Nestapa Sopir Truk Sampah Bertahan Belasan Jam, Terjebak Antrean Bantargebang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah gunungan sampah Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, antrean truk berwarna oranye terlihat mengular panjang.
Antrean truk
itu terjadi di zona empat titik pembuangan sampah
Bantargebang
sekitar pukul 15.00 WIB, Jumat (12/12/2025).
Jumlah truk yang mengantre terlihat terus bertambah setiap menitnya.
Mereka membawa sampah dari Jakarta dengan kapasitas penuh yang ditutup terpal agar tidak beterbangan.
Antrean truk terjadi karena para sopir mencari titik paling aman untuk menurunkan muatan sampahnya.
Sebab, hampir semua lokasi di Bantargebang sudah dipenuhi sampah yang menggunung.
Salah satu sopir, Hendra (bukan nama sebenarnya, 37) mengaku, dalam beberapa bulan terakhir antrean truk di Bantargebang memang selalu terjadi.
“Iya, benar itu semenjak dari tiga bulan lalu, itu kita harus menunggu belasan jam atau lebih dari 10 jam ada,” kata Hendra ketika diwawancarai Kompas.com, Jumat.
Mengantre hingga belasan jam untuk membuang muatan sampah, membuat para
sopir truk
kerap kali beroperasi melebihi jam kerja.
Imbasnya, banyak sopir truk yang tak memiliki waktu untuk istirahat cukup sampai sakit bahkan meninggal dunia.
Salah satunya Yudi (51),
sopir truk sampah
dari Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang tumbang pada Jumat (5/12/2025).
Kematian Yudi menuai sorotan banyak orang termasuk Gubernur Jakarta Pramono Anung.
Ia bilang, penyebab meninggalnya sopir itu karena mengalami penyakit jantung.
Kendati demikian, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jakarta berjanji ke depannya akan mengevaluasi sistem pengangkutan sampah di Bantargebang.
Mereka akan menata ulang pola dan jadwal pengangkutan sampah dari lima wilayah kota di Jakarta agar tidak terjadi antrean yang membuat sopir kelelahan.
Namun, fakta di lapangan antrean truk di Bantargebang masih terjadi dan membuat sopir menunggu hingga belasan jam.
“Masih antre, kemarin saya masuk jam 15.00 WIB sore, kebuang jam 03.00 WIB pagi, terus jam 08.30 WIB mulai muat lagi karena menunggu alat berat di lokasi, sekarang jam 15.00 WIB udah di Bantargebang lagi, ini juga belum sempat pulang,” jelas Hendra.
Antrean belasan jam itu membuat para sopir truk kerja selama 24 jam non-setop dan tak sempat pulang ke rumah, bahkan untuk sekadar mandi.
Hendra mau tidak mau bekerja dengan kondisi badan yang sudah semakin lengket dan baju kotor imbas terkena sampah.
Selain bekerja dalam kondisi tidak mandi, antrean truk belasan jam itu membuat para sopir terpaksa mengisi perut di tengah gunungan sampah.
Aroma bau busuk menyengat tak memengaruhi nafsu makan para sopir truk yang harus mengisi tenaga karena antrean truk masih panjang.
Makanan-makanan itu mereka beli dari para pedagang yang berkeliling di sekitar area Bantargebang.
Sementara Hendra memilih untuk menyantap masakan istrinya yang dibawa dari rumah.
Menunggu belasan jam untuk sekadar membuang muatan sampah membuat para sopir sering terkurung di dalam truk.
“Kalau itu tergantung cuaca, kalau misalkan lagi hujan kemungkinan sopir terpenjara dalam mobil, kalau samping ada warung tenda kecil kita ke sana,” ucap dia.
Namun, tidak semua zona pembuangan sampah di Bantargebang terdapat warung tendaan untuk para sopir truk beristirahat.
Jika tak ada warung, mereka terpaksa harus menunggu di dalam truk sampah yang dikendarainya.
Sopir akan semakin tersiksa jika tak membawa bekal dan tidak memiliki uang.
Sebab mereka terpaksa harus menahan rasa lapar selama belasan jam di dalam truk sampahnya itu.
Mengingat dari pihak Bantargebang tak pernah menyediakan makanan atau minuman untuk para sopir yang harus antre belasan jam.
Tak hanya lelah secara fisik, pengeluaran uang para sopir truk juga lebih ekstra ketika harus menunggu antrean belasan jam.
Pasalnya, mereka harus membeli makanan dan minuman, karena perbekalannya dari rumah hanya cukup untuk makan satu kali.
“Iya, pengeluaran jadi ekstra karena harus beli makan dan minum. Biasanya, uang bisa sampai Rp 100.000 ke atas, kalau makan Rp 15.000 tiga kali udah berapa itu kalau diirit-irit,” ujar Hendra.
Di tengah pengeluaran yang ekstra, para sopir truk tak mendapat uang lembur, meski harus belasan jam mengantre di Bantargebang.
Hal itu lah yang membuat mereka harus putar otak dalam mengelola gaji yang diterima per bulan.
“Kalau soal gaji mau gimana lagi, kita pas-pasin aja buat di dapur. Abis gimana kita kan harus jalanin harus teriak ke mana, mau ngadu ke mana percuma,” kata Hendra.
Sopir truk lain, Santo (bukan nama sebenarnya, 39) juga mengaku, pengeluaran uangnya lebih banyak karena antrean pembuangan sampah di Bantargebang mencapai belasan jam.
Di tengah pengeluarannya yang meningkat, Santo mengeluhkan gajinya yang tak kunjung naik.
“Untuk saat ini saya nerima di rekening itu Rp 7,5 juta. Jadi, enggak ada tunjangan-tunjangan lain, cuma itu doang,” ujar dia.
