NGO: Amnesty International

  • Sushila Karki Resmi Dilantik Jadi PM Sementara Nepal

    Sushila Karki Resmi Dilantik Jadi PM Sementara Nepal

    Jakarta

    Mantan ketua Mahkamah Agung Nepal, Sushila Karki, diambil sumpahnya untuk memimpin sebagai perdana menteri Nepal. Transisi pergantian kepemimpinan ini dilakukan setelah rangkaian aksi protes yang terjadi untuk menggulingkan pemerintah

    “Selamat! Semoga Anda sukses, semoga negara ini sukses,” kata Presiden Ram Chandra Paudel kepada Karki setelah upacara pengambilan sumpah dilansir kantor berita AFP, Jumat (12/9/2025).

    Sushila Karki sendiri sebelumnya diusung oleh para anak muda Nepal atau “Gen Z” sebagai pilihan utama untuk menjadi pemimpin sementara negeri itu. Hal ini diungkapkan seorang perwakilan demonstran “Gen Z” pada hari Kamis (11/9), setelah aksi-aksi demonstrasi yang dipimpin “Gen Z” berhasil menggulingkan Perdana Menteri KP Sharma Oli.

    Diketahui, jumlah korban tewas dalam unjuk rasa yang diwarnai aksi kekerasan dan kerusuhan yang menyelimuti Nepal bertambah menjadi 51 orang. Puluhan ribu narapidana, yang memanfaatkan situasi kacau untuk kabur dari penjara, hingga kini masih buron.

    Bertambahnya jumlah korban tewas dalam unjuk rasa sarat tindak kekerasan itu, seperti dilansir AFP, Jumat (12/9/2025), diumumkan oleh Kepolisian Nepal dalam pernyataan terbaru pada Jumat (12/9) waktu setempat.

    Juru bicara Kepolisian Nepal, Binod Ghimire, menambahkan bahwa lebih dari 12.500 narapidana yang kabur dari berbagai penjara di seluruh negeri masih buron hingga kini.

    Unjuk rasa berdarah di Nepal diawali oleh aksi memprotes pemblokiran akses media sosial, yang dipimpin oleh generasi muda atau Gen Z di negara tersebut. Pemblokiran itu dicabut pada Senin (8/9) malam, namun unjuk rasa tidak mereda.

    Unjuk rasa justru menjadi ricuh pada Selasa (9/9) dan semakin melebar menjadi kritikan yang lebih luas terhadap pemerintah Nepal dan tuduhan korupsi di kalangan elite politik negara tersebut.

    Situasi semakin memburuk ketika para personel Kepolisian Nepal melepas tembakan ke arah para demonstran hingga memakan korban jiwa, dengan Amnesty International, dalam pernyataannya, menyebut peluru tajam telah digunakan terhadap para demonstran di Nepal.

    Para demonstran yang marah dengan kematian sesama demonstran terus melanjutkan aksi protes mereka. Aksi pembakaran pun melanda rumah beberapa pejabat tinggi Nepal dan gedung parlemen Nepal.

    Saat situasi semakin memanas, PM Khadga Prasad Sharma Oli mengumumkan pengunduran dirinya pada Selasa (9/9) waktu setempat. Namun, pengunduran dirinya itu tidak cukup untuk meredam kemarahan warga Nepal.

    Militer Nepal pun dikerahkan untuk mengendalikan situasi, jam malam diberlakukan secara nasional dengan para tentara melakukan patroli di jalanan ibu kota Kathmandu untuk sejak Rabu (10/9) waktu setempat. Beberapa pos pemeriksaan militer juga didirikan di sepanjang jalan.

    Para personel militer, seperti dilansir BBC, memeriksa identitas setiap kendaraan yang melintasi di pos-pos pemeriksaan yang didirikan di seluruh area ibu kota. Warga sipil diimbau untuk tetap berada di rumah.

    “Jangan bepergian yang tidak perlu,” imbau militer Nepal melalui pengeras suara.

    Militer Nepal juga memperingatkan bahwa tindak kekerasan serta vandalisme akan dihukum. Dilaporkan bahwa sedikitnya 27 orang telah ditangkap terkait rentetan tindak kekerasan dan aksi penjarahan saat demo ricuh berlangsung. Ditambahkan juga bahwa sebanyak 31 senjata api telah ditemukan.

