NGO: aktivis 98

  • Anies Nilai Pemerintah Lamban Tangani Bencana Sumatra, Faizal Assegaf: Tak Elok Bencana Jadi Arena Saling Tuding

    Anies Nilai Pemerintah Lamban Tangani Bencana Sumatra, Faizal Assegaf: Tak Elok Bencana Jadi Arena Saling Tuding

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Aktivis 98 Faizal Assegaf menyoroti pernyataan Anies Baswedan yang dinilai mulai menyalahkan pemerintah dalam penanganan bencana alam. Faizal menegaskan, bencana tidak sepatutnya dijadikan arena saling tuding antarelite politik, melainkan momentum memperkuat solidaritas nasional.

    Pernyataan tersebut disampaikan Faizal melalui akun X pribadinya, @faizalassegaf, pada Minggu (14/12/2025), menyikapi seruan Anies Baswedan terkait perlunya langkah cepat pemerintah dalam merespons bencana.

    “Bila merujuk pada seruan pak anies baswedan, perlu tindakan super cepat. Tapi terkesan Presiden & DPR gagal menggerakkan potensi yang tersedia,” tulis Faizal.

    Ia menilai lambannya pengambilan keputusan berpotensi memperbesar persoalan dan menyeret isu bencana ke ranah politik yang justru mengancam stabilitas pemerintahan.

    “Walhasil, lambannya membuat keputusan, semakin menggelinding isu bencana mengancam legitimasi kekuasaan. Hasilnya, bukan solusi tapi berujung petaka serius dalam bernegara,” lanjutnya.

    Meski demikian, Faizal mengingatkan agar perbedaan pandangan tidak berkembang menjadi saling menyalahkan, terlebih dalam situasi darurat kemanusiaan. Menurutnya, sikap tersebut justru tidak elok dan berpotensi merusak semangat kebersamaan.

    “Tapi hal itu harus dihindari! Tak elok bencana alam menjadi arena saling tuding & menyalahkan. Semua elemen bangsa harus berdiri dalam satu kesadaran kolektif atas panggilan nurani & kemanusiaan,” tegas Faizal.

    Ia menekankan bahwa solusi penanganan bencana berada di tangan pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto, dengan mengedepankan persatuan dan kekuatan nasional.

  • Anies Nilai Pemerintah Lamban Tangani Bencana Sumatra, Faizal Assegaf: Tak Elok Bencana Jadi Arena Saling Tuding

    Anies Nilai Pemerintah Lamban Tangani Bencana Sumatra, Faizal Assegaf: Tak Elok Bencana Jadi Arena Saling Tuding

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Aktivis 98 Faizal Assegaf menyoroti pernyataan Anies Baswedan yang dinilai mulai menyalahkan pemerintah dalam penanganan bencana alam. Faizal menegaskan, bencana tidak sepatutnya dijadikan arena saling tuding antarelite politik, melainkan momentum memperkuat solidaritas nasional.

    Pernyataan tersebut disampaikan Faizal melalui akun X pribadinya, @faizalassegaf, pada Minggu (14/12/2025), menyikapi seruan Anies Baswedan terkait perlunya langkah cepat pemerintah dalam merespons bencana.

    “Bila merujuk pada seruan pak anies baswedan, perlu tindakan super cepat. Tapi terkesan Presiden & DPR gagal menggerakkan potensi yang tersedia,” tulis Faizal.

    Ia menilai lambannya pengambilan keputusan berpotensi memperbesar persoalan dan menyeret isu bencana ke ranah politik yang justru mengancam stabilitas pemerintahan.

    “Walhasil, lambannya membuat keputusan, semakin menggelinding isu bencana mengancam legitimasi kekuasaan. Hasilnya, bukan solusi tapi berujung petaka serius dalam bernegara,” lanjutnya.

    Meski demikian, Faizal mengingatkan agar perbedaan pandangan tidak berkembang menjadi saling menyalahkan, terlebih dalam situasi darurat kemanusiaan. Menurutnya, sikap tersebut justru tidak elok dan berpotensi merusak semangat kebersamaan.

    “Tapi hal itu harus dihindari! Tak elok bencana alam menjadi arena saling tuding & menyalahkan. Semua elemen bangsa harus berdiri dalam satu kesadaran kolektif atas panggilan nurani & kemanusiaan,” tegas Faizal.

    Ia menekankan bahwa solusi penanganan bencana berada di tangan pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto, dengan mengedepankan persatuan dan kekuatan nasional.

