Negara: Venezuela

  • Menlu AS Rubio Kunjungi Meksiko di tengah Operasi Basmi Kartel

    Menlu AS Rubio Kunjungi Meksiko di tengah Operasi Basmi Kartel

    JAKARTA – Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio akan bertemu dengan para pemimpin Meksiko dalam lawatan pertamanya ke negara itu sejak menjabat.

    Kunjungan ini merupakan bagian dari upaya pemerintahan Trump untuk memberantas imigrasi ilegal dan kartel narkoba, serta melawan pengaruh China di Amerika Latin.

    Diplomat tertinggi Washington akan mengunjungi Mexico City dan Ekuador dalam lawatan terbarunya ke kawasan tersebut. Di sana, Rubio akan bertemu dengan rekan-rekan sejawat dan presiden kedua negara.

    Rubio, menteri luar negeri AS keturunan Latin pertama, melakukan perjalanan ke negara-negara di Amerika Tengah dan Karibia dalam lawatan luar negeri pertamanya setelah menjabat, seiring upaya pemerintah untuk kembali fokus ke Amerika Latin.

    Dilansir Reuters, Rabu, 3 September, lawatan ke Meksiko dan Ekuador ini dilakukan setelah militer AS menyerang kapal dari Venezuela di Karibia pada Selasa yang menurut para pejabat AS membawa narkoba ilegal.

    Ini adalah operasi pertama yang diketahui sejak gelombang kapal perang baru-baru ini yang dikerahkan pemerintahan Trump ke wilayah tersebut, yang telah meningkatkan ketegangan antara Washington dan Caracas.

    Kunjungan ini dilakukan di saat Trump juga mengintensifkan kampanyenya untuk mendeportasi migran ilegal di AS, mengirim agen federal ke kota-kota besar di AS, dan mendorong kuota penangkapan harian yang tinggi.

    Tindakan keras terhadap imigrasi ilegal telah menuai kritik dari beberapa negara Amerika Latin, termasuk Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum, yang mengecam penggerebekan imigrasi baru-baru ini di Amerika Serikat.

    Meskipun Sheinbaum telah mempertahankan hubungan baik dengan Trump, kebijakan perdagangan dan upaya pemerintah untuk memerangi kartel narkoba telah mengganggu hubungan antara kedua negara tetangga tersebut.

    “Hubungan ini tidak dalam situasi terbaiknya saat ini,” kata Martha Barcena Coqui, yang pernah menjabat sebagai duta besar Meksiko untuk Amerika Serikat dan sekarang menjadi pakar di lembaga pemikir Pusat Studi Strategis dan Internasional Washington.

    Rubio dan para pejabat Meksiko kemungkinan akan melakukan pembicaraan yang “sangat terbuka” tentang pemberantasan kartel.

    Awal tahun ini, Washington menetapkan beberapa kartel Meksiko sebagai organisasi teroris.

    Sheinbaum mengatakan AS dan Meksiko hampir mencapai kesepakatan keamanan untuk memperluas kerja sama dalam memerangi kartel narkoba, tetapi ia dengan tegas menolak anggapan pemerintahan Trump bahwa Meksiko dapat melakukan operasi militer sepihak di Meksiko.

    Militer AS telah meningkatkan pengawasan udara terhadap kartel narkoba Meksiko, dan Trump telah memberi wewenang kepada Pentagon untuk mulai menggunakan kekuatan militer terhadap kelompok-kelompok tersebut.

    Peningkatan jumlah kapal perang baru-baru ini di Karibia selatan juga merupakan bagian dari upaya menindaklanjuti janji Trump untuk menindak tegas kartel.

    “Itu mungkin isu yang paling sensitif,” ujar Will Freeman, seorang peneliti studi Amerika Latin di Council on Foreign Relations.

    Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri mengatakan Washington berharap dapat mengumumkan langkah-langkah konkret terkait keamanan, imigrasi ilegal, dan melawan China selama kunjungan Rubio ke Meksiko dan Ekuador.

  • AS Kirim Kapal Perang ke Karibia, Nikaragua: Mau Gulingkan Pemerintah

    AS Kirim Kapal Perang ke Karibia, Nikaragua: Mau Gulingkan Pemerintah

    Managua

    Presiden Nikaragua Daniel Ortega menyebut pengerahan kapal-kapal perang Amerika Serikat (AS) ke kawasan Karibia, terutama ke dekat Venezuela, sebagai “sandiwara” perang narkoba. Ortega menuduh AS mengerahkan kapal-kapal perangnya dalam upaya untuk “menggulingkan pemerintah”.

