NGO: Buzzer

  • 10 Tahun Pemerintahan Jokowi Hilangkan Tradisi Intelektual

    10 Tahun Pemerintahan Jokowi Hilangkan Tradisi Intelektual

    GELORA.CO -Budaya intelektual melekat di setiap pemimpin Indonesia dari era Bung Karno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun pada era Joko Widodo (Jokowi), tradisi ini hilang dan coba dihidupkan kembali di masa pemerintahan Prabowo Subianto.

    Demikian disampaikan Rocky Gerung dalam podcast bersama wartawan senior Hersubeno Arief dikutip dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Minggu, 2 November 2025. 

    “Masuk pada era Pak Jokowi berhenti itu (tradisi intelektual), kebiasaan untuk mempersoalkan sesuatu secara konseptual, tidak ada dalam tradisi Pak Jokowi. karena itu, Pak Jokowi mengandalkan buzzer, mengandalkan apa yang sekarang disebut sebagai termul (ternak Mulyono),” ucap Rocky.

    “Kita kehilangan kondisi akademis ketika 10 tahun Presiden Jokowi memerintah itu, jadi kehilangan kemampuan berargumentasi, itu intinya,” tambah dia.

    Menurut Rocky, saat ini pemerintahan Prabowo mengalami dampak 10 tahun era Jokowi yang menghilangkan tradisi intelektual.

    “Pak Prabowo pasti mulai merasakan impact dari 10 tahun tidak ada semacam argumentatif society atau community of thought mengakibatkan berantakan, apa yang pada akhirnya kita peroleh hari ini itu kerusakan ekonomi, kerusakan sosial, kerusakan persahabatan, kerusakan daya berpikir yang disebabkan 10 tahun Jokowi,” jelasnya. 

    Akademisi yang dikenal kritis ini menilai slogan ‘kerja-kerja’ ala Jokowi terlihat tidak punya konsep sehingga berantakan. 

    “Sangat mungkin Presiden Prabowo memahami bahwa negeri ini didesain dengan pikiran akhirnya berantakan karena selama 10 tahun di istana itu tulisannya bukan no smoking, tapi no thinking,” tandasnya. 

  • Purbaya Tak Sama dengan Dedi Mulyadi

    Purbaya Tak Sama dengan Dedi Mulyadi

    Oleh: Erizal 

    BERUNTUNG Purbaya Yudhi Sadewa tak seperti Dedi Mulyadi, disamakan dengan Joko Widodo alias Jokowi. Dedi Mulyadi sedang naik daun dan populer dikatakan banyak orang, termasuk oleh Rocky Gerung, adalah Mulyono Jilid II. Mulyono Jilid I, siapa lagi kalau bukan Jokowi. Bisa habis juga Dedi Mulyadi.

    Jokowi dulu, dikritik oleh banyak orang, bisa dipastikan bukan Jokowinya yang salah, tapi banyak orang yang mengkritik itu, meski kritikan itu benar sekalipun. Kini justru sebaliknya, siapa pun yang mengkritik Jokowi dipastikan benar, meski kritikan itu salah sekalipun.

    Di situlah ruginya Dedi Mulyadi disamakan dengan Jokowi, karena akhirnya bisa buruk. Hanya keledai yang mau masuk pada lubang yang sama. Artinya, orang tak melihat yang dilakukannya tulus. Hanya pencitraan. Padahal, bisa jadi memang berbeda dengan Jokowi.

    Dulu, jangankan IKN dan kereta cepat Whoosh, mobil Esemka saja dijual Jokowi banyak orang yang percaya. Kini, jangankan mobil Esemka, ijazahnya pun orang banyak yang tak percaya, meski sudah diakui oleh UGM dan Bareskrim melalui pengujian forensik sekalipun. 99,9% palsu kata Roy Suryo cs.

    Betapa ruginya Dedi Mulyadi disamakan dengan Jokowi saat ini. Kalau dulu, baru untung. Banyak kepala daerah yang meniru-niru gaya Jokowi, meski tak semua beruntung. Blusukan orang, blusukan pula dia. Blusukan Jokowi tetap pakai bansos, tidak hanya tangan kosong.

    Secara personal, tak ada yang bisa disamakan antara Dedi Mulyadi dan Jokowi. Dedi Mulyadi orator, Jokowi tidak. Kalau ditanya wartawan, jawabannya panjang, Jokowi pendek saja. Malah, tak dijawab sama sekali. Sudah, tapi belum. Dedi Mulyadi mana bisa begitu.

    Pendukung Dedi Mulyadi memang terlihat tak suka idolanya disamakan dengan Jokowi. Tapi pendukung Jokowi, terlihat sebaliknya. Mungkin agar sosok Jokowi terlihat masih relevan. Padahal setiap zaman tak hanya orangnya saja yang berbeda, tapi juga karakteristiknya.

    Tak hanya pendukung Jokowi yang terlihat suka mendekatkan diri pada tokoh populer seperti Dedi Mulyadi. Gibran Rakabuming Raka pun terlihat begitu. Ia mendekatkan diri kepada Dedi Mulyadi saat melesat. Malah saat Purbaya  melesat pun ia ikut nimbrung dengan mengatakan dukungan terhadap gaya ceplas-ceplos Purbaya. Entah untuk apa pula dukungan seperti itu sebagai Wapres?

    Pengalaman tiga kali menang Pilpres, termasuk Gubernur dan Wali Kota, membuat Jokowi dan para pendukungnya hafal betul tokoh mana yang sedang dielu-elukan. Kalau ketemu dengan tokoh seperti itu, maka mendekati lebih baik daripada menjauhi, apalagi melawan. Cita rasa pemilih pada pemimpin, mungkin sudah hafal di luar kepala. Kekuasaan adalah candu.

