NGO: Amnesty International

  • Polisi Diam-diam Pasang Malware di HP Warga, Mengerikan!

    Polisi Diam-diam Pasang Malware di HP Warga, Mengerikan!

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Banyak peretas (hacker) yang berkeliaran untuk menyisipkan software berbahaya (malware) ke HP masyarakat. Biasanya, penjahat siber tersebut menjadi incaran pihak berwenang karena menyebabkan kerugian, seperti pencurian identitas hingga uang.

    Namun, fenomena aneh terjadi di Serbia. Justru polisi dan otoritas intelijen yang secara aktif berperan sebagai hacker dengan menyisipkan software mata-mata (spyware) canggih ke ponsel masyarakat.

    Korban mata-mata itu spesifik menjurus ke jurnalis, aktivis lingkungan hidup, dan individu tertentu. Hal ini terungkap dari laporan terbaru Amnesty International.

    Laporan bertajuk “A Digital Prison: Surveillance and the Suppression of Civil Society in Serbia” menunjukkan bagaimana produk forensik seluler yang dibuat oleh perusahaan Israel, Cellebrite, digunakan untuk mencuri data dari HP milik jurnalis dan aktivis.

    Laporan ini juga mengungkap bagaimana polisi Serbia dan Badan Informasi Keamanan (Bezbedonosno-informativna Agencija/BIA) telah menggunakan sistem spyware Android yang dibuat khusus, NoviSpy, untuk secara diam-diam menginfeksi perangkat seseorang selama masa penahanan atau wawancara polisi.

    “Penyelidikan kami mengungkap bagaimana pihak berwenang Serbia menggunakan teknologi pengawasan dan taktik penindasan digital sebagai instrumen kontrol negara yang lebih luas dan penindasan yang ditujukan terhadap masyarakat sipil,” kata Dinushika Dissanayake, Wakil Direktur Regional Amnesty International untuk Eropa, dikutip dari laman resmi Amnesty International, Selasa (17/12/2024).

    “Hal ini juga menyoroti bagaimana produk mobile forensik Cellebrite, yang digunakan secara luas oleh polisi dan badan intelijen di seluruh dunia, dapat menimbulkan risiko yang sangat besar bagi mereka yang mengadvokasi hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan kebebasan berpendapat, ketika digunakan di luar kontrol dan pengawasan hukum yang ketat,” Dissanayake menambahkan.

    Cellebrite, sebuah perusahaan yang didirikan dan berkantor pusat di Israel tetapi memiliki kantor di seluruh dunia, mengembangkan rangkaian produk Cellebrite UFED untuk lembaga penegak hukum dan entitas pemerintah.

    Software-nya memungkinkan ekstraksi data dari berbagai perangkat seluler termasuk beberapa perangkat Android dan model iPhone terbaru, bahkan tanpa akses ke kode sandi perangkat.

    Sementara itu, NoviSpy yang selama ini kurang populer, memungkinkan otoritas Serbia memiliki kemampuan pengawasan yang luas setelah dipasang pada perangkat target.

    NoviSpy dapat menangkap data pribadi sensitif dari ponsel target dan memberikan kemampuan untuk menyalakan mikrofon atau kamera ponsel dari jarak jauh.

    Amnesty International menemukan bukti forensik yang menunjukkan bagaimana pihak berwenang Serbia menggunakan produk Cellebrite untuk memungkinkan infeksi spyware NoviSpy pada ponsel para aktivis.

    Setidaknya dalam dua kasus, eksploitasi Cellebrite UFED (perangkat lunak yang memanfaatkan bug atau kerentanan) digunakan untuk menerobos mekanisme keamanan perangkat Android, sehingga memungkinkan pihak berwenang memasang spyware NoviSpy secara diam-diam selama wawancara polisi.

    Amnesty International juga mengidentifikasi bagaimana pihak berwenang Serbia menggunakan Cellebrite untuk mengeksploitasi kerentanan zero-day, yakni kerentanan software yang tidak diketahui oleh pengembang software dan perbaikannya tidak tersedia.

    Kerentanan tersebut, yang diidentifikasi melalui kerja sama dengan peneliti keamanan di Google Project Zero dan Threat Analysis Group, memengaruhi jutaan perangkat Android di seluruh dunia yang menggunakan chipset Qualcomm yang populer. Pembaruan yang memperbaiki masalah keamanan dirilis di Buletin Keamanan Qualcomm bulan Oktober 2024.

    Insiden Polisi Diam-diam Bobol HP Jurnalis dan Aktivis

    Pada Februari 2024, jurnalis investigasi independen Serbia Slaviša Milanov ditangkap dan ditahan polisi dengan dalih melakukan tes mengemudi di bawah pengaruh alkohol.

    Saat ditahan, Slaviša diinterogasi oleh petugas berpakaian preman tentang pekerjaan jurnalismenya. Ponsel Android Slaviša dalam keadaan mati ketika diserahkan ke pihak kepolisian. Kata sandinya juga tidak diberikan.

    Setelah dibebaskan, Slaviša menyadari bahwa HP yang ditinggalkan di kantor polisi selama interogasi, tampaknya telah dirusak, dan data ponselnya dimatikan.

    Ia meminta Lab Keamanan Amnesty International untuk melakukan analisis forensik terhadap ponselnya, Xiaomi Redmi Note 10S. Analisis mengungkapkan bahwa produk UFED Cellebrite digunakan untuk membuka kunci ponsel Slaviša secara diam-diam selama penahanannya.

    Bukti forensik tambahan menunjukkan bahwa NoviSpy kemudian digunakan oleh otoritas Serbia untuk menginfeksi ponsel Slaviša.

    Kasus kedua dalam laporan tersebut melibatkan seorang aktivis lingkungan, Nikola Ristić. Ditemukan bukti forensik serupa mengenai produk Cellebrite yang digunakan untuk membuka kunci perangkat sehingga memungkinkan terjadinya infeksi NoviSpy.

    “Bukti forensik kami membuktikan bahwa spyware NoviSpy dipasang saat polisi Serbia memiliki perangkat Slaviša, dan infeksi tersebut bergantung pada penggunaan alat canggih seperti Cellebrite UFED yang mampu membuka kunci perangkat. Amnesty International mengaitkan spyware NoviSpy dengan BIA,” kata Donncha Ó Cearbhaill, Kepala Lab Keamanan Amnesty International.

    Dalam kasus lain, seorang aktivis dari Krokodil, sebuah organisasi yang mempromosikan dialog dan rekonsiliasi di Balkan Barat, memiliki HP Samsung Galaxy S24 Plus. Ponselnya terinfeksi spyware saat wawancara dengan pejabat BIA pada Oktober 2024.

    Aktivis tersebut diundang ke kantor BIA di Beograd untuk memberikan informasi tentang serangan terhadap kantor mereka oleh orang-orang berbahasa Rusia yang berpura-pura menentang kecaman publik Krokodil atas invasi Rusia ke Ukraina.