  • Anies Nilai Pemerintah Lamban Tangani Bencana Sumatra, Faizal Assegaf: Tak Elok Bencana Jadi Arena Saling Tuding

    Anies Nilai Pemerintah Lamban Tangani Bencana Sumatra, Faizal Assegaf: Tak Elok Bencana Jadi Arena Saling Tuding

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Aktivis 98 Faizal Assegaf menyoroti pernyataan Anies Baswedan yang dinilai mulai menyalahkan pemerintah dalam penanganan bencana alam. Faizal menegaskan, bencana tidak sepatutnya dijadikan arena saling tuding antarelite politik, melainkan momentum memperkuat solidaritas nasional.

    Pernyataan tersebut disampaikan Faizal melalui akun X pribadinya, @faizalassegaf, pada Minggu (14/12/2025), menyikapi seruan Anies Baswedan terkait perlunya langkah cepat pemerintah dalam merespons bencana.

    “Bila merujuk pada seruan pak anies baswedan, perlu tindakan super cepat. Tapi terkesan Presiden & DPR gagal menggerakkan potensi yang tersedia,” tulis Faizal.

    Ia menilai lambannya pengambilan keputusan berpotensi memperbesar persoalan dan menyeret isu bencana ke ranah politik yang justru mengancam stabilitas pemerintahan.

    “Walhasil, lambannya membuat keputusan, semakin menggelinding isu bencana mengancam legitimasi kekuasaan. Hasilnya, bukan solusi tapi berujung petaka serius dalam bernegara,” lanjutnya.

    Meski demikian, Faizal mengingatkan agar perbedaan pandangan tidak berkembang menjadi saling menyalahkan, terlebih dalam situasi darurat kemanusiaan. Menurutnya, sikap tersebut justru tidak elok dan berpotensi merusak semangat kebersamaan.

    “Tapi hal itu harus dihindari! Tak elok bencana alam menjadi arena saling tuding & menyalahkan. Semua elemen bangsa harus berdiri dalam satu kesadaran kolektif atas panggilan nurani & kemanusiaan,” tegas Faizal.

    Ia menekankan bahwa solusi penanganan bencana berada di tangan pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto, dengan mengedepankan persatuan dan kekuatan nasional.

  • Front Pembebasan Rakyat dan Aktivis 98 Tolak Soeharto Bergelar Pahlawan Nasional

    Front Pembebasan Rakyat dan Aktivis 98 Tolak Soeharto Bergelar Pahlawan Nasional

    Surabaya (beritajatim.com) – Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali menuai penolakan. Front Pembebasan Rakyat (FPR), komunitas demokrasi partisipatoris yang beranggotakan sejumlah aktivis gerakan reformasi 1998 dari berbagai kampus, menyatakan sikap tegas menolak rencana tersebut.

    Mereka menilai bahwa pemberian gelar itu bukan hanya tidak tepat, tetapi juga berpotensi mengaburkan sejarah pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi yang terjadi selama Orde Baru.

    FPR menyampaikan bahwa gelar Pahlawan Nasional seharusnya hanya diberikan kepada figur yang memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan hak asasi rakyat.

    Menurut mereka, masa kekuasaan Soeharto justru dibangun di atas prahara 1965, ditandai oleh pembungkaman kebebasan sipil, korupsi sistemik, serta kekerasan terstruktur terhadap masyarakat sipil dan lawan politik.

    Agus Wiryono, salah satu anggota FPR alumnus Unesa, mengatakan bahwa sejarah tidak boleh dipoles demi kepentingan politik sesaat.

    “Kami hidup dan menyaksikan sendiri bagaimana ruang demokrasi dicabut dari rakyat. Penangkapan tanpa proses hukum, pembredelan media, dan represi kampus adalah bagian nyata dari kehidupan di bawah pemerintahan Soeharto. Mengangkatnya menjadi Pahlawan Nasional sama saja menutupi luka dan rasa kehilangan para korban,” ujar Agus.

    Senada dengan itu, Heru Krisdianto aktivis 98 lulusan Unair, menegaskan bahwa pemberian gelar tersebut merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi.

    “Tahun 1998 bukan sekadar peristiwa politik, tapi jeritan rakyat yang sudah tidak sanggup lagi menahan penindasan. Banyak kawan kami dipenjara, diculik, atau hilang hingga kini tak kembali. Gelar pahlawan itu tidak pantas untuk orang yang kekuasaannya berdiri di atas ketakutan,” kata Heru.

    Sementara itu, aktivis jebolan UK Petra, Onny Wiranda, menambahkan bahwa penghormatan terhadap sejarah harus dilakukan melalui keberanian mengakui fakta, bukan dengan melupakan dan memutihkan masa lalu yang kelam.

    “Bukan soal dendam. Ini soal kebenaran dan rasa hormat kepada para korban. Kalau negara ingin memberi teladan, maka teladannya bukan mengangkat figur yang melanggar hak rakyat, tetapi menghormati mereka yang memperjuangkan keberanian, keadilan, dan kebebasan,” jelas Onny.

