NGO: Amnesty International

  • Pegiat HAM dan Jurnalis jadi Target Peretas, Produsen Spyware Terlibat

    Pegiat HAM dan Jurnalis jadi Target Peretas, Produsen Spyware Terlibat

    Bisnis.com, JAKARTA  – Laporan investigasi bersama bertajuk “Intellexa Leaks” mengungkap ancaman spyware terhadap para pegiat hak asasi manusia dan jurnalis. Serangan siber tersebut turut melibatkan produsen pembuat spyware Intellexa.

    Investigasi ini, yang dilakukan oleh Inside Story, Haaretz, dan WAV Research Collective dengan analisis teknis dari Amnesty International, mengungkap operasi internal Intellexa—perusahaan yang terkenal menjual spyware invasif bernama Predator.

    Spyware adalah perangkat lunak berbahaya (malware) yang dirancang untuk menyusup ke perangkat secara diam-diam, mengumpulkan informasi pribadi (seperti riwayat penjelajahan, detail login, data perbankan) tanpa izin, dan mengirimkannya ke pihak ketiga untuk tujuan jahat, iklan, atau keuntungan finansial, seringkali menyebabkan perangkat lambat dan mengganggu privasi.

    Amnesty International mendokumentasikan kemampuan teknis Intellexa dan berbagai kasus penyalahgunaan spyware mereka dalam “Predator Files” pada 2023.

    Investigasi lanjutan tentang kampanye serangan di Pakistan dan kasus-kasus lain akan dirilis dalam serangkaian laporan Amnesty International mendatang.

    Teknolog di Security Lab Amnesty International Jurre van Bergen mengatakan dalam beberapa kasus, Intellexa menggunakan kemampuan akses jarak jauh ke log pelanggan Predator, yang memungkinkan staf perusahaan melihat detail operasi pengawasan dan individu yang menjadi target. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang proses due diligence hak asasi manusia perusahaan tersebut.

    “Jika perusahaan spyware bayaran ditemukan terlibat langsung dalam pengoperasian produknya, maka menurut standar hak asasi manusia, mereka berpotensi menghadapi tuntutan tanggung jawab atas penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi yang disebabkan oleh spyware,” kata van Bergen dikutip dalam laporan Amnesty International, Sabtu (13/12/2025).

    Spyware Predator sebelumnya terlibat dalam serangan pengawasan pada 2021, seperti terhadap jurnalis Yunani Thanasis Koukakis, berdasarkan penelitian forensik digital oleh Citizen Lab.

    Dokumen bocor kini menambah bukti yang menghubungkan produk Intellexa dengan pelanggaran hak asasi, termasuk hak privasi dan kebebasan berekspresi.

    Pengungkapan ini muncul di tengah kasus-kasus baru penyalahgunaan Predator, yang menunjukkan bahwa produk Intellexa terus digunakan untuk mengawasi aktivis, jurnalis, dan pembela hak asasi secara ilegal di seluruh dunia.

    Security Lab Amnesty International menemukan serangan terhadap seorang pengacara hak asasi dari provinsi Balochistan, Pakistan, melalui WhatsApp pada musim panas 2025. Temuan ini membuktikan bahwa Predator aktif digunakan di Pakistan, yang secara serius melanggar hak privasi dan kebebasan berekspresi.

    Ilustrasi peretasan data

    Ancaman bagi Indonesia

    Sementara itu, Chief Technology Officer (CTO) PT ITSEC Asia Tbk. Marek Bialoglowy mengatakan keadaan ini menunjukkan bahwa arsitektur serangan telah bergerak jauh melampaui malware konvensional.

    Ancaman yang dihadapi direncanakan terus-menerus, dan tertanam di seluruh rantai nilai digital. Ancaman ini menjadi alarm bagi masyarakat Indonesia.

    “Sebagai salah satu negara dengan ekonomi digital terbesar di kawasan APAC, Indonesia tidak dapat hanya bereaksi ketika insiden sudah terjadi. Kita membutuhkan kapabilitas pertahanan yang mampu mengantisipasi dan mengelola risiko ini secara berkelanjutan,” kata Marek.