    Purbaya beruntung, karena tak seperti Dedi Mulyadi, yang disamakan Jokowi. Bagaimana pula bisa menyamakan Purbaya dan Jokowi? Bak langit dan bumi. Purbaya bisa jadi penyakit pula buat Jokowi. Justru Purbaya lebih bisa disamakan dengan Prabowo.

    Ceplas-ceplos, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling. Yang terasa dalam hati itulah yang disampaikan. Bukan harimau dalam perut, tapi kambing juga yang keluar. Jokowi dalam perutnya entah apa dan yang keluar anaknya bisa jadi Wapres. Purbaya dan Prabowo lebih mudah ditafsirkan. Lurus dan tak banyak belok-belok.

    Tidak saja publik yang menghakimi, kalau Purbaya diserang orang lain seperti Jokowi dan Dedi Mulyadi, tapi Purbaya itu sendiri. Purbaya mana ada relawan, apalagi buzzer. Bahkan, Dedi Mulyadi menyerangnya langsung diserang balik, tanpa peduli persepsi publik.

    Sayang, Dedi Mulyadi tak mau mengakui kesalahannya. Mengakui kesalahan bagi pemimpin populer memang tak mudah. Tapi Purbaya santai saja dan tak peduli lagi.

    Jokowi pun dibenarkannya sedikit saat mengatakan transportasi publik seperti Whoosh memang bukan untuk mencari untung. Dibenarkan sedikit, karena mungkin saja ia tahu kesalahan yang banyak dalam persoalan itu.

    Hasan Nasbi yang ikut-ikutan mengkritik jadi tak berkutik. Ini tak akan terjadi pada sosok Jokowi dulu. Jadi kalau fenomena Dedi Mulyadi masih bisa disamakan dengan Jokowi, Purbaya tidak. Sama sekali berbeda.

    Purbaya bukan fenomena masuk gorong-gorong atau membersihkan sungai. Ia menjelaskan sesuatu yang rumit menjadi sederhana dan dipahami semua orang. Ini permainan otak yang tak bisa dimainkan oleh otak kosong. Bukan pula olah tubuh ke sana-sini melihat gestur dan politik simbol yang multitafsir.

    Kelemahannya, orang jadi menuntut lebih dari Purbaya, bahkan di atas dari semua yang dikatakannya. Tapi ini pula bisa menunjukkan bahwa ia benar-benar bekerja tanpa agenda apa-apa.

    Sangat berkebalikan dengan Jokowi dan mungkin juga Dedi Mulyadi, tak banyak dituntut diawal, tapi terbukti mengambil jauh lebih banyak diakhir daripada yang dikerjakannya. 

    Purbaya enteng menolak masuk partai politik.dan memilih fokus pada pekerjaan yang diberikan Presiden. Tapi nanti kita tak pernah tahu.

    Direktur ABC Riset & Consulting

  • Pakar Hukum Unej: Konflik Bupati dan Wabup Jember Berpotensi Munculkan Buzzer Birokrasi

    Pakar Hukum Unej: Konflik Bupati dan Wabup Jember Berpotensi Munculkan Buzzer Birokrasi

    Jember (beritajatim.com) – Aries Harianto, pengajar Fakultas Hukum Universitas Jember, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, mencemaskan sekian dampak konflik antara Bupati Muhammad Fawait dan Wakil Bupati Djoko Susanto.

    Bukan rahasia lagi bahwa sejak dilantik Presiden Prabowo pada Februari 2025, Fawait dan Djoko sudah tak akur. Dalam beberapa kesempatan, Djoko melancarkan kritik terhadap kebijakan Bupati Fawait. Terakhir, Djoko mengadukan jalannya pemerintahan Jember kepada Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

    Sementara itu, Djoko hampir tidak pernah terlihat dalam sejumlah acara kenegaraan bersama DPRD Jember. Wajahnya juga tidak pernah terpampang di baliho maupun spanduk resmi pemerintah di ruang publik. Bupati Fawait justru lebih banyak tampil di baliho bersama istrinya Gyta Eka Puspita.

    Menurut Aries, birokrasi Pemkab Jember terimbas konflik itu. “Terjadi dikotomi afiliasi birokrasi, karena konflik itu membangun patron. Aparatur tidak kompak. Justru potensial menjadi buzzer afiliasinya,” katanya, Jumat (24/10/2025).

    Selain itu, lanjut Aries, pelayanan publik bisa terhambat karena bupati dan wabup tidak saling membantu. “Terjadi konflik antarsimpatisan, saling lapor dalam hirarki struktur, dan ketidakpuasan masyarakat,” katanya.

    Aries juga melihat tidak diterimanya fasilitas wakil bupati sebagaimana dilaporkan Djoko ke KPK dan Mendagri merupakan dampak konflik. Sementara itu potensi konflik di DPRD Jember pada akhirnya juga terbuka. “Terakhir, konflik memunculkan citra negatif terhadap Jember di luar daerah dan nasional,” katanya.

    Dari semua pertimbangan itu, Aries meminta agar konflik Bupati Fawait dan Wabup Djoko tidak dipandang sebagai dinamika belaka. “Seolah dinamika itu sebagai pintu sembunyi, karena tidak memiliki kemampuan melakukan aksi,” katanya.

    Aries mengingatkan, dinamika itu pada dasarnya adalah gambaran seberapa jauh proses politik yang berlangsung mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan akuntabilitas. “Demokrasi adalah ruang antusiasme publik berpartisipasi untuk dikelola dengan pertanggungjawaban,” katanya.

    “Lha, kalau Bupati dan Wabup disharmoni, maka keterlibatan publik bukan lagi aspirasi membangun dan memiliki, tapi berubah menjadi keluh kesah dan caci maki. Saya yakin, teman-teman parpol dan DPRD tidak akan diam melihat tontonan ini,” kata Aries. [wir]

  • Heboh Meme Bahli, GPA: Kritik Boleh, Menghina Jangan!

    Heboh Meme Bahli, GPA: Kritik Boleh, Menghina Jangan!