    Menanggapi kekacauan dan kekerasan yang marak selama demo berlangsung, banyak demonstran Nepal yang mengkhawatirkan bahwa aksi mereka telah ditunggangi oleh “para penyusup”. Klaim serupa dilontarkan oleh militer Nepal.

    (wnv/isa)

  • Terus Bertambah, 51 Orang Tewas dalam Demo Berdarah di Nepal

    Terus Bertambah, 51 Orang Tewas dalam Demo Berdarah di Nepal

    Kathmandu

    Jumlah korban tewas dalam unjuk rasa yang diwarnai aksi kekerasan dan kerusuhan yang menyelimuti Nepal bertambah menjadi 51 orang. Puluhan ribu narapidana, yang memanfaatkan situasi kacau untuk kabur dari penjara, hingga kini masih buron.

    Bertambahnya jumlah korban tewas dalam unjuk rasa sarat tindak kekerasan itu, seperti dilansir AFP, Jumat (12/9/2025), diumumkan oleh Kepolisian Nepal dalam pernyataan terbaru pada Jumat (12/9) waktu setempat.

    Juru bicara Kepolisian Nepal, Binod Ghimire, menambahkan bahwa lebih dari 12.500 narapidana yang kabur dari berbagai penjara di seluruh negeri masih buron hingga kini.

    Unjuk rasa berdarah di Nepal diawali oleh aksi memprotes pemblokiran akses media sosial, yang dipimpin oleh generasi muda atau Gen Z di negara tersebut. Pemblokiran itu dicabut pada Senin (8/9) malam, namun unjuk rasa tidak mereda.

    Unjuk rasa justru menjadi ricuh pada Selasa (9/9) dan semakin melebar menjadi kritikan yang lebih luas terhadap pemerintah Nepal dan tuduhan korupsi di kalangan elite politik negara tersebut.

    Situasi semakin memburuk ketika para personel Kepolisian Nepal melepas tembakan ke arah para demonstran hingga memakan korban jiwa, dengan Amnesty International, dalam pernyataannya, menyebut peluru tajam telah digunakan terhadap para demonstran di Nepal.

    Para demonstran yang marah dengan kematian sesama demonstran terus melanjutkan aksi protes mereka. Aksi pembakaran pun melanda rumah beberapa pejabat tinggi Nepal dan gedung parlemen Nepal.

    Saat situasi semakin memanas, PM Khadga Prasad Sharma Oli mengumumkan pengunduran dirinya pada Selasa (9/9) waktu setempat. Namun, pengunduran dirinya itu tidak cukup untuk meredam kemarahan warga Nepal.

    Militer Nepal pun dikerahkan untuk mengendalikan situasi, jam malam diberlakukan secara nasional dengan para tentara melakukan patroli di jalanan ibu kota Kathmandu untuk sejak Rabu (10/9) waktu setempat. Beberapa pos pemeriksaan militer juga didirikan di sepanjang jalan.

    Para personel militer, seperti dilansir BBC, memeriksa identitas setiap kendaraan yang melintasi di pos-pos pemeriksaan yang didirikan di seluruh area ibu kota. Warga sipil diimbau untuk tetap berada di rumah.

    “Jangan bepergian yang tidak perlu,” imbau militer Nepal melalui pengeras suara.

    Militer Nepal juga memperingatkan bahwa tindak kekerasan serta vandalisme akan dihukum. Dilaporkan bahwa sedikitnya 27 orang telah ditangkap terkait rentetan tindak kekerasan dan aksi penjarahan saat demo ricuh berlangsung. Ditambahkan juga bahwa sebanyak 31 senjata api telah ditemukan.

    Menanggapi kekacauan dan kekerasan yang marak selama demo berlangsung, banyak demonstran Nepal yang mengkhawatirkan bahwa aksi mereka telah ditunggangi oleh “para penyusup”. Klaim serupa dilontarkan oleh militer Nepal.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Bagaimana Nasib Nepal Usai Ambruknya Pemerintahan Resmi?

    Bagaimana Nasib Nepal Usai Ambruknya Pemerintahan Resmi?

    Jakarta

    Perdana Menteri Nepal Khadga Prasad Oli mengundurkan diri pada Selasa (9/9), setelah gelombang protes anti-pemerintah yang berujung pada kerusuhan, menyeret negeri di Himalaya itu ke dalam gejolak politik baru.