    Marek juga menekankan pentingnya memperkuat ketahanan siber nasional serta peran platform pertahanan tingkat lanjut seperti IntelliBroń dalam membantu organisasi di Indonesia untuk mendeteksi, merespons, dan memitigasi ancaman mercenary spyware secara berkelanjutan.

    Kasus-kasus terbaru menunjukkan bahwa mercenary spyware tidak hanya menargetkan pejabat tinggi, tetapi juga individu serta kelompok yang dianggap sensitif secara politik, hukum, atau strategis. Di balik setiap indikator, terdapat pola yang harus menjadi perhatian para pembuat kebijakan dan pemimpin keamanan siber Indonesia:

    Pertama, cakupan penargetan telah meluas. Kelompok berisiko kini tidak lagi terbatas pada lingkar pemerintahan, tetapi juga jurnalis investigasi, pembela HAM, advokat kebijakan publik, dan profesional hukum. Ancaman ini tidak lagi sekadar isu intelijen sempit, tetapi berimplikasi pada institusi demokrasi dan kepercayaan publik.

    Kedua, permukaan serangan semakin beragam. Kampanye kini menggabungkan eksploitasi zero-day pada browser dan sistem mobile, menginjeksi threats pada operator telekomunikasi dan ISP, serta penyalahgunaan iklan digital, melebihi pola phishing tradisional.

    Ketiga, kekhawatiran terkait tata kelola dan akuntabilitas semakin meningkat. Dalam beberapa investigasi, vendor spyware komersial diduga mempertahankan akses jarak jauh atau visibilitas terhadap sistem pelanggan. Artinya, vendor spyware turut terlibat,

    “Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait kedaulatan data dan risiko lintas batas,” kata Marek.

    Marek menekankan bahwa pengungkapan spyware ini  harus dipandang sebagai peringatan dini bagi Indonesia, bukan isu yang berada jauh di luar negeri. Jika aktor mercenary spyware mampu menargetkan jurnalis, aktivis, dan pembela HAM di yurisdiksi lain, tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa Indonesia akan sepenuhnya terhindar.

    “Kita adalah pasar digital besar, mengelola pemilu berskala luas, dan memiliki proyek strategis nasional yang menarik bagi banyak kepentingan,” kata Marek.

    ITSEC Asia mendorong kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan yang memahami implikasi strategis dari ancaman mercenary spyware, termasuk kementerian dan lembaga pemerintah yang ingin memperkuat kebijakan dan ketahanan siber.

    Regulator, operator telekomunikasi, dan Internet Service Provider yang berperan sebagai gerbang utama lalu lintas digital dan berpotensi mendeteksi serta mengganggu aktivitas berbahaya. (Nur Amalina)

  • Amnesty International Tuding Hamas Lakukan Kejahatan Kemanusiaan

    Amnesty International Tuding Hamas Lakukan Kejahatan Kemanusiaan

    Gaza

    Amnesty International menuduh Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan selama dan setelah serangan 7 Oktober 2023 yang memicu perang Gaza. Hamas merespons laporan tersebut dan mengatakannya sebagai ‘kebohongan’.

    “Kelompok bersenjata Palestina melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama serangan mereka di Israel selatan yang dimulai pada 7 Oktober 2023,” kata lembaga pengawas hak asasi manusia itu dalam laporan setebal 173 halaman tersebut seperti dilansir AFP, Jumat (12/12/2025).

    Amnesty mengatakan pembunuhan massal warga sipil pada 7 Oktober sama dengan “kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pemusnahan”.

    Hamas menolak laporan tersebut, dengan mengatakan bahwa laporan itu mengandung “ketidakakuratan dan kontradiksi”.

    “Pengulangan kebohongan dan tuduhan yang dipromosikan oleh pemerintah pendudukan (Israel) mengenai pemerkosaan, kekerasan seksual, dan perlakuan buruk terhadap tawanan jelas menunjukkan bahwa tujuan laporan ini adalah untuk menghasut dan mendistorsi citra perlawanan,” kata kelompok militan itu dalam sebuah pernyataan.

    Organisasi tersebut menyerukan agar Amnesty International mencabut “laporan yang cacat dan tidak profesional” tersebut.

