Negara: Uni Eropa

  • Ransomware LunaLock Ancam Jual Data ke Perusahaan AI

    Ransomware LunaLock Ancam Jual Data ke Perusahaan AI

    Jakarta

    Kelompok kriminal siber kini mulai memainkan taktik baru dalam serangan ransomware. Tak hanya mengunci data dan menuntut tebusan, mereka kini juga mengancam akan menjual hasil curian ke perusahaan AI untuk melatih model kecerdasan buatan.

    Kasus terbaru menimpa Artists&Clients, sebuah platform yang mempertemukan seniman dengan klien untuk mengerjakan komisi karya seni. Situs ini diretas oleh kelompok ransomware LunaLock sekitar 30 Agustus lalu.

    Pada halaman depannya, peretas meninggalkan pesan bahwa seluruh file telah dienkripsi. Mereka menuntut pembayaran tebusan dalam bentuk Bitcoin atau Monero senilai minimal USD 50 ribu (sekitar Rp 730 juta). Bila syarat dipenuhi, mereka berjanji akan menghapus data curian dan membuka kembali akses file.

    Namun jika tidak, konsekuensinya cukup serius. Data akan dipublikasikan, termasuk informasi pribadi pengguna yang berpotensi menyalahi aturan privasi seperti GDPR di Uni Eropa. Tak berhenti di situ, LunaLock juga mengklaim akan menjual karya seni yang tersimpan di server Artists&Clients ke perusahaan AI untuk dijadikan bahan pelatihan model kecerdasan buatan.

    Ancaman ini dinilai mengkhawatirkan karena Artists&Clients secara eksplisit menolak keterlibatan AI di platformnya. Dengan demikian, banyak kreator di sana kemungkinan besar menolak keras bila karya mereka digunakan tanpa izin.

    Menurut peneliti keamanan siber Tammy Harper, ini pertama kalinya ada kelompok ransomware secara eksplisit menggunakan ancaman AI training untuk memeras korban.

    Menurutnya, meski peretas tak menjelaskan cara penjualan dilakukan, kemungkinan besar mereka cukup membuka akses database agar bisa diambil oleh crawler otomatis milik perusahaan AI.

    Hingga kini, situs Artists&Clients masih offline. Para pengguna pun resah karena peretas berpotensi memiliki akses ke ilustrasi, pesan klien, hingga data pembayaran. Pihak Artists&Clients sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait insiden ini.

    Bagi komunitas kreator digital, ancaman LunaLock ini bisa jadi strategi menekan yang efektif. Banyak seniman memang menentang keras karya mereka digunakan untuk melatih AI tanpa kompensasi maupun izin.

    Kasus ini sekaligus menandai babak baru dalam evolusi ransomware: dari sekadar ancaman kebocoran data, kini berkembang ke isu sensitif seputar etika penggunaan AI.

    (asj/rns)

  • Google Kena Denda Uni Eropa Rp 56 Triliun, Kenapa?

    Google Kena Denda Uni Eropa Rp 56 Triliun, Kenapa?

    Jakarta

    Google didenda sangat tinggi terkait kasus antimonopoli, yaitu sebesar USD 3,45 miliar atau di kisaran Rp 56 triliun dari regulator Uni Eropa. Google dinilai bersalah atas praktik anti persaingan dalam bisnis teknologi periklanannya.

    Komisi Eropa menuduh Google mendistorsi persaingan di pasar teknologi periklanan (adtech) dengan secara tidak adil mengutamakan layanan teknologi periklanan display miliknya sendiri sehingga merugikan para pesaing.

    Komisi tersebut juga memerintahkan Google untuk mengakhiri praktik-praktik yang mengutamakan kepentingan sendiri dan menerapkan langkah-langkah untuk menghentikan konflik kepentingan yang melekat di seluruh teknologi periklanan. Perusahaan memiliki waktu 60 hari untuk menanggapi.

    “Keputusan hari ini menunjukkan bahwa Google menyalahgunakan posisi dominannya di teknologi periklanan yang merugikan penerbit, pengiklan, dan konsumen. Perilaku ini ilegal berdasarkan aturan antimonopoli Uni Eropa,” kata kepala persaingan Uni Eropa, Teresa Ribera.

    “Google sekarang harus mengajukan solusi serius untuk mengatasi konflik kepentingannya dan jika gagal, maka kami tidak akan ragu untuk menerapkan solusi yang tegas,” imbuhnya seperti dikutip detikINET dari CNBC.

