Negara: Yordania

  • Sosok Fatima, Perempuan yang Hadir di Antara Erdogan dan Prabowo

    Sosok Fatima, Perempuan yang Hadir di Antara Erdogan dan Prabowo

    GELORA.CO – Kunjungan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ke Indonesia telah berakhir. Namun, masih ada sisi yang menarik dari kunjungannya. Misalnya saja seorang perempuan yang selalu hadir di antara Erdogan dan Presiden Prabowo Subianto.

    Perempuan itu adalah Dr. Fatima Gulhan Abushanab, penerjemah Erdogan.

    Fatima mulai tampak saat Erdogan dan istrinya, Emine, mendarat di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Selasa (11/2) sore. Dia memakai jas warna biru tua. Dia selalu berada di lingkaran Erdogan dan Emine.

    Pada Rabu (12/2) siang saat Erdogan menghadiri sambutan kenegaraan dan pertemuan bilateral di Istana Bogor, kehadiran Fatima juga tampak menonjol. Kali ini dia memakai jas biru muda. Dia membawa tas serta menggantungkan tanda pengenal di dada kirinya.

    Ketika Prabowo memberikan cenderamata kepada Erdogan, perempuan itu menerjemahkan pernyataan berbahasa Inggris Prabowo kepada Erdogan. Dia juga menyampaikan pertanyaan/pertanyaan Erdogan kepada Prabowo.

    Sebelum ke Indonesia, Fatima juga menjadi penerjemah Erdogan dalam kunjungannya ke Malaysia pada 10-11 Februari 2025.

    Sosok Fatima

    Fatima memperoleh gelar sarjana dari jurusan hubungan internasional di Universitas George Mason di Virginia dan kemudian gelar master dari Program Studi Liberal di Universitas Georgetown di Washington, D.C.  Selama di AS, dia pernah bekerja sebagai peneliti.

    Gelar doktor diraihnya dari Universitas Ankara. Saat ini, ia menjadi bagian dari tim pakar hubungan internasional di Istana Kepresidenan, tempat Erdogan berkantor.

    Ayah Fatima adalah orang Palestina yang berpaspor Yordania-AS, Ali Ahmad Ghulam Abushanab. Dengan demikian, Fatima memiliki darah Palestina.

    Sedangkan ibu Fatima adalah Prof. Dr. Merve Safa Kavakci dan menjadi Dubes Turki di Malaysia pada 2017-2022.

    Adapun ayah Merve dikenal sebagai Imam Yusuf di sebuah masjid di di  Richardson (Dallas, AS) dan salah satu pendiri komunitas Islam di sana. Yusuf berimigrasi ke Amerika karena putrinya (Merve) dilarang masuk sekolah dengan mengenakan jilbab. Yusuf memiliki hubungan yang kuat dengan komunitas Palestina di kota itu. 

    Ibu Fatima Diusir karena Berhijab

    Adapun ibu Fatima, Dr. Merve, adalah sosok terkemuka di Turki. Dia merupakan wakil ketua parlemen pertama yang memakai hijab di Turki — yang menganut sekularisme — hasil Pemilu 1999. Namun, karena hijabnya, dia diusir dari parlemen. Bahkan kewarganegaraannya dicabut.

    Merve kemudian pergi ke AS untuk menyelesaikan studi di Harvard dan mengajar di sana. Hingga kemudian Erdogan menunjuknya sebagai Dubes di Malaysia pada 2017.

  • Presiden Mesir dan Raja Yordania Tegaskan Bersatu Soal Gaza, Tolak Pemindahan Paksa Warga Palestina – Halaman all

    Presiden Mesir dan Raja Yordania Tegaskan Bersatu Soal Gaza, Tolak Pemindahan Paksa Warga Palestina – Halaman all

    Presiden Mesir dan Raja Yordania Tegaskan Bersatu Soal Gaza, Tolak Pemindahan Paksa Warga Palestina

    TRIBUNNEWS.COM-  Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan Raja Yordania Abdullah II menekankan “posisi bersama” mereka dalam menolak pemindahan paksa warga Palestina.

    Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan Raja Yordania Abdullah II pada hari Rabu menegaskan kembali penyelarasan posisi negara mereka di Gaza, sehari setelah Presiden AS Donald Trump bertemu dengan raja Yordania di Washington.  

    “Kedua pemimpin menegaskan kesatuan posisi Mesir dan Yordania” mengenai pembangunan kembali Gaza, “tanpa mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka,” menurut pernyataan dari kepresidenan Mesir.  

    Pernyataan terpisah dari pengadilan kerajaan Yordania menggemakan sikap ini, menekankan “posisi bersama” mereka dalam menolak pemindahan paksa warga Palestina.  

    Kedua pernyataan tersebut juga menggarisbawahi kesediaan mereka untuk “bekerja sama” dengan Trump dalam mengejar “perdamaian yang adil dan abadi” di Timur Tengah.  

    Mesir dan Yordania telah menjadi garda terdepan dalam upaya diplomatik Arab yang intensif dalam menentang rencana Trump untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza ke wilayah mereka.  

    Komentar Trump disertai dengan saran bahwa bantuan AS ke kedua negara “mungkin” dapat dihentikan jika mereka menolak menerima pengungsi Palestina.  

    Setelah pertemuannya dengan Trump di Washington pada hari Selasa, Raja Abdullah II menegaskan kembali bahwa Yordania tetap “teguh” dalam penentangannya terhadap pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.

    “Ini adalah posisi Arab yang bersatu,” tulis Abdullah di media sosial.

    Mesir mengumumkan minggu ini bahwa mereka akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak negara-negara Arab akhir bulan ini, di mana mereka berencana untuk menyajikan “visi komprehensif” untuk rekonstruksi Gaza sambil memastikan bahwa warga Palestina tetap berada di tanah mereka.  

    Baik Mesir maupun Yordania, sekutu utama AS, sangat bergantung pada bantuan asing, dengan AS menempati peringkat di antara donor utama mereka.

    Sebelumnya pada hari Rabu, Hamas memuji Yordania dan Mesir atas sikap mereka terhadap pemindahan penduduk Gaza.

    Hamas “menghargai posisi saudara-saudara kami di Yordania dan Mesir dalam menolak penggusuran rakyat kami dan menegaskan bahwa ada rencana Arab untuk membangun kembali Gaza tanpa menggusur penduduknya,” kata kelompok itu.  

    Pada hari Selasa, Presiden Palestina Mahmoud Abbas juga memuji posisi Raja Abdullah II “dalam mendukung hak-hak nasional yang adil dan sah bagi rakyat kami.”  

    Abbas juga menyampaikan apresiasinya kepada Mesir, Arab Saudi, dan negara-negara Arab lainnya serta sekutunya atas penolakan mereka terhadap usulan Trump, menurut kantor berita resmi Palestina WAFA .  

    Dalam pernyataannya pada hari Rabu, Hamas lebih lanjut memuji penentangan Yordania terhadap rencana tersebut, dan menggambarkannya sebagai hal yang konsisten dengan “penolakan lama Amman terhadap pemindahan dan pemukiman kembali.”  

