Negara: Yordania

  • Turki Berencana Bangun 2 Pangkalan Militer di Suriah, Bagaimana Nasib Rusia? – Halaman all

    Turki Berencana Bangun 2 Pangkalan Militer di Suriah, Bagaimana Nasib Rusia? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Militer Turki berencana membangun dua pangkalan militer baru di Suriah yang akan digunakan untuk melatih angkatan bersenjata baru negara tersebut.

    Laporan ini bersumber dari informasi yang dikutip oleh surat kabar Türkiye Newspaper pada 3 Februari 2025 dari beberapa sumber Arab yang tidak disebutkan namanya.

    “Turki akan melatih anggota militer di dua pangkalan yang akan dibangun di Suriah,” menurut laporan tersebut.

    “Turki dan Suriah akan menandatangani perjanjian pertahanan bersama.”

    Laporan itu juga menambahkan, “Berdasarkan perjanjian yang diharapkan segera ditandatangani, Turki akan membantu Suriah jika negara tersebut menghadapi ancaman mendadak.”

    Militer Turki akan melatih tentara Suriah, termasuk pilot, dengan tujuan membangun angkatan udara untuk Suriah.

    Dalam perjanjian tersebut, disebutkan bahwa Turki akan menempatkan 50 pesawat tempur F-16 di dua pangkalan baru tersebut hingga Angkatan Udara Suriah terbentuk sepenuhnya.

    “Langkah ini bertujuan untuk mencegah serangan apapun terhadap kedaulatan Suriah.”

    Selain itu, pihak berwenang Suriah juga dilaporkan meminta agar Turki mengerahkan pesawat nirawak, radar, dan sistem perang elektronik di sepanjang perbatasan Suriah dengan Israel.

    Mengutip The Cradle, setelah Ahmad al-Sharaa dilantik sebagai Presiden Suriah, diumumkan bahwa semua faksi bersenjata, termasuk kelompok ekstremis Hayat Tahrir al-Sham (HTS), akan dibubarkan dan digabungkan ke dalam institusi negara, termasuk militer.

    Banyak pejuang asing datang ke Suriah pasca-2011 untuk melawan pemerintahan mantan Presiden Bashar al-Assad.

    Mereka berasal dari Uighur Tiongkok, Albania, Turki, dan Yordania.

    Setelah Assad digulingkan, banyak dari mereka yang diberi posisi tinggi di militer baru Suriah, meskipun sebelumnya mereka adalah anggota ISIS atau faksi yang berhubungan dengan Al-Qaeda.

    Laporan ini muncul sehari sebelum Al-Sharaa (yang sebelumnya dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani), mantan pemimpin Al-Qaeda dan ISIS, dijadwalkan melakukan kunjungan resmi pertamanya ke Turki setelah perjalanannya ke Arab Saudi, di mana ia bertemu dengan Putra Mahkota Saudi, Mohamed bin Salman (MBS).

    Sharaa diperkirakan akan bertemu dengan pejabat dan pemimpin Turki untuk membahas sejumlah isu, termasuk pemulihan ekonomi dan keamanan.

    “Kami yakin hubungan antara Turki dan Suriah, yang telah kembali terbangun setelah pembebasan Suriah, akan semakin kuat dan berkembang dengan kunjungan Ahmad al-Sharaa dan delegasinya,” ujar Fahrettin Altun, Kepala Direktorat Komunikasi Kepresidenan Turki.

    Turki telah lama mendukung HTS dan berperan dalam operasi militer yang menyebabkan runtuhnya pemerintahan Assad pada 8 Desember 2024.

    Militer Turki telah berada di Suriah sejak 2016, terutama untuk memerangi pasukan Kurdi yang didukung AS.

    Bagaimana dengan Rusia?

    Selama pemerintahan Bashar al-Assad, Rusia memiliki dua pangkalan militer di Suriah, yakni Pangkalan Udara Khmeimim dan pangkalan angkatan laut di Tartus.

    PANGKALAN MILITER RUSIA – Kapal angkatan laut Rusia terlihat di Tartus pada tanggal 5 Desember (atas). Kapal-kapal tersebut hilang dalam gambar tanggal 10 Desember. (Maxar Technologies)

    Namun, situasi berubah setelah Assad digulingkan oleh kelompok yang dipimpin oleh Sharaa.

    Assad melarikan diri ke sekutunya, Rusia.

    Setelah itu, Rusia dilaporkan telah memindahkan peralatan militernya dari kedua pangkalan tersebut, meski tidak jelas apakah pemindahan itu hanya sementara atau permanen.

    Pada akhir Januari lalu, Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan ada “pembicaraan terbuka” terkait isu pangkalan militer ini, menurut Reuters.

    Kedua pihak masih melakukan kontak untuk mencapai kesepakatan lebih lanjut.

    Diplomat Rusia kemudian dikirim ke Damaskus untuk merundingkan masalah tersebut.

    Menurut laporan The New York Times pada 2 Februari 2025, delegasi diplomat Rusia tiba pada Selasa (28/1/2025) untuk menghadiri pertemuan di Damaskus.

    Namun pembicaraan berakhir tanpa kesepakatan.

    Pertemuan ini mencerminkan tawar-menawar geopolitik yang telah berlangsung pasca-perang saudara Suriah — dengan potensi membentuk kembali Timur Tengah, tulis The New York Times.

    Kekuatan-kekuatan dunia bersaing memperebutkan pengaruh, sementara pemimpin muda Suriah berupaya memperoleh legitimasi, keamanan, dan bantuan melalui pendekatan realpolitik yang pragmatis.