    Kepala urusan regulasi global Google, Lee-Anne Mulholland, mengatakan keputusan Uni Eropa tersebut salah dan perusahaan akan mengajukan banding. “Keputusan ini mengenakan denda yang tidak beralasan dan membutuhkan perubahan yang akan merugikan ribuan bisnis Eropa dengan mempersulit mereka menghasilkan uang,” kata Mulholland.

    “Tidak ada yang anti persaingan dalam menyediakan layanan bagi pembeli dan penjual iklan dan juga ada lebih banyak alternatif untuk layanan kami daripada sebelumnya,” cetusnya.

    Kasus ini bermula pada tahun 2021 ketika Uni Eropa pertama kali membuka penyelidikan terhadap Google untuk menilai apakah raksasa teknologi tersebut lebih mengutamakan layanan teknologi iklan bergambar miliknya sendiri.

    (fyk/rns)

  • Trump Ancam Balas Dendam Usai Uni Eropa Denda Google Rp53 Triliun

    Trump Ancam Balas Dendam Usai Uni Eropa Denda Google Rp53 Triliun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan mengambil langkah balasan setelah Komisi Eropa menjatuhkan denda €2,95 miliar (setara Rp53 triliun) kepada Google. Raksasa teknologi itu dianggap menyalahgunakan dominasinya dalam industri periklanan digital.

    Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyebut denda itu sangat tidak adil dan diskriminatif. Ia menegaskan pemerintahannya tidak akan membiarkan tindakan semacam itu terhadap perusahaan Amerika.

    “Jika perlu, saya akan memulai proses Section 301 untuk membatalkan penalti yang tidak adil ini,” tulis Trump dikutip dari Euronews, Minggu (7/9/2025).

    Aturan Section 301 dalam Undang-Undang Perdagangan AS 1974 memungkinkan Washington menjatuhkan sanksi kepada negara asing yang dinilai memberatkan perdagangan AS.

    “Saya akan berbicara dengan Uni Eropa,” tambah Trump saat ditemui wartawan di Gedung Putih, Jumat (5/9/2025).

    Komisi Eropa menyatakan penyelidikan menemukan Google memanfaatkan kekuatannya dengan mengutamakan layanan teknologi iklan milik sendiri, merugikan pesaing, pengiklan, dan penerbit. Fokus investigasi tertuju pada AdX exchange dan DFP ad platform, dua alat utama dalam bisnis iklan digital Google.

    Ini merupakan kali keempat sejak 2017 Google dijatuhi denda antitrust bernilai miliaran euro oleh Brussel. Meski jumlahnya besar, pengamat menilai denda itu hanya “uang receh” bagi Google yang meraup pendapatan €24 miliar pada kuartal II-2025.

    Google menyebut keputusan itu “salah” dan akan mengajukan banding. Perusahaan diberi waktu 60 hari untuk menawarkan solusi, namun Komisi Eropa menilai langkah efektif mungkin hanya bisa dicapai lewat pemisahan sebagian bisnis iklan Google.

    Tekanan dari Eropa

    Denda terbaru dipicu keluhan dari European Publishers Council (EPC). Organisasi tersebut menilai denda saja tidak cukup dan menyerukan agar Google dipaksa menjual unit bisnis iklannya.

    “Fakta bahwa Google terus menyalahgunakan kekuasaannya menunjukkan denda bukan solusi,” kata Direktur Eksekutif EPC Angela Mills Wade.

    Sejumlah pejabat tinggi Eropa juga mendukung opsi pemisahan, dengan alasan denda dan aturan perilaku di masa lalu gagal menghentikan praktik monopoli Google.

    Peneliti senior Future of Technology Institute, Cori Crider menilai keputusan Brussel merupakan langkah penting melawan dominasi Big Tech. “Namun hanya pemecahan struktur yang bisa mengakhiri monopoli Google,” ujarnya.

    Kasus ini pun menambah panas hubungan transatlantik yang belakangan diwarnai perselisihan soal perdagangan, tarif, dan regulasi teknologi.

    Google sendiri juga tengah menghadapi tekanan di Amerika Serikat. Awal pekan ini, hakim federal AS menyatakan perusahaan memiliki monopoli ilegal dalam pencarian online. Namun pengadilan menolak permintaan pemerintah untuk memaksa penjualan browser Chrome.