    GELORA.CO – Sejumlah akun media sosial (medsos) yang diduga sebagai buzzer penyebar hoaks, ujaran kebencian, hingga meme provokatif terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dilaporkan ke Polda Metro Jaya.

    Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Al Washliyah (PP GPA), Aminullah Siagian, menyatakan dukungan terhadap langkah Polri untuk menindak tegas pembuat dan penyebar meme negatif yang menyerang pribadi Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

    Menurutnya, tindakan membuat meme yang menghina tokoh publik bukanlah bentuk kebebasan berekspresi, namun degredasi ruang publik yang harus dihentikan dengan penegakan hukum yang adil.

    “Kami mendukung langkah Polda Metro Jaya untuk menegakkan hukum secara profesional terhadap siapa pun yang menghina atau mencemarkan nama baik tokoh bangsa, termasuk Pak Bahlil. Demokrasi bukan alasan untuk menghina. Kritik keras boleh menghina jangan” ujar Aminullah di Jakarta, Kamis (23/10/2025).

    Dia juga menekankan pentingnya menjaga etika publik dan tanggung jawab moral di ruang digital, terutama di tengah derasnya arus informasi dan media sosial. Menurutnya, generasi muda harus menjadi pelopor peradaban digital yang sehat.

    “Perbedaan pendapat itu sehat. Tapi jika berubah menjadi penghinaan personal, itu bukan demokrasi, itu vandalisme digital. Pemuda sejati harus menjaga martabat bangsa, bukan memperkeruh suasana dengan kebencian,” tambahnya.

    Dikatakannya, Bahlil Lahadalia merupakan sosok muda yang memberikan bukti membangun iklim investasi nasional yang berpihak pada rakyat.

    “Kita butuh politik gagasan, bukan politik penghinaan. Energi bangsa jangan dikorbankan untuk hal-hal destruktif,” ujarnya.

    Dia juga mengimbau kepada seluruh masyarakat dan pemuda Indonesia untuk menggunakan ruang digital secara beretika, produktif, dan bermartabat, serta mendukung langkah tegas aparat penegak hukum.

    “Pemuda Al Washliyah akan selalu berdiri di garis depan menjaga moral publik dan menegakkan nilai-nilai keadilan sosial,” tandasnya.

  • Pengamat: Fitnah ke Jokowi dan Keluarga Diduga Jadi Strategi Politik untuk Pilpres 2029
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        23 Oktober 2025

    Pengamat: Fitnah ke Jokowi dan Keluarga Diduga Jadi Strategi Politik untuk Pilpres 2029 Regional 23 Oktober 2025

    Pengamat: Fitnah ke Jokowi dan Keluarga Diduga Jadi Strategi Politik untuk Pilpres 2029
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengamat politik Pieter C. Zulkifli mengingatkan bahwa demokrasi hanya akan matang jika semua pihak bersedia bersaing secara sehat, bukan dengan cara menjatuhkan karakter lawan politik.
    Pieter mencontohkan maraknya narasi negatif terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan keluarganya dalam beberapa waktu terakhir.
    “Gelombang fitnah terhadap mantan Presiden Jokowi dan keluarga diduga bukan sekadar kritik, tapi strategi politik menjelang Pilpres 2029,” kata Pieter dilansir dari Tribunnews.com, Kamis (23/10/2025).
    Pieter, yang merupakan mantan politisi Partai Demokrat sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR RI periode 2009–2014, menilai pola serangan terhadap Jokowi dan keluarganya menunjukkan adanya upaya politik terorganisasi.
    Ia menyoroti isu dugaan ijazah palsu Jokowi sebagai contoh paling mencolok dari strategi politik berbasis disinformasi.
    “Isu itu berkembang liar di ruang publik, padahal berulang kali Mahkamah Konstitusi (MK), perguruan tinggi, dan lembaga hukum menyatakan tidak ada kejanggalan,” ujarnya.
    Belakangan, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang juga putra sulung Jokowi, turut menjadi sasaran narasi negatif.
    Gibran bahkan digugat secara perdata oleh warga sipil bernama Subhan Palai, atas perbuatan melawan hukum karena dinilai ada syarat pendaftaran cawapres yang tidak terpenuhi.
    Dalam gugatan tersebut, Gibran dan KPU dituntut membayar ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    Menurut Pieter, fenomena ini memperlihatkan mudahnya ruang digital dikapitalisasi oleh kepentingan politik untuk menggiring persepsi publik.
    “Inilah tantangan terbesar pemerintahan pasca-Jokowi, yakni menjaga rasionalitas publik agar tidak larut dalam gelombang disinformasi yang diproduksi secara sistemik,” ucapnya.
    Pieter menduga ada kekuatan politik yang sengaja menciptakan opini negatif terhadap Jokowi agar tersingkir dari gelanggang politik 2029.
    “Taktik yang digunakan klasik; adu domba, framing media, dan eksploitasi sentimen publik melalui buzzer dan akun anonim,” katanya.
    Ia kembali menegaskan bahwa demokrasi hanya akan matang jika para aktor politik bersaing dengan gagasan dan kerja nyata, bukan lewat fitnah atau serangan personal.
    “Fitnah mungkin bisa mengubah persepsi sesaat, tapi sejarah akan menilai siapa yang bekerja dan siapa yang hanya berisik,” ujar Pieter.
    Lebih lanjut, Pieter menyebut ujian terbesar pasca-Jokowi bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana bangsa ini menjaga akal sehatnya di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi politik.
    “Publik harus cerdas memilah informasi. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sejati berdiri di atas kebenaran, bukan kebencian,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Junaedi Saibih Cs Didakwa Rintangani 3 Perkara Korupsi CPO hingga Gula

    Junaedi Saibih Cs Didakwa Rintangani 3 Perkara Korupsi CPO hingga Gula

    Bisnis.com, JAKARTA — Advokat Junaedi Saibih, eks Direktur Pemberitaan JAKTV Tian Bahtiar, serta Ketua Tim Cyber Army atau buzzer Adhiya Muzakki didakwa rintangi tiga perkara korupsi.

