NGO: Buzzer

  • Barang Sering Hilang? Ini Solusi GPS Tracker yang Bikin Hidup Lebih Tenang

    Barang Sering Hilang? Ini Solusi GPS Tracker yang Bikin Hidup Lebih Tenang

    Alih-alih mengandalkan ingatan setiap kali menaruh barang, banyak orang kini beralih ke perangkat pelacak yang lebih praktis. Airtag Card hadir sebagai opsi pelacak tipis yang mudah dibawa ke mana saja, dengan tampilan ringkas dan bobot ringan sehingga nyaman disimpan di dompet, tas, maupun saku tanpa menambah beban. Desainnya yang minimalis membuat perangkat ini tetap stylish dipakai untuk penggunaan harian.

    Di balik bentuknya yang sederhana, produk ini dibekali sistem pelacakan responsif dan kompatibel dengan perangkat iOS maupun Android. Proses pairing berlangsung cepat, dan setelah tersambung, kamu bisa melacak barang secara real-time melalui aplikasi Find My. Fitur ini membantu mengurangi risiko barang tertinggal, terutama saat berada di tempat umum atau sedang terburu-buru.

    Material ABS dan akrilik yang digunakan membuat perangkat ini lebih kokoh untuk penggunaan jangka panjang. Dengan ketebalan hanya 3,28 mm dan berat 15,4 gram, Airtag Card nyaman disimpan tanpa membuat dompet menggembung. Bentuknya yang ergonomis juga memastikan perangkat tetap mudah dibawa bepergian.

    Perangkat ini dilengkapi buzzer internal dengan suara hingga 75 dB, yang membantu menemukan barang tersembunyi dalam radius 20 hingga 30 meter. Baterai lithium 170 mAh mampu bertahan hingga enam bulan dalam kondisi standby, dan bisa diisi ulang melalui wireless charging, sehingga tetap efisien dan siap digunakan kapan pun.

    Dengan sertifikasi IP44, Airtag Card juga aman dari percikan air maupun debu ringan, cocok untuk aktivitas harian, termasuk saat cuaca tidak menentu. Dimensi 85 × 54 × 3,28 mm memastikan tracker tetap compact dan nyaman dibawa. Paket pembelian sudah termasuk Smartag Card dan panduan penggunaan.

    Dengan kombinasi fitur lengkap, desain ringan, alarm kuat, dan baterai tahan lama, Airtag Card menjadi solusi anti hilang yang praktis untuk mahasiswa, pekerja, maupun traveler. 

  • DPR Sebut Serangan di Medsos untuk Mereka adalah Ulah Buzzer Terorganisir

    DPR Sebut Serangan di Medsos untuk Mereka adalah Ulah Buzzer Terorganisir

    GELORA.CO – Wakil Ketua Komisi I DPR Sukamta menyoroti maraknya aktivitas pendengung (buzzer) yang dinilai kini telah berevolusi dari aktivitas individual menjadi sebuah industri yang dijalankan secara terorganisir.

    “Kami melihat bahwa fenomena buzzer di Indonesia ini telah berevolusi dari yang dulunya aktivitas individual, terus menjadi industri yang terorganisir dan seringkali dioperasikan oleh biro-biro komunikasi atau suatu agensi,” kata Sukamta dalam rapat kerja bersama Kemkomdigi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (8/12/2025).

    Sukamta mengungkapkan bahwa serangan terhadap lembaga legislatif di media sosial kembali meningkat dalam beberapa waktu terakhir, ditandai dengan berbagai tagar dan seruan yang menyerang DPR.

    Menurutnya, serangan tersebut digerakkan oleh robot dan buzzer sehingga perlu ada upaya penegakan hukum secara kolaboratif antar lembaga dan menyeluruh hingga menjangkau pihak di balik aktivitas buzzer.

    Sukamta menilai, buzzer politik memiliki peran signifikan dalam menggiring opini di media sosial melalui penggunaan tagar di platform tertentu agar mencapai topik populer (trending topic) maupun lewat narasi serta konten foto dan video.

    “Perkembangan industri buzzer ini menurut saya berkontribusi pada apa yang disebut sebagai pembusukan komunikasi politik, di mana narasi kebencian, hoaks, disinformasi diproduksi secara masif dengan target dan tujuan tertentu,” jelasnya.

    Persoalan buzzer dinilai bukan sebatas masalah etika di ruang digital, melainkan juga menyangkut kepentingan elit politik tertentu atau kepentingan komersial.

    Menurut Sukamta, meskipun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disusun untuk mengatur lalu lintas informasi di ruang digital, dalam praktiknya aturan tersebut kerap bergantung pada mekanisme delik aduan.