    AS dalam pernyataan sebelumnya menyebut pengerahan kapal-kapal perang ke kawasan Karibia bagian selatan, dekat perairan teritorial Venezuela, merupakan operasi anti-perdagangan narkoba.

    Langkah Washington itu memicu kemarahan Presiden Venezuela Nicolas Maduro, yang menyebut operasi tersebut sebagai “ancaman” bagi negaranya.

    Dalam pidatonya, seperti dilansir AFP, Rabu (3/9/2025), Ortega menuduh pemerintahan Trump mengerahkan kapal-kapal perang AS “untuk mengintimidasi pemerintah Amerika Latin”.

    “Mereka melakukannya untuk mengintimidasi rakyat dan berusaha menggulingkan pemerintah,” sebut Ortega dalam pidatonya pada Selasa (2/9).

    Tuduhan Ortega itu dilontarkan setelah Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa kapal angkatan laut AS menembaki sebuah speedboat yang mengangkut narkoba, dalam jumlah besar, dari Venezuela.

    Trump menyebut sedikitnya 11 orang, yang disebutnya sebagai “narkoteroris”, tewas dalam serangan itu.

    Dalam pernyataan kepada wartawan di Gedung Putih, Trump juga mengatakan bahwa militer AS telah mengidentifikasi para awak kapal tersebut sebagai anggota geng Venezuela, Tren de Aragua, yang telah ditetapkan oleh Washington sebagai kelompok teroris pada Februari lalu.

    Trump kemudian mengulangi tuduhannya bahwa Tren de Aragua dikendalikan oleh Maduro. Tuduhan ini telah dibantah Caracas sebelumnya.

    Ortega mengkritik pengumuman Trump tersebut.

    “Bagaimana mereka membuktikan bahwa mereka adalah pengedar narkoba dan membawa narkoba ke Amerika Serikat? Itu semua sandiwara,” sebut Ortega dalam pidatonya.

    Lihat juga Video: Kapal Perang AS USS Nimitz Lewat Perairan RI, TNI Buka Suara

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Panas! AS Tembaki Kapal Narkoba dari Venezuela, 11 Orang Tewas

    Panas! AS Tembaki Kapal Narkoba dari Venezuela, 11 Orang Tewas

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan sedikitnya 11 orang, yang disebutnya sebagai “narkoteroris”, tewas setelah pasukan militer AS menembaki sebuah kapal yang mengangkut narkoba dari Venezuela.

    Trump, seperti dilansir AFP, Rabu (3/9/2025), mengatakan bahwa kapal yang diserang pasukan AS itu mengangkut banyak narkoba. Dia tidak menyebut lebih lanjut soal jenis narkoba yang diangkut kapal tersebut.

    “Dalam beberapa menit terakhir, kita benar-benar menembaki sebuah kapal, sebuah kapal pengangkut narkoba, banyak sekali narkoba di dalam kapal tersebut,” kata Trump saat berbicara kepada wartawan di Gedung Putih pada Selasa (2/9) waktu setempat.

    “Jadi kami mengeluarkannya,” imbuhnya merujuk pada narkoba yang ada di dalam kapal tersebut.

    “Dan masih banyak lagi yang datang dari sana. Banyak sekali narkoba yang mengalir ke negara kita, masuk untuk waktu yang lama … Ini semua berasal dari Venezuela,” sebut Trump dalam pernyataannya, seperti dilansir Reuters.

    Dia kemudian membagikan sebuah video via media sosial Truth Social miliknya yang tampaknya merupakan rekaman yang diambil dari drone di udara, yang menunjukkan sebuah speedboat meledak di lautan dan kemudian terbakar.

    “Serangan itu mengakibatkan tewasnya 11 teroris dalam aksi. Tidak ada pasukan AS yang terluka dalam serangan ini,” kata Trump.

    Dalam pernyataan terpisah via media sosial X, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan bahwa “militer AS melancarkan serangan mematikan … terhadap sebuah kapal narkoba yang berangkat dari Venezuela dan dioperasikan oleh organisasi yang ditetapkan sebagai narkoteroris”.

    Reuters menyebutnya sebagai operasi pertama yang diketahui sejak pemerintahan Trump baru-baru ini mengerahkan sejumlah kapal perang AS ke kawasan Karibia bagian selatan, saat ketegangan dengan Venezuela dan Presiden Nicolas Maduro memuncak.

