NGO: Amnesty Internasional

  • Amnesty Internasional Desak Evaluasi dan Revisi Menyeluruh UU ITE – Halaman all

    Amnesty Internasional Desak Evaluasi dan Revisi Menyeluruh UU ITE – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mendesak adanya evaluasi dan revisi menyeluruh UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

    Diketahui Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak berlaku bagi sejumlah pihak. Diantaranya pemerintah, institusi dan korporasi.

    Hal tersebut berdasarkan Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang dimohonkan oleh Pemohon atas nama Daniel F. M. Tangkilisan.

    “Putusan MK semakin menegaskan bahwa terdapat masalah kronis dalam implementasi UU ITE di masyarakat,” kata Usman Hamid, Jumat (2/5/2025).

    Melalui putusan tersebut, menurutnya MK telah menjalankan perannya sebagai lembaga yudikatif dengan mengurangi risiko pelanggaran HAM. Lewat penggunaan sewenang-wenang pasal pencemaran nama baik oleh negara dan korporasi. 

    Meski begitu kata Usman Hamid, ancaman terhadap kebebasan berekspresi akan tetap ada. Sebelum pemerintah dan DPR merevisi  pasal pencemaran nama baik tersebut agar menutup celah bagi siapapun menyalahgunakannya untuk membungkam kritik di masyarakat. 

    “Amnesty International menentang undang-undang yang mengkriminalisasi pencemaran nama baik, baik tokoh publik atau pribadi. Masalah tersebut seharusnya diselesaikan melalui gugatan perdata. Lembaga negara sendiri bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia,” imbuhnya.

    Lanjutnya putusan yang mengecualikan ruang digital sebagai delik pidana dalam UU ITE juga memberikan jaminan kebebasan berekspresi di dunia siber. 

    “Patroli siber Polri yang sering menarget ekspresi damai di ruang digital harus segera dihentikan dengan adanya putusan MK tersebut,” kata Usman Hamid.

    Kebebasan berpendapat, kata dia adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945. 

    “Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, standar HAM internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan,” imbuhnya.

    Putusan MK tersebut kata Usman Hamid juga harus dibaca sebagai momentum bagi negara untuk segera mereformasi kebijakan yang selama ini membungkam kritik. 

    “Pemerintah, parlemen, dan aparat penegak hukum memiliki kewajiban konstitusional untuk menindaklanjuti putusan ini dengan mengevaluasi dan merevisi UU ITE secara menyeluruh,” lanjutnya.

    Termasuk, kata Usman Hamid pasal-pasal bermasalah lainnya seperti diantarnya ujaran kebencian dan penodaan agama yang sering dijadikan sebagai alat kriminalisasi ekspresi damai baik di ruang fisik maupun digital. 

    “Juga aturan-aturan lainnya yang membuka ruang kriminalisasi terhadap ekspresi warga harus dihapus atau diubah agar tidak lagi digunakan sebagai alat pembungkam suara-suara kritis,” tandasnya.

     

     

  • Usulan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Tuai Penolakan, Amnesty Internasional: Langgar Amanat Reformasi

    Usulan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Tuai Penolakan, Amnesty Internasional: Langgar Amanat Reformasi

    “Tanpa mempertimbangkan semua masalah tersebut, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hanyalah upaya menghapus dosa-dosa Soeharto dan memutarbalikkan sejarah,” tegas Usman.

    Usman juga mengingatkan bahwa pemerintah semestinya lebih fokus menuntaskan janji-janji reformasi, termasuk pengusutan pelanggaran HAM yang diakui negara melalui TAP MPR dan pernyataan resmi Presiden RI.

    Sejumlah peristiwa kelam seperti Tragedi 1965-1966, Penembakan Misterius, Tanjung Priok, Talangsari, hingga Trisakti dan Semanggi, disebutnya masih menyisakan luka dan pertanyaan besar yang belum terjawab oleh negara.

    Latar belakang usulan ini mengemuka kembali setelah Kementerian Sosial melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) memasukkan nama Soeharto dalam daftar calon penerima gelar Pahlawan Nasional pada Maret 2025. Usulan serupa juga sempat disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo pada September 2024.

    Menanggapi penolakan terhadap usulan tersebut, Prasetyo Hadi menyatakan bahwa tidak ada tokoh yang sempurna.

    “Menurut kami merasa, apa salahnya juga? Menurut kami penghormatan presiden itu sudah sewajarnya,” ucapnya kepada media, Senin (21/4/2025).

    Namun, pernyataan tersebut tidak mengubah pendirian Amnesty International Indonesia yang tetap meminta agar negara tidak melupakan sejarah dan menghormati amanat reformasi untuk menegakkan keadilan bagi para korban. (Wahyuni/Fajar)

  • 3 Poin Pro dan Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ada yang Kenang Orde Baru – Halaman all

    3 Poin Pro dan Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ada yang Kenang Orde Baru – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Dukungan hingga penolakan alias pro dan kontra mencuat atas wacana pengusulan Presiden ke-2 RI, Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.

    Wacana tersebut sebelumnya diusulkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) dengan mengajukan 10 nama, termasuk nama mantan mertua Presiden Prabowo Subianto.

    Istana dalam hal ini mendukung atas usulan tersebut.

    Sementara penolakan dilayangkan oleh sejumlah pihak, termasuk KontraS dan Amnesty Internasional Indonesia.

    Mereka membubuhkan sejumlah catatan yang menjadi alasan tak setuju dengan usulan tersebut.

    Berikut fakta-faktanya:

    1. Istana Tak Masalah

    Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, (29/10/2024). (Tribunnews.com/Taufik Ismail)

    Istana melalui Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyatakan bahwa tidak ada masalah terkait usulan Kementerian Sosial yang memasukkan Presiden kedua RI, Soeharto, sebagai calon Pahlawan Nasional.

    Ia menilai bahwa para mantan presiden layak mendapatkan penghormatan dari negara atas jasa-jasa yang telah mereka berikan.