    Usai wawancara, aktivis tersebut curiga ponselnya telah dibobol. Atas permintaan mereka, Amnesty International melakukan penyelidikan forensik yang menemukan bahwa NoviSpy telah diinstal pada perangkat tersebut selama wawancara BIA.

    Amnesty International juga dapat memulihkan dan mendekripsi data pengawasan yang ditangkap oleh NoviSpy saat aktivis tersebut menggunakan ponsel mereka, yang mencakup tangkapan layar akun email, pesan Signal dan WhatsApp, serta aktivitas media sosial.

    Amnesty International melaporkan kampanye spyware NoviSpy kepada peneliti keamanan di Android dan Google sebelum dipublikasikan. Perusahaan tersebut mengambil tindakan untuk menghapus spyware dari perangkat Android yang terdampak.

    Google juga telah mengirimkan serangkaian peringatan terkait serangan yang didukung pemerintah kepada individu yang mereka identifikasi sebagai kemungkinan target kampanye ini.

    Penjara Digital Bikin Trauma

    Aktivis Serbia merasa trauma dengan penargetan tersebut.

    “Ini adalah cara yang sangat efektif untuk sepenuhnya menghambat komunikasi antar manusia. Apa pun yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda, yang melumpuhkan baik secara pribadi maupun profesional,” kata Branko, seorang aktivis yang menjadi sasaran spyware Pegasus.

    “Kita semua berada dalam penjara digital. Kita mempunyai ilusi kebebasan, namun kenyataannya, kita tidak mempunyai kebebasan sama sekali,” kata Goran, seorang aktivis yang juga menjadi sasaran spyware Pegasus.

    Hal ini memiliki dua dampak menurut Goran. Pertama, para aktivis dan jurnalis bisa melakukan sensor mandiri yang sangat memengaruhi kemampuan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.

    Atau, para aktivis dan jurnalis bisa memilih untuk tetap bersuara, tetapi harus siap menghadapi konsekuensinya.

    Aktivis bernama Aleksandar yang juga menjadi sasaran spyware Pegasus mengatakan dirinya benar-benar merasa tak aman setelah menjadi korban peretasan.

    “Hal ini menyebabkan kecemasan yang sangat besar, Saya merasa panik dan menjadi sangat terisolasi,” ujarnya.

    Respons Cellebrite

    Menanggapi temuan Amnesty International, Cellebrite mengatakan pihaknya tidak menginstal malware atau melakukan pengawasan real-time seperti spyware atau jenis aktivitas siber penyerang lainnya.

    “Kami mengapresiasi Amnesty International yang menyoroti dugaan penyalahgunaan teknologi kami. Kami menanggapi dengan serius semua tuduhan mengenai potensi penyalahgunaan teknologi kami oleh pelanggan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan tersurat maupun tersirat yang diuraikan dalam perjanjian pengguna akhir kami,” kata pernyataan resmi Cellebrite.

    “Kami sedang menyelidiki klaim yang dibuat dalam laporan ini. Jika hal tersebut divalidasi, kami siap untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai, termasuk pemutusan hubungan Cellebrite dengan lembaga terkait,” Cellebrite menuturkan.

    Lebih lanjut, Cellebrite mengatakan bahwa produk-produknya dilisensikan secara ketat untuk penggunaan yang sah, memerlukan surat perintah atau persetujuan untuk membantu lembaga penegak hukum melakukan penyelidikan yang disetujui secara hukum setelah kejahatan terjadi.

    Penelitian Amnesty International menunjukkan bagaimana produk Cellebrite dapat disalahgunakan untuk memungkinkan penyebaran spyware dan pengumpulan data secara luas dari ponsel di luar investigasi kriminal yang dapat dibenarkan, sehingga menimbulkan risiko besar terhadap hak asasi manusia.

    Amnesty International telah menyampaikan temuan penelitian ini kepada pemerintah Serbia sebelum dipublikasikan, namun belum menerima tanggapan.

    “Pihak berwenang Serbia harus berhenti menggunakan spyware yang sangat invasif dan memberikan pemulihan yang efektif kepada para korban pengawasan yang ditargetkan secara melanggar hukum dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut,” tertulis dalam laporan Amnesty International.

    “Cellebrite dan perusahaan forensik digital lainnya juga harus melakukan uji tuntas untuk memastikan bahwa produk mereka tidak digunakan dengan cara yang berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia,” ditambahkan.

    Selama beberapa tahun terakhir, penindasan negara dan lingkungan yang tidak bersahabat terhadap pendukung kebebasan berpendapat di Serbia makin meningkat seiring dengan gelombang protes anti-pemerintah.

    “Pihak berwenang terus melakukan kampanye kotor terhadap LSM, media, dan jurnalis dan juga menjadikan mereka yang terlibat dalam protes damai sebagai sasaran penangkapan dan pelecehan hukum,” kata Amnesty International.

    (fab/fab)

  • Xi Jinping Eksekusi Mati Eks Pejabat China Gegara Korupsi

    Xi Jinping Eksekusi Mati Eks Pejabat China Gegara Korupsi

    Jakarta, CNN Indonesia

    China mengeksekusi mati seorang mantan sekretaris komite Partai Komunis di wilayah utara Mongolia Dalam, China, pada Selasa (17/12), karena terbukti terlibat korupsi.

    Menurut pengadilan di wilayah utara Mongolia Dalam, Li Jianping, merupakan mantan sekretaris komite kerja Partai Komunis di zona pengembangan ekonomi dan teknologi Hohhot. 

    Li Jianping sebelumnya telah dijatuhi hukuman mati atas tindak pidana termasuk suap dan penyalahgunaan dana publik.

    “Disetujui oleh Mahkamah Agung Rakyat, pada pagi hari tanggal 17 Desember 2024, Pengadilan Rakyat Tingkat Menengah Liga Hinggan di Wilayah Otonomi Mongolia Dalam mengeksekusi Li Jianping sesuai dengan hukum yang berlaku,” demikian pernyataan pengadilan seperti dikutip AFP.

    Li dijatuhi hukuman mati pada 2022 setelah pihak berwenang menemukan bahwa ia telah menyalahgunakan posisinya sebagai pegawai negara untuk menggelapkan dana dan memberikan keuntungan bagi kelompok kriminal.

    Pengadilan tetap menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Li meski ia telah mengajukan banding.

    “Tindakan mantan pejabat itu dinilai sangat berat dan menimbulkan dampak sosial yang sangat buruk,” menurut pernyataan pengadilan pada Selasa.

    Eksekusi mati ini menjadi perkembangan terbaru operasi besar-besaran pemerintahan Presiden Xi Jinping membabat para pejabat pemerintah yang korup.

    Presiden Xi Jinping telah memimpin kampanye besar-besaran melawan korupsi di kalangan pejabat sejak ia berkuasa lebih dari satu dekade lalu. Namun, para kritikus berpendapat bahwa kampanye ini juga digunakan sebagai cara untuk menyingkirkan rival politiknya.