    Amnesty International juga menuduh Israel melakukan genosida dalam kampanye pembalasannya di Gaza. Tuduhan itu dibantah oleh Israel.

    Kelompok hak asasi manusia tersebut mengatakan bahwa Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya di Gaza “terus melakukan pelanggaran dan kejahatan berdasarkan hukum internasional dalam menahan dan memperlakukan sandera dengan buruk serta menahan jenazah yang disita”.

    “Penahanan sandera dilakukan sebagai bagian dari rencana yang dinyatakan secara eksplisit dan dijelaskan oleh pimpinan Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya,” demikian pernyataan dalam laporan tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (isa/isa)

  • China Eksekusi Mati Eks Pejabat Senior karena Suap Rp 2,6 T

    China Eksekusi Mati Eks Pejabat Senior karena Suap Rp 2,6 T

    Beijing

    Otoritas China telah mengeksekusi mati seorang mantan pejabat eksekutif perusahaan manajemen aset milik negara yang terjerat tuduhan korupsi. Sang mantan pejabat senior itu dijatuhi hukuman mati karena menerima suap sebesar US$ 156 juta, atau setara Rp 2,6 triliun.

    Bai Tianhui, seperti dilansir AFP, Selasa (9/12/2025), merupakan mantan manajer umum China Huarong International Holdings (CHIH) –anak perusahaan China Huarong Asset Management, yang berfokus pada manajemen utang macet sebagai salah satu dana manajemen aset terbesar di negara tersebut.

    Laporan televisi pemerintah CCTV menyebut Bai telah dinyatakan bersalah menerima dana lebih dari US$ 156 juta, atau setara Rp 2,6 triliun, sambil menawarkan perlakuan istimewa dan menguntungkan dalam akuisisi dan pendanaan proyek-proyek antara tahun 2014 hingga tahun 2018 lalu.

    Huarong telah menjadi target utama untuk pemberantasan korupsi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di bawah Presiden Xi Jinping.

    Mantan pemimpin Huarong, Lai Xiaomin, telah dieksekusi mati pada Januari 2021, setelah dia dinyatakan terbukti bersalah menerima suap sebesar US$ 253 juta, atau setara Rp 4,2 triliun.

    Beberapa pejabat eksekutif Huarong lainnya juga terjerat dalam investigasi antikorupsi.

    Hukuman mati untuk kasus korupsi di China seringkali dijatuhkan dengan penangguhan hukuman selama dua tahun, dan kemudian diperingan menjadi hukuman penjara seumur hidup.

    Namun, hukuman mati yang dijatuhkan terhadap Bai tidak ditangguhkan. Dia divonis mati oleh pengadilan kota Tianjin, China bagian utara, pada Mei 2024.

    Bai mengajukan banding atas putusan pengadilan tersebut, tetapi putusan awal diperkuat oleh pengadilan lebih tinggi pada Februari lalu.

    Mahkamah Agung China, pengadilan tertinggi di negara tersebut, mengonfirmasi keputusan tersebut setelah melakukan peninjauan, dan menyatakan bahwa kejahatan Bai “sangat serius”.

    “(Bai) Menerima suap dalam jumlah yang sangat besar, ruang lingkup kejahatannya sangat serius, dampak sosialnya sangat mengerikan, dan kepentingan negara serta rakyat mengalami kerugian yang sangat signifikan,” sebut Mahkamah Agung China dalam pernyataannya, seperti dikutip CCTV.

    CCTV melaporkan bahwa Bai telah dieksekusi mati di Tianjin ada Selasa (9/12) pagi waktu setempat, setelah bertemu dengan kerabat dekatnya. Tidak disebutkan lebih lanjut soal dengan metode apa Bai dieksekusi mati.

    China mengklasifikasikan statistik hukuman mati sebagai rahasia negara. Meskipun Amnesty International dan kelompok hak asasi manusia lainnya meyakini ribuan orang dieksekusi mati di negara itu setiap tahun.

    Bai menjadi pejabat tinggi terbaru yang menghadapi hukuman berat dalam penindakan keras yang telah berlangsung lama terhadap praktik korupsi di industri keuangan China.