    “Saya rasa suasana umum di Damaskus saat ini adalah, ‘Kami orang Suriah tidak perlu bertengkar dengan siapa pun, termasuk mantan musuh kami,’” kata Charles Lister, peneliti senior di Middle East Institute di Washington.

    “Jadi, de-eskalasi dan pragmatisme adalah kuncinya.”

    Namun, Rusia diminta untuk membuat konsesi.

    Al-Sharaa menekankan bahwa setiap hubungan baru dengan Rusia harus menyelesaikan kesalahan masa lalu terlebih dahulu.

    Dia meminta kompensasi atas kerusakan yang disebabkan oleh Rusia dan menuntut agar Assad serta rekan-rekannya diserahkan untuk diadili, menurut dua pejabat yang mengetahui pertemuan tersebut.

    Presiden Rusia, Vladimir Putin, kemungkinan besar tidak akan setuju.

    Ketika ditanya mengenai ekstradisi Assad sehari setelah pertemuan para diplomat tersebut, juru bicara Putin menolak berkomentar.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • 5 Negara Arab Surati AS, Tolak Relokasi Warga Palestina dari Gaza

    5 Negara Arab Surati AS, Tolak Relokasi Warga Palestina dari Gaza

    Jakarta

    Lima menteri luar negeri negara Arab dan seorang pejabat senior Palestina mengirim surat bersama kepada Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio. Kelima negara arab tersebut menentang rencana pemindahan warga Palestina dari Gaza, seperti yang diusulkan Presiden AS Donald Trump.

    Dilansir Reuters, Selasa (4/2/2025), surat tersebut dikirim pada hari Senin. Surat tersebut ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Yordania, Mesir, Arab Saudi, Qatar, dan UEA, serta penasihat presiden Palestina Hussein al-Sheikh. Surat tersebut pertama kali dilaporkan oleh Axios, yang mengatakan para diplomat tinggi bertemu di Kairo selama akhir pekan.

    Surat itu berisi permintaan agar rekonstruksi di Gaza dibangun berdasarkan partisipasi warganya. Selain itu, surat itu juga mengingatkan agar hak warga Gaza selama rekonstruksi tidak boleh diganggu.

    “Rekonstruksi di Gaza harus dilakukan melalui keterlibatan langsung dan partisipasi rakyat Gaza. Warga Palestina akan tinggal di tanah mereka dan membantu membangunnya kembali,” kata surat itu.

    “Dan mereka tidak boleh dilucuti haknya selama rekonstruksi karena mereka harus mengambil alih proses tersebut dengan dukungan masyarakat internasional,” sambungnya.

    Diketahui, Trump pertama kali melontarkan usul agar Yordania dan Mesir menerima warga Palestina dari Gaza pada tanggal 25 Januari. Ketika ditanya apakah ia menyarankan hal itu sebagai solusi jangka panjang atau jangka pendek, presiden berkata: “Bisa jadi salah satunya.”

    Pernyataan Trump tersebut menggemakan ketakutan lama warga Palestina terkait pengusiran permanen dari rumah mereka dan dicap sebagai usulan pembersihan etnis oleh para kritikus. Yordania, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya menentang usulan tersebut.

    Serangan militer Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 47.000 warga Palestina, menurut kementerian kesehatan Gaza. Israel dituduh melakukan genosida dan kejahatan perang yang telah dibantah Israel. Pertempuran saat ini telah terhenti di tengah gencatan senjata yang rapuh.

    Lihat juga Video Lima Negara Arab Tolak Ide Trump Relokasi Warga Gaza

    (yld/zap)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Warga Gaza pada Dasarnya Jahat dan Tidak Layak Diberi Ampun

    Warga Gaza pada Dasarnya Jahat dan Tidak Layak Diberi Ampun

    PIKIRAN RAKYAT – Seorang anggota dewan yang ditunjuk Trump untuk United States Holocaust Memorial Council melancarkan serangan pedas terhadap warga Palestina di Gaza, dengan mengatakan bahwa mereka pada dasarnya jahat dan tidak layak untuk diberi ampun.

    Dalam tajuk rencana di surat kabar The Jerusalem Post, Martin Oliner, yang terpilih menjadi anggota dewan beberapa hari sebelum kerusuhan 6 Januari, membela pernyataan presiden AS baru-baru ini yang menyerukan pembersihan etnis warga Palestina dari Gaza hingga negara-negara Arab seperti Mesir dan Yordania.

    Oliner, yang menjabat sebagai ketua Religious Zionists of America, presiden Culture for Peace Institute, dan juga sering menjadi kolumnis di The Jerusalem Post, mengatakan bahwa mereka yang peduli dengan penderitaan rakyat Palestina seharusnya memberikan pujian yang melimpah kepada Trump karena cukup peduli untuk menemukan solusi positif bagi masalah mereka saat ini.

    “Dan mereka seperti saya yang tidak percaya bahwa warga Gaza layak mendapatkan belas kasihan juga seharusnya menyambutnya. Jangan berbasa-basi di sini. Rakyat Gaza bersalah secara kolektif,” tulisnya.

    “Tindakan rakyat Gaza membuktikan bahwa mereka membutuhkan pendidikan detoksifikasi sebelum rekonstruksi dapat dimulai. Mereka pada dasarnya jahat, dan mereka harus membayar harga atas tindakan mereka,” ia menambahkan.

    Pandangan Rasis dan Penuh Kebencian

    Pernyataan Oliner menuai kritik keras dari Dewan Hubungan Amerika-Islam (Cair), yang meminta Trump untuk segera mencopotnya dari jabatannya di Dewan Peringatan Holocaust Amerika Serikat.