    Trump mengatakan bahwa militer AS telah mengidentifikasi para awak kapal tersebut sebagai anggota geng Venezuela, Tren de Aragua, yang telah ditetapkan oleh Washington sebagai kelompok teroris pada Februari lalu.

    Trump kemudian mengulangi tuduhannya bahwa Tren de Aragua dikendalikan oleh Maduro. Tuduhan ini telah dibantah Caracas sebelumnya.

    Pengumuman Trump ini disampaikan menyusul semakin meningkatnya ketegangan antara AS dan Venezuela. Maduro telah menyatakan “kesiapan maksimum” untuk mempertahankan diri dari apa yang disebutnya sebagai ancaman militer AS.

    Pemerintahan Trump yang menuduh Maduro memimpin kartel narkoba, telah mengumumkan pengerahan sejumlah kapal perang AS ke Karibia selatan dalam apa yang disebut sebagai operasi anti-perdagangan narkoba. Namun pemerintahan Trump tidak secara terbuka melontarkan ancaman invasi terhadap Venezuela.

    Tonton juga video “AS Bela Israel di PBB, Sebut Kelaparan di Gaza Bukan Buatan” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Maduro Bilang 8 Kapal Perang AS dengan 1.200 Rudal Incar Venezuela!

    Maduro Bilang 8 Kapal Perang AS dengan 1.200 Rudal Incar Venezuela!

    Caracas

    Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengklaim delapan kapal perang Amerika Serikat (AS) yang dilengkapi “dengan 1.200 rudal” sedang menargetkan negaranya. Maduro mengecam kehadiran kapal-kapal militer Washington itu sebagai “ancaman yang benar-benar kriminal dan berdarah”.

    AS yang menuduh Maduro memimpin kartel narkoba, telah mengumumkan pengerahan sejumlah kapal perangnya ke kawasan Karibia tersebut dalam operasi anti-perdagangan narkoba.

    Pernyataan terbaru Maduro soal kehadiran kapal-kapal perang AS yang dilengkapi rudal itu, seperti dilansir AFP, Selasa (2/9/2025), disampaikan dalam pertemuan dengan media internasional di ibu kota Caracas.

    Dalam pertemuan itu, Maduro mengecam apa yang disebutnya sebagai “ancaman terbesar yang pernah terlihat di benua kita dalam 100 tahun terakhir” dalam bentuk “delapan kapal militer dengan 1.200 rudal dan sebuah kapal selam yang menargetkan Venezuela”.

    Maduro yang dua kemenangannya dalam pemilu tahun 2018 dan 2024 tidak diakui oleh AS maupun sebagian besar komunitas internasional, mengatakan bahwa dalam “menanggapi tekanan militer maksimum, kami telah menyatakan kesiapan maksimum untuk mempertahankan Venezuela”.

    Washington menggandakan tawaran imbalan untuk penangkapan Maduro menjadi sebesar US$ 50 juta, atau setara Rp 820 miliar. Namun, AS sejauh ini tidak secara terang-terangan mengancam akan menginvasi Venezuela.

    Tonton juga video “Presiden Venezuela Sebut Israel Lakukan Genosida di Lebanon” di sini:

    Caracas sendiri telah menyatakan akan berpatroli di perairan teritorialnya dan memobilisasi lebih dari empat juta anggota milisi sebagai respons terhadap “ancaman-ancaman” AS.

    Maduro dalam pernyataannya juga menyesalkan terputusnya saluran komunikasi dengan AS, dan berjanji negaranya “tidak akan pernah menyerah pada pemerasan atau ancaman apa pun”.

    Dalam pertemuan dengan media-media internasional itu, Maduro memperingatkan Presiden AS Donald Trump soal Menteri Luar Negeri (Menlu) Marco Rubio yang disebutnya ingin “membawanya ke dalam pertumpahan darah … dengan pembantaian terhadap rakyat Venezuela”.

    Lihat Video ‘Netanyahu Klaim Rudal Israel Hantam Istana Presiden Yaman’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Kapal Perang AS Terdeteksi Lintasi Terusan Panama, Ada Apa?

    Kapal Perang AS Terdeteksi Lintasi Terusan Panama, Ada Apa?

    Panama City

    Sebuah kapal perang Amerika Serikat (AS), USS Lake Erie, terdeteksi melintasi perairan Terusan Panama. Kapal perang AS itu berlayar dari area Pasifik menuju ke kawasan Karibia pada Jumat (29/8) malam waktu setempat.

