NGO: AJI

  • Laga Kandang Pertama PSIM Lawan Arema FC, Ini Jaminan Polres Bantul

    Laga Kandang Pertama PSIM Lawan Arema FC, Ini Jaminan Polres Bantul

    YOGYAKARTA – PSIM Yogyakarta akhirnya mendapat persetujuan menggunakan Stadion Sultan Agung, Bantul, untuk menjamu lawan di pertandingan Super League 2025/2026. Laga kandang pertama melawan Arema FC pun sudah mendapat kepastian keamanan dari Polres Bantul.

    Laga kandang pertama menjadi ujian awal bagi PSIM. Berstatus tim promosi, ini untuk kali pertama PSIM menggelar pertandingan home di kasta tertinggi.

    Laga yang sudah pasti ditunggu pendukung PSIM, Brajamusti dan Maident. PSIM dan pihak keamanan pun perlu mengantisipasi penonton yang bakal memenuhi stadion. Meski suporter tim tamu, Aremania, tidak bisa datang ke Bantul, namun pertandingan diperkirakan bakal menghadirkan banyak penonton.

    Manajemen PSIM pun merasa perlu mengadakan audiensi bersama Polres Bantul, Selasa, 5 Agustus 2025. Pertemuan yang dipimpin langsung Kapolres Bantul, AKBP Novita Eka Sari ini sebagai upaya koordinasi dalam rangka persiapan keamanan untuk laga kandang pertama PSIM yang akan berlangsung pada 16 Agustus 2025.

    Dari PSIM yang hadir di audiensi, antara lain Wendy Umar Seno Aji selaku Ketua Panitia Pelaksana, Jan Benjamin yang bertugas sebagai Security Officer PSIM dan Presiden Brajamusti Muslich Burhanuddin sekaligus perwakilan suporter.

    Dalam audiensi, AKBP Novita Eka Sari menyatakan dukungan penuh Polres terhadap pelaksanaan pertandingan liga. Kapolres juga menekankan pentingnya sinergi antara kepolisian dan pemerintah daerah dalam menjaga keamanan selama pertandingan.

    “Polres Bantul mendukung dan kami sejalan dengan Pemda. Jika semua prosedur telah dipenuhi PSIM untuk menggunakan Stadion Sultan Agung, tentu kami akan mendukung itu untuk kebaikan bersama,” kata Novita.

    Sementara, Wendy Umar menjelaskan terkait pengaturan penonton selama pertandingan home PSIM. Karena kapasitas stadion yang terbatas, panitia memutuskan tidak membuka tiket untuk suporter tim tamu demi menjaga kondusivitas pertandingan.

    “Kami tidak akan membuka tiket penonton untuk suporter tim tamu ketika melakukan laga kandang,” kata Wendy.

    Selain itu, Wendy menyampaikan jumlah tiket yang dijual menyesuaikan rekomendasi dari Bupati Bantul dengan kuota yang terbatas. Dengan demikian tidak terjadi kerumunan berlebih yang dapat menimbulkan risiko keamanan.

    “Jumlah penonton akan mengikuti arahan dari Bapak Bupati Bantul, yaitu sejumlah 10.000 tiket,” ujarnya.

    Sebagai langkah perlindungan khusus untuk kelompok yang lebih rentan, panitia menyiapkan gate khusus untuk wanita dan anak-anak. “Kami membuka gate khusus wanita dan anak-anak di stadion. Rencananya di gate 12,” kata Wendy.

    Sebelumnya, asesmen Stadion Sultan Agung sudah dilakukan dan mendapat skor 73,46. Hasil asesmen juga menunjukkan tidak ditemukan kerusakan struktural mayor pada bangunan stadion.

    Meski demikian terdapat catatan perbaikan pada pintu masuk dan keluar stadion, atap tribun, lampu penerangan, hingga pengurangan kapasitas penonton.

    Tim asesor memberikan beberapa catatan penting yang harus segera diperbaiki. Salah satu yang utama adalah perbaikan sistem pintu masuk dan keluar stadion yang sudah korosi.

    Selain itu, beberapa bagian atap tribun yang lepas dan pagar pembatas juga menjadi fokus perbaikan. Hal ini untuk menjamin keselamatan dan keamanan para penonton saat laga berlangsung.

  • BPBD Kepulauan Seribu tingkatkan kesiapsiagaan warga hadapi tsunami

    BPBD Kepulauan Seribu tingkatkan kesiapsiagaan warga hadapi tsunami

    Jakarta (ANTARA) –

    Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, meningkatkan kesiapsiagaan warga pesisir terutama yang bermukim di Kelurahan Pulau Untung Jawa dalam menghadapi tsunami.

    “Kami lakukan sosialisasi dan pendampingan yang dilaksanakan di Kelurahan Pulau Untung Jawa, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, agar masyarakat memiliki pengetahuan akan potensi bencana tersebut,” kata Kepala Satgas BPBD Kepulauan Seribu, Mansyah di Jakarta, Rabu,

    Ia mengatakan bahwa peran aktif masyarakat lokal, dalam membentuk sistem tanggap darurat yang efektif di tingkat komunitas sangat penting dalam membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana.

    Dia berharap masyarakat semakin sadar risiko dan siap menghadapi keadaan darurat ke depan. “Kami akan terus memperluas cakupan edukasi kebencanaan di wilayah Kepulauan Seribu,” katanya.