    “Tidak dapat diterima bagi siapa pun yang percaya bahwa semua anak dan setiap orang lain dalam suatu populasi ‘pada dasarnya jahat’ dan tidak layak mendapatkan ‘belas kasihan’ untuk memegang jabatan di organisasi mana pun, baik entitas swasta maupun publik,” kata Cair.

    “Pandangan rasis dan penuh kebencian seperti inilah yang mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk genosida di Gaza,” jelasnya.

    Pengusiran Rakyat Palestina

    Minggu lalu, beberapa hari setelah gencatan senjata diberlakukan di Gaza, yang mengakhiri perang selama 15 bulan, Trump menggambarkan Gaza sebagai lokasi pembongkaran dan mengatakan akan lebih baik jika dibersihkan semuanya.

    “Saya ingin Mesir menerima orang. Anda berbicara tentang sekitar satu setengah juta orang, dan kita bersihkan saja semuanya dan berkata: ‘Anda tahu, ini sudah berakhir’,” kata Trump saat itu.

    Mesir dan Yordania, sekutu utama AS di kawasan tersebut, telah berulang kali menolak usulan Trump, dengan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengatakan warga Mesir akan turun ke jalan untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka.

    “Pengusiran rakyat Palestina dari tanah mereka adalah ketidakadilan yang tidak dapat kami lakukan,” kata Sisi.

    Pada hari Sabtu, menteri luar negeri dan pejabat dari Mesir, Yordania, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Otoritas Palestina, dan Liga Arab mengatakan usulan Trump akan mengancam stabilitas di kawasan tersebut, menyebarkan konflik, dan merusak prospek perdamaian.

    “Kami menegaskan penolakan kami terhadap setiap upaya untuk mengkompromikan hak-hak Palestina yang tidak dapat dicabut, baik melalui kegiatan permukiman, atau penggusuran atau pencaplokan tanah atau melalui pengosongan tanah dari pemiliknya,” kata mereka dalam pernyataan bersama.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Iran Kecam Rencana Trump Relokasi Warga Gaza, Singgung Pembersihan Etnis    
        Iran Kecam Rencana Trump Relokasi Warga Gaza, Singgung Pembersihan Etnis

    Iran Kecam Rencana Trump Relokasi Warga Gaza, Singgung Pembersihan Etnis Iran Kecam Rencana Trump Relokasi Warga Gaza, Singgung Pembersihan Etnis

    Teheran

    Pemerintah Iran mengecam gagasan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk merelokasi warga Palestina keluar dari Jalur Gaza. Teheran memperingatkan bahwa langkah semacam itu sama saja merupakan “pembersihan etnis” terhadap Palestina.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baqaei, seperti dilansir AFP, Senin (3/2/2025), menyerukan komunitas internasional untuk membantu warga Palestina “menjamin hak untuk menentukan nasib mereka sendiri… daripada mendorong gagasan-gagasan lainnya yang mengarah pada pembersihan etnis”.

    Pernyataan dari Baqaei itu disampaikan setelah Trump berulang kali melontarkan gagasan untuk “membersihkan” Jalur Gaza dan memindahkan penduduknya ke tempat yang lebih aman, seperti Mesir dan Yordania.

    “Membersihkan Gaza… adalah bagian dari penghapusan kolonial terhadap Jalur Gaza dan seluruh Palestina,” sebut Baqaei dalam pernyataannya.

    Dia menegaskan bahwa “tidak ada pihak ketiga” yang dapat memutuskan masa depan wilayah Palestina.

    Iran yang tidak mengakui Israel, telah menjadikan dukungan terhadap perjuangan Palestina sebagai salah satu pilar kebijakan luar negerinya sejak kemenangan Revolusi Islam tahun 1979 silam.

    Teheran dan Tel Aviv yang bermusuhan selama bertahun-tahun, telah beberapa kali terlibat aksi saling serang selama perang Gaza berkecamuk.

    Iran memberikan dukungan finansial dan militer kepada kelompok Hamas yang berperang melawan Israel. Namun negara itu bersikeras menyatakan bahwa Hamas dan kelompok-kelompok lainnya yang didukung Teheran bertindak independen.

    Wakil Presiden Iran, Mohammad Javad Zarif, baru-baru ini menyebut serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, yang memicu perang Gaza, telah “merusak” negosiasi nuklir antara Teheran dan Washington.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Puluhan Anggota Hamas Dibebaskan Israel, Belum Ada Negara Arab yang Bersedia Terima Mereka – Halaman all

    Puluhan Anggota Hamas Dibebaskan Israel, Belum Ada Negara Arab yang Bersedia Terima Mereka – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Negara-negara Arab dikabarkan belum bersedia menerima satu pun dari puluhan anggota Hamas yang baru saja dibebaskan Israel.

    Media Israel Yedioth Ahronoth menyebut ada 70 anggota Hamas yang kini dideportasi ke Mesir sebagai bagian dari perjanjian gencatan sandera dan pertukaran tahanan.

    Akan tetapi, mereka masih terdampar di hotel di Kota Kairo karena pemerintah Mesir belum bersedia menerima mereka secara resmi.

    “Tak ada satu pun negara Arab yang bersedia menerima, bahkan satu pun eks tahanan Palestina yang dideportasi,” kata seorang pejabat Otoritas Tahanan Palestina kepada media Israel itu.

    Pejabat itu mengklaim Turki sudah bersedia menerima eks tahanan dari Yerusalem. Namun, negara itu akan terlebih dulu meninjau latar belakang mereka.

    Menurut dia, semua eks tahanan itu kini ditempatkan di sebuah hotel dan dilarang pergi dari sana. Dia berujar mereka saat ini seperti “berpindah dari penjara Israel ke penjara Mesir”.