    Sidang dakwaan ketiganya berlangsung di PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Rabu (22/10/2025) malam.

    Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa tiga orang melakukan perintangan pengusutan perkara melalui program atau pembuatan yang mendiskreditkan penanganan kasus oleh penyidik.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan Marcella Santoso, Tian Bahtiar dan M. Adhiya Muzzaki, sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi,” ujar jaksa.

    Tiga perkara diduga dirintangi oleh Junaedi dkk ini mulai dari kasus korupsi pemberian fasilitas crude palm oil (CPO); korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di IUP di PT Timah Tbk (TINS) 2015-2022; dan korupsi importasi gulai di Kemendag periode 2015-2016.

    Adapun, jaksa mengemukakan penyebaran konten maupun hasil diskusi yang menyudutkan kinerja penyidik disebarluaskan di media sosial maupun media massa.

    Di lain sisi, Junaedi, Marcella, Tian dan Adhiya juga disebut telah menghilangkan barang bukti dengan menghapus pesan WA dan membuang ponsel yang berisi informasi terkait kasus CPO, Timah dan Impor Gula.

    “Terdakwa Junaedi Saibih dan Marcella Santoso, Tian Bahtiar dan M. Adhiya Muzzaki menghilangkan barang bukti dengan menghapus chat whatsapp dan membuang handphone yang isinya terkait dengan tindak pidana korupsi,” pungkas jaksa.

    Atas perbuatannya itu, Junaedi Cs didakwa melanggar Pasal 21 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

  • Begini Kata UAS soal Narasi Trans7 yang Dianggap Lecehkan Pesantren dan Kiai

    Begini Kata UAS soal Narasi Trans7 yang Dianggap Lecehkan Pesantren dan Kiai

      Tayangan program “Xpose Uncensored” di stasiun televisi Trans7 menuai polemik luas setelah dinilai melecehkan kiai dan tradisi pesantren.

    Gelombang kritik datang dari berbagai kalangan, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang bahkan telah melaporkan Trans7 ke kepolisian serta Dewan Pers pada Senin (14/10/2025).

    Di tengah ramainya kecaman, dai kondang Ustaz Abdul Somad (UAS) turut menanggapi isu tersebut. Namun, berbeda dari banyak tokoh lain, UAS memilih menyampaikan kritiknya dengan cara yang khas — melalui sebuah puisi reflektif berjudul “Mazhab Cinta.”

    Dalam puisinya yang diunggah ke akun Instagram dan Facebook pribadinya, UAS menggambarkan bagaimana orang luar sering gagal memahami dunia pesantren dan hubungan batin antara santri dan kiai.

    “Cinta itu alam rasa, bukan alam kata. Kata terlalu miskin untuk mewakili rasa… Susah dilogikakan bagaimana rasa santri ngasi mercy, bagaimana rasanya mencium tangan Yai,” tulis UAS.

    Menurutnya, tradisi pesantren bukan sekadar rutinitas keagamaan, melainkan ikatan spiritual yang lahir dari cinta dan ketulusan. Ia mengibaratkan hubungan santri dan kiai seperti kisah Qais dan Laila, legenda cinta yang melampaui logika.

    “Orang menyebut Qais gila. Yang faham hanya yang pernah jatuh cinta,” tulisnya lagi, menyindir pihak yang mudah menilai tanpa memahami kedalaman makna kehidupan pesantren.

    Melalui bait-bait puisinya, UAS juga menyelipkan kritik sosial yang tajam terhadap industri media. Ia menyinggung bagaimana dunia televisi kerap terjebak dalam logika rating dan sensasi, hingga melupakan nilai moral dan etika.

    “Susah difahami karyawan TV yang rasanya sudah mati. Ditekan sana sini, sibuk dengan hirarki. Lambat kena caci maki, cepat diejek teman yang iri, penuh dengan bully,” tulisnya.

    Pesan ini dianggap sebagai sindiran halus bagi media yang mencari perhatian publik tanpa mempertimbangkan dampak terhadap nilai-nilai keagamaan dan sosial masyarakat.

    Puisi “Mazhab Cinta” sontak menuai respons luas. Ribuan komentar membanjiri unggahan UAS dari kalangan santri, alumni pesantren, hingga tokoh ormas Islam. Banyak yang menilai puisi itu sebagai bentuk pembelaan elegan terhadap martabat pesantren di tengah derasnya arus stigma negatif.

    “Alhamdulillah Tuan Guru, kawal terus! Belum diserang buzzer pembela Trans7. Mereka yang nggak pernah mondok tapi ikut komentar masif,” tulis akun @keviinfirst dalam kolom komentar.

    Selain itu, sejumlah warganet juga membagikan ulang potongan puisi UAS sebagai bentuk solidaritas terhadap dunia pesantren yang dinilai sedang dilecehkan.

    Dalam unggahannya, UAS juga menutup puisinya dengan menampilkan foto kebersamaannya bersama KH Kafabihi Mahrus, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, menegaskan bahwa pesantren adalah ruang penuh cinta dan penghormatan kepada guru.

    Ia menulis, “Pesantren itu rumah cinta. Hubungan antara santri dan Yai tidak bisa dijelaskan logika, hanya bisa dirasakan.”

    Bagi banyak kalangan, puisi tersebut tidak hanya berfungsi sebagai kritik, tetapi juga refleksi mendalam tentang pentingnya menjaga adab dan cinta dalam menuntut ilmu agama.

    Sementara itu, gelombang protes terhadap Trans7 masih terus bergulir. Berbagai organisasi keagamaan dan komunitas santri mendesak adanya klarifikasi terbuka dari pihak stasiun televisi atas tayangan yang dianggap menistakan kiai dan pesantren.