    “Dengan mempertimbangkan situasi buruk di negara ini, saya mengundurkan diri efektif hari ini untuk memfasilitasi solusi atas masalah ini dan membantu menyelesaikannya secara politik sesuai dengan konstitusi,” tulis Oli dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Ram Chandra Poudel.

    Pengunduran diri itu diumumkan setelah para demonstran membakar rumah pejabat tinggi Nepal, termasuk kediaman pribadi Presiden Poudel dan Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak.

    Para pakar hukum tata negara memperingatkan Nepal berisiko menghadapi kekacauan politik berkepanjangan, kecuali segera dibentuk pemerintahan persatuan nasional.

    “Tidak ada ketentuan konstitusional yang jelas mengenai apa yang seharusnya terjadi selanjutnya dalam situasi seperti ini,” ujar Bipin Adhikari, profesor hukum tata negara di Universitas Kathmandu.

    Salah satu opsi yang mungkin, kata dia, adalah presiden menyerukan pembentukan pemerintahan konsensus nasional. “Perdana menteri harus dipilih dari parlemen sesuai konstitusi 2015, sambil memastikan tuntutan generasi muda Gen Z diakomodasi lewat keterwakilan mereka di dalam dialog ini,” ujarnya kepada DW.

    Kekosongan politik

    C.D. Bhatta, ilmuwan politik sekaligus manajer program senior di Friedrich Ebert Foundation (FES) Nepal, mengatakan kredibilitas seluruh kekuatan politik “menjadi tidak relevan.”

    “Semua pihak kini mencoba memanfaatkan situasi untuk memimpin pemerintahan,” ujarnya kepada DW. “Kita sudah memasuki kekosongan politik dan konstitusional.”

    Menurutnya, situasi harus segera ditangani oleh presiden dengan dukungan militer. “Satu-satunya opsi adalah membentuk pemerintahan sipil hingga terpilih pemerintahan baru, dengan dukungan penuh tentara Nepal yang masih menjadi satu-satunya kekuatan sah di negara ini.”

    Adhikari sependapat. “Pemerintahan ini harus mendapat dukungan militer Nepal, yang saat ini menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu menjaga ketertiban,” katanya.

    Akar kerusuhan terbaru

    Nepal, negara pegunungan tanpa akses laut yang terjepit di antara India dan Cina, telah lama menghadapi ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi selama dua dekade terakhir.

    Kerusuhan terbaru pecah setelah pemerintah memberlakukan larangan menyeluruh terhadap 26 platform media sosial yang belum terdaftar secara lokal — termasuk Facebook, X, YouTube, LinkedIn, dan WhatsApp — pekan lalu.

    Larangan diduga diputuskan setelah video unggahan anak-anak dan keluarga pejabat Nepal memicu amarah publik, karena menampilkan gaya hidup bertabur kemewahan di tengah kemiskinan.

    Dalam keterangannya, pemerintah beralasan platform-platform media sosial gagal mematuhi aturan baru yang mengharuskan perusahaan menunjuk kantor penghubung di Nepal.

    Namun, para pengkritik menyebut langkah itu sebagai “serangan terhadap kebebasan berekspresi” sekaligus upaya membungkam kritik dan oposisi.

    “Larangan ini adalah upaya putus asa dari pemerintah yang tidak populer untuk membungkam lawan politiknya,” ujar Tara Nath Dahal, ketua LSM Freedom Forum Nepal, kepada DW.

    Analis menilai protes tidak semata-mata dipicu larangan media sosial, melainkan juga mencerminkan frustrasi dan kekecewaan yang meluas atas korupsi serta buruknya tata kelola.

    Aksi yang didorong kelompok muda berusia 18–30 tahun itu sejauh ini berlangsung tanpa kepemimpinan jelas. Banyak anak muda marah karena anak-anak elit politik hidup dalam kemewahan sementara mayoritas generasi muda kesulitan mencari pekerjaan layak.

    “Kami tidak menentang sistem politik atau konstitusi. Kami menentang pemerintahan kroni, partai politik, dan kepemimpinan mereka yang tidak kompeten,” kata seorang perwakilan gerakan protes yang enggan disebut namanya.

    “Kami menuntut tata kelola yang baik dan keadilan bagi mereka yang kehilangan nyawa dalam aksi ini. Kami tidak ingin wajah-wajah lama kembali mengisi jalur politik baru.”

    Tuntutan akuntabilitas

    Pada Senin (8/9), puluhan ribu warga turun ke jalan di ibu kota Kathmandu, mengepung gedung Parlemen.