    Pejabat itu menyampaikan bahwa para pemimpin Hamas tetap bungkam mengenai persoalan tersebut.

    “Warga Mesir tidak memperlakukan mereka dengan hangat,” kata pejabat itu.

    Mereka disebut masih mengenakan seragam dan sandal dari penjara Israel.

    Sementara itu, sebanyak 23 eks tahanan lainnya yang akan dikirim ke luar negeri juga masih terdampar di Gaza.

    Selain Mesir, negara-negara yang berpotensi menjadi tempat tinggal para tahanan adalah Aljazair, Turki, Tunisia, dan Qatar. Perdana Menteri Qatar dan Menteri Luar Negeri Turki sudah mengatakan bersedia menerima beberapa eks tahanan, tetapi tidak merinci jumlahnya.

    Pertukaran tahanan tahap empat

    Pada hari Sabtu, (1/2/2025), Israel dan Hamas melakukan pertukaran tahanan untuk keempat kalinya selama gencatan senjata.

    Israel membebaskan 183 warga Palestina setelah Hamas membebaskan tiga warga Israel di Gaza.

    Tiga orang itu diserahkan di depan panggung yang didirikan Hamas. Panggung tersebut dihiasi dengan foto Muhammad Deif, pemimpin Hamas yang dibunuh Israel.

    The Daily Egypt melaporkan dari ratusan orang yang dibebaskan Israel, ada 18 orang yang dijatuhi hukuman seumur hidup, 54 orang dijatuhi hukuman berat dan seumur hidup, dan 111 lainnya yang ditahan pasukan Israel setelah perang di Gaza meletus tanggal 7 Oktober 2023.

    Israel menyebut setelah pembebasan tahap keempat ini, masih ada 79 yang ditahan Hamas di Gaza. Akan ada 20 orang lagi yang dibebaskan pada fase pertama gencatan senjata.

    Sementara itu, Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump masih terus membahas fase kedua gencatan senjata dan masa depan Gaza. Trump sudah mengusulkan pemindahan warga Gaza ke Mesir dan Yordania meski akhirnya usul tersebut ditolak oleh kedua negara itu.

    Adapun enam negara Arab menggelar rapat di Kairo pada hari Sabtu untuk membahas perkembangan situasi di Gaza.

    Juru penengah dari Mesir dan Qatar mulai mempersiapkan sesi kedua perundingan gencatan senjata. 

    Jika tahap kedua gencatan senjata gagal, perang di Gaza terancam kembali berkobar.

    Meski demikian, Ofer Shelah, seorang pakar pada Institut Kajian keamanan Nasional di Israel, mengklaim Israel akan susah mengobarkan kembali perang di Gaza.

    Dia mengatakan tidak ada jaminan semua sandera akan dibebaskan saat gencatan senjata. Lalu, banyak warga Palestina mulai kembali ke Gaza utara.

    “Tidak ada perang yang akan dilanjutkan,” kata Shelah dikutip dari Associated Press.

    “Apa yang akan kita lakukan sekarang? Kembali memindahkan penduduk ke [Gaza] selatan?”

    Dengan tegas dia menyebut tidak ada kemenangan total di Gaza.

    Adapun gencatan senjata Israel dengan Hamas kini masih berada pada tahap pertama.  Perundingan untuk membahas tahap kedua digelar minggu depan.

    Jika tahap kedua berhasil, akan ada lebih banyak sandera yang bebas. Akan tetapi jika tahap kedua gagal, masih akan ada puluhan sandera yang masih di Gaza.

    (*)

  • Raja Abdullah II Akan Temui Trump yang Ngotot Relokasi Warga Gaza ke Yordania

    Raja Abdullah II Akan Temui Trump yang Ngotot Relokasi Warga Gaza ke Yordania

    Amman

    Raja Yordania Abdullah II telah menerima undangan untuk mengunjungi Gedung Putih dan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Keduanya akan bertemu dalam waktu dekat.

    “Raja Abdullah II akan bertemu dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pada Selasa, 11 Februari 2025, setelah Yang Mulia menerima surat undangan dari Presiden Trump pekan lalu,” kata istana kerajaan Yordania dalam sebuah pernyataan, dilansir AFP, Senin (3/2/2025).

    Undangan untuk Raja Abdullah II berkunjung ke Gedung Putih terjadi setelah Trump mengusulkan untuk ‘membersihkan’ Gaza dengan mengirim warga Palestina ke Yordania dan Mesir.

    Baik Amman dan Kairo, sekutu utama AS di kawasan, telah berulang kali menolak usulan tersebut. Negara-negara lain di kawasan itu juga menolak usulan Trump.

    Dalam pertemuan dengan para pejabat Eropa di Brussels pada Rabu lalu, Raja Abdullah menegaskan kembali “pendapat Yordania yang teguh mengenai perlunya menempatkan warga Palestina di tanah mereka dan mendapatkan hak-hak sah mereka, sesuai dengan solusi dua negara”.

    Dia juga menekankan perlunya mempertahankan gencatan senjata di Gaza dan menyerukan peningkatan bantuan kemanusiaan ke wilayah Palestina.

    Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi mengatakan hal serupa bahwa diskusi apapun mengenai tanah air alternatif ditolak.

    Para diplomat terkemuka dari Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan Qatar menolak adanya pemindahan paksa warga Palestina selama pertemuan di Kairo.

    (fas/fas)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Indonesia Negeri Para Penjarah, Padahal Warganya Paling Taat Ibadah Dibandingkan Timur Tengah

    Indonesia Negeri Para Penjarah, Padahal Warganya Paling Taat Ibadah Dibandingkan Timur Tengah

    PIKIRAN RAKYAT – Fenomena penjarahan di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah serangkaian insiden yang menunjukkan bagaimana masyarakat bereaksi terhadap musibah, bukan dengan solidaritas, tetapi dengan mengambil keuntungan.