    PBNU menyatakan, laporan ke Dewan Pers dilakukan untuk menegakkan etika jurnalistik dan menuntut tanggung jawab moral dari media yang telah menyinggung perasaan umat Islam.

    Sementara MUI meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) turut memanggil Trans7 untuk memberikan penjelasan resmi. “Media seharusnya menjadi sarana edukasi, bukan provokasi,” ujar MUI dalam keterangannya.

    UAS, yang dikenal memiliki jutaan pengikut di media sosial, dinilai memberikan contoh cara berdakwah yang santun dan bermartabat dalam menghadapi isu sensitif. Sikapnya menunjukkan bahwa pembelaan terhadap martabat pesantren tak harus melalui kemarahan, tetapi bisa melalui puisi, refleksi, dan cinta.

    Pesan yang disampaikan melalui “Mazhab Cinta” pun dianggap mewakili suara banyak santri di seluruh Indonesia — bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga ruang tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan spiritualitas.***

  • Lembaganya Duduki Survei Terburuk, Menteri HAM Pigai Malah Singgung Pilpres dan Pendukung Anies

    Lembaganya Duduki Survei Terburuk, Menteri HAM Pigai Malah Singgung Pilpres dan Pendukung Anies

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menuding Center of Economic and Law Studies (Celios) pendukung Anies Baswedan. Itu diungkapkan menanggapi survei Celios soal kementerian dengan kinerja terburuk.

    Di survei tersebut, lembaga yang digawangi Pigai menduduki urutan pertama. Dengan poin minus 113.

    “Oke. Celios pendukung Anies.Kita harus ngomong, orang Celios pendukung Anies. Nggak papa, silahkan klarifikasi. Celios pendukung Anies,” kata Pigai dikutip dari YouTube CNN Indonesia, Sabtu (11/10/2025).

    Dia menjelaskan bahwa dirinya 10 tahun oposisi. Tidak masuk dalam pemerintahan.

    Selama itu, dia mengatakan tiap saat mengkritik pemerintah.

    “Terlepas dari penilaian ini. Saya 10 tahun berada di oposisi. Tidak masuk dalam pemerintahan. Kritik pagi, siang, dan malam,” ujarnya.

    Karenanya, kata dia, ketika dia sekarang ada di pemerintahan, tidak heran lagi ada pembencinya. Karena menurutnya, ada orang yang memang membenci dirinya.

    “Ketika saya ada di pemerintahan, saya tah ada yang tidak suka saya. Saya tahu ada yang benci sama saya. Ada buzzer, ada benci,” ucapnya.

    Pigai lalu bercerita, dirinya masuk dalam jajaran tim pemenangan Prabowo. Karenanya, dia paham dua kelompok lain yang melawan Prabowo di Pemilihan Presiden, membencinya.

    “Saya mendukung Prabowo, kami memenangkan pertarungan. Saya tahu, ada dua calon maupun kelompok pengikut yang tidak suka sama saya,” imbuhnya.

    “Oleh karena itulah, saya memahami, ketika ada misalnya survei kinerja, kritikan, kasi komentar di media. Pasti saya buruk,” sambungnya.

  • Fenomena Purbaya, Kerja Profesional atau Rekayasa Kekacauan Politik Rezim Prabowo-Gibran?

    Fenomena Purbaya, Kerja Profesional atau Rekayasa Kekacauan Politik Rezim Prabowo-Gibran?

    Dari hasil pengamatan, jaringan buzzer ini didominasi oleh akun beridentitas perempuan paruh baya. Mereka aktif menyebar konten positif, menanggapi kritik, dan mengulang narasi yang memperkuat citra Purbaya sebagai figur bersih, cerdas, dan peduli rakyat kecil.

    Strategi dan Segmentasi Pencitraan

    Tin Purbaya mempunyai kompetensi jalur suplai data yang nyaris sempurna. Langkah dan strategi yang dibangun sudah matang dan berbasiskan data .Strategi pencitraan Purbaya berjalan dua arah. Selain menggandeng simpati Emak-emak, ia (Purbaya) mulai merangkul generasi muda dengan gaya komunikasi yang lebih cair dan interaktif.

    Dengan menyaksikan cuitannya di media sosial sering menyinggung isu anak muda, peluang kerja, dan inovasi. Ini bukan kebetulan dan sudah direncanakan secara spesifik. Pendekatan ini, merupakan upaya membangun basis dukungan lintas generasi.

    Emak-emak memberikan loyalitas emosional, sementara anak muda memberi legitimasi intelektual. Keduanya menjadi fondasi elektoral yang kuat.

    Fenomena ini perlu dicermati bukan karena popularitas itu salah, tetapi karena kecepatan dan orkestrasi di baliknya terlalu terencana.

    Bias Pencitraan dan Bahayanya

    Pada akhirnya, publik berhak tahu apakah ini refleksi kinerja nyata atau proyek politik jangka panjang yang dibungkus dalam kemasan digital.

    Mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam euforia figur. Dalam politik modern, popularitas bisa dibangun bukan dari kerja, tapi dari persepsi. Dan persepsi, seperti yang kita lihat, bisa diproduksi secara massal.