Santo berharap, agar para sopir bisa mendapat pesangon ketika sudah tidak lagi dipekerjakan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta.
Pasalnya, meski pendapatannya sudah di atas UMR Jakarta, para sopir merasa gajinya tetap pas-pasan di tengah risiko pekerjaan yang tinggi dan jarang pulang ke rumah.
Kemudian, Santo juga berharap jalan di Bantargebang segera diperbaiki agar aman dilintasi para sopir truk, sebab banyak akses yang rusak dan licin yang berpotensi membahayakan.
“Emang semua harapan sopir truk itu. Pengin diperbaiki jalannya, karena menyiksa,” ujar dia.
Lalu, ia juga meminta agar landfill atau zona untuk membuang sampah bisa dibuat rata dan tidak miring agar tak membahayakan sopir truk.
Sebab, jika sopir truk membongkar muatan sampah di area landfill yang miring maka kendaraan mereka berpotensi terbalik.
Pengamat perkotaan Universitas Indonesia (UI) Muh Aziz Muslim menilai, antrean truk menunjukkan bahwa kuantitas sampah Jakarta terus bertambah di tengah kapasitas TPST Bantargebang yang sudah melebihi batas.
Di sisi lain, infrastruktur TPST yang kurang memadai, seperti jalan rusak, landfill yang sudah penuh juga jadi penyebab terjadinya antrean truk yang mau membuang sampah di Bantargebang mencapai belasan jam.
“Kondisi ini tentu membutuhkan adanya skenario ya bagaimana kapasitas landfill yang terbatas ya dan infrastruktur yang juga mengalami kerusakan itu dapat diselesaikan,” ujar Aziz.
Untuk mengatasi persoalan itu maka diperlukan perbaikan dari hulu ke hilir.
Perbaikan di hulu bisa dimulai dari rumah dan kawasan industri dengan menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) itu nanti akan meringankan beban TPA-nya.
Dengan berkurangnya volume sampah yang masuk maka permasalahan landfill yang melebihi kapasitas di Bantargebang bisa teratasi.
Kemudian, infrastruktur jalan di Bantargebang juga tidak akan mudah lagi rusak jika volume sampah yang masuk bisa berkurang secara signifikan.
Aziz juga menyeroti perihal keselamatan kerja para sopir truk yang melakukan bongkar muat sampah di Bantargebang.
“Kalau terkait dengan keselamatan kerja bagaimana pemerintah memperlakukan sopir truk sampah. Undang-undangnya jelas, terkait dengan masalah Undang-Undang Ketenagakerjaan kita,” jelas dia.
Dalam Undang-undang itu, diatur bagaimana penetapan jam kerja, kewajiban, hingga hak-hak para pekerja atau sopir truk.
“Ini mesti diperhatikan apakah hak-haknya sudah diperhatikan, standar keselamatan kerja sudah diperhatikan atau belum, dan kita melihat kondisi truk serta fasilitas kerja yang mereka miliki juga mesti menjadi perhatian,” kata Aziz.
Selain itu, pemerintah juga diminta memperhatikan bagaimana mekanisme atau manajemen antrean truk sampah di Bantargebang agar bisa diperpendek dan diperbaiki.
Jangan sampai, kata Aziz, mekanisme antrean yang buruk justru membuat sopir truk menjadi korban lagi karena tak memiliki waktu istirahat yang cukup.
Dampak
kesehatan
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Prof. Dr Ari Fahrial Syam menilai, antrean pembuangan sampah di Bantargebang yang mencapai belasan jam tentu saja akan membuat para sopir truk kekurangan jam istirahat.
Padahal, idealnya dalam satu hari seseorang harus tidur sekitar enam hingga delapan jam, delapan jam lainnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas berat dan delapan jam lagi untuk melakukan aktivitas ringan.
“Nah, kalau kita lihat bahwa para sopir truk ini bekerja dengan jam sangat panjang, kurang tidur, nah ini tentu akan memengaruhi keadaan tubuhnya, kesehatannya secara keseluruhan,” ungkap Ari.
Kondisi semakin buruk karena para sopir truk mengantre di tengah gunungan sampah sehingga tanpa sadar terpapar dengan polutan dan gas metana.
Jadi, sudah seharusnya para sopir truk menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker, sehingga tidak terpapar polutan dan gas metana secara langsung.
Pasalnya, paparan polutan dan gas metana dari tumpukan sampah berpotensi meningkatkan risiko sopir mengalami micro sleep.
Jika micro sleep itu terjadi, maka akan berpotensi fatal untuk para sopir truk karena bisa menyebabkan kecelakaan.
Kurang tidur dalam jangka waktu panjang juga membuat para sopir truk mudah mengalami infeksi dan meningkatkan stres.
“Apalagi kalau dia punya bakat atau sudah ada faktor genetik untuk hipertensi, mungkin hipertensi orang-orang dengan tidur yang kurang, kecapekan, kelelahan tentu juga akan memengaruhi kalau dia punya penyakit kronis misalnya gula darah yang tidak terkontrol ya. Kalau hipertensi tadi mungkin bisa menjadi stroke misalnya seperti itu,” ucap dia.
Sementara untuk paparan gas metana dan polutan dari sampah dalam jangka panjang bisa membuat paru-paru para sopir truk bermasalah.
Misalnya, seperti penyakit paru obstruksi kronis, asma, dan lain sebagainya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Nestapa Sopir Truk Sampah Bertahan Belasan Jam, Terjebak Antrean Bantargebang Megapolitan 15 Desember 2025
/data/photo/2025/12/15/693f4d2160e0e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)