokowi itu biasa dilakukan dan sukses membuat undang-undang semau gue. Ini terjadi karena DPR dikendalikan secara mutlak oleh kekuasaan yang kuat ditambah pilar buzzer-buzzer-nya,” tuturnya di Jakarta, Kamis (31/7).

    Dia mengemukakan bahwa pilar demokrasi sudah tidak sehat lagi dan diberangus oleh presiden dan wakilnya. Dia mencontohkan seperti yang terjadi pada UU IKN yang kini sudah tidak ada kelanjutannya lagi.

    “Bahkan menyulap Gibran pun bisa terjadi karena bertentangan dengan UU. Makanya UU-nya diberangus lewat MK,” katanya.