Negara: Uni Eropa

  • RI Disebut Tertinggal dari Kenya hingga Vietnam dalam Pengaturan Whatsapp Cs

    RI Disebut Tertinggal dari Kenya hingga Vietnam dalam Pengaturan Whatsapp Cs

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia dinilai belum maksimal  mengatur Whatsapp dan layanan over the top (OTT). Berbeda dengan di Vietnam dan Kenya, OTT bebas berbisnis dan mengeruk pemasukan di Tanah Air. 

    Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (Apnatel) Triana Mulyatsa membandingkan kondisi di Indonesia dengan praktik di berbagai negara yang telah lebih dahulu mengambil langkah konkret dalam menata kehadiran OTT. 

    Dia mencontohkan di Korea Selatan OTT Netflix dikenakan kewajiban membayar biaya penggunaan jaringan atau network usage fee kepada operator. 

    Pada 2020, SK Broadband mengklaim bahwa lalu lintas data Netflix yang ditangani oleh mereka meningkat 24 kali lipat dari Mei 2018 hingga September 2020, dan Netflix perlu membayar sekitar US$22,9 juta sebagai biaya penggunaan jaringan

    Sementara itu  Uni Eropa, mewajibkan platform digital global untuk tunduk pada aturan transparansi algoritma, moderasi konten, dan bertanggung jawab sesuai hukum di masing-masing negara anggota.

    Vietnam juga mewajibkan setiap OTT asing memiliki kantor perwakilan di dalam negeri dan beroperasi di bawah hukum nasional. Australia lebih jauh lagi mengatur model nilai ekonomi digital melalui News Media and Digital Platforms Mandatory Bargaining Code, yang mewajibkan platform seperti Google dan Meta untuk membayar royalti kepada media lokal. 

    Di Kenya, dengan Finance Act 2020 ada Digital Service Tax (DST), layanan digital dikenakan 1.5% dari gross revenue yang dihasilkan dari layanan digital kepada pengguna di Kenya. 

    Menurut Triana praktik-praktik tersebut menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam hal kedaulatan digital. 

    “Kalau negara-negara lain sudah mengatur agar OTT berkontribusi dan tunduk pada hukum lokal, mengapa Indonesia masih membiarkan mereka menikmati pasar tanpa kewajiban apa-apa?” kata Triana, dikutip Kamis (24/7/2025).

    Triana menuturkan yang diperjuangkan oleh asosiasi ini bukanlah pembatasan terhadap akses layanan digital masyarakat, melainkan penataan yang adil terhadap hubungan antara layanan OTT global dan penyelenggara telekomunikasi lokal di Indonesia.

    Dia menilai platform OTT asing telah menikmati pasar Indonesia yang cukup lama, tanpa berkontribusi terhadap penyediaan infrastruktur digital nasional, dan tanpa kewajiban atas layanan universal sebagaimana yang ditanggung oleh operator telekomunikasi Indonesia. Padahal pendapatan yang mereka bukukan sangat besar.

    Pendapatan Netflix mencapai US$11,08 miliar atau setara Rp 181 triliun pada kuartal II/2025, dengan laba bersih US$3,1 miliar atau di atas proyeksi yang sebesar US$3,06 miliar. 

    Sementara itu Meta, induk Whatsapp – Instagram, mencapai US$168 miliar pada 2024 atau naik 22% secara tahunan. 

    YouTube meraih pendapatan iklan sebesar US$9,8 miliar atau sekitar Rp159,6 triliun (Kurs: Rp16.000) pada kuartal II/2025. Iklan disebarluaskan kepada para penggunanya, termasuk ke 143 juta pengguna di Indonesia pada awal 2025 menurut data Global Data Insight.  

    Jumlah yang dilaporkan perusahaan induk Google, Alphabet pada Rabu (23/07/25) tersebut meningkat dari periode yang sama tahun lalu sejumlah US$8,7 miliar atau Rp141,7 triliun.

    “Kita bukan sedang menolak kemajuan teknologi, perkembangan dan kemajuan teknologi harus kita terima dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi soal keadilan perlu menjadi pertimbangan. OTT global masuk ke wilayah negara kita dengan sangat mudah, tanpa menanggung beban jaringan dan layanan universal,” kata Triana. 

    Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Zulfadly Syam, mengakui, saat ini infrastruktur digital yang dibangun oleh operator telekomunikasi di Indonesia sudah tersebar. Berdasarkan survei APJII 2024, penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 79,50%.

    Namun, Zulfadly prihatin, penetrasi internet yang sangat tinggi ini dinikmati oleh penyedia layanan over-the-top (OTT) asing, tanpa ada kontribusi ke Indonesia, khususnya pajak. Mereka hanya sekadar mendaftarkan perusahaannya sebagai penyelenggara sistem elektronik.

    Zulfadly berpendapat nilai tawar Indonesia terhadap OTT asing juga masih rendah, tidak seperti China yang mampu melakukan aksi nyata untuk filterisasi dan memaksa OTT asing tunduk pada aturan yang diberlakukan pemerintahnya.

    Selain itu, China juga mempersiapkan substitusi layanan OTT asing. Di Indonesia, kondisinya justru berbanding terbalik.

    “Kita mampu, hanya saja perhatian pemerintah untuk menciptakan iklim riset dan inovasi untuk OTT sangat minim, bahkan tidak ada,” ungkap Zulfadly.

    Lanjut Zulfadly, saat ini fokus utama anggota APJII adalah meningkatkan pemerataan internet dan meningkatkan kualitas internet Indonesia. Saat ini kemampuan mengakses OTT asing adalah sesuatu hal yang diinginkan masyarakat setelah melek internet.

    Jika pemerintah tidak memiliki konsep yang kuat terhadap OTT, menurut Zulfadly, maka penyedia internet hanya akan mempersiapkan jaringan untuk OTT asing tersebut. Padahal, sumber daya operator telekomunikasi di Indonesia seperti frekuensi dan bandwidth terbatas. Di sisi lain, trafik data dari OTT terus mengalami peningkatan eksponensial.

    Padahal, OTT asing menginginkan akses internet dengan kualitas yang bagus. Untuk mendapatkan akses internet yang berkualitas, anggota APJII harus meningkatkan frekuensi dan bandwidth. Untuk meningkatkan frekuensi dan bandwidth, anggota APJII harus melakukan investasi yang nilainya tidak sedikit.

    “Anggota kami terus berusaha untuk memberikan layanannya terhadap akses ke OTT asing, tapi kok kontribusi OTT asing ini tidak ada. Kondisi inilah yang dirasakan kurang adil bagi kami, anggota APJII,” ungkap Zulfadly.

  • Belajar dari Eropa, Data Warga RI di AS Bisa Dipakai Buat Ini

    Belajar dari Eropa, Data Warga RI di AS Bisa Dipakai Buat Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Peneliti Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Parasurama Pamungkas, buka suara soal poin kesepakatan transfer data antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terkait tarif resiprokal. Ia menyoroti kasus transfer data yang sebelumnya pernah ada antara AS dan Eropa.

    “Indonesia sebenarnya sudah mengarah pada data free flow dengan beberapa pembatasan. Namun, kesepakatan dengan Amerika ini perlu mempertimbangkan putusan Schrems II di CJEU (otoritas peradilan Uni Eropa) yang membatalkan pembatalan SCC EU-US utk transfer data trans-atlantic,” kata Parasurama kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (24/7/2025).

    “CJEU menilai bahwa data data yang disimpan oleh perusahaan Amerika Serikat di wilayah tersebut memungkinkan pemerintah setempat melakukan pemantauan karena kewenangan yang diberikan melalui FISA (The Foreign Intelligence Surveillance Act). Indonesia perlu menilai dengan cermat keresahan yang sama di CJEU,” jelasnya menambahkan.

    Mengutip GDPR Summary, kasus ini berawal saat aktivis Maximilian Schrems yang menyerukan pada komisioner pelindungan data Irlandia untuk membatalkan SCC pada 2020 lalu. Ini kaitannya pada transfer data pribadi pengguna Facebook di wilayah Eropa ke kantor pusat yang berada di AS.

    Data pribadi itu diklaim bisa diakses oleh badan intelijen setempat. Pada akhirnya, hal ini melanggar aturan pelindungan data Eropa GDPR dan hukum Uni Eropa secara luas.

    Dalam peradilan disoroti adanya pengawasan luas pada aturan keamanan nasional bernama Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) bagian 702. Aturan itu mengatur akses dan penggunaan data dari Uni Eropa ke AS.

    Situs tersebut menuliskan transfer data tidak memiliki kendali melindungi subjek data Uni Eropa. Di mana bisa menjadi target investigasi keamanan nasional.

    Kemudian pengadilan memutuskan hak subjek data tidak bisa dituntut di pengadilan pada otoritas AS. Privacy Shield antar dua wilayah juga dibatalkan.

    Schrems II juga membahas soal SCC atau klausul kontrak standar. Pengadilan menyebutkan SCC masih valid dalam konteks transfer data ke AS, namun perlu tambahan pekerjaan.

    Perusahaan perlu memastikan negara penerima memiliki pelindungan data setara dengan Uni Eropa. Tidak hanya mengandalkan dari SCC saja.

    Selain itu juga disebutkan perusahaan yang menyediakan data untuk transfer lintas batas harus memberikan informasi dan menilai tingkat kepatuhan negara penerima dengan GDPR. Ini termasuk kasus saat menggunakan pemasok non Uni Eropa.

    Usai keputusan Schrems II, berdampak pada kehati-hatian lembaga Eropa mengirimkan data. Termasuk, laman EY menuliskan Pengawas Perlindungan Data Eropa (EDPS) mengimbau lembaga setempat untuk menghindari aktivitas pemrosesan yang melibatkan transfer data pribadi ke AS.

    Selain itu, lembaga Eropa diminta melakukan penyelesaian untuk pemetaan yang mengidentifikasi kontrak, prosedur pengadaan, dan jenis kerja sama lain yang tengah berjalan terkait transfer data.

    Otoritas Pengawas (SA) juga mencatat Schrems II memvalidasi penggunaan SCC untuk mekanisme transfer. Namun dengan syarat untuk langkah tambahan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Beri Profit ke AS, Anak Terancam Kelaparan

    Beri Profit ke AS, Anak Terancam Kelaparan

    Phnom Penh

    Jutaan pekerja industri tekstil di seluruh Asia, yang selama ini sudah hidup pas-pasan, cemas bakal kehilangan pekerjaan mereka. Pasalnya, implementasi tarif ekspor yang diterapkan Amerika Serikat (AS) tinggal menghitung hari.

    Tarif ekspor yang harus dibayar berbagai negara jika hendak menjual barang ke AS akan berlaku pada 1 Agustus mendatang.

    Dua dari sekian banyak negara yang bakal terdampak adalah episentrum produksi pakaian, yaitu Kamboja dan Sri Lanka. Dua negara ini sangat bergantung pada AS, yang merupakan pasar ekspor barang tekstil mereka.

    Kamboja dan Sri Lanka masing-masing harus membayar tarif sebesar 36% dan 30%. Dua negara itu memproduksi sebagian besar produk pakaian merek global yang berbasis di AS, seperti Nike, Levi’s, dan Lululemon.

    “Bisakah Anda bayangkan apa yang akan terjadi jika kami kehilangan pekerjaan? Saya sangat cemas, terutama tentang nasib anak-anak saya,” kata Nao Soklin, yang bekerja di sebuah pabrik garmen di Kamboja.

    “Mereka butuh makan,” ujarnya.

    Soklin dan suaminya, Kok Taok, mencari nafkah dengan menjahit tas dalam durasi kerja 10 jam sehari.

    Nominal itu hampir tidak cukup untuk membayar sewa tempat tinggal dan menghidupi kedua putra mereka yang masih kecil dan orang tua mereka yang sudah lanjut usia.

    “Saya ingin bicara kepada [Presiden AS] Donald Trump, untuk memintanya mencabut tarif ekspor Kamboja. Kami membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi keluarga kami,” ujar Soklin kepada BBC.

    Kamboja, dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi sumber produksi alternatif bagi perusahaan ritel asal China karena tenaga kerja bergaji rendah.

    Di sisi lain, Kamboja mengekspor pakaian jadi senilai lebih dari US$3 miliar (sekitar Rp48,8 triliun) ke AS tahun 2024, menurut Divisi Statistik ASEAN.

    Industri tekstil di Kamboja, yang mempekerjakan lebih dari 900.000 orang, menyumbang lebih dari sepersepuluh dari total ekspor negara tersebut.

    Sementara bagi Sri Lanka, ekspor industri tekstil ke AS menghasilkan US$1,9 miliar (Rp30,9 triliun) tahun 2024.

    Industri ini menghasilkan devisa terbesar ketiga untuk Kamboja, selain membuka lapangan pekerjaan untuk 350.000 orang.

    “Jika 30% adalah angka akhir, Sri Lanka berada dalam masalah karena pesaing kami, seperti Vietnam, mendapat tarif ekspor yang lebih rendah,” ujar Yohan Lawrence, sekretaris jenderal asosiasi pakaian jadi di Srilanka, kepada kantor berita Reuters.

    Negosiasi Terakhir

    Otoritas Sri Lanka berharap dapat menegosiasikan penurunan tarif ekspor lebih lanjut dengan AS. Namun mereka belum batas tarif yang mereka harapkan.

    Sejumlah petinggi Sri Lanka menyebut negara mereka menerima penurunan tarif tertinggi, sebesar 14 persen, sebagai hasil dari negosiasi sebelumnya.

    “Kami melihat ini sebagai awal dari situasi yang sangat baik,” ujar Sekretaris Menteri Keuangan Sri Lanka, Harshana Suriyapperuma.

    Kamboja, yang mendapatkan penurunan tarif sebesar 13 persen, juga mengupayakan perundingan lebih lanjut.

    “Kami melakukan segala yang kami bisa untuk melindungi kepentingan investor dan pekerja,” kata Wakil Perdana Menteri Kamboja, Sun Chanthol.

    “Kami ingin tarifnya nol… Namun kami menghormati keputusan AS dan akan terus berupaya menegosiasikan tarif yang lebih rendah,” ujarnya.

    Nike, Levi’s dan Lululemon adalah merek-merek besar yang sebagian besar pakaiannya dibuat di negara seperti Sri Lanka dan Kamboja (Getty Images)

    Presiden AS, Donald Trump, mengatakan tarif ekspor vital untuk mengurangi kesenjangan antara nilai barang yang dibeli AS dari negara lain dan barang yang dijualnya kepada mereka.

    “Sayangnya, hubungan yang terjadi jauh dari timbal balik,” tulis Trump dalam suratnya kepada berbagai negara minggu lalu.

    Namun, para analis tidak sependapat. Tarif Trump justru mengabaikan manfaat yang dinikmati AS dari perjanjian perdagangan yang ada, kata Mark Anner, dekan di Sekolah Manajemen dan Hubungan Perburuhan Rutgers.

    Menurut Anner, tarif ekspor itu mengabaikan fakta bahwa pakaian dengan harga rendah dipasok negara seperti Sri Lanka atau Kamboja. Ongkos rendah itu telah memberi keuntungan besar bagi berbagai perusahaan AS.

    Selama beberapa dekade terakhir, AS, Uni Eropa, dan Kanada menerapkan sistem kuota yang mengalokasikan sebagian pangsa pasar mereka untuk negara-negara berkembang seperti Sri Lanka.

    Sistem ini, yang dihapuskan secara bertahap pada tahun 2005, membantu sektor garmen Sri Lanka berkembang pesat meskipun persaingannya ketat.

    “Tindakan AS yang sekarang mengenakan tarif tinggi yang secara efektif menutup negara-negara ini dari pasar, bertentangan dengan jalur pembangunan yang pernah ditetapkannya,” kata Anner.

    Potret para pekerja tekstil di Phnom Penh, Kamboja (Getty Images)

    Tidak realistis mengharapkan negara dengan perekonomian berkembang tak mengalami defisit perdagangan dengan AS pada tahun-tahun ke depan, kata Sheng Lu, profesor di Departemen Studi Mode dan Pakaian, Universitas Delaware.

    “Berapa banyak pesawat Boeing yang dibutuhkan dan mampu dibeli Kamboja atau Sri Lanka setiap tahun?” ujarnya.

    Lu yakin persaingan antara AS dan China juga menjadi faktor dalam perundingan perdagangan, mengingat negara-negara pengekspor garmen terintegrasi ke dalam rantai pasokan yang sangat bergantung pada China.

    Menurut Lu, negara produsen tekstil itu sekarang harus “menemukan keseimbangan yang rumit” antara mempertahankan hubungan ekonomi dengan China sekaligus memenuhi tuntutan baru AS.

    Perempuan menanggung beban terberat

    Tarif eskpor AS menambah tekanan baru pada realitas di industri tekstil, yakni kemiskinan dan lemahnya hak-hak buruh di Kamboja, serta krisis ekonomi yang sedang berlangsung di Sri Lanka.

    Tujuh dari 10 pekerja tekstil di dua negara ini adalah perempuan. Merekalah yang akan menanggung beban tarif ekspor AS.

    Tekanan yang besar itu merujuk potensi pengurangan atau pemotongan upah yang sudah sangat rendah.

    Artinya, anak-anak mereka bisa kelaparan. Potensi PHK juga akan semakin mengintai mereka.

    May TittharaAn Sopheak, seorang pekerja tekstil, mengenakan blus lengan panjang dan celana panjang berwarna mustard, meletakkan sesendok nasi ke piring. Ia duduk di lantai di area memasak kamar sewaannya.

    Surangi Sandya, yang bekerja di sebuah pabrik di kota Nawalapitiya, Sri Lanka, merasa tertekan.

    “Perusahaan tidak bekerja dalam keadaan merugi… Jika pesanan menurun, jika terjadi kerugian, ada kemungkinan perusahaan akan tutup,” ujarnya.

    Sandya mulai bekerja sebagai penjahit pada tahun 2011. Dia lalu meniti karier hingga menjadi supervisor yang memimpin 70 pekerja perempuan.

    Jika keadaan semakin mendesak, beberapa pekerja Kamboja mengatakan mereka akan mempertimbangkan untuk pindah ke Thailand. Alasannya, mereka harus mencari pekerjaan, meskipun harus melakukannya secara ilegal.

    “Mata pencaharian kami bergantung pada pabrik tekstil. Kami tidak akan bertahan jika bos kami menutupnya,” ujar An Sopheak kepada BBC, dari kamarnya yang kecil seluas 16 meter persegi di ibu kota Kamboja, Phnom Penh.

    “Pendidikan kami terbatas. Kami tidak dapat menemukan pekerjaan lain.

    “Kami berdoa setiap hari agar Presiden Trump membatalkan kebijakan tarifnya. Mohon pikirkan kami dan negara kami yang miskin,” kata Sopheak.

    (nvc/nvc)

  • Negara Wajib Lindungi Iklim atau Dianggap Langgar Hukum

    Negara Wajib Lindungi Iklim atau Dianggap Langgar Hukum

    Den Haag

    Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan bahwa lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah hak asasi manusia. Kegagalan negara dalam melindungi planet ini dari dampak perubahan iklim dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional.

    ICJ menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk melindungi hak asasi warga dari dampak perubahan iklim, demi generasi sekarang dan mendatang. Presiden ICJ, Yuji Iwasawa, menyebut emisi gas rumah kaca sebagai ancaman eksistensial yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan berdampak lintas batas.

    Ia menekankan pentingnya kerja sama antarnegara dan target iklim nasional yang ambisius.

    Vishal Prasad dari Pacific Islands Students Fighting Climate Change menyambut putusan ini sebagai “jalur hidup” bagi negara-negara kecil yang paling terdampak, dan menilai keputusan ICJ sebagai langkah penting menuju akuntabilitas global.

    Mary Robinson, mantan Komisaris Tinggi HAM PBB dan anggota The Elders, menyebut putusan ICJ sebagai “alat baru yang ampuh” untuk melindungi umat manusia dari dampak perubahan iklim.

    “Ini adalah hadiah dari Pasifik dan para pemuda dunia untuk komunitas global. Sebuah titik balik hukum yang dapat mempercepat langkah menuju masa depan yang lebih adil dan aman,” kata Mary Robinson.

    Kasus terbesar dalam sejarah ICJ

    Kasus ini bermula dari inisiatif mahasiswa Kepulauan Pasifik yang mendorong pemerintah mereka untuk meminta klarifikasi hukum terkait tanggung jawab negara atas krisis iklim. Vanuatu kemudian mengajukan permintaan resmi ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menilai kewajiban negara dalam melindungi iklim dan hak generasi kini dan mendatang dari dampak emisi gas rumah kaca.

    Pada Desember lalu, ICJ mendengarkan kesaksian dari hampir 100 negara dan 12 organisasi internasional. Perdana Menteri Antigua dan Barbuda, Gaston Browne, menyampaikan bahwa naiknya permukaan laut akibat emisi tak terkendali telah mengikis garis pantai dan mengancam wilayah vital negaranya.

    Negara-negara kepulauan di Karibia kini menghadapi dampak nyata dari krisis iklim, termasuk erosi pantai dan badai yang semakin dahsyat.

    Dalam sidang Desember lalu, negara-negara penghasil emisi tinggi seperti Amerika Serikat (AS) berpendapat bahwa perjanjian iklim yang ada, terutama Perjanjian Paris 2015, sudah menetapkan kewajiban hukum untuk mengatasi perubahan iklim.

    Namun, Presiden Donald Trump kemudian menarik AS dari perjanjian tersebut, yang sebelumnya menyatukan 195 negara untuk menurunkan emisi dan membatasi pemanasan global hingga 1,5°C.

    Meski penting, para ahli menilai Perjanjian Paris bukan satu-satunya dasar hukum. Joie Chowdhury dari Pusat Hukum Lingkungan Internasional menyatakan bahwa kompleksitas krisis iklim membuka ruang bagi berbagai instrumen hukum lain.

    “Perjanjian iklim tetap vital, tapi bukan satu-satunya jalan,” katanya kepada DW.

    Akhir dari era janji palsu?

    Dalam membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, Vanuatu juga meminta kejelasan hukum atas konsekuensi bagi negara-negara yang gagal menurunkan emisi.

    Sejumlah pakar menilai bahwa negara-negara dengan kontribusi emisi historis terbesar, seperti Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan Uni Eropa yang memikul tanggung jawab utama atas krisis iklim.

    “Emisi masa lalu penting,” kata Joie Chowdhury dari Pusat Hukum Lingkungan Internasional kepada DW. Ia menambahkan bahwa kerusakan telah terjadi, dan harus diakui serta diperbaiki.

    Negara-negara miskin telah lama menuntut negara kaya untuk bertanggung jawab atas kerusakan akibat cuaca ekstrem yang dipicu oleh emisi pemanasan global. Meski kontribusi mereka terhadap krisis iklim sangat kecil, negara-negara ini justru menanggung dampak terburuk.

    ICJ memperingatkan bahwa kerugian akan terus meningkat seiring naiknya suhu global, dan negara-negara yang gagal memenuhi kewajiban iklimnya bisa menghadapi tuntutan hukum dari pihak yang terdampak.

    Meski dana kompensasi untuk mengatasi kerugian dan kerusakan telah diluncurkan dalam negosiasi iklim PBB dua tahun lalu di Dubai, komitmen yang masuk baru sekitar $700 juta (setara Rp11,4 triliun), masih jauh dari ratusan miliar dolar yang diperkirakan dibutuhkan pada 2030.

    ICJ membuka jalan bagi gugatan iklim global

    Pendapat penasihat ICJ menjadi salah satu dari tiga pendapat hukum penting yang dirilis dalam beberapa bulan terakhir, yang menegaskan kewajiban negara dalam menghadapi krisis iklim. Awal Juli, Pengadilan HAM Antar-Amerika juga menyatakan bahwa negara wajib menjamin lingkungan sehat dan iklim stabil sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia.

    Meski tidak mengikat secara hukum, pendapat penasihat ini memiliki bobot hukum dan moral yang kuat, serta berpotensi mempengaruhi litigasi iklim global. Saat ini, lebih dari 3.000 kasus iklim telah diajukan di hampir 60 negara. Joana Setzer dari London School of Economics menyebut pendapat ICJ sebagai “titik balik” yang dapat memperkuat posisi pengadilan dan advokat dalam menuntut akuntabilitas pemerintah.

    Joie Chowdhury menambahkan bahwa pendapat ini bisa berdampak besar pada negosiasi iklim COP30 di Brasil, karena beberapa isu kini telah memiliki definisi hukum yang jelas.

    Lucia Schulten berkontribusi pada pelaporan dari Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Levie Wardana

    Editor: Prihardani Purba

    (nvc/nvc)

  • Tarif Impor Produk Indonesia ke AS Masih Berpeluang di Bawah 19 Persen

    Tarif Impor Produk Indonesia ke AS Masih Berpeluang di Bawah 19 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah Indonesia masih melanjutkan negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait tarif impor untuk sejumlah produk. Meski saat ini AS telah menetapkan tarif impor sebesar 19% untuk produk asal Indonesia atau turun dari tarif sebelumnya sebesar 32%, perundingan teknis masih berjalan dan membuka peluang adanya penurunan tarif lebih lanjut.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, dalam pembahasan lanjutan, beberapa komoditas asal Indonesia berpotensi mendapatkan tarif impor yang lebih rendah dari 19%, bahkan bisa mendekati 0%.

    “Perundingan masih akan terus berlangsung untuk berbicara detail teknis karena masih ada beberapa kepentingan yang dijanjikan dan akan ditindaklanjuti,” kata Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

    Airlangga menyampaikan, beberapa komoditas yang mendapatkan tarif impor 19% dari AS merupakan produk sumber daya alam yang tidak diproduksi di AS, seperti kelapa sawit, kopi, kakao, produk agro, dan juga produk mineral lainnya, termasuk juga komponen pesawat terbang dan produk industri di kawasan industri tertentu, seperti di free trade zone.

    “Jadi itu sedang dalam pembahasan dan dimungkinkan lebih rendah dari 19%, dan dimungkinkan mendekati 0%,” kata Airlangga.

    Ia menambahkan, AS juga memperhatikan perlakuan tarif dari Uni Eropa terhadap Indonesia, terutama dalam kerangka kerja sama IEU–CEPA, di mana produk seperti CPO (minyak kelapa sawit mentah) dikenakan tarif 0%. Hal ini bisa menjadi acuan atau benchmark dalam proses negosiasi dengan AS.

    Sebelumnya, kesepakatan awal antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump menetapkan tarif impor 19% bagi produk Indonesia, sekaligus membebaskan tarif alias 0% bagi barang asal AS yang masuk ke pasar Indonesia. Namun, Airlangga menegaskan bahwa detil kesepakatan teknis masih dalam proses finalisasi.

  • Heboh Trump Minta Data Warga RI, Pakar Blak-blakan Dampaknya

    Heboh Trump Minta Data Warga RI, Pakar Blak-blakan Dampaknya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) dan Indonesia menyepakati beberapa poin dalam negosiasi tarif resiprokal kedua negara. Kesepakatan itu sudah dirilis oleh Gedung Putih dalam pernyataan bersama.

    Kesepakatan kedua negara membuat tarif impor AS untuk produk asal Indonesia turun dari 32% menjadi 19%.

    Salah satu poinnya mengatur soal transfer data keluar dari wilayah Indonesia ke AS, yang disediakan berdasarkan hukum di Indonesia.

    “Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat melalui pengakuan Amerika Serikat sebagai negara atau yurisdiksi yang menyediakan perlindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia,” tulis pernyataan tersebut.

    Sejumlah pihak buka suara terkait kesepakatan ini. Salah satunya adalah Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Alex Budiyanto yang menekankan pelindungan data pribadi masyarakat.

    Dia mengatakan transfer data lintas data harus mematuhi regulasi yang berlaku di Indonesia. Khususnya Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang memang sudah disahkan beberapa waktu lalu.

    “Ini berarti bahwa meskipun ada kesepakatan resiprokal, standar perlindungan data di Indonesia tidak boleh diturunkan,” kata Alex kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/7/2025).

    Alex menambahkan Indonesia harus memiliki kerangka hukum yang jelas dan komprehensif soal transfer data lintas batas. Kesepakatan antar dua negara juga harus diikuti dengan mekanisme transfer, standar keamanan dan hak subjek data yang datanya dikirimkan.

    Dengan begitu, pemerintah bisa memastikan akuntabilitas dan transparansi pada saat proses transfer data dilakukan.

    Dihubungi terpisah, Peneliti Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Parasurama Pamungkas menegaskan pentingnya memastikan integritas dan kerahasiaan data di manapun data disimpan. Indonesia juga harus segera melaksanakan syarat transfer yang ada pada UU PDP untuk memastikan AS tidak memiliki kewenangan untuk mencederai integritas data berdasarkan hukumnya.

    “Tidak masalah disimpan di mana pun asalkan dapat memastikan integritas dan kerahasiaan data pribadi tersebut,” kata Parasurama.

    “Indonesia harus segera melaksanakan syarat-syarat transfer berdasarkan UU PDP, termasuk membentuk lembaga yang akan menilai level kesetaraan. Penilaian tersebut salah satunya untuk memastikan bahwa Amerika Serikat berdasarkan hukumnya tidak memiliki kewenangan apapun untuk menciderai integritas data tersebut,” dia menambahkan.

    Parasurama juga menjelaskan Indonesia perlu mempertimbangkan putusan Schrems II di Pengadilan Keadilan Uni Eropa (CJEU). Saat itu pengadilan membatalkan Perlindungan Privasi Uni Eropa-AS.

    Keputusan itu menilai data yang disimpan perusahaan AS di wilayah tersebut membuat pemerintah setempat bisa melakukan pemantauan. Sebab, dia menjelaskan terdapat kewenangan yang diberikan lewat FISA (The Foreign Intelligence Surveillance Act).

    “Indonesia perlu menilai dengan cermat keresahan yang sama di CJEU,” jelasnya.

    Dampak Data RI Ditransfer ke AS 

    Pakar Keamanan Siber Alfons Tanujaya mengatakan yang terpenting bukan terkait data ditaruh di mana. Namun kita bisa melindungi data itu sendiri dengan melakukan enkripsi data dengan baik.

    “Kalau main copy dan safe aja jelas tidak aman. Jangan di Amerika, komputer kamu aja kalau simpan data itu enggak dienkripsi itu tidak aman. Kamu tidur di sebelah komputer kamu, itu nggak aman. Kenapa? Karena nggak dienkripsi. Jadi tidak amannya bukan karena disimpan di sebelah ranjang kamu atau di Amerika atau di China. Tetapi dienkripsi atau tidak itu yang membuat aman atau tidak aman,” ujar Alfons.

    Lebih lanjut,Alfons menyorot beberapa dampak nyata jika data Indonesia ditransfer ke AS. Pertama,Alfons mengatakan penggunaan cloud data perbankan dan institusi lain yg selama ini mewajibkan penyelenggara layanan menyimpan data di Indonesia menjadi lebih fleksibel dan tidak harus ditempatkan di Indonesia.

    Pasalnya, backup data memang tidak disarankan di satu lokasi atau area geografis tertentu. Hal ini akan berimplikasi pada pengusaha data center lokal, sebab raksasa AS yang beroperasi di Indonesia tidak berkewajiban memiliki data center di Tanah Air

    “AWS, Google, Microsoft dan lainnya jadi tidak harus buka data center di Indonesia karena kan legal kalau datanya disimpan di server Amerika,” kata Alfons.

    “Kasihan layanan cloud lokal. Tanpa pembebasan data ke US saja sudah setengah mati bersaing. Apalagi sekarang,” ia menambahkan.

    Selain itu, aplikasi dari AS yg mengelola data pribadi seperti World.id yang baru-baru ini dilarang di Indonesia, berpeluang untuk menjalankan aktivitasnya kembali asalkan datanya disimpan di AS.

    Beda Aturan Keamanan Data

    Alex menjelaskan pelindungan data di AS bersifat sektoral. Misalnya pada data kesehatan, negara itu memiliki HIPAA (Health Insurance Portability and Accountability Act) dan COPPA (Children’s Online Privacy Protection Rule) untuk data anak-anak.

    Sejauh ini, AS tak pernah mengatur terkait data pribadi dalam satu payung hukum federal. Alex menilai ini bisa menciptakan potensi celah perlindungan.

    “Tidak ada satu payung hukum federal yang mengatur seluruh jenis data pribadi secara umum. Ini menciptakan fragmentasi hukum dan potensi celah perlindungan,” jelasnya.

    Alfons juga menjelaskan hal yang sama. Di Indonesia telah memiliki aturan menyeluruh di negeri ini dengan UU PDP.

    Namun regulasi untuk spesifik sektor milik AS, dia menilai sudah jauh lebih maju. Bahkan aturan tersebut menjadi standard dunia.

    “Indonesia belum ada undang-undang spesifik per sektor. Penegakan terpusat Amerika enggak ada, karena enggak punya undang-undangnya,” kata Alfons.

    Terkait kebocoran data, dua negara sering mengalaminya. Namun ada perbedaan cara penanganannya.

    “Nah Amerika masih terjadi, tetapi skalanya lebih jarang dan ditindak. Ini yang penting. Di Indonesia, sering dan terbuka. Bahkan di institusi negara. Kalau udah terjadi, saling lempar tanggung jawab,” dia menuturkan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Prabowo sambangi Jokowi, ceritakan perjalanan negosiasi hingga tuntaskan CEPA

    Prabowo sambangi Jokowi, ceritakan perjalanan negosiasi hingga tuntaskan CEPA

    Presiden Prabowo sambangi kediaman Joko Widodo di Solo Minggu, 20/7/2025 ceritakan hasil dari kunjungan resmi kenegaraan ke sejumlah negara (Foto : Setpres)

    Prabowo sambangi Jokowi, ceritakan perjalanan negosiasi hingga tuntaskan CEPA
    Dalam Negeri   
    Editor: Nandang Karyadi   
    Minggu, 20 Juli 2025 – 20:54 WIB

    Elshinta.com – Presiden RI Prabowo Subianto menyambangi kediaman Presiden RI ke-7 Joko Widodo untuk bersilaturahmi dan bercerita hasil dari kunjungan resmi kenegaraan ke sejumlah negara seperti Arab Saudi, Brasil, Belgia, hingga Prancis.

    “Cerita baru keliling dari luar negeri, beliau juga mengikuti rupanya. Saya ceritakan terobosan-terobosan yang kita dapat kemarin, terutama dengan Uni Eropa. 10 tahun perundingan (CEPA), akhirnya ketembus,” ungkap Prabowo di Solo, Minggu (20/7).

    Prabowo tiba di kediaman Jokowi pukul 18:00 WIB didampingi oleh Wapres RI Gibran Rakabuming Raka yang juga telah menyambutnya sejak ketibaan di bandara. Setibanya di kediaman, keduanya kemudian disambut langsung oleh Jokowi bersama Iriana.

    Pertemuan yang berlangsung dengan akrab dan hangat itu membahas sejumlah hal tentang isu-isu terkini dan apa saja yang berhasil dibawa Prabowo selama 15 hari melakukan lawatan perjalanan kenegaraan.

    “Alhamdulillah dapat hasil-hasil yang lumayan, yang cukup bagus. Saya juga mampir di Belarus. Mereka punya potash, mereka butuh karet kita, mereka butuh banyak komoditas kita,” cerita Prabowo.

    Prabowo menegaskan bahwa posisi negara Indonesia sangat diterima oleh negara-negara di dunia dan Indonesia selalu menegaskan persahabatan dan kerja sama kepada semua pihak. 

    “Dan Indonesia, ya saya meneruskan tradisi Indonesia sebagai negara non-blok, non-aligned. Kita terkenal bahwa kita tidak mau ikut blok manapun. Kita ikut di BRICS dari kepentingan ekonomi kita. Tapi kita ikut juga, kita daftar di OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development),” kata Prabowo.

    “Jadi kita benar-benar kita diterima oleh semua pihak. Bahwa Indonesia netral. Indonesia menghormati semua negara. Indonesia ingin bersahabat dengan semua negara. Indonesia tidak mau campur tangan dengan urusan dalam negeri negara manapun dan ini kita diterima,” lanjutnya.

    Turut mendampingi dalam pertemuan antara Prabowo dan Jokowi yakni Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Luar Negeri Sugiono, dan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Angga Raka Prabowo.

    Penulis : Rama Pamungkas

     

    Sumber : Radio Elshinta

  • Sowan ke Jokowi, Presiden Prabowo Beber Hasil Diplomasi dengan AS dan Uni Eropa

    Sowan ke Jokowi, Presiden Prabowo Beber Hasil Diplomasi dengan AS dan Uni Eropa

    FAJAR.CO.ID, SOLO — Presiden RI, Prabowo Subianto membeberkan sejumlah capaian terutama terkait diplomasi luar negeri dengan sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat (AS).

    Hal tersebut dibeberkan Prabowo Subianto saat melakukan pertemuan dengan mantan Presiden Joko Widodo, Minggu (20/7).

    Ketua Umum Gerindra itu memang memilih menyambangi rumah Jokowi sebelum dilaporkan menghadiri penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo, Jawa Tengah.

    Dalam pertemuannya dengan Jokowi, Prabowo menyampaikan langsung sejumlah hasil kunjungan luar negerinya belakangan ini, termasuk capaian diplomasi perdagangan yang menghasilkan penurunan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS) hingga 19 persen.

    Kunjungan Prabowo ke rumah Jokowi itu dilakukan sebelum menghadiri acara penutupan Kongres PSI di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta.

    “Saya, kita baru keliling dari luar negeri, ya beliau juga mengikuti rupanya. Saya ceritakan, terobosan-terobosan yang kita dapat kemarin, terutama dengan Uni Eropa. 10 tahun perundingan akhirnya tembus,” kata Prabowo kepada wartawan usai sowan ke rumah Jokowi.

    Selain Uni Eropa, Prabowo juga membeberkan hasil pertemuannya di sejumlah negara seperti Brasil, Prancis, hingga Inggris. Dalam lawatannya ke Brasil, Prabowo mengikuti forum BRICS.

    Sedangkan di London dan Paris, ia bertemu sejumlah pejabat penting dunia dan bahkan melakukan pembicaraan langsung dengan Presiden Amerika Serikat ke-45, Donald Trump.

    “Ya alhamdulillah dapat hasil-hasil yang lumayan cukup bagus. Mereka butuh karet kita, mereka butuh rupanya komoditas kita dan ternyata harga cokelat dunia lagi sangat tinggi. Banyak berharap cokelat dari kita dan kita juga harus segera pembibitan baru, peremajaan harus kita lakukan. Sangat nyata,” ujarnya.

  • Momen Prabowo Duduk Diapit Gibran-Kaesang saat Penutupan Kongres PSI

    Momen Prabowo Duduk Diapit Gibran-Kaesang saat Penutupan Kongres PSI

    Bisnis.com, SOLO — Presiden Prabowo Subianto menghadiri acara penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Solo, Jawa Tengah, pada Minggu malam (20/7/2025).

    Menurut pantauan Bisnis, kehadiran Presiden Ke-8 RI dalam acara tersebut menjadi perhatian utama, terutama karena dia duduk diapit oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di sebelah kanan dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep di sebelah kiri. Ketiganya tampak berbincang akrab sepanjang acara berlangsung.

    Prabowo tiba di Solo pada Minggu sore dan langsung menuju lokasi kongres PSI. Dalam acara tersebut, dia tampil mengenakan setelan safari berwarna coklat.

    Sejumlah menteri dari Kabinet Merah Putih serta pimpinan partai politik nasional turut hadir dalam acara penutupan kongres yang mengusung semangat konsolidasi internal PSI dan penegasan arah politik partai ke depan.

    Sebelumnya, orang nomor satu di Indonesia itu melakukan kunjungan ke kediaman Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di Solo, Minggu (20/7/2025) malam.

    Dalam pertemuan tersebut, Kepala negara itu mengaku membagikan cerita berbagai capaian diplomatik yang dia lakukan selama lawatan ke sejumlah negara, termasuk pertemuan penting dengan para pemimpin dunia dan terobosan besar dalam hubungan dagang Indonesia dengan Uni Eropa.

    Kepada awak media usai pertemuan, Presiden Ke-8 RI itu menjelaskan bahwa kunjungannya merupakan ajang silaturahmi sekaligus cerita informal atas hasil kerja luar negerinya.

    “Umum saja, saya cerita [ke Pak Jokowi] baru berkeliling dari luar negeri. Beliau juga mengikuti, rupanya. Saya ceritakan terobosan-terobosan yang kami dapat kemarin, terutama dengan Uni Eropa. Sepuluh tahun perundingan akhirnya tembus,” katanya kepada wartawan di kediaman Jokowi.

    Lebih lanjut, Kepala negara menjelaskan bahwa selain kesepakatan dengan Uni Eropa, dirinya juga menghadiri pertemuan BRICS di Brasil, serta bertemu sejumlah pejabat di Prancis, London, hingga berkomunikasi dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Prabowo juga sempat mampir ke Belarus untuk menjajaki kerja sama di bidang komoditas.

    “Mereka punya potash, mereka butuh karet kita, mereka butuh banyak komoditas kita. Ternyata harga cokelat dunia sedang sangat tinggi. Mereka banyak berharap dari kita. Maka kita harus segera lakukan peremajaan dan pembibitan baru,” tandas Prabowo.

  • Bertemu Jokowi 40 menit, Prabowo cerita soal lawatan kenegaraan

    Bertemu Jokowi 40 menit, Prabowo cerita soal lawatan kenegaraan

    Solo, Jawa Tengah (ANTARA) – Presiden RI Prabowo Subianto melakukan pertemuan dengan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo di kediamannya di Solo, Jawa Tengah, selama sekitar 40 menit dan bercerita soal lawatan kenegaraan selama dua pekan pada 1-15 Juli lalu.

    Presiden Prabowo yang tiba di kediaman Jokowi di Gang Kutai Utara No. 1, Kelurahan Sumber, Solo, Jawa Tengah, Minggu petang sekitar pukul 18.00 WIB, langsung disambut Presiden Jokowi dan Iriana di gerbang depan rumahnya.

    “Pak, apa kabar Pak?” tanya Presiden Prabowo kepada Jokowi sambil mengatupkan tangannya seraya memberi hormat.

    “Selamat sore. Jauh-jauh, ” kata Jokowi membalas Prabowo.

    “Baru sempat mampir, Pak. Baru keliling, Pak dua minggu,” cerita Prabowo ke Jokowi.

    “Saya ngelihat saja udah…,” kata Jokowi sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

    Gestur Jokowi tersebut menandakan seperti tidak bisa berkata-kata, sekaligus takjub dengan Prabowo yang melakukan kunjungan kenegaraan selama dua pekan.

    Jokowi pun kemudian mempersilakan masuk Prabowo. Namun saat hendak memasuki kediaman Jokowi, Prabowo sempat bersalaman dengan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut.

    Selama pertemuan selama kurang lebih 40 menit itu, terdengar suara tertawa dari luar kediaman.

    Dalam keterangan persnya kepada awak media, Prabowo menceritakan kepada Jokowi tentang sejumlah kesepakatan dari hasil lawatan kenegaraannya, salah satunya Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (I-EU CEPA) yang berhasil disepakati setelah 10 tahun perundingan.

    “Saya cerita baru keliling dari luar negeri. Ya, beliau juga mengikuti rupanya. Saya ceritakan terobosan-terobosan yang kita dapat kemarin, terutama dengan Uni Eropa. 10 tahun perundingan akhirnya tembus,” kata Prabowo.

    Prabowo juga menceritakan kehadirannya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Brazil, serta pertemuan dengan Presiden Brazil Lula da Silva.
    Tak hanya itu, Prabowo memaparkan sejumlah pertemuan bilateral di London, Belgia, Prancis dan Belarus.

    Dalam pertemuan dengan Jokowi yang hangat itu, Presiden Prabowo didampingi oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Luar Negeri Sugiono serta Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Angga Raka Prabowo.

    Pewarta: Mentari Dwi Gayati
    Editor: Benardy Ferdiansyah
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.