  • "Epinaratic Leadership": Menjawab Tantangan Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 September 2025

    "Epinaratic Leadership": Menjawab Tantangan Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian Nasional 30 September 2025

    “Epinaratic Leadership”: Menjawab Tantangan Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian
    Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.
    KITA
    hidup di zaman yang tidak pernah sepenuhnya tenang. Bukan karena perang fisik, tapi karena pertempuran narasi, opini, dan persepsi.
    Di layar kecil gawai kita, derasnya arus informasi setiap detik membanjiri, tanpa pernah menunggu kita siap untuk menyaringnya.
    Di sinilah lahir fenomena yang kian mendominasi: era DFK (Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian). Tiga kata yang sederhana, tetapi telah mengubah wajah demokrasi, dinamika sosial, bahkan masa depan kepemimpinan.
    Belum lama ini, beredar video
    deepfake
    hasil rekayasa AI yang seolah-olah menampilkan Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani yang mengatakan “guru adalah beban negara”.
    Video Sri Mulyani hanyalah satu dari ribuan hoaks yang beredar di jagad digital. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menemukan 1.020 hoaks sepanjang Januari – Agustus 2025.
    Hoaks mungkin api yang kecil. Namun apabila dibiarkan, mereka dapat membakar habis kepercayaan dan persaudaraan dalam masyarakat.
    Hariqo Wibawa Satria dari Kantor Komunikasi Kepresidenan bahkan mengingatkan bahwa “satu video DFK (disinformasi, fitnah, kebencian) bisa melahirkan sejuta kebencian” terhadap figur publik atau pemimpin.
    Benarlah pepatah lama: “sebuah kebohongan bisa berkeliling setengah dunia saat kebenaran masih memakai sepatunya”. Di era media sosial, pepatah ini kian terasa nyata.
    Di era digital, informasi tidak hanya mengalir deras, tetapi juga sering kali disusupi oleh disinformasi, fitnah, dan kebencian. Disinformasi bukanlah sekadar kesalahan informasi, melainkan konten yang sengaja diproduksi untuk menyesatkan.
    Fallis (2015) menjelaskan bahwa disinformasi berbahaya karena sumbernya bermaksud menipu dan memperoleh keuntungan dari kesesatan yang ditimbulkan.
    Kini, praktiknya semakin canggih karena digerakkan oleh bot, buzzer, hingga algoritma platform digital.
    Aïmeur et al. (2023) bahkan menunjukkan bagaimana teknik
    machine learning
    dan
    deep learning
    membuat konten palsu kian sulit dideteksi, bahkan oleh sistem pendeteksi otomatis berbasis AI.
    Dampak dari disinformasi tidak main-main. Keputusan publik kerap salah arah karena mendasarkan diri pada “fakta palsu”.
    Selain itu, debat publik berubah menjadi gaduh, sebab data yang seharusnya menjadi pijakan bersama dipelintir sesuai agenda tertentu.
    Bahkan, kebijakan negara pun bisa terdistorsi, karena pemimpin didesak merespons opini publik yang telah lebih dulu dibentuk oleh arus disinformasi.
    World Economic Forum dalam Laporan Risiko Global 2025 menempatkan misinformasi dan disinformasi sebagai ancaman terbesar ke-4 di dunia, dengan proyeksi naik menjadi ancaman nomor satu pada 2027.
    Laporan Geopolitical Outlook 2025 dari Rud Pedersen Public Affairs juga menegaskan bahwa kurangnya tata kelola kecerdasan buatan memperbesar risiko penyalahgunaan teknologi untuk menyebarkan informasi palsu.
    Selain disinformasi, fitnah juga semakin berbahaya di era digital. Jika dahulu fitnah hanya menyebar lewat bisik-bisik, kini ia dapat viral dalam hitungan menit dan sulit dihapus dari jejak digital.
    Satu narasi palsu yang diproduksi dengan cerdas mampu meruntuhkan reputasi yang dibangun bertahun-tahun, sekaligus menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi.
    Ketika pemimpin terus-menerus dihantam fitnah, energi yang seharusnya dipakai untuk memimpin dan melayani publik, justru habis untuk klarifikasi tanpa akhir.
    Sementara itu, kebencian memperparah situasi dengan menggerogoti emosi kolektif. Aktor politik kerap memanfaatkannya karena ia sederhana, emosional, dan efektif menggerakkan massa.
    Algoritma media sosial memperkuat polarisasi ini, sebab konten penuh amarah terbukti lebih cepat menyebar dibanding narasi yang menekankan persatuan, terlebih jika preferensi pengguna media sosial adalah konten-konten yang penuh amarah.
    Konten-konten seperti itu membuat masyarakat terbelah, komunitas hancur, dan fondasi bangsa melemah akibat spiral kebencian yang terus dipelihara.
    Oleh karena itu, di era ini, kepemimpinan tidak lagi hanya bicara soal visi pembangunan, kecerdasan manajerial, atau kebijakan publik yang rasional.
    Kepemimpinan menjadi soal bagaimana pemimpin bisa menjaga kepercayaan publik di tengah badai manipulasi informasi. Ia menjadi seni mengikat kebersamaan di tengah masyarakat yang makin mudah terbelah.
    Ia juga menjadi ujian apakah pemimpin mampu menyalakan harapan di tengah atmosfer kebencian yang terus dipupuk oleh algoritma.
    Saya menyebutnya ‘Epinaratic Leadership’, gaya kepemimpinan yang memadukan kekuatan pengetahuan yang benar (epistemik) dengan kekuatan narasi yang menggerakkan (naratik).
    Dalam konteks era penuh disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK), kepemimpinan ini menempatkan kebenaran bukan sekadar sebagai data, melainkan sebagai cerita kolektif yang hidup, dipercaya, dan mampu menyentuh hati publik.
    Kepemimpinan ini menggabungkan dimensi epistemik (berakar pada kebenaran, pengetahuan, dan validitas) dengan dimensi naratik (mengarahkan narasi, identitas, dan makna kolektif).
    Artinya, ‘epinaratic leadership’ tidak berhenti pada sekadar mengetahui yang benar, melainkan juga mampu meramu kebenaran itu menjadi narasi yang hidup, mengakar, dan tahan terhadap distorsi.
    Dengan kata lain, menurut Foroughi et al. (2019), kepemimpinan adalah tindakan yang melakukan sesuatu yang fundamental bagi situasi saat ini, sesuatu yang mengubah realitas faktual, dan yang memberikan arahan untuk masa depan yang ‘lebih baik’.