    Kehadiran kapal perang AS ini, seperti dilansir AFP, Sabtu (30/8/2025), terpantau setelah pemerintahan Presiden Donald Trump mengumumkan pengerahan sejumlah kapal perang ke dekat pantai Venezuela, saat ketegangan kedua negara semakin meningkat.

    Para jurnalis AFP melihat kapal penjelajah berpeluru kendali milik Angkatan Laut AS melewati salah satu pintu air di Terusan Panama pada Jumat (29/8) malam, pukul 21.30 waktu setempat, dan berlayar ke arah timur menuju ke Atlantik.

    AS sebelumnya mengatakan pengerahan sejumlah kapal perang ke kawasan Karibia bagian selatan, dekat perairan teritorial Venezuela, merupakan bagian dari operasi anti-perdagangan narkoba.

    “Saya tidak tahu kapal itu akan lewa… Saya terkejut,” kata seorang teknisi kesehatan berusia 32 tahun, Alfredo Cedeno, yang sempat mengambil foto kapal perang AS tersebut saat berbicara kepada AFP.

    Kapal perang USS Lake Erie telah ditambatkan selama dua hari terakhir di Pelabuhan Rodman, di pintu masuk Pasifik pada Terusan Panama.

    Aktivitas kapal perang AS itu terdeteksi setelah Washington menuduh Presiden Venezuela Nicolas Maduro memimpin kartel narkoba. AS juga menggandakan tawaran imbalan untuk penangkapan Maduro menjadi US$ 50 juta, atau setara Rp 821,7 miliar.

    Washington juga mengerahkan lima kapal perang dan mengirimkan 4.000 tentaranya di kawasan Karibia untuk memberikan tekanan terhadap Maduro.

    Namun demikian, AS sejauh ini belum secara terbuka mengancam akan menginvasi Venezuela.

    Maduro, dalam pernyataan pada Jumat (29/8), mengatakan “tidak mungkin” pasukan AS bisa menginvasi Venezuela. Dia bersumpah bahwa Venezuela telah bersiap untuk mempertahankan “perdamaian, kedaulatan, dan integritas teritorialnya”.

    “Tidak mungkin mereka dapat memasuki Venezuela,” kata Maduro dalam pernyataannya.

    Caracas merespons pengerahan AS itu dengan mengirimkan sejumlah kapal perang dan drone untuk berpatroli di garis pantai wilayahnya, dan meluncurkan upaya untuk merekrut ribuan anggota milisi guna memperkuat pertahanannya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Ketika Kontrak Sosial Dikhianati
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 Agustus 2025