    Lihat juga Video: Putri Eksekusi Mati Debt Collector Sukabumi, 48 Adegan Diperagakan

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Parlemen Israel Loloskan Tahap Awal RUU Hukuman Mati untuk Tahanan Palestina

    Parlemen Israel Loloskan Tahap Awal RUU Hukuman Mati untuk Tahanan Palestina

    Jakarta

    Parlemen Israel telah mengesahkan pembacaan pertama rancangan Undang-Undang tentang hukuman mati. RUU ini menyasar kepada warga Palestina yang ditahan mereka, yang mereka anggap teroris.

    Dilansir Aljazeera, Rabu (12/11/2025), amandemen yang diusulkan oleh Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir, disetujui dengan 39 suara berbanding 16 dari 120 anggota Knesset pada Senin (10/11). Tandanya amandemen tersebut mendapat dukungan dari pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

    The Times of Israel melaporkan RUU tersebut, hukuman mati akan diterapkan kepada individu yang membunuh warga Israel dengan motif “rasis” dan “dengan tujuan merugikan Negara Israel dan kebangkitan kembali kaum Yahudi di tanahnya”.

    RUU ini banyak mendapat kritik karena RUU tersebut berlaku secara eksklusif kepada warga Palestina yang membunuh warga Israel, bukan kepada kelompok garis keras Israel yang melakukan serangan terhadap warga Palestina. Salah satu yang mengkritik Amnesty International.

    “Tidak ada yang ditutup-tutupi; mayoritas dari 39 anggota Knesset Israel menyetujui dalam pembacaan pertama sebuah RUU yang secara efektif mengamanatkan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman mati secara eksklusif kepada warga Palestina,” kata direktur senior Amnesty International untuk penelitian, advokasi, kebijakan, dan kampanye, Erika Guevara Rosas.

    Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan dalam keadaan apa pun, apalagi dijadikan senjata sebagai alat diskriminasi yang terang-terangan untuk pembunuhan, dominasi, dan penindasan yang disahkan negara”, jelas Guevara Rosas.

    Pejabat senior Amnesty juga menggambarkan tindakan parlemen Israel sebagai “langkah mundur yang berbahaya dan dramatis serta merupakan hasil dari impunitas yang berkelanjutan terhadap sistem apartheid Israel dan genosidanya di Gaza”.

    Sementara itu, Ben-Gvir menyambut baik hasil pemungutan suara. Dia mengatakan bahwa partainya, Jewish Power, sedang “menciptakan sejarah”.

    Respons Hamas

    Menanggapi hasil pemungutan suara parlemen, Hamas mengatakan bahwa rancangan undang-undang tersebut “mewakili wajah fasis yang buruk dari pendudukan Zionis yang brutal dan merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional”.

    Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina menyebut rancangan undang-undang tersebut sebagai “bentuk baru eskalasi ekstremisme dan kriminalitas Israel terhadap rakyat Palestina”.

    (zap/yld)