    Ironisnya, ini terjadi di negara yang menurut survei Pew Research Center mencatat tingkat religiusitas tertinggi di dunia.

    Dirangkum Pikiran-Rakyat.com dari berbagai sumber, artikel ini akan mengulas beberapa kasus terbaru, serta mencoba menggali lebih dalam paradoks antara ketaatan beribadah dan fenomena penjarahan.

    Kasus Penjarahan di Berbagai Wilayah

    Lampung: Truk Durian Digarong di Jalan Raya

    Di Lampung, sebuah mobil pick-up bermuatan durian terguling akibat kecelakaan tunggal di Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum), Kampung Banjarmasin, Kecamatan Baradatu, Kabupaten Way Kanan pada 26 Januari 2025.

    Bukannya membantu korban, warga setempat malah beramai-ramai menjarah durian yang berceceran di jalan. Beberapa di antara mereka bahkan membawa karung untuk mengangkut durian dalam jumlah besar.

    Kepolisian setempat telah menerima laporan dari korban dan tengah mengusut kasus ini. Kasatlantas Polres Way Kanan, AKP Asep Suhendi, meminta masyarakat bekerja sama dalam mengidentifikasi para pelaku yang terekam dalam video yang beredar.

    Cianjur: Jeruk Berserakan, Warga Berebutan

    Kejadian serupa terjadi di Cianjur, ketika sebuah mobil pengangkut jeruk ditabrak dari belakang oleh truk ganda di Jalan Raya Puncak pada 22 Januari 2025. Berbeda dengan kasus di Lampung, dalam insiden ini, pemilik jeruk mengikhlaskan barang dagangannya diambil oleh warga yang berkerumun di lokasi kejadian.

    Meski demikian, hal ini tetap menunjukkan bagaimana masyarakat cenderung menganggap barang yang berserakan akibat kecelakaan sebagai “rezeki nomplok”.

    Banten: Truk Tambang Dirusak dan Dijarah

    Di Tangerang, ratusan warga Desa Salembaran Jaya melakukan aksi penghadangan terhadap truk tambang proyek strategis nasional (PSN) di Pantai Indah Kosambi (PIK) 2. Warga tidak hanya menjarah barang-barang yang bisa diambil, tetapi juga merusak dan membakar beberapa truk.

    Aksi ini dipicu oleh keresahan masyarakat terhadap aktivitas kendaraan tambang yang dianggap merusak jalan dan sering menyebabkan kecelakaan.

    Bentrok antara warga dan aparat kepolisian pun tak terhindarkan, dengan beberapa petugas mengalami luka-luka akibat penghadangan tersebut. Hingga kini, situasi masih belum sepenuhnya kondusif.

    Makassar: Minyak Goreng Tumpah, Warga Menganggapnya Hadiah dari Tuhan

    Di Makassar, warga berebut mengambil minyak goreng dari sebuah truk kontainer yang terguling di depan Kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) pada 24 Oktober 2024. Mereka membawa botol galon, jerigen, hingga ember untuk mengangkut minyak yang tumpah ke jalanan. Salah satu warga bahkan menyebut kejadian ini sebagai “minyak gratis dari Allah.”

    Kasubnit Gakkum Polrestabes Makassar, Ipda Darwis, menjelaskan bahwa truk bermuatan 20 ton minyak goreng itu terguling akibat pengemudi yang kehilangan kendali saat menghindari kendaraan di depannya. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana masyarakat melihat barang yang tercecer sebagai sesuatu yang boleh diambil tanpa merasa bersalah.

    Mojokerto: Minyak Goreng Curah Dijarah Beramai-ramai

    Insiden serupa terjadi di Mojokerto pada 12 Agustus 2024, ketika truk tangki pengangkut minyak goreng curah terguling di jalan raya Desa Jetis. Ribuan liter minyak tumpah ke jalan dan warga sekitar langsung berbondong-bondong mengambilnya dengan ember dan galon.

    Sopir truk, Bibit Purwanto, mengalami luka-luka akibat kecelakaan ini. Sementara itu, kepolisian berupaya mengendalikan lalu lintas dan membersihkan tumpahan minyak menggunakan pasir.

    Tidak ada tindakan hukum yang diambil terhadap warga yang mengambil minyak, meskipun peristiwa ini menunjukkan pola berulang dalam kasus penjarahan.

    Indonesia, Negara Paling Religius di Dunia

    Menurut survei Pew Research Center yang dilakukan antara 2008 hingga 2023, Indonesia mencatat tingkat religiusitas tertinggi di dunia. Sebanyak 98 persen penduduknya memprioritaskan agama dalam kehidupan mereka, dan 95 persen beribadah setiap hari.

    Ini menempatkan Indonesia di atas negara-negara Timur Tengah seperti Maroko, Palestina, dan Yordania. Namun, laporan ini juga mengungkap paradoks bahwa tingkat religiusitas tidak selalu berbanding lurus dengan perilaku moral di masyarakat.

    Beberapa negara dengan tingkat religiusitas tinggi justru masih menghadapi masalah seperti korupsi, ketimpangan sosial, dan, dalam konteks Indonesia, maraknya aksi penjarahan.

    Penelitian juga menunjukkan bahwa banyak masyarakat di Indonesia melihat agama sebagai identitas sosial dan budaya, tetapi belum tentu sebagai pedoman moral dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, mereka rajin beribadah tetapi masih cenderung mengabaikan nilai-nilai etika dalam interaksi sosial, seperti dalam kasus penjarahan ini.