    Aparat keamanan melepaskan tembakan ke arah massa, menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai sekitar 150 lainnya. Tidak lama berselang, gedung wakil rakyat itu hangus terbakar.

    Kelompok HAM menyerukan pertanggungjawaban dan investigasi independen atas brutalitas aparat keamanan.

    Nirajan Thapaliya, direktur Amnesty International Nepal, mengatakan organisasinya “sangat mengecam penggunaan senjata mematikan maupun non-mematikan secara melawan hukum oleh aparat keamanan di Nepal” dan mendesak otoritas untuk “mengendalikan diri secara maksimal.”

    Gelombang protes memaksa pemerintah mencabut larangan media sosial pada Selasa pagi, sebelum Oli menyerahkan pengunduran dirinya.

    Namun, kemarahan terhadap pemerintah tak kunjung mereda, dengan aksi-aksi protes tetap berlanjut di Kathmandu meski ada jam malam tanpa batas.

    Setelah pengunduran diri Oli, militer Nepal mengunggah imbauan di X agar masyarakat “menahan diri.”

    India, yang menampung ratusan ribu warga Nepal, menyatakan harapannya agar semua pihak di negara tetangga itu menahan diri dan menyelesaikan masalah lewat dialog.

    Kedutaan besar Australia, Finlandia, Prancis, Jepang, Korea Selatan, Inggris, Norwegia, Jerman, dan Amerika Serikat di Nepal juga mengeluarkan pernyataan bersama, mendesak semua pihak menahan diri, menghindari eskalasi, dan memastikan hak-hak fundamental dihormati.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Demo Berlanjut, Gen Z Nepal Minta Eks Ketua MA Jadi PM Sementara” di sini:

    (ita/ita)

  • WhatsApp Web Kembali Normal, Pengguna Kini Sudah Bisa Scroll Chat! – Page 3

    WhatsApp Web Kembali Normal, Pengguna Kini Sudah Bisa Scroll Chat! – Page 3

    Di sisi lain, WhatsApp menemukan serangan siber spionase tingkat tinggi yang memanfaatkan celah keamanan di aplikasi WhatsApp dan perangkat Apple untuk meretas target.

    Dalam pernyataan singkat yang dirilis belum lama ini, WhatsApp menyatakan telah menambal kerentanan yang memungkinkan peretas mengeksploitasi celah kedua pada perangkat Apple dan mengambil alih kendali.

    Menurut WhatsApp, sebagaimana dikutip dari Reuters, Senin (1/9/2025), kurang dari 200 pengguna di seluruh dunia kemungkinan terdampak serangan ini.

    Seorang peneliti dari Amnesty International, Donncha O’Cear Total, mengungkapkan bahwa timnya telah mulai mengumpulkan data forensik dari korban potensial.

    Melalui unggahan di platform X, O’Cear Total menyebut tanda-tanda awal menunjukkan peretasan ini menargetkan pengguna iPhone dan Android, termasuk individu dari kelompok masyarakat sipil.

    “Ini terlihat tidak hanya berdampak pada WhatsApp, tetapi juga kemungkinan aplikasi lain,” tulis O’Cear Total.

    Temuan ini menyoroti meningkatnya ancaman terhadap privasi dan keamanan digital kepada pengguna WhatsApp, terutama bagi para aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil yang sering menjadi sasaran pengawasan.

  • Ini Penyebab WhatsApp Web Error yang Bikin Pengguna Tak Bisa Scroll Chat – Page 3

    Ini Penyebab WhatsApp Web Error yang Bikin Pengguna Tak Bisa Scroll Chat – Page 3

    Di sisi lain, WhatsApp menemukan serangan siber spionase tingkat tinggi yang memanfaatkan celah keamanan di aplikasi WhatsApp dan perangkat Apple untuk meretas target.

    Dalam pernyataan singkat yang dirilis belum lama ini, WhatsApp menyatakan telah menambal kerentanan yang memungkinkan peretas mengeksploitasi celah kedua pada perangkat Apple dan mengambil alih kendali.

    Menurut WhatsApp, sebagaimana dikutip dari Reuters, Senin (1/9/2025), kurang dari 200 pengguna di seluruh dunia kemungkinan terdampak serangan ini.