    “Usulan dari Kementerian Sosial terhadap Presiden Soeharto, saya kira kalau kami merasa bahwa apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan presiden itu sudah sewajarnya untuk kita mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara kita,” ujar Prasetyo di Wisma Negara, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/4/2025).

    Lebih lanjut, Prasetyo mengimbau agar masyarakat tidak selalu fokus pada kekurangan seseorang, melainkan melihat kontribusi dan pencapaian yang telah diberikan kepada bangsa.

    Ia menegaskan bahwa penghormatan kepada para pemimpin terdahulu penting untuk dijaga, sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai pentingnya menghargai jasa para pendahulu.

    “Mulai dari Bung Karno dengan segala dinamika dan permasalahan yang dihadapi masing-masing, kemudian Pak Harto, Pak Habibie, dan seterusnya. Gus Dur, Bu Mega, Pak SBY, Pak Jokowi, semua punya jasa. Tidak mudah menjadi presiden dengan jumlah penduduk yang demikian besar,” lanjutnya.

    Terkait kritik terhadap Soeharto atas berbagai hal yang terjadi di masa lalu, Prasetyo berpandangan bahwa hal tersebut sangat bergantung pada perspektif masing-masing.

    Ia menegaskan bahwa setiap manusia memiliki kekurangan.

    “Tapi sekali lagi yang tadi saya sampaikan, semangatnya pun Bapak Presiden bukan di situ. Semangatnya kita itu adalah kita itu harus terus menghargai, menghargai, memberikan penghormatan apalagi kepada para Presiden kita,” tambahnya.

    Meski demikian, ia menegaskan bahwa hingga kini belum ada pembahasan secara khusus mengenai usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

    “Jadi menurut saya tidak ada masalah. Tapi kita belum membahas itu secara khusus,” ucap Prasetyo.

    2. Amnesti Sebut Pelanggaran Ham Berat

    USMAN HAMID – Direktur Eksekuif Amnesty Internasional Usman Hamid bersama sejumlah unsur dari masyarakat sipil setelah beraudiensi dengan Komisi I DPR membahas RUU TNI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/3/2025) (Tribunnews.com/Reza Deni)

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengkritik pernyataan Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, yang tidak mempermasalahkan usulan menjadikan Presiden ke-2 RI, Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    Usman memandang pernyataan Prasetyo Hadi tidak sensitif terhadap perasaan korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

    “Pernyataan Mensesneg Prasetyo Hadi ahistoris dan tidak sensitif terhadap perasaan korban-korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi selama Orde Baru,” kata Usman saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (22/4/2025).

    Menurut dia usulan menjadikan Soeharto menjadi pahlawan nasional juga mencederai amanat reformasi yang memandatkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi selama 32 tahun Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi.

    Keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu, menurutnya, hingga hari ini masih mendambakan keadilan yang tak kunjung datang.

    Oleh karena itu, kata Usman, usulan tersebut harus ditolak jika negara masih memiliki komitmen terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu.

    “Apa yang salah? Yang salah adalah peranan Soeharto dalam kekerasan negara yang bersifat sistematis terhadap rakyatnya, pembredelan media massa, pelanggaran berat HAM, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur,” lanjut Usman.

    “Tanpa mempertimbangkan semua masalah tersebut, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hanyalah upaya menghapus dosa-dosa Soeharto dan memutarbalikkan sejarah,” sambung dia.

    Ketimbang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan, menurut Usman, pemerintah seharusnya fokus menunaikan komitmen untuk mengusut berbagai pelanggaran berat HAM selama era Soeharto yang telah diakui negara lewat berbagai TAP MPR pada awal reformasi hingga pernyataan Presiden pada Januari 2023. 

    Pelanggaran berat HAM tersebut, kata Usman, di antaranya Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, dan Penyerangan kantor PDI 27 Juli 1996.

    Selain itu juga, lanjut dia, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999, kejahatan kemanusiaan di Aceh, Timor Timur, Papua.

    “Dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum diusut tuntas oleh negara,” paparnya.

    3. Alasan KontraS

    Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dengan tegas menolak usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

    Dalam penolakan tersebut, KontraS menyebutkan dua alasan utama yang berkaitan dengan pemerintahan Orba atau Orde Baru yang dipimpin Soeharto.

    Pengingkaran terhadap Sejarah dan Kejahatan Masa Orde Baru

    Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina, menegaskan bahwa usulan pemberian gelar tersebut merupakan bentuk upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Soeharto selama masa pemerintahannya.

    Menurut Jane, Soeharto telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM), penyalahgunaan wewenang, dan kekerasan terhadap warga sipil yang tidak pernah diadili hingga kini.

    “Kami menilai usulan ini adalah langkah mundur yang berisiko menghapuskan kejahatan yang telah dilakukan oleh Soeharto,” kata Jane saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (19/3/2025).

    Rekam Jejak Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan

    Selain itu, KontraS juga menyoroti rekam jejak Soeharto yang terkait dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

    Berdasarkan data dari Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kriminal (UNODC) serta Bank Dunia pada 2007, Soeharto tercatat sebagai pemimpin yang paling korup di dunia pada abad ke-20, dengan jumlah aset yang dikorupsi mencapai sekitar USD 15 hingga 35 miliar.

    KontraS menyatakan bahwa Soeharto tidak memiliki integritas moral yang cukup untuk mendapatkan penghargaan seperti gelar Pahlawan Nasional.

    “Pengingkaran terhadap kemanusiaan dan demokrasi yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa ini, bukan alasan untuk memberikan gelar pahlawan kepada sosok yang telah menodai sejarah bangsa,” tambah Jane.

    Berdasarkan dua alasan utama tersebut, KontraS dengan tegas menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

    Mereka mendesak agar Menteri Sosial dan Dewan Gelar Pahlawan, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tidak mengusulkan nama Soeharto dalam daftar calon Pahlawan Nasional yang akan dikukuhkan pada tahun 2025.