  • Saling Sikut Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Saling Sikut Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Saling Sikut Gelar Pahlawan untuk Soeharto
    Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
    DI
    tengah upaya bangsa menata ingatan sejarah dan menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, publik kembali dihadapkan pada realitas yang menggugah nurani. Nama Soeharto, presiden dengan kekuasaan paling panjang di Indonesia, muncul dalam wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional.
    Wacana ini memunculkan perdebatan yang tajam: apakah negara layak memberi penghormatan tertinggi kepada sosok yang di satu sisi dikenal membawa stabilitas dan pembangunan, namun di sisi lain meninggalkan jejak kelam kekerasan dan represi?
    Transisi kekuasaan pada 1965–1966 menandai awal kekuasaan
    Soeharto
    . Namun masa itu juga menyisakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern Indonesia. Berbagai laporan menyebutkan, pembersihan terhadap mereka yang dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) menelan 500.000 hingga 1 juta korban jiwa. Ratusan ribu lainnya ditahan tanpa proses hukum, mengalami penyiksaan, dan hidup terpinggirkan selama puluhan tahun.
    Laporan Amnesty International, Human Rights Watch, hingga Komnas HAM menegaskan bahwa kekerasan itu bukan spontanitas rakyat, melainkan melibatkan struktur militer secara sistematis. Sejarawan Geoffrey Robinson dalam The Killing Season (2018) menulis, operasi kekerasan tersebut terencana, melibatkan aparat negara, dan difasilitasi oleh kepentingan politik global di masa Perang Dingin.
    Sebagian akademisi menyebut tragedi ini sebagai
    politicide
    , pembunuhan massal terhadap kelompok politik tertentu. Dalam terminologi hukum internasional, beberapa peneliti bahkan menilai unsur-unsurnya memenuhi kriteria genosida politik. Fakta ini memperkuat posisi bahwa pelanggaran HAM berat di masa awal kekuasaan
    Orde Baru
    tidak bisa dihapus begitu saja dengan alasan jasa pembangunan.
    Tak bisa dimungkiri, rezim Soeharto meninggalkan warisan pembangunan fisik dan ekonomi yang masif. Program swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, dan stabilitas politik menjadi pencapaian yang kerap dijadikan dasar untuk mengusulkan
    gelar pahlawan nasional
    . Namun, keberhasilan tersebut berdiri di atas kontrol ketat terhadap kebebasan sipil, pembungkaman oposisi, dan pelanggaran hak politik warga negara.
    Dalam logika utilitarianisme politik, seseorang bisa dianggap berjasa jika tindakannya membawa manfaat besar bagi rakyat banyak. Namun teori keadilan John Rawls mengingatkan bahwa keadilan tidak bisa diukur semata-mata dari hasil, tetapi juga dari cara mencapainya. Pembangunan ekonomi yang dibarengi pelanggaran HAM berat justru melanggar prinsip keadilan substantif.
    Di masa Orde Baru, negara juga membangun narasi tunggal sejarah. Buku pelajaran, media massa, hingga institusi budaya diarahkan untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan. Rakyat diajak untuk melupakan tragedi 1965, sementara para korban dilarang bersuara. Dalam konteks inilah, memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti memperpanjang politik ingatan yang timpang—mengingat jasa, tapi meniadakan luka.
    Sampai hari ini, proses rekonsiliasi nasional terkait pelanggaran HAM masa lalu masih jalan di tempat. Upaya hukum tidak pernah benar-benar tuntas. Komnas HAM memang telah menyelesaikan penyelidikan pro justisia terkait Tragedi 1965, namun Kejaksaan Agung belum juga melanjutkan ke tahap penuntutan. Di sisi lain, korban dan keluarga korban terus menuntut pengakuan, permintaan maaf negara, serta rehabilitasi sosial yang layak.
    Dalam teori
    transitional justice
    , penghormatan terhadap pelaku masa lalu hanya layak dilakukan jika telah melalui proses kebenaran dan akuntabilitas yang jelas. Negara-negara seperti Jerman atau Afrika Selatan memberi contoh: pengakuan terhadap masa lalu dilakukan bersamaan dengan keadilan bagi korban. Penghargaan tanpa akuntabilitas justru menjadi bentuk pengingkaran sejarah.
    Jika negara ingin menimbang tokoh-tokoh dengan rekam jejak kompleks seperti Soeharto, maka langkah yang lebih etis adalah memprioritaskan komisi kebenaran nasional dan kurikulum sejarah yang jujur, bukan pemberian gelar kehormatan. Bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan masa lalunya, melainkan yang berani menghadapinya.
    Dalam konteks moral dan hukum, pahlawan nasional bukan sekadar orang yang berjasa besar, tetapi juga sosok yang menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 menegaskan, gelar pahlawan hanya dapat diberikan kepada tokoh yang memiliki integritas moral, nasionalisme tinggi, dan tidak pernah melakukan tindakan yang mencederai kemanusiaan.
    Jika kriteria itu dijalankan secara konsisten, maka sulit membayangkan bagaimana Soeharto memenuhi syarat tersebut tanpa terlebih dahulu ada kejelasan pertanggungjawaban terhadap korban pelanggaran HAM di masa kekuasaannya.
    Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan menjadi preseden buruk bagi pendidikan sejarah bangsa. Ia akan mengaburkan batas antara pelaku dan korban, antara pembangunan dan represi. Lebih jauh, langkah itu bisa mencederai luka sosial yang belum sembuh serta melemahkan upaya negara menegakkan keadilan bagi para penyintas.
    Karena itu, sebelum negara menulis nama Soeharto dalam daftar pahlawan nasional, sebaiknya negara terlebih dahulu menulis nama para korban dalam daftar yang lebih penting: daftar orang-orang yang perlu diakui, dipulihkan, dan diingat.
    Pemberian gelar pahlawan bukanlah soal menimbang jasa semata, tetapi menilai nilai. Ia menyangkut moral publik dan memori bangsa. Dalam kasus Soeharto, negara dihadapkan pada pilihan sulit: mengakui jasa pembangunan atau mengakui luka sejarah.
    Namun, bangsa yang berani menghadapi masa lalunya dengan jujur adalah bangsa yang benar-benar merdeka secara moral. Sampai proses kebenaran itu tuntas, gelar pahlawan nasional bagi Soeharto bukanlah penghormatan, melainkan pengingkaran.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4
                    