    Pihaknya menghadirkan Danru P2B BPBD Kepulauan Seribu, Iwan bersama Muhammad Teguh Aji Saputra dan narasumber lainnya untuk memberikan materi pemahaman dasar mengenai potensi ancaman tsunami serta teknik evakuasi mandiri.

    Selain itu pentingnya membangun koordinasi lintas elemen dalam penanggulangan bencana.

    Menurut dia, kegiatan ini menjadi bentuk sinergi antara BPBD, mahasiswa dan masyarakat dalam membangun budaya siaga bencana, khususnya di wilayah pesisir seperti Pulau Untung Jawa.

    Kegiatan sosialisasi ini merupakan bagian dari pendampingan Program Pengabdian Kepada Masyarakat yang dilaksanakan oleh mahasiswa STIE Dharma Bumiputera dan didukung BPBD Kepulauan Seribu.

    Total ada 25 peserta dari berbagai unsur masyarakat, seperti Karang Taruna, RT/RW, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), relawan lokal, unsur Kelurahan Pulau Untung Jawa, Bhabinkamtibmas, Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) serta para Ketua RT dan RW setempat.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Amnesti dan Abolisi, Tunduknya Hukum pada Politik?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 Agustus 2025

    Amnesti dan Abolisi, Tunduknya Hukum pada Politik? Nasional 6 Agustus 2025

    Amnesti dan Abolisi, Tunduknya Hukum pada Politik?
    Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik

    TUHAN
    selalu berpihak dan memberikan jalan pada kebenaran, God works in the mysterious way, Tuhan bekerja dengan cara-cara yang tak terduga,” demikian perkataan Tom Lembong usai menerima abolisi, yang ditirukan oleh Anies Baswedan.
    Pemberian Amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Hasto Kristianto dan Abolisi kepada Tom Lembong mungkin boleh dikatakan sebagai akhir dari perjalanan kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan segala nuansa politik yang berakhir antiklimaks.
    Dalam konteks ketatanegaraan, pemberian amnesti dan abolisi bukan merupakan keputusan Pemerintah, melainkan hak prerogatif presiden, sebagai konsekuesi logis dari kedudukan presiden sebagai kepala negara menurut Pasal 14 UUD 1945 yang diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
    Secara hukum, dengan diberikannya amnesti kepada Hasto Kristianto, maka semua akibat hukum pidananya dihapuskan. Sedangkan dengan diberikannya abolisi, proses hukum (penuntutan) terhadap Tom Lembong menjadi ditiadakan.
    Dibalik sukacita dari bebasnya kedua tokoh itu, ada sejumlah permasalahan hukum yang tersisa. Antara lain bagaimana nasib pelaku lainnya yang didakwa dengan penyertaan dan sudah usangnya UU Darurat No. 11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang konteksnya waktu itu adalah kedaruratan akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.
    “Politiæ legibus, non leges politiis, adaptandæ”, demikianlah postulat yang artinya “politik harus disesuaikan dengan hukum, dan bukan hukum yang disesuaikan dengan politik.”
    Terkesan postulat ini bersifat idealis dan normatif. Namun, kenyataannya tidak selalu realistis dalam praktiknya.
    Postulat tersebut sejalan dengan pandangan dari Aji Wibowo yang pernah menyampaikan kepada penulis, “hukum memang merupakan produk politik, tapi hukum jangan dipolitisir”, baik dalam pembentukan maupun penegakannya.
    Dalam kondisi penegakan hukum yang belum ideal, memang tidak dapat disangkal menguatnya fenomena
    judicial caprice
    , yaitu ketidakpercayaan pada putusan pengadilan karena sulit diprediksi hasilnya dan dianggap jauh dari nilai-nilai hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
    Di sinilah ruang bagi presiden sebagai kepala negara untuk menghadirkan keseimbangan dengan cara memberikan pengampunan (
    presidential pardon
    ) dalam bentuk grasi, amnesti, abolisi, dan juga pemulihan harkat dan martabat seseorang melalui rehabilitasi.
    Dahulu mantan Presiden Jokowi juga pernah memberikan amnesti terhadap Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang terjerat UU ITE.
    Meskipun konteks amnesti dalam UU Darurat No. 11/1954 adalah untuk kejahatan politik, tapi keputusan tersebut mendapat dukungan luas, termasuk dari masyarakat sipil, sebagaimana postulat, “equum et bonum est lex legum”, apa yang baik dan adil itulah hukumnya.
    Namun demikian, tanpa parameter yang jelas, pemberian amnesti dan abolisi dapat bernuansa politis, menjustifikasi tuduhan politisasi hukum, dan juga dapat membuat impunitas, khususnya bagi korupsi sebagai tindak pidana khusus yang dianggap
    extraordinary crime
    , yang juga harus dilihat perspektif kepentingan umum.
    Sebagai perbandingan, sebenarnya ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf c UU Kejaksaan telah memungkinkan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
    Adapun yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas dengan memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
    UU No.1 Tahun 2023 (KUHP Baru) yang akan berlaku 3 Januari 2026 nanti telah membuka kemungkinan dari pengecualian dari hak Negara untuk memidana seseorang yang melakukan tindak pidana (
    ius puniendi
    ) berupa gugurnya kewenangan penuntutan dan gugurnya kewenangan pelaksanaan pidana.
    Dalam relevansinya dengan
    presidential pardon
    , Pasal 132 ayat (1) huruf h KUHP Baru telah mengatur bahwa dengan diberikannya amnesti atau abolisi, maka kewenangan penuntutan sebagai proses peradilan yang dimulai dari penyidikan menjadi gugur.
    Sedangkan, Pasal 140 KUHP Baru menyebutkan bahwa kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur, jika terpidana mendapatkan grasi atau amnesti.
    Sederhananya, gugurnya kewenangan penuntutan itu dalam hal perkaranya belum berkekuatan hukum tetap. Sedangkan gugurnya pelaksanaan pidana adalah dalam hal perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga pelaksanaan sanksi pidana itu tidak perlu dijalani terpidana.
    Pertanyaan yang seringkali diajukan kepada penulis adalah dalam hal konteks apa amnesti atau abolisi dibedakan pemberiannya.
    Secara umum, penulis berpendapat pemberian amnesti yang menghapuskan akibat hukum pidana berarti peristiwa pidananya telah ada dan diasumsikan bahwa seseorang dianggap bersalah telah melakukan tindak pidana.
    Sebaliknya dalam abolisi, peristiwa pidananya sudah ada, tapi pemberi abolisi kemungkinan belum teryakinkan apakah seseorang benar-benar bersalah melakukan suatu tindak pidana, sehingga proses hukum dan penuntutannya dihentikan.
    Sebagaimana perkataan Paulus, seorang Yuris Romawi, “Deletio, oblivio vel exctinctio accusationis”, yang artinya “penghapusan, membuat dilupakan dan peniadaan tuduhan”.
    Tentu
    presidential pardon
    ini juga berbeda dengan alasan penghapus pidana, khususnya dalam kaitannya penyertaan tindak pidana (
    delneeming
    ).
    Dalam penyertaan, apabila salah satu pelaku dilepaskan dari tanggung jawab pidana karena adanya alasan pembenar, misalnya karena menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP), maka konsekuensinya pelaku lainnya juga harus dilepaskan. Namun tidak demikian halnya dengan alasan pemaaf.
    Dengan diberikannya abolisi kepada Tom Lembong memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib para terdakwa lainnya yang didakwa dengan penyertaan?
    Penulis berpandangan, meskipun abolisi tidak berlaku bagi pelaku lainnya, maka akan menjadi suatu ketidakadilan jika pelaku yang merupakan pejabat negara dihentikan penuntutannya, tapi pelaku lainnya, misalnya, swasta masih tetap diproses, bahkan dihukum karena melakukan tindak pidana korupsi.
    Dengan dianutnya sistem pembagian kekuasaan (
    distribution of power
    ) yang merujuk pada konsep trias politica dari eksekutif, yudikatif dan legislatif, maka dapat dikatakan pembagian kekuasaan tersebut sama sekali tidak terpisah-pisah, melainkan saling melakukan fungsi kontrol pengawasan sesuai dengan prinsip
    checks and balances.
    Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (GAAR) sebagai hak prerogatif presiden yang diberikan oleh konstitusi itu ibarat sebuah pedang bermata dua: bisa mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan. Sebaliknya, jika disalahgunakan justru dapat mendatangkan impunitas.
    Dalam perspektif negara hukum seharusnya perlu ada peraturan setingkat UU yang mengatur parameter yang jelas, objektif dan berkeadilan, sebagaimana langkah Pemerintah dalam menginisiasi naskah akademik dari RUU GAAR sejak tahun 2022 yang belum kunjung selesai.
    Untuk itu, agar pemberian GAAR tidak bernuansa politis dan mengakibatkan impunitas khususnya untuk tindak pidana korupsi, maka Pemerintah dan DPR harus segera merampungkan Rancangan UU Grasi Amnesti Abolisi dan Rehabilitasi terlebih dahulu, agar ada standar pengaturan yang lebih jelas, objektif, dan berkeadilan.
    Ikhtiar ini untuk mencegah pelaku kejahatan seolah-olah mendapatkan insentif untuk melakukan tindak pidana lagi, sebagaimana postulat
    Veniae facilitas incentivum est delinquendi
    , yang artinya kemudahan mendapatkan pengampunan merupakan insentif untuk melakukan kejahatan
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Sering Terjadi di Wilayah Ini

    Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Sering Terjadi di Wilayah Ini

    Jakarta: Kekerasan dan ancaman terhadap insan pers masih terjadi, terutama di beberapa wilayah di Indonesia. Dalam laporan Jurnalisme Aman yang dirilis Yayasan TIFA membeberkan tiga wilayah dengan tingkat kekerasan tinggi terhadap jurnalis yakni di Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya.

    Dari total 55 jurnalis yang diwawancarai di tiga wilayah tersebut, menyatakan pernah mengalami kekerasan atau ancaman dalam menjalankan tugas jurnalistik, baik secara fisik, verbal, maupun digital. Sebanyak 65 persen dari mereka mengaku sering menghadapi kekerasan atau intimidasi.

    Project Officer Jurnalisme Aman, Arie Mega mengungkapkan jenis kekerasan yang dialami jurnalis di tiga wilayah itu juga berbeda. Di Aceh, jenis kekerasan utama antara lain intimidasi dan ancaman verbal, larangan liputan, perampasan alat dan kekerasan pasca-publikasi.