    FPR menyerukan kepada pemerintah dan masyarakat luas untuk mempertimbangkan kembali rencana tersebut dengan mengingat nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan dalam Reformasi 1998. Mereka menegaskan bahwa bangsa ini hanya bisa melangkah maju dengan cara berdamai dengan sejarah melalui pengakuan yang jujur, bukan dengan menghapus jejak penderitaan rakyat.

    Dengan sikap ini, FPR berharap suara publik yang menginginkan keadilan sejarah tetap dijaga, sekaligus menjadi pengingat bahwa gelar pahlawan bukan sekadar gelar simbolik, melainkan tanggung jawab moral tentang siapa yang patut dikenang sebagai teladan bagi generasi masa depan. [tok/suf]

    FRONT PEMBEBASAN RAKYAT

    Heru Krisdianto (Unair)
    Agus Wiryono (Unesa)
    Onny Wiranda (UK. Petra)
    Dandik Katjasungkana (Unair)
    Aldi Karmailis (Unair)
    Andri Arianto (Unair)
    Matius Eko Purwanto (UWM)
    Eusebius Purwadi (Unair)
    Opi Maharani Banong (STIESIA)
    Andre Hapsara (UWM)

    Didik Iskandar (UWKS)
    Abdi Edison (Untag)
    Didik Nurhadi (Unesa)
    Achmad Hilmi (Unitomo)
    Rinto M Siagian (Unitomo)
    Ferry Irawan (Unitomo)
    Nina Agustin (Unitomo)
    Singgih Prayogo (Unitomo)
    Mochamad Verie (UWK)
    Moh Rouf (Unesa)

    Mei Indarwanti (Unesa)
    Yudhit Ciphardian (UK. Petra)
    Dewa Made (UWKS)
    Agatha Retnosari (ITS)
    Triyana Damayanti (Unair)
    Tita Sinta (UWKS)
    Rosallyn (UWM)
    Edwin Suryaatmaja (Unesa)
    Pramono (Unipra)
    Riyanto (Unesa)

    Moch. Irvan (Unesa)
    Winda (ITATS)
    I Putu Agus Fitrian HK (Stiesia)
    Leonardus Sugianto (Stiesia)
    Michael Kusumosularso (ITATS)

  • Penetapan Roy Suryo Tersangka Diduga untuk Tutupi Isu Ijazah Gibran

    Penetapan Roy Suryo Tersangka Diduga untuk Tutupi Isu Ijazah Gibran

    GELORA.CO – AKTIVIS 98 yang juga pegiat demokrasi, Andrianto, menyoroti munculnya isu ijazah Gibran Rakabuming Raka yang belakangan ramai diperbincangkan publik. Menurutnya, publik sebelumnya sudah menilai Gibran sebagai “anak haram konstitusi” karena dinilai tidak memenuhi syarat usia pencalonan saat maju sebagai calon wakil presiden. 

     

    Namun, setelah muncul tudingan dari Roy Suryo dan kelompoknya terkait dugaan Gibran tidak memiliki ijazah SMA, perdebatan publik semakin memanas. 

    “Publik bertanya-tanya, berarti Gibran ini double kuadrat kesalahannya. Sudah ditolong MK, ditambah lagi tidak memenuhi syarat dokumen pendidikan,” ujar Andrianto dalam podcast The Daily Buzz di Okezone, Jumat (7/11/2025).

     

    Andrianto menambahkan, pihak Roy Suryo bahkan disebut telah melakukan penelusuran hingga ke luar negeri, termasuk ke Singapura dan Australia, untuk mencari bukti terkait ijazah tersebut. 

    Menurut Andrianto, ada dugaan bahwa kasus tuduhan ijazah palsu Presiden Jokowi justru dimunculkan untuk mengalihkan perhatian dari isu ijazah Gibran. 