    Seorang pemimpin dengan gaya ‘epinaratic leadership’ tidak cukup hanya “menyampaikan fakta”, karena fakta saja sering kalah oleh opini dan emosi.
    Ia harus mampu mengubah fakta menjadi narasi kuat, yang bukan hanya meyakinkan secara logis, tetapi juga menginspirasi secara emosional dan bermakna secara sosial.
    Di tengah era
    post-truth
    (ketika kebenaran kehilangan pijakannya), mengubah fakta menjadi narasi yang kuat dan emosional menjadi tuntutan.
    Orang kini mempercayai narasi yang mengggugah emosi dan mencari validasi dari apa yang mereka percayai.
    Algoritma media sosial mengakselerasi hal tersebut dengan menciptakan filter buble yang menyaring konten (yang bahkan bisa diedit sesuai keinginan) berdasarkan preferensi user. Akibatnya, orang pun terjebak dalam
    echo chamber
    -nya sendiri.
    Kondisi tersebut memungkinkan munculnya fenomena DFK (disinformasi, fitnah, kebencian). Fenomena tersebut menjelma sebagai praktik
    character assassination
    digital yang merajalela.
    Reputasi tokoh publik mudah diserang fitnah, legitimasi dan otoritas terkikis, dan penegakan hukum dibingkai ulang sebagai penindasan atau keberpihakan politik.
    Ironisnya, situasi ini memberi ruang bagi kelompok tertentu untuk bermain api, yang tujuannya mendiskreditkan figur kepemimpinan.
    Lebih ironis lagi, meski klarifikasi resmi telah disampaikan dengan bukti dan data, publik yang terlanjur terbelah sering menolak mendengarnya.
    Menurut studi MIT 2018 lalu terhadap
    fake news
    di Twitter, berita benar membutuhkan waktu sekitar enam kali lebih lama untuk menjangkau 1.500 orang dibandingkan berita palsu untuk menjangkau jumlah orang yang sama. Karena persebarannya yang sangat cepat, orang sudah terlanjur percaya dengan berita bohong.
    Oleh karena itu,
    Epinaratic Leadership
    adalah praktik kepemimpinan yang bertujuan menjaga identitas naratif pemimpin, menghadirkan narasi tandingan terhadap fitnah dan kebencian, sekaligus mengarahkan masyarakat pada cerita besar tentang harapan, kolaborasi, dan masa depan bersama.
    Kepemimpinan ini dijalankan oleh generasi baru pemimpin yang hidup sepenuhnya dalam ekosistem digital dituntut untuk tidak hanya adaptif, melainkan juga transformatif.
    Kepemimpinan epinaratik tidak bisa memimpin dengan kacamata lama. Mereka harus mengakui realitas bahwa politik dan kepemimpinan kini sama pentingnya di layar ponsel seperti halnya di meja rapat kabinet.
    Kepemimpinan epinaratik menjadi kebutuhan mendesak. Pemimpin dituntut memiliki
    information literacy
    untuk memverifikasi fakta, menjaga integritas di tengah gempuran fitnah, dan mengembangkan narasi ketangguhan sebagai jawaban atas kebencian.
    Lebih jauh, mereka harus berani membangun ekosistem komunikasi yang sehat, di mana kebenaran dilindungi, reputasi dijaga, dan persatuan ditempatkan di atas polarisasi.
    Dengan demikian, disinformasi tidak lagi menyesatkan arah, fitnah tidak lagi menghancurkan kepercayaan, dan kebencian tidak lagi merobek masyarakat, melainkan justru menjadi ujian yang memperlihatkan kualitas kepemimpinan sejati.
    Istilah ‘epinaratic leadership’ bukan lagi sekadar label generasi. Ia mencerminkan lahirnya gaya kepemimpinan baru, yaitu pemimpin yang sejak awal kariernya sudah berinteraksi dengan dunia digital, terbiasa dengan
    multichannel communication
    , dan sadar bahwa opini publik dibentuk dalam ekosistem media yang kompleks.
    Kepemimpinan epinaratik tidak bisa hanya mengandalkan model tradisional, rapat tertutup, konferensi pers, atau sekadar pidato formal.
    Mereka harus piawai mengelola ruang digital, aktif berdialog dengan publik, dan mampu menjaga konsistensi identitas di berbagai platform.
    Tipikal pemimpin seperti ini disebut Pemimpin Opini Termediatisasi, di mana menurut Schäfer and Taddicken (2015), mereka menggunakan berbagai media secara signifikan lebih sering untuk pertukaran informasi dan komunikasi dan juga untuk interaksi interpersonal mereka.
    Namun demikian, kepemimpinan ini juga menghadapi risiko: terlalu sibuk di permukaan digital, hingga lupa pada substansi kepemimpinan.
    Di sinilah keseimbangan harus dijaga. Pemimpin epinaratik ideal adalah mereka yang bisa menjembatani dunia digital dengan realitas lapangan, antara
    hashtags
    dengan
    hard works
    , antara
    likes
    dengan
    legacies.
    Untuk menjawab tantangan DFK, ada sejumlah strategi implementatif yang bisa diterapkan pemimpin epinaratik.
    Pertama, perlunya membangun literasi digital internal. Pemimpin tidak bisa berjalan sendiri. Ia butuh tim yang juga cerdas digital, mampu mendeteksi hoaks, membaca tren percakapan, dan memberikan masukan berbasis data.
    Literasi digital bukan hanya tanggung jawab masyarakat, tetapi juga kewajiban internal organisasi kepemimpinan.
    Saat ini, literasi digital Indonesia tahun 2025 berada di angka 3,65 dari skala 5. Indeks Masyarakat Digital Indonesia juga mengalami peningkatan dari 37.80 (2022) menjadi 43.34 (2024).
    Artinya, ada harapan besar bahwa pemimpin epinaratik beserta timnya nanti mampu beradaptasi dengan baik di dunia digital seiring meningkatkanya indeks literasi digital.
    Kedua, mengadopsi model komunikasi transparan. Transparansi adalah senjata ampuh melawan disinformasi. Pemimpin epinaratik perlu rutin membuka data, menjelaskan proses, dan menghadirkan ruang partisipasi publik.
    Menurut Hadziahmetovic and Salihovic (2022), komunikasi yang transparan mendorong keterlibatan dengan mempromosikan kepercayaan dan keyakinan.
    Dengan kata lain, apabila kita transparan dalam komunikasi dan data, narasi palsu tidak punya ruang subur untuk berkembang.
    Ketiga, mengelola krisis dengan narasi positif. Ketika fitnah menyerang, jangan hanya reaktif dengan klarifikasi.
    Erickson (2021) menegaskan bahwa komunikasi yang jelas, tenang, dan teratur diperlukan untuk meyakinkan staf bahwa perahu akan tetap mengapung di tengah badai.
     