    Kelompok tersebut juga mengutuk apa yang disebutnya sebagai “apa yang disebut proyek ‘tanah air alternatif’,” dan memperingatkan bahwa inisiatif tersebut bertujuan untuk “menghapus identitas rakyat Palestina dan menghilangkan tujuan mulia mereka.”

     

    SUMBER: AL MAYADEEN

  • Rencana Trump dan Bayang-bayang Kegagalan Normalisasi Saudi-Israel

    Rencana Trump dan Bayang-bayang Kegagalan Normalisasi Saudi-Israel

    Jakarta

    Usulan tentang masa depan warga Palestina dari Gaza tampaknya mulai bermunculan sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu di Washington pada pekan lalu.

    Pada hari Senin (10/02), Trump mengklarifikasi bahwa penduduk Palestina tidak akan diizinkan untuk kembali ke Jalur Gaza jika rencananya untuk mendapatkan dan membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat perang menjadi kenyataan.

    “Mereka akan memiliki tempat tinggal yang jauh lebih baik… di komunitas yang sedikit jauh dari tempat mereka kini berada, di mana semua bahaya ini muncul,” kata Trump kepada stasiun televisi AS, Fox News.

    Trump melihat negara-negara tetangga, seperti Mesir dan Yordania sebagai negara penampung utama bagi sekitar dua juta warga Palestina dari Gaza.

    Namun, para pakar hukum mengatakan bahwa mengusir warga Palestina dari Gaza melanggar hukum internasional. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan tentang “pembersihan etnis”.

    Gagasan kontroversial lainnya dikemukakan oleh PM Netanyahu. Belum lama ini, ia mengatakan kepada lembaga penyiaran Israel, Channel 14, bahwa “Saudi dapat mendirikan sebuah negara Palestina di Arab Saudi, mereka memiliki banyak lahan di sana.”

    Menanggapi hal ini, tidak hanya Mesir dan Yordania, tapi juga Arab Saudi menegaskan kembali bahwa menerima warga Palestina dari Gaza tidak akan terjadi.

    Penolakan Arab Saudi

    “Kerajaan menegaskan bahwa rakyat Palestina memiliki hak atas tanah mereka, dan mereka bukanlah penyusup atau imigran yang dapat diusir kapan pun pendudukan Israel yang brutal menginginkannya,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi yang diunggah di X.

    Kementerian Luar Negeri Arab Saudi juga menggarisbawahi bahwa “hak-hak rakyat Palestina akan tetap kokoh dan tidak akan ada yang bisa merampas hak-hak tersebut dari mereka, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.”

    Komentar-komentar yang disuarakan dengan tajam tersebut menandai perubahan haluan 180 derajat dari persahabatan diplomatik antara AS dan pemimpin de facto Arab Saudi Mohammed bin Salman, atau MBS, selama masa jabatan pertama Trump dari tahun 2017 hingga 2021.

    “Pada tahun 2017, banyak harapan ditumpukan pada Trump, terutama oleh MBS, yang masih mengonsolidasikan kekuasaannya,” kata Sebastian Sons, peneliti senior di lembaga pemikir Center for Applied Research in Partnership with the Orient (CARPO) yang bermarkas di Bonn, Jerman, kepada DW.

    Pada tahun-tahun berikutnya, hubungan politik dan ekonomi antara kedua negara semakin erat.

    Meski Trump berhasil menengahi hubungan diplomatik, yang dijuluki Perjanjian Abraham, antara Israel dan Sudan, Bahrain, Maroko, dan Uni Emirat Arab, ia tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan Arab Saudi sebelum ia digantikan oleh Joe Biden.

    Negosiasi AS antara Israel dan Arab Saudi terus berlanjut hingga serangan teror Hamas pada tanggal 7 Oktober yang memicu perang di Gaza.

    Sementara itu, setelah 15 bulan berlalu dan Trump kembali menjabat, banyak hal yang telah berubah.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Arab Saudi tak lagi pragmatis?

    “MBS tidak hanya tegas, tetapi juga sangat percaya diri. Ini dapat dilihat dari reaksinya terhadap pernyataan Trump dan Netanyahu mengenai warga Palestina dari Gaza,” kata Sebastian Sons.

    Dalam pandangan Sons, bagaimanapun juga, normalisasi dengan Israel tetap menjadi prioritas utama bagi Washington dan Yerusalem.

    “Lebih tinggi daripada untuk Arab Saudi saat ini,” kata Sons kepada DW.

    “Bagi Arab Saudi, normalisasi hubungan dengan Israel saat ini, dan penekanannya saat ini, adalah hal yang mustahil,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa “hal itu berarti kehilangan kredibilitas serta MBS tidak melihat Netanyahu dan Trump sebagai mitra yang dapat diandalkan untuk mewujudkan solusi dua negara.”

    Para pengamat lain juga setuju.

    “Rencana Trump terkait Gaza akan membuat normalisasi Saudi-Israel semakin sulit,” kata Anna Jacobs, peneliti Teluk dan peneliti non-residen di lembaga think tank yang berbasis di Washington, Arab Gulf States Institute, kepada DW.

    “Saudi telah memperjelas posisi mereka bahwa pemindahan paksa warga Palestina dari tanah mereka tidak dapat diterima,” katanya.

    Aziz Alghashian, peneliti senior di yayasan penelitian yang berbasis di Dubai, Observer Research Foundation, (ORF Middle East), juga mengamati bahwa Arab Saudi telah mengubah fokus politiknya dari pragmatisme menjadi ‘pertikaian’.

    “Saudi bersedia untuk berhadapan langsung dan berbeda pendapat dengan AS, bukannya bersikap pragmatis seperti di masa lalu,” katanya kepada DW.

    Menurutnya, kepercayaan diri ini didukung oleh dukungan publik berskala besar di Arab Saudi dan di seluruh negara Arab.

    “Sikap baru MBS sangat populer di jalanan Arab Saudi,” kata Alghashian.

    Namun, Sebastian Sons dari CARPO tidak mengesampingkan bahwa MBS dan Donald Trump pada akhirnya akan duduk bersama dan mencoba menemukan titik temu, karena keduanya juga perlu fokus pada kepentingan negara mereka.

    “Proyek perombakan ekonomi Arab Saudi, Visi 2030, perlu dijamin,” kata Sons, seraya menambahkan bahwa investasi AS adalah kunci dari proyek tersebut.

    Dan bagi AS, Arab Saudi tetap menjadi mitra utama di Timur Tengah.

    Sons memperkirakan Arab Saudi akan mengupayakan deeskalasi dalam waktu dekat yang dapat melengkapi kalkulasi politik Donald Trump.

    “Saya dapat membayangkan bahwa Trump juga berniat untuk mengajukan tuntutan maksimum untuk memperoleh setidaknya beberapa konsesi dari Arab Saudi,” kata Sons kepada DW.

    Namun, masih harus dilihat apakah hal ini juga mengarah pada pembahasan nasib warga Palestina di Gaza.