    Seorang peneliti dari Amnesty International, Donncha O’Cear Total, mengungkapkan bahwa timnya telah mulai mengumpulkan data forensik dari korban potensial.

    Melalui unggahan di platform X, O’Cear Total menyebut tanda-tanda awal menunjukkan peretasan ini menargetkan pengguna iPhone dan Android, termasuk individu dari kelompok masyarakat sipil.

    “Ini terlihat tidak hanya berdampak pada WhatsApp, tetapi juga kemungkinan aplikasi lain,” tulis O’Cear Total.

    Temuan ini menyoroti meningkatnya ancaman terhadap privasi dan keamanan digital kepada pengguna WhatsApp, terutama bagi para aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil yang sering menjadi sasaran pengawasan.

  • WhatsApp Web Error, Pengguna Ramai-Ramai Mengeluh Tak Bisa Scroll Chat – Page 3

    WhatsApp Web Error, Pengguna Ramai-Ramai Mengeluh Tak Bisa Scroll Chat – Page 3

    Di sisi lain, WhatsApp menemukan serangan siber spionase tingkat tinggi yang memanfaatkan celah keamanan di aplikasi WhatsApp dan perangkat Apple untuk meretas target.

    Dalam pernyataan singkat yang dirilis belum lama ini, WhatsApp menyatakan telah menambal kerentanan yang memungkinkan peretas mengeksploitasi celah kedua pada perangkat Apple dan mengambil alih kendali.

    Menurut WhatsApp, sebagaimana dikutip dari Reuters, Senin (1/9/2025), kurang dari 200 pengguna di seluruh dunia kemungkinan terdampak serangan ini.

    Seorang peneliti dari Amnesty International, Donncha O’Cear Total, mengungkapkan bahwa timnya telah mulai mengumpulkan data forensik dari korban potensial.

    Melalui unggahan di platform X, O’Cear Total menyebut tanda-tanda awal menunjukkan peretasan ini menargetkan pengguna iPhone dan Android, termasuk individu dari kelompok masyarakat sipil.

    “Ini terlihat tidak hanya berdampak pada WhatsApp, tetapi juga kemungkinan aplikasi lain,” tulis O’Cear Total.

    Temuan ini menyoroti meningkatnya ancaman terhadap privasi dan keamanan digital kepada pengguna WhatsApp, terutama bagi para aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil yang sering menjadi sasaran pengawasan.

  • Nepal Cabut Larangan Medsos Usai Demo Berdarah Tewaskan 19 Orang

    Nepal Cabut Larangan Medsos Usai Demo Berdarah Tewaskan 19 Orang

    Kathmandu

    Pemerintah Nepal mencabut larangan media sosial (medsos) setelah terjadi unjuk rasa yang menewaskan sedikitnya 19 orang di negara tersebut. Unjuk rasa itu menuntut pemerintah mencabut pembatasan medsos yang diberlakukan sejak pekan lalu, dan menuntut pemberantasan korupsi.

    Menteri Komunikasi Nepal Prithvi Subba Gurung, seperti dikutip media lokal dan dilansir AFP, Selasa (9/9/2025), mengatakan bahwa pemerintah telah mencabut larangan media sosial setelah rapat kabinet darurat digelar.

    Laporan seorang reporter AFP di ibu kota Kathmandu menyebut semua aplikasi media sosial utama kini telah berfungsi kembali.

    Beberapa situs media sosial, termasuk Facebook, YouTube, dan X, diblokir di Nepal sejak Jumat (5/9) pekan lalu, setelah pemerintah memblokir 26 platform yang tidak terdaftar.

    Pemblokiran itu memicu kemarahan publik yang meluas, terutama di kalangan generasi muda yang sangat bergantung pada aplikasi tersebut untuk berkomunikasi.

    Hal itu juga memicu kemarahan terhadap pemerintah di negara dengan tingkat pengangguran sekitar 10 persen, dan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita menurut Bank Dunia, hanya US$ 1.447 (Rp 23,8 juta).

    Massa menggelar aksi protes pada Senin (8/9) di ibu kota Kathmandu dan kota-kota lainnya.

    Kepolisian Kathmandu menggunakan peluru karet, gas air mata, meriam air, dan pentungan ketika para demonstran menerobos kawat berduri yang dipasang dan mencoba menyerbu area terlarang di dekat gedung parlemen Nepal.

    Amnesty International, dalam pernyataannya, menyebut peluru tajam telah digunakan terhadap para demonstran di Nepal.