    “Akhir kata, Soeharto tidak memiliki keteladanan dan integritas moral sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk diberikan gelar Pahlawan Nasional,” papar Jane.

    10 Nama Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

    KEMISKINAN EKSTREM – Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul di Gedung Aneka Bhakti Kemensos, Jakarta, Jumat (31/1/2025). Gus Ipul mengungkapkan Pemerintah masih menghitung besaran bantuan khusus untuk masyarakat miskin ekstrem. (Fahdi Fahlevi-Tribunnews.com) (Tribunnews.com/Fahdi Fahlevi)

    Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) membahas pengusulan calon Pahlawan Nasional tahun 2025.

    Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengatakan semangat kerukunan dan kebersamaan menjadi dasar penentuan gelar kali ini.

    “Nah, semangatnya Presiden sekarang ini kan semangat kerukunan, semangat kebersamaan, semangat merangkul, semangat persatuan. Mikul duwur mendem jero,” kata Gus Ipul melalui keterangan tertulis, Rabu (19/3/2025).

     Anggota TP2GP terdiri dari Staf Ahli, akademisi, budayawan, perwakilan BRIN, TNI, serta Perpustakaan Nasional.

    Selain lintas unsur sosial, mekanisme pengusulan Pahlawan Nasional juga harus melalui tahapan berjenjang dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat. 

    Gus Ipul memastikan proses pengusulan Pahlawan Nasional 2025 dipastikan berjalan transparan dan efektif.

    Kemensos dan TP2GP memastikan bahwa tokoh-tokoh yang diajukan memiliki kontribusi besar bagi bangsa, selaras dengan semangat persatuan dan kebersamaan yang dimiliki bangsa Indonesia.

    “Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kami. Jadi memang prosesnya dari bawah,” kata Gus Ipul.

    Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih mengungkapkan sudah ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025.

    Dari jumlah tersebut, empat nama merupakan usulan baru, sementara enam lainnya merupakan pengajuan kembali dari tahun-tahun sebelumnya.

    “Untuk tahun 2025 sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira Riyati.

    Beberapa tokoh yang kembali diusulkan, antara lain:

    K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur)
    Jenderal Soeharto (Jawa Tengah)
    K.H. Bisri Sansuri (Jawa Timur)
    Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah)
    Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh)
    K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat)

    Sementara itu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini, yaitu:

    Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali)
    Deman Tende (Sulawesi Barat)
    Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara)
    K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur)

    Nama-nama yang telah disepakati Dewan Gelar pada 2024 akan kembali diusulkan pada 2025.

    Hal ini dilakukan karena hingga saat ini belum ada keputusan dari Presiden terkait usulan tersebut.

    “Karena belum ada catatan apapun dari Presiden tentang usulan yang sudah dibuat oleh Menteri Sosial sebelumnya. Pastinya saya akan memberikan laporan agar pengangkatan gelar tahun ini bisa disertakan dengan tahun sebelumnya, tahun 2024. Jadi ada dua (usulan) bila Presiden berkenan,” kata Gus Ipul.

    Nama-nama yang telah disepakati Dewan Gelar pada 2024, antara lain Andi Makasau, Letjen Bambang Sugeng, Rahma El Yunusiah, Frans Seda, Letkol Muhammad Sroedji, AM Sangaji, Marsekal Rd. Soerjadi Soerjadarma, serta Sultan Muhammad Salahuddin. 

    Pengusulan calon pahlawan ini dibatasi sampai 11 April 2025.

    Setelah tahap verifikasi, dan sidang pleno TP2GP akan menyampaikan rekomendasi usulan calon Pahlawan Nasional dari Menteri Sosial kepada Presiden.

    Selanjutnya Presiden memilih daftar nama yang diajukan untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

    (Tribunnews.com/ Taufik Ismail, Gita Irawan, Fahdi Fahlevi)

  • Anggota DPR Minta Negara Hadirkan Keadilan Bagi Eks Pemain Sirkus OCI Taman Safari

    Anggota DPR Minta Negara Hadirkan Keadilan Bagi Eks Pemain Sirkus OCI Taman Safari

    PIKIRAN RAKYAT – Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez mendorong agar kasus dugaan penganiayaan dan eksploitasi para eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) Taman Safari diusut secara tuntas agar fakta yang terjadi di masa lalu benar-benar terungkap. Menurutnya, harus ada tanggung jawab yang diberikan kepada korban.

    “Kasus ini sebenarnya seperti pucuk es. Kejadian sudah lama, namun baru ramai terungkap sekarang. Meski begitu, negara harus menghadirkan keadilan bagi para mantan pemain sirkus di Taman Safari ini,” kata Gilang Dhielafararez, kepada wartawan Selasa, 22 April 2025.

    Dengan begitu Gilang menilai negara harus menghadirkan keadilan bagi para eks pemain sirkus OCI Taman Safari yang selama ini merasa kasusnya belum tuntas.

    “Konstitusi sudah mengatur jaminan dari negara untuk pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi setiap warganya. Jadi kasus ini harus diusut secara terang benderang, apalagi juga ada bantahan dari pemilik sirkus,” ujarnya. 

    Selain ituGilang pun menilai, rekomendasi Amnesty Internasional Indonesia soal tim pencari fakta (TPF) perlu untuk dipertimbangkan. 

    Dia mengatakan, Tim pencari fakta ini dianggap penting untuk mengungkap kegagalan negara di masa lalu dalam menghadirkan keadilan bagi para korban sekaligus untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM berat yang dialami eks pemain sirkus OCI. 

    “Negara perlu mengakomodir para pemain sirkus ini agar mereka mendapat keadilan. Dan saya kira, DPR bisa ikut memfasilitasinya,” ungkapnya.

    Terlebih, kata Gilang, dugaan kasus eksploitasi dan penganiayaan mantan pegawai sirkus OCI harus dipertanggungjawabkan di mata hukum.