    Mengapa Fenomena Penjarahan Ini Terjadi?

    Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan fenomena ini:

    Mentalitas “Rezeki Nomplok”

    Banyak warga melihat barang yang tercecer akibat kecelakaan sebagai “rezeki yang tak boleh disia-siakan,” tanpa memikirkan bahwa ini sebenarnya adalah tindakan mengambil hak orang lain.

    Kurangnya Kesadaran Hukum

    Minimnya edukasi mengenai hukum dan kepemilikan barang membuat sebagian masyarakat tidak merasa bersalah ketika menjarah barang korban kecelakaan.

    Ketimpangan Ekonomi

    Faktor ekonomi juga menjadi pemicu utama. Masyarakat dengan kondisi ekonomi sulit lebih cenderung mengambil kesempatan ketika melihat barang yang bisa dimanfaatkan secara gratis.

    Ketidaktegasan Aparat

    Kurangnya tindakan hukum terhadap pelaku penjarahan membuat fenomena ini terus berulang. Dalam banyak kasus, tidak ada sanksi yang diberikan kepada pelaku.

    Religiusitas tanpa Moralitas?

    Kasus-kasus penjarahan di Indonesia menunjukkan adanya ketimpangan antara religiusitas dan moralitas sosial. Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat religius, tindakan sehari-hari masyarakatnya masih menunjukkan kurangnya implementasi nilai-nilai etika dalam kehidupan sosial.

    Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, termasuk edukasi moral sejak dini, penegakan hukum yang lebih ketat, serta peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Tanpa perubahan ini, paradoks antara religiusitas dan maraknya penjarahan akan terus berlanjut di Indonesia.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Donald Trump Telepon Presiden Mesir, Tak Menyinggung Soal Pemindahan Warga Gaza, Ini yang Dibahas – Halaman all

    Donald Trump Telepon Presiden Mesir, Tak Menyinggung Soal Pemindahan Warga Gaza, Ini yang Dibahas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden AS, Donald Trump menelepon Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi, Sabtu (1/2/2025).

    Dalam sambungan telepon itu, baik Donald Trump maupun Abdel Fattah al-Sisi tidak membahas soal pemindahan warga Gaza ke Mesir dan Yordania.

    Kantor Kepresidenan Mesir mengatakan, Trump dan al-Sisi melakukan dialog positif tentang pentingnya penerapan penuh fase pertama dan kedua gencatan senjata antara Hamas dengan Israel.

    Dikutip dari Reuters, keduanya juga menakankan perlunya meningkatkan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.

    Sebelumnya, Trump ngotot ingin memindahkan warga Palestina dari Gaza ke Mesir dan Yordania.

    Keinginan Trump ini langsung mendapatkan kritikan dari para kritikus, dengan menyebut sarannya sama saja dengan pembersihan etnis.

    Al-Sisi juga langsung menolak usulan Trump dan menyebutnya sebagai “tindakan ketidakadilan”.

    Penolakan Presiden Mesir itu langsung mendapatkan respons dari Trump.

    Trump mengatakan, Mesir dan Yordania tak akan menolak dengan alasan AS telah melakukan banyak hal untuk kedua negara tersebut.

    “Mereka akan melakukannya,” kata Trump.

    Para menteri luar negeri Arab yang bertemu di Kairo pada hari Sabtu juga menolak pemindahan warga Palestina dari tanah mereka.

    Mereka mengatakan tindakan seperti itu akan mengancam stabilitas regional, menyebarkan konflik dan merusak prospek perdamaian.

    Dalam panggilan telepon, Sisi dan Trump juga menyatakan keinginan mereka untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan itu, kata pernyataan kepresidenan Mesir.

    Sisi mengundang Trump untuk mengunjungi Mesir sesegera mungkin guna membahas masalah-masalah di Timur Tengah.

    Kedua presiden juga membahas perlunya memperkuat hubungan ekonomi dan investasi mereka, katanya.

    Pembebasan Sandera

    Sementara itu, Hamas telah melakukan pembebasan sandera ketiga pada Sabtu (1/2/2025).

    Kali ini, Hamas telah membebaskan tiga sandera, satu warga negara Amerika-Israel, sementara dua lainnya merupakan warga negara Israel.

    Seorang warga negara ganda Amerika-Israel, Keith Siegel dibebaskan oleh Hamas di Kota Gaza.

    Sementara dua warga Israel, Yarden Bibas dan Ofer Calderon dibebaskan di kota selatan Khan Younis.

    Dalam sebuah pernyataan, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan, ketiga sandera yang dibebaskan Hamas akan dipertemukan kembali dengan anggota keluarga.

    Kedua serah terima tersebut dilakukan dengan cepat tanpa kekacauan seperti yang terjadi pada pertukaran tahanan ketiga sebelumnya.

    Israel juga ikut membebaskan 183 tahanan Palestina setelah tiga sandera Israel dibebaskan oleh Hamas.

    Menurut otoritas Palestina, 18 tahanan menjalani hukuman seumur hidup.

    Lebih dari 100 orang berasal dari Jalur Gaza, ditangkap setelah 7 Oktober 2023, dan ditahan tanpa diadili.

    Tiga puluh tahanan, termasuk tiga orang yang menjalani hukuman seumur hidup, dibebaskan untuk masing-masing sandera Keith Siegel dan Ofer Kalderon, dan 12 tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup dibebaskan untuk Yarden Bibas.

    Dikutip dari The Times of Israel, Israel telah setuju untuk membebaskan lebih dari 1.000 tahanan Gaza selama masa pelaksanaan perjanjian.