    Masa depan mereka masih dalam ketidakpastian setelah Hamas membatalkan gencatan senjata akhir pekan lalu. Saat ini, skenario terburuk bagi penduduk Gaza adalah kembalinya perang.

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Presiden Mesir dan Raja Yordania Tegaskan Bersatu Soal Gaza, Tolak Pemindahan Paksa Warga Palestina – Halaman all

    Menentang Trump, Mesir-Yordania Ajak Negara Arab Rekonstruksi Jalur Gaza Tanpa Usir Penduduknya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi membahas upaya membangun kembali Jalur Gaza melalui panggilan telepon dengan Raja Yordania Abdullah II pada hari Rabu (12/2/2025). 

    Panggilan telepon tersebut dilakukan setelah Raja Abdullah II melakukan kunjungan ke Gedung Putih untuk menemui Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    “Kedua pemimpin menekankan keinginan mereka untuk melakukan koordinasi bersama pada semua isu regional, dengan cara yang melayani kepentingan rakyat Mesir dan Yordania serta mendukung kepentingan rakyat Arab,” kata juru bicara resmi kepresidenan Mesir, Mohamed El-Shenawy, Rabu (12/2/2025).

    Al-Shennawy menegaskan Presiden El-Sisi dan Raja Abdullah II menekankan pentingnya penerapan penuh perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza, terus membebaskan tahanan, dan memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan dalam rangka upaya mengakhiri penderitaan kemanusiaan di Jalur Gaza.

    “Kedua pemimpin menekankan pentingnya memulai proses rekonstruksi Jalur Gaza segera dan tidak menggusur rakyat Palestina dari tanah mereka,” katanya.

    Mereka juga menekankan perlunya menghentikan praktik yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

    Selain itu, Mesir dan Yordania menyatakan keinginan mereka untuk bekerja sama erat dengan Presiden AS Donald Trump, dengan tujuan mencapai perdamaian abadi di kawasan Timur Tengah.

    Juru bicara tersebut juga mengungkapkan harapan kedua negara untuk mendirikan negara Palestina di perbatasan 4 Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sesuai dengan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang relevan.

    Dalam panggilan telepon tersebut, Presiden El-Sisi dan Raja Abdullah II membahas cara-cara untuk meningkatkan koordinasi dan konsultasi antara negara-negara Arab.

    Rencananya mereka akan mempersiapkan pertemuan puncak darurat Arab yang akan dihadiri oleh perwakilan dari Mesir, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yordania yang dijadwalkan akan diselenggarakan di Mesir pada 27 Februari 2025.

    Sebelumnya, Mesir dikabarkan akan mengusulkan untuk merekonstruksi Jalur Gaza selama lima tahun tanpa mengusir penduduknya seperti keinginan Donald Trump.

    “Usulan Mesir mengenai Gaza membayangkan rekonstruksi dimulai dari Rafah dan selatan dan berakhir di utara Jalur Gaza, dengan partisipasi negara-negara Arab, Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata sumber Mesir kepada Al Arabiya, Rabu.

    Usulan tersebut akan mencakup pekerjaan dalam dua tahap untuk menyingkirkan puing-puing dan membangun kompleks perumahan.

    Rincian usulan Mesir diperkirakan akan diumumkan minggu depan.

    Donald Trump Ingin Usir Warga Gaza dan AS Menduduki Jalur Gaza

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengatakan ingin menggusur warga Palestina dari Jalur Gaza dan memindahkan mereka secara permanen ke negara tetangga seperti Mesir dan Yordania.

    “Saya pikir akan ada sebidang tanah di Yordania dan Mesir tepat warga Palestina dapat tinggal,” kata Donald Trump setelah bertemu dengan Raja Yordania Abdullah II di Washington, Selasa (11/2/2025).

    “Saya yakin 99 persen bahwa kita akan mampu mencapai sesuatu dengan Mesir juga,” lanjutnya.

    Selain itu, Donald Trump menyatakan rencananya agar AS mengambil alih Jalur Gaza dan mengungkapkan kemungkinan untuk membeli wilayah tersebut.

    “Kami akan mengelola Jalur Gaza dengan sangat baik dan kami tidak akan membelinya,” ujarnya pada hari Selasa.

    Pernyataan Donald Trump memicu kemarahan dari negara-negara Arab dan internasional.

    Sementara itu sekutu Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendukung rencana AS untuk mengusir penduduk Gaza dan menduduki Jalur Gaza.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel

  • Sebut AS Munafik, Penulis Israel: Mengapa Donald Trump Tak Tampung Penduduk Gaza di Amerika Saja? – Halaman all

    Sebut AS Munafik, Penulis Israel: Mengapa Donald Trump Tak Tampung Penduduk Gaza di Amerika Saja? – Halaman all

    Penulis Israel: Mengapa Donald Trump Tak Tampung Penduduk Gaza di Amerika Saja?

     

    TRIBUNNEWS.COM – Seorang penulis Israel menilai, untuk membuktikan keseriusan niat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengusir penduduk Gaza ke luar negeri, ia harus memberikan contoh dengan mengeluarkan setengah juta visa imigrasi Amerika kepada warga Palestina di Jalur Gaza.

    Penulis dan pencatat jajak pendapat asal Israel tersebut, Sifer Plotzker menuangkan penilaian berbau sindiran itu di artikelnya di Yedioth Ahronoth dengan judul, “Beginilah cara Trump dapat melaksanakan rencananya untuk Jalur Gaza.”

    Seperti diketahui, Trump menyerukan pemindahan penduduk Jalur Gaza, dan meminta Yordania dan Mesir untuk menerima penduduk Gaza.

    Ia juga mengungkapkan – dalam konferensi pers dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu Selasa lalu di Washington, AS – niatnya untuk merebut Jalur Gaza setelah perang berakhir dan memindahkan penduduk Palestina dari sana, yang disambut dengan kritik internasional, khususnya dari dunia Arab.

    Trump juga tidak mengesampingkan kemungkinan pengerahan pasukan AS untuk mendukung pembangunan kembali Jalur Gaza.

    Atas itu, Trump mengharapkan Amerika Serikat memiliki “kepemilikan jangka panjang” di daerah kantong Palestina yang terkepung itu.

    USIR WARGA GAZA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Pemerintah AS dilaporkan berniat mengambil alih Jalur Gaza. (Instagram)

    Trump Harus Buktikan Keseriusan Omongannya

    Meskipun Plotzker meragukan kelayakan rencana Trump, dalam usulan yang tampaknya kontroversial, ia mengatakan kalau untuk membuktikan keseriusan niatnya, presiden AS tersebut harus menandatangani perintah eksekutif yang memberikan setengah juta visa imigrasi ke Amerika Serikat bagi warga Palestina di Jalur Gaza.

    Setelah AS melakukan hal tersebut, Selandia Baru, Spanyol, Norwegia, Uni Emirat Arab, dan negara-negara lain diharapkan akan mengikuti langkah AS tersebut dengan menerbitkan 200.000 visa imigrasi bagi warga Gaza.