  • Pseudo-Demokrasi, Demokrasi Seolah-olah di Era Soeharto…

    Pseudo-Demokrasi, Demokrasi Seolah-olah di Era Soeharto…

    Pseudo-Demokrasi, Demokrasi Seolah-olah di Era Soeharto…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Aktivis 1998 sekaligus anggota DPR RI, Ansy Lema, menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
    Menurut dia,
    Soeharto
    justru meninggalkan warisan kelam bagi bangsa dalam bidang kemanusiaan, korupsi, dan
    demokrasi
    .
    “Dia (Soeharto) berkuasa sampai 32 tahun, dan kekayaannya semua diambil begini. Kemiskinan luar biasa. Gap ekonomi luar biasa,” kata Ansy, dalam diskusi bertajuk #SoehartoBukanPahlawan di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Rabu (5/11/2025).
    Ansy mengatakan, penolakannya didasari tiga alasan utama. Pertama, karena melakukan kejahatan kemanusiaan.
    Kedua, dugaan korupsi di era pemerintahannya. Ketiga, kejahatan demokrasi yang nyata saat Soeharto memimpin.
    Ia menuturkan, selama Orde Baru, kebebasan berserikat dan berekspresi dibatasi. Organisasi masyarakat, serikat pekerja, hingga media, berada di bawah kendali pemerintah.
    Menurut dia, sistem politik saat itu hanya formalitas belaka. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap tidak merepresentasikan kepentingan rakyat.
    “Dalam Orde Baru ada enggak demokrasi? Ada institusi politik. DPR ada. Eksekutif ada. Legislatif ada. Yudikatif ada. Tetapi cuma pajangan. Pemilu ada? Ada. Partai politik ada? Ada. Tetapi apa? Aksesoris,” kata Ansy.
    “Istilah keren yang orang politik bilang, pseudo-demokrasi. Demokrasi seolah-olah. Demokrasi prosedural yang ada. Demokrasi substansial enggak ada,” ucap dia.
    Ansy juga menilai, teori pembangunan Orde Baru yang disebut
    trickle down effect
    tidak pernah benar-benar terjadi.
    Dia menuturkan, pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang dekat kekuasaan.
    “Kekayaan pertumbuhan ekonomi ini dicuri dan terkumpul di tangan segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin,” kata dia.
    Ia menilai, seseorang layak disebut
    pahlawan
    bila memiliki integritas dan nilai moral. Ansy menekankan bahwa indikator tersebut tidak dimiliki oleh Soeharto.
    “Ada demokrasi zaman Orde Baru? Tidak. Ada penghormatan terhadap hak asasi manusia? Tidak. Ada transparansi dan akuntabilitas? Tidak,” tegas dia.
    Dalam kesempatan ini, Ansy turut menyoroti upaya penulisan ulang sejarah Orde Baru yang dinilainya berpotensi menghapus jejak pelanggaran masa lalu.
    “Itu mau dihilangkan kejahatan-kejahatan korupsi, kemanusiaan, dan kejahatan demokrasi di era Orde Baru. Supaya upaya menjadikan Soeharto pahlawan bisa lolos,” kata dia.
    Tidak sampai di situ, Ansy juga menyinggung sebagian mantan aktivis 1998 yang kini berpihak pada kekuasaan.
    Padahal, kekuatan rakyat bersatu luar biasa untuk menggulingkan Soeharto dari kekuasaan.
    “Gue heran kalau ada aktivis 98 dulu teriak lawan Soeharto, hari ini kok tiba-tiba bisa dukung,” ucap dia.
    Di sisi lain, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon menyatakan, Soeharto memenuhi syarat mendapat gelar pahlawan nasional.
    Hal itu disampaikan usai Fadli melaporkan 49 nama calon pahlawan nasional kepada Presiden Prabowo Subianto, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    “Tentu dari kami, dari tim GTK ini, telah melakukan juga kajian, penelitian, rapat ya, sidang terkait hal ini. Jadi, telah diseleksi tentu berdasarkan, kalau semuanya memenuhi syarat ya, jadi tidak ada yang tidak memenuhi syarat. Semua yang telah disampaikan ini memenuhi syarat,” kata Fadli.
    Ia menegaskan, Soeharto telah melalui seluruh tahapan penilaian, mulai dari usulan masyarakat di tingkat kabupaten/kota hingga pemerintah provinsi.
    “Dari TP2GP yang di dalamnya juga, di dalam TP2GP juga akan ada sejarawan, ada macam-macam tuh orang-orangnya di dalam itu, ada sejarawan, ada tokoh agama, ada akademisi, ada aktivis, ya, kemudian di Kementerian Sosial dibawa ke kami. Jadi, memenuhi syarat dari bawah,” ujar dia.
    Menurut Fadli, nama Soeharto bahkan telah diusulkan sebanyak tiga kali.
    “Nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya. Dan juga beberapa nama lain, ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya yang sudah memenuhi syarat,” tutur dia.
    Fadli kemudian memerinci jasa Soeharto yang dinilai layak mendapat penghargaan negara, di antaranya kepemimpinan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
    “Serangan Umum 1 Maret itu salah satu yang menjadi tonggak Republik Indonesia itu bisa diakui oleh dunia, masih ada. Karena Belanda waktu itu mengatakan Republik Indonesia sudah
    cease to exist
    , sudah tidak ada lagi,” ujar dia.
    Selain itu, lanjut Fadli, Soeharto juga memiliki peran penting dalam operasi pembebasan Irian Barat dan berbagai operasi militer lainnya.
    “Pembebasan Irian Barat dan lain-lain. Jadi ada, ada rinciannya. Nanti rinciannya kalau mau lebih panjang nanti saya berikan,” kata dia.
    Sebelumnya, pemerintah diketahui tengah menggodok 40 nama calon pahlawan nasional.
    Beberapa di antaranya adalah Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan aktivis buruh Marsinah.
    Namun, wacana pemberian gelar kepada Soeharto menuai penolakan dari berbagai pihak. Sebanyak 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana tersebut.
    Di sisi lain, dukungan datang dari Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Ia menilai, jasa Soeharto sangat besar bagi bangsa dan negara.
    “Kami juga tadi melaporkan kepada Bapak Presiden selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar. Saya bilang, Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional,” kata Bahlil, usai menemui Prabowo di Istana Kepresidenan, Senin (3/11/2025).
    Menurut Bahlil, Soeharto adalah tokoh penting di balik kebangkitan ekonomi Indonesia dan dikenal sebagai “Macan Asia” pada masa Orde Baru.
    “Soeharto juga merupakan pendiri Partai Golkar dan sudah menjabat sebagai Presiden RI selama lebih dari 30 tahun,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Aktivis Tapol Napol Jawa Timur Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Nilai Soemitro Lebih Layak