    China mengklasifikasikan data eksekusi hukuman mati sebagai rahasia negara sehingga sulit memperoleh data terkait berapa terpidana yang telah dihukum mati oleh negara sejauh ini. Kelompok hak asasi seperti Amnesty International memperkirakan China telah mengeksekusi mati ribuan orang setiap tahunnya.

    (rds)

    [Gambas:Video CNN]

  • 10
                    
                        Usai Rezimnya Jatuh, Bashar Al Assad Keluarkan Pernyataan Pertamanya
                        Internasional

    10 Usai Rezimnya Jatuh, Bashar Al Assad Keluarkan Pernyataan Pertamanya Internasional

    Usai Rezimnya Jatuh, Bashar Al Assad Keluarkan Pernyataan Pertamanya
    Penulis
    DAMASKUS, KOMPAS.com –
    Mantan Presiden
    Suriah

    Bashar Al Assad
    mengeluarkan pernyataan pertamanya setelah rezimnya dijatuhkan oleh para
    pemberontak
    di Suriah.
    Dalam unggahan di media sosial, ia mengeklaim dirinya telah berencana untuk terus memerangi pasukan pemberontak, sebelum akhirnya
    Rusia
    mengevakuasi Assad.
    Pernyataan itu menjadi yang pertama di depan publik sejak rezimnya digulingkan lebih dari seminggu yang lalu, disampaikan di saluran
    Telegram
    kepresidenan Suriah.
    Pernyataan itu mengatakan, ia meninggalkan Damaskus menuju Rusia pada 8 Desember 2024 atau sehari setelah jatuhnya kota itu.
    “Tidak ada satu pun selama peristiwa ini saya berpikir untuk mengundurkan diri atau mencari perlindungan,” tutur dia, dikutip dari
    Sky News
    pada Senin (16/12/2024).
    “Satu-satunya tindakan yang dapat saya lakukan adalah terus berjuang melawan serangan teroris,” tutur Assad saat meninggalkan ibu kota Suriah usai serangan kilat oleh pasukan anti-rezim di seluruh negeri yang mengakhiri kekuasaannya selama 24 tahun secara tiba-tiba.
    Ia mengeklaim tetap berada di Damaskus untuk menjalankan tugasnya, hingga pasukan pemberontak memasuki ibu kota dan ia kemudian dievakuasi oleh pasukan Rusia ke pangkalan Moskwa di provinsi pesisir Latakia.
    Assad juga mengeklaim bahwa ia telah berencana untuk terus berjuang melawan pemberontak di Suriah.
    Namun, ketika pasukannya sendiri telah hancur total dalam menghadapi kemajuan pemberontak, pangkalan udara tempat ia tinggal diserang oleh pesawat tanpa awak.
    “Karena tidak ada cara yang layak untuk meninggalkan pangkalan itu, Moskwa meminta komando pangkalan untuk mengatur evakuasi segera ke Rusia pada Minggu malam 8 Desember,” tambahnya.
    Keberadaannya, serta keberadaan istrinya Asma dan ketiga anak mereka, awalnya tidak diketahui, hingga Rusia mengatakan Assad telah meninggalkan Suriah setelah berunding dengan kelompok pemberontak.
    Assad juga mengeklaim bahwa ia tidak pernah mencari posisi untuk keuntungan pribadi, namun sebaliknya menganggap dirinya sebagai penjaga proyek nasional yang didukung oleh keyakinan rakyat Suriah.
    Sementara itu, Pemimpin Kelompok Hayat Tahrir Al Sham (HTS) yang memaksa Assad turun dari kekuasaan, mengakhiri lebih dari 50 tahun kekuasaan keluarganya, telah bersumpah untuk membawa Assad dan kroninya ke pengadilan.
    Assad, saudaranya Maher, dan dua jenderal angkatan darat juga dicari di Perancis, di mana tahun lalu pihak berwenang mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional.
    Yakni terkait dugaan keterlibatan dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk
    serangan kimia
    2013 di pinggiran kota Damaskus yang dikuasai pemberontak.
    PBB memperkirakan pada 2022, lebih dari 300.000 warga sipil telah tewas pada akhir Maret 2021 dalam perang saudara Suriah, yang dimulai pada 2011.
    Pada 2021, para peneliti memperkirakan 250.000 pejuang lainnya juga telah tewas dalam 10 tahun pertama konflik tersebut.
    Pemerintah Assad juga melembagakan penyiksaan, menurut kelompok hak asasi manusia.
    Sedangkan kompleks penjara Sednaya milik Assad dijuluki sebagai “rumah pemotongan manusia” tempat para sipir melakukan hukuman gantung dan eksekusi massal, kata Amnesty International dalam sebuah laporan 2017.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 44.000 Narapidana Bakal Dapat Amnesti, Menteri Hukum: 39.000 Kasus Narkoba

    44.000 Narapidana Bakal Dapat Amnesti, Menteri Hukum: 39.000 Kasus Narkoba

    Jakarta, BeritaSatu.com – Presiden Prabowo Subianto berencana memberikan amnesti kepada sekitar 44.000 narapidana atau napi di Indonesia. Dari 44.000 narapidana itu, menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, 39.000 di antaranya terlibat kasus narkoba.

    Namun, data tersebut masih belum final, dan tengah dalam tahap pengumpulan data oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imapas).

    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, data tersebut mencakup jumlah narapidana hingga pertimbangan-pertimbangan hukum terkait dengan pemberian amnesti. 

    “Untuk kasus yang terkait dengan narkotika, sekali lagi itu jumlah yang terbesar yang sepanjang kami diberi data oleh Kementerian Imipas berkisar hampir 39.000. Yang masuk dalam kategori pengguna. Sekali lagi asesmennya sementara berlangsung. Dan yang melakukan asesmen adalah Kementerian Imipas,” ungkap Supratman saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (16/12/2024).

    Supratman mengatakan, nantinya daftar nama narapidana tersebut akan diumumkan secara transparan ke masyarakat.

    “Memang akan kita umumkan. Justru saya menyambut baik. Hari ini dan kemarin saya diminta oleh Amnesty International yang merupakan sebuah gerakan masyarakat sopil, demikian pula beberapa LSM juga menyatakan hal yang sama. Karena itu pasti akan kita lakukan transparan. Akan kita umumkan orang-orangnya dan akan kita bagikan karena kan nama satu per satu akan kami ajukan ke parlemen walaupun bentuknya kolektif ya,” pungkas dia.

    Meski memperkiraan terdapat 44.000 daftar narapidana diajukan mendapat amnesti, Supratman mengatakan, keputusan amnesti akan bergantung pada hasil asesmen. “Tergantung proses asesmennya,” kata dia.

    “(Faktor asesmen yaitu) Satu, soal tindak pidana. Kedua menyangkut soal apakah dia sudah menjalani hukuman dan berkelakuan baik. Empat kriteria yang saya sebutkan tadi itu yang paling penting. Lain-lainnya menyangkut soal subjektif, salam pengertian yang bersangkutan berkelakuan baik di dalam. Namun, perinciannya menyangkut asesmennya itu di Kementerian Imipas,” jelas Supratman.