    Ia menilai keputusan Trump ini akan sangat logis, karena – menurut penulis – membuka pintu Amerika Serikat bagi setengah juta warga Palestina dari Gaza akan menjadi preseden, mekanisme dan tanda untuk melaksanakan seluruh rencana Trump.

    Si penulis Israel bertanya, “Mengapa presiden AS memohon kepada negara-negara miskin untuk menampung warga Palestina yang tinggal di tenda-tenda sementara di Jalur Gaza, jika kekuatan dan kekayaan negaranya memungkinkannya untuk dengan mudah menampung sepertiga dari mereka?”

    Untuk mendukung argumennya, Plotzker menambahkan, “Tahun lalu saja, 3,5 juta warga negara tetangga berimigrasi ke Amerika Serikat, sebagian besar dari mereka tanpa visa masuk, apalagi visa imigran.”

    GAZA UTARA – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English yang diambil pada Senin (10/2/2025) menunjukkan keadaan kehancuran Gaza Utara setelah pasukan Israel mundur dari Koridor Netzarim pada hari Minggu (9/2/2025). (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English)

    Usulan AS Tanah Air Baru Warga Gaza, Bukti Trump Hipokrit 

    Selain itu, Plotsker percaya, jika rakyat Gaza menemukan rumah baru mereka di seberang Amerika, dan pada saat yang sama Amerika menguasai Gaza dalam waktu yang lama, mereka akan dapat kembali ke Gaza sebagai warga Amerika dari Gaza, berintegrasi dalam pembangunan kembali, dan menjadi tulang punggung “Jalur Gaza baru yang indah,” seperti yang dikatakan Trump.

    Plotsker juga mempromosikan idenya bahwa migrasi warga Palestina ke Amerika akan mengubah cara pandang warga Palestina yang menganggap meninggalkan Gaza sebagai pengungsian, karena menurutnya migrasi ke Amerika adalah hal yang diinginkan.

    Ia menambahkan, menggambarkan kepindahan keluarga Palestina dari tenda di reruntuhan Gaza utara ke lingkungan perumahan baru di Arizona sebagai “pengungsian” adalah hal yang menggelikan. 

    PENGUNGSI PALESTINA – Warga Palestina mengungsi dari kamp pengungsi Jenin pada 23 Januari 2025. Warga Palestina terpaksa mengungsi setelah pasukan Israel melancarkan serangan militer besar-besaran. (

    “Tidak ada pemimpin politik serius yang berani menyerukan warga Palestina untuk menolak kemungkinan masa depan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri, anak-anak dan cucu-cucu mereka, demi tinggal di tenda-tenda reyot dan menerima bantuan dari organisasi-organisasi bantuan,” tulis dia mengolok-olok ide Trump.

    Namun, di akhir artikel, Plotsker mengemukakan kalau ide dan usulannya agar AS menampung warga Gaza hanya sebagai argumen dan meng-counter ketidaknyataan ide dan seruan Donald Trump mengusir warga Palestina di Gaza.

    Bukan cuma untuk menunjukkan kalau Trump tidak realistis, argumen Plotsker juga untuk membuktikan kemunafikan ide Trump tersebut.

    “Peluang untuk menerapkan gagasan tersebut di bawah pemerintahan Trump, yang telah membela penutupan Amerika terhadap imigran, sangat mendekati nol, tetapi tanpanya, peluang untuk menerapkan komponen lain dari rencana rekonstruksi dan pembangunan Gaza juga nol, dan ini menunjukkan kemunafikan gagasan tersebut,” katanya.

    Si penulis Israel menyimpulkan artikelnya dengan menekankan kalau tidak ada rencana praktis lain sama sekali, dan tidak ada badan internasional atau Arab yang siap menanggung beban mengendalikan Gaza dan mengelola rekonstruksinya.

     

     

    (oln/khbrn/*)

     
     

  • Aksi Raja Yordania Tolak soal Gaza Langsung di Depan Muka Trump

    Aksi Raja Yordania Tolak soal Gaza Langsung di Depan Muka Trump

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengadakan pertemuan dengan Raja Yordania Abdullah II. Rencana Trump merelokasi warga Palestina dan membangun kembali Gaza di bawah kepemilikan AS ditolak Raja Yordania.

    Raja Yordania Abdullah II menolak keras gagasan Trump. Dia mengatakan Yordania dan negara Arab punya posisi kuat terkait wacana pemindahan warga Palestina dari Gaza.

    “Saya menegaskan kembali posisi teguh Yordania terhadap pemindahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Ini adalah posisi Arab yang bersatu,” tegas Raja Abdullah II dalam pernyataannya via media sosial setelah melakukan pembicaraan dengan Trump, dilansir AFP, Rabu (12/2/2025).

    Pertemuan Trump dengan Raja Abdullah II berlangsung di Gedung Putih pada Selasa (11/2) waktu setempat. Raja Abdullah menilai prioritas saat ini adalah membangun Gaza dan merawat masyarakat yang menderita akibat serangan Israel.

    “Membangun kembali Gaza tanpa menggusur warga Palestina dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan harus menjadi prioritas semua pihak,” ucap Raja Abdullah II.

    Kepada Trump, dia juga mengatakan bahwa Mesir sedang menyusun rencana soal bagaimana negara-negara di kawasan Timur Tengah dapat “bekerja” dengan Trump soal gagasan mengejutkan tersebut. Dia mengatakan Mesir dan negara Arab punya rencana terkait masa depan Gaza, Palestina.

    AS Diminta Tunggu Ide Negara-negara Arab

    Foto: Trump bertemu Raja Yordania (Alex Brandon/AP)

    Raja Yordania Abdullah II mendesak AS bersabar dan mengatakan Mesir akan memberikan respons, kemudian negara-negara Arab akan membahasnya dalam pertemuan di Riyadh, Arab Saudi. Dia mengatakan negara-negara Arab akan berdiskusi dengan Putra Mahkota Arab Saudi.

    “Mari kita tunggu sampai Mesir bisa datang dan menyampaikan hal ini kepada presiden dan tidak terburu-buru,” ucapnya.

    Raja Abdullah II tampaknya berhasil membujuk Trump dalam pembicaraan di Gedung Putih. Dia menggambarkan kondisi Gaza dan masyarakat Palestina yang membutuhkan penanganan kesehatan.

    “Salah satu hal yang bisa kita lakukan segera adalah merawat 2.000 anak, anak-anak penderita kanker yang berada dalam kondisi sakit parah. Itu dimungkinkan untuk terjadi,” kata Raja Abdullah II ketika Trump menyambut dirinya dan Putra Mahkota Hussein di Ruang Oval Gedung Putih.

    Trump menjawab bahwa hal tersebut merupakan “tindakan yang sangat indah” dan mengakui dirinya tidak mengetahuinya sebelum kedatangan Raja Yordania di Gedung Putih.

    Di hadapan Raja Abdullah II, Trump menarik pernyataannya soal penghentian bantuan ke Yordania dan Mesir jika tidak mau menampung warga Gaza.