                        Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto
                        Nasional

    4 Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto Nasional

    Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar semua presiden yang pernah memimpin Republik Indonesia mendapatkan gelar pahlawan nasional.
    Usulan tersebut disampaikannya ketika ditanya soal adanya penolakan pemberian gelar
    pahlawan nasional
    kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia
    Soeharto
    .
    “Bila perlu kami menyarankan semua tokoh-tokoh bangsa yang mantan-mantan presiden ini kalau bisa dapat dipertimbangkan untuk diberikan
    gelar pahlawan nasional
    , ya,” ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
    Dalam daftar 40 nama yang diusulkan Kementerian Sosial (Kemensos), terdapat pula nama Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
    Selain Gus Dur, Bahlil juga mengusulkan agar Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie diberikan gelar pahlawan nasional.
    “Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanya lah,” ujar Bahlil.
    Selain itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu juga menjawab soal adanya penolakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
    Menurutnya, jasa yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia menjadi indikator kelayakan untuk menerima gelar pahlawan nasional.
    “Negara ini, kita harus menghargai jasa para tokoh-tokoh bangsa, ya. Jadi kita biasa saja. Kita tidak bisa melupakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pak Harto selama 32 tahun itu sesuatu yang luar biasa,” ujar Bahlil.
    Bahlil mengatakan, penolakan merupakan hal yang lumrah karena tidak ada manusia yang benar-benar sempurna.
    Kendati demikian, ia mengungkit jasa Soeharto yang menciptakan swasembada pangan, lapangan pekerjaan, hingga membuat Indonesia dijuluki Macan Asia.
    “Mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100 persen kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia di pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujar Bahlil.
    Dok. KOMPAS/Charles Dharapak Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998.
    Sementara itu, 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI itu.
    Penolakan itu ditegaskan dalam deklarasi di Kantor LBH, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025). Aktivis HAM yang juga Direktur Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid mendesak agar usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional dibatalkan.
    Setidaknya ada empat alasan mengapa koalisi masyarakat sipil menolak gelar untuk Soeharto. Pertama, karena pemerintahan Soeharto selama 32 tahun dipenuhi berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
    Kedua, pemerintah Soeharto dipenuhi oleh berbagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
    “Yang ketiga, juga diikuti dengan pemberangusan kebebasan berpendapat, kebebasan pers sampai dengan kebebasan akademik,” ungkap Usman.
    “Dan yang terakhir adalah adanya ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi selama pemerintahan Soeharto,” sambungnya menegaskan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Negara Ini Tiba-Tiba Umumkan Lockdown, 30 Tewas-Sekolah Tutup

    Negara Ini Tiba-Tiba Umumkan Lockdown, 30 Tewas-Sekolah Tutup

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Tanzania melakukan karantina wilayah (lockdown) nasional pada Kamis (30/10/2025). Lockdown ini merupakan perpanjangan  setelah kekacauan pecah pasca pemilu yang digelar sehari sebelumnya.

    Sedikitnya 30 orang dilaporkan tewas dalam kerusuhan yang mengguncang negara Afrika Timur tersebut. Tentara dan polisi dikerahkan ke sejumlah kota besar, termasuk Dar es Salaam, setelah demonstrasi anti pemerintah berubah menjadi bentrokan berdarah.

