Negara: Yordania

  • Ubah Citra, Arab Saudi Muncul sebagai Mediator Krisis Global

    Ubah Citra, Arab Saudi Muncul sebagai Mediator Krisis Global

    Jakarta

    Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, semakin sibuk menerima kunjungan para pemimpin negara yang datang untuk membahas konflik global yang mendesak.

    Pada Senin (10/03) ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy bertemu dengan Putra Mahkota Saudi untuk membahas perang Rusia di Ukraina. Pertemuan ini dilakukan menjelang pertemuan pada Selasa (11/03) antara delegasi Ukraina dan Amerika Serikat (AS) yang bertujuan untuk merundingkan kemungkinan akhir perang agresi Rusia, serta kesepakatan keamanan yang mencakup akses AS ke cadangan mineral dan logam berharga di Ukraina.

    Ini akan menjadi pertama kalinya delegasi Ukraina dan AS berbicara secara langsung setelah perselisihan publik antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Zelenskyy di Gedung Putih pada akhir Februari lalu.

    Fakta bahwa kedua negara memilih Arab Saudi sebagai lokasi pertemuan—bukan di Eropa, misalnya—menyoroti posisi strategis kerajaan kaya minyak ini di Timur Tengah.

    “Arab Saudi memang telah membangun dirinya sebagai platform dialog dalam dua hingga tiga tahun terakhir,” kata Sebastian Sons, peneliti senior di think tank Jerman CARPO, kepada DW.

    “Dalam strategi kebijakan luar negeri Arab Saudi, saat ini sangat penting untuk berbicara dengan semua pihak,” tambahnya.

    Memposisikan diri sebagai mediator netral

    Arab Saudi tampaknya berusaha mempertahankan posisi netral agar dapat menjaga jalur komunikasi terbuka dengan semua pihak yang terlibat dalam konflik yang sedang dimediasi.

    “Negara ini menahan diri untuk tidak bergabung dalam kritik dan sanksi Barat terhadap Rusia, tetapi juga menjalin kontak reguler dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy serta memberikan paket bantuan kemanusiaan dan medis senilai jutaan dolar untuk Ukraina,” jelas Kawas. Pada 2024, Riyadh membantu memfasilitasi pertukaran tahanan bersejarah antara Rusia dan AS. Dan pada pertengahan Februari, negara ini menjadi tuan rumah pembicaraan antara AS dan Rusia, di mana pejabat tinggi Washington dan Moskow bertemu untuk membahas normalisasi hubungan serta mengakhiri perang di Ukraina.

    Tampaknya juga ada kemungkinan bahwa Riyadh akan menjadi tempat pertemuan langsung antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang pertama sejak Trump kembali menjabat awal tahun ini.

    Selain memfasilitasi pembicaraan tentang akhir perang Rusia di Ukraina, Riyadh juga menjadi lokasi pertemuan Liga Arab untuk membahas konflik di Sudan serta masa depan Palestina di Gaza.

    “Kita melihat peran mediasi ini antara AS dan Rusia, antara AS dan Ukraina, serta menjadi pemain penting di Timur Tengah, terutama terkait dengan Palestina, Suriah, dan Lebanon,” kata Neil Quilliam, spesialis urusan luar negeri di think tank Chatham House yang berbasis di London, kepada DW.

    Kawas menggemakan pandangan ini: “Terkait dengan Timur Tengah, semua negosiasi di kawasan ini melewati Riyadh.”

    Kepentingan Saudi di mata internasional

    Peralihan fokus untuk membangun citra sebagai pusat komunikasi yang netral dan terpercaya ini dinilai sebagai tanda perubahan dari isolasi internasional Arab Saudi yang mencapai titik terendah setelah pembunuhan jurnalis Washington Post, Jamal Khashoggi, pada 2018. Ini juga bisa membantu mengalihkan perhatian dari catatan buruk rezim di Arab Saudi dalam isu hak asasi manusia.

    Alih-alih membela kebijakan domestik, posisi internasional baru negara ini memungkinkan Putra Mahkota Saudi untuk memanfaatkan pengaruhnya dalam berbagai konflik, menurut para pengamat.

    “Arab Saudi tentu akan menggunakan kesempatan untuk menengahi konflik Ukraina guna menampilkan diri sebagai mitra yang dapat diandalkan, karena negara ini menginginkan konsesi dari Trump, terutama terkait Gaza dan negara Palestina di masa depan bersama Israel,” kata Sebastian Sons kepada DW.

    Trump, yang dikenal sebagai pendukung kuat Israel, ingin melihat Israel dan Arab Saudi menormalisasi hubungan.

    Namun, serangan yang dipimpin Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023 dan perang yang terjadi di Gaza telah memperlambat proses ini.

    Awal tahun ini, Arab Saudi menolak rencana Trump untuk Gaza, di mana ia mengusulkan untuk mengubah Jalur Gaza yang hancur akibat perang menjadi “Riviera Timur Tengah” di bawah kepemilikan AS serta memindahkan sekitar 2,3 juta warga Palestina ke negara-negara Arab lainnya seperti Mesir dan Yordania. Para pakar hak asasi manusia mengkritik rencana ini sebagai bentuk pembersihan etnis.

    Sejak itu, Arab Saudi menegaskan kembali pendiriannya bahwa mereka tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel sebelum solusi dua negara, yang akan menjamin negara Palestina berdampingan dengan Israel, terlaksana.

    Mendorong investasi bagi Arab Saudi

    Ketika Trump kembali menjabat untuk masa jabatan keduanya awal tahun ini, Putra Mahkota Saudi menjadi pemimpin asing pertama yang mengucapkan selamat kepadanya. Tak lama setelah itu, Trump memuji Putra Mahkota Salman sebagai “orang yang luar biasa” dalam pidatonya di Forum Ekonomi Dunia di Davos.

    Pada 2017, kunjungan luar negeri pertama Trump sebagai presiden adalah ke Arab Saudi. Langkah ini dianggap kontroversial, terutama karena bertepatan dengan pengakuan Trump bahwa ia memilih Arab Saudi sebagai tujuan pertama karena janji investasi senilai lebih dari $350 miliar (Rp5,74 kuadriliun) dalam ekonomi AS.

    Pekan lalu, Trump mengumumkan bahwa kunjungan kenegaraan pertamanya kali ini juga akan membawanya ke Arab Saudi. Kali ini, ia menambahkan, Riyadh berencana untuk berinvestasi setidaknya $600 miliar (Rp9,8 kuadriliun), termasuk pembelian peralatan militer AS dalam jumlah besar.

    Hal ini sejalan dengan model ekonomi Arab Saudi yang sedang bergeser, berupaya mengurangi ketergantungan pada minyak dan meningkatkan investasi asing serta modal eksternal, seperti dijelaskan oleh spesialis Timur Tengah, Sons. “Prioritas Riyadh adalah mengamankan model bisnisnya sendiri, dan untuk itu mereka membutuhkan AS,” jelasnya.

    Namun, ini juga berarti bahwa kerajaan tidak mungkin mengambil peran aktif dalam menyelesaikan konflik yang para pihaknya mereka fasilitasi. “Itu bukan tujuan Arab Saudi,” katanya,seraya menambahkan, “mereka lebih ingin membuka jalan untuk berbisnis dengan AS.”

    Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris.

    Lihat juga Video: Zelensky Tiba di Arab Saudi Jelang Perundingan dengan AS

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Kepala Staf IDF Mau Perang Lagi di Gaza, Kemenhan Israel: Jumlah Prajurit Cacat Tembus 78 Ribu – Halaman all

    Kepala Staf IDF Mau Perang Lagi di Gaza, Kemenhan Israel: Jumlah Prajurit Cacat Tembus 78 Ribu – Halaman all

    Kepala Staf IDF Mau Perang Lagi, Kemenhan Israel: Jumlah Prajurit Cacat Tembus 78 Ribu

    TRIBUNNEWS.COM – Niatan Kepala Staf baru Militer Israel (IDF), Eyal Zamir yang mengindikasikan melanjutkan pertempuran di Gaza dan front lainnya, disambut realitas yang tidak mendukung hal tersebut.

    Baru-baru ini, Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Kemenhan) Israel mengungkapkan kalau jumlah yang terluka dan cacat di jajaran tentara Israel telah meningkat menjadi 78 ribu, sebagai akibat dari perang belakangan ini di berbagai lini.

    Dikutip dari Khaberni, laporan kementerian tersebut menunjukkan kalau sebagian besar dari mereka adalah prajurit dari divisi cadangan (reserve division).

    Divisi cadangan kemiliteran Israel merupakan tulang punggung karena dikerahkan ke berbagai wilayah pertempuran dengan merekrut mereka dari unsur sipil.

    Dari jumlah tersebut, kata laporan itu, lebih dari 50 persen dari mereka berusia di bawah tiga puluh tahun.

    “Laporan menunjukkan kalau 62 persen dari mereka menderita cedera psikologis, dan 10 persen dari yang terluka berada dalam kondisi sedang hingga kritis. Laporan juga mencatat bahwa saat ini ada 194 tentara di rumah sakit Israel,” tulis laporan Khaberni, mengutip pernyataan kementerian Israel tersebut.

    Dalam konteks terkait, surat kabar Israel, Yedioth Ahronoth, Minggu (9/3/2025) melaporkan kalau ada kekhawatiran dari para petinggi militer di Staf Umum Angkatan Darat Israel mengenai “kekurangan tenaga kerja yang parah”,”.

    “Kekhawatiran akan krisis personel ini muncul di tengah perkiraan kalau ada “tekanan berat pada tentara reguler yang tidak akan kembali ke rumah mereka dalam beberapa tahun mendatang.”

    Terlebih, Kepala IDF saat ini sudah menyatakan, kalau tahun 2025 akan menjadi ‘Tahun Perang’

    Menurut Divisi Operasional IDF, diperkirakan bahwa “Israel akan mengalami kekurangan tenaga kerja selama bertahun-tahun, yang belum pernah disaksikannya sejak masa sabuk keamanan di Lebanon selatan, yang berlanjut segera setelahnya hingga tahun-tahun intifada kedua.”

    PIMPIN IDF – Mayor Jenderal (Purn) Eyal Zamir mengambil alih sebagai panglima baru tentara Israel pada hari Rabu (5/3/2025). Dia menggantikan Herzi Halevi , yang memimpin militer selama perang genosida di Jalur Gaza. (Anews/Tangkap Layar)

    Eyal Zamir Nyatakan 2025 Sebagai Tahun Perang

    Niatan Kepala Staf baru IDF, Eyal Zamir, untuk melanjutkan perang, baik di Gaza, maupun di front lainnya, terindikasi dari sejumlah gerak cepat yang dia lakukan setelah menjabat.

    Eyal Zamir dilaporkan langsung merombak struktur kepemimpinan IDF beberapa jam setelah menduduki jabatannya, menggantikan Herzi Halevi yang mengundurkan diri.

    Anadolu, mengutip media Israel, Jumat (7/3/2025) melaporkan kalau Eyal Zamir memutuskan untuk menunjuk Mayor Jenderal Yaniv Asor sebagai komandan Komando Selatan, dan Itzik Cohen sebagai kepala Divisi Operasi dan mempromosikannya ke pangkat Mayor Jenderal.

    “Kepala Staf baru IDF juga menyetujui perubahan struktural di militer Israel, dengan menganggap tahun 2025 sebagai “tahun perang, dengan fokus pada Gaza dan Iran,” menurut media Israel dikutip Anadolu.

    Sebelumnya pada Rabu malam, Eyal Zamir secara resmi menduduki jabatannya, menggantikan Halevi, yang mengundurkan diri pada Januari, dan mengumumkan tanggung jawabnya atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

    Upacara pelantikan Zamir berlangsung di markas besar Kementerian Pertahanan di Tel Aviv, di hadapan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan sejumlah pejabat, dipimpin oleh Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, dan Herzi Halevi.

    “Setelah resmi mengemban tugasnya, Zamir mengadakan pertemuan pertamanya dengan Forum Staf Umum IDF , di mana ia menyampaikan arahan dan keputusan utama,” menurut laporan Channel 14 Israel.

    LARAS TANK MERKAVA – Foto tangkap layar Khaberni, Rabu (12/2/2025) menunjukkan pasukan Israel (IDF) menjejerkan posisi laras meriam tank Merkava dalam agresi militer di Gaza. Pasukan Israel dijegal krisis keuangan saat mereka berniat melanjutkan perang di Gaza karena potensi berakhirnya gencatan senjata dengan Hamas. (khaberni/tangkap layar)

    Bentuk Dua Brigade Baru IDF

    Menurut sumber yang sama, Zamir mengumumkan penunjukan Mayor Jenderal (Cadangan) Sami Turgeman sebagai kepala tim yang akan dibentuk untuk memeriksa investigasi atas peristiwa 7 Oktober, mengambil pelajaran darinya, dan menyerahkan laporan langsung kepadanya.

    Eyal Zamir, dilaporkan memerintahkan pembentukan brigade tank baru IDF, di samping pembentukan brigade infanteri baru.

    “Zamir memutuskan untuk membubarkan “Divisi Strategi dan Iran” yang dibentuk pada tahun 2020. Dia lalu memutuskan membentuk brigade tank tambahan, mempelajari pembentukan brigade infanteri tambahan, dan menyusun kembali unit pengintaian lapis baja yang sudah dibongkar,” menurut laporan media Israel tersebut.

    Dalam pertemuan tersebut, Eyal Zamir mengatakan kalau 2025 akan menjadi “tahun perang. Dengan fokus pada Gaza dan Iran serta mempertahankan dan memperdalam pencapaian di bidang lain,” menurut Channel 14.

    AGRESI – Pasukan Israel (IDF) dari divisi infanteri melakukan agresi militer darat ke Jalur Gaza. Israel terindikasi enggan melanjutkan negosiasi tahap dua gencatan senjata dengan Hamas. (khaberni/tangkap layar) (khaberni/tangkap layar)

    Depak Daniel Hagari

    Eyal Zamir, juga memutuskan untuk memberhentikan tugas juru bicara IDF, Daniel Hagari, dalam beberapa minggu mendatang, menurut apa yang dilaporkan oleh Channel 14 Israel.

    Koresponden saluran tersebut melaporkan kalau, “Zamir telah membuat keputusan untuk menggantikan Hagari, dan diharapkan seorang perwira tempur dari pasukan darat akan ditunjuk untuk posisi ini dalam waktu dekat.” 

    Pada bulan Maret 2024, sejumlah pejabat senior dalam perangkat propaganda dan media IDF mengundurkan diri, dipimpin oleh Kolonel Shlomit Miller-Butbul, yang dianggap sebagai orang kedua dalam komando di Departemen Juru Bicara IDF setelah Daniel Hagari.

    Selain itu ada juga pengunduran diri Moran Katz, kepala departemen komunikasi di Unit Juru Bicara IDF, dan Letnan Richard Hecht, juru bicara IDF untuk urusan media luar negeri.

    Sebelum menduduki jabatan juru bicara “angkatan darat”, Hagari adalah komandan unit “Shayetet 13”, menjabat sebagai asisten mantan Kepala Staf Gadi Eisenkot, dan juga merupakan bagian dari tim inti Menteri Benny Gantz.

    Perlu dicatat kalau media Israel sebelumnya telah meliput keterkejutan yang dialami IDF setelah serangkaian pengunduran diri besar-besaran para petingginya.

    Herzi Halevi, Kepala Staf, adalah orang pertama yang mengundurkan diri, diikuti oleh sejumlah pemimpin militer, termasuk kepala Divisi Operasi di IDF, Oded Basiuk, yang mengundurkan diri setelah gagal mengusir serangan 7 Oktober 2023.

    Siap Kembali Perang ke Gaza

    Eyal Zamir, juga mengatakan bahwa tentara Israel harus memutuskan pertempuran melawan Hamas.

    Dia mengindikasikan, IDF segera mengerahkan kembali pasukan ke Gaza guna kembali berperang dengan tujuaan utama pembebasan sandera Israel di tangan Hamas.

    “Kami sedang bersiap untuk kembali bertempur dan masalah penculikan menjadi prioritas utama kami,” tambahnya.

    Situs Israel, Walla melaporkan kalau Zamir merencanakan manuver skala besar di Jalur Gaza dan meningkatkan tekanan militer terhadap Hamas.

    PANGLIMA PERANG BARU – Kepala Staf baru Militer Israel (IDF), Eyal Zamir. Pergantian panglima perang ini dilaporkan akan mengubah sifat pertempuran di Gaza, sebuah sinyal yang mengindikasikan Israel tak mau meneruskan negosiasi gencatan senjata dengan Hamas di Gaza. (khaberni/tangkap layar)

    Pajang Foto Sandera Israel di Markas IDF

    Kepala Staf baru IDF juga menanggapi soal sandera Israel yang masih berada di tangan Hamas di Gaza dengan mengatakan bahwa, “Kepulangan mereka merupakan kewajiban moral”.

    Dia juga mengatakan kalau “tentara Israel akan berupaya untuk membawa mereka semua kembali.”

    Ia mengatakan, foto-foto para tahanan tersebut akan dipajang di kantor Kepala Staf hingga mereka kembali.

    Selama kariernya, Zamir memegang posisi militer terkemuka, termasuk Wakil Kepala Staf, Panglima Wilayah Selatan, dan jabatan terakhirnya adalah Direktur Jenderal Kementerian Pertahanan.

    Zamir diketahui dekat dengan Netanyahu dan Katz, dan juga dipandang sebagai sosok yang memiliki hubungan kuat dengan mantan Menteri Pertahanan Yoav Galant.

    Pengangkatannya ke jabatan terjadi pada momen kritis kelanjutan gencatan senjata.

    Israel mengatakan pihaknya sedang bersiap untuk melanjutkan perang di Gaza meskipun ada perjanjian gencatan senjata sejak 19 Januari.

    Minggu tengah malam lalu, 28 Februari 2025, tahap pertama perjanjian gencatan senjata di Gaza, yang berlangsung selama 42 hari, secara resmi berakhir tanpa persetujuan Israel untuk memasuki tahap kedua dan mengakhiri perang.

    Forum Jenderal Israel: Negara Zionis Bisa Pecah

    Niatan Israel untuk melanjutkan perang di Gaza juga ditentang “Panglima Keamanan Israel”, sebuah forum jenderal yang berisi sejumlah besar mantan perwira senior tentara pendudukan Israel (IDF).

    Mereka dilaporkan telah mengirimkan pesan keras terhadap pemerintah Israel yang dipimpin Perdana Menteri, Benjamin Netanyahu.

    Sebagai informasi, “Panglima Keamanan Israel” dipimpin oleh Mayor Jenderal (Cadangan) Matan Vilnai, mantan Wakil Kepala Staf IDF.

    Forum ini dilaporkan memiliki sebanyak lebih dari 550 mantan perwira senior militer Israel.

    Dilansir Khaberni, dalam pesan keras yang dikirim oleh Vilnai, forum tersebut memperingatkan agar pemerintah Israel tidak memulai kembali perang di Gaza.

    Forum itu juga mengatakan kalau melancarkan perang tanpa tujuan strategis yang jelas akan menyebabkan terbunuhnya sandera Israel, kondisi pendudukan berdarah di Jalur Gaza, dan menimbulkan isolasi regional bagi Israel.

    AGRESI – Pasukan Israel (IDF) dari divisi infanteri melakukan agresi militer darat ke Jalur Gaza. Israel terindikasi enggan melanjutkan negosiasi tahap dua gencatan senjata dengan Hamas. (khaberni/tangkap layar)

    Risiko Israel Kalau Nekat Kembali Berperang di Gaza, Negara Bisa Pecah

    Vilnai mengawali suratnya dengan peringatan keras, yang menyatakan bahwa “Memulai pertempuran lagi akan menyebabkan terbunuhnya tentara IDF yang diculik, terus menipisnya kekuatan tentara Israel dengan mengorbankan banyaknya korban jiwa, dan akan menyebabkan situasi pendudukan berdarah dan berkepanjangan, yang akan menyebabkan hilangnya kesempatan regional yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

    Dalam surat tersebut, Vilnai menawarkan alternatif lain selain kembali mulai berperang di Gaza, yaitu berfokus pada aksi politik sambil mengambil keuntungan dari pencapaian tentara Israel, klaimnya.

    Surat itu mengatakan bahwa “Pemerintah Israelsaat  bekerja melawan keinginan rakyat Israel dan menyerah pada tuntutan kelompok minoritas ekstremis sambil mempromosikan agenda untuk mencaplok tanah di Tepi Barat, memermanenkan pendudukan di Gaza, dan memperdalam konfrontasi militer.”

    Surat itu juga memperingatkan, kalau “Kebijakan saat ini membawa Israel pada pendudukan berdarah di Jalur Gaza, memperburuk mimpi buruk keamanan di Tepi Barat, mengekspos dirinya ke arah isolasi regional, dan membuang-buang kesempatan untuk menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi.”

    Dalam konteks ini, surat tersebut mempertanyakan hak pemerintah untuk meneruskan perang setelah 500 hari perang.

    “Pemerintah Israel (memang) memiliki kewenangan resmi, tetapi tidak memiliki kewenangan yang sah dan moral untuk mengeluarkan perintah kepada tentara Israel setelah 500 hari pertempuran yang melelahkan tanpa mencapai tujuan perang untuk melanjutkan pertempuran,” tulis surat tersebut.

    Menurut pejabat senior Israel tersebut, “Pemerintah Israel berkewajiban untuk menilai kembali situasi, menetapkan tujuan yang realistis, dan menghindari membahayakan tentara dan tahanan IDF dengan slogan-slogan kosong, seperti kemenangan mutlak atau melenyapkan Hamas.”

    Para mantan perwira dalam froum jenderal tersebut memberikan ringkasan perang Israel di Gaza dan Lebanon, dengan mengklaim bahwa “pendudukan tersebut mencapai prestasi operasional dan membawa perubahan kepentingan strategis, karena sebagian besar kerangka tempur Hamas dibongkar, Hizbullah dihancurkan, dan kelemahan Iran terungkap.”

    Namun pada saat yang sama, mereka melihat bahwa “Israel masih terlibat konflik di 8 front, yang paling berbahaya adalah front internal, yaitu perpecahan di dalam negara dan serangan terhadap lembaga keamanan sebagai ‘musuh rakyat yang dipimpin dan diarahkan dari atas.’”

    Menurut surat tersebut, pemerintah sengaja menghindari penanganan “The Day After” di Gaza, yang menimbulkan bahaya nyata, tidak hanya bagi para tahanan, tetapi juga bagi eskalasi menyeluruh di Tepi Barat.

    AGRESI – Pasukan Israel (IDF) dari divisi infanteri melakukan agresi militer darat ke Jalur Gaza. Israel terindikasi enggan melanjutkan negosiasi tahap dua gencatan senjata dengan Hamas. (khaberni/tangkap layar)

    Tiga Tujuan Utama

    Surat tersebut juga menyerukan kepada pemerintah untuk menetapkan tiga tujuan utama dalam kebijakannya terkait situasi saat ini.

    “Yang pertama adalah pembebasan tahanan “sebagai syarat pertama untuk tindakan apa pun di masa mendatang,” dan menjelaskan bahwa “menetapkan tujuan yang saling bertentangan—menggulingkan Hamas dan membebaskan para sandera—telah menyebabkan terbunuhnya para sandera,” kata surat tersebut

    Sebagai balasannya, para perwira senior Israel di forum tersebut juga menyerukan diakhirinya pertempuran di berbagai arena “sebagai bagian dari proses politik yang memungkinkan Israel untuk fokus pada ancaman Iran.”

    Menurut surat tersebut, “Penyelesaian masalah dengan Hamas mungkin akan terjadi di masa mendatang, tetapi sekarang upaya harus difokuskan pada pembebasan para sandera bahkan jika hal itu mengorbankan penarikan pasukan Israel.”

    Mengenai tujuan kedua, yaitu mendirikan pemerintahan alternatif bagi Hamas di Gaza yang dipimpin oleh Amerika Serikat, negara-negara Arab, dan Otoritas Palestina, para mantan pejabat itu menegaskan kalau “Hamas tidak dapat digulingkan tanpa pemerintahan alternatif, dan membahas pemindahan (pemindahan) dan ide-ide tidak praktis lainnya mengalihkan perhatian dari pokok bahasan utama. Setiap hari tambahan tanpa merumuskan alternatif bagi Hamas memberinya pencapaian lain.”

    “Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan Otoritas Palestina melalui reformasi ke dalam payung keamanan regional,” imbuh mereka.

    Surat itu juga melihat kalau tujuan ketiga yang harus diperjuangkan Israel adalah merehabilitasi militer dan masyarakat Israel.

    Hal ini  mengingat bahwa “terkikisnya ketahanan sosial adalah ancaman eksistensial terbesar, dan bahwa kebijakan pemerintah saat ini membahayakan Israel lebih dari ancaman eksternal apa pun.”

    Surat itu juga menyoroti implikasi regional dari kelanjutan perang, dengan mengatakan, “Dukungan pemerintah Israel terhadap gagasan pemindahan warga Palestina dari Gaza sebenarnya membahayakan perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, Perjanjian Abraham, dan kemungkinan normalisasi dengan Arab Saudi, serangkaian aset strategis kelas satu.”

    Surat dari mantan perwira senior Israel menekankan bahwa “kebijakan yang bertanggung jawab memerlukan kerja sama dengan rezim moderat, bukan tindakan yang akan merugikan mereka.”

    Surat tersebut diakhiri dengan seruan tegas kepada pemerintah: “Berdasarkan pencapaian IDF yang mengesankan di berbagai bidang, pelajaran harus dipelajari dan pasukan keamanan diperkuat, tetapi batas-batas kekuatan juga harus dipahami, dan pada saat yang sama perlu untuk merumuskan strategi nasional yang akan memanfaatkan pencapaian IDF dalam aksi politik untuk mencapai tujuan nasional.”

    (oln/khbrn/anadolu/chn14/*)

     
     

     
     

  • Tentara Israel Serbu Masjid Al Aqsa, Sita Pengeras Suara: Bakar Masjid Bersejarah Al-Nasr di Nablus – Halaman all

    Tentara Israel Serbu Masjid Al Aqsa, Sita Pengeras Suara: Bakar Masjid Bersejarah Al-Nasr di Nablus – Halaman all

    Pasukan Israel Serbu Masjid Al-Aqsa, Sita Pengeras Suara: Sebelumnya Bakar Masjid Bersejarah di Nablus

    TRIBUNNEWS.COM – Pasukan Pendudukan Israel (IDF) dilaporkan menyerbu Aula Doa Al-Qibli di Masjid Al-Aqsa, Yerusalem, pada Minggu (9/3/2025).

    “IDF menyita dua pengeras suara setelah memindahkan mereka,” menurut laporan koresponden RNTV, Minggu.

    Sementara itu, puluhan pemukim Israel, di bawah perlindungan polisi yang berat, menyerbu halaman Masjid Al-Aqsa di Yerusalem yang diduduki pada hari kesembilan Ramadhan.

    Menurut sebuah pernyataan dari Departemen Wakaf Islam di Yerusalem, para pemukim masuk melalui Gerbang Maroko, melakukan tur ke halaman, dan melakukan ritual Talmud provokatif di bagian timur masjid.

    “IDF juga memberlakukan pembatasan ketat pada jamaah Palestina memasuki masjid, meningkatkan kehadiran militer mereka di sekitar Al-Aqsa dan Kota Tua Yerusalem, membatasi akses selama bulan Ramadhan,” kata laporan tersebut.

    Atas aksi-aksi entitas Israel tersebut, muncul seruan-seruan agar warga Palestina meningkatkan kehadiran mereka di Masjid Aqsa sepanjang Ramadhan untuk melawan serangan pemukim dan pembatasan oleh tentara Israel. 

    Wakaf Islam, lembaga pengelola Masjid Al-Aqsa yang dibawahi Yordania, menekankan perlunya kehadiran massal dan ketabahan di lokasi untuk menggagalkan upaya Israel untuk mengubah statusnya.

    Masjid Aqsa menghadapi serangan hampir setiap hari oleh pemukim dan polisi Israel, kecuali pada hari Jumat dan Sabtu, sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk memaksakan realitas baru di situs suci, mengubah status quo.

    Masjid Al-Aqsa diserbu pemukim Yahudi Israel di bawah perlindungan polisi pendudukan Israel. (AFP)

    Apa Itu Status Quo Majid Al-Aqsa?

    Khaled Zabarqa, seorang ahli hukum Palestina di kota dan kompleks tersebut secara sederhana menjelaskan kalau status itu berarti Israel tidak memiliki kedaulatan atas Yerusalem [Timur] dan karena itu tidak memiliki kedaulatan atas Al Aqsa, yang berada di Yerusalem Timur yang diduduki Israel

    Akibatnya, kata Zabarqa, hukum internasional menyatakan Israel tidak berwenang untuk menerapkan status quo apa pun.

    Nir Hasson, jurnalis Haaretz yang meliput Yerusalem menyebut status quo berakar pada administrasi situs di bawah Kekaisaran Ottoman, yang menyatakan bahwa umat Islam memiliki kendali eksklusif atas Al Aqsa

    Namun, orang Israel melihat segalanya secara berbeda, meskipun hukum internasional tidak mengakui upaya apa pun oleh kekuatan pendudukan untuk mencaplok wilayah yang telah didudukinya.

    “Status quo yang dibicarakan orang Israel sama sekali berbeda dari status quo yang dibicarakan oleh Wakaf dan Palestina,” jelas Hasson dilansir Al-Jazeera.

    Bagi Israel, status quo mengacu pada perjanjian 1967 yang dirumuskan oleh Moshe Dayan, mantan menteri pertahanan Israel.

    Setelah Israel menduduki Yerusalem Timur, Dayan mengusulkan pengaturan baru berdasarkan perjanjian Ottoman.

    Menurut status quo Israel 1967, pemerintah Israel mengizinkan Badan Wakaf untuk mempertahankan kontrol sehari-hari di wilayah tersebut, dan hanya Muslim yang diizinkan untuk salat di sana.

    Namun, polisi Israel mengontrol akses situs tersebut dan bertanggung jawab atas keamanan, dan non-Muslim diizinkan mengunjungi situs tersebut sebagai turis.

    Shmuel Berkovits, seorang pengacara dan pakar tempat-tempat suci di Israel, mengatakan status quo yang dibentuk pada 1967 tidak dilindungi oleh hukum Israel mana pun.

    Bahkan, pada 1967, Dayan menetapkan status quo tanpa otoritas pemerintah, ujarnya.

    Sejak 1967, undang-undang, tindakan pengadilan, dan pernyataan pemerintah Israel menciptakan kerangka kerja untuk status quo ini.

    Meskipun tidak ada undang-undang Israel yang melarang orang Yahudi berdoa di Al Aqsa, Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa larangan tersebut dibenarkan untuk menjaga perdamaian, jelas Berkovits.

    Aturan ini yang ingin diubah Itamar Ben-Gvir agar kelompok Yahudi ekstrem Israel bisa dan diperbolehkan secara hukum untuk melakukan ritual di Masjid Al-Aqsa.

    TERBAKAR – Tangkap layar Khaberni, Mingu (9/3/2025) yang menunjukkan bagian atap Masjid Al-Nasr di Nablus, Tepi Barat, tampak menghitam, bebas terbakar. Masjid ini dilaporkan menjadi satu di antara sasaran serangan Pasukan Israel saat serbuan di kota tersebut, Jumat (7/3/2025).

    IDF Bakar Masjid Bersejarah di Nablus

    Aksi serbuan IDF di Masjid Al-Aqsa ini dilakukan setelah sebelumnya mereka membakar sebuah masjid bersejarah di Nablus, Tepi Barat.

    Melawan instruksi pendudukan Israel, pada Minggu sejumlah warga Palestina secara bersama-sama mulai memperbaiki bagian-bagian masjid yang rusak dibakar tersebut.

    “Warga Palestina telah mulai merestorasi masjid bersejarah “Masjid Al-Nasr” di kota Nablus di Tepi Barat, setelah rusak parah akibat kebakaran yang terjadi di dalamnya, selama serangan pasukan Israel di kota tua tersebut pada dini hari Jumat, 7 Maret 2025,” tulis laporan Khaberni.

    Direktur Jenderal Wakaf (Nablus), Nasser Al-Salman, mengatakan bahwa Masjid Al-Nasr merupakan salah satu bangunan keagamaan tertua di Nablus, karena sejarahnya bermula pada era penaklukan Islam dan era Khalifah Umar bin Al-Khattab.

    “Selama Perang Salib, masjid ini diubah menjadi gereja dan mendapatkan kembali status keagamaannya setelah pembebasan Yerusalem oleh pemimpin Saladin pada abad ke-12,” tulis ulasan tersebut mengutip penjelasan Al-Salman.

    Nasser Al-Salman menjelaskan, masjid tersebut dibangun kembali pada tahun 1335 H, untuk tetap menjadi saksi sejarah panjang keteguhan dan perlawanan Palestina.

    Direktur Wakaf juga mengonfirmasi kalau pasukan Israel, selama penyerbuan mereka ke kota itu, menargetkan masjid dan merusak sebagian bangunannya, membakarnya, yang mengakibatkan hancurnya sebagian besar bangunan, termasuk dinding dan atap.

    Al-Salman menunjukkan, serangan itu juga menyasar sejumlah masjid di kota itu, tetapi kerusakan terbesar terjadi di masjid “Al-Nasr”.

    “Dalam suasana tekad Palestina, sekelompok relawan dan penduduk kota membersihkan sisa-sisa api dan membersihkan jendela serta dinding hitam yang terkena noda api, sambil menekankan bahwa serangan ini tidak akan mematahkan tekad atau keinginan mereka untuk menghadapi pendudukan Israel,” kata laporan Khaberni.

    “Masjid “Al-Nasr” yang juga berarti “Pertolongan )atau kemenangan)” tetap menjadi salah satu simbol keteguhan Palestina, dan warga Nablus menegaskan bahwa masjid tersebut akan tetap dibuka untuk beribadah dan berdoa, meskipun ada upaya Israel  yang terus-menerus untuk merusak tempat-tempat suci mereka,” kata laporan Khaberni.

     

    (oln/khbrn/rntv/*)

     

     

     

  • Video:Dunia Bergolak, Bos Pupuk Bongkar Jurus Amankan Impor Bahan Baku

    Video:Dunia Bergolak, Bos Pupuk Bongkar Jurus Amankan Impor Bahan Baku

    Jakarta, CNBC Indonesia- Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi menyebutkan Indonesia menyambut baik sinyal perdamaian antara Rusia-Ukraina.

    Diharapkan berakhirnya perang Rusia bisa menjadi sentimen positif terhadap potensi penurunan harga pupuk dunia mengingat Rusia merupakan pengekspor bahan baku tama pupuk yakni kalium karbonat.

    Saat ini Indonesia bergantung pasokan fosfat yakni Mesir dan Yordania sementara untuk potasium bergantung dengan Belarusia dan Rusia. Dimana Indonesia sangat membutuhkan pasokan pupuk untuk mendukung produktivitas pangan nasional sehingga keamanan rantai pasok pupuk dunia menjadi sangat penting.

    Guna mengantisipasi gangguan rantai pasok bahan baku pupuk, Indonesia terus melakukan diversifikasi terhadap sumber pasokan bahan baku pupuk. Lalu Seperti apa strategi RI mengamankan pasokan pupuk? Selengkapnya simak dialog Andi Shalini dengan Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Kamis, 06/03/2025)

  • Liga Arab, Gaza, dan Bayang-bayang Washington

    Liga Arab, Gaza, dan Bayang-bayang Washington

    loading…

    Eko Ernada. Foto/Istimewa

    Eko Ernada
    Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember

    KETIKA para pemimpin Arab berkumpul di Kairo pada 4 Maret lalu, sorotan dunia tertuju pada mereka. Di balik ruangan megah yang menyimpan sejarah peradaban, tersirat harapan dan kegamangan. KTT Liga Arab kali ini bukan sekadar agenda diplomasi rutin, tetapi sebuah panggilan nurani di tengah puing-puing Gaza yang terus merintih. Di setiap jabat tangan dan senyum protokoler, ada tuntutan moral yang menggelayuti: bagaimana dunia Arab menyikapi luka yang terus menganga di Palestina?

    Dari pertemuan ini, lahirlah sederet komitmen yang, di atas kertas, tampak menjanjikan: rencana rekonstruksi Gaza tanpa pemindahan paksa, penolakan terhadap proyek AS yang hendak mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah,” serta janji pendanaan dari negara-negara Teluk. Namun, janji-janji ini menghadapi ujian di medan realitas. Sejarah menunjukkan bahwa keputusan yang dihasilkan di meja perundingan sering kali berakhir dalam kebuntuan eksekusi, terhambat oleh kepentingan politik dan diplomasi yang saling bertabrakan.

    Dilema Solidaritas dan GeopolitikSejarah mengajarkan bahwa dunia Arab sering tersandera oleh kepentingan yang saling berkelindan. Ada yang mengusung retorika solidaritas, tetapi di balik layar menjalin diplomasi senyap dengan Washington dan Tel Aviv. Ada yang lantang membela Palestina , tetapi ragu melawan arus kepentingan ekonomi dan geopolitik. Pertanyaannya tetap menggantung: apakah ini sekadar retorika yang menenangkan kegelisahan publik, atau benar-benar upaya nyata yang akan mengubah nasib Gaza?

    Beberapa negara Arab, seperti Yordania dan Aljazair, masih mempertahankan sikap tegas dalam mendukung Palestina. Namun, negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki kepentingan ekonomi yang semakin dalam dengan Barat dan Israel. Dalam situasi seperti ini, solidaritas terhadap Palestina sering kali menjadi alat tawar-menawar politik. Bahkan, Arab Saudi yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung utama perjuangan Palestina, kini cenderung mengambil pendekatan pragmatis dengan mempertimbangkan dampak normalisasi hubungan dengan Israel terhadap stabilitas regional.

    Di tingkat global, peran Amerika Serikat menjadi variabel kunci. Steven A. Cook, dalam bukunya The End of Ambition: America’s Past, Present, and Future in the Middle East, menyoroti bagaimana kebijakan AS di Timur Tengah sering kali dipengaruhi ambisi yang tidak sejalan dengan realitas politik kawasan. Di era Trump, kebijakan pragmatis-transaksional AS lebih fokus pada kepentingan jangka pendek ketimbang stabilitas jangka panjang. Trump melanjutkan kebijakan pro-Israel dengan memperkuat hubungan dengan pemerintahan Netanyahu dan mempercepat implementasi Abraham Accords. Dukungan AS terhadap pemukiman ilegal di Tepi Barat dan sikapnya terhadap Gaza memberi tekanan bagi negara-negara Arab untuk menyesuaikan diri dengan strategi Washington.

    Fragmentasi dan Ketidakefektifan Liga ArabFragmentasi internal yang terus berlangsung menjadi tantangan utama bagi Liga Arab dan semakin menghambat efektivitas diplomasi regional. Perpecahan antara negara-negara Teluk, sikap ambivalen Mesir terhadap konflik Gaza, serta kepentingan strategis Turki dan Iran yang sering berbenturan dengan negara-negara Arab lainnya menjadikan langkah kolektif sangat sulit. Tanpa kesatuan visi dan aksi, pernyataan bersama yang dihasilkan dari KTT hanya menjadi dokumen tanpa dampak nyata.

    Kegagalan Liga Arab dalam merespons krisis regional—seperti perang saudara Suriah, intervensi di Yaman, serta normalisasi dengan Israel—menunjukkan betapa besar dampak dari fragmentasi ini. Dalam isu Palestina, misalnya, perbedaan sikap terhadap Israel semakin melemahkan posisi tawar Palestina. Rashid Khalidi dalam The Hundred Years’ War on Palestine menunjukkan bagaimana negara-negara Arab lebih fokus pada agenda domestik daripada membela Palestina secara kolektif.

    Sejarah mencatat bagaimana fragmentasi internal Liga Arab menghambat respons terhadap agresi Israel ke Lebanon pada 1982. Ketika Israel melancarkan invasi untuk menumpas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), tidak ada respons militer atau diplomatik yang solid dari Liga Arab. Fragmentasi serupa juga terjadi dalam menangani konflik Gaza saat ini, di mana perbedaan kepentingan antarnegara anggota menghambat tindakan yang lebih konkret.

    Selain itu, peran Iran dalam mendukung kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk fragmentasi ini. Negara-negara Teluk yang pro-Barat dan negara-negara yang lebih terbuka terhadap pengaruh Iran, seperti Suriah dan Lebanon, memiliki sikap yang berbeda terhadap Tehran. Ketegangan ini semakin memperburuk kebijakan luar negeri negara-negara Arab secara keseluruhan, membuat mereka kesulitan untuk mengembangkan kebijakan kolektif yang efektif.

    Dinamika internal Liga Arab juga mencerminkan ketidakefektifan diplomasi regional akibat kurangnya kesatuan strategis. Shibley Telhami dalam The Stakes: America in the Middle East menegaskan bahwa negara-negara Arab sering kali tersandera oleh dinamika geopolitik global, yang semakin memperburuk fragmentasi. Ketidaksepakatan antarnegara Arab sering dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat dan Rusia untuk memperkuat posisi geopolitik mereka, semakin memperumit krisis di Timur Tengah.

    Jalan ke Depan: Retorika atau Tindakan Nyata?Liga Arab menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mereka harus membuktikan bahwa pertemuan ini bukan sekadar ritual diplomasi tahunan. Di sisi lain, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tanpa dukungan nyata dari kekuatan global, rekonstruksi Gaza akan tetap menjadi janji yang tak terwujud.

  • Infinity Castle di Berbagai Negara, Indonesia Paling Awal

    Infinity Castle di Berbagai Negara, Indonesia Paling Awal

    JABAR EKSPRES – Setelah sebelumnya sempat bocor jadwal penayangan untuk Indonesia, kini jadwal lengkap perilisan Kimetsu no Yaiba: Infinity Castle di berbagai negara akhirnya terungkap.

    Film terbaru dari seri fenomenal ini siap mengguncang layar lebar di seluruh dunia.

    Baca juga : Ditengah Hiatus Panjang Kazuki Yao Pensiun Jadi Franky di Serial One Piece

    Film ini akan menghadirkan kelanjutan perjalanan Tanjiro dan kawan-kawan dalam pertempuran epik yang akan membawa kita masuk ke dalam Infinity Castle, markas besar para Iblis yang dipimpin langsung oleh sang antagonis utama, Muzan Kibutsuji.

    Disutradarai oleh Haruo Sotozaki dan diproduksi oleh Ufotable, film ini dipastikan akan memberikan pengalaman visual yang spektakuler, didukung oleh desain karakter dari Akira Matsushima serta musik dari Yuki Kajiura dan Go Shiina.

    Nah, buat kamu yang nggak sabar menantikan tayangnya di bioskop, berikut adalah jadwal lengkap Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba Infinity Castle di berbagai negara:

    Jadwal Rilis Internasional Kimetsu no Yaiba: Infinity Castle

    14 Agustus: Malaysia, Singapura, Pakistan15 Agustus: Kamboja, Indonesia, Vietnam20 Agustus: Filipina11 September: Meksiko, Cile, Peru, Argentina, Bolivia, Brasil, Karibia (Jamaika, Aruba, Suriname, Trinidad & Tobago, Curacao), Amerika Tengah, Kolombia, Republik Dominika, Ekuador, Paraguay, Uruguay, Venezuela, Australia, Selandia Baru, Thailand, Armenia, Azerbaijan, Bahrain, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Mesir, Etiopia, Georgia, Yunani, Hungaria, Islandia, Irak, Israel, Italia, Yordania, Kazakhstan, Kuwait, Lebanon, Lithuania, Makedonia, Belanda, Oman, Portugal, Qatar, Arab Saudi, Serbia, Slowakia, Slovenia, Swiss (berbahasa Italia), Suriah, Ukraina, Uni Emirat Arab.12 September: India, Mongolia, Spanyol, Bulgaria, Estonia, Finlandia, Kenya, Latvia, Nigeria, Norwegia, Polandia, Rumania, Afrika Selatan, Swedia, Turki, Inggris Raya.17 September: Belgia, Prancis, Afrika berbahasa Prancis, Luksemburg, Swiss (berbahasa Prancis).18 September: Moldova25 September: Austria, Jerman, Swiss (berbahasa Jerman)

    Sebelum menyapa para penggemarnya di seluruh dunia, film ini lebih dulu tayang perdana di Jepang pada bulan Juli sebagai penghormatan bagi negara asalnya.

    Baca juga : Kapan Blue Lock Season 3 Tayang? Ini Chapter di Manga Setelah Season 2

    Bukan sekadar film anime biasa, Kimetsu no Yaiba: Infinity Castle akan menjadi bagian dari trilogi movie yang dipersiapkan sebagai penutup perjalanan epik Tanjiro dalam membasmi iblis.

  • Jejak Keberadaan Yesus Terungkap, Arkeolog Beberkan Faktanya

    Jejak Keberadaan Yesus Terungkap, Arkeolog Beberkan Faktanya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Berbagai peneliti memiliki sudut pandang yang berbeda perihal sejarah keberadaan sosok Yesus Kristus. Dalam survei 2015 lalu oleh Gereja Inggris, 22 persen orang dewasa Inggris tidak percaya Yesus merupakan sosok yang nyata sesuai fakta.

    Ahli arkeolog juga mencoba menjawab perbedaan itu. Profesor ilmu perpustakaan di Universitas Purdue dan penulis artikel Biblical Archaeology Review, Lawrence Mykytiuk punya pendapat yang tegas yaitu tidak ada bukti fisik atau arkeologis soal keberadaan Yesus.

    “Tidak ada yang konklusif, saya juga tidak berharap akan ada,” kata dia dikutip dari The History.

    Sementara itu Bart D. Ehrman, seorang profesor studi agama di Universitas North Carolina mengatakan hal yang hampir sama. Tidak ada catatan arkeologi dari saksi yang pada periode yang sama dengan Yesus.

    Namun absennya bukti arkeologi tidak bisa diartikan sosoknya tidak ada. Kemungkinan, pada era tersebut memang kehidupan Yesus Kristus tidak meninggalkan catatan arkeologi.

    “Kurangnya bukti bukan berarti seseorang pada saat itu tidak ada. Artinya, dia, seperti 99,99 persen penduduk dunia lain saat itu, tidak memberikan peninggalan apapun pada catatan arkeologi,” jelas Ehrman.

    Catatan soal Yesus yang paling jelas terungkap dalam 20 jilid buku sejarah bangsa Yahudi yang ditulis Flavius Josephus, seorang sejarawan Yahudi. Buku itu ditulis pada tahun 93 Masehi.

    Josephus diperkirakan lahir setelah penyaliban Yesus sekitar tahun 37M. Dia merupakan bangsawan dan pemimpin militer, serta memiliki koneksi di Palestina.

    Dia juga komandan di Galilea saat Pemberontakan Yahudi pertama melawan Roma tahun 66-70 M. Namun Josephus disebut bukan pengikut Yesus.

    “Dia ada saat gereja awal mulai berdiri, jadi mengenal orang yang melihat dan mendengar soal Yesus,” ucap Mykytiuk.

    Pertanyaan-pertanyaan tentang keaslian terus menyelimuti peninggalan langsung yang terkait dengan Yesus, seperti mahkota duri yang konon dikenakan saat penyaliban, (salah satu contohnya disimpan di dalam Katedral Notre Dame di Paris), dan Kain Kafan Turin, kain kafan yang konon dihias dengan gambar wajah Yesus.

    Arkeolog Temukan Bukti Kisah Alkitab

    Namun, para arkeolog telah mampu menemukan beberapa bukti yang memperkuat kebenaran cerita yang dikisahkan di Alkitab.

    Meskipun beberapa orang memperdebatkan keberadaan Nazaret kuno, kota masa kecil Yesus dalam Alkitab, para arkeolog telah menemukan sebuah rumah dengan halaman yang dipahat dari batu, beserta makam dan kolam.

    Mereka juga menemukan bukti fisik penyaliban Romawi seperti yang digambarkan dalam Perjanjian Baru.

    Menurut artikel yang yang dikutip CNNIndonesia, catatan paling terperinci tentang kehidupan dan kematian Yesus berasal dari empat Injil dan tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya.

    “Semua buku-buku ini ditulis oleh orang Kristen dan jelas-jelas memiliki bias dalam apa yang mereka laporkan, dan harus dievaluasi dengan sangat kritis untuk mendapatkan informasi yang bisa diandalkan secara historis,” kata Ehrman.

    “Namun klaim utama mereka tentang Yesus sebagai tokoh sejarah – seorang Yahudi, dengan pengikut, yang dieksekusi atas perintah gubernur Romawi di Yudea, Pontius Pilatus, pada masa pemerintahan Kaisar Tiberius – didukung oleh sumber-sumber yang muncul belakangan dengan bias yang sama sekali berbeda.”

    Catatan lain tentang Yesus muncul dalam Annals of Imperial Rome, sebuah sejarah abad pertama Kekaisaran Romawi yang ditulis sekitar tahun 116 Masehi oleh senator dan sejarawan Romawi, Tacitus.

    Dalam catatannya tentang pembakaran kota Roma pada tahun 64 M, Tacitus mengungkap Kaisar Nero secara keliru menyalahkan “orang-orang yang biasa disebut orang Kristen, yang dibenci karena kebesaran mereka.”

    “Christus, nama pendiri tersebut, dihukum mati oleh Pontius Pilatus, prokurator Yudea pada masa pemerintahan Tiberius.”

    Ehrman mengatakan, sebagai seorang sejarawan Romawi, Tacitus tidak memiliki bias Kristen dalam diskusinya mengenai penganiayaan terhadap orang-orang Kristen oleh Nero.

    Menurut Myktiuk, ketika Tacitus menulis sejarah, jika dia menganggap informasi itu tidak sepenuhnya dapat diandalkan, dia biasanya menulis beberapa indikasi tentang hal itu untuk para pembacanya. Namun ia menjamin nilai historis dari bagian tersebut.

    “Tidak ada indikasi potensi kesalahan seperti itu dalam bagian yang menyebutkan Christus,” ujarnya.

    Tak lama sebelum Tacitus menulis catatannya tentang Yesus, gubernur Romawi Pliny the Younger menulis kepada Kaisar Trajan bahwa orang-orang Kristen mula-mula “menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Kristus seperti kepada dewa.”

    Beberapa ahli juga percaya bahwa sejarawan Romawi, Suetonius, merujuk kepada Yesus dengan mencatat bahwa Kaisar Claudius telah mengusir orang-orang Yahudi dari Roma yang “terus menerus membuat kekacauan atas hasutan Chrestus.”

    Ehrman mengatakan bahwa kumpulan cuplikan dari sumber-sumber non-Kristen ini mungkin tidak memberikan banyak informasi tentang kehidupan Yesus.

    Sementara kedatangan agama Kristen di Arab telah diketahui melalui sumber-sumber literatur yang ditulis oleh orang luar, seperti ahli Alkitab dan penerjemah terkenal St. Jerome, penemuan-penemuan baru-baru ini menunjukkan bukti-bukti kekristenan dari Arab pra-Islam itu sendiri.

    Petak-petak gurun yang luas di sebelah timur Sungai Yordan mengungkapkan ribuan prasasti kuno, beberapa di antaranya bergambar salib dan menggunakan istilah-istilah Kristen.

    Ahmad Al-Jallad, profesor bahasa Arab di Ohio State University, dalam tulisannya di Biblical Archaeology Review menyajikan hasil yang menarik dari misi epigrafisnya pada tahun 2019 di Wadi al-Khudari di Yordania timur laut.

    Mengutip Biblical Archaeology, penelitian yang dilakukannya menghasilkan ratusan prasasti kuno, yang dicatat oleh para pengembara yang menjelajahi wilayah ini hampir dua ribu tahun lalu.

    Jejak Kristen di Arab

    Lokasi penemuan dan penyebaran prasasti-prasasti ini menunjukkan rute dan lokasi sementara yang digunakan suku-suku Arab ketika berburu hewan liar dan menggembalakan ternak dan unta mereka.

    Setiap prasasti tersebut merupakan sumber informasi sejarah dan budaya yang berharga, tetapi salah satu di antaranya benar-benar luar biasa, karena mendokumentasikan penetrasi awal agama Kristen di Arab.

    Kemungkinan berasal dari abad keempat, prasasti ini menyebut nama Yesus-dengan nama yang sama dengan nama Isa yang ada di dalam Al-Quran.

    Al-Jallad menceritakan kisah penemuan ini dan memberikan analisis mendalam mengenai prasasti unik tersebut. Pertama-tama ia memperkenalkan Harra, gurun basal hitam di timur laut Yordania tempat prasasti itu ditemukan.

    “Suku-suku yang tinggal di lingkungan marginal ini meninggalkan peninggalan arkeologi yang luas, mulai dari zaman Neolitikum hingga zaman modern. Ini termasuk instalasi pemakaman, kandang hewan, dan tempat perkemahan. Namun, mungkin saksi yang paling luar biasa dari masa lalu wilayah ini adalah catatan epigrafinya, termasuk prasasti dan seni cadas,” ungkap Al-Jallad.

    “Tulisan mulai dikenal oleh para pengembara di Arab Utara sejak awal milenium pertama sebelum Masehi. Pada pergantian Era Umum, para pengembara di Harra telah menguasai tulisan. Mereka mengukir puluhan ribu prasasti batu dalam bahasa lokal mereka, sebuah dialek awal bahasa Arab, menggunakan abjad konsonan asli, yang oleh para ahli modern disebut sebagai Safaitik,” lanjutnya.

    Boleh jadi merupakan saksi paling awal dari kekristenan di Arab, prasasti Yesus dari Wadi al-Khudari merupakan prasasti peringatan, yang berarti bahwa prasasti ini memperingati orang yang telah meninggal.

    Prasasti ini terdiri dari tiga bagian: Pertama, prasasti ini memberikan nama dan silsilah si pembuat prasasti (Wahb-El).

    Kemudian, menambahkan peringatan tentang pamannya yang telah meninggal, dan akhirnya diakhiri dengan sebuah doa religius yang unik – Isa, yang sesuai dengan nama yang diberikan kepada Yesus dalam Al-Quran: “Wahai Isa, tolonglah dia terhadap orang-orang yang mendustakanmu.”

    Tidak diragukan lagi, kata dia, penulisnya, atau paling tidak pamannya, adalah seorang Kristen.

    (pgr/pgr)

  • 100 Negara Akan Hadiri Konferensi Pembangunan Kembali Gaza, Negara Arab Terima Usul Mesir – Halaman all

    100 Negara Akan Hadiri Konferensi Pembangunan Kembali Gaza, Negara Arab Terima Usul Mesir – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdel Ati mengatakan sebanyak 100 negara akan ikut serta dalam konferensi tentang pembangunan kembali Jalur Gaza.

    Konferensi tersebut dilangsungkan bulan depan di Kota Kairo, Mesir.

    “Konferensi ini adalah konferensi tingkat kementerian dan akan digelar melalui kerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” kata Abdel Ati hari Rabu, (5/3/2025), dikutip dari kantor berita Mizan.

    “Konferensi Arab itu membahas kemungkinan pembentukan sebuah komite untuk mengelola Gaza untuk periode waktu tertentu,” ujarnya.

    Abdel Ati menyampaikan pada tahapan awal rekonstruksi Gaza, perumahan sementara akan diubah menjadi perumahan permanen.

    “Pada tahap selanjutnya, kita akan pergi ke Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa untuk menerapkan rencana pembangunan kembali Gaza dengan menerima dukungan material dan politik.”

    “Rencana pembangunan kembali Gaza termasuk mengatasi semua tantangan, termasuk menyingkirkan puing-puing, bom, dan rudal.”

    Abdel Ati mengatakan negara-negara Arab menerima rencana Mesir untuk membangun kembali Gaza.

    Rencana Mesir itu didasarkan pada kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan Dana Pembangunan PBB (UNDP).

    BLOKIR BANTUAN – Truk pengangkut bantuan melewati Rafah di Jalur Gaza selatan. Pada Minggu (2/3/2025), Israel menyatakan memblokir semua bantuan masuk ke Gaza untuk menekan Hamas menyetujui usulan gencatan senjata sementara yang diajukan Amerika Serikat. (Khaberni)

    400.000 apartemen akan dibangun di Gaza

    Mesir mengusulkan pembangunan ratusan ribu apartemen di Jalur Gaza sebagai bagian dari rencana rekonstruksi tanah Palestina itu.

    Menurut rencana itu, Gaza akan dibangun kembali tanpa harus memindahkan warga Palestina di sana. Pembangunan akan berlangsung lima tahun.

    The New Arab melaporkan terdapat sejumlah tahap pembangunan. Tahap awal akan berlangsung selama enam bulan dan warga Gaza akan diberi tempat tinggal sementara.

    Pada tahap ini akan ada pembersihan sekitar 50 juta ton puing-puing bangunan di Gaza. Mesir menyebut biaya tahap awal mencapai $3 miliar atau sekitar Rp49 triliun.

    Tahap kedua akan berlangsung selama dua tahun. Pada tahap ini akan ada pembangunan sekitar 200.000 apartemen. Biaya tahap kedua mencapai $20 miliar atau sekitar Rp326,7 triliun.

    Tahap ketiga atau terakhir akan memakan waktu 2,5 tahun dan memerlukan biaya $30 miliar atau Rp490 triliun. Pada tahap ini akan ada pembangunan apartemen tambahan sebanyak 200.000 unit.

    Disebutkan bahwa ada sekitar 30.000 ribu rumah di Gaza yang tidak hancur total oleh serangan Israel selama 1,5 tahun.

    Sebanyak 400.000 apartemen yang akan dibangun itu bisa menangani pertambahan penduduk Gaza hingga tahun 2030. Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdellatty mengatakan jumlah penduduk Gaza akan mencapai 3 juta jiwa.

    Sayangnya, rencana Mesir itu tidak disukai oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump maupun Israel.

    Sebelumnya, Trump juga pernah mengungkapkan rencana pembangunan kembali Gaza. Rencana itu kontroversial dan mendapat kecaman lantaran harus memindahkan paksa warga Palestina.

    Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS Brian Hughes mengatakan Trump sudah menolak rencana Mesir.

    Trump meyakini rencana itu tidak sesuai dengan kenyataan saat ini di Gaza. Dia mengatakan Gaza kini tak bisa dihuni. Warga Palestina tak bisa hidup secara manusiawi di antara puing-puing dan bom yang gagal meledak.

    Menurut Mesir, Otoritas Palestina (PA) akan mengawasi pembangunan kembali Gaza melalui Komite Pemerintahan Gaza selama enam bulan pertama. Komite itu akan berisi teknokrat dan anggota nonpartisan.

    Sementara itu, Middle East Eye melaporkan Mesir itu juga ditujukan untuk memudahkan kembalinya PA ke Gaza.

    Nantinya Mesir dan Yordania akan melatih aparat kepolisian Palestina untuk menyiapkan pembangunan kembali Gaza.

    Bisa jadi nantinya akan ada negara lain yang ikut serta untuk memberikan bantuan politik dan keuangan.

    (*)

  • Mesir Ingin Bangun 400.000 Apartemen di Gaza, Eropa Minta Syarat Hamas Dilucuti Kekuasaannya – Halaman all

    Mesir Ingin Bangun 400.000 Apartemen di Gaza, Eropa Minta Syarat Hamas Dilucuti Kekuasaannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Mesir mengusulkan pembangunan ratusan ribu apartemen di Jalur Gaza sebagai bagian dari rencana rekonstruksi tanah Palestina itu.

    Rencana Mesir disambut baik oleh negara-negara Arab saat konferensi Arab di Kairo, Mesir, beberapa hari lalu.

    Menurut rencana itu, Gaza akan dibangun kembali tanpa harus memindahkan warga Palestina di sana. Pembangunan akan berlangsung lima tahun.

    The New Arab melaporkan terdapat sejumlah tahap pembangunan. Tahap awal akan berlangsung selama enam bulan dan warga Gaza akan diberi tempat tinggal sementara.

    Pada tahap ini akan ada pembersihan sekitar 50 juta ton puing-puing bangunan di Gaza. Mesir menyebut biaya tahap awal mencapai $3 miliar atau sekitar Rp49 triliun.

    Tahap kedua akan berlangsung selama dua tahun. Pada tahap ini akan ada pembangunan sekitar 200.000 apartemen. Biaya tahap kedua mencapai $20 miliar atau sekitar Rp326,7 triliun.

    Tahap ketiga atau terakhir akan memakan waktu 2,5 tahun dan memerlukan biaya $30 miliar atau Rp490 triliun. Pada tahap ini akan ada pembangunan apartemen tambahan sebanyak 200.000 unit.

    Disebutkan bahwa ada sekitar 30.000 ribu rumah di Gaza yang tidak hancur total oleh serangan Israel selama 1,5 tahun.

    WARGA GAZA BUKBER. – Foto merupakan tangkap layar dari YouTube Al Jazeera English yang diambil pada Minggu (2/3/2025), menunjukkan momen warga Gaza berbuka puasa di tengah reruntuhan. (Tangkap layar YouTube Al Jazeera English)

    Sebanyak 400.000 apartemen yang akan dibangun itu bisa menangani pertambahan penduduk Gaza hingga rahun 2030. Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdellatty mengatakan jumlah penduduk Gaza akan mencapai 3 juta jiwa.

    Sayangnya, rencana Mesir itu tidak disukai oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump maupun Israel.

    Sebelumnya, Trump juga pernah mengungkapkan rencana pembangunan kembali Gaza. Rencana itu kontroversial dan mendapat kecaman lantaran harus memindahkan paksa warga Palestina.

    Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS Brian Hughes mengatakan Trump sudah menolak rencana Mesir.

    Trump meyakini rencana itu tidak sesuai dengan kenyataan saat ini di Gaza. Dia mengatakan Gaza kini tak bisa dihuni. Warga Palestina tak bisa hidup secara manusiawi di anatra puing-puing dan bom yang gagal meledak.

    Menurut Mesir, Otoritas Palestina (PA) akan mengawasi pembangunan kembali Gaza melalui Komite Pemerintahan Gaza selama enam bulan pertama. Komite itu akan berisi teknokrat dan anggota nonpartisan.

    Sementara itu, Middle East Eye melaporkan Mesir itu juga ditujukan untuk memudahkan kembalinya PA ke Gaza.

    Nantinya Mesir dan Yordania akan melatih aparat kepolisian Palestina untuk menyiapkan pembangunan kembali Gaza.

    Bisa jadi nantinya akan ada negara lain yang ikut serta untuk memberikan bantuan politik dan keuangan.

    Negara Eropa: Hamas tak boleh berkuasa

    Sejumlah negara Eropa turut membahas rencana pembangunan kembali Gaza saat rapat Dewan Keamanan PBB pada hari Rabu, (5/3/2025).

    Negara-negara itu menegaskan Hamas tak boleh punya peran lagi di Gaza atau tak boleh berkuasa.

    Hamas hingga saat ini masih memerintah Gaza meski kelompok perlawanan Palestina itu diserang habis-habisan oleh Israel selama 1,5 tahun belakangan.

    Jay Dharmadhikari, seorang diplomat Prancis, mengatakan rencana final pembangunan kembali Gaza seharusnya tidak mengizinkan Hamas untuk terus berkuasa di Gaza.

    “Kami sudah menjelaskan bahwa rencana apa pun tak boleh menyertakan peran apa pun bagi Hamas, harus memastikan keamanan Israel, tidak boleh memindahkan warga Palestina dari Gaza,” kata Dharmadhikari yang mewakili Inggris, Denmark, Yunani, dan Slovenia.

    Dia juga mendukung bersatunya Tepi Barat dengan Gaza di bawah pemerintahan Otoritas Palestina (PA). Saat ini PA hanya berkuasa di Tepi Barat.

    Dharmadhikari menyebut negara-negara Eropa siap mendukung rencana itu.

    Di samping itu, dia mendesak Israel agar segela mengizinkan kembali aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza dalam jumlah besar.

    Hari Minggu lalu Israel sudah mengumumkan penghentian aliran bantuan. Kata Israel, bantuan baru bisa mengalir lagi jika Hamas menerima syarat-syarat perpanjangan gencatan tahap pertama.

    (*)

  • Pemimpin Arab Dukung Rencana Mesir dengan Dana Senilai 53 Miliar Dolar untuk Rekonstruksi Gaza – Halaman all

    Pemimpin Arab Dukung Rencana Mesir dengan Dana Senilai 53 Miliar Dolar untuk Rekonstruksi Gaza – Halaman all

    Pemimpin Arab Dukung Rencana Mesir dengan Dana Senilai 53 Miliar Dolar untuk Rekonstruksi Gaza

    TRIBUNNEWS.COM- Pertemuan puncak Arab yang diselenggarakan di Kairo pada tanggal 4 Maret mengadopsi rencana Mesir untuk membangun kembali Gaza dalam upaya untuk melawan usulan Presiden AS Donald Trump untuk mengusir paksa warga Palestina dari jalur tersebut sambil mengubahnya menjadi “Riviera Timur Tengah” bagi pemukim Yahudi Israel.

    Rencana Mesir menyerukan Otoritas Palestina untuk mengelola Gaza sambil menolak seruan Presiden Trump untuk melakukan pembersihan etnis di jalur tersebut.

    Pernyataan akhir dari pertemuan puncak itu menyerukan dicarinya alternatif realistis terhadap pemindahan rakyat Palestina dan, sebelum itu, penolakan kategoris terhadap pemindahan mereka dari tanah mereka atau di dalamnya.

    Mereka juga mengutuk “kebijakan kelaparan dan bumi hangus” yang dilakukan Israel untuk mengusir paksa warga Palestina dan menekankan pentingnya pelaksanaan tahap kedua dan ketiga dari perjanjian gencatan senjata Gaza, yang menyerukan penarikan penuh Israel dari jalur tersebut.

    Pernyataan itu juga mengutuk serangan Israel terhadap Suriah dan penyerbuannya ke wilayah Suriah sambil menyerukan kepada masyarakat internasional untuk memaksa Israel menghentikan pelanggaran ini.

    Draf terperinci rencana Mesir yang diperoleh Sputnik membayangkan menyisihkan 53 miliar dolar untuk membangun kembali Gaza dan membentuk sebuah komite untuk mengelolanya selama enam bulan sebagai persiapan untuk kembalinya Otoritas Palestina (PA).

    Sebagai bagian dari rencana Mesir, sebuah konferensi internasional untuk rekonstruksi Gaza di Kairo akan diadakan akhir bulan ini. 

    Pada saat yang sama, sebuah dana perwalian akan dibentuk untuk menerima sumbangan dari negara-negara donor.

    Draf rencana tersebut menambahkan bahwa “pelaksanaan rekonstruksi memerlukan pengaturan tata kelola transisi dan penyediaan keamanan dengan cara yang menjaga prospek solusi dua negara.”

    Rencana Mesir mengantisipasi bahwa fase pemulihan awal akan berlangsung selama enam bulan dan membutuhkan $3 miliar, sedangkan fase rekonstruksi pertama akan berlangsung selama dua tahun dan menghabiskan biaya $20 miliar.

    Tahap rekonstruksi kedua diperkirakan berlangsung dua setengah tahun dan menelan biaya $30 miliar.

    Presiden PA Mahmoud Abbas juga menyampaikan pidatonya di pertemuan puncak tersebut, dengan mengatakan bahwa sebuah komite kerja telah dibentuk untuk mempersiapkan diri dalam mengemban tanggung jawab keamanan “setelah merestrukturisasi dan menyatukan kader-kadernya yang berada di Jalur Gaza dan melatih mereka di Mesir dan Yordania.”

    Jordan Times mengamati bahwa sementara beberapa kepala negara Arab berpartisipasi dalam pertemuan puncak hari Selasa, penguasa de facto Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS) “tidak hadir, dan malah mengirimkan diplomat tertingginya.”

     

    SUMBER: THE CRADLE