    “Saya tidak perlu mengancam hal itu. Saya yakin kita lebih baik dari hal semacam itu,” ucap Trump.

    Ide Trump Caplok Gaza Ramai Ditolak

    Warga Gaza Antre beli roti saat gencatan senjata (Foto: REUTERS/Dawoud Abu Alkas)

    Trump mengejutkan dunia dengan mencetuskan gagasan kontroversial agar AS “mengambil alih” Gaza dan bahkan mengusulkan “kepemilikan” atas Gaza. Dia membayangkan AS akan membangun kembali secara ekonomi wilayah yang hancur akibat perang itu.

    Ide itu kembali dicetuskan Trump saat konferensi pers bersama Perdana Menteri (PM) Benyamin Netanyahu di Gedung Putih, Minggu (9/2). Sebelumnya, Trump menyatakan AS akan menguasai Jalur Gaza dan mengembangkannya secara ekonomi, setelah merelokasi warga Palestina di Gaza ke tempat-tempat lainnya pada Sabtu (25/1) dan Senin (27/1) lalu.

    Trump mencetuskan “kepemilikan jangka panjang” oleh AS atas Jalur Gaza. Dia menyebut AS akan meratakan Jalur Gaza dan membersihkan semua bangunan yang hancur di sana untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan menciptakan ribuan lapangan kerja.

    “Jalur Gaza akan diserahkan kepada Amerika Serikat oleh Israel pada akhir pertempuran,” cetus Trump dalam pernyataan terbarunya via media sosial Truth Social, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (7/2).

    Dunia menolak keras ide Trump. Presiden Palestina Mahmoud Abbas, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, menolak tegas rencana Trump dan menegaskan Palestina tidak akan melepaskan tanah, hak dan situs-situs suci mereka. Dia mengatakan Jalur Gaza merupakan bagian integral dari tanah negara Palestina, bersama dengan Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

    Penolakan juga disampaikan oleh Hamas, melalui salah satu pejabat seniornya, Sami Abu Zuhri, yang mengecam rencana Trump itu sebagai upaya mengusir warga Palestina dari tanah air mereka.

    Tak hanya Palestina dan Hamas, Arab Saudi juga tegas menolak upaya apa pun untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Ditegaskan oleh Riyadh bahwa posisinya dalam mendukung Palestina tidak dapat dinegosiasikan.

    Sementara, Menteri Luar Negeri (Menlu) Mesir Badr Abdelatty menyerukan rekonstruksi cepat Jalur Gaza tanpa harus mengusir warga Palestina dari wilayah tersebut, setelah Trump melontarkan usulan mengejutkan tersebut.

    Indonesia juga tegas menolak upaya paksa relokasi warga Palestina.

    Halaman 2 dari 3

    (jbr/aud)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Raja Abdullah II Tolak Usulan Trump Relokasi Warga Gaza, Presiden Abbas Puji Keberaniannya – Halaman all

    Raja Abdullah II Tolak Usulan Trump Relokasi Warga Gaza, Presiden Abbas Puji Keberaniannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Palestina Mahmoud Abbas memuji sikap berani Raja Abdullah II dari Yordania terkait penolakan usulan Donald Trump yang ingin mengusir warga Palestina dari Gaza.

    Menurut Abbas, sikap tersebut mencerminkan komitmen teguh Yordania dalam membela hak-hak nasional Palestina yang sah, serta menjaga perdamaian berdasarkan resolusi legitimasi internasional, Prakarsa Perdamaian Arab, dan prinsip solusi dua negara, dikutip dari WAFA English.

    Tidak hanya itu, Abbas memuji keinginan Raja Abdullah II menampung 2.000 anak yang sakit untuk mendapat perawatan medis.

    Langkah ini, merupakan lanjutan dari berbagai bantuan kemanusiaan yang telah diberikan oleh Yordania, termasuk pengoperasian rumah sakit lapangan di Gaza dan Tepi Barat.

    Dalam konteks diplomasi, Abbas menekankan pentingnya koordinasi antara negara-negara Arab untuk memperkuat visi perdamaian Arab dalam pertemuan puncak darurat Arab mendatang. 

    Ia juga menggarisbawahi pentingnya peran koalisi global dalam mewujudkan solusi dua negara, meningkatkan pengakuan internasional terhadap Palestina, serta mendorong penyelenggaraan konferensi perdamaian internasional pada pertengahan tahun ini dengan Arab Saudi dan Prancis sebagai tuan rumah.

    Lebih lanjut, Abbas memuji Mesir, Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara lain yang menolak proyek penggusuran dan pencaplokan tanah Palestina.

    Ia menegaskan, perdamaian dan stabilitas tidak dapat terwujud tanpa adanya Negara Palestina yang berdaulat. 

    Oleh karena itu, ia mendesak penghentian perang secara total, percepatan bantuan kemanusiaan, serta keterlibatan penuh Negara Palestina dalam proses rekonstruksi Gaza dengan dukungan konsensus nasional Palestina.

    Presiden Abbas kembali menegaskan komitmen rakyat Palestina.

    Di mana seluruh warga Palestina tetap bertahan di tanah mereka di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem. 

    Raja Abdullah II Tolak Usulan Trump

    Raja Abdullah II mengatakan secara tegas bahwa ia menolak rencana Trump untuk mengambil alih Gaza.

    Rencana Trump sebelumnya mencakup pengambilalihan kendali atas Gaza dan pengusiran paksa sebagian warga Palestina, yang memicu reaksi keras dari negara-negara Arab dan Palestina.

    “Saya menekankan penolakan tegas saya terhadap pemindahan warga Palestina dari Gaza,” ujar Raja Abdullah, dikutip dari Al-Arabiya.

    Pernyataan ini dikatakan oleh Raja Yordania II setelah melakukan pertemuan penting dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pada Selasa (11/2/2025).

    Ia menegaskan, sikap ini sesuai dengan posisi bersatu dunia Arab. 

    Raja Abdullah juga menambahkan bahwa prioritas utama harus difokuskan pada pembangunan kembali Gaza tanpa menggusur penduduknya.

    “Prioritas semua orang seharusnya adalah membangun kembali Gaza tanpa menggusur penduduknya,” tambahnya.

    Raja Abdullah juga menggarisbawahi pentingnya solusi dua negara untuk mencapai perdamaian yang adil antara Israel dan Palestina, yang dianggap sebagai langkah krusial untuk stabilitas regional.

    “Mencapai perdamaian yang adil melalui solusi dua negara sangat penting bagi stabilitas regional,” jelas Raja Abdullah, sembari menekankan peran penting kepemimpinan AS dalam proses perdamaian ini.

    Ia juga menegaskan, tidak akan memberikan banyak komentar terkait usulan Trump yang ingin relokasi warga Gaza sampai Mesir memberikan pendapatnya terkait usulan tersebut.