    Jika daftar tersebut telah rampung, nantinya Presiden Prabowo akan mengajukan 44.000 narapidana yang akan dapat amnesti tersebut ke DPR.
     

  • Nah Lho! Limbah Baterai Mobil Listrik Mulai Dipertanyakan

    Nah Lho! Limbah Baterai Mobil Listrik Mulai Dipertanyakan

    Jakarta

    Lembaga Amnesty International mengeluarkan laporan bahwa masifnya kendaraan listrik di dunia mengabaikan hak asasi manusia dengan mengabaikan atau tidak mengatasi risiko rantai pasokan dalam memproduksi kendaraan listrik.

    Dikutip Autocar, Amnesty International menerbitkan laporan penelitian sebanyak 102 halaman, yang menyebutkan kegagalan produsen mobil dalam mengatasi risiko rantai pasokan mineral, sehingga berpotensi menyebabkan tambang kobalt, lithium, nikel dan tembaga, yang mencemari lingkungan, mengandung risiko kesehatan masyarakat di sekitarnya.

    Sebagai bagian dari studi tersebut, Amnesty International mengevaluasi kebijakan uji tuntas hak asasi manusia dari 13 produsen kendaraan listrik. Amnesty International pun memberikan masing-masing kartu skor yang memberi peringkat pada kebijakan tersebut berdasarkan ‘kebijakan hak asasi manusia, proses identifikasi risiko, pemetaan dan pelaporan rantai pasokan, serta mediasi’, dengan memberi peringkat pada skala satu (terburuk) hingga 90 (terbaik).

    Tercatat ada beberapa pabrikan yang memberikan jawabannya, namun ada juga pabrikan yang menolak untuk menjawab pertanyaan akan dampak dari produksi baterai kendaraan listrik.

    Nilai tertinggi yang diberikan Amnesty International kepada Mercedes-Benz mencapai 51 poin.Tesla memperoleh skor 49 poin dan Stellantis mengumpulkan 42 poin. Volkswagen Group, BMW, dan Ford semuanya memperoleh skor 41 poin.

    Pada spektrum terendah, Amnesty International memberi produsen mobil China BYD 11 poin, sementara Mitsubishi 13 poin dan Hyundai 21 poin, yang artinya mendapat nilai buruk.

    Pabrik Baterai Mobil Listrik Foto: Ridwan Arifin/detikcom

    Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnès Callamard mengatakan tercatat BYD dan Mitsubishi dinilai yang memiliki nilai terendah.

    “Skor tersebut sebagai ‘kekecewaan besar,’ dan bahkan BYD kurang transparansi mengenai uji tuntas hak asasi manusia dalam rantai pasokan baterainya. Mereka Hyundai dan Mitsubishi tidak memiliki dan memberikan kedalaman dan informasi yang diperlukan,” ujar Agnes.

    Sementara Amnesty International memberikan kesempatan kepada setiap produsen mobil untuk membalas dan menerbitkan tanggapan mereka secara lengkap dalam sebuah laporan, sebagai informasi agar berimbang.

    Dalam sebuah pernyataan, Hyundai mengatakan pihaknya mengakui telah menerima penilaian Amnesty International, dan berkomitmen pada rantai pasokan yang berkelanjutan dan etis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, perlindungan lingkungan, dan keselamatan. Namun berbanding terbaik, BYD dan Mitsubishi dikatakan menolak memberikan pernyataan sebagai tanggapan atas temuan tersebut.

    Sebagai catatan dalam upaya meningkatkan visibilitas rantai pasokan, Uni Eropa akan meluncurkan paspor baterai mulai 1 Februari 2027, yang diperlukan untuk semua baterai kendaraan listrik di atas 2 kWh.

    (lth/din)

  • Penuturan Warga Suriah di RI: Saya Merayakan Kejatuhan Assad

    Penuturan Warga Suriah di RI: Saya Merayakan Kejatuhan Assad

    Jakarta

    Sebagian warga Suriah yang tinggal di berbagai negara merayakan kejatuhan rezim Presiden Bashar al-Assad. Apa makna peristiwa ini bagi masa depan mereka?

    Seperti banyak warga Suriah, Youssef, yang sekarang tinggal di Malang, Jawa Timur, merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad. Namun, dia mengaku tidak berkeinginan untuk kembali ke negaranya.

    Laki-laki berusia 25 tahun yang meminta agar nama depannya tidak dipublikasikan itu datang ke Indonesia pada tahun 2021. Dia pergi dari negaranya untuk menjadi pelajar di bidang farmasi.

    “Saya sudah mau lulus,” ujar Youssef kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (10/12).

    Youssef berasal dari Kota Al Qardahahtempat kelahiran Bashar al-Assad dan ayahnya, Hafez al-Assad, yang meninggal dunia tahun 2000.

    Umur Youssef baru menginjak 11 tahun ketika perang saudara Suriah pecah pada 2011. Kala itu banyak orang terpaksa pindah atau mengungsi dari Suriah.

    “Setengah hidup saya dihabiskan dalam konflik,” ujarnya.

    Pasukan pemerintah Suriah berlindung di balik tembok saat bentrokan dengan kelompok militan di Aleppo, 3 November 2012. Pada periode Maret 2011 hingga November 2012, lebih dari 36.000 orang tewas sejak pemberontakan kelompok militan terhadap pemerintahan Assad (AFP)

    Bashar al-Assad baru saja digulingkan kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi-faksi pemberontak sekutu mereka.

    Dengan begitu, berakhir sudah rezim keluarga Assad yang dikenal tangan besi selama lebih dari lima dekade.

    Sama seperti banyak orang Suriah di penjuru dunia, termasuk jutaan di antara mereka yang mengungsi, Youssef bersuka cita atas kejatuhan rezim Assad.

    Walaupun begitu, Youssef menyebut masih banyak hal sumber duka dari Suriah yang membuatnya enggan untuk kembali ke negaranya.

    Youssef justru berharap suatu saat dapat memindahkan dua anggota keluarganya yang masih berada di Suriah ke Indonesia.

    “Saya merayakan kejatuhan al-Assad. 50 tahun terakhir tidak bisa dikatakan sebagai kehidupan [yang layak],” ujar Youssef.

    “Tapi ke mana kita pergi dari sini?”

    Youssef menyamakan kondisi Suriah sekarang seperti ketika masyarakat Afghanistan merayakan hengkangnya tentara AS pada Agustus 2021.

    Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena setelahnya rezim Taliban menguasai negara itu.

    “Saya tidak tahu apakah ini akan terjadi atau tidak, tapi saya tahu kelompok Muslim radikal tidak pernah suka dengan kelompok-kelompok minoritas,” ujar Youssef.

    “Kami punya sekte minoritas [di Suriah]. Jadi, ya, saya tidak yakin situasinya akan membaik.”

    Youssef mengklaim dirinya memperoleh foto-foto dan video penjarahan yang terjadi di negaranya setelah penggulingan Assad.

    Koresponden BBC yang melaporkan dari Suriah, Lina Sinjab, menjadi saksi mata aksi penjarahan, termasuk yang terjadi di kediaman Bashar al-Assad.