    Sejumlah laporan menyebut warga menyerang pos polisi dan tempat pemungutan suara. Sementara internet dan panggilan internasional sempat diputus total.

    “Warga Tanzania yang terhormat, beberapa orang telah melakukan tindakan kriminal pada 29 Oktober. Mereka adalah penjahat,” ujar Panglima Militer Tanzania, Jacob Mkunda, kepada TV pemerintah, seperti dikutip AFP, Jumat (31/10/2025).

    “Tentara telah mengendalikan situasi untuk saat ini dan akan mengambil tindakan hukum bagi siapa pun yang melanjutkan kekacauan.”

    Kementerian Dalam Negeri Tanzania menyatakan sekolah-sekolah tetap ditutup dan pegawai negeri bekerja dari rumah hingga situasi aman. Aktivitas penerbangan dan transportasi laut juga lumpuh, membuat ratusan wisatawan terlantar di bandara dan pelabuhan.

    “Ini adalah hal paling menakutkan yang pernah saya alami,” kata seorang turis asal Afrika Selatan.

    “Di luar bandara ada tentara bersenjata dan orang-orang bertopeng. Kami hanya ingin pulang.”

    Kekacauan ini dipicu oleh tuduhan manipulasi dan represi dalam pemilu yang dinilai tidak kompetitif. Presiden Samia Suluhu Hassan disebut berupaya memperkuat kekuasaannya dengan menyingkirkan lawan politik.

    Penantangnya, TunduLissu, bahkan menghadapi dakwaan pengkhianatan. Ia pun bisa dijatuhi hukuman mati.

    “Gelombang teror seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di Tanzania,” kata seorang diplomat asing yang enggan disebut namanya.

    “Situasinya sangat tidak pasti, bahkan posisi politik Presiden Hassan kini dipertanyakan.”

    Kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International, mengecam tindakan keras aparat terhadap oposisi dan jurnalis.

    “Kekejaman telah terjadi,” ujar peneliti Amnesty, Roland Ebole, menuding aparat melakukan pelanggaran serius terhadap hak asasi warga.

    Sementara hasil resmi pemilu belum diumumkan secara penuh, laporan awal menunjukkan kemenangan besar bagi partai berkuasa. Namun, di tengah blokade, tembakan, dan pemadaman komunikasi, banyak warga menilai hasil itu tak lagi mencerminkan suara rakyat.

    (tfa/șef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pendiri PBHI dan Aktivis HAM Johnson Panjaitan Wafat

    Pendiri PBHI dan Aktivis HAM Johnson Panjaitan Wafat

    Pendiri PBHI dan Aktivis HAM Johnson Panjaitan Wafat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Johnson S Panjaitan, meninggal dunia pada hari ini, Minggu (26/10/2025).
    Kabar duka itu dikonfirmasi oleh aktivis senior sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
    “Johnson kritis selama 4-5 hari terakhir hingga dini hari lalu meninggal pada pagi ini, 26 Oktober, pada pukul 8.30 pagi,” kata Usman dalam keterangannya kepada
    Kompas.com
    , Minggu (26/10/2025).
    Usman mengenang Johnson sebagai aktivis dan pengacara yang berani membela keadilan korban pelanggaran HAM.
    Ia lantas menceritakan, ketika menjadi Ketua Umum PBHI, kantornya menjadi sasaran tindak kekerasan.
    “Kantornya pernah digeruduk dan mobilnya ditembak,” ujar Usman.
    Meski demikian, kata Usman, aksi teror itu tidak membuat nyali Johnson ciut. Advokat itu tetap berdiri melawan ketidakadilan.
    Menurut Usman, Johnson merupakan sosok yang mencintai keadilan dan memperjuangkannya untuk korban.
    Ia juga bersikap adil kepada teman-temannya.
    “Satu-satunya sikap tidak adil dari Johnson barangkali kepada dirinya sendiri. Dia kurang istirahat,” tutur Usman.
    “Selamat beristirahat dalam damai, Bung Johnson,” tambahnya.
    Sementara itu, melalui akun Instagram resmi, PBHI menyebut Johnson sebagai sosok yang teguh membela nilai HAM dan keadilan sosial.
    Ia berkontribusi besar dalam memperjuangkan hak dan nasib korban pelanggaran HAM.
    “Termasuk keterlibatannya dalam advokasi kasus-kasus di Timor Leste pasca konflik, yang menunjukkan komitmen lintas batasnya terhadap internasional,” bunyi keterangan tersebut.
    PBHI menyatakan, pengabdian dan keberanian Johnson menjadi teladan bagi generasi selanjutnya yang memperjuangkan HAM di Indonesia dan Asia Tenggara.
    “Semoga semangat perjuangan almarhum terus hidup dalam setiap upaya membela mereka yang tertindas,” tulis PBHI.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Houthi Bebaskan Model Wanita yang Ditangkap Sejak 2021