    Ketika Kontrak Sosial Dikhianati Nasional 30 Agustus 2025

    Ketika Kontrak Sosial Dikhianati
    Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED
    DALAM
    beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan gelombang kekecewaan publik terhadap elite politik di berbagai belahan dunia.
    Dari Amerika Serikat hingga Brasil, dari Filipina hingga Indonesia, warga negara semakin skeptis terhadap janji-janji politik dan kinerja pemerintahan.
    Fenomena ini bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan sesaat, melainkan indikasi serius tentang krisis legitimasi dalam sistem demokrasi modern.
    Ketika para penyelenggara negara mengkhianati kepercayaan rakyat, mereka tidak hanya melanggar janji kampanye politik, tetapi merobek kain sosial yang mengikat masyarakat dengan negara.
    Pengkhianatan ini mengancam fondasi paling mendasar dari demokrasi: kesepakatan bahwa pemerintahan mendapat legitimasinya dari persetujuan yang diperintah.
    Untuk memahami mengapa pengkhianatan politik begitu merusak, kita perlu kembali pada konsep kontrak sosial yang dikemukakan oleh filosof politik seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau.
    Menurut teori ini, individu-individu memberikan sebagian kebebasan mereka kepada negara dengan imbalan perlindungan, keamanan, dan kesejahteraan bersama.
    Robert Dahl, salah satu teoretikus demokrasi terkemuka, menekankan bahwa legitimasi demokratis bergantung pada “responsiveness” atau daya tanggap pemerintah terhadap preferensi warga negara.
    Ketika elite politik lebih mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu dibanding kepentingan publik, mereka melanggar prinsip fundamental ini.
    Daron Acemoglu dan James Robinson dalam karya monumental mereka, “Why Nations Fail,” menjelaskan bagaimana institusi “ekstraktif”—yang dirancang untuk menguntungkan segelintir elite—dapat menghancurkan prosperitas dan stabilitas jangka panjang suatu negara.
    Sebaliknya, institusi “inklusif” yang melayani kepentingan luas masyarakat menjadi kunci kemajuan berkelanjutan.
    Pengkhianatan politik bukanlah fenomena unik Indonesia atau negara berkembang. Di Venezuela, Hugo Chávez dan penerusnya Nicolás Maduro menggunakan retorika populis untuk meraih kekuasaan, tapi kemudian membangun sistem otoriter yang menghancurkan ekonomi dan institusi demokratis.
    Di Eropa, Viktor Orbán di Hungary menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis dapat secara bertahap menggerus kebebasan pers, independensi peradilan, dan ruang
    civil society.
    Strategi ini oleh para ahli disebut sebagai “competitive authoritarianism” atau otoritarianisme kompetitif.
    Francis Fukuyama, dalam “Political Decay,” menggambarkan fenomena ini sebagai kemunduran politik dalam demokrasi modern.
    Menurutnya, institusi politik dapat mengalami “decay” ketika elite lebih fokus pada
    rent-seeking
    (mencari keuntungan dari kekuasaan) daripada melayani kepentingan publik.
    Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam “How Democracies Die” menjelaskan bahwa demokrasi modern jarang mati melalui kudeta militer yang dramatis.
    Sebaliknya, kematian demokrasi sering terjadi melalui erosi bertahap yang dilakukan oleh pemimpin yang terpilih secara demokratis.
    Tanda-tanda awal pengkhianatan ini dimulai dengan polarisasi ekstrem, di mana elite politik sengaja memecah-belah masyarakat untuk memobilisasi basis dukungan, menciptakan mentalitas “kita versus mereka” yang merusak kohesi sosial.
    Langkah berikutnya biasanya berupa delegitimasi oposisi, ketika pemerintah berusaha melabeli kritik sebagai “pengkhianatan” atau “subversi”, sambil mempertanyakan patriotisme dan loyalitas lawan politik.
    Proses ini berlanjut dengan pelemahan institusi pengawas, di mana media independen, lembaga anti-korupsi, dan institusi
    checks and balances
    lainnya dilemahkan melalui berbagai cara.
    Tahap akhir yang paling berbahaya adalah kooptasi hukum, ketika sistem peradilan dijadikan alat untuk melindungi sekutu politik sambil menghukum lawan, menghancurkan prinsip
    rule of law.
    Edelman Trust Barometer, survei global tentang kepercayaan publik, konsisten menunjukkan penurunan kepercayaan terhadap institusi pemerintah di berbagai negara, dengan tren menurun yang signifikan dalam dekade terakhir.
    Ketika kepercayaan publik tergerus, tercipta lingkaran setan yang sulit diputus. Warga yang tidak percaya pada sistem politik cenderung tidak berpartisipasi dalam proses demokratis, memberikan ruang lebih besar bagi elite korup untuk beroperasi.
    Sebaliknya, elite yang kehilangan legitimasi cenderung menggunakan cara-cara represif untuk mempertahankan kekuasaan, semakin merusak kepercayaan publik.
    Fenomena ini juga menciptakan ruang bagi populisme ekstrem dan gerakan antiestablishment yang, ironisnya, sering kali dipimpin oleh elite dengan agenda tersembunyi mereka sendiri.
    Dalam teori demokrasi, terdapat dua mekanisme utama untuk memastikan akuntabilitas politik. Pertama adalah akuntabilitas vertikal yang berjalan melalui pemilihan umum, di mana rakyat dapat menghukum pemimpin yang mengecewakan dengan tidak memilih mereka lagi.
    Namun, efektivitas mekanisme ini bergantung pada akses informasi yang akurat dan proses elektoral yang
    fair
    .
    Kedua adalah akuntabilitas horizontal yang melibatkan sistem
    checks and balances
    antarinstitusi negara, di mana legislatif mengawasi eksekutif, yudikatif memastikan konstitusionalitas kebijakan, dan lembaga-lembaga independen seperti KPK melakukan pengawasan.
    Ketika kedua mekanisme ini dilemahkan, baik melalui manipulasi elektoral, kontrol media, atau kooptasi institusi, rakyat kehilangan alat kontrol terhadap elite politik mereka.
    Menghadapi krisis legitimasi ini, solusinya bukan hanya menunggu pemilihan umum berikutnya. Diperlukan upaya sistematis untuk membangun ketahanan demokratis yang dimulai dari penguatan
    civil society
    .
    Organisasi masyarakat sipil yang independen berperan krusial sebagai pengawas dan mediator antara negara dan warga, sehingga mereka perlu diberi ruang dan perlindungan untuk beroperasi.
    Selain itu, media independen menjadi pilar penting demokrasi karena jurnalisme berkualitas yang bebas dari interferensi politik dan ekonomi sangat dibutuhkan.
    Investasi dalam literasi media juga penting untuk membantu warga membedakan informasi valid dari disinformasi.
    Pendidikan kewarganegaraan tidak kalah pentingnya, karena seperti yang dikatakan Alexis de Tocqueville, “The price of freedom is eternal vigilance.” Warga perlu memahami hak dan kewajiban mereka dalam sistem demokratis.
    Terakhir, reformasi institusional harus dilakukan dengan memperkuat institusi-institusi pengawas melalui independensi, kapasitas, dan mandat yang jelas untuk melawan korupsi dan abuse of power.
    Kekecewaan terhadap elite politik sebenarnya adalah tanda sehat dalam demokrasi, menunjukkan bahwa warga masih peduli dan memiliki ekspektasi terhadap pemerintahan mereka.
    Yang berbahaya adalah ketika kekecewaan ini berubah menjadi apatis atau lebih buruk lagi, dukungan terhadap alternatif antidemokratis.
    Tantangannya adalah mengalihkan kekecewaan ini menjadi energi konstruktif untuk memperbaiki sistem.
    Ini membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua stakeholder bukan hanya elite politik, tetapi juga masyarakat sipil, media, akademisi, dan warga biasa.
    Demokrasi bukan produk jadi yang bisa dibeli di toko, melainkan proses yang harus dipelihara setiap hari.
    Ketika kontrak sosial dikhianati, tugas kita bukan hanya mengkritik, tetapi juga membangun alternatif yang lebih baik. Hal ini membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam menjaga dan memperbaiki sistem demokratis kita.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Presiden Venezuela Yakin AS Tak Mungkin Bisa Invasi Negaranya