    Pengungsi Suriah yang tinggal di Turki kembali ke tanah airnya pada 10 Desember 2024 melalui Gerbang Perbatasan Cilvegz di Hatay, Turki (Getty Images)

    Dibandingkan dengan pengungsi dari negara-negara seperti Afghanistan dan Myanmar yang mencapai ratusan hingga ribuan orang, jumlah pengungsi dari Suriah di Indonesia berjumlah puluhan orang.

    Merujuk data Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), terdapat 60 warga Suriah yang telah mendapat status pengungsi di Indonesia.

    Angka ini tidak termasuk warga Suriah yang berada di Indonesia, tapi masih tergolong sebagai pencari suaka.

    Adapun menurut catatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, ada 713 warga negara Suriah yang punya izin tinggal aktif di Indonesia per Desember 2024. Mereka memegang izin tinggal sebagai diplomat, pekerja, dan pelajar.

    Seorang perempuan bersenjata mengacungkan tanda V yang berarti kemenangan saat warga Kurdi Suriah merayakan jatuhnya ibu kota Damaskus ke tangan pemberontak di Qamishli pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Apa pendapat orang-orang Suriah di negara-negara lainnya

    Di Ankara, Turki, ratusan warga Suriah bersiul, menari, bernyanyi, dan meneriakkan yel-yel dalam perayaan di Altnda. Sejak dini hari, mereka merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad.

    “Bahagia sekali rasanya baru pertama kalinya dalam hidup saya bisa sesenang ini,” ujar Asif, laki-laki berumur sekitar 20 tahun yang berasal dari kota Hama, Suriah.

    Asif mengibarkan bendera Turki dan bendera oposisi Suriah dengan kedua tangannya.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    “Sejak tadi malam, kami belum tidur. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” ujarnya.

    “Tidak ada lagi yang akan tinggal di sini. Semuanya ingin pulang karena perang di negara kami sudah berakhir. Kami sungguh-sungguh berterima kasih kepada Turki.”

    Ayham, teman Asif yang berasal dari Aleppo, mengungkapkan perasaan yang sama.

    “Kami tidak bisa pulang akibat kekejaman Assad. Semuanya kabur dari tangan tirani Assad. Orang-orang mesti hengkang karena kami tidak mau dipaksa menghabisi warga kami sendiri. Sekarang, kami bisa kembali karena semua ini sudah berakhir,” tuturnya.

    Para pejuang pemberontak Suriah merayakan kemenangan di Homs pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Seorang pria muda lainnya yang sudah tinggal di Turki selama 14 tahun bertekad untuk segera kembali ke Suriah.

    “Tidak ada lagi yang tersisa bagi kami [di Turki]. Saatnya kembali ke Suriah. Jika perlu, kami akan kembali membangun bahkan dari nol sekalipun. Pada hari saya berencana untuk menikah, Suriah merdeka. Saya tidak akan pernah melupakan tanggal ini.”

    Selebrasi dan keriaan serupa terlihat di kota-kota Turki lainnya yang memiliki populasi orang Suriah dalam jumlah besar, termasuk Istanbul.

    Di Sisli, orang-orang berkerumun di depan gedung konsulat Suriah. Mereka menurunkan bendera rezim Assad.

    Turki sudah menjadi rumah bagi sedikitnya tiga juta pengungsi Suriah sejak perang sipil di negara itu pecah pada tahun 2011.

    Rasa bingung dan kekhawatiran

    Di tengah semua keriaan dan perasaan penuh harap, ada juga orang Suriah yang tidak terlalu ingin cepat-cepat kembali ke negaranya.

    Di sebuah kereta Berlin yang hening, Rasha dengan suara pelan merekam suaranya di telepon genggam. Dia berhati-hati agar tidak mengganggu penumpang lain.

    Sampai baru-baru ini, Rasha sudah pasrah bahwa dirinya tidak akan lagi bisa melihat rumah keluarganya di Damaskus.

    Selama lebih dari satu dekade terakhir, konflik Suriah yang berkelanjutan memaksa jutaan orang Suriah termasuk Rasha untuk menerima kenyataan bahwa sebagian dari masa lalu mereka akan musnah. Namun, kabar penggulingan Assad mengubah segalanya.

    Bagi banyak pengungsi Suriah, berita itu memicu berbagai emosi yang saling kontradiksi: tidak percaya, bahagia, penuh harapan, bingung, dan takut.

    Warga Suriah yang tinggal di Essen, Jerman, merayakan runtuhnya rezim Assad pada Minggu, 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Kebahagiaan yang dirasakan Rasha berbenturan dengan realita. Dia mengaku awalnya ingin segera “mengepak koper dan pulang”.

    Akan tetapi, Rasha kemudian memikirkan apakah keputusan itu benar-benar dapat dilakukan secara tergesa-gesa.

    “Saya tahu bahwa tidak ada lagi perasaan waswas tatkala melewati perbatasan dan ketakutan akan ditangkap atau bahkan hilang,” jelas Rasha.

    “Tapi sekarang ada rasa takut yang baru: kemungkinan serangan balasan, ketegangan di antara sekte, dan balas dendam.”

    Rasha merupakan penganut agama minoritas di Suriah. Dia benar-benar memikirkan potensi risiko dengan waspada sekalipun belum ada laporan kekerasan yang menargetkan kelompok tertentu.

    Baca juga:

    “Saat ini kita masih merasakan momen-momen bahagia yang dini,” ujar Rasha perlahan.

    “Kita harus berpikir rasional.”

    Situasi Rasha semakin rumit karena statusnya sebagai pengungsi di Jerman. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengintegrasikan diri ke komunitas barunya, Rasha berada di jalur yang tepat untuk menerima kewarganegaraan Jerman dalam satu tahun ke depan.

    Jika Rasha mendapatkan ini, dia akan bisa lebih bebas untuk pindah ke mana pun dia mau.

    “Kami ingin kembali ke Suriah tanpa kehilangan semua pencapaian di sini,” terangnya.

    Warga Suriah merayakan jatuhnya rezim Assad di Istanbul (Azra Tosuner/BBC)

    Rasha merujuk ke keterampilan bahasa, pendidikan, dan stabilitas yang telah dibangunnya.

    “Jika kembali sekarang dan kehilangan status legal, saya barangkali akan kehilangan segalanya.”

    Rasha juga mengkhawatirkan nasib rumah keluarganya di Damaskus.

    “Sebelum kemarin, saya tidak menyangka bisa melihat rumah kami lagi,” akunya. “Harapan itu kini ada. Tapi bagaimana kalau sudah ada yang merebut rumah kami?”

    Sama seperti Youssef di Indonesia, Rasha juga mengkhawatirkan kelompok radikal di negaranya.

    “Saya senang rezim itu sudah runtuh,” ujarnya, “tetapi saya kini mengkhawatirkan adanya bentrokan serta kemunculan ekstremisme dan fanatisme.”