    Di Sulawesi Tengah, jenis kekerasan utama antara lain kekerasan fisik saat demo dan liputan Program Strategis Nasional (PSN), pemaksaan penghapusan dokumentasi hingga pelecehan seksual. Sedangkan, jenis kekerasan jurnalis di Papua Barat Daya lebih bersifat multidimensi berbasis ras, gender, dan politik.

    “Upaya penanganan kekerasan terhadap jurnalis sejauh ini masih terfragmentasi. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri belum sepenuhnya diterapkan di daerah. Pelatihan keamanan jurnalistik belum menjadi bagian dari program wajib di media atau organisasi profesi. SOP peliputan di lapangan tidak tersedia atau tidak diketahui oleh aparat, dan sistem aduan yang aman belum dibentuk secara merata di wilayah,” kata Arie Mega dalam Konsultasi Forum Nasional: ‘Diseminasi Report Assessment Kekerasan Jurnalis’, Selasa, 5 Agustus 2025.

    Ia menambahkan, perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia saat ini bersandar pada regulasi yang kuat secara normatif, tetapi lemah dalam pelaksanaan sehingga menjadikan perlindungan terhadap jurnalis lebih bersifat simbolis daripada substantif. 

    Yayasan TIFA memberikan empat rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah untuk melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Pertama, perlu adanya pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ). Inisiatif ini bersifat lintas sektor dan menuntut adanya komitmen politik yang kuat hingga dukungan anggaran.

    Kedua, adanya pembentukan unit khusus di tubuh kepolisian dan kejaksaan yang secara spesifik menangani kasus-kasus kekerasan, kriminalisasi, atau intimidasi terhadap jurnalis.

    “Rekomendasi ketiga adalah penguatan mekanisme pemulihan korban, termasuk dukungan dalam aspek hukum, psikososial, maupun perlindungan digital, supaya jurnalis yang menjadi korban kekerasan dapat kembali menjalankan perannya dengan aman. Rekomendasi keempat menyoroti pentingnya penguatan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) di tingkat daerah,” ungkap Arie.
     
    Kekerasan jurnalis adalah persoalan serius

    Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida, mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Meskipun situasi tampak baik-baik saja, kenyataannya banyak jurnalis menghadapi intimidasi dan kekerasan di lapangan.

    “Kondisi negara kita sudah mengarah ke otoritarian. Jurnalis makin takut melaporkan kebenaran. Kalau ini terus terjadi, masyarakat akan tersesat oleh propaganda dan disinformasi,” ujarnya.

    Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM, Imelda Saragih, menyatakan bahwa perlindungan terhadap jurnalis adalah bagian dari mandat kerja Komnas HAM. Ia menyebut bahwa kebebasan pers dan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan nasional. Menurut dia, tren ancaman dan serangan terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran HAM.

    Sementara itu, turut Dewan Pers mendorong terbentuknya satuan tugas lintas lembaga yang mampu merespons tidak hanya insiden kekerasan, tetapi juga memperbaiki ekosistem yang memicu ancaman terhadap jurnalis.

    Jakarta: Kekerasan dan ancaman terhadap insan pers masih terjadi, terutama di beberapa wilayah di Indonesia. Dalam laporan Jurnalisme Aman yang dirilis Yayasan TIFA membeberkan tiga wilayah dengan tingkat kekerasan tinggi terhadap jurnalis yakni di Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya.
     
    Dari total 55 jurnalis yang diwawancarai di tiga wilayah tersebut, menyatakan pernah mengalami kekerasan atau ancaman dalam menjalankan tugas jurnalistik, baik secara fisik, verbal, maupun digital. Sebanyak 65 persen dari mereka mengaku sering menghadapi kekerasan atau intimidasi.
     
    Project Officer Jurnalisme Aman, Arie Mega mengungkapkan jenis kekerasan yang dialami jurnalis di tiga wilayah itu juga berbeda. Di Aceh, jenis kekerasan utama antara lain intimidasi dan ancaman verbal, larangan liputan, perampasan alat dan kekerasan pasca-publikasi.

    Di Sulawesi Tengah, jenis kekerasan utama antara lain kekerasan fisik saat demo dan liputan Program Strategis Nasional (PSN), pemaksaan penghapusan dokumentasi hingga pelecehan seksual. Sedangkan, jenis kekerasan jurnalis di Papua Barat Daya lebih bersifat multidimensi berbasis ras, gender, dan politik.
     
    “Upaya penanganan kekerasan terhadap jurnalis sejauh ini masih terfragmentasi. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri belum sepenuhnya diterapkan di daerah. Pelatihan keamanan jurnalistik belum menjadi bagian dari program wajib di media atau organisasi profesi. SOP peliputan di lapangan tidak tersedia atau tidak diketahui oleh aparat, dan sistem aduan yang aman belum dibentuk secara merata di wilayah,” kata Arie Mega dalam Konsultasi Forum Nasional: ‘Diseminasi Report Assessment Kekerasan Jurnalis’, Selasa, 5 Agustus 2025.
     
    Ia menambahkan, perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia saat ini bersandar pada regulasi yang kuat secara normatif, tetapi lemah dalam pelaksanaan sehingga menjadikan perlindungan terhadap jurnalis lebih bersifat simbolis daripada substantif. 
     