    Houthi Bebaskan Model Wanita yang Ditangkap Sejak 2021

    Sanaa

    Pemberontak Houthi di Yaman membebaskan model Entisar al-Hammadi (23) setelah hampir 5 tahun mendekam di penjara. Hammadi ditangkap saat melakukan pemotretan di Sanaa.

    Dilansir AFP, Minggu (26/10/2025), Hammadi dijatuhi hukuman 5 tahun penjara atas tuduhan prostitusi, penyalahgunaan narkoba, dan percabulan.

    Pengacara Hammadi dan kelompok hak asasi manusia menyebut tuduhan Houthi itu palsu dan menyasar kebebasan perempuan.

    “Entisar al-Hammadi dibebaskan kemarin malam dan kini berada di rumahnya. Entisar menderita berbagai penyakit dan kondisinya memburuk akibat ketidakadilan yang dialaminya,” ujar pengacaranya, Khaled al-Kamal.

    Hammadi telah mencoba bunuh diri pada tahun 2021. Ibu Hammadi merupakan warga Etiopia dan ayahnya merupakan warga Yaman.

    Hammadi telah mengunggah lusinan foto daring mengenakan pakaian tradisional, celana jin, atau jaket kulit, baik dengan maupun tanpa jilbab. Dia juga memiliki ribuan pengikut di Instagram dan Facebook.

    “Dia dipaksa untuk ‘mengaku’ atas beberapa pelanggaran termasuk kepemilikan narkoba dan prostitusi,” ujar Amnesty International.

    Kekerasan terhadap perempuan, terutama di wilayah yang dikuasai Houthi, melonjak setelah Yaman dilanda perang saudara pada tahun 2014. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut konflik itu telah menciptakan krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

    (haf/imk)

  • Sekjen Golkar Bicara Soeharto, ‘Bapak Pembangunan’ yang Dianggap Layak Jadi Pahlawan Nasional – Page 3

    Sekjen Golkar Bicara Soeharto, ‘Bapak Pembangunan’ yang Dianggap Layak Jadi Pahlawan Nasional – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Empat puluh nama masuk daftar usulan pahlawan nasional tahun ini. Namun, ada satu nama yang langsung jadi bahan perbincangan, ialah nama Presiden ke-2 RI Soeharto.

    Namanya dinilai telah memenuhi syarat, dan berkas usulan itu sudah diserahkan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf ke Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Selasa 21 Oktober 2025. Sejak saat itu, ruang publik kembali riuh.

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, salah satunya yang bersuara keras menolak usulan tersebut. Bahkan, dipandang ini sebagai akhir dari reformasi jika gelar pahlawan nasional itu diberikan.

    Namun, berbeda halnya oleh Sekretaris Jenderal Golkar, Sarmuji. Soeharto dipandangnya layak menyandang gelar pahalawan nasional, karena terbukti sejarah. Salah satunya dikenal sebagai bapak pembangunan.

    “Pak Harto juga begitu, sampai saat ini orang masih terngiang-ngiang Pak Harto sebagai bapak pembangunan,” kata Sarmuji di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Rabu (22/10/2025).

    Menurut dia, di era pemerintahan Soeharto, Indonesia mengalami swasembada pangan. Bahkan, terjadi transformasi teknologi yang dianggap membuat bangga masyarakat kala itu.

    “Kita mengalami swasembada panggan di jaman Pak Harto, teknologinya juga begitu, kita waktu itu bangga sekali dengan kemampuan dirgantara kita, itu semua karena jasa-jasa Pak Harto,” kata dia.