    “Kita tidak boleh berhenti bahwa kasus ini sudah kedaluwarsa. Walau kasus lama, masih bisa dibuka lagi dan diusut tuntas. Kasus kedaluwarsa bukan berarti para korban ini tidak berhak memperoleh keadilan,” ujarnya.

    “Dan perlu ditelusuri juga mengapa saat itu kasus hukumnya dihentikan. Kalau kurang bukti, kenapa tidak ditelusuri secara mendalam? Ini menyangkut hak asasi manusia yang terlanggar lho,” imbuhnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Fenomena Tentara Kembali Masuk Kampus, Dejavu Orba?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        21 April 2025

    Fenomena Tentara Kembali Masuk Kampus, Dejavu Orba? Nasional 21 April 2025

    Fenomena Tentara Kembali Masuk Kampus, Dejavu Orba?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kehadiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) di lingkungan kampus kembali menjadi sorotan publik.
    Sejumlah pengamat dan akademisi menilai fenomena ini sebagai kemunduran demokrasi yang mengingatkan pada masa pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto, yang dikenal dengan sebutan
    Orde Baru
    (Orba).
    Pada masa itu, militer memiliki peran dominan dalam kehidupan sipil, termasuk institusi pendidikan.
    Lantas, seperti apa kritik pengamat dan bagaimana peristiwa TNI kembali masuk kampus yang mengingatkan pada masa Orde Baru itu?
    Dan bagaimana TNI merespons fenomena ini?
    Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Centra Initiative, Al Araf, mengatakan, fenomena militer masuk ke kampus pernah terjadi di era Orde Baru saat Soeharto berkuasa.
    Hal ini dia ungkapkan setelah fenomena militer masuk kampus di acara mahasiswa yang terus berulang belakangan ini.
    “Militer masuk di wilayah kampus pernah terjadi pada era 1970-1980, pada waktu itu peristiwa masuknya tentara ke kampus ITB itu tahun 70-80an,” kata Araf saat dihubungi melalui telepon, Minggu (20/4/2025).
    Namun, peristiwa itu terjadi lagi.
    Menurut Araf, hal ini menandakan sebuah kemunduran demokrasi yang semakin nyata, khususnya kemunduran tata kelola pertahanan Indonesia.
    “Tapi sekarang terjadi sehingga ini menjadi preseden buruk dan mundur ke belakang kita dalam konteks tata kelola pertahanan di mana militer masuk kembali ke wilayah kampus,” kata dia.
    Sementara itu, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) sekaligus Pengamat Militer, Khairul Fahmi, menilai kembali masuknya TNI ke kampus adalah inisiatif yang kelewat batas atau kebablasan.
    “Saya melihatnya lebih sebagai indikasi adanya inisiatif lapangan yang kebablasan, bukan kebijakan sistemik,” ujar Khairul kepada Kompas.com, Jumat (18/4/2025).
    Ia menilai, kejadian ini bisa jadi merupakan inisiatif dari anggota di lapangan yang diambil berdasarkan penilaian sendiri tanpa mengetahui batasan kewenangan.
    Untuk menanggulangi hal ini, menurutnya, pimpinan TNI perlu memberikan penjelasan serta meluruskan isu-isu yang beredar.
    Kompas.com mencatat total 5 peristiwa
    TNI masuk kampus
    yang terjadi sejak Maret 2025.
    Pertemuan pada 24 Maret 2025 terjadi antara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Kodim 0701 Banyumas, Jawa Tengah, yang dilatarbelakangi aksi protes RUU TNI pada 21 Maret 2025.
    Peristiwa kedua, pada 25 Maret, di mana mahasiswa Papua mengaku merasa terancam dengan beredarnya surat dari Komando Distrik Militer 1707/Merauke yang dikirimkan kepada Sekretariat Daerah Merauke untuk meminta data mahasiswa.
    Di awal surat, Kodim menjelaskan dua dasar permintaan data tersebut, yaitu program kerja bidang intelijen/pengamanan dan pertimbangan komando serta Staf Kodim 1707/Merauke.
    Ketiga, pengumuman kerja sama antara TNI dan Universitas Udayana.
    Meski perjanjian itu diteken oleh Rektor Universitas Udayana, I Ketut Sudarsana, dan Panglima Kodam IX/Udayana, Muhammad Zamroni, atas nama Kepala Staf Angkatan Darat pada 5 Maret di Denpasar, informasi tersebut menjadi sorotan pada 26 Maret.
    Peristiwa keempat adalah kedatangan anggota TNI dalam diskusi bertema “Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik,” di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, pada 14 April 2025.
    Laporan dari Amnesty Internasional Indonesia menyebut, anggota TNI itu menanyakan identitas pribadi para panitia diskusi secara perinci, mulai dari nama, tempat tinggal, dan jenjang semester.
    Terakhir, peristiwa kedatangan TNI ke kampus Universitas Indonesia pada 16 April 2025.
    Kabar yang viral di media sosial itu menyebutkan TNI masuk kampus Universitas Indonesia (UI) saat ada kegiatan BEM.
    Padahal, pihak rektorat UI menyatakan tidak mengundang TNI masuk area kampusnya untuk menghadiri kegiatan tersebut.
    Kehadiran sejumlah anggota TNI di area Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, dikabarkan terpantau pada Rabu (16/4) pukul 23.00 WIB malam.
    Malam itu, mahasiswa sedang menggelar Konsolidasi Nasional Mahasiswa di Pusgiwa UI.
    Pihak yang hadir adalah perwakilan BEM pelbagai kampus dan organisasi mahasiswa lain dari seluruh Indonesia.
    Mereka membahas isu kebangsaan.
    Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menegaskan, TNI tidak melakukan intimidasi terhadap mahasiswa ketika masuk ke kampus seperti yang dikabarkan di media sosial.
    Ia pun menilai, persepsi intimidasi TNI terhadap mahasiswa itu sebagai bentuk rongrongan kekuasaan.
    “Nah ini menurut saya ada pihak yang pengin merongrong pemerintah dengan memojokkan TNI dan mahasiswa,” kata Kristomei kepada Kompas.com, Jumat.
    Dia menanggapi narasi yang muncul di media sosial perihal kedatangan aparat TNI di kampus UI saat hari berlangsungnya Konsolidasi Nasional Mahasiswa di Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa UI).
    Kristomei melihat unggahan dari akun Instagram @pantauaparat yang menarasikan kehadiran aparat TNI di lingkungan kampus sebagai bentuk intimidasi dan pelanggaran kebebasan akademik.
    Pada akun Instagram itu, ada foto peristiwa kedatangan anggota TNI di UI Rabu (16/4) lalu.
    “Intimidasinya di mana?” ujar Kristomei.
    Kristomei menjelaskan bahwa tentara datang karena diundang mahasiswa yang sudah menjadi sahabat.
    “Cuma narasi yang dibuat adalah seolah-olah TNI mengawasi diskusi. Itu tak ada kaitannya,” tepis Kristomei.
    Lebih lanjut, ia juga menegaskan peristiwa tentara masuk kampus bukan upaya mengembalikan dwifungsi di era Orba.
    Jika ada yang mengaitkan dengan upaya mengembalikan dwifungsi, lanjut Kristomei, itu penilaian yang sangat berlebihan.
    “Kalau ketakutan terhadap TNI akan balik dwifungsi ABRI seperti dulu zaman Orba, ini menurut saya ketakutan yang berlebihan,” ujar Kristomei.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fenomena Tentara Kembali Masuk Kampus, Dejavu Orba?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        21 April 2025