    (Tribunnews.com/Farrah)

    Artikel Lain Terkait Presiden Mahmoud Abbas dan Raja Abdullah II

  • Tentara Israel Dijegal Krisis Parah Anggaran Perang Saat Bersiap Lanjutkan Agresi Militer di Gaza – Halaman all

    Tentara Israel Dijegal Krisis Parah Anggaran Perang Saat Bersiap Lanjutkan Agresi Militer di Gaza – Halaman all

    Tentara Israel Dijegal Krisis Keuangan Parah Saat Bersiap Lanjutkan Perang Gila-gilaan di Gaza

    TRIBUNNEWS.COM – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengeluarkan pernyataan terkait situasi kelanjutan negosiasi gencatan senjata di Gaza dengan Gerakan Hamas.

    Setelah melakukan rapat dengan kabinet perangnya, Rabu (12/2/2025), Netanyahu dan kabinet perangnya, merujuk laporan media Israel, akan mengikuti pernyataan Presiden Donald Trump.

    Trump menyebut, jika sandera Israel yang berada di tangan Hamas tidak dibebaskan pada Sabtu (15/2/2025), sesuai jadwal, maka akan tercipta ‘Hell on Earth’ di Gaza, merujuk pada penggunaan kekuatan militer kembali ke wilayah kantung Palestina tersebut.

    “Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Kabinet Perangnya mematuhi pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai pembebasan semua tahanan yang tersisa Sabtu depan,” tulis laporan media Israel dikutip Khaberni, Rabu.

    Pihak Israel juga menilai, seruan Trump soal pengusiran warga Gaza ke lokasi lain, merupakan visi revolusioner.

    “Jika Hamas tidak membebaskan tentara kami yang diculik paling lambat Sabtu sore, gencatan senjata akan berakhir dan tentara akan kembali bertempur,” ancam Netanyahu.

    SANDERA ISRAEL DIBEBASKAN – Foto ini diambil pada Minggu (9/2/2025) dari publikasi resmi Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) pada Sabtu (8/2/2025), memperlihatkan tiga sandera Israel (kiri-kanan); Ohad Ben Ami, Eli Sharabi, Or Levy, berdiri dengan masing-masing diapit oleh dua anggota Brigade Al-Qassam selama pertukaran tahanan ke-5 pada Sabtu (8/2/2025) sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas di Jalur Gaza, dengan imbalan 183 tahanan Palestina. (Telegram Brigade Al-Qassam)

    Alasan Hamas Menunda Pembebasan Sandera Israel

    Gerakan pembebasan Palestina, Hamas, mengumumkan penundaan pembebasan berikutnya sandera Israel yang dijadwalkan berlansung pada Sabtu (15/2/2025) pekan ini.

    Penundaan ini membuat gencatan senjata sementara yang terjadi makin rapuh. Terlebih, komentar-komentar terbuka Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump justru makin meriuhkan tensi saat Israel dan Hamas tengah gusar menanti langkah-langkah berikutnya.

    Pengumuman Hamas ini dilakukan Senin (10/2/2025), hanya beberapa hari sebelum jadwal pembebasan kelompok sandera berikutnya.

    Juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Obaida, dalam salah satu pernyataan resminya yang dirilis di Telegram kelompok tersebut, menyebut penundaan dilakukan karena Israel melakukan sejumlah pelanggaran mencolok dalam gencatan senjata.

    Dia menyatakan pengumumannya sebagai “peringatan” bagi Israel dan mengatakan kalau mereka memberi mediator perundingan “cukup waktu untuk menekan pendudukan (Israel) agar memenuhi kewajibannya (dalam gencatan senjata) “.

    Dikatakannya “pintu tetap terbuka” untuk rilis (pembebasan sandera Israel) terjadwal berikutnya yang akan dilaksanakan pada hari Sabtu.

    Kelompok perlawanan Palestina tersebut tampaknya memberi waktu agar kebuntuan itu terselesaikan.

    Terjegal Krisis Keuangan Parah

    Ancaman Netanyahu yang mendapat dukungan Donald Trump plus sikap teguh Hamas, menjadi indikasi kuat kalau gencatan senjata segera berakhir dan Perang Gaza akan berlanjut.

    Hanya, Tentara Israel menghadapi krisis pendanaan yang parah yang dapat menghambat rencana memulai kembali perang di Gaza, menurut laporan di surat kabar Israel “The Marker”.

    “Meskipun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji untuk melenyapkan Hamas, anggaran negara tahun 2025 didasarkan pada asumsi kalau intensitas pertempuran akan mereda. Turunnya nilai anggaran ini dapat menyebabkan militer Israel menghadapi lubang keuangan besar jika perang kembali ke tingkat sebelum gencatan senjata,” kata laporan itu.

    Menurut harian bisnis Israel, anggaran pertahanan Israel untuk tahun 2025, setelah dikurangi bantuan AS, adalah sekitar NIS 107 miliar ($28,8 miliar setara Rp 471,3 Triliun), dengan tambahan NIS 10 miliar ($2,7 miliar) sebagai cadangan jika terjadi eskalasi perang.

    Akan tetapi, laporan surat kabar tersebut memperkirakan bahwa jumlah ini tidak cukup untuk menutupi pengeluaran militer jika perang melawan Hamas berlanjut dengan intensitas yang sama seperti awalnya.

    LARAS TANK MERKAVA – Foto tangkap layar Khaberni, Rabu (12/2/2025) menunjukkan pasukan Israel (IDF) menjejerkan posisi laras meriam tank Merkava dalam agresi militer di Gaza. Pasukan Israel dijegal krisis keuangan saat mereka berniat melanjutkan perang di Gaza karena potensi berakhirnya gencatan senjata dengan Hamas.

    Peningkatan Tajam Pengeluaran

    Diperkirakan, kembalinya terjadinya pertempuran intensif akan menyebabkan peningkatan tajam dalam pengeluaran militer.

    “Tingginya pengeluaran militer yang dapat memperburuk krisis ekonomi di Israel dan merugikan peringkat kreditnya, yang telah diturunkan selama perang, selain berdampak negatif pada investasi asing,” kata laporan itu.

    Untuk menggambarkan biaya perang, laporan surat kabar mengindikasikan kalau Israel menghabiskan sekitar 1,8 miliar shekel ($485 juta atau setara Rp 7,9 Triliun) per hari untuk pertempuran selama bulan-bulan pertama perang.

    “Namun pengeluaran ini turun menjadi hanya 300 juta shekel per hari ($81 juta) di bawah penerapan gencatan senjata,” kata laporan tersebut.

    Dalam konteks yang sama, agresi militer darat di Lebanon musim panas lalu menghabiskan biaya lebih dari 500 juta shekel per hari ($135 juta).

    “Data tambahan ini menunjukkan bahwa setiap eskalasi tambahan, baik di Gaza maupun di perbatasan Lebanon, akan meningkatkan beban keuangan secara signifikan,” tambah laporan tersebut.

    Biaya Prajurit Cadangan (Reserve Division)

    Laporan itu juga menunjukkan kalau salah satu faktor utama pendorong kenaikan pengeluaran militer adalah ketergantungan yang besar militer Israel (IDF) pada prajurit cadangan.

    Laporan tersebut menunjukkan, ketentaraan Israel saat ini memiliki sekitar 60.000 tentara cadangan, jumlah yang 10 kali lebih tinggi daripada jumlah sebelum perang.

    “IDF memperkirakan bahwa setiap eskalasi baru akan memerlukan pemeliharaan jumlah ini atau bahkan peningkatannya dengan tambahan 5.000 hingga 10.000 prajurit,” kata laporan tersebut.

    “Meskipun pemerintah berupaya meloloskan undang-undang baru yang memperpanjang masa dinas wajib menjadi 36 bulan, menunda persetujuannya di Knesset dapat memaksa tentara untuk memanggil lebih banyak cadangan, yang berarti biaya tambahan yang akan meningkatkan tekanan keuangan pada anggaran IDF,” tambah laporan tersebut.

    Sebagai catatan, prajurit cadangan (reserve division) IDF berasal dari warga sipil yang direkrut dalam kerangka wajib militer.

    Biaya pelatihan dan tunjangan bagi personel IDF di reserve division ini lebih tinggi dari prajurit yang berasal dari kedinasan.

    Lazimnya, prajurit cadangan akan ditempatkan di lapangan sebagai personel tempur baik di satuan infanteri maupun satuan teknis lain di lapangan.

    Sebaliknya, tentara Israel yang berada di jalur kedinasan cenderung di tempat di ‘back office’ sebagai administrator.

    Laporan tersebut memperkirakan anggaran pertahanan akan meningkat sekitar NIS 4 miliar ($1,08 miliar) untuk meningkatkan kemampuan (personel) angkatan darat, di samping tantangan lain yang ada. 

    “Sebuah komite yang dipimpin oleh Profesor Yaakov Nagel telah merekomendasikan peningkatan jumlah tersebut menjadi NIS 6 miliar ($1,62 miliar), tetapi Kementerian Keuangan Israel menentang hal ini, dan peningkatan yang lebih moderat disetujui,” papar laporan tersebut.

    “Selain peningkatan ini, tambahan NIS 3 miliar ($810 juta) akan dialokasikan untuk membiayai kontrak militer di masa mendatang, meskipun pengeluaran aktual untuk kontrak tersebut akan dilakukan pada tahun-tahun mendatang dan bukan pada tahun 2025,” sebut laporan tersebut.

    Penundaan Bantuan AS

    Laporan tersebut menyoroti tantangan keamanan yang sedang dihadapi Israel di perbatasan dengan Yordania.

    “Itulah sebabnya Israel mempertimbangkan untuk mempercepat pembangunan penghalang perbatasan timur dengan Yordania dengan total biaya yang diperkirakan sekitar 5,2 miliar shekel ($1,4 miliar),” sebut laporan itu.

    Daripada menyebarkan pengeluaran untuk proyek tersebut selama satu dekade, perkiraan menunjukkan pemerintah dapat mengalokasikan setengah dari jumlah tersebut dalam anggaran 2025, yang menambah tekanan keuangan pada anggaran pertahanan.

    Di antara solusi yang sedang dipertimbangkan oleh lembaga keamanan Israel untuk mengatasi kekurangan dana adalah meningkatkan kemandirian Israel dalam produksi senjata.

    Menurut kesimpulan Komite Nagel, sekitar NIS 12 miliar ($3,24 miliar) akan dialokasikan untuk tujuan ini selama dekade berikutnya, sambil mempelajari kemungkinan membangun jalur produksi amunisi lokal alih-alih mengandalkan impor.

    Israel selama ini sangat bergantung pada bantuan AS untuk membiayai sebagian besar pengeluaran pertahanannya.

    Laporan tersebut mengatakan bahwa pada tahun 2024 Israel menerima $3,5 miliar dari $8,7 miliar bantuan darurat yang dialokasikan oleh Amerika Serikat untuk mendukung operasi militernya, dengan mencatat, “Keterlambatan pencairan $5,2 miliar dari bantuan ini meningkatkan defisit keuangan pemerintah Israel dan memaksanya untuk mengambil langkah-langkah luar biasa untuk menyeimbangkan pengeluaran.”

    Hal ini juga mengungkap bahwa pemerintah Israel menerima $2 miliar dari tunggakan ini pada awal tahun 2025.

    Jumlah sisanya diharapkan akan ditransfer pada tahun 2026, tetapi penundaan ini berarti bahwa militer tidak akan dapat mengandalkan dana ini dalam waktu dekat.

    Laporan surat kabar tersebut menyimpulkan bahwa semua data keuangan ini akan menempatkan setiap keputusan untuk mengembalikan perang ke tingkat maksimum di Israel di hadapan tantangan keuangan yang besar, terutama dengan keterlambatan bantuan dan kenaikan biaya cadangan.

    “Defisit anggaran ini membuat pemerintah Israel kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tentara tanpa menyebabkan kerugian pada ekonomi Israel secara keseluruhan,” kata laporan tersebut.

     
     

     

  • Situasi Gaza Panas, Militer Israel Kerahkan Pasukan Tambahan Buntut Penundaan Pembebasan Sandera – Halaman all

    Situasi Gaza Panas, Militer Israel Kerahkan Pasukan Tambahan Buntut Penundaan Pembebasan Sandera – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Situasi di Gaza memanas, militer Israel mengumumkan siap mengerahkan pasukan tambahan ke Gaza buntut penundaan pembebasan sandera.

    Peningkatan kesiagaan ini melibatkan pengiriman pasukan tambahan, termasuk pasukan cadangan, sebagai bagian dari persiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan skenario, TASS melaporkan.

    Layanan pers Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengungkapkan perintah ini menyasar Komando Selatan, yang bertanggung jawab atas daerah berbatasan dengan Gaza. 

    Langkah ini diambil menyusul pidato Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

    Netanyahu mengancam akan melanjutkan pertempuran di Gaza, jika Hamas tidak membebaskan sekelompok sandera Israel paling lambat 15 Februari 2025, Suspilne melaporkan.

    Sebelumnya, pada Minggu (9/2/2025), Hamas mengumumkan mereka menunda pembebasan sandera yang dijadwalkan pada Sabtu (10/2/2025).

    Alasannya Hamas menemukan ada pelanggaran perjanjian gencatan senjata yang dilakukan oleh Israel.

    Perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani antara Israel dan Hamas pada 15 Januari 2025 memiliki tiga tahap.

    Tahap pertama mencakup penghentian total pertempuran, penarikan pasukan Israel dari daerah padat penduduk Gaza, serta pembebasan sejumlah sandera.

    Penundaan pembebasan sandera oleh Hamas mengancam kelangsungan kesepakatan ini.

    Pada tahap kedua perjanjian, yang dijadwalkan akan dimulai setelah tahap pertama, diperkirakan akan melibatkan pembebasan lebih banyak sandera dan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza.

    Sementara itu, tahap ketiga akan mencakup rekonstruksi Gaza yang hancur.

    Cuti Prajurit Dibatalkan

    Sebagai langkah antisipasi terhadap potensi kekacauan, IDF membatalkan cuti bagi prajurit yang tergabung dalam “Divisi Gaza” dan meningkatkan kewaspadaan di pasukan yang ditempatkan di sekitar Gaza.