    Kepolisian Nepal, menurut laporan media lokal, mengumumkan sedikitnya 17 orang tewas di area ibu kota Kathmandu dan dua orang lainnya tewas di distrik Sunsari, bagian timur negara tersebut.

    Sejak Jumat (5/9), video-video yang membandingkan kesulitan hidup yang dialami warga biasa di Nepal dengan anak-anak politisi yang memamerkan barang-barang mewah serta liburan mahal menjadi viral di TikTok, yang tidak diblokir.

    Tonton juga video “19 Orang Tewas dalam Demo Gen Z di Nepal Tolak Pemblokiran Medsos” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Demo Tolak Blokir Medsos di Nepal Ricuh, 19 Orang Tewas-400 Terluka

    Demo Tolak Blokir Medsos di Nepal Ricuh, 19 Orang Tewas-400 Terluka

    Jakarta

    Demonstrasi besar-besaran terjadi di sejumlah wilayah Nepal. Demo yang berakhir ricuh itu mengakibatkan 19 orang meninggal dunia.

    Dilansir AFP, Selasa (9/9/2025), demo itu terkait tuntutan massa yang menolak pemerintah Nepal memblokir akses media sosial di negara tersebut. Beberapa situs media sosial seperti Facebook, YouTube, dan X tidak bisa diakses di Nepal sejak Jumat (5/9). Pemerintah Nepal telah memblokir 26 platform media sosial.

    Polisi menggunakan peluru karet, gas air mata, meriam air, dan pentungan ketika para demonstran menerobos kawat berduri dan mencoba menyerbu ke area terlarang di dekat gedung parlemen.

    “Tujuh belas orang tewas,” kata Shekhar Khanal, juru bicara kepolisian Lembah Kathmandu, kepada AFP. Dua orang lainnya tewas di Distrik Sunsari di Nepal timur, lapor media lokal.

    Demo ricuh di Nepal itu terjadi pada Senin (8/9) waktu setempat. Khanal mengatakan sekitar 400 orang terluka, termasuk lebih dari 100 polisi.

    Sirene meraung-raung di seluruh kota saat para korban luka dibawa ke rumah sakit. PBB menuntut penyelidikan yang cepat dan transparan atas kekerasan tersebut.

    “Kami terkejut dengan pembunuhan dan cedera yang dialami para pengunjuk rasa di Nepal hari ini dan mendesak penyelidikan yang cepat dan transparan,” kata juru bicara kantor hak asasi manusia PBB, Ravina Shamdasani, dalam sebuah pernyataan.

    “Kami telah menerima beberapa tuduhan yang sangat mengkhawatirkan tentang penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau tidak proporsional oleh pasukan keamanan.”

    Amnesty International mengatakan peluru tajam telah digunakan terhadap para pengunjuk rasa. Pemerintah distrik memberlakukan jam malam di beberapa area utama kota.

    Dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu (7/9), pemerintah Nepal mengatakan bahwa mereka menghormati kebebasan berpikir dan berekspresi serta berkomitmen untuk “menciptakan lingkungan untuk perlindungan dan penggunaan tanpa batas”.

    Pemerintah Nepal diketahui telah memblokir akses ke aplikasi perpesanan Telegram pada bulan Juli, dengan alasan meningkatnya penipuan daring dan pencucian uang. Sebelumnya, pemerintah Nepal juga sempat memblokir TikTok selama sembilan dan mencabut pemblokiran tersebut pada Agustus 2024.

    (ygs/ygs)

  • Kesaksian Napi Saat Israel Gempur Penjara Iran yang Terkenal Kejam

    Kesaksian Napi Saat Israel Gempur Penjara Iran yang Terkenal Kejam

    Jakarta

    “Bagi saya, neraka bukanlah saat Israel menyerang; neraka adalah saat mereka [aparat Iran] tidak mau membuka pintu [sel] untuk kami,” kenang Motahareh Goonei dalam wawancara eksklusif dengan BBC.

    Sebagai seorang aktivis politik, Goonei ditahan di sel isolasi di Penjara Evin yang terkenal kejam di Iran. Pada 23 Juni, penjara tersebut diserang secara sengaja oleh militer Israel.

    Foto satelit, keterangan saksi, dan rekaman terverifikasi yang diperoleh BBC News Persia mengungkapkan detail baru tentang serangan pada jam-jam terakhir pertempuran Israel-Iran dan tentang mereka yang tewas.