    TNI Masuk Kampus, Pengamat: Preseden Buruk dan Mundur ke Belakang Nasional 20 April 2025

    TNI Masuk Kampus, Pengamat: Preseden Buruk dan Mundur ke Belakang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Centra Initiative,
    Al Araf
    , mengatakan, fenomena militer masuk ke
    kampus
    pernah terjadi di era
    Orde Baru
    saat Presiden Kedua RI, Soeharto, berkuasa.
    Hal ini dia ungkapkan setelah fenomena militer masuk kampus di acara mahasiswa yang terus berulang belakangan ini.
    “Militer masuk di wilayah kampus pernah terjadi pada era 1970-1980, pada waktu itu peristiwa masuknya tentara ke kampus ITB itu tahun 70-80an,” kata Araf saat dihubungi melalui telepon, Minggu (20/4/2025).
    Namun peristiwa buruk itu terjadi lagi, menurut Araf, hal ini menandakan sebuah kemunduran demokrasi yang semakin nyata, khususnya kemunduran tata kelola pertahanan Indonesia.
    “Tapi sekarang terjadi sehingga ini menjadi preseden buruk dan mundur ke belakang kita dalam konteks tata kelola pertahanan di mana militer masuk kembali ke wilayah kampus,” kata dia.
    “Nah dalam politik hak asasi manusia, hal-hal seperti itu bisa diduga sebagai bentuk intimidasi dan koersi terhadap mahasiswa, sementara pada sisi lain mahasiswa sedang melakukan konsolidasi terhadap dirinya,” imbuh Al Araf.
    Sebab itu, dia mendorong agar DPR-RI mengambil tindakan atas perlakuan
    TNI
    masuk kampus tersebut sebagai upaya koreksi.
    “Dengan demikian, DPR harus mengambil perannya sebagai wakil rakyat untuk mengoreksi langkah-langkah pemerintah, khususnya TNI yang masuk kampus tadi, yang memang secara nyata salah dan tidak sejalan dengan Undang-Undang TNI,” katanya.
    Sebagai informasi,
    TNI masuk kampus
    ini tercatat berulang kali terjadi sejak Maret 2025.
    Pertemuan pada 24 Maret 2025 terjadi antara Badan Eksekutif Mahasiswa dan Kodim 0701 Banyumas, Jawa Tengah, yang dilatarbelakangi aksi protes RUU TNI pada 21 Maret 2025.
    Pada 25 Maret, giliran mahasiswa Papua merasa terancam dengan beredarnya surat dari Komando Distrik Militer 1707/Merauke yang dikirimkan kepada Sekretariat Daerah Merauke untuk meminta data mahasiswa.
    Di awal surat, Kodim menjelaskan dua dasar permintaan data tersebut, yaitu program kerja bidang intelijen/pengamanan dan pertimbangan komando dan Staf Kodim 1707/Merauke.
    Ketiga, pengumuman kerja sama antara TNI dan Universitas Udayana.
    Meski perjanjian itu diteken oleh Rektor Universitas Udayana, I Ketut Sudarsana, dan Panglima Kodam IX/Udayana, Muhammad Zamroni, atas nama Kepala Staf Angkatan Darat pada 5 Maret di Denpasar, namun informasi tersebut menjadi sorotan pada 26 Maret.
    Peristiwa keempat adalah kedatangan anggota TNI dalam diskusi bertema “Fasisme Mengancam
    Kampus
    : Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik,” di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, pada 14 April 2025.
    Laporan dari Amnesty Internasional Indonesia menyebut, anggota TNI itu menanyakan identitas pribadi para panitia diskusi secara perinci, mulai dari nama, tempat tinggal, dan jenjang semester.
    Terakhir adalah peristiwa kedatangan TNI ke kampus Universitas Indonesia, 16 April 2025.
    Beredar kabar viral di media sosial, tentara masuk kampus Universitas Indonesia (UI) saat ada kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
    Pihak rektorat UI menyatakan tidak mengundang TNI masuk area kampusnya.
    Kehadiran sejumlah anggota TNI di area Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, dikabarkan terpantau pada Rabu (16/4) pukul 23.00 WIB malam lalu.
    Malam itu, mahasiswa sedang menggelar Konsolidasi Nasional Mahasiswa di Pusgiwa UI.
    Pihak yang hadir adalah perwakilan BEM pelbagai kampus dan organisasi mahasiswa lain dari seluruh Indonesia. Mereka membahas isu kebangsaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ahmad Manasra Bebas Usai Dipenjara Israel Sejak Usia 13 Tahun, Video Penangkapanya Bikin Geram Dunia

    Ahmad Manasra Bebas Usai Dipenjara Israel Sejak Usia 13 Tahun, Video Penangkapanya Bikin Geram Dunia

    PIKIRAN RAKYAT – Ahmad Manasra harus menghabiskan masa remaja di sel tahanan Israel. Pemuda Palestina itu ditangkap tentara Israel penjajah ketika masih berusia 13 tahun pada 2015 lalu.