    Ketergantungan ini disebut membuat penindakan terhadap buzzer yang beroperasi secara terorganisir dan massal menjadi tidak efektif. Dia pun mendorong agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang ITE, agar konten dari buzzer yang berpotensi memicu kerusuhan dapat ditindak tanpa harus melalui delik aduan.

    Dalam kondisi tertentu yang sudah mengarah pada situasi darurat, proses penegakan hukum tidak bisa terus menunggu proses birokrasi yang panjang, termasuk menunggu adanya laporan untuk dapat menurunkan konten yang bersifat provokatif.

    “Saya kira penting untuk kita pikirkan apakah di Undang-Undang ITE, khusus untuk hal yang terkait dengan aktivitas buzzing yang destruktif dan terorganisir, itu bisa dilakukan penindakan yang dikecualikan dari delik aduan,” ucapnya.

  • RPS Tuban Gelar Pelatihan Jurnalisme Kekinian untuk Mahasiswa

    RPS Tuban Gelar Pelatihan Jurnalisme Kekinian untuk Mahasiswa

    Tuban (beritajatim.com) – Ronggolawe Press Solidarity (RPS) Tuban kembali menggelar Pelatihan Jurnalisme Kekinian di Kampus Universitas PGRI Ronggolawe (Unirow) Tuban. Kegiatan ini juga diikuti mahasiswa dari IAINU Tuban dan Universitas Sunan Bonang.

    Ketua RPS Tuban, Khoirul Huda, menyampaikan bahwa pelatihan ini merupakan langkah strategis untuk menyiapkan generasi jurnalis muda yang adaptif, kreatif, dan kompeten menghadapi arus digital yang semakin dinamis.

    “Hari ini diikuti sebanyak 35 mahasiswa dari Unirow, IAINU Tuban, dan Universitas Sunan Bonang. Tujuannya sebagai bagian dari upaya mencetak jurnalis kompeten di era digital,” ujar Khoirul Huda, Senin (24/11/2025).

    RPS Tuban saat menggelar kegiatan pelatihan Jurnalisme Kekinian di Universitas PGRI Ronggolawe (Unirow) Tuban.

    Ia menambahkan, derasnya tantangan media sosial dan maraknya disinformasi membuat penguatan kapasitas jurnalis muda menjadi hal penting.

    “Selama ini kami rutin melatih pelajar SMA. Tahun ini kami menyasar mahasiswa agar lebih siap menggantikan peran kami di masa depan,” imbuhnya.

    Menurut Khoirul, jurnalis tidak hanya menyampaikan informasi, namun juga menjalankan fungsi kontrol sosial dan edukasi. Di era digital, praktik jurnalisme pun semakin bersinggungan dengan influencer, buzzer, hingga konten kreator.

    “Harapannya, kehadiran komunitas pers kampus seperti LPM Waskita (Unirow) dan LPM Makibra (IAINU) dapat memperkuat ekosistem jurnalistik mahasiswa di Tuban,” tambah jurnalis Harian Bhirawa tersebut.

    Sementara itu, Wakil Rektor 3 Unirow Tuban, Suantoko, mengapresiasi RPS dan seluruh peserta atas terselenggaranya kegiatan ini. Menurutnya, ruang pembelajaran mahasiswa tidak cukup hanya terjadi di dalam kelas.

    “Banyak alumni LPM Waskita Unirow Tuban yang kini menjadi jurnalis di Tuban, Bojonegoro, Lamongan, hingga Rembang. Ini bukti nyata pentingnya pers kampus,” ujarnya.

    Ia juga mengingatkan mahasiswa agar bijak menggunakan media sosial, mengingat ada etika dan regulasi yang harus dipatuhi.

    “Kalian adalah role model. Selepas pelatihan ini harus ada dampak langsung dan dampak penyerta bagi lingkungan kalian,” tegasnya. (dya/but)

     

     

     

  • Survei INDEF: Publik Jenuh dengan Praktik Polisi Rangkap Jabatan Sipil

    Survei INDEF: Publik Jenuh dengan Praktik Polisi Rangkap Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Continuum INDEF menyampaikan hasil survei analisis big data terkait sentimen publik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi melarang anggota polisi mengisi jabatan sipil. Dari hasil survei, publik sudah jenuh dengan isu rangkap jabatan.

    Business Head Continuum INDEF, Arini Astari menjelaskan survei dilakukan dengan mengamati perbincangan di YouTube sebanyak 3.471 dan X sebanyak 8.165. Survei menganalisis sentimen publik, topik perbincangan, dan eksposur perbincangan. Survei telah memfilter akun-akun buzzer dan media sehingga murni opini publik.

    “Publik sudah lama jengah melihat rangkap jabatan yang dianggap mengurangi kesempatan kerja bagi orang lain dan membuka peluang konflik kepentingan,” kata Arini dilansir akun YouTube INDEF, dikutip Senin (24/11/2025).