    Kompleks dengan tingkat keamanan tinggi yang terletak di tepi utara Teheran ini telah menahan ribuan tahanan politik selama setengah abad terakhir. Pada Juni, penjara tersebut menjadi lokasi serangan Israel paling mematikan di Iran.

    Aparat Iran mengatakan 80 orang tewas, termasuk staf penjara, narapidana, petugas medis, pengunjung, dan warga sekitar.

    Dalam laporan yang diterbitkan pada 14 Agustus, Human Rights Watch menyatakan bahwa serangan udara Israel terhadap penjara tersebut merupakan tindakan melanggar hukum serta tergolong kejahatan perang.

    Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan bahwa serangan dilakukan karena fasilitas tersebut “dipakai untuk operasi intelijen melawan Israel”.

    ‘Tiada jalan keluar’

    Penjara Evin setelah gempuran Israel, pada Juni lalu. (Getty Images)

    Goonei menggambarkan momen ledakan yang mengguncang kompleks penjara itu: “Ketika saya mendengar ledakan ketiga, saya yakin tidak ada jalan keluar. Saya menggedor pintu sekuat tenaga, tetapi pintu itu tidak mau terbuka. Saya pikir ‘inilah akhir hidup, ucapkan selamat tinggal’.”

    Tanpa diduga, Goonei dibebaskan dari selnya oleh tahanan lain. Begitu membuka pintu sel, Goonei langsung disambut asap tebal yang menyesakkan. Kata Goonei, para penjaga awalnya mencoba menghalangi narapidana untuk melarikan diri. Beberapa juru interogator penjara bahkan mengancam mereka.

    Namun, dalam adegan yang ia gambarkan sebagai “mengerikan tetapi memanusiakan”, para narapidana bergegas membantu sejumlah sipir yang terluka, menenangkan seorang petugas perempuan yang panik, dan membalut luka seorang juru interogator yang menangis.

    Narapidana dari bangsal lain bergegas membantu para dokter dan perawat yang terjebak di klinik penjara.

    Saeedeh Makarem, seorang dokter yang terluka parah dalam serangan itu, kemudian menulis di Instagram: “Para narapidana yang pernah saya rawat menyelamatkan hidup saya.”

    Seorang perempuan yang ditahan di Evin, memberi kesaksian dengan syarat namanya tidak disebutkan karena khawatir akan keselamatannya.

    Dia menceritakan momen serangan itu kepada BBC.

    “Awalnya terjadi beberapa ledakan beruntun yang cepat, dan suara itu berlangsung sekitar dua menit.

    “Awalnya kami tetap di tempat tidur karena jendela-jendela pecah, lalu kami berpakaian dan semua membantu membawa para perempuan tua ke bawah. Tidak ada seorang petugas penjara yang membantu kami. Mereka menutup pintu dan melarang kami keluar.”

    Baca juga:

    Dampak serangan Israel

    Analisis BBC menunjukkan Israel menyerang Evin dengan setidaknya enam proyektil, merusak sedikitnya 28 bangunan di dalam kompleks tersebut.

    IDF mengatakan telah melakukan “serangan terarah” terhadap “simbol penindasan terhadap rakyat Iran” seraya mengklaim bahwa langkah-langkah telah diambil untuk meminimalkan kerugian bagi warga sipil.

    Namun, seorang kerabat tahanan politik yang datang berkunjung beberapa menit setelah ledakan, mengatakan, “Mereka yang keluar dari penjara mengatakan ada mayat di mana-mana. Beberapa tahanan telah keluar, tidak ada yang mencoba melarikan diri hanya tertegun.”

    Otoritas Iran mengatakan 75 narapidana melarikan diri selama kekacauan tersebut. Beberapa kemudian ditangkap kembali atau kembali secara sukarela.

    Siapa saja para korban?

    Para pejabat Iran mengatakan bahwa dari 80 orang yang tewas dalam serangan itu, 42 orang di antara mereka adalah staf penjara dan lima orang adalah narapidana. Hanya nama-nama staf penjara yang dirilis pemerintah Iran.