     
    Yayasan TIFA memberikan empat rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah untuk melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Pertama, perlu adanya pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ). Inisiatif ini bersifat lintas sektor dan menuntut adanya komitmen politik yang kuat hingga dukungan anggaran.
     
    Kedua, adanya pembentukan unit khusus di tubuh kepolisian dan kejaksaan yang secara spesifik menangani kasus-kasus kekerasan, kriminalisasi, atau intimidasi terhadap jurnalis.
     
    “Rekomendasi ketiga adalah penguatan mekanisme pemulihan korban, termasuk dukungan dalam aspek hukum, psikososial, maupun perlindungan digital, supaya jurnalis yang menjadi korban kekerasan dapat kembali menjalankan perannya dengan aman. Rekomendasi keempat menyoroti pentingnya penguatan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) di tingkat daerah,” ungkap Arie.
     

    Kekerasan jurnalis adalah persoalan serius

    Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida, mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Meskipun situasi tampak baik-baik saja, kenyataannya banyak jurnalis menghadapi intimidasi dan kekerasan di lapangan.
     
    “Kondisi negara kita sudah mengarah ke otoritarian. Jurnalis makin takut melaporkan kebenaran. Kalau ini terus terjadi, masyarakat akan tersesat oleh propaganda dan disinformasi,” ujarnya.
     
    Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM, Imelda Saragih, menyatakan bahwa perlindungan terhadap jurnalis adalah bagian dari mandat kerja Komnas HAM. Ia menyebut bahwa kebebasan pers dan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan nasional. Menurut dia, tren ancaman dan serangan terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran HAM.
     
    Sementara itu, turut Dewan Pers mendorong terbentuknya satuan tugas lintas lembaga yang mampu merespons tidak hanya insiden kekerasan, tetapi juga memperbaiki ekosistem yang memicu ancaman terhadap jurnalis.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

    (PRI)

  • Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Sering Terjadi di Wilayah Ini

    Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Sering Terjadi di Wilayah Ini

    Jakarta: Kekerasan dan ancaman terhadap insan pers masih terjadi, terutama di beberapa wilayah di Indonesia. Dalam laporan Jurnalisme Aman yang dirilis Yayasan TIFA membeberkan tiga wilayah dengan tingkat kekerasan tinggi terhadap jurnalis yakni di Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya.

    Dari total 55 jurnalis yang diwawancarai di tiga wilayah tersebut, menyatakan pernah mengalami kekerasan atau ancaman dalam menjalankan tugas jurnalistik, baik secara fisik, verbal, maupun digital. Sebanyak 65 persen dari mereka mengaku sering menghadapi kekerasan atau intimidasi.

    Project Officer Jurnalisme Aman, Arie Mega mengungkapkan jenis kekerasan yang dialami jurnalis di tiga wilayah itu juga berbeda. Di Aceh, jenis kekerasan utama antara lain intimidasi dan ancaman verbal, larangan liputan, perampasan alat dan kekerasan pasca-publikasi.

    Di Sulawesi Tengah, jenis kekerasan utama antara lain kekerasan fisik saat demo dan liputan Program Strategis Nasional (PSN), pemaksaan penghapusan dokumentasi hingga pelecehan seksual. Sedangkan, jenis kekerasan jurnalis di Papua Barat Daya lebih bersifat multidimensi berbasis ras, gender, dan politik.

    “Upaya penanganan kekerasan terhadap jurnalis sejauh ini masih terfragmentasi. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri belum sepenuhnya diterapkan di daerah. Pelatihan keamanan jurnalistik belum menjadi bagian dari program wajib di media atau organisasi profesi. SOP peliputan di lapangan tidak tersedia atau tidak diketahui oleh aparat, dan sistem aduan yang aman belum dibentuk secara merata di wilayah,” kata Arie Mega dalam Konsultasi Forum Nasional: ‘Diseminasi Report Assessment Kekerasan Jurnalis’, Selasa, 5 Agustus 2025.

    Ia menambahkan, perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia saat ini bersandar pada regulasi yang kuat secara normatif, tetapi lemah dalam pelaksanaan sehingga menjadikan perlindungan terhadap jurnalis lebih bersifat simbolis daripada substantif. 

    Yayasan TIFA memberikan empat rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah untuk melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Pertama, perlu adanya pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ). Inisiatif ini bersifat lintas sektor dan menuntut adanya komitmen politik yang kuat hingga dukungan anggaran.

    Kedua, adanya pembentukan unit khusus di tubuh kepolisian dan kejaksaan yang secara spesifik menangani kasus-kasus kekerasan, kriminalisasi, atau intimidasi terhadap jurnalis.

    “Rekomendasi ketiga adalah penguatan mekanisme pemulihan korban, termasuk dukungan dalam aspek hukum, psikososial, maupun perlindungan digital, supaya jurnalis yang menjadi korban kekerasan dapat kembali menjalankan perannya dengan aman. Rekomendasi keempat menyoroti pentingnya penguatan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) di tingkat daerah,” ungkap Arie.
     
    Kekerasan jurnalis adalah persoalan serius

    Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida, mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Meskipun situasi tampak baik-baik saja, kenyataannya banyak jurnalis menghadapi intimidasi dan kekerasan di lapangan.