    Aktivis Tapol Napol Jawa Timur Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Nilai Soemitro Lebih Layak

    Surabaya (beritajatim.com) — Polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mencuat dan menuai penolakan dari sejumlah kalangan.

    Pemerintah melalui Menteri Sosial Saifullah Yusuf sebelumnya menyebut bahwa Soeharto berpeluang mendapat gelar tersebut sebagai bentuk pengakuan atas jasa-jasanya dalam pembangunan bangsa.

    Namun rencana ini langsung mendapatkan kritik keras, khususnya dari mantan tahanan politik era Orde Baru.

    Ketua Forum Tapol Napol Jawa Timur, Trio Marpaung, menegaskan bahwa Soeharto justru merupakan sosok yang tidak layak diberikan gelar kehormatan negara.

    “Mantan Presiden Soeharto tidak layak mendapat gelar Pahlawan Nasional. Ada banyak pelanggaran HAM di era Orba. Dengan dalih pembangunan dan stabilitas politik, pemerintah Soeharto selalu melakukan kekerasan, mulai penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, bahkan pembunuhan terhadap para pengkritiknya,” ujar Trio di Surabaya, Rabu (5/11/2025).

    Trio menilai pemberian gelar tersebut justru akan menjadi preseden buruk bagi sejarah bangsa dan memunculkan upaya pemutihan sejarah Orde Baru.

    “Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan mengkhianati keadilan dan semangat rekonsiliasi masa lalu. Ada upaya glorifikasi yang dilakukan beberapa pihak untuk memutihkan sejarah kekerasan Orde Baru,” ujarnya.

    Usulkan Soemitro sebagai Calon

    Di tengah perdebatan tersebut, Trio Marpaung justru mengusulkan tokoh nasional lain yang dianggap lebih layak mendapat gelar Pahlawan Nasional, yakni ekonom terkemuka Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

    “Saya melihat, jika pemerintah ingin memberikan gelar Pahlawan Nasional, maka Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo jauh lebih pantas. Beliau adalah Begawan Ekonomi Indonesia yang memajukan perekonomian bangsa,” tegas Trio.

    Trio Marpaung Aktivis 98 Jawa Timur

    Trio menyebut integritas moral Soemitro tidak diragukan dan jauh berbeda dibanding Soeharto.

    “Secara integritas moral, Soemitro tidak pernah melakukan KKN dan dugaan pelanggaran HAM berat. Berbeda jauh dengan Soeharto,” lanjut Aktivis ‘98 tersebut.

    Jasa Soemitro dalam Ekonomi Nasional

    Soemitro dikenal sebagai salah satu arsitek ekonomi Indonesia yang melahirkan sejumlah kebijakan fundamental di awal sejarah republik, antara lain:

    Pencetus Program Benteng (1950) untuk mendorong industrialisasi dan pemberdayaan pengusaha pribumi.
    Menjadi perumus fondasi ekonomi nasional yang menjadi arah pembangunan bangsa.
    Kontribusi Intelektual: Menulis sekitar 130 buku dan makalah, serta menjadi Pendiri Fakultas Ekonomi UI yang hingga kini menjadi salah satu pusat pendidikan ekonomi nasional.

    “Soemitro memenuhi syarat integritas moral yang ketat bagi seorang Pahlawan Nasional dan berkontribusi intelektual secara fundamental bagi ekonomi Indonesia di rezim manapun,” imbuh Trio.