    Rasha hanyalah satu dari setidaknya 14 juta orang Suriah yang harus meninggalkan negara mereka sejak konflik pecah pada tahun 2011.

    Menurut UNHCR, krisis pengungsi di Suriah adalah pemindahan paksa terbesar pada masa kini.

    Lebih dari 5,5 juta pengungsi Suriah menetap di negara-negara tetangga termasuk Turki, Lebanon, Yordania, Irak, dan Mesir.

    Jerman merupakan negara non-tetangga Suriah dengan populasi pengungsi Suriah terbesar, sekitar 850.000 orang.

    Bagi banyak pengungsi, tinggal di luar negeri merupakan suatu tantangan tersendiri.

    Selama bertahun-tahun, mereka mesti menghadapi rintangan hukum, menanggung kesulitan ekonomi, dan menghadapi serangan xenofobia.

    Pulang ke Suriah ‘bukan perkara sepele’

    Ayah Majzoub, Wakil Direktur Regional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International, menekankan bahwa tidak akan mudah bagi orang-orang Suriah untuk kembali ke negaranya.

    “Banyak orang Suriah yang menimbang-nimbang untuk pulang telah kehilangan rumah, pekerjaan, dan orang-orang tercinta,” kata perempuan itu.

    “Perekonomian di Suriah sudah hancur akibat konflik dan sanksi asing selama bertahun-tahun.”

    “Organisasi-organisasi kemanusiaan harus segera memastikan bahwa pemulangan dilakukan secara sukarela, aman, dan bermartabat.”

    “Para pengungsi yang kembali membutuhkan akses ke tempat penampungan, makanan, air, sanitasi, dan perawatan kesehatan,” ujarnya.

    Seorang pengungsi Suriah di Ankara, Turki (Getty Images)

    Majzoub juga menekankan pentingnya untuk menghindari repatriasi secara paksa.

    “Pemerintah-pemerintah tuan rumah tidak boleh memaksa siapa pun untuk pulang,” ujarnya.

    “Kepulangan orang Suriah harus dilakukan sepenuhnya sukarela. Kami akan terus mengawasi risiko-risiko yang dihadapi para pengungsi yang kembali tanpa memandang agama, etnis, atau sikap politik mereka.”

    Mahmoud Bouaydani, pengungsi Suriah di Turki, mengaku berita dari Damaskus membawa kembali banyak memori.

    “Rasanya seperti menonton rekaman sepuluh tahun terakhir setiap peluru mortir, setiap serangan kimia, setiap serangan udara,” kenangnya.

    Baca juga:

    Pada tahun 2018, Mahmoud melarikan diri dari Douma setelah bertahun-tahun merasa terkepung. Dia sekarang menjadi mahasiswa teknik komputer di Universitas Kocaeli dekat Istanbul.

    Meski optimis, Mahmoud menyadari betapa besarnya tantangan menanti jika dirinya kembali.

    “Hal pertama yang ada di benak saya adalah harta benda keluarga. Kami tidak tahu bagaimana nasibnya. Barangkali sudah dijual tanpa sepengetahuan kami.”

    Mahmoud juga ingin tetap fokus untuk menyelesaikan pendidikannya.

    “Saya ingin mengunjungi Suriah terlebih dahulu,” katanya.

    “Saya butuh kejelasan tentang keamanan, pemerintahan, dan aturan hukum. Saya tidak bisa melepaskan status perlindungan sementara saya. Saya juga tidak bisa mengambil risiko kehilangan pendidikan atau stabilitas di sini.”

    Warga Suriah di Turki merayakan berakhirnya kekuasaan Assad di Suriah setelah pemberontak menguasai Damaskus pada malam hari, di Masjid Fatih, di Istanbul, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Di Zarqa, Yordania, perempuan Suriah bernama Um Qasim mengenang tahun-tahunnya sebagai pengungsi.

    “Kami sudah menghabiskan 12 tahun di Yordania,” katanya.

    “Walau kami disambut bak keluarga, pengasingan tetaplah pengasingan.”

    Dia menggambarkan momen-momen kegembiraan yang diwarnai dengan kepedihan. Baik ketika merayakan sesuatu seperti ulang tahun, maupun ketika ada yang meninggal.

    Ketiadaan sanak saudara untuk berbagi sangat terasa baginya.

    Um Qasim bermimpi untuk kembali ke Suriah yang damai. Akan tetapi, dia mengaku realistis dengan kondisi ekonomi yang mengerikan di negara tersebut.

    “Keluarga saya di sana masih menderita. Tidak ada listrik yang konsisten, tidak ada air, dan harga-harga yang tidak terjangkau. Bagaimana orang bisa hidup?”

    Perasaannya yang campur aduk mencerminkan perasaan banyak orang di diaspora.

    “Kami senang rezim telah jatuh, tetapi akan pilu rasanya meninggalkan Yordania apalagi setelah membangun keluarga kedua di sini.”

    Warga Suriah di Lebanon berbondong-bondong ke Perbatasan Masnaa yang terletak di antara Lebanon dan Suriah untuk pulang ke rumah setelah runtuhnya rezim Assad, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Di perbatasan Masnaa, Lebanon, ratusan warga Suriah telah berkumpul dalam beberapa hari terakhir. Mereka menunggu untuk bisa menyeberang pulang ke Suriah.

    Lebanon adalah negara dengan jumlah pengungsi per kapita tertinggi di dunia dan saat ini memiliki 768.353 pengungsi Suriah yang terdaftar di UNHCR meskipun diyakini masih banyak yang belum terdaftar.

    Juru bicara UNHCR di Lebanon, Dalal Harb, mengatakan bahwa lembaga itu mengamati beberapa pemulangan, termasuk melalui penyeberangan tidak resmi di daerah-daerah seperti Wadi Khaled, sebuah wilayah di perbatasan timur laut Lebanon.

    “UNHCR menegaskan kembali bahwa semua pengungsi memiliki hak fundamental untuk kembali ke negara asal mereka pada waktu yang mereka pilih, dan semua pemulangan harus dilakukan secara sukarela, bermartabat, dan aman.”

    Harb menambahkan bahwa UNHCR siap untuk mendukung para pengungsi yang kembali jika kondisinya memungkinkan.

    Kerumunan orang Suriah di Tripoli, Lebanon (EPA-EFE/REX/Shutterstock)

    Di sisi lain, dia menggarisbawahi bahwa selama masa-masa yang tidak menentu sekarang ini, para pengungsi Suriah harus diberi keleluasaan untuk menilai kondisi Suriah dengan mata kepala mereka sendiri.

    “Situasi di internal Suriah masih terus berkembang. Banyak warga Suriah yang mencoba menilai dalam beberapa minggu terakhir, seberapa amankah situasi di sana dan apakah ini waktu yang tepat bagi mereka untuk kembali atau tidak,” imbuhnya.

    Bagi banyak warga Suriah, ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya sangat membebani pikiran mereka.

    Kenangan akan perang, kehilangan, dan pengungsian tetap membayangi mereka. Sekarang pun mereka masih berusaha membayangkan bagaimana rasanya pulang ke negaranya.