    (hsy/hsy)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pengusaha Tekstil Ramal Ekspor Pakaian Jadi Stagnan Akibat Tarif Trump Tahun Ini

    Pengusaha Tekstil Ramal Ekspor Pakaian Jadi Stagnan Akibat Tarif Trump Tahun Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (Apindo) memperkirakan kinerja ekspor pakaian jadi atau produk tekstil dari Indonesia stagnan dan cenderung turun imbas pengenaan tarif Amerika Serikat (AS) atas barang asal Indonesia 19%. 

    Wakil Ketua API David Leonardi mengatakan pemberlakuan tarif baru oleh Amerika Serikat memberi tekanan tambahan bagi ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia seiring dengan kondisi global yang penuh tantangan. 

    “Akibatnya, meski porsinya masih signifikan, pertumbuhan ekspor berpotensi melambat atau stagnan,” kata David kepada Bisnis, Minggu (7/9/2025). 

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor pakaian dan aksesorisnya (rajutan) (HS 61) ke AS tercatat sebesar US$1,57 miliar pada periode Januari-Juli 2025 atau 8,97% dari total ekspor nonmigas ke negara tersebut. 

    Nilai ekspor HS 61 ke AS pada periode Januari-Juli 2025 meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar US$1,32 miliar atau naik 18% (year-on-year/yoy). 

    Namun, dia menerangkan bahwa dalam kondisi ini pasar AS tetap penting karena besarnya permintaan, meskipun pengenaan tarif Trump tersebut akan mengurangi daya saing produk Indonesia dibandingkan negara pesaing, seperti Vietnam, dan lainnya. 

    “Ketidakpastian juga masih ada, apakah tarif MFN yang berlaku umum digantikan atau justru ditambah dengan tarif resiprokal baru dari AS,” jelasnya. 

    Untuk diketahui, tarif MFN (Most Favoured Nation) adalah tarif bea masuk standar yang berlaku umum bagi semua negara anggota World Trade Organization (WTO), tidak termasuk negara yang memiliki perjanjian perdagangan preferensial dengan negara pengimpor.

    Untuk itu, pemerintah dan pelaku usaha industri disebut perlu cermat membaca dinamika ekonomi-politik global untuk menyiapkan langkah antisipasi.

    Di sisi lain, dengan hambatan di pasar AS, menurut David, diversifikasi ekspor menjadi semakin penting. Indonesia dinilai perlu memperluas pasar ke Uni Eropa, Jepang, Timur Tengah, Afrika, hingga Asia Selatan, sekaligus memaksimalkan perjanjian dagang dengan negara mitra strategis. 

    “Dengan strategi ini, meskipun AS masih dominan, sebagian ekspor dapat bergeser ke pasar lain demi menjaga keberlanjutan dan pertumbuhan industri TPT nasional,” tuturnya. 

  • Eropa Jatuhi Denda Rp56 Triliun kepada Google Akibat Monopoli Iklan

    Eropa Jatuhi Denda Rp56 Triliun kepada Google Akibat Monopoli Iklan

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Eropa menjatuhkan denda sekitar US$3,5 miliar atau sekitar Rp56 triliun kepada Google karena diduga melanggar aturan antitrust Uni Eropa.

    Google dinilai menyalahgunakan posisi dominannya dengan memprioritaskan layanan iklan internal, khususnya platform pertukaran iklan AdX, lewat server iklan penerbit maupun alat pembelian iklannya.

    Dalam keputusannya, Komisi Eropa memberi Google waktu 60 hari untuk menghentikan praktik self-preferencing dan menerapkan langkah nyata guna mengatasi konflik kepentingan di rantai pasok layanan iklan digital.

    “Google harus segera mengajukan solusi serius untuk menghapus konflik kepentingan ini. Jika tidak, kami tidak ragu memberlakukan sanksi yang lebih keras,” ujar Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa untuk Transisi Kompetitif yang Bersih dan Adil Teresa Ribera dilansir dari Techcrunch Minggu (7/9/2025). 

    Dia menyampaikan pasar digital harus berdasarkan kepercayaan dan keadilan, serta tidak boleh didominasi satu pemain besar.

    Sementara pihak Google menegaskan akan mengajukan banding. Juru bicara Google mengatakan kepada Wall Street Journal bahwa tidak ada yang anti-persaingan dalam menyediakan layanan bagi pembeli dan penjual iklan.

    “Faktanya, lebih banyak alternatif tersedia dibanding sebelumnya,” kata