    Presiden Venezuela Yakin AS Tak Mungkin Bisa Invasi Negaranya

    Caracas

    Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengatakan “tidak mungkin” pasukan Amerika Serikat (AS) bisa menginvasi negaranya. Hal itu disampaikan setelah Washington mengerahkan lima kapal perang dan mengirimkan 4.000 tentaranya di kawasan Karibia untuk memberikan tekanan terhadap Maduro.

    AS mengatakan bahwa pengerahan pasukan ke kawasan Karibia selatan, dekat perairan teritorial Venezuela, merupakan operasi anti-perdagangan narkoba.

    Venezuela merespons dengan mengirimkan sejumlah kapal perang dan drone untuk berpatroli di garis pantai wilayahnya, dan meluncurkan upaya untuk merekrut ribuan anggota milisi guna memperkuat pertahanannya.

    “Tidak mungkin mereka dapat memasuki Venezuela,” kata Maduro dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Jumat (29/8/2025).

    Dia bersumpah bahwa Venezuela telah bersiap untuk mempertahankan “perdamaian, kedaulatan, dan integritas teritorialnya”.

    Namun demikian, AS sejauh ini belum secara terbuka melontarkan ancaman akan menginvasi Venezuela.

    Maduro yang mengklaim masa jabatan ketiga yang disengketakan dalam pemilu pada Juli 2024, telah menjadi incaran Presiden AS Donald Trump yang kembali menjabat untuk periode kedua pada Januari tahun ini.

    Sejak kembali ke Gedung Putih, serangan Trump terhadap Venezuela berfokus pada geng-geng berpengaruh di negara tersebut, beberapa di antaranya beroperasi di dalam wilayah AS.

    Washington menuduh Maduro memimpin kartel perdagangan kokain bernama “Cartel de los Soles”, yang telah ditetapkan oleh pemerintahan Trump sebagai organisasi teroris.

    Baru baru ini, AS menggandakan tawaran imbalan untuk penangkapan Maduro menjadi US$ 50 juta, atau setara Rp 823,8 miliar, terkait kasus perdagangan narkoba di wilayah AS.

    Maduro, yang menggantikan tokoh sosialis Hugo Chavez sejak tahun 2013, menuduh Trump berupaya melakukan perubahan rezim di Venezuela.

    Lihat juga Video ‘Penembakan Massal Terjadi di Sekolah Katolik AS, 2 Anak Tewas-17 Terluka’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Invasi AS Dimulai! Kapal Perang Mengepung, Presiden Ini Tak Gentar

    Invasi AS Dimulai! Kapal Perang Mengepung, Presiden Ini Tak Gentar

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketegangan antara Caracas dan Washington kembali memanas setelah Presiden Venezuela Nicolas Maduro dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kemungkinan pasukan Amerika Serikat dapat memasuki wilayah negaranya, meski kehadiran militer AS di kawasan Karibia terus bertambah.

    Pernyataan itu ia sampaikan pada Kamis (28/8/2025) waktu setempat, bersamaan dengan pengerahan kapal perang dan kapal selam bertenaga nuklir AS di perairan dekat Venezuela dalam operasi yang diklaim Washington sebagai upaya melawan kartel narkoba Amerika Latin.

    “Tidak ada cara mereka bisa memasuki Venezuela,” tegas Maduro dalam pidatonya di hadapan pasukan, dilansir Al Jazeera. “Hari ini, kami lebih kuat dari kemarin. Hari ini, kami lebih siap untuk membela perdamaian, kedaulatan, dan integritas teritorial.”

    Langkah AS itu juga menuai protes diplomatik. Duta Besar Venezuela untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Samuel Moncada, bertemu Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk menyampaikan keberatan negaranya.

    Usai pertemuan, Moncada menuding Washington melakukan kampanye pencitraan untuk membenarkan intervensi militer.

    “Ini adalah operasi propaganda besar-besaran untuk membenarkan apa yang oleh para pakar disebut aksi kinetik – artinya intervensi militer di sebuah negara yang berdaulat, merdeka, dan tidak mengancam siapa pun,” kata Moncada.

    Ia bahkan menyindir klaim Amerika dengan menyebut, “Mereka mengatakan mengirim kapal selam nuklir. Sungguh konyol membayangkan mereka melawan narkotika dengan kapal selam nuklir.”

    Sementara itu, pihak militer Amerika Serikat membenarkan pengerahan armada tersebut. Laksamana Daryl Claude, Kepala Operasi Angkatan Laut AS, memastikan kapal-kapal perang dikerahkan ke perairan Amerika Selatan dengan alasan keterlibatan sejumlah warga Venezuela dalam operasi narkoba berskala besar.

    Menurut laporan Reuters yang mengutip pejabat AS tanpa menyebut nama, sebanyak tujuh kapal perang dan satu kapal selam penyerang bertenaga nuklir telah berada atau dijadwalkan tiba di kawasan dalam sepekan. Armada itu membawa lebih dari 4.500 personel, termasuk sekitar 2.200 marinir.

    Operasi besar-besaran tersebut diluncurkan setelah pemerintahan Donald Trump menuding Maduro dan sejumlah pejabat tinggi Venezuela terlibat dalam perdagangan kokain melalui jaringan yang dikenal sebagai Cartel de los Soles. AS bahkan menetapkan jaringan itu sebagai organisasi teroris dan menawarkan hadiah hingga US$50 juta untuk penangkapan Maduro.

    Sebagai respons, Caracas meningkatkan kesiagaan militer. Pemerintah Venezuela mengerahkan kapal perang dan drone untuk berpatroli di sepanjang garis pantai, serta melancarkan kampanye perekrutan ribuan anggota milisi baru guna memperkuat pertahanan domestik. Sebanyak 15.000 tentara juga dikirim ke perbatasan dengan Kolombia untuk menindak perdagangan narkoba dan kelompok kriminal bersenjata.

    Maduro dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan terima kasih kepada Kolombia karena mengirim tambahan 25.000 personel militer di wilayah perbatasan kedua negara. Langkah itu, menurut Maduro, merupakan bagian dari upaya bersama memerangi “geng narco-teroris”.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kapal Perusak AS Mendekat, Venezuela Kerahkan Kapal Perang-Drone

    Kapal Perusak AS Mendekat, Venezuela Kerahkan Kapal Perang-Drone

    Jakarta

    Venezuela mengerahkan kapal-kapal perang dan drone untuk berpatroli di garis pantai negara itu pada Selasa (26/8) waktu setempat. Ini dilakukan setelah Amerika Serikat mengirimkan tiga kapal perusak ke wilayah tersebut untuk menekan Presiden Nicolas Maduro.

    Dalam sebuah video di media sosial, Menteri Pertahanan Venezuela Vladimir Padrino mengumumkan pengerahan drone secara “signifikan” serta patroli angkatan laut di sepanjang pantai Karibia, termasuk “kapal-kapal yang lebih besar di utara perairan teritorial kami.”

    Langkah ini diambil di tengah meningkatnya ketegangan dengan Washington, yang mengirimkan tiga kapal perang dan 4.000 Marinir ke Venezuela pekan lalu untuk memberantas perdagangan narkoba.