    Untuk saat ini, mereka hanya bisa melihat dan menunggu.

    Bagi Youssef di Malang, Jawa Timur, yang memperoleh beasiswa pendidikan di sini, yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan keluarganya.

    “Saya ingin bisa menghasilkan banyak uang supaya keluarga saya tidak menderita. Setidaknya mereka bisa kembali dapat akses air bersih.”

    Laporan tambahan oleh Sanaa Alkhoury dan Fundanur ztrk.

    Baca juga:

    Tonton juga video: Dampak Jatuhnya Rezim Assad ke Ekonomi, Pasar di Suriah Hidup Lagi

    (nvc/nvc)

  • Fakta Penjara ‘Neraka’ Sednaya di Suriah, Saksi Kekejaman Rezim Assad

    Fakta Penjara ‘Neraka’ Sednaya di Suriah, Saksi Kekejaman Rezim Assad

    Daftar Isi

    Jakarta, CNN Indonesia

    Penjara Sednaya di Suriah diduga menjadi saksi kekejaman rezim mantan Presiden Bashar Al Assad.

    Penjara itu menjadi sorotan usai milisi Hayat Tahrir Al Sham (HTS) melepas ribuan tahanan dari sel tersebut, setelah milisi berhasil menggulingkan rezim Assad.

    Tahanan di sel tersebut merupakan orang-orang yang menentang pemerintahan Assad sejak 2011.

    Berikut fakta-fakta penjara ‘Neraka’ Sednaya yang menjadi saksi kekejaman Assad.

    Pro-kontra sel bawah tanah

    Di penjara itu disebut terdapat pintu rahasia dan sel bawah tanah tersembunyi yang terletak di lantai bawah tanah.

    Untuk memastikan laporan itu, kelompok pertahanan sipil Suriah, White Helmets, mengerahkan lima tim darurat khusus ke penjara.

    “Untuk melakukan penyelidikan,” demikian menurut mereka pada Senin (9/12) dikutip AFP.

    Tim dipandu orang yang familiar dengan rincian rumit penjara dan informasi yang diperoleh dari kerabat yang dipenjara. Spesialis penjebol tembok dan unit anjing terlatih juga dikerahkan.

    Di tengah upaya pencarian itu, Asosiasi Tahanan & Orang Hilang di Penjara Sednaya (ADMSP) membantah sel bawah tanah di sana.

    “Tidak ada kebenaran mengenai keberadaan tahanan yang terjebak di bawah tanah, dan informasi yang dimuat dalam beberapa laporan pers tidak akurat,” kata pernyataan itu.

    Diduga ada sel khusus untuk menyiksa

    Pada 2017, Amnesty International menggunakan pemodelan 3D untuk merekonstruksi tata letak penjara berdasarkan kisah 84 penyintas. .

    Model yang dihasilkan mengungkap suatu struktur yang dirancang untuk mengisolasi dan meneror narapidana, dengan penyiksaan sistematis.

    Anggota advokasi senjata dan konflik di Amnesty International Prancis, Aymeric Elluin mengatakan tak ada interogasi di Sednaya.

    “Penyiksaan tak digunakan untuk memperoleh informasi, tetapi tampaknya sebagai cara untuk merendahkan, menghukum, dan mempermalukan,” kata Elluin.

    Para tahanan menjadi sasaran tanpa henti, pengakuan bahkan tak bisa menyelamatkan mereka.

    Tampung hingga 20 ribu tahanan

    Menurut Amnesty International, Sednaya terdiri dari dua bangunan utama. Penjara ini mampu menampung antara 10.000 hingga 20.000 tahanan yang dipisahkan berdasarkan status.

    Bangunan “putih” menampung personel militer yang ditahan karena kejahatan atau pelanggaran ringan seperti pembunuhan, pencurian, korupsi, atau penghindaran wajib militer.

    Lalu, gedung “merah” untuk warga sipil dan personel militer yang dipenjara karena pendapat, aktivitas politik mereka, atau tuduhan terorisme yang dibuat-buat.

    Jadi tempat eksekusi mati napi

    Pemerintahan Assad rutin mengeksekusi tahanan biasanya pada Senin dan Rabu.

    Amnesty International menyatakan pihak berwenang melakukan hukuman gantung massal di ruang bawah tanah gedung merah usai persidangan alu.

    “Para korban dipukuli, digantung, dan dibuang secara rahasia,” lanjut mereka.

    Jadi tempat penghilangan paksa

    Selain eksekusi dan penyiksaan, penghilangan paksa juga menandai sejarah kelam penjara tersebut.

    Sejak 2011, PBB memperkirakan lebih dari 100.000 warga Suriah hilang di seluruh negeri tanpa diketahui nasibnya.

    Banyak dari mereka diyakini telah ditahan di Sednaya pada waktu tertentu.

    (isa/dna)

  • Amnesty International: 579 Orang Jadi Korban Kekerasan Polisi saat Demo Tolak Revisi UU Pilkada – Page 3

    Amnesty International: 579 Orang Jadi Korban Kekerasan Polisi saat Demo Tolak Revisi UU Pilkada – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Amnesty International Indonesia mengungkapkan hasil investigasi yang dilakukan selama tiga bulan atas demonstrasi yang menolak revisi Undang-Undang atau UU Pilkada pada pada 22-29 Agustus 2024.

    Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid ditemukan adanya kekerasan yang berulang kepada massa demo yang terjadi di 14 wilayah Indonesia. Total, 579 orang warga sipil menjadi korban kekerasan polisi selama aksi unjuk rasa berlangsung.

    “Selama kurun waktu itu, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi,” kata Usman dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (10/12/2024).

    Rinciannya, 344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena. Lalu, 152 orang luka-luka akibat serangan fisik, termasuk penembakan meriam air, yang 17 orang terpapar gas air mata kimia yang berbahaya.

    Kemudian, 65 orang lainnya tercatat mengalami kekerasan berlapis, meliputi kekerasan fisik dan penahanan inkomunikado dan seorang lagi dilaporkan sempat hilang sementara.

    “Seluruh kekerasan tersebut terjadi saat polisi menghadapi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada,” ungkap Usman.

    Usman menyampaikan temuan ini dipublikasikan menjelang peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 2024. Temuan ini, kata dia menambah daftar panjang catatan kelam kepolisian, lembaga yang seharusnya bertugas mengayomi dan melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan.

    “Bukti kekerasan polisi yang terverifikasi meliputi penangkapan dan penahanan semena-mena, pemukulan dengan tangan dan tendangan kaki, penggunaan gas air mata dan meriam air,” ucap Usman.

    Usman menyebut meski benar ada kericuhan, seperti kerusakan gerbang DPR RI, kekerasan yang dilakukan polisi menunjukkan penggunaan kekuatan yang eksesif, tidak proporsional, dan tidak perlu terhadap sebagian besar unjuk rasa yang berjalan damai.