    “Kondisi negara kita sudah mengarah ke otoritarian. Jurnalis makin takut melaporkan kebenaran. Kalau ini terus terjadi, masyarakat akan tersesat oleh propaganda dan disinformasi,” ujarnya.

    Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM, Imelda Saragih, menyatakan bahwa perlindungan terhadap jurnalis adalah bagian dari mandat kerja Komnas HAM. Ia menyebut bahwa kebebasan pers dan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan nasional. Menurut dia, tren ancaman dan serangan terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran HAM.

    Sementara itu, turut Dewan Pers mendorong terbentuknya satuan tugas lintas lembaga yang mampu merespons tidak hanya insiden kekerasan, tetapi juga memperbaiki ekosistem yang memicu ancaman terhadap jurnalis.

    Jakarta: Kekerasan dan ancaman terhadap insan pers masih terjadi, terutama di beberapa wilayah di Indonesia. Dalam laporan Jurnalisme Aman yang dirilis Yayasan TIFA membeberkan tiga wilayah dengan tingkat kekerasan tinggi terhadap jurnalis yakni di Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya.
     
    Dari total 55 jurnalis yang diwawancarai di tiga wilayah tersebut, menyatakan pernah mengalami kekerasan atau ancaman dalam menjalankan tugas jurnalistik, baik secara fisik, verbal, maupun digital. Sebanyak 65 persen dari mereka mengaku sering menghadapi kekerasan atau intimidasi.
     
    Project Officer Jurnalisme Aman, Arie Mega mengungkapkan jenis kekerasan yang dialami jurnalis di tiga wilayah itu juga berbeda. Di Aceh, jenis kekerasan utama antara lain intimidasi dan ancaman verbal, larangan liputan, perampasan alat dan kekerasan pasca-publikasi.

    Di Sulawesi Tengah, jenis kekerasan utama antara lain kekerasan fisik saat demo dan liputan Program Strategis Nasional (PSN), pemaksaan penghapusan dokumentasi hingga pelecehan seksual. Sedangkan, jenis kekerasan jurnalis di Papua Barat Daya lebih bersifat multidimensi berbasis ras, gender, dan politik.
     
    “Upaya penanganan kekerasan terhadap jurnalis sejauh ini masih terfragmentasi. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri belum sepenuhnya diterapkan di daerah. Pelatihan keamanan jurnalistik belum menjadi bagian dari program wajib di media atau organisasi profesi. SOP peliputan di lapangan tidak tersedia atau tidak diketahui oleh aparat, dan sistem aduan yang aman belum dibentuk secara merata di wilayah,” kata Arie Mega dalam Konsultasi Forum Nasional: ‘Diseminasi Report Assessment Kekerasan Jurnalis’, Selasa, 5 Agustus 2025.
     
    Ia menambahkan, perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia saat ini bersandar pada regulasi yang kuat secara normatif, tetapi lemah dalam pelaksanaan sehingga menjadikan perlindungan terhadap jurnalis lebih bersifat simbolis daripada substantif. 
     

     
    Yayasan TIFA memberikan empat rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah untuk melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Pertama, perlu adanya pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ). Inisiatif ini bersifat lintas sektor dan menuntut adanya komitmen politik yang kuat hingga dukungan anggaran.
     
    Kedua, adanya pembentukan unit khusus di tubuh kepolisian dan kejaksaan yang secara spesifik menangani kasus-kasus kekerasan, kriminalisasi, atau intimidasi terhadap jurnalis.
     
    “Rekomendasi ketiga adalah penguatan mekanisme pemulihan korban, termasuk dukungan dalam aspek hukum, psikososial, maupun perlindungan digital, supaya jurnalis yang menjadi korban kekerasan dapat kembali menjalankan perannya dengan aman. Rekomendasi keempat menyoroti pentingnya penguatan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) di tingkat daerah,” ungkap Arie.
     

    Kekerasan jurnalis adalah persoalan serius

    Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida, mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Meskipun situasi tampak baik-baik saja, kenyataannya banyak jurnalis menghadapi intimidasi dan kekerasan di lapangan.
     
    “Kondisi negara kita sudah mengarah ke otoritarian. Jurnalis makin takut melaporkan kebenaran. Kalau ini terus terjadi, masyarakat akan tersesat oleh propaganda dan disinformasi,” ujarnya.
     
    Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM, Imelda Saragih, menyatakan bahwa perlindungan terhadap jurnalis adalah bagian dari mandat kerja Komnas HAM. Ia menyebut bahwa kebebasan pers dan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan nasional. Menurut dia, tren ancaman dan serangan terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran HAM.
     
    Sementara itu, turut Dewan Pers mendorong terbentuknya satuan tugas lintas lembaga yang mampu merespons tidak hanya insiden kekerasan, tetapi juga memperbaiki ekosistem yang memicu ancaman terhadap jurnalis.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

    (PRI)

  • Bukannya Tangkap Bandar, Polisi Malah Ringkus Pemain Judol di DIY yang Rugikan Bandar, Kunto Aji: Pelapor Siapa?

    Bukannya Tangkap Bandar, Polisi Malah Ringkus Pemain Judol di DIY yang Rugikan Bandar, Kunto Aji: Pelapor Siapa?

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Kinerja kepolisian kembali disorot. Setelah menangkap komplotan pemain Judi Online (Judol) yang dinilai rugikan bandar, alih-alih menangkap bandar itu sendiri.