    Oleh karena itu, gunakan krisis sebagai momentum untuk mempertegas nilai kepemimpinan, sehingga kita mampu mengubah krisis reputasi menjadi panggung integritas.
    Keempat, mengaktifkan kolaborasi multi-pihak. Tantangan DFK terlalu besar untuk dihadapi sendiri. Pemimpin epinaratik perlu membangun aliansi dengan akademisi, media,
    civil society
    , dan platform digital.
    Misalnya, seperti yang disarankan oleh Hartono et al. (2021), pemimpin epinaratik dapat berkolaborasi dengan Dewan Pers Nasional untuk meningkatkan profesionalisme media dan mengurangi berita yang tendensius.
    Selain itu, pemimpin epinaratik juga dapat menjalin kolaborasi dengan Meta dan Bytedance dalam mencegah penyebaran disinformasi.
    Terakhir, menghidupkan empati dalam setiap narasi. Di era kebencian, empati adalah kekuatan. Pemimpin epinaratik perlu berani menunjukkan sisi manusiawi: mendengarkan, merasakan, dan merespons dengan hati.
    Selain itu, empati juga dapat kita tunjukkan dalam praktik kepemimpinan. Dalam penelitian Jian (2021), pemimpin yang empatik ditandai dengan sikap terbuka terhadap orang lain yang melampaui ego sendiri, sikap peduli untuk memotivasi seseorang untuk berempati, serta tanggung jawab terhadap orang lain.
    Publik mungkin lupa detail kebijakan, tetapi mereka tidak pernah lupa rasa dan kenangan yang mereka dapatkan saat berinteraksi.
    Mari kita bayangkan skenario nyata. Seorang pemimpin daerah diserang fitnah bahwa programnya hanya menguntungkan kelompok tertentu.
    Alih-alih marah dan membalas, ia justru mengundang pihak-pihak kritis untuk berdialog terbuka, menyiarkan langsung pertemuan tersebut, dan membuktikan dengan data.
    Publik yang menyaksikan tidak hanya melihat klarifikasi, tetapi juga menyaksikan gaya kepemimpinan yang berani, terbuka, dan empatik.
    Contoh lain, seorang CEO perusahaan besar menghadapi disinformasi bahwa perusahaannya merusak lingkungan. Ia tidak berhenti pada rilis pers, melainkan membuat program
    open factory
    di mana masyarakat, media, dan akademisi bisa langsung melihat proses produksi yang ramah lingkungan. Narasi palsu pun kalah oleh bukti nyata.
    Praktik-praktik inilah yang menunjukkan bagaimana kepemimpinan epinaratik bisa menjawab tantangan DFK dengan cara yang implementatif sekaligus inspiratif.
    Era DFK mungkin terlihat menakutkan, tetapi ia juga menghadirkan peluang. Pemimpin yang mampu melewati badai ini dengan integritas dan inovasi akan muncul sebagai pemimpin yang jauh lebih kuat.
    Mereka akan dikenal bukan karena tidak pernah diserang, tetapi karena selalu mampu bangkit dan menyalakan harapan.
    Sejarah selalu mencatat bahwa setiap era memiliki tantangannya sendiri. Jika dulu tantangan terbesar adalah kolonialisme, perang, atau krisis ekonomi, maka tantangan hari ini adalah DFK.
    Namun sama seperti generasi-generasi sebelumnya, generasi ini pun bisa melewatinya dengan kepemimpinan yang tepat.
    Pemimpin epinaratik harus berani menjadikan dirinya
    guardian of truth
    , penjaga integritas, dan penyalur harapan.
    Mereka harus menyadari bahwa di era digital, setiap kata, setiap gestur, setiap keputusan bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal bagaimana ia diterjemahkan di ruang publik yang tak pernah tidur.
    Pada akhirnya, kepemimpinan di era DFK adalah tentang keberanian untuk tetap berpegang pada nilai, meski arus kebencian begitu deras.
    Ia adalah tentang kesanggupan untuk terus merangkul, meski tangan terus diserang. Ia adalah tentang kemampuan menyalakan cahaya, ketika kegelapan disinformasi mencoba menutupi segalanya.
    Dan itulah panggilan ‘epinaratic leadership’ hari ini, memimpin dengan akal sehat, dengan hati yang luas, dan dengan tekad bahwa bangsa ini terlalu berharga untuk dibiarkan hancur oleh disinformasi, fitnah, dan kebencian.
    Kini, bola ada di tangan kita bersama. Masing-masing dari kita bisa ikut menentukan arah dengan cara memilih, mendukung, dan menjadi pemimpin yang berpegang pada kebenaran di atas kepentingan sempit.
    Apakah kita akan mengizinkan era DFK terus mencabik-cabik tenun kebangsaan, atau kita bangkit memupuk kepemimpinan pascakebenaran yang memulihkan kepercayaan dan persatuan? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan wajah masa depan Indonesia kita.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.