    “Kekerasan polisi yang berulang adalah lubang hitam pelanggaran HAM. Investigasi kami serta bukti visual berupa video menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan tidak proporsional secara berulang adalah kebijakan kepolisian, bukan tanggung jawab petugas yang bertindak sendiri atau melanggar perintah atasan mereka,” jelas Usman.

    Temuan ini seakan menegaskan gagalnya janji Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang menyatakan bakal mengutamakan pendekatan humanis di era kepemimpinannya. Polisi, ujar Usman harusnya melindungi suara-suara kritis masyarakat yang turun ke jalan.

     

     

  • Anggota DPR: Hari HAM refleksi untuk hapus kekerasan perempuan-anak

    Anggota DPR: Hari HAM refleksi untuk hapus kekerasan perempuan-anak

    Ini adalah persoalan kolektif yang mencerminkan wajah masyarakat kita

    Jakarta (ANTARA) – Anggota DPR RI Novita Hardini mengatakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang diperingati pada 10 Desember, Selasa ini, harus menjadi momen refleksi bersama untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    Menurut dia, Hari HAM Sedunia adalah pengingat untuk memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan martabat, yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu manusia tanpa terkecuali.

    “Namun kenyataannya, perempuan dan anak masih sering menjadi korban kekerasan yang merongrong rasa kemanusiaan kita,” kata Novita dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa.

    Dia menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga serangan terhadap nilai moral dan sosial. Setiap bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi, merenggut hak mereka untuk hidup aman dan bermartabat.

    Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, Novita mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi setiap hari. Empat bentuk kekerasan yang menjadi perhatian utama adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender online (KBGO), dan femisida.

    Menurut dia, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (PPPA) pun mencatat kekerasan terhadap perempuan berjumlah 22.032 kasus dan kekerasan terhadap anak 15.703 kasus.

    Selain itu, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 3.811 kasus perundungan terhadap anak di sekolah dan krisis kemanusiaan di Papua periode 2018-2024 sebanyak 132 kasus.

    Kemudian ada juga 289.111 kasus diskriminasi terhadap gender khususnya perempuan termasuk diskriminasi terhadap suku, agama, Ras, menurut data Komnas Perempuan pada Tahun 2023. Lalu ada juga kasus pembunuhan dengan jumlah korban 242 masyarakat sipil menurut data Amnesty International Indonesia per Oktober 2024.

    Untuk itu, dia mengajak semua pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, untuk terlibat aktif dalam menciptakan solusi nyata. Pendidikan dan sosialisasi yang masif adalah hal yang penting untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    “Laporkan kekerasan, dukung korban, dan didik generasi muda kita dengan nilai-nilai hormat, empati, dan keberanian melawan ketidakadilan. Ini adalah langkah kecil yang akan membawa perubahan besar,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Chandra Hamdani Noor
    Copyright © ANTARA 2024

  • Amnesty Internasional Catat 579 Warga Alami Kekerasan Polisi

    Amnesty Internasional Catat 579 Warga Alami Kekerasan Polisi

    Bisnis.com, JAKARTA – Amnesty International mencatat bahwa 579 warga sipil mengalami tindakan represif atau kekerasan dari aparat kepolisian.

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengemukakan bahwa pihak Kepolisian selalu menilai aksi yang dilakukan oleh masyarakat dianggap sebagai ancaman, sehingga tidak sedikit oknum Polisi yang memilih jalan kekerasan dan tindakan represif kepada masyarakat.

    “Setelah melakukan investigasi mendalam selama 3 bulan atas unjuk rasa damai yang terjadi di 14 kota pada 22 sampai 29 Agustus lalu, Amnesty International menyimpulkan adanya kebijakan polisi di balik berulangnyakekerasan yang sistematis dan meluas,” ujarnya di Jakarta, Senin (9/12/2024). 

    Selama kurun waktu itu, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi. Rinciannya, sebanyak 344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena, 152 orang luka-luka akibat serangan fisik, termasuk penembakan meriam air.

    Usman menambahkan sedikitnya 17 orang terpapar gas air mata kimia yang berbahaya serta 65 lainnya mengalami kekerasan berlapis termasuk kekerasan fisik dan penahanan inkomunikado dan seorang lagi dilaporkan sempat hilang sementara. 

    “Seluruh kekerasan tersebut terjadi saat polisi menghadapi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada beberapa waktu lalu,” imbuhnya. 

    Selain itu, Usman juga membeberkan tidak adanya hukuman atas pelanggaran HAM yang telah dilakukan oknum Polisi menjadi penyebab tindakan kekerasan dan represif kepolisian selalu terulang ke masyarakat.

    “Jadi kan selama ini tuh tidak pernah ada pertanggungjawaban atas kasus-kasus pelanggaran HAM akibat kekerasan polisi, sehingga tidak ada efek jera,” katanya.

    Ditambah lagi, menurut Usman, komitmen Polisi untuk melindungi hak masyarakat dalam kebebasan berekspresi juga semakin menipis. 

    “Minimnya komitmen negara untuk melindungi hak warga, termasuk berekspresi dan berkumpul secara damai,” ujarnya.

    Penggunaan Senjata Api

    Selain itu, Usman Hamid meminta agar berbagai desakan untuk mengevaluasi penggunaan senjata api oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.

    Usman mengatakan bahwa Polri juga perlu mempertanggungjawabkan kebijakan penggunaan kekuatan maupun senjata api sesuai hukum yang berlaku, termasuk bagi siapa pun yang terlibat pidana melalui sistem peradilan umum berdasarkan bukti yang cukup. Walaupun begitu, penegakan hukum harus tanpa hukuman mati.

    “Sehingga (penggunaan kekuatan) hanya digunakan dalam situasi yang benar-benar diperlukan,” kata Usman. 

    Dia juga meminta DPR RI menggunakan hak-hak konstitusionalnya berupa hak angket atau interpelasi demi menyelidiki tanggung jawab kebijakan strategis polisi karena masih ada kasus penyalahgunaan kekuatan yang tidak perlu.

    “Mendesak DPR RI memanggil Kapolri guna dimintai tanggung jawab atas maraknya kekerasan polisi di masyarakat, khususnya yang merefleksikan pola kebijakan represif, bukan perilaku orang per orang,” katanya. 

    Usman mengatakan bahwa adanya kekerasan terhadap masyarakat oleh aparat adalah lubang hitam pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Maraknya kasus kekerasan, menurut dia, juga disebabkan kuatnya persepsi bahwa warga yang mengkritik pemerintah adalah ancaman.

    Selain itu, ia juga mendesak kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Nasional HAM agar mengusut secara resmi, menyeluruh, efektif, imparsial, terhadap kasus-kasus kekerasan yang timbul.

    “Dan tuntaskan kasus-kasus penggunaan kekuatan berlebihan, termasuk senjata mematikan,” katanya.

    Sebelumnya, berbagai pihak mengusulkan agar Polri mengevaluasi penggunaan senjata api agar tidak disalahgunakan oleh anggotanya.

    Usulan itu muncul setelah adanya kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat, dan kasus polisi tembak siswa SMK di Semarang, Jawa Tengah.