    Pada hari Sabtu, Israel membebaskan 111 tahanan yang ditahan oleh pasukan di Jalur Gaza tetapi tidak terlibat dalam serangan 7 Oktober.

    Dari total 183 orang yang dibebaskan, 150 orang dipulangkan atau dideportasi ke Jalur Gaza, 32 orang dibebaskan ke Tepi Barat, dan satu orang dikirim ke Mesir.

    Tahanan yang dikirim ke Tepi Barat dibebaskan dari Penjara Ofer dekat Ramallah, kata Dinas Penjara Israel (IPS).

    Sementara tahanan lainnya dibebaskan dari Penjara Ktzi’ot di Israel selatan dan dibawa ke Penyeberangan Kerem Shalom ke Gaza, dekat perbatasan Mesir.

    “Pasukan Dinas Penjara bertindak untuk membebaskan teroris sesuai dengan kesepakatan diplomatik untuk memulangkan para sandera, dengan koordinasi penuh dengan semua badan keamanan,” kata IPS dalam sebuah pernyataan. (*)

  • Masih Tergantung Israel, Yordania-Mesir Hadapi Bahaya Besar Berani Tolak AS untuk Tampung Warga Gaza – Halaman all

    Masih Tergantung Israel, Yordania-Mesir Hadapi Bahaya Besar Berani Tolak AS untuk Tampung Warga Gaza – Halaman all

    Masih Tergantung Israel, Yordania-Mesir Hadapi Bahaya Besar Berani Tolak AS untuk Tampung Warga Gaza

    TRIBUNNEWS.COM – Yordania dan Mesir dikhawatirkan akan menghadapi bahaya besar atas penolakan mereka terhadap seruan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang meminta mereka menampung warga Palestina di Jalur Gaza.

    Trump belakangan mengindikasikan akan melakukan upaya ‘paksa’ terhadap Yordania dan Mesir agar mau menerima dan menampung warga Gaza yang terusir agresi militer Israel tersebut.

    Pakar ekonomi Yordania, Amer Al-Shoubaki, dilansir Khaberni, Sabtu (1/2/2025) mengindikasikan bahaya besar bagi Yordania dan Mesir tersebut merujuk pada ketergantungan keduanya terhadap Israel atas kebutuhan dasar seperti air dan pasokan energi lain.

    Al-Shoubaki mengatakan dalam analisis ekonominya, mengatakan AS dan entitas Zionis akan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Yordania dan Mesir karena penolakan mereka untuk menampung pengungsi Gaza.

    “Opsi yang dimiliki Trump tidak hanya “menghentikan bantuan,” tetapi mungkin merupakan bagian dari rencana untuk memaksakan sanksi ekonomi (terhadap Mesir dan Yordania),” kata dia.

    Bentuk pemaksaan berupa sanksi ekonomi yang membayangi Yordania dan Mesir, kata dia bisa berwujud antara lain:

    Israel memutus pasokan gas ke Yordania dan Mesir, yang dapat menimbulkan risiko pemadaman listrik.  
    Israel telah berhenti memompa air ke Yordania. Ini menjadi bahay besar, terlebih karena musim hujan yang lemah diperkirakan akan menempatkan negara itu dalam kesulitan yang nyata pada musim panas mendatang.  
    AS akan menghentikan program-program Dana Moneter Internasional yang mengganggu alat-alat penyesuaian keuangan dan melemahkan kemampuan Yordania dan Mesir dalam menghadapi tantangan-tantangan ekonomi. 
    Menurunkan peringkat kredit Yordania-Mesir, yang berdampak pada meningkatnya biaya pinjaman ke tingkat yang sangat tinggi dan membebani anggaran kedua negara tersebut.  
    Menetapkan sanksi ekonomi bertahap yang membatasi sumber daya vital Yordania dan Mesir yang berdampak pada terganggunya sektor strategis, khususnya di perdagangan internasional.  
    Menekan mitra Yordania dan Mesir di Kawasan Teluk, Eropa, dan Jepang untuk menghentikan dukungan finansial atau investasi apa pun, yang akan mengisolasi kedua negara dari sumber pendanaan eksternal.  
    Menghambat akses Yordania dan Mesir ke pasar keuangan internasional, yang membuat kedua negara ini tidak dapat membiayai defisit dan memperdalam krisis.  

    Ancaman Stabilitas Politik dan Keamanan

    Al-Shoubaki melanjutkan, risiko yang lebih buruk dari sanksi ekonomi adalah “upaya AS dan Israel untuk mengacaukan stabilitas politik dan keamanan” Yordania dan Mesir demi memaksakan kehendak mereka agar kedua negara ini mau menerima relokasi paksa warga Gaza.  

    “Tujuan tekanan-tekanan ini jelas, yaitu memaksa kita untuk menerima pengusiran orang-orang Palestina dengan mencekik perekonomian kita dan membatasi pilihan-pilihan kita,” kata dia dilansir Khaberni.

    Al-Shoubaki menyerukan kepada pihak-pihak terkait untuk membentuk “sel krisis kedaulatan bersama” guna menghadapi tekanan Amerika dan Israel yang mengancam akan mengubah penolakan negara tersebut terhadap pemindahan warga Palestina menjadi mimpi buruk ekonomi dan politik.

    “Haruskah kita menunggu hingga ancaman itu menjadi kenyataan?” Atau haruskah kita bergerak sekarang dengan rencana proaktif yang menjaga stabilitas ekonomi dan politik kita serta melindungi kedaulatan dan tujuan kita?” kata Al-Shoubaki bertanya untuk mendorong pemerintah kerajaan Yordania agar lebih aktif bertindak atas situasi ancaman ini.