    Pada hari Selasa (27/8), sebuah sumber Amerika Serikat mengatakan kepada AFP bahwa Presiden AS Donald Trump akan mengirimkan dua kapal perang lagi ke Karibia untuk memberantas kartel narkoba.

    Menurut sumber tersebut, sebuah kapal penjelajah berpeluru kendali, USS Erie, dan sebuah kapal selam serang cepat bertenaga nuklir, USS Newport News, akan tiba di kawasan tersebut minggu depan.

    Meskipun terjadi peningkatan kekuatan militer yang dramatis, para analis telah mengecilkan kemungkinan invasi AS atau serangan AS terhadap Venezuela.

    Maduro telah menjadi incaran Trump sejak masa jabatan pertamanya sebagai presiden di negara tersebut, dari tahun 2017 hingga 2021. Namun, kebijakan tekanan maksimum Trump terhadap Venezuela, termasuk embargo minyak yang masih berlaku, gagal menggulingkan Maduro dari kekuasaan.

    “Saya pikir apa yang kita saksikan merupakan upaya untuk menciptakan kecemasan di kalangan pemerintah dan memaksa Maduro untuk bernegosiasi,” ujar analis International Crisis Group, Phil Gunson, kepada AFP.

    Sejak kembali berkuasa pada bulan Januari lalu, serangan Trump terhadap Venezuela terutama berfokus pada aktivitas geng-geng transnasional yang kuat di negara Amerika Selatan tersebut.

    Washington menuduh Maduro memimpin kartel perdagangan kokain, Cartel de los Soles, yang oleh pemerintahan Trump telah ditetapkan sebagai organisasi teroris.

    Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini menggandakan hadiahnya menjadi US$50 juta sebagai imbalan atas penangkapan Maduro untuk menghadapi tuntutan narkoba.

    Tonton juga Video: 238 Gangster Venezuela Kiriman Trump Tiba di Penjara El Salvador

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • AS Kerahkan 3 Kapal Perang Dekat Venezuela, Presiden Maduro Marah!

    AS Kerahkan 3 Kapal Perang Dekat Venezuela, Presiden Maduro Marah!

    Jakarta

    Presiden Venezuela Nicolas Maduro marah atas pengerahan tiga kapal perang Amerika Serikat di perairan lepas pantai Venezuela, sebagai bagian dari upaya untuk memberantas perdagangan narkoba. Maduro menyebut operasi tersebut sebagai upaya “ilegal” untuk mengubah rezim.

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (23/8/2025), pemerintahan Presiden Donald Trump telah meningkatkan tekanan terhadap Maduro, menggandakan hadiah uang menjadi US$50 juta untuk penangkapan pemimpin Venezuela tersebut atas tuduhan narkoba.

    Awal pekan ini, sebuah sumber AS mengonfirmasi kepada AFP, bahwa tiga kapal perusak berpeluru kendali kelas Aegis sedang menuju perairan internasional di lepas pantai negara Amerika Selatan tersebut. Media AS melaporkan bahwa 4.000 Marinir juga dapat dikerahkan.

    “Apa yang mereka ancamkan terhadap Venezuela — perubahan rezim, serangan teroris militer itu — tidak bermoral, kriminal, dan ilegal,” ujar Maduro kepada para anggota parlemen.

    “Ini masalah perdamaian, masalah hukum internasional, bagi Amerika Latin dan Karibia. Siapa pun yang melakukan tindakan agresi terhadap suatu negara di Amerika Latin berarti menyerang semua negara,” ujarnya.

    Sebelumnya pada tahun 2020, selama masa jabatan pertama Trump, Maduro dan pejabat-pejabat tinggi Venezuela lainnya didakwa di pengadilan federal AS atas beberapa tuduhan, termasuk berpartisipasi dalam konspirasi “narko-terorisme”.

    Departemen Kehakiman AS menuduh Maduro memimpin geng penyelundup kokain bernama “Kartel Matahari” yang mengirimkan ratusan ton narkotika ke Amerika Serikat selama dua dekade, menghasilkan ratusan juta dolar AS.

    Washington tidak pernah mengakui kemenangan Maduro dalam dua pemilu terakhir.

    Maduro mengatakan minggu ini bahwa ia akan mengerahkan 4,5 juta anggota milisi di seluruh Venezuela sebagai tanggapan atas “ancaman” AS. Dia pun menyerukan aksi demonstrasi akhir pekan ini untuk mengecam Washington.

    Tonton juga Video: 238 Gangster Venezuela Kiriman Trump Tiba di Penjara El Salvador

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)