    Trio juga menanggapi isu keterlibatan Soemitro dalam PRRI di Sumatera. Menurutnya, Soemitro telah mendapat amnesti dan kembali diangkat dalam jabatan pemerintahan.

    “Jika ada yang mempertanyakan tentang keterlibatan Soemitro dalam PRRI di Sumatera, maka kita wajib jujur bahwa beliau telah mendapat amnesti dan kembali aktif di pemerintahan. Pemberian amnesti ini menghapus konsekuensi pidana, sehingga integritas moralnya tetap terjaga,” pungkasnya. (ted)

  • Aktivis dukung penerbitan Perpres Ojol sebab sesuai aspirasi pengemudi

    Aktivis dukung penerbitan Perpres Ojol sebab sesuai aspirasi pengemudi

    “Perpres Ojol akan mendapat respons positif karena selaras dengan aspirasi teman-teman ojol yang kami dengar langsung selama turun ke bawah dalam forum warga peduli warga,”

    Jakarta (ANTARA) – Aktivis 98 Resolution Network Supriyanto mendukung Presiden Prabowo Subianto untuk menerbitkan Peraturan Presiden tentang Ojek Daring (Perpres Ojol) sebab hal tersebut sesuai dengan aspirasi para pengemudi.

    “Perpres Ojol akan mendapat respons positif karena selaras dengan aspirasi teman-teman ojol yang kami dengar langsung selama turun ke bawah dalam forum warga peduli warga,” ujar Supriyanto dalam keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

    Selain itu, dia mengatakan penerbitan Perpres Ojol dinilai dapat mengisi ruang di saat belum ada peraturan yang menjamin keadilan dan kesejahteraan ojol sekaligus keberlangsungan bisnis perusahaan operator.

    “Dengan demikian, sangat tepat jika Presiden Prabowo mengeluarkan payung hukum dalam bentuk peraturan presiden sembari menunggu proses pembuatan undang-undang di DPR RI yang sudah masuk prolegnas (program legislasi nasional),” katanya.

    Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan pemerintah tengah menyiapkan Perpres Ojol yang salah satunya mengatur perlindungan terhadap mitra pengemudi.

    Lebih lanjut Mensesneg mengatakan draf peraturan telah diterima oleh pihaknya, dan saat ini masih memerlukan komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan.

    Menurut dia, pemerintah perlu melakukan hal tersebut terlebih dahulu agar regulasi yang disusun dapat memberikan kepastian hukum sekaligus melindungi seluruh pihak yang terlibat.

    “Ya makanya kan dari draf itu kemudian kami pelajari. Kemudian ada yang masih perlu dikomunikasikan dengan semua pihak. Kami cari jalan keluar terbaik,” kata Mensesneg di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (24/10).

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Oligarkokrasi: Demokrasi Para Bandit

    Oligarkokrasi: Demokrasi Para Bandit

    OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI

       

    INDONESIA hari ini bukan lagi republik yang hidup dari cita-cita, melainkan pasar gelap kekuasaan tempat demokrasi dijual secara eceran dan hukum dilelang kepada penawar tertinggi. Kita masih menulis “negara hukum” dalam setiap pidato pejabat dan prasasti undang-undang, tapi itu hanya mantra kosong dari agama politik yang sudah kehilangan Tuhan-nya.

    Hukum tidak lagi menjadi lex suprema bagi keadilan, melainkan menjadi alat tawar-menawar bagi kuasa yang tumbuh di atas meja transaksi. Negeri ini bukan lagi republik, melainkan pasar loak moral, tempat hukum, suara rakyat, dan keadilan dinegosiasikan seperti barang bekas.

    Inilah masa ketika republik menjelma menjadi oligarkokrasi — perkawinan sesat antara kerakusan oligarki dan ritual demokrasi. Sebuah sistem busuk yang tetap memakai pakaian rakyat, tapi di dalamnya menyimpan perut para bandit.

    Oligarki Topeng Demokrasi

    Aristoteles pernah menulis bahwa oligarki adalah bentuk penyimpangan dari aristokrasi — kekuasaan yang seharusnya dijalankan oleh yang bijak, tapi justru dikuasai oleh yang berduit. Namun di Indonesia, penyimpangan itu sudah menjadi norma.

    Kita hidup dalam demokrasi kosmetik, di mana rakyat hanya menjadi figuran di panggung teater politik yang disutradarai oleh pemodal dan disiarkan oleh media yang sudah dibeli.

    Para politisi bicara soal “suara rakyat”, tapi yang mereka dengarkan hanyalah bisikan rekening donatur dan aroma proyek di koridor kekuasaan.