    BBC News Persia telah memverifikasi secara independen identitas dan keadaan seputar kematian tiga korban melalui wawancara dengan kerabat mereka. Mereka adalah:

    Masoud Behbahani, , seorang warga negara ganda Iran-Amerika, yang ditahan atas tuduhan terkait kasus keuangan. Keluarganya menerima laporan yang saling bertentangan tentang kematiannya dari Organisasi Penjara Iran.Arvin Mohammadi, 37, tewas di gedung administrasi saat sedang mengajukan jaminan untuk pembebasan sementara ayahnya dari penjara.Mehrangiz Imanpour, 61, seorang pelukis kenamaan, tewas akibat pecahan proyektil.

    Korban-korban tewas lainnya mencakup seorang ibu yang memiliki anak berusia satu tahun, seorang dermawan yang datang untuk mengurus pembebasan seorang tahanan, lima pekerja sosial, 13 anak muda yang menjalani wajib militer, dan seorang anak berusia lima tahun dari salah satu pekerja sosial.

    Setelah serangan di Penjara Evin, nasib para tahanan transgender masih belum diketahui. Beberapa laporan media mengklaim bahwa 100 tahanan transgender telah tewas, tetapi investigasi BBC Persia mengungkapkan bahwa hal ini tidak benar.

    Reza Shafakhah, seorang pengacara di Iran yang telah memantau situasi para tahanan transgender, mengatakan kepada BBC: “Ada kekhawatiran serius tentang situasi mereka. Tidak seorang pun tahu di mana para tahanan ini sekarang.”

    Mengapa Israel menyerang Penjara Evin?

    Israel menuduh penjara tersebut digunakan untuk “operasi intelijen [melawan Israel], termasuk kontra-spionase”. Israel belum menanggapi pertanyaan dari BBC tentang siapa dan apa target mereka atau senjata yang digunakan, atau apakah mereka mengantisipasi kematian warga sipil.

    Sebulan setelah serangan, Amnesty International menerbitkan laporan mengenai insiden tersebut.

    “Mengarahkan serangan terhadap objek sipil dilarang keras berdasarkan hukum humaniter internasional. Melakukan serangan semacam itu secara sadar dan sengaja merupakan kejahatan perang,” kata Erika Guevara Rosas, Direktur Senior Riset, Advokasi, Kebijakan, dan Kampanye di Amnesty.

    Kantor hak asasi manusia PBB menyatakan Evin “bukanlah sasaran militer” dan serangan itu melanggar hukum humaniter internasional.

    (ita/ita)

  • Prabowo: Tak Boleh Ada Kriminalisasi Bagi Para Demonstran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 September 2025

    Prabowo: Tak Boleh Ada Kriminalisasi Bagi Para Demonstran Nasional 7 September 2025

    Prabowo: Tak Boleh Ada Kriminalisasi Bagi Para Demonstran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden Prabowo Subianto menegaskan, tidak boleh ada kriminalisasi bagi para pedemo yang melakukan aksi unjuk rasa.
    Hanya saja, Prabowo mengingatkan bahwa massa demo harus tetap damai dan sesuai aturan yang berlaku. 
    “Saya kira tak boleh ada kriminalisasi bagi para demonstran, tapi harus damai dan sesuai undang-undang. Nanti, petugas juga akan memilahnya,” ujar Prabowo, seperti dikutip dari
    Kompas.id
    , Minggu (7/9/2025).
    Prabowo juga mengingatkan bahwa penyampaian aspirasi melalui unjuk rasa juga ada batas waktunya, yakni sampai pukul 18.00.
    “Juga tidak boleh bawa petasan api,” imbuhnya.
    Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengungkap bahwa kepolisian telah menangkap sekitar 3.095 orang terkait demonstrasi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
    Paling banyak terjadi di Jakarta, saat polisi menangkap 1.438 demonstran yang melakukan aksi dalam beberapa hari terakhir.
    “Hari-hari terakhir ini, Jakarta itu kurang lebih 1.438, Jawa Barat itu 386, Jawa Tengah itu 479, Yogyakarta paling tidak sembilan kasus penangkapan, Jawa Timur itu 556 korban penangkapan,” ujar Usman dalam program Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Rabu (3/9/2025) malam.
    “Kalimantan Barat 16, Bali 140, Sulawesi Selatan itu ada 10, Sumatera Utara itu ada 44 kasus, Jambi 17, dan seterusnya,” sambungnya.
    Menurutnya, penangkapan tersebut justru tidak mencerminkan langkah perbaikan dari Polri usai kasus kendaraan taktis (rantis) Brimob yang melindas pengemudi ojek online (ojol) bernama Affan Kurniawan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.