    Kini, pihak berwenang Israel telah membebaskan Manasra pada Kamis, 10 April 2025 waktu setempat. Mendekam di penjara Israel selama hampir 10 tahun, dia dibebaskan saat berusia 23 tahun.

    Kantor berita Palestina, WAFA melaporkan bahwa keluarga Manasra telah menunggu kebebasannya di Penjara Nafha yang diperkirakan menjadi tempat penahanan Manasra.

    “Meskipun keluarganya menunggunya di Penjara Nafha tempat ia diperkirakan akan dibebaskan, mereka terkejut menerima panggilan telepon yang memberi tahu mereka bahwa Ahmad telah dibebaskan di kota Bir as-Sabi’, jauh dari gerbang penjara,” demikian pernyataan WAFA.

    WAFA melaporkan Manasra telah dipenjara di sel isolasi selama beberapa tahun. Pihak keluarga telah berupaya melakukan permohonan agar Manasra bisa dibebaskan karena kondisi kesehatan fisik dan mental yang kian memburuk.

    “Kelompok advokasi tahanan menekankan bahwa Manasra adalah salah satu dari sejumlah tahanan yang menderita kondisi psikologis parah akibat kurungan isolasi yang berkepanjangan, dan menggambarkan kondisi kehidupan mereka sebagai sangat keras dan merugikan,” WAFA melaporkan.

    Pada Oktober 2015, kasus penangkapan Manasra menyita perhatian dunia ketika dia dan sepupunya, Hassan diserang. Saat itu, Hassan ditembak mati dan video penyerangan tersebut muncul dan viral di media sosial.

    Manasra muda kala itu juga mengalami luka dan berteriak di tanah saat ditahan oleh pemukim Israel dengan cara yang kasar. Video yang mengganggu itu memicu kemarahan internasional dan menyoroti perlakuan yang lebih luas terhadap anak-anak Palestina di bawah umur dalam penahanan Israel.

    Kronologi penangkapan

    Dilaporkan Amnesty Internasional, Ahmad Manasra ditangkap pada bulan Oktober 2015 terkait dengan insiden penusukan di Yerusalem Timur yang diduduki. Meskipun ada bukti yang menunjukkan bahwa ia tidak terlibat dalam penusukan tersebut.

    Meskipun usianya masih muda, ia tetap diinterogasi dengan keras tanpa didampingi pengacara atau orangtuanya. Rekaman interogasinya, yang memperlihatkan ia dalam keadaan tertekan dan terluka, memicu kekhawatiran internasional.

    Pada tahun 2016, Ahmad Manasra divonis bersalah atas percobaan pembunuhan dalam proses hukum yang menimbulkan kekhawatiran serius tentang proses hukum dan hak-haknya sebagai seorang anak.

    Awalnya, ia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, kemudian dikurangi menjadi sembilan setengah tahun penjara. Permintaannya untuk pembebasan lebih awal atas dasar medis ditolak oleh komite pembebasan bersyarat Israel pada tahun 2022, yang mana keputusan tersebut dikuatkan oleh pengadilan Israel.

    Selama bertahun-tahun dipenjara, kesehatan mental Ahmad Manasra menurun drastis, terutama selama hampir dua tahun mendekam di sel isolasi sejak November 2021. Amnesty International berulang kali menyuarakan kekhawatirannya tentang kesejahteraan dan dampak buruk dari kurungan isolasi yang berkepanjangan, yang melanggar hukum internasional.

    Amnesty International secara konsisten menyoroti kasus Ahmad Manasra sebagai lambang pelanggaran hak asasi manusia sistemik yang dihadapi oleh anak-anak Palestina dalam sistem peradilan militer Israel.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • BEM SI Gelar Demo di DPR Siang ini, Desak Pencabutan UU TNI dan Tolak RUU Polri

    BEM SI Gelar Demo di DPR Siang ini, Desak Pencabutan UU TNI dan Tolak RUU Polri

    GELORA.CO – Koordinator Wilayah BEM Se-Jabodetabek Banten (BSJB) BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) Andhika Natawijaya menyampaikan pihaknya akan kembali menggelar demonstrasi bersama koalisi sipil pada siang ini di Gedung DPR. Aksi tersebut masih berkaitan dengan penolakan terhadap pengesahan UU TNI.

    “Jadi elemen mahasiswa termasuk BEM SI untuk saat ini tergabung dalam aksi dengan masyarakat sipil di daerahnya masing-masing,” kata Andhika melalui pesan tertulis saat dihubungi Tempo pada Kamis, 27 Maret 2025.

    Ketua BEM UNJ 2025 tersebut mengatakan ada tiga tuntutan yang nantinya akan disuarakan dalam aksi di Jakarta. Tiga tuntutan itu berisi seruan Indonesia Gelap, tuntutan pencabutan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI, serta penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau RUU Polri.

    Andhika menyampaikan bahwa gerakan aksi ini tidak hanya melibatkan mahasiswa dari berbagai kampus, tetapi juga elemen masyarakat sipil termasuk pekerja dan buruh. Aksi serupa, kata dia, juga dilaksanakan di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

    Meski begitu, untuk saat ini, pihaknya baru bisa memberikan konfirmasi bahwa aksi dengan tuntutan serupa juga akan digelar di Bogor. “Info yang saya dapat untuk aksi yang dilakukan hari ini juga ada di Bogor, di DPRD Kabupaten Bogor,” ujar dia.

    Dihubungi secara terpisah, Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid membenarkan kabar demonstrasi guna mendesak pemerintah segera mencabut UU TNI. “Militerisme dan oligarki semakin mengancam demokrasi kita. Revisi UU TNI membuka jalan bagi militer masuk ke ranah sipil, bertentangan dengan amanat reformasi yang menegaskan supremasi sipil,” kata Usman, Kamis.

    Di samping itu, aksi kali ini akan menyuarakan penolakan atas RUU Polri. Usman menilai revisi berupa perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut berpotensi memberikan otoritas eksesif berupa intervensi polisi di ranah sipil. “RUU Polri berpotensi memberikan kewenangan berlebih yang dapat memperkuat kontrol represif negara,” ujarnya.

    Ketua Centra Initiative Al Araf juga membenarkan aksi tersebut. Ia membagikan pamflet dengan Seruan Aksi Jakarta Melawan tertulis di bagian tengahnya. Tagar cabut revisi UU TNI, tolak UU Polri dan Indonesia gelap tampak menghiasi pamflet bernuansa merah dan hitam tersebut.

    Melalui pamflet yang ia bagikan, tertulis bahwa titik aksi pada hari ini akan kembali dilakukan di area sekitar gedung DPR RI dan akan dimulai pada pukul 13.30 WIB. Keterangan “Semua diundang kecuali aparat!” tertulis di bagian bawah pamflet. Meski demikian, Al Araf mengaku tidak tahu pasti jumlah massa yang akan berkumpul hari ini. “Saya kurang tahu pastinya berapa,” kata dia.

  • BKSAP DPR RI ajak Singapura dukung Palestina

    BKSAP DPR RI ajak Singapura dukung Palestina

    Jakarta (ANTARA) – Badan Kerja Sama Antara Parlemen (BKSAP) DPR RI dalam kunjungan diplomasinya ke Singapura mengajak negara tersebut turut aktif dalam menyuarakan pembelaan atas Palestina.

    Ketua BKSAP Mardani Ali Sera mengatakan bahwa Palestina adalah masalah kemanusiaan yang hakiki.

    “Kami sangat berharap agar Singapura juga menyuarakan hal ini demi kemerdekaan rakyat Palestina. Two state policy semoga secepatnya bisa direalisasikan,” kata Mardani dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Mardani juga menambahkan bahwa perlu tindak lanjut pertemuan parlemen ini dengan berbagai kegiatan bilateral, misalnya melakukan FGD (Focused Group Discussion) kedua negara dengan variasi topik, yang intinya adalah membangun kebersamaan antar negara.

    “Pada kesempatan ini kami juga meminta, jika memungkinkan, untuk mengadakan kerja sama lebih banyak-dan-dalam secara bersama, misalnya mengadakan FGD, atau pertemuan intensif lainnya’’ ujarnya.

    Menanggapi ajakan Indonesia, Chairman of the Singapore-Southeast Asia Regional Parliamentary Group Patrick Tay mengaku bahwa Palestina juga menjadi perhatian Parlemen Singapura. Tak hanya kalangan orang tua, anak-anak muda di sini juga prihatin atas kejadian di Palestina.

    “Mereka mengamati melalui media sosial tentang genosida yang terjadi di sana. Kami (Singapura) mendukung langkah progresif Indonesia sebagai pilar utama menyuarakan isu ini. Dan kami akan menjadi bagian mendukung di berbagai kesempatan, termasuk di acara AIPA nanti,” tambah Patrick.

    Kunjungan ke Parlemen Singapura adalah rangkaian kegiatan Kunjungan Diplomasi (Kundip) BKSAP pasca dibentuknya GKSAB pada 30 Januari 2025 oleh Ketua DPR RI Puan Maharani.

    Singapura menjadi negara pertama yang dikunjungi oleh seluruh pimpinan BKSAP DPR RI Mardani Ali Sera dan tiga wakil ketua; Bramantyo Suwondo, Muhammad Husein Fadlulloh, Ravindra Airlangga, Irine Yusiana Roba Putri.

    Sementara itu, tuan rumah Parlemen Singapura diwakili oleh Chairman of the Singapore-Southeast Asia Regional Parliamentary Group Patrick Tay, Deputy Chair of the Singapore-Southeast Asia Regional Parliamentary Group Darryl David dan Member of the Singapore-Southeast Asia Regional Parliamentary Group and Member of Government Parliamentary Committee (GPC) Defence and Foreign Affairs Zhulkarnain Abdul Rahim.

    Selain tentang Palestina, banyak isu dibahas dalam pertemuan antar lembaga parlemen tersebut. Di antaranya tentang Rohingya, yang tentangnya, BKSAP baru saja mengadakan FGD dengan Amnesty Internasional.

    Kemudian, terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI). Bahkan untuk hal ini, anggota delegasi lainnya bertanya secara detail.

    Ravindra Airlangga, pimpinan yang juga anggota Komisi IV bertanya tentang perlindungan atas PMI di Singapura, mengingat jumlahnya sangat besar, mencapai lebih daripada 100 ribu orang.

    ‘’Kami sangat berharap parlemen Singapura turut membantu PMI untuk dilindungi secara legal konstitusional,” tutur Ravindra.

    Menanggapi hal ini, Patrick Tay menjawab, ‘’Jangankan melindungi mereka (PMI), bahkan warga negara kami sampai protes bahwa kami (pemerintah Singapura) dianggap lebih mementingkan warga asing daripada warganya sendiri. Hal ini berkaitan karena banyaknya asuransi dan perlindungan yang diberikan kepada PMI oleh pemerintah kami”.