    KEMBALI PULANG – Antrean dan tumpukan kendaraan saat ratusan ribu warga Gaza yang kembali pulang setelah terusir dan mengungsi karena agresi militer Israel. Puluhan ribu warga Gaza ini kembali ke rumah-rumah mereka ke wilayah Gaza Utara, Senin (27/1/2025). (RNTV/TangkapLayar)

    Usulkan Referendum Nasional

    Seruan AS soal relokasi warga Gaza ini secara nyata menimbulkan gejolak di dalam negeri Yordania.

    Mantan anggota parlemen Yordania, Tariq Khoury mengusulkan kepada pemerintah Yordania untuk mengakhiri kontroversi seputar wacana pemindahan penduduk Gaza ke Yordania, dengan menggunakan keinginan rakyat melalui referendum nasional yang jelas dan eksplisit.

    Khoury melanjutkan dalam pernyataan Sabtu, bahwa tindakan ini akan menjadi pesan yang kuat kepada seluruh dunia dan kepada semua orang yang menargetkan Yordania.

    “Pesan jelasnya adalah, bahwa keputusan rakyat Yordania merupakan faktor penentu dalam masalah-masalah yang menentukan di tanah air,” kata dia dilansir Khaberni.

    Ia menambahkan bahwa referendum akan mengakhiri semua upaya keraguan dan interpretasi.

    “Refrendum juga akan menegaskan bahwa posisi rakyat sepenuhnya konsisten dengan konstanta nasional yang telah dideklarasikan oleh kepemimpinan Yordania sejak lama,” katanya.

    Khoury menekankan bahwa posisi Yordania bukanlah subjek perdebatan atau kompromi, melainkan komitmen nasional negara yang tegas yang disetujui oleh warga Yordania, para pemimpin dan rakyatnya.

     

     

    (oln/khbrn/*)

     
     

     
     

  • Warga Mesir Berdemo Protes Rencana Trump Relokasi Warga Gaza    
        Warga Mesir Berdemo Protes Rencana Trump Relokasi Warga Gaza

    Warga Mesir Berdemo Protes Rencana Trump Relokasi Warga Gaza Warga Mesir Berdemo Protes Rencana Trump Relokasi Warga Gaza

    Kairo

    Ribuan warga Mesir berunjuk rasa di dekat perlintasan perbatasan Rafah, yang menghubungkan negara tersebut dengan Jalur Gaza. Dalam aksinya, para demonstran memprotes rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza ke Mesir dan Yordania.

    Presiden Abdel Fattah al-Sisi sebelumnya menolak gagasan Trump soal Mesir akan memfasilitasi warga Palestina yang dipindahkan keluar dari Jalur Gaza yang dilanda perang berkepanjangan. Al-Sisi bahkan mengatakan warga Mesir akan turun ke jalan untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka.

    Dalam aksinya di dekat Rafah, seperti dilansir Reuters, Sabtu (1/2/2025), para demonstran Mesir meneriakkan slogan berbunyi “Hidup Mesir” dan melambaikan bendera nasional Mesir serta bendera Palestina.

    “Kami mengatakan tidak pada pengungsian apa pun dari Palestina atau Gaza dengan mengorbankan Mesir, di tanah Sinai,” tegas seorang warga Sinai bernama Gazy Saeed dalam aksi protes pada Jumat (31/1) tersebut.

    Sumber keamanan Mesir mengatakan kepada Reuters bahwa pihak-pihak yang dekat Al-Sisi mengerahkan bus-bus untuk mengangkut para demonstran ke dekat perlintasan perbatasan Rafah, di mana pergerakan warga sipil biasanya dibatasi.

    Disebutkan sumber keamanan tersebut bahwa aksi protes itu menunjukkan ketidaksetujuan publik, dan bukan hanya dari para pemimpin Kairo, terhadap rencana Trump merelokasi warga Gaza.

    Akhir pekan lalu, Trump melontarkan gagasan untuk “membersihkan” Gaza setelah perang antara Israel dan Hamas, yang berkecamuk selama lebih dari 15 bulan terakhir, yang disebutnya menjadikan wilayah Palestina itu bagaikan “area penghancuran”.

    Dia mempertegas kembali gagasannya pada pada Senin (27/1) waktu setempat. Trump menyatakan keinginan untuk memindahkan warga Palestina keluar dari Jalur Gaza, menuju ke lokasi-lokasi yang “lebih aman”, seperti Mesir atau Yordania.

    Lihat juga Video: Kala Trump Mau Pindahkan Warga Gaza ke Mesir-Yordania

    Gagasan itu ditolak mentah-mentah oleh Kairo dan Amman. Namun pada Kamis (30/1) kemarin, Trump ngotot dan bersikeras mengatakan Mesir dan Yordania akan mematuhi dan menampung warga Gaza, meskipun kedua negara itu berulang kali menolak rencana tersebut.

    “Mereka (Mesir dan Yordania-red) akan melakukannya. Mereka akan melakukannya,” tegas Trump saat ditanya apakah dirinya akan mempertimbangkan tindakan untuk menekan Kairo dan Amman agar menerima rencananya, termasuk mengenakan tarif.

    “Mereka akan melakukannya, oke? Kita telah melakukan banyak hal untuk mereka, dan mereka akan melakukannya,” ucap Trump saat berbicara kepada wartawan di Ruang Oval Gedung Putih. Dia tidak menyebut lebih lanjut soal “banyak hal” yang dilakukan AS untuk Mesir dan Yordania tersebut.

    Lihat juga Video: Kala Trump Mau Pindahkan Warga Gaza ke Mesir-Yordania

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu