Negara: Uni Eropa

  • Sabih Khan Ditunjuk Jadi COO Apple Gantikan Jeff Williams

    Sabih Khan Ditunjuk Jadi COO Apple Gantikan Jeff Williams

    Bisnis.com, JAKARTA— Apple, perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS),  menunjuk Sabih Khan sebagai Chief Operating Officer (COO) atau Direktur Operasional perusahaan yang baru.

    Dia menggantikan Jeff Williams yang sebelumnya mundur dari jabatannya. 

    Melansir laman Reuters, pada Rabu (9/7/2025) Khan telah bekerja di Apple selama 30 tahun. Dia sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden senior operasi. 

    “Khan akan mengambil peran barunya pads akhir bulan ini,” tulis Apple dalam sebuah pernyataan. 

    Sebelum bergabung dengan grup pengadaan Apple pada 1995, Khan bekerja sebagai insinyur pengembangan aplikasi dan pemimpin teknis akun utama di GE Plastics.

    Sementara itu Williams akan mengundurkan diri dari jabatannya akhir bulan ini, sebagaimana diumumkan oleh Apple tersebut pada Selasa, 8 Juni 2025 waktu setempat. 

    Williams dikabarkan memutuskan untuk mengundurkan diri agar dapat pensiun. Dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman dan keluarga, termasuk lima cucunya. 

    Williams akan terus melapor kepada CEO Apple Tim Cook serta mengawasi tim desain perusahaan dan Apple Watch. Setelah Williams pensiun, tim desain Apple akan beralih untuk melapor langsung kepada Cook. 

    Setelah bekerja di Apple selama hampir tiga dekade, Williams telah memainkan peran penting dalam memperkenalkan program iPod dan iPhone, memimpin pengembangan Apple Watch, dan mengawasi tim desain, di antara kontribusi lainnya.

    Dalam perkembangan lain, Komisioner perlindungan data Jerman meminta Apple dan Google agar menghapus aplikasi milik startup AI asal China, DeepSeek, dari toko aplikasi mereka di negara tersebut.

    Mengutip Reuters, permintaan dilatarbelakangi kekhawatiran terkait dengan perlindungan data, menyusul tindakan serupa di beberapa negara lain. 

    Dalam pernyataannya, Komisioner Perlindungan Data Negeri Bavarian Meike Kamp menjelaskan permintaan ini dibuat karena DeepSeek secara ilegal mentransfer data pribadi pengguna ke China.

    Menurutnya, dua raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) itu kini harus meninjau permintaan tersebut secara cepat dan memutuskan apakah akan memblokir aplikasi tersebut di Jerman, meskipun pihaknya belum menetapkan batas waktu tertentu. 

    Dalam hal ini, pihak Google mengatakan telah menerima pemberitahuan tersebut dan sedang meninjaunya. Sementara itu, DeepSeek tidak menanggapi permintaan komentar yang diajukan Reuters. Apple juga belum memberikan tanggapan.

    Mengacu kepada kebijakan privasi yang dimiliki, DeepSeek menyimpan berbagai data pribadi — seperti permintaan ke program AI-nya atau berkas yang diunggah — di komputer yang berada di China. 

    “DeepSeek belum mampu memberikan bukti yang meyakinkan kepada lembaga saya bahwa data pengguna asal Jerman terlindungi di Tiongkok pada tingkat yang setara dengan Uni Eropa,” kata Kamp, dikutip Bisnis pada Minggu (29/6/2025). 

  • Tarif Trump jadi Fokus Pertemuan Para Menlu Asean di Malaysia

    Tarif Trump jadi Fokus Pertemuan Para Menlu Asean di Malaysia

    Bisnis.com, JAKARTA — Para menteri luar negeri Asia Tenggara atau Asean dijadwalkan bertemu di Malaysia pada Rabu (9/7/2025) waktu setempat di tengah meningkatnya ketidakpastian akibat kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) serta memanasnya sengketa wilayah antara Thailand dan Kamboja. 

    Melansir Reuters, pertemuan di Malaysia yang diikuti oleh 10 negara anggota Asean itu akan dilanjutkan dengan serangkaian pertemuan pada Kamis dan Jumat bersama mitra dagang utama, termasuk Amerika Serikat, China, Jepang, Rusia, India, dan Uni Eropa.

    Menteri Luar Negeri China Wang Yi dan Menlu Rusia Sergei Lavrov dijadwalkan hadir dalam rangkaian pertemuan di Kuala Lumpur. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio juga dipastikan datang dalam kunjungan perdananya ke Asia, dengan misi meredakan ketegangan dengan sekutu dan mitra yang terusik oleh kebijakan tarif Presiden Donald Trump.

    Trump pada Senin (7/7/2025) mengumumkan tarif impor baru yang cukup besar, yakni antara 25% hingga 40% terhadap enam negara Asia Tenggara, meski sejumlah negara sebelumnya telah berupaya memberikan konsesi luas demi menegosiasikan penurunan tarif.

    Sebagai kawasan yang mengandalkan ekspor, Asean merupakan ekonomi terbesar kelima di dunia. Beberapa negara anggota bahkan menjadi penerima manfaat dari pergeseran rantai pasok global yang menjauh dari China. 

    Adapun, hingga kini, baru Vietnam yang berhasil mencapai kesepakatan dengan AS untuk menurunkan tarif dari 46% menjadi 20%.

    Indonesia, Thailand, dan Malaysia menyatakan akan mendorong pembicaraan lanjutan sebelum tarif diberlakukan pada 1 Agustus 2025.

    Tarif Dinilai Kontraproduktif

    Dalam draf rancangan komunike bersama yang dikutip dari Reuters, para menlu Asean akan menyampaikan keprihatinan atas meningkatnya ketegangan perdagangan global dan ketidakpastian yang berkembang dalam lanskap ekonomi internasional, khususnya tindakan sepihak terkait tarif.

    Rancangan bertanggal 7 Juli itu disusun sebelum pengumuman tarif terbaru dan tidak secara eksplisit menyebut Amerika Serikat. Bahasa yang digunakan pun serupa dengan pernyataan para pemimpin Asean pada Mei lalu, yang menilai kebijakan tarif bersifat kontraproduktif dan berisiko memperburuk fragmentasi ekonomi global.

    Pada April lalu, Asean menegaskan tidak akan mengambil langkah balasan atas kebijakan tarif dan para pemimpinnya berkomitmen bahwa setiap kesepakatan bilateral yang dicapai dengan Washington tidak akan merugikan sesama anggota Asean.

    Ekonom senior Asean dari OCBC Lavanya Ventakeswaran mengatakan negara-negara seperti Vietnam juga menghadapi ketidakpastian tambahan terkait kebijakan tarif yang menargetkan aktivitas transshipment, yaitu pengiriman barang asal China yang dialihkan melalui negara ketiga. 

    Namun, dia menilai masih banyak tanda tanya terkait implementasi dan pengawasan kebijakan ini. “Intinya, ke depan situasinya akan semakin kompleks,” kata Ventakeswaran.

  • Pangsa Ekspor CPO RI ke AS Terancam Susut Imbas Tarif Trump

    Pangsa Ekspor CPO RI ke AS Terancam Susut Imbas Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menyebut pangsa pasar ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia ke Amerika Serikat (AS) bisa menyusut imbas pengenaan tarif Presiden AS Donald Trump sebesar 32%.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan penurunan pangsa pasar ekspor CPO Indonesia ke Negara Paman Sam itu mengingat tarif yang dikenakan Trump lebih tinggi dibandingkan negara kompetitor seperti Malaysia.

    Jadi tarif yang dikenakan 32% termasuk untuk CPO, ini jelas akan berpotensi mengurangi market share kita di pasar Amerika, terlebih melihat Malaysia dikenakan tarif yang lebih rendah yakni 25%.

    “Dengan adanya perbedaan tarif ini, maka berpotensi share ekspor CPO Malaysia ke Amerika akan meningkat. Walaupun secara keseluruhan share impor Amerika terhadap CPO dari seluruh dunia tetap Indonesia lebih besar, tapi menyusut dari pangsa pasarnya,” kata Faisal kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025).

    Dalam kondisi seperti ini, Faisal menyebut pemerintah perlu mencari pasar alternatif untuk mengekspor komoditas unggulan Indonesia, salah satunya CPO.

    “Jadi kita lebih serius untuk menggali pasar-pasar tradisional untuk CPO kita yang sebetulnya punya jangkauan pasar yang luas karena tingkat daya saingnya yang relatif tinggi dibandingkan pesaing-pesaingnya,” ujarnya.

    Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyebut kinerja ekspor CPO berpotensi menurun imbas kebijakan Trump yang tetap mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia.

    Berdasarkan catatan Gapki, ekspor minyak sawit Indonesia ke AS terus meningkat selama lima tahun terakhir. Adapun, volume ekspor tertinggi terjadi pada 2023, yakni mampu mencapai 2,5 juta ton. Sayangnya, volumenya turun menjadi 2,2 juta ton pada 2024 dengan pangsa pasar CPO adalah 89%.

    “Apabila tarif [AS terhadap Indonesia] tetap 32%, ada kemungkinan ekspor [CPO] akan menurun, besarnya berapa belum tahu,” ucap Eddy kepada Bisnis.

    Menurutnya, importir di Negara Paman Sam akan mengalihkan pasar ke negara dengan tarif lebih rendah, seperti Malaysia, imbas adanya tarif tinggi ini.

    “Yang paling mungkin importir di AS akan bergeser ke negara lain seperti Malaysia dan negara-negara di Amerika Latin, karena tarif mereka di bawah Indonesia,” ujarnya.

    Kendati demikian, Eddy menyebut ke depan, tren ekspor CPO Indonesia belum tentu bakal terus menurun. Sebab, kondisi ini tergantung pada kondisi minyak nabati lain, seperti minyak kedelai hingga minyak bunga matahari.

    “Belum tentu trennya turun terus, tergantung minyak nabati lain. Apabila supply mereka kurang, maka permintaan minyak sawit akan meningkat,” jelasnya.

    Dia menjelaskan bahwa harga minyak sawit harus kompetitif dibandingkan minyak nabati lain. Sebab, harga yang kompetitif akan mempengaruhi kinerja ekspor CPO ke depan.

    “Jangan sampai harga minyak sawit lebih mahal dari minyak nabati lain seperti bunga matahari dan minyak kedelai seperti di tahun 2024 dan di awal 2025 [sampai April], ini juga akan menurunkan ekspor minyak sawit,” jelasnya.

    Adapun untuk menghadapi tarif Trump, lanjut dia, diversifikasi ke pasar nontraditional merupakan kunci, seperti ke Afrika, Timur Tengah, Rusia, dan Asia Tengah.

    “Juga harus terus menjaga pasar tradisional agar jangan turun seperti China, India, Pakistan, dan Uni Eropa yang saat ini sebagai empat besar pasar minyak sawit Indonesia,” tandasnya.

  • Pengusaha Sawit Was-was Ekspor CPO Turun Imbas Tarif Trump 32%

    Pengusaha Sawit Was-was Ekspor CPO Turun Imbas Tarif Trump 32%

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut kinerja ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) berpotensi menurun imbas kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang tetap mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia.

    Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia ke AS terus meningkat selama lima tahun terakhir.

    Adapun, volume ekspor tertinggi terjadi pada 2023, yakni mampu mencapai 2,5 juta ton. Sayangnya, volumenya turun menjadi 2,2 juta ton pada 2024 dengan pangsa pasar CPO adalah 89%.

    “Apabila tarif [AS terhadap Indonesia] tetap 32%, ada kemungkinan ekspor [CPO] akan menurun, besarnya berapa belum tahu,” kata Eddy kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025).

    Menurut Eddy, importir di Negara Paman Sam akan mengalihkan pasar ke negara dengan tarif lebih rendah, seperti Malaysia, imbas adanya tarif tinggi ini.

    Sebagai pembanding, Trump mengumumkan pengenaan tarif 25% untuk Malaysia. Besaran tarifnya lebih rendah dibandingkan Indonesia sebesar 32%.

    “Yang paling mungkin importir di AS akan bergeser ke negara lain seperti Malaysia dan negara-negara di Amerika Latin, karena tarif mereka di bawah Indonesia,” ujarnya.

    Meski begitu, Eddy menyebut tren ekspor CPO Indonesia belum tentu akan terus menurun ke depan. Kondisi ini tergantung pada kondisi minyak nabati lain, seperti minyak kedelai hingga minyak bunga matahari.

    “Belum tentu trennya turun terus, tergantung minyak nabati lain. Apabila supply mereka kurang, maka permintaan minyak sawit akan meningkat,” terangnya.

    Menurutnya, harga minyak sawit harus kompetitif dibandingkan minyak nabati lain. Sebab, harga yang kompetitif akan mempengaruhi kinerja ekspor CPO ke depan.

    “Jangan sampai harga minyak sawit lebih mahal dari minyak nabati lain seperti bunga matahari dan minyak kedelai seperti di tahun 2024 dan di awal 2025 [sampai April], ini juga akan menurunkan ekspor minyak sawit,” jelasnya.

    Adapun untuk menghadapi tarif Trump, Eddy menyebut diversifikasi ke pasar nontraditional harus terus dilakukan, seperti ke Afrika, Timur Tengah, Rusia, dan Asia Tengah.

    “Juga harus terus menjaga pasar traditional agar jangan turun seperti China, India, Pakistan dan Uni Eropa yang saat ini sebagai empat besar pasar minyak sawit Indonesia,” tuturnya.

    Untuk diketahui, Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mengenakan tarif resiprokal 32% terhadap Indonesia, alias tidak mengalami perubahan.

    Keputusan tersebut tertuang dalam surat tarif yang ditujukan Trump kepada Presiden Prabowo Subianto yang yang diunggah di akun Truth Social @realDonaldTrump pada Selasa (8/7/2025).

    Kepala Negara AS itu juga mengunggah surat terbuka penetapan tarif ke berbagai negara. Dalam surat tersebut, Trump menyebut pihak AS telah memutuskan untuk melanjutkan kerja sama dengan Indonesia, namun hanya dalam kerangka perdagangan yang lebih seimbang dan adil.

    “Mulai Agustus 2025, AS akan memberlakukan tarif sebesar 32% terhadap seluruh produk Indonesia yang masuk ke pasar AS, terpisah dari tarif sektoral lainnya. Produk yang dialihkan (transshipped) untuk menghindari tarif yang lebih tinggi akan tetap dikenakan tarif sesuai dengan kategori tertingginya,” demikian kutipan surat tersebut.

    Dia menjelaskan, tarif ini diperlukan untuk memperbaiki kondisi defisit perdagangan yang tidak berkelanjutan, yang selama ini disebabkan oleh kebijakan tarif, nontarif, serta hambatan perdagangan dari pihak Indonesia.

    “Sayangnya, hubungan dagang ini sejauh ini belum bersifat timbal balik,” terangnya.

    Menurutnya, pengenaan tarif 32% itu sebenarnya jauh lebih rendah dari tarif yang diperlukan untuk menutup kesenjangan defisit perdagangan AS dengan Indonesia.

    Dia menambahkan, tarif ini tidak akan berlaku jika Indonesia, atau perusahaan-perusahaan dari Indonesia, memutuskan untuk membangun fasilitas produksi di AS.

    Bukan hanya itu, Trump juga menyebut AS bakal membantu mempercepat proses perizinan secara profesional dan efisien dalam hitungan minggu.

    Selain itu, AS dapat mempertimbangkan penyesuaian tarif jika Indonesia bersedia membuka akses pasar dan menghapus kebijakan tarif maupun nontarif terhadap AS. Dia menyebut, besaran tarif dapat dinaikkan atau diturunkan, tergantung pada perkembangan hubungan bilateral Indonesia—AS. 

    Bahkan, Trump juga mengancam Indonesia untuk menambah tarif tersebut jika Indonesia melakukan retaliasi dagang. “Apabila Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif atas produk Amerika Serikat, maka besaran kenaikan tersebut akan langsung ditambahkan pada tarif 32% yang telah kami tetapkan,” tandasnya.

  • Trump Ancam Tarif Lebih Tinggi 1 Agustus, Indonesia Kena 32%

    Trump Ancam Tarif Lebih Tinggi 1 Agustus, Indonesia Kena 32%

    Jakarta

    Amerika Serikat (AS) memperingatkan mitra dagangnya untuk merundingkan kesepakatan baru. Jika tidak, mulai 1 Agustus 2025, AS siap menerapkan kenaikan pajak impor sesuai tarif resiprokal atau timbal balik yang diusulkan Presiden Donald Trump.

    Hal itu disampaikan dalam surat yang dikirim Trump kepada negara mitra dagang AS pada Senin (07/07). Dalam surat itu, Donald Trump memberi peringatan bahwa mereka akan menghadapi bea masuk yang lebih tinggi dalam waktu dekat jika kesepakatan tidak tercapai.

    “Presiden Trump akan mengirimkan surat kepada beberapa mitra dagang kami yang menyatakan bahwa jika mereka tidak mempercepat prosesnya, maka per 1 Agustus, mereka akan kembali ke tingkat tarif 2 April. Saya yakin kita akan melihat banyak kesepakatan dengan cepat,” kata Menteri Keuangan AS Scott Bessent dalam sebuah tayangan CNN “State of the Union” yang tayang pada Minggu (06/07).

    Pemberlakuan ini membuat bursa saham Wall Street anjlok. Namun, sejauh ini pasar Asia menyikapi hal tersebut dengan tenang.

    Sejumlah negara terus berjibaku menyelesaikan kesepakatan dengan AS sejak Trump meluncurkan perang dagang global pada April. Tarif ini turut mengacaukan pasar finansial.

    Namun, mitra dagang AS mendapat penundaan setelah Trump memperpanjang tenggat negosiasi hingga 1 Agustus lewat perintah eksekutif.

    Surat Trump ke Prabowo: Indonesia kena tarif 32%

    Dilansir dari berbagai sumber, pemerintah Indonesia mendapat surat berkop Gedung Putih tertanggal 7 Juli 2025. Isinya, Indonesia akan dikenakan tarif sebesar 32% untuk semua produk yang akan dikirimkan ke Amerika Serikat.

    Tim DW sudah berupaya meminta keterangan dari pihak pemerintah Indonesia melalui Presidential Communication Office (PCO). Namun, hingga artikel ini terbit, belum ada respons dari pemerintah.

    Berapa tarif untuk Jepang dan Korsel?

    Donald Trump mengatakan bahwa AS akan memberlakukan tarif 25% pada impor dari Jepang dan Korea Selatan, yang juga berlaku mulai 1 Agustus 2025. Dua mitra dagang Paman Sam itu merupakan kelompok pertama yang menerima surat tersebut.

    Pada April 2024, Trump mengumumkan jeda 90 hari yang berakhir pada 9 Juli lalu, untuk tarif 10-50% ke puluhan negara, termasuk sebagian besar mitra dagang utama AS.

    Scott Bessent menegaskan bahwa target bulan Agustus “bukan tenggat baru” untuk negosiasi.

    “Kami menyatakan ini waktu pelaksanaannya. Jika ingin mempercepat, silakan. Jika ingin kembali ke tarif lama, itu pilihan Anda,” tegasnya.

    Tarif lebih tinggi yang berlaku mulai 1 Agustus 2025 tersebut tidak akan digabungkan dengan tarif sektoral yang telah diumumkan sebelumnya, seperti tarif untuk kendaraan, baja, dan aluminium. Contohnya, tarif kendaraan Jepang, jumlahnya akan tetap sebesar 25%.

    Pada Selasa (08/07) Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba mengatakan bahwa beberapa kemajuan telah dicapai untuk menghindari tarif yang lebih tinggi hingga 35%, nilai yang disarankan Trump baru-baru ini.

    “Kami telah menerima proposal dari Amerika Serikat untuk segera melanjutkan negosiasi menuju tenggat waktu 1 Agustus yang baru saja ditetapkan, dan tergantung respons pemerintah Jepang, isi surat tersebut dapat direvisi,” jelas Ishiba dalam sebuah pertemuan dengan para menteri kabinet untuk mendiskusikan strategi Jepang terkait tarif.

    Sementara, Korea Selatan mengatakan pihaknya berencana untuk mengintensifkan perundingan perdagangan dengan AS dan menganggap rencana terbaru Trump secara efektif memperpanjang masa tenggang untuk menerapkan tarif balasan.

    “Kami akan meningkatkan negosiasi selama periode yang tersisa untuk mencapai hasil yang saling menguntungkan untuk segera menyelesaikan ketidakpastian dari tarif,” ujar Kementerian Perindustrian Korsel.

    AS-EU masih terus berunding

    Uni Eropa (UE) termasuk pihak yang berisiko. Tanpa kesepakatan, tarif barang impor UE dapat melonjak hingga 50%. Hal ini kemungkinan akan berdampak dalam segala hal, mulai dari keju Prancis hingga barang elektronik Jerman.

    Negosiator UE dan AS telah berunding untuk mencapai kesepakatan baru.

    Sementara, Scott Bessent mengatakan bahwa strategi Trump adalah menerapkan “tekanan maksimum,” sambil menyebut UE sebagai salah satu contohnya. Dia mencatat bahwa UE “membuat kemajuan yang sangat baik”, setelah sebelumnya dimulai dengan lambat.

    “Pemerintah AShampir mencapai beberapa kesepakatan,” papar Scott. “Saya perkirakan akan ada sejumlah pengumuman besar dalam beberapa hari ke depan.”

    Sementara ini, kesepakatan telah dicapai dengan Inggris dan Vietnam.

    Pihak UE mengatakan bahwa mereka berharap untuk mencapai kesepakatan. Namun, UE juga siap untuk membalas dengan tarif pada ekspor AS.

    Jika dihitung, pada tahun 2024 jumlah nilai perdagangan barang dan jasa antara UE dan AS mencapai €1,7 triliun (sekitar Rp29.750 triliun). Jika dirata-ratakan, per harinya mencapai atau rata-rata €4,6 miliar (sekitar Rp80,5 triliun) per hari, menurut badan statistik Uni Eropa, Eurostat.

    Namun, sejumlah sumber-sumber dari UE menyebut Blok Biru ini tidak akan menerima surat yang menetapkan tarif yang lebih tinggi. Hal tersebut disampaikan pada Senin (07/07) kepada kantor berita Reuters.

    Uni Eropa sendiri terpecah dalam memilih langkah untuk mendorong kesepakatan perdagangan yang cepat dan ringan atau memanfaatkan pengaruh ekonominya untuk menegosiasikan hasil yang lebih baik.

    Uni Eropa tampak sudah putus asa untuk mendapatkan kesepakatan perdagangan yang komprehensif sebelum tenggat waktu Juli 2025.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris dan dilengkapi konteks Indonesia.

    Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi

    Editor: Tezar Aditya dan Rahka Susanto

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Tenggat Tarif Diperpanjang, RI hingga Uni Eropa Berpacu Kebut Negosiasi dengan AS

    Tenggat Tarif Diperpanjang, RI hingga Uni Eropa Berpacu Kebut Negosiasi dengan AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah negara terus melakukan perundingan atau negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) di tengah kabar perpanjangan tenggat tarif impor yang ditetapkan Presiden Donald Trump.

    Melansir Reuters pada Senin (7/7/2025), Trump menyatakan pemerintahannya sedang dalam tahap akhir finalisasi sejumlah perjanjian dagang yang akan diumumkan dalam beberapa hari ke depan. 

    Pemberitahuan tarif baru kepada negara mitra dagang akan disampaikan paling lambat 9 Juli, dengan tarif berlaku mulai 1 Agustus 2025.

    Meski sebelumnya menjanjikan 90 kesepakatan dalam 90 hari, Trump dan timnya baru menyelesaikan kesepakatan terbatas dengan Inggris dan satu perjanjian yang belum jelas dengan Vietnam. Sementara itu, kesepakatan dengan India masih belum tercapai.

    Berikut perkembangan perundingan dagang AS dengan sejumlah mitra menjelang tenggat waktu:

    Uni Eropa

    Pejabat AS mengklaim ada kemajuan dalam pembicaraan dengan Uni Eropa (UE) usai kunjungan negosiator perdagangan utama blok tersebut, Maros Sefcovic, ke Washington pekan lalu. Namun, para diplomat Eropa menyatakan belum ada terobosan signifikan hingga Jumat.

    Salah satu diplomat mengatakan regulasi UE terhadap media sosial dan perusahaan teknologi, yang lebih ketat daripada di AS, tidak dapat dinegosiasikan. Selain itu, tarif AS sebesar 17% terhadap produk pertanian dan makanan menjadi ganjalan utama.

    Berdasarkan laporan Bloomberg, UE bersedia menerima tarif universal 10% atas banyak ekspornya, namun menginginkan pengecualian untuk sektor farmasi, alkohol, semikonduktor, dan pesawat komersial. Blok ini juga mendesak kuota dan pengecualian untuk menurunkan tarif AS atas mobil, suku cadang, baja, dan aluminium.

    Jepang

    Jepang menyatakan tetap ingin mencapai kesepakatan dagang sambil menjaga kepentingan nasional. Negosiator Jepang Ryosei Akazawa mengadakan pembicaraan telepon intensif dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick pada Kamis dan Sabtu pekan lalu.

    Trump sebelumnya menuding Jepang enggan mengimpor beras AS dan menyebut perdagangan otomotif Jepang tidak adil. Dia juga meminta Tokyo membeli lebih banyak minyak AS. Trump mengatakan Jepang mungkin termasuk negara yang akan menerima surat pemberitahuan tarif, dengan potensi tarif hingga 35%.

    India

    Negosiasi dagang dengan India masih mandek akibat perbedaan pandangan terkait tarif AS atas komponen otomotif, baja, dan produk pertanian. India saat ini menghadapi tarif 26% dan telah menawarkan pemangkasan tarif untuk produk AS, namun menolak membuka pasar pertanian dan susu.

    New Delhi juga mengajukan tarif balasan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menyebut tarif 25% AS atas mobil dan suku cadang dapat berdampak terhadap ekspor India senilai US$2,89 miliar.

    Indonesia

    RI menawarkan pemangkasan tarif atas impor utama dari AS hingga mendekati nol dan komitmen pembelian gandum AS senilai US$500 juta untuk menghindari tarif 32%. Maskapai Garuda Indonesia juga berencana membeli lebih banyak pesawat Boeing sebagai bagian dari paket kerja sama US$34 miliar yang akan diteken pekan ini.

    Sebagai bentuk itikad baik, pemerintah Indonesia telah melonggarkan perizinan impor untuk produk plastik, bahan kimia, dan bahan baku industri sejak 30 Juni. Jakarta juga mengundang AS untuk berinvestasi bersama dalam proyek mineral milik BUMN.

    Korea Selatan

    Meski telah melalui beberapa perundingan dan kesepakatan awal, Korea Selatan meminta perpanjangan tenggat 9 Juli. Penasihat Keamanan Nasional Wi Sung-lac dijadwalkan mengunjungi Washington pada 6–8 Juli untuk membahas isu bilateral dan pengaturan pertemuan pertama antara Presiden Lee Jae Myung dan Trump.

    Korea Selatan nyaris tidak mengenakan tarif atas barang impor dari AS berkat perjanjian dagang bebas. Fokus AS kini bergeser ke isu nilai tukar dan biaya pertahanan, khususnya pembagian beban atas 28.500 tentara AS yang ditempatkan di Korsel.

    Thailand

    Thailand tengah melakukan upaya terakhir untuk menghindari tarif 36% dengan menawarkan akses pasar yang lebih besar bagi produk pertanian dan industri AS, serta komitmen pembelian energi dan pesawat Boeing. 

    Menteri Keuangan Pichai Chunhavajira menyatakan bahwa proposal ini mencakup pengurangan tarif, peningkatan investasi, dan langkah penegakan aturan untuk menghindari pelanggaran reekspor.

    Thailand juga berkomitmen mengimpor lebih banyak gas alam cair (LNG) dari AS dan memangkas tarif atas impor jagung asal AS.

    Swiss

    Swiss sedang menjajaki konsesi untuk menghindari tarif 31%, termasuk memberikan akses pasar lebih besar untuk produk seperti hasil laut dan buah sitrus. Namun, sebagai basis perusahaan farmasi raksasa seperti Roche dan Novartis, Swiss juga ingin memastikan sektor farmasi tak dikenai tarif AS di kemudian hari.

  • Mendag AS: Tarif Trump Berlaku 1 Agustus 2025, Deadline Negosiasi Diperpanjang

    Mendag AS: Tarif Trump Berlaku 1 Agustus 2025, Deadline Negosiasi Diperpanjang

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemberlakuan tarif impor berdasarkan negara yang ditetapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi diundur ke 1 Agustus 2025 dari tenggat sebelumnya pada 9 Juli 2025.

    Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick pada Minggu (6/7/2025) waktu setempat, saat mendampingi Trump sebelum kembali ke Washington dari New Jersey dengan Air Force One.

    “Saya kira sebagian besar negara akan selesai pada 9 Juli, entah itu melalui surat atau kesepakatan,” kata Trump kepada wartawan dikutip dari Bloomberg, Senin (7/7/2025).

    Trump menyebut surat pemberitahuan tarif akan mulai dikirim pada Senin dan sebagian lainnya pada Selasa. Surat tersebut berisi rincian tarif yang akan diterapkan jika tidak tercapai kesepakatan.

    “Kami juga sudah membuat beberapa kesepakatan. Jadi akan ada kombinasi antara surat dan perjanjian,” ujar Trump, tanpa merinci negara-negara atau kelompok seperti Uni Eropa yang termasuk dalam masing-masing kategori.

    Sementara itu, Lutnick mengonfirmasi perpanjangan tenggat pemberlakuan tarif impor tersebut, seraya menyatakan bahwa proses penetapan pungutan dan finalisasi kesepakatan masih berlangsung.

    “Tarif akan berlaku pada 1 Agustus, tapi Presiden sedang menetapkan besarannya dan menyusun kesepakatan saat ini,” kata Lutnick yang mendampingi Trump dalam konferensi pers tersebut.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengindikasikan bahwa negara-negara yang belum mencapai kesepakatan dagang dapat memperoleh perpanjangan waktu hingga tiga pekan untuk melanjutkan negosiasi.

    “Kami akan sangat sibuk dalam 72 jam ke depan,” ujar Bessent dalam wawancara dikutip dari Bloomberg pada Senin (7/7/2025), merujuk pada waktu yang tersisa sebelum tenggat yang ditetapkan pemerintahan Presiden Donald Trump.

    Dalam wawancara terpisah dengan dua media televisi AS pada Minggu, Bessent menyatakan bahwa surat-surat yang akan dikirim Trump kepada mitra dagangnya pekan ini bukanlah keputusan akhir terkait besaran tarif yang akan diberlakukan. 

    Menurutnya, tarif akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025, sehingga masih ada waktu bagi negara-negara yang belum mencapai kesepakatan untuk mengajukan tawaran baru.

  • Mitra Dagang AS Berpacu dengan Tenggat Tarif Trump

    Mitra Dagang AS Berpacu dengan Tenggat Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA—Sejumlah negara mitra dagang Amerika Serikat (AS) berpacu dengan tenggat pemberlakuan tarif Trump, 9 Juli 2025.

    Dikutip dari Bloomberg, Minggu (6/7/2025), sejumlah negara tercatat menggunakan akhir pekan untuk melakukan pembahasan soal tarif Trump atas barang ekspor mereka. Negara seperti, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, India, dan Vietnam memilih akhir pekan untuk menentukan nasib tarif yang berlaku bagi komoditas ekspor yang menyasar AS.

    Sementara itu, Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba bersiap terhadap kemungkinan skenario tarif. Dalam Program Sunday News The Prime di Fuji TV, dia menyebutkan bahwa negara produsen otomotif utama berupaya menghindari tarif Trump, bersiap kokoh dan menjaga kepentingannya sambil mengantisipasi kemungkinan situasi apa pun.

    Kekhawatiran tentang tarif produk otomotif turut dirasakan Korea Selatan yang telah berdiskusi dengan AS terkait dengan perpanjangan tenggat untuk menghindari pungutan lebih tinggi. Kemudian, negara anggota Uni Eropa menyebutkan status negosiasi setelah pembicaraan beberapa ronde menyebut bahwa kesepakatan secara teknis makin dekat.

    Kesepakatan awal dengan India sebelumnya diharapkan tercapai kendati masih berhadapan dengan sikap yang lebih sulit beberapa hari belakangan, mengancam pungutan terhadap produk asal AS sebagai aksi balasan Washington yang menerapkan tarif lebih tinggi pada komoditas seperti kendaraan roda empat dan komponen.

    Dengan Vietnam, Setelah Trump mengumumkan kesepakatan, negosiator pun masih berkoordinasi untuk memfinalisasikan detailnya. Negara lainnya, Kamboja menyebutkan dalam keterangannya pada Jumat (4/7/2025), waktu setempat bahwa Kamboja dan AS telah menyepakati kerangka kesepakatan yang akan dirilis dalam waktu dekat, dengan janji untuk melanjutkan kerja sama secara erat. Kamboja mendapatkan tarif 49%, tertinggi di kalangan mitra dagang AS lainnya. Kamboja merupakan negara pengekspor tekstil dan alas kaki ke AS.

    Terlepas dari itu, Presiden AS Donald Trump menyebut akan memberitahukan sejumlah negara melalui surat yang dikirimkan pada Senin (7/7/2025) tentang tarif barang yang dikirim ke Negeri Paman Sam.

    “Saya menandatangani sejumlah surat dan ini semua akan dikirim pada Senin, kemungkinan 12 (negara),” ujarnya kepada reporter.

    Dia pun menambahkan bahwa surat ini mengindikasikan perbedaan nilai, tarif, dan pernyataan kepada mitra dagangnya. Namun, dia enggan membeberkan negara mana yang akan menerima surat darinya.

    “Saya harus mengumumkannya pada Senin,” katanya.

    Pidato Trump terakhir menyebutkan bahwa perbincangan tetap cair dan kesepakatan sulit dicapai, tiga hari sebelum tenggat diumumkan, yakni 9 Juli 2025. Surat ini seharusnya dikirimkan pada 4 Juli 2025 dengan tarif berlaku pada 1 Agustus, mengacu pada pernyataan Trump sebelumnya.

    Bloomberg menyebutkan Trump kerap mengeluarkan ancaman sepihak ketika negosiasi mencapai tahap penting. Alhasil, sulit untuk memastikan bahwa surat yang dimaksud memang ada atau hanya aksi gertak sambal agar mitra dagang yang enggan memberikan penawaran pada kesempatan akhir.

  • Trump Kirim Surat Tarif Resiprokal ke 12 Negara, Kenaikan hingga 70% Mulai Agustus 2025 – Page 3

    Trump Kirim Surat Tarif Resiprokal ke 12 Negara, Kenaikan hingga 70% Mulai Agustus 2025 – Page 3

    Perubahan arah kebijakan dari negosiasi menjadi pendekatan langsung lewat surat tarif ini menandakan betapa rumitnya pembicaraan dagang internasional, terutama saat menyangkut tarif dan hambatan nontarif seperti larangan impor produk pertanian. Terlebih lagi, sebagian besar perjanjian dagang biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dirampungkan.