    Partai politik telah berubah menjadi korporasi politik, tempat loyalitas ditentukan bukan oleh ideologi, tapi oleh saldo. Mereka menukar idealisme dengan logistik, mengganti prinsip dengan proposal, dan menjual kedaulatan rakyat kepada sponsor.

    Dari rahim inilah lahir undang-undang cacat logika, regulasi yang memihak korporasi, serta kebijakan yang disusun bukan di parlemen, melainkan di ruang rapat direksi.

    Demokrasi kehilangan rasa malunya. Ia tidak lagi berbicara tentang keadilan, melainkan tentang harga untuk menunda kebangkrutan moral bangsa.

    Hukum: Pelacur Kekuasaan

    Dalam republik para bandit, hukum tidak lagi menjadi penjaga keadilan. Ia menjadi pelacur kekuasaan yang berganti wajah sesuai pesanan. Motto kuno salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) telah diganti diam-diam menjadi lex mercatoria potentiae — hukum milik pasar kekuasaan.

    Penegakan hukum berjalan bukan atas dasar kebenaran, melainkan siapa yang paling mampu membeli kesalahan.

    Lembaga-lembaga hukum kita, dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, banyak yang berubah menjadi buruh politik berkerah toga. Mereka bekerja bukan untuk menegakkan kebenaran, melainkan untuk mempercantik kebohongan dengan tinta legalitas. 

    Kasus besar dikebiri, koruptor disucikan, pelanggar HAM diberi panggung, dan kebenaran dibunuh secara administratif.

    Seperti dikatakan Achille Mbembe, inilah bentuk mutakhir dari necropolitics — kekuasaan yang menentukan siapa yang boleh hidup dalam hukum, dan siapa yang boleh dikubur di luar keadilan.

    Politik: Industri Kejahatan yang Dilegalkan

    Politik dalam sistem oligarkokrasi bukan lagi jalan pengabdian, melainkan industri kejahatan yang dilegalkan. Dari pembiayaan partai, jual beli tiket pencalonan, hingga proyek infrastruktur yang dikorupsi secara berjamaah — semuanya berputar dengan logika kapital. 

    Politik tidak lagi dipahami sebagai perjuangan ideologi, tapi sebagai bisnis dengan dividen kekuasaan dan return on investment.

    Hannah Arendt benar: “Revolusioner paling radikal sekalipun akan menjadi konservatif sehari setelah revolusinya berhasil.” 

    Para mantan reformis kini duduk di singgasana, menatap rakyat seperti statistik, dan menjadikan demokrasi sebagai merek dagang.

    Reformasi yang dulu berjanji membebaskan, kini menjadi merek politik yang digunakan untuk menjual ketakutan baru.

    Republik yang  Hilang Akal Sehat

    Ketika oligarki bertakhta di dalam demokrasi, republik kehilangan arah dan akal sehatnya. Institusi publik berubah menjadi mesin birokrasi tanpa hati, media menjadi corong penguasa, dan kampus menjadi ladang kompromi intelektual.

    Rakyat yang kritis dilabeli subversif, mahasiswa yang bersuara dikriminalisasi, dan pengacara yang jujur dikorbankan. Inilah republik yang membungkam nurani atas nama stabilitas.

    Satjipto Rahardjo pernah mengingatkan bahwa hukum seharusnya mengabdi kepada manusia. Tapi dalam oligarkokrasi, hukum mengabdi kepada tuan-tuan dengan jas mahal dan senyum palsu.

    Rule of law telah berubah menjadi rule by law — hukum digunakan bukan untuk mengontrol kekuasaan, melainkan untuk mengukuhkannya.

    Paradoks Masa Depan: Republik Tanpa Rakyat

    Jika keadaan ini dibiarkan, maka kita akan menyaksikan republik tanpa rakyat — negara tanpa warga, hukum tanpa keadilan, dan demokrasi tanpa jiwa. Pemilu menjadi ritual lima tahunan yang lebih mirip pesta syirik politik, tempat rakyat berdoa kepada berhala baru bernama elektabilitas.

    Negeri ini akan hidup dalam darurat moral permanen, di mana korupsi dianggap pintar, ketidakadilan dianggap realistis, dan kebohongan dianggap strategi.

    Indonesia akan terperangkap dalam fase post-democracy — demokrasi yang hidup hanya di konstitusi, tetapi mati di kenyataan. Sebuah republik yang berfungsi layaknya teater boneka, dengan aktor politik yang tertawa di depan kamera sementara tangan mereka mencuri di balik layar.

    Renaissance Politik dan Keberanian Sipil

    Mungkin belum terlambat. Sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani menolak tunduk.