    Sumber dari militer Israel mengatakan peningkatan kesiagaan ini tidak serta merta menunjukkan akan adanya tindakan militer besar-besaran, kecuali jika jelas terbukti bahwa Hamas tidak mematuhi perjanjian gencatan senjata.

    Pejabat militer menekankan bahwa mereka akan terus mengamati situasi dan bersiap untuk melanjutkan operasi jika diperlukan, Barrons melaporkan.

    Perjalanan Penuh Ketegangan

    Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan invasi ke wilayah Israel dari Jalur Gaza.

    Israel kemudian melancarkan serangkaian operasi militer, mengklaim sebagai upaya membasmi kelompok militan Hamas.

    Konflik antara keduanya menewaskan puluhan ribu orang dan menghancurkan Gaza, memicu krisis kemanusiaan yang mendalam.

    Perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada Januari 2025 bertujuan untuk membawa perdamaian, namun pelaksanaan gencatan senjata ini terus terancam dengan adanya penundaan yang dilakukan oleh Hamas.

    Dalam pertempuran yang sudah merenggut lebih dari 48.000 nyawa, ketidakpastian masa depan membuat para pemimpin internasional semakin khawatir, Anadolu Ajansi melaporkan.

    Badan-badan internasional, seperti Pengadilan Kriminal Internasional, juga telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah pejabat Israel atas dugaan kejahatan perang.

    Israel menghadapi tekanan besar untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, sementara Hamas tetap terlibat dalam negosiasi yang penuh ketegangan.

    Pada saat yang sama, situasi ini membawa tantangan besar bagi Yordania dan Mesir, negara-negara yang berbatasan dengan Gaza.

    Kedua negara ini menghindari menerima lebih banyak pengungsi Palestina dari Gaza, yang dapat memperburuk stabilitas politik dan sosial domestik mereka.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Atas Inisiasi Iran, OKI Akan Gelar Rapat Darurat Terkait Rencana Trump untuk Relokasi Warga Gaza – Halaman all

    Atas Inisiasi Iran, OKI Akan Gelar Rapat Darurat Terkait Rencana Trump untuk Relokasi Warga Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dikabarkan akan mengadakan pertemuan darurat para menteri luar negeri untuk membahas rencana Presiden AS Donald Trump terkait pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza.

    Pertemuan ini diinisiasi oleh Iran sebagai respons diplomatik terhadap rencana tersebut.

    Mengutip PressTV, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengatakan bahwa dirinya telah melakukan upaya diplomatik yang intens selama beberapa hari terakhir.

    Araghchi berdiskusi dengan para menteri luar negeri dari Arab Saudi, Mesir, Aljazair, Turki, Pakistan, Malaysia, dan Gambia, yang saat ini memegang jabatan sebagai presiden bergilir OKI.

    Dalam surat resmi kepada Sekretaris Jenderal OKI, Hissein Brahim Taha, Araghchi menekankan pentingnya mengadakan pertemuan guna membahas dan menghadapi upaya kolonial yang bertujuan untuk memindahkan paksa penduduk Palestina dari Jalur Gaza.

    Usulan Iran ini mendapatkan dukungan luas dari negara-negara anggota OKI.

    Waktu pasti pelaksanaan pertemuan tersebut belum diumumkan, tetapi pertemuan diperkirakan akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan, menurut seorang koresponden IRNA pada Rabu (12/2/2025) yang mengutip sumber dari Kementerian Luar Negeri Iran.

    Sebelumnya, Donald Trump dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah mengumumkan atau mendukung rencana eksodus paksa warga Gaza ke negara-negara seperti Mesir, Yordania, dan bahkan Arab Saudi.

    Iran mendesak negara-negara Muslim untuk bersatu dan mengambil sikap kolektif terhadap tindakan ini.

    “Rencana pemindahan paksa ini adalah kelanjutan dari upaya kolonial untuk menghapus Palestina,” kata Araghchi, menekankan pentingnya tindakan internasional yang cepat dan tegas.

    Ia juga mengutuk upaya terang-terangan untuk menormalisasi genosida dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh rezim pendudukan.

    Araghchi lebih lanjut mengecam pernyataan Perdana Menteri Israel yang menyarankan “pembentukan negara Palestina di wilayah Saudi.”

    Ia menyebut pernyataan ini sebagai bentuk agresi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sebagai ancaman serius bagi perdamaian serta keamanan regional.

    Menegaskan kembali pentingnya tindakan kolektif, Araghchi mendorong OKI untuk mengambil langkah signifikan dalam menghadapi skema gabungan AS-Israel tersebut.

    “Masyarakat internasional, khususnya negara-negara regional dan Islam, harus segera mengambil langkah-langkah mendesak untuk mencegah legitimasi tindakan kriminal ini,” tegasnya.

    Pengamat mengatakan bahwa pertemuan OKI mendatang akan menjadi platform penting bagi negara-negara anggota untuk mengoordinasikan respons mereka terhadap krisis yang berkembang, serta memperkuat dukungan mereka terhadap kedaulatan Palestina.

    Daftar Anggota OKI

    Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) adalah organisasi antarpemerintah dengan 57 negara anggota yang memiliki perwakilan tetap di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa.

    OKI Didirikan di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969) dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam.

    Pertemuan itu digelar sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al-Aqsa oleh Israel. 

    OKI mengubah namanya dari sebelumnya Organisasi Konferensi Islam pada 28 Juni 2011 pada saat pertemuan 38 dewan Menteri Luar Negeri di Astana, Kazakhstan.

    OKI saat ini mempunyai 57 negara anggota. Beberapa di antaranya bukan merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim.

    Berikut daftar negara anggota OKI.

    Afghanistan (Diskors 1980–Maret 1989)
    Aljazair 
    Chad 
    Guinea 
    Indonesia 
    Iran 
    Kuwait 
    Lebanon 
    Libya 
    Malaysia 
    Mali 
    Maroko 
    Mauritania 
    Mesir (Diskors Mei 1979–Maret 1984)
    Niger 
    Pakistan (Menghalangi keanggotaan India)
    Palestina
    Arab Saudi 
    Senegal 
    Sudan 
    Somalia 
    Tunisia 
    Turki 
    Yaman
    Yordania 
    Bahrain 
    Oman 
    Qatar 
    Suriah 
    Uni Emirat Arab 
    Sierra Leone 
    Bangladesh 
    Gabon 
    Gambia 
    Guinea-Bissau 
    Uganda 
    Burkina Faso 
    Kamerun 
    Komoro 
    Irak 
    Maladewa 
    Jibuti 
    Benin 
    Brunei Darussalam 
    Nigeria 
    Azerbaijan 
    Albania 
    Kirgizstan 
    Tajikistan 
    Turkmenistan 
    Mozambik 
    Kazakhstan 
    Uzbekistan 
    Suriname 
    Togo 
    Guyana 
    Pantai Gading

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)