    Hingga saat ini, hanya dua negara yang berhasil menjalin kesepakatan dagang dengan AS di bawah kepemimpinan Trump. Inggris menjadi negara pertama yang mencapai kesepakatan pada Mei lalu, di mana tarif dasar 10% tetap dipertahankan, dan sejumlah sektor seperti otomotif serta pesawat mendapatkan perlakuan istimewa.

    Kesepakatan kedua terjadi dengan Vietnam, yang setuju memangkas tarif dari ancaman 46% menjadi hanya 20% untuk beberapa barang ekspor ke AS. Sebagai imbal balik, produk-produk Amerika akan diizinkan masuk ke Vietnam tanpa bea masuk.

    Sementara itu, negosiasi dengan India mengalami kegagalan, dan diplomat Uni Eropa menyebut bahwa pembicaraan perdagangan dengan AS belum membuahkan hasil. Uni Eropa kemungkinan akan memilih mempertahankan status quo demi menghindari dampak dari tarif baru. 

  • Trump Umumkan Tarif Baru AS untuk 12 Negara Besok 7 Juli, Ada RI?

    Trump Umumkan Tarif Baru AS untuk 12 Negara Besok 7 Juli, Ada RI?

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menandatangani surat penetapan tarif baru kepada 12 negara atas barang ekspor ke AS akan disebarkan pada Senin, (7/7/2025) besok. 

    Mengutip dari Reuters, Minggu (6/7/2025) dengan menetapkan tarif resiprokal tersebut, Trump memberikan penawaran ‘terima atau tinggalkan’ pasar AS. Kendati demikian, Trump masih enggan menyebutkan negara mana saja yang telah ditetapkan tarifnya. 

    “Saya menandatangani beberapa surat dan surat-surat itu akan dikirim pada hari Senin, mungkin dua belas [negara mitra dagang]. Beda jumlah uangnya, beda jumlah tarifnya,” ujar Trump. 

    Sebelumnya, pada hari Kamis Trump mengatakan kepada wartawan bahwa dia memperkirakan gelombang pertama surat akan dikirim pada hari Jumat lalu pada hari libur nasional di Amerika Serikat, tapi rencana tersebut tertunda dan tanggalnya kini telah berubah.

    Sebagaimana diketahui, Trump pada April mengumumkan tarif dasar sebesar 10% dan jumlah tambahan untuk sebagian besar negara, beberapa di antaranya berkisar hingga 50%.

    Akan tetapi, semua tarif kecuali tarif dasar 10% kemudian ditangguhkan selama 90 hari untuk memberikan lebih banyak waktu bagi negosiasi guna mengamankan kesepakatan.

    Periode tersebut berakhir pada tanggal 9 Juli, meskipun Trump pada hari Jumat pagi mengatakan tarif bisa lebih tinggi lagi yang berkisar hingga 70% dengan sebagian besar akan mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus.

    Perang dagang global ini telah menjungkirbalikkan pasar keuangan dan memicu perebutan di antara para pembuat kebijakan untuk menjaga ekonomi.

    Semula, Trump mengatakan pihaknya akan meluncurkan negosiasi dengan sejumlah negara mengenai tingkat tarif. Namun, Presiden AS itu telah kecewa dengan proses tersebut setelah berulang kali mengalami kemunduran dengan mitra dagang utama, termasuk Jepang dan Uni Eropa.

    Dia menyinggung hal itu secara singkat pada hari Jumat malam, dengan mengatakan, “Surat-suratnya lebih baik… jauh lebih mudah untuk mengirim surat,” tuturnya. 

    Perubahan jadwal penetapan tarif dalam strategi Gedung Putih mencerminkan tantangan dalam menyelesaikan perjanjian perdagangan pada segala hal mulai dari tarif hingga hambatan non-tarif seperti larangan impor pertanian, dan terutama pada jangka waktu yang dipercepat.

    Sebagian besar perjanjian perdagangan masa lalu membutuhkan negosiasi bertahun-tahun untuk diselesaikan.

    Untuk diketahui, satu-satunya perjanjian perdagangan yang dicapai hingga saat ini adalah dengan Inggris, yang mencapai kesepakatan pada Mei untuk mempertahankan tarif 10% dan memperoleh perlakuan istimewa untuk beberapa sektor termasuk otomotif dan mesin pesawat terbang. 

    Kemudian, dengan Vietnam, AS memutuskan memangkas tarif pada banyak barang Vietnam menjadi 20% dari yang sebelumnya diancam sebesar 46%. Banyak produk AS akan diizinkan masuk ke Vietnam tanpa bea.

    Sementara itu, kesempatan yang diharapkan dengan India telah gagal terwujud. Di sisi lain, pekan lalu diplomat Uni Eropa mengatakan mereka telah gagal mencapai terobosan dalam negosiasi perdagangan dengan pemerintahan Trump, dan sekarang mungkin berusaha untuk memperpanjang status quo untuk menghindari kenaikan tarif.