    Arini menyebut, 16,04% publik memberikan sentimen negatif terhadap putusan MK. Sentimen yang dimaksud adalah mengkritisi putusan MK bahwa larangan rangkap jabatan seharusnya dilakukan untuk kementerian atau lembaga lain.

    Sebab, kata Arini, tidak menutup kemungkinan terjadi kecemburuan antara instansi, lembaga, maupun kementerian karena putusan tersebut. 

    “Publik juga ternyata banyak menyinggung tentang instansi lain seperti TNI, KPK, DPR, dan BNN. TNI instansi paling banyak disorot setelah kepolisian dengan tuntutan agar prinsip yang sama larangan rangkap jabgan sipil juga diberlakukan,” ujarnya.

    Survei juga menghasilkan bahwa 83,96% Publik menyampaikan sentimen positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang anggota polisi mengisi jabatan sipil atau rangkap jabatan.

    Arini menjelaskan, putusan MK sekaligus memperkuat supermasi sipil dan mendorong putusan segera dilaksanakan.

    Publik juga menilai putusan menekan angka konflik kepentingan di tubuh lembaga atau kementerian dan memperjelas batas antara fungsi penegakan hukum dan jabatan administratif.

    “Banyak warga net mengaitkan putusan ini dengan harapan tata kelola negara yang lebih sipil, transparan, dan akuntabel,” pungkasnya.

  • INDEF: 83,96% Publik Puji Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil

    INDEF: 83,96% Publik Puji Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Survei yang dilakukan Continuum INDEF menyebutkan 83,96% Publik menyampaikan sentimen positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota polisi mengisi jabatan sipil atau rangkap jabatan.

    Metode survei menyasar sentimen publik di media sosial X sebanyak 8.165 perbincangan dan YouTube sebanyak 3.471 perbincangan. Survei menggunakan analisis eksposur perbincangan, analisis sentimen, dan analisis topik perbincangan. Waktu survei berlangsung 13-17 November 2025.

    Business Head Continuum INDEF, Arini Astari menjelaskan, dalam pelaksanaan survei telah menyingkirkan akun buzzer dan akun media sehingga sehingga memperoleh opini publik yang organik.

    “Dari sisi sentimen, ada 83,96% percakapan bernada positif terhadap putusan MK. Sementara 16,04% ini bernada negatif. Jadi ini menunjukkan publik secara umum mengapresiasi putusan ini terutama di tengah krisis kepercayaan terhadap kinerja pemerintah dan praktik rangkap jabatan yang dinilai merusak tata kelola birokrasi,” katanya dikutip akun YouTube INDEF, Minggu (23/11/2025).

    Arini menjelaskan, apresiasi publik tidak lepas dari banyaknya kasus rangkap jabatan di berbagai instansi. Selain itu, putusan MK sekaligus memperkuat supremasi sipil dan mendorong putusan segera dilaksanakan.

    Publik juga menilai putusan menekan angka konflik kepentingan di tubuh lembaga atau Kementerian pelat merah dan memperjelas batas antara fungsi penegakan hukum dan jabatan administratif.

    Pada sisi sentimen negatif, mengkritik bahwa putusan ini seharusnya diberlakukan untuk instansi lainnya, kemudian berpotensi memicu kecemburuan antar instansi, serta banyak masyarakat yang sudah jengah dengan praktik rangkap jabatan.

    “Publik sudah lama jengah melihat rangkap jabatan yang dianggap mengurangi kesempatan kerja bagi orang lain dan membuka peluang konflik kepentingan dan di sini perlu kita pahami bersama bahwa narasi kritis ini penting diberitakan bukan sebagai penolakan keputusan, tetapi sebagai dorongan agar reformasi tidak berhenti di satu institusi saja,” jelas Arini.

    Adapun publik mendesak agar rangkap jabatan juga tidak terjadi di TNI, KPK, DPR, dan BNN.

  • “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

    “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

    “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    MENTERI
    Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyentil pers yang “mingkem”, tidak berani melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritik itu disampaikan Purbaya dalam acara yang digelar Forum Pemimpin Redaksi di Jakarta, Minggu 16 November 2025.
    Kritik Purbaya ini menarik dan mengandung separuh kebenaran.  PK Ojong punya pandangan yang senada.
    Pers
    dibuat bukan untuk menjilat kekuasaan.  Kritik pers memang dibutuhkan karena kekuasaan itu  cenderung korup. Pada saat ini, kritik pers justru amat dibutuhkan ketika bangsa sedang mengalami krisis representasi.  
    DPR mengalami apa yang disebut Carl Schmitt sebagai telah kehilangan dasar moral dan spiritualnya. Itu ditulis Schmitt dalam buku
    The Crisis of Parliamentary Democracy
    , 1923. Selain pers yang “mingkem”, DPR, DPD, ormas pun sebenarnya “mingkem” melihat praktik politik penuh ketidakadilan. Dalam bahasa pemikir kebhinekaan, Sukidi, bangsa sedang dibangun dalam situasi republik ketakutan (
    republic of fear
    ).
    Gejala pers yang “mingkem” sudah ditengarai Daniel Dhakidae dalam disertasinya di Cornel tahun 1991. Dalam disertasi
    The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry
    , Daniel memprediksi sistem pers Orde Baru dengan kontrol kertas di tangan pemerintah akan menciptakan situasi menjadi akhir dari jurnalisme politik (
    the end of political journalism
    ).
    Kritik Purbaya disebut sebagai separuh kebenaran karena sebenarnya ada juga pers, katakan Tempo, yang berani mengkritik pemerintahan secara lugas dan tegas terhadap tata kelola pemerintahan. Namun kini, Tempo tengah menghadapi gugatan ganti rugi Rp 200 miliar oleh Menteri Pertanian. Bisa saja pandangan Purbaya adalah pandangan pribadi seorang menteri berbeda dengan menteri yang lain.
    Dalam praktik selama ini, dalam lingkungan komunitas pers, tertangkap suasana kebatinan bahwa pemerintah lebih suka dengan berita-berita positif, terlebih  pujian. Dalam beberapa kejadian selalu ada upaya tangan tak kelihatan untuk mengendalikan pers bebas yang memang sedang dalam tahapan
    survival mode
    . “Padahal, pujian adalah
    silent killer
    ,” kata Sukidi, dalam sebuah pernyataan di Forum Warga Negara.
    Ini berbeda misalnya dengan pandangan Ali Sadikin. Ali Sadikin dalam satu wawancara pernah mengatakan, “… wartawan itu karyawan pemerintah yang tidak dibayar negara. Tugasnya justru mengkritik kebijakan pemerintah….,” kata Ali Sadikin.
    Tapi apakah pejabat kita seterbuka Ali Sadikin menerima kritik dari
    media
    sebagaimana disampaikan Purbaya.
    Sejak lama, media disebut sebagai pilar keempat demokrasi—
    the fourth estate
    —setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media dimandatkan untuk mengawasi kekuasaan, menyediakan informasi publik, dan menjadi forum deliberasi bagi warga negara.
    Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism menulis: “Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran, dan kesetiaan pertamanya adalah kepada warga.”
     Namun kini, secara umum posisi media itu goyah. Bukan karena hilangnya idealisme, tetapi karena dua tekanan besar: krisis ekonomi di dalam industri media, dan dominasi algoritma di luar ruang redaksi. Media berdiri di persimpangan: antara bisnis dan etika, antara klik dan kebenaran.
    Industri media kini menghadapi guncangan struktural yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pendapatan iklan berpindah ke platform digital seperti Google, Meta, dan TikTok. Ruang redaksi kehilangan kemandirian ekonomi, sementara pemilik modal semakin berkuasa menentukan arah pemberitaan. Robert McChesney menyebut fenomena ini sebagai
    market censorship
    — sensor pasar—di mana bukan negara yang menekan
    kebebasan pers
    , tetapi logika bisnis yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan.
    Konsentrasi kepemilikan membuat media kerap kehilangan keberanian moral. Liputan investigative berkurang.  Isu publik tergantikan oleh sensasi politik. Kecenderungan media menjadi pelapor fakta. Namun, tentunya masih ada media yang mencoba menjalankan jurnalisme advokatif.
    Selain krisis ekonomi, kita juga menghadapi krisis suara. Manuel Castells, dalam
    Communication Power
    , mengatakan: “Kekuasaan di era informasi adalah kekuasaan untuk memprogram arus komunikasi.”
    Buzzer politik, influencer, dan mesin algoritma kini bertindak sebagai “editor baru” ruang publik. Mereka menentukan apa yang trending, bukan apa yang penting. Mereka menyebarkan emosi, bukan pengetahuan. Kita hidup dalam demokrasi simulatif: terlihat ramai, tapi kehilangan kedalaman. Setiap warga seolah punya suara, tapi suara-suara itu dikendalikan oleh kekuatan yang tak terlihat— oleh mesin, oleh modal, oleh kepentingan politik. Buzzer telah menjadi industri. Tapi apakah itu kebenaran? Belum tentu.
    Saat Revisi UU KPK (2019) terjadi, bagaimana
    cyber troops
    dikerahkan untuk mendelegitimasi KPK dengan narasi “KPK sarang Taliban” dan narasi lain untuk menggolkan agenda politik revisi UU KPK dan kemudian berhasil. KPK berhasil dilumpuhkan melalui operasi kartel partai politik dalam lima hari.
    Krisis media juga merupakan krisis relasi kekuasaan. Media tidak lagi di luar kekuasaan, tetapi menjadi bagian dari arena kekuasaan itu sendiri. Kita menyaksikan munculnya oligarki informasi— di mana konglomerasi media dan politik menyatu dalam kepentingan yang sama.
    Hasilnya: ruang redaksi kehilangan otonomi, dan kebebasan pers berubah menjadi kebebasan bagi pemilik modal. McChesney pernah mengingatkan: “Kebebasan pers tanpa kebebasan ekonomi redaksi adalah kebebasan semu.”
    Inilah paradoks media hari ini: secara hukum bebas, tetapi secara struktural terpenjara. Ketika kekuatan politik, kekuatan ormas, kekuatan media berada dalam satu tangan, bukankah  itu merupakan tanda-tanda awal dari totalitarianisme?
    Namun, krisis ini bukan akhir. Ia bisa menjadi awal kebangkitan baru bagi media— jika media berani kembali pada akarnya: etika, empati, dan keberpihakan serta dukungan publik.
    Apakah publik mendukung jurnalisme yang sehat? Jurnalisme bukanlah propaganda. Jurnalisme yang membuka ruang perdebatan publik.  Esensi jurnalisme adalah mengingatkan yang mapan (
    polite watch dog
    ), menghibur yang papa. Namun itu juga sepenuhnya tergantung pengurus negara. 
    Ada empat langkah yang harus ditempuh.
    Media harus kembali pada misi moralnya: berpihak pada publik, bukan kekuasaan. Mengutip Budayawan/Rohaniawan GP Sindhunata: bagaimana menjaga agar “danyang” jurnalisme tidak
    oncat
    atau mencelat dari ruang jurnalisme. “Danyang” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang cenderung ada unsur mistis dan magis. Tapi “danyang” bisa diartikan sebagai roh yang menggerakan jurnalisme, nilai yang diperjuangkan dalam jurnalisme. Apakah “danyang” jurnalisme masih ada? Ada untuk beberapa media.
    Bill Kovach menulis, “Verifikasi lebih penting daripada viralitas.” Kecepatan bukan ukuran profesionalisme; integritaslah yang utama.
    Kemandirian ekonomi adalah syarat mutlak bagi independensi redaksi. Model
    membership journalism
    atau
    public funding
    bisa menjadi jalan keluar. Kita bisa belajar dari The Guardian, ProPublica, atau di Indonesia— Tempo Investigasi, Project Multatuli. Itu sekadar contoh. Tapi intinya, perkembangan media membutuhkan dukungan publik dan  pemerintah. Perjuangan Forum Pemred memperjuangkan
    No Tax For Knowledge
    perlu dipertimbangkan Purbaya. Industri media yang sejatinya adalah industri pengetahuan masih dibebani begitu banyak pajak-pajak yang memberatkan.
    Kebenaran adalah hasil kerja kolektif. Ekosistem kolaboratif—antara redaksi, universitas, dan NGO— akan memperkuat
    fact checking
    dan literasi publik. Dukungan pelanggan amat sangat menentukan. 
    Negara harus hadir bukan untuk membungkam, tetapi melindungi jurnalisme dari tirani algoritma. Transparansi konten politik berbayar dan keadilan algoritmik adalah prasyarat demokrasi digital yang sehat.
    Media boleh lemah secara industri, tetapi jika ia teguh pada moralitas kebenaran, ia tetap akan menjadi penjaga rasionalitas bangsa. Justice Hugo Black pernah berkata: “
    Freedom of the press is not for the press itself, but for the people to know
    .”
    “Kebenaran adalah pekerjaan rumah harian demokrasi.”
    Tugas media bukan hanya menyampaikan berita, tetapi menjaga nurani bangsa agar tetap waras dan  mengerakkan semangat berbela rasa, mengingatkan yang mapan dan menghibur yang papa, di tengah kebisingan digital. Di era suara sintesis, media sejati bukan yang paling keras, tetapi yang paling jujur. Namun itu semua membutuhkan dukungan publik.
    Kritik Purbaya harus diterima. Namun, Purbaya perlu mengambill  langkah  melonggarkan beban pajak yang melilit industri pers. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tudingan LGBT di Kampus Ternama di Bandung Hebohkan Medsos, Netizen: Udah Gak Ketolong!

    Tudingan LGBT di Kampus Ternama di Bandung Hebohkan Medsos, Netizen: Udah Gak Ketolong!

    GELORA.CO – Sebuah posting atas tudingan LGBT di kampus ternama di Bandung hebohkan medsos, bahkan salah satu netizen menguliskan jika hal ini udah gak ketolong.

    Adapun postingan terkait maraknya LGBT atau lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang menggantikan frasa komunitas gay ini di posting oleh Ayman Rafsanjani N dengan akun X@aymaannnzzzz.

    Dalam akun tersebut, Ayman menulikan di kolom profil jika dirinya merupakan salah satu mahasiswa Electrical Engineering ITB.

    Bahkan dalam salah satu postingannya Ayman juga sempat memposting kartu peserta pratikum beberapa mata kuliah yang dijalaninya di ITB.

    Pernyataan yang disampaikan oleh Ayman di akun X-nya saat menanggapi postingan dari ITBFess x Kawalu.id – kirim menfess di itbfess.wtf dengan akun @itbfess_x.

    Sedangkan akun @itbfess_x sendiri mengakui jika ITBFess adalah platform menfess yang dibuat khusus untuk mahasiswa ITB.

    Platform ini memungkinkan kamu mengirim pesan secara anonim ke Twitter melalui akun @itbfess_x.

    Adapun postingan dalam akun @itbfess_x yang menjadi heboh dan ditangapi oleh Ayman adalah postingan pada 11 November 2025.

    “itb! guys tau adab aja kalopun kalian penyimpangan, cowo sm cowo kalo mau pacaran jgn di lingkungan kampus dah ga enak bgt diliatnya, begitupun cewe sama cewe duh,” tulis akun tersebut.

    “Udah gak ketolong coo ITB ITB ini, lu pada liat rep menfess ini dan simpulkan sendiri,” tulis @aymaannnzzzz.

    Tak hanya akun @aymaannnzzzz, ratusan akun lainnya juga ikut menanggapi postingan tersbut dan menyayangkan perilaku LGBT di ITB yang merupakan salah satu kampus terbaik di Tanah Air.

    “Monmaap tapi ada benernya, aku udh 5 bulan kerja di salah satu rs bandung dan udh nemu 3 pasien dengan diagnosa B20 dan mereka semua anak ITB,” tulis akun @awholenyuwer.

     Selain akun @aymaannnzzzz, akun @jusmanggawiscar juga ikut mengomentari postingan @itbfess_x.

    “Eh tolong ya yg pacaran cewe sama cowo jg jangan nyaman banget keliatan pacaran di tempat publik. Gw terganggu litany,” tulis akun @jusmanggawiscar.

    “Sisi gelap itb, pinter2 tapi…. jadi keinget pernah main kesana dan bener kata sender ini, awalnya mau denial tp ternyata yasudahlah, masih agak shock gue soalnya liat hompimpa didepan umum,” akun @msxaulie ikut mengomentari.

    Sedangkan akun @nova723342 yang ikut mengomentari mengungkapkan jika hal tersebut tidak hanya terjadi di kampus ITB.

    “Cuma ITB doang? Semua kampus Indo juga rata2 begitu cok,” tulisnya.

    “Apalagi kalo di Bandung banyak orang2 luar yg masukin ajaran2 aneh bin sesat, ga usah ngeframing 1 kampus doang cem buzzer pemerintah aja,” tambahnya.

  • Konten Armuji Sidak SPBU Rajawali Tuai Pro-Kontra, Praktisi Hukum Surabaya Ingatkan Masalah Etik

    Konten Armuji Sidak SPBU Rajawali Tuai Pro-Kontra, Praktisi Hukum Surabaya Ingatkan Masalah Etik

    Surabaya (beritajatim.com) – Konten Sidak Wakil Walikota (Wawali) Surabaya Armuji di SPBU Rajawali beberapa waktu lalu terus menjadi perbincangan netizen.

    Ada kelompok netizen yang mendukung langkah Armuji dalam melakukan sidak di SPBU Rajawali sebagai bentuk kepedulian pejabat kepada masyarakat.

    Namun, banyak netizen juga berpendapat jika sidak yang dilakukan Armuji hanya pencitraan tanpa menyelesaikan masalah.

    Selain itu, menurut netizen, Armuji dianggap tidak melakukan sidak dengan benar. Saat sidak di SPBU Rajawali, Armuji malah mereview botol berisi cairan hijau yang diklaim sebagai pertalite dari warga yang antri. Bukan memeriksa secara langsung dari selang nozzle pengisian.

    Praktisi hukum asal Surabaya, Firman Rachmanudin mengatakan, keputusan Armuji menjadikan botol berisi cairan hijau pemberian warga sebagai sampel adanya masalah dalam kandungan BBM yang dijual di SPBU Rajawali berpotensi merugikan pihak Pertamina.

    Menurut Firman, harusnya sebagai pejabat publik Armuji bisa menunjukan dan membuktikan jika memang botol berisi cairan hijau yang diulas dalam konten dibeli dari SPBU Rajawali.

    “Dalam konten tersebut, Cak Ji langsung mempercayai laporan warga yang sedang antri di jalur pengisian Pertalite SPBU Rajawali. Padahal, bisa saja Armuji meminta contoh sampel dari mesin nozel langsung saat itu juga supaya tidak menimbulkan kesan dibuat-buat,” kata Firman.

    Praktisi hukum asal Surabaya, Firman Rachmanudin

    Walaupun berpotensi merugikan pihak Pertamina, Founder FK Law Firm itu menjelaskan jika Armuji tidak bisa dipidanakan sesuai dengan Putusan MK nomor 105/PPU-XXII/2024 yang membatasi subjek hukum terkait dengan cemar baik yang hanya merujuk pada orang perseorangan atau individu.

    “Namun secara keperdataan, badan hukum dapat melakukan gugatan sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHperdata jika akibat pencemaran nama baik itu membuat kerugian secara nyata terhadap badan hukum tersebut seperti SPBU yang merasa dirugikan karena terekspose negatif tanpa adanya suatu proses atau due diligence yang pasti,” imbuh Firman.

    Firman lalu menyoroti peran Armuji saat pembuatan konten tersebut berlangsung. Apakah Armuji sidak ke lokasi sebagai individu (politisi) atau sebagai Wakil Walikota Surabaya.

    Sebab, tugas Armuji sebagai Wakil Walikota tentu sudah diatur di dalam perundang-undangan yang berlaku.

    “Jika datang sebagai seorang Wakil Walikota, potensi pelanggaran etik juga cukup besar. Sebab, sebagaimana aturan hukum tata negara kita dalam UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah telah jelas mengatur sedemikian rupa tugas, wewenang dan fungsi jabatan kepala daerah,”jelas Firman.

    Secara umum Firman mengingatkan agar Armuji mawas diri dan berhati-hati dalam melakukan sidak. Karena, tugas Wakil Walikota sudah tegas dibahas dalam Pasal 66 ayat (1) UU nomor 23 tahun 2014.

    Dalam pasal tersebut tertulis jika tugas Wakil Walikota hanya sebagai pembantu Walikota untuk melaksanakan urusan pemerintahan daerah, mengoordinasikan kegiatan instansi secara vertikal, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah serta tugas lain yang diberikan oleh Wali Kota.

    “Artinya, jika kegiatan-kegiatan Wakil Walikota pada jam dinas itu harus sepengetahuan dan sesuai pendelegasian dari Wali Kota, secara hukum ada secara administratif, Wakil Walikota tidak memiliki kewenangan mandiri,” jelasnya.

    Selain itu, Firman menjelaskan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 tahun 2021 serta Kode Etik Penyelenggara Negara UU nomor 28 tahun 1999, Armuji berpotensi melakukan pelanggaran etik atau bisa disebut melampaui kewenangan. Sebagai praktisi hukum muda, Firman mengingatkan agar pihak inspektorat segera memeriksa Armuji untuk mendalami motif serta tujuan sidak tersebut.

    “Inspektorat harus memanggil Armuji untuk menanyakan terkait tujuan sidak tersebut. Apabila memang ada tendensi atau kepentingan pribadi saya kira bisa (Armuji) bisa dijatuhi sanksi,” pungkas Firman.

    Armuji Bantah Sidaknya Settingan

    Sementara itu, Wakil Walikota Surabaya Armuji mengupload video di instagram untuk membantah tudingan netizen adanya pengaturan dan pengkondisian dalam sidak yang ia lakukan di SPBU Rajawali. Dalam videonya, Armuji menjelaskan jika sidak ke SPBU Rajawali berdasarkan pada laporan yang ia terima dari para pengemudi ojek online.

    “Saya kesana (SPBU Rajawali) itu tidak ada settingan atau pengkondisian. Lihat rekam jejak saya. Saya tidak pernah pakai buzzer,” kata Armuji dalam videonya yang berdurasi 4 menit.

    Armuji menjelaskan saat itu sesampainya di SPBU Rajawali, dirinya langsung menuju ke jalur antrian pertalite. Ia menceritakan saat itu mencari koordinator dari SPBU Rajawali. Saat mencari, ia bertemu dengan seorang warga di antrian pengisian pertalite dengan membawa kresek hitam berisi botol yang di dalamnya terdapat cairan hijau. Armuji sendiri tidak mengenal dan mengetahui secara pasti tujuan dari warga tersebut antri di jalur pengisian pertalite.

    “Mungkin orang itu sepeda motornya mbrebet usai beli pertalite sehari sebelum saya sidak. Lalu bensinnya ditap di dalam botol lalu siangnya mungkin mereka ingin komplain. Kebetulan pas ketemu saya,” jelasnya.

    Armuji juga mengapresiasi langkah Pertamina untuk menyediakan bengkel dan mengganti segala kerugian yang dialami konsumen. Namun, ia menyayangkan adanya pihak yang disebut Armuji sebagai buzzer yang menyudutkan.

    “Tujuan saya kesana jelas. Saya membantu para ojol yang merasa dirugikan. Tidak ada tujuan macam-macam terhadap SPBU yang saya tuju. Begitu pun terhadap Pertamina,” jelas Armuji.

    Diketahui, isu sepeda motor mbrebet belakangan menjadi perbincangan masyarakat. Pihak Pertamina sendiri sudah membuat kebijakan dengan menyediakan bengkel rujukan dan mengganti semua kerugian para konsumen dengan syarat bukti pembelian bensin di SPBU resmi. (ang/ted)

  • Disindir Sibuk Bikin Konten, Dedi Mulyadi: Tidak Perlu Marah

    Disindir Sibuk Bikin Konten, Dedi Mulyadi: Tidak Perlu Marah

    Liputan6.com, Jakarta – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan dirinya memilih fokus bekerja membangun Jawa Barat ketimbang menanggapi kritik yang menyebutnya lebih sibuk sebagai content creator.

    “Tidak perlu marah atau emosional ketika ada yang menilai saya lebih sebagai content creator. Justru kemampuan mengelola media sosial memberi manfaat bagi warga Jabar,” ujar Dedi Mulyadi, Rabu (5/11/2025).

    Menurut Dedi, keaktifannya di media sosial membantu pemerintah daerah berkomunikasi langsung dengan masyarakat sekaligus menghemat anggaran publikasi.

    “Pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan uang puluhan miliar untuk kerja sama media, buzzer, atau influencer. Dana itu bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat,” katanya.

    Ia mencontohkan, efisiensi anggaran tersebut dialihkan untuk berbagai program pembangunan tahun 2025, antara lain pembangunan jalan sepanjang 664 kilometer, pemasangan 14.259 unit penerangan jalan umum (PJU), dan normalisasi sungai hampir 14 kilometer.

    Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga telah menyalurkan sambungan listrik gratis bagi 100 ribu warga miskin, memperbaiki 1.270 rumah tidak layak huni, membangun 12 sekolah baru, serta menambah 764 ruang kelas baru.

    Program lain yang dijalankan antara lain pemberian asuransi kepada hampir 1 juta warga, penanganan sekitar 1.500 pengaduan masyarakat, serta bantuan biaya sekolah dan perlengkapan bagi 3.500 anak.

     

  • Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Marcella Dkk di Kasus Vonis Lepas Migor

    Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Marcella Dkk di Kasus Vonis Lepas Migor

    Jakarta

    Jaksa meminta majelis hakim menolak eksepsi atau nota keberatan yang diajukan enam terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor). Jaksa meminta hakim melanjutkan sidang ke pembuktian.

    Hal itu disampaikan jaksa saat membacakan tanggapan atas eksepsi para terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (5/11/2025). Enam terdakwa itu ialah:

    1. Marcella Santoso selaku pengacara.
    2. Ariyanto Bakri selaku pengacara.
    3. Junaedi Saibih selaku pengacara.
    4. Tian Bahtiar selaku Direktur JakTV.
    5. Adhiya Muzzaki selaku buzzer.
    6. M Syafei selaku perwakilan pihak korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

    Jaksa mengatakan eksepsi Marcella dkk masuk materi pokok perkara yang harus dibuktikan melalui pembuktian dan pemeriksaan saksi di persidangan. Jaksa mengatakan surat dakwaan sudah memenuhi syarat materil dan formil sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat 2 KUHAP.

    “Bahwa materi eksepsi penasihat hukum Terdakwa ini pada dasarnya telah memasuki materi pokok perkara yang kebenarannya akan dibuktikan secara substansial dalam pemeriksaan pokok perkara,” ujar jaksa saat membacakan tanggapan eksepsi

    “(Memohon majelis hakim) menyatakan surat dakwaan penuntut umum telah disusun secara cermat, jelas dan lengkap sesuai dengan ketentuan UU dan diterima untuk menjadi dasar pemeriksaan di muka persidangan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar jaksa.

    Marcella didakwa memberikan suap Rp 40 miliar ke hakim bersama tiga terdakwa lain, yakni Ariyanto, Juanedi Saibih, serta M Syafei selaku perwakilan pihak korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Jaksa juga mendakwa Marcella, Ariyanto, dan M Syafei melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    Selain itu, terdakwa Juanedi Saibih, M Adhiya Muzzaki dan Tian Bahtiar selaku Direktur JakTV didakwa merintangi penyidikan tiga perkara. Jaksa mengatakan Junaedi dkk membuat program dan konten yang bertujuan membentuk opini negatif di publik terkait penanganan tiga perkara tersebut.

    Tiga perkara itu yakni kasus korupsi tata kelola komoditas timah, korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan RI serta perkara korupsi pengurusan izin ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan minyak goreng. Jaksa mengatakan Junaedi dkk menjalankan skema nonyuridis di luar persidangan dengan tujuan membentuk opini negatif seolah-olah penanganan perkara tersebut dilakukan dengan tidak benar.

    (mib/zap)