    Mengakhiri pertemuan bilateral antar parlemen ini, Patrick Tay mengapresiasi kunjungan delegasi Indonesia mengingat telah menjadikan Singapura sebagai negara pertama yang didatangi oleh seluruh pimpinan BKSAP.

    “Ini menjadikan kebanggaan bagi kami, karena semua pimpinan parlemen dari BKSAP bisa mengunjungi kami. Sungguh sebuah kehormatan bagi negara Singapura,” pungkas Patrick.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Banyak Warga Gaza Diprediksi Akan Tewas dalam 3 Hari sebelum Gencatan Senjata, Pakar: Sangat Berat – Halaman all

    Banyak Warga Gaza Diprediksi Akan Tewas dalam 3 Hari sebelum Gencatan Senjata, Pakar: Sangat Berat – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Di tengah sambutan baik terhadap kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas, seorang pakar keamanan menyampaikan prediksi suram tentang nasib warga Palestina di Jalur Gaza.

    Andreas Krieg, nama pakar itu, hari-hari menjelang pemberlakukan gencatan senjata, yakni Minggu besok, akan menjadi sangat berat bagi warga Gaza.

    Dia mengatakan besar kemungkinan Israel akan memanfaatkan hari-hari sebelum gencatan untuk kembali mengobarkan perang dan mencari keuntungan sebanyak mungkin.

    “Tiga hari mendatang akan sangat berat bagi rakyat Gaza, banyak orang akan tewas, dan sayangnya hal itu juga menunjukkan bahwa perang itu sendiri belum selesai,” kata Krieg yang menjadi pengajar Sekolah Kajian Keamanan di King’s College, London, kepada Al Jazeera.

    “Gagasan mengenai adanya perjanjian bertahap mulai dari kesepakatan sander hingga lainnya yang lebih berkelanjutan mungkin adalah ide bagus, masalahnya adalah kita sudah melihat tahap satu pada bulan November 2024 dan itu kolaps,” katanya.

    Mirip dengan Krieg, eks diplomat AS bernama Adam Clements mengatakan ada kemungkinan besar bahwa serangan yang dilakukan baik oleh pasukan Israel maupun pejuang Palestina akan tetap berlanjut menjelang pemberlakukan gencatan.

    Clements juga mengaku “sangat berhati-hati” perihal kemampuan kedua belah pihak untuk menerapkan tahapan-tahapan gencatan senjata yang rumit.

    “Ini baru satu langkah. Masih ada banyak langkah selain ini,” katanya.

    Langkah-langkah itu misalnya pemulihan kembali lembaga pemerintahan di Gaza, pemulihan jaringan listrik dan sistem pendidikan, dan pembangunan kembali tanah Palestina itu.

    Perempuan lanjut usia di wilayah Gaza Utara duduk di antara lingkungan yang hancur karena serangan dan Israel. (Haaretz)

    Sementara itu, pasukan Israel dilaporkan terus menyerang Gaza beberapa jam setelah pengumuman kesepakatan gencatan senjata.

    Jet-jet perang Israel menyerang rumah sakit, tempat perlindungan, dan bangunan perumahan dengan serangan udara secara langsung.

    “Bahkan ketika kami meliput, pengeboman terus berlangsung tanpa jeda,” kata Anas al- Sharif, wartawan Al Jazeera di Kota Gaza.

    Sharif mengatakan ada suasana riang gembira di Kota Gaza ketika kabar gencatan senjata diketahui warga di Sana. Namun, suasana itu dihancurkan oleh serangan Israel.

    “Sebelumnya, kami melihat suasana riang bahagia di anatra para warga yang menghadapi perang ini selama satu setengah tahun, 467 hari penderitaan,” ujarnya.

    Gencatan senjata disebut sudah terlambat

    Amnesty Internasional mengatakan gencatan senjata memang memberikan secercah harapan bagi warga Gaza. Namun, gencatan itu “sudah sangat terlambat”.

    Sekretaris Jenderal Amnesty Internasional menyinggung kegagalan masyarakat internasional untuk menekan Israel agar memenuhi kewajibannya dan mengizinkan aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza.

    “Bagi warga Palestina yang sudah banyak menderita kehilangan, ada sedikit hal untuk dirayakan meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan keadilan dan ganti rugi atas kejahatan mengerikan yang sudah mereka alami,” kata Callamard.

    Dia mengklaim baik warga Palestina maupun Israel tidak akan bisa memulai masa depan cerah yang berdasarkan kesamaan hak dan keadilan jika akan penyebab konflik tidak ditangani.

    “Israel harus menghancurkan sistem apartheid brutal yang dipaksakan untuk mendominasi dan memindas warga Palestina dan mengakhir pendudukan ilegal di wilayah Palestina yang diduduki,” katanya.

    Orang-orang memeriksa lokasi serangan Israel terhadap sebuah rumah di Khan Yunis, di selatan Jalur Gaza, pada 7 Januari 2025, di tengah perang yang sedang berlangsung di wilayah Palestina antara Israel dan Hamas. (AFP/BASHAR TALEB)

    Hamas: Tentara Israel bertekut lutut

    Izzat al-Risheq, anggota Biro Politik Hamas, mengatakan gencatan senjata itu memenuhi semua syarat yang diminta Hamas.

    Syarat itu di antaranya penarikan mundur pasukan Israel sepenuhnya dari Gaza, pengembalian warga Gaza ke rumah masing-masing, dan mengakhiri perang di Gaza secara permanen.

    “Pasukan pendudukan dibuat bertekuk lutut,” kata al-Risheq dalam pernyataannya.

    Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah berbicara kepada Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, dan suksesornya, Donald Trump, perihal gencatan itu.

    Kepada keduanya, Netanyahu berterima kasih karena telah membantu “mempercepat” kesepakatan gencatan dan upaya pembebasan warga Israel yang masih disandera Hamas di Gaza.

    Kantor Netanyahu mengatakan orang nomor satu di Israel itu berkomitmen untuk memulangkan para sandera dengan cara apa pun.

    (*)