    Bangsa ini memerlukan renaissance politik — kebangkitan moral dan intelektual yang tidak lagi takut kepada kekuasaan.

    Politik harus direbut kembali dari tangan para bandit dan dikembalikan kepada rakyat yang lapar akan keadilan. Hukum harus berhenti menjadi perisai oligarki dan kembali menjadi ratio legis, bukan ratio bisnis. Negara harus berhenti menjadi pabrik kompromi; ia harus menjadi benteng keadilan sosial sebagaimana diperintahkan Pembukaan UUD 1945.

    Negara Tanpa Malu

    Jika oligarkokrasi adalah penyakit, maka kemarahan rakyat adalah penawarnya.

    Demokrasi tidak akan sembuh dari atas, karena puncak sudah busuk; ia hanya bisa disembuhkan dari bawah — dari suara rakyat yang menolak menjadi penonton.

    Negara ini harus kembali beradab, atau ia akan lenyap sebagai catatan kaki sejarah yang memalukan. 

    Negara tidak akan runtuh karena invasi, tapi karena kehilangan malu dan kehilangan makna.

    Karena ketika bandit menjadi negarawan, dan rakyat dipaksa diam, maka demokrasi telah resmi mati — diselenggarakan oleh mereka yang mengaku menyelamatkannya. 

    (Penulis adalah Advokat dan aktivis 98)

  • Aktivis 98: Aktifkan jaring peduli sosial cegah “political blitzer”

    Aktivis 98: Aktifkan jaring peduli sosial cegah “political blitzer”

    Jakarta (ANTARA) – Pemrakarsa 98 Resolution Network Haris Rusly Moti menyatakan bahwa jaring peduli sosial perlu dibangun untuk mencegah fenomena gerakan kilat politik atau political blitzer yang dinilai rawan memicu keresahan sosial.

    Haris mengatakan fenomena political blitzer mirip dengan gelombang protes Arab Spring yang menyebar cepat di Asia, termasuk Filipina, Malaysia, Bangladesh, Timor Leste hingga Nepal. Ia menyebut pola tersebut tidak memiliki kepemimpinan organisasi yang jelas tetapi bertujuan menumbuhkan ketidakpercayaan dan pembangkangan sosial.

    “Target dari gerakan political blitzer dapat dipastikan untuk melahirkan situasi distrust, disorder, dan disobidience,” kata Haris dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

    Menurut Haris, kerentanan ekonomi masyarakat menjadi sasaran utama gerakan tersebut dengan memanfaatkan media sosial dan sumber terbuka.

    Ia menyorot opini pakar yang menilai kericuhan yang terjadi di berbagai belahan dunia itu dipicu oleh pihak-pihak yang menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mempengaruhi data di media sosial.

    “Menurut para pakar kewaspadaan global, gerakan political blitzer dipicu menggunakan AI generatif untuk melakukan sabotase algoritma dan meracuni data media sosial,” ujarnya.

    Karena itu, ia menilai perlu percepatan program perlindungan sosial, termasuk paket stimulus ekonomi pemerintah, untuk melindungi kelompok rentan.

    Ia meminta pihak pemerintah, swasta, serta masyarakat untuk bekerja sama untuk melindungi kaum rentan menjadi sasaran eksploitasi gerakan kilat itu dengan mengaktifkan jaring peduli sosial.

    “BUMN, swasta, dan warga juga diharapkan bergotong royong mengaktivasi jaring peduli sosial agar kelompok rentan secara ekonomi tidak menjadi sasaran eksploitasi gerakan kilat,” kata Haris.

    Ia menilai kebijakan Presiden Prabowo juga telah tepat menjawab persoalan mendasar rakyat, namun perlu mitigasi jangka pendek untuk menjaga stabilitas sosial dan kelancaran program strategis pemerintah.

    Haris menyebut pandangan Presiden tentang praktik “serakahnomic” yang menjarah sumber daya negara sesuai dengan tuntutan gerakan sosial era reformasi.

    Sebelumnya, istilah “serakahnomics” pertama kali disampaikan Presiden Prabowo saat menutup sebuah kongres di Solo, Jawa Tengah pada pertengahan Juli 2025. Dalam pidatonya, ia menyebut “serakahnomics” sebagai aliran baru yang menggambarkan kelompok serakah yang hanya mengejar keuntungan ekonomi pribadi.

    “Arah dan kebijakan Presiden Prabowo sudah sangat mendasar menjawab persoalan rakyat dan bangsa,” kata dia.

    Karena itu, menurut dia, pemerintah dan masyarakat perlu bersama-sama menjaga agar program strategis pemerintah berjalan tanpa gangguan gerakan kilat politik.

    Pewarta: Aria Ananda
    Editor: Benardy Ferdiansyah
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.