    Tak pelak. Kabar itu menuai kritikan.

    Penyanyi Kondang, Kunto Aji turut mengomentarinya. Pelantun lagu Rehat itu mengungkapkan pertanyaan menohok.

    “Cuma nanya ini kan yang dirugiin bandar ya? Yang lapor siapa?” tulis Kunto Aji melalui akun Threadsnya, dikutip Selasa (5/8/2025).

    Adapun komplotan Judol itu diketahui beroperasi di sebuah rumah kontrakan kawasan Banguntapan, Bantul, DIY. Lima orang ditangkap saat sedang menjalankan aksinya, Kamis (31/7/2025).

    Komplotan ini bukan sekadar bermain, tapi memanfaatkan celah sistem di situs judi online. Mereka membuat akun-akun baru setiap hari agar mendapat promosi seperti cash back dan peluang menang yang lebih besar.

    Dengan strategi itu, para pelaku bisa menguras uang dari bandar. Menurut polisi, mereka mengatur sedemikian rupa agar akun baru selalu unggul di permainan awal.

    “Para tersangka bermain judi online secara terorganisir dengan memanfaatkan promo situs judi, menggunakan beberapa akun dan perangkat komputer,” ungkap AKBP Slamet Riyanto, Kasubdit V Cyber Ditreskrimsus Polda DIY dikutip dari Radar Bogor.

    Kabarnya, penggerebekan itu merupakan tindak lanjut laporan dari masyarakat pada Kamis (10/7). Tim gabungan dari Ditintelkam dan Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda DIY pun langsung melakukan penelusuran.

    Petugas kemudian melacak lokasi pelaku hingga mengerucut di sebuah rumah kontrakan di Banguntapan. Di sana, lima pelaku langsung dibekuk.

  • Menteri PKP siap melawan rentenir melalui pembiayaan mikro

    Menteri PKP siap melawan rentenir melalui pembiayaan mikro

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) siap melawan rentenir di sektor perumahan melalui pembiayaan mikro.

    Ara menegaskan komitmennya untuk mengakhiri praktik rentenir dan tengkulak yang selama ini menjerat masyarakat, khususnya di sektor perumahan.

    “Negara ini harus bisa mengalahkan rentenir dan tengkulak,” ujar Ara di Jakarta, Senin.

    Pemerintah tidak boleh kalah dari praktik pinjaman ilegal yang kerap menjerumuskan masyarakat miskin ke dalam jerat utang berkepanjangan. Ia menilai, solusi konkret harus diberikan melalui inovasi pembiayaan yang lebih berpihak kepada rakyat.

    “Kita harus hadirkan produk pembiayaan yang lebih mudah, cepat, dan murah. Hanya dengan cara itu kita bisa mengalahkan peran rentenir dan tengkulak di lapangan,” kata Ara.

    Dia menekankan pentingnya sinergi lembaga pembiayaan negara untuk mendorong percepatan akses perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

    Salah satu terobosan yang saat ini tengah digencarkan adalah program Pembiayaan Mikro Perumahan. Program ini dirancang untuk menjadi alternatif pembiayaan yang sehat dan terjangkau, terutama bagi masyarakat di daerah yang selama ini hanya mengenal pinjaman dari rentenir atau “bank emok”.

    “Di Subang, kami dorong warga agar memanfaatkan Pembiayaan Home daripada harus terjebak pinjaman rentenir,” kata Ara.

    Melalui program ini, masyarakat tidak hanya dapat merenovasi rumah agar layak huni, tetapi juga bisa memfungsikannya sebagai tempat usaha, sehingga memberi dampak ekonomi langsung bagi keluarga.

    Masih tingginya angka rumah tidak layak huni di berbagai wilayah Indonesia, menurut dia, merupakan dampak dari kemiskinan struktural yang juga memicu ketergantungan pada pinjaman informal. Oleh karena itu, ia mendorong semua pihak untuk bersama-sama menjadikan program pembiayaan mikro ini sebagai prioritas nasional.

    “Kami juga tengah mengusulkan agar program renovasi rumah ini menjadi program unggulan bersama dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP),” ujarnya.

    Ara menyerukan dukungan dari seluruh elemen pemerintah dan masyarakat agar program ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil, serta menjadi langkah nyata negara dalam melindungi warganya dari jeratan ekonomi yang tidak sehat.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Triono Subagyo
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kemendag: ICA-CEPA jadi CEPA pertama RI di kawasan Amerika Utara

    Kemendag: ICA-CEPA jadi CEPA pertama RI di kawasan Amerika Utara

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan perjanjian Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA) menjadi CEPA pertama Indonesia di kawasan Amerika Utara.

    “Kita punya CEPA pertama di kawasan Amerika Utara dengan Kanada itu sudah kita selesaikan. Perundingan cepat, dua tahun,” ujar Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono di Jakarta, Senin.

    Perundingan perjanjian ICA-CEPA telah diselesaikan pada bulan Desember tahun 2024. Rencananya perjanjian ICA CEPA kemungkinan akan ditandatangani pada Bulan September atau Oktober tahun ini.

    “Dua tahun perundingan dengan Kanada selesai, dan ICA-CEPA akan menjadi CEPA pertama kita dengan kawasan Amerika Utara. Mudah-mudahan bisa juga menjadi satu hal yang membuka akses cukup signifikan buat kita,” ujar Djatmiko.

    Indonesia dan Kanada telah menandatangani Pernyataan Bersama Penyelesaian Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA) yang akan membuat akses pasar produk Indonesia semakin luas di Amerika Utara.

    Penandatanganan dilakukan Menteri Perdagangan RI Budi Santoso dan Menteri Promosi Ekspor, Perdagangan Internasional, dan Pembangunan Ekonomi Kanada Mary Ng.

    Setelah perjuangan kedua Tim Perunding selama lebih dari 2,5 tahun, Indonesia akhirnya berhasil memiliki perjanjian perdagangan komprehensif dengan Kanada. Melalui ICA-CEPA itu, ia mengatakan akses pasar produk-produk Indonesia akan semakin luas hingga ke wilayah Amerika Utara, khususnya Kanada.

    Selain perdagangan barang, perjanjian itu juga akan memberikan preferential treatment bagi penyedia jasa Indonesia, termasuk untuk sektor jasa bisnis, telekomunikasi, konstruksi, pariwisata, dan transportasi.

    Untuk investasi, perjanjian tersebut akan mempermudah akses investasi di sektor manufaktur, pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan dan penggalian, serta infrastruktur energi.

    Perjanjian itu juga mencakup komitmen lainnya, yaitu hak kekayaan intelektual, praktik regulasi yang baik, niaga elektronik (e-commerce), persaingan usaha, Usaha Kecil dan Menengah (UKM), pemberdayaan ekonomi perempuan, lingkungan, dan ketenagakerjaan.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kemendag: IEU-CEPA diproyeksikan dongkrak ekspor RI ke pasar Eropa

    Kemendag: IEU-CEPA diproyeksikan dongkrak ekspor RI ke pasar Eropa

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkapkan adanya Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) diproyeksikan dapat meningkatkan ekspor Indonesia dua kali lipat ke pasar Uni Eropa.

    “Waktu saya di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bersama Pak Menko Perekonomian dan teman-teman Kadin (Kamar Dagang dan Industri) serta Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), kita proyeksikan bisa dua kali lipat peningkatan ekspor ke Eropa,” ujar Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono.

    Menurut Djatmiko di Jakarta, Senin, sektor-sektor industri di Indonesia yang mempekerjakan tenaga kerja cukup banyak seperti tekstil, garmen, alas kaki, elektronik dan produk yang banyak digunakan akan sangat diuntungkan dengan adanya perjanjian IEU-CEPA.

    Indonesia juga kurang lebih memberikan akses pasar yang bagus buat produk-produk dari Uni Eropa yang memang dibutuhkan oleh Indonesia.

    “Kita komplementer tadi saya sampaikan, jadi tidak ada produk yang head to head. Misalnya produk permesinan berteknologi tinggi atau high-tech dari Jerman atau Prancis yang kita tidak punya, bisa untuk kita gunakan di dalam negeri sebagai bagian dari sistem atau proses produksi yang tujuannya untuk ekspor lagi,” kata Djatmiko.

    Untuk produk-produk yang high-tech dari Uni Eropa ini, Pemerintah Indonesia memang memberikan fasilitasi supaya bisa dimanfaatkan oleh sektor industri di Indonesia, termasuk misalnya alat kesehatan yang belum bisa diproduksi di dalam negeri tetapi diperlukan mengingat rakyat membutuhkan sistem kesehatan yang berkualitas.

    “Banyak produk-produk kesehatan dari Uni Eropa yang memang high-tech, bagus, dan kita perlu. Ini kita berikan fasilitas supaya jatuhnya bisa kompetitif di Indonesia,” ujar Djatmiko.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • UE komitmen akui sawit Indonesia berkelanjutan di IEU-CEPA

    UE komitmen akui sawit Indonesia berkelanjutan di IEU-CEPA

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkapkan Uni Eropa atau UE berkomitmen mengakui sawit Indonesia sebagai komoditas yang berkelanjutan dalam Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

    “Yang menjadi komitmen UE mengakui sawit kita sebagai sumber bahan baku, energi atau produk makanan karena sawit ini penggunaannya bermacam-macam dan luas. Juga sawit itu sebagai komoditas sustainable (berkelanjutan). Itu penting,” ujar Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono di Jakarta, Senin.

    Uni Eropa mengakui bahwa sawit Indonesia adalah sumber yang berkelanjutan (sustainable sources) untuk energi, untuk makanan, dan sebagainya. Pengakuan ini penting secara politik, maupun ekonomi.

    Bahkan dalam perjanjian IEU-CEPA terdapat protokol khusus mengenai sawit. “Ada protokol khusus mengenai sawit. Belum pernah ada dalam perjanjian CEPA mana pun terdapat protokol khusus terkait sawit dan baru kali ini ada dalam IEU-CEPA,” kata Djatmiko.

    Indonesia ingin ke depannya hal itu menjadi sesuatu yang benar-benar dilaksanakan. Indonesia juga tetap komitmen untuk memastikan bahwa sawit Indonesia berkelanjutan.

    “Dengan pengakuan itu, kita memproyeksikan ke depannya potensi pasar sawit di Uni Eropa itu akan semakin terbuka,” kata Djatmiko.

    Pengakuan tersebut tentunya diharapkan dapat meningkatkan kinerja ekspor sawit Indonesia dan turunannya ke pasar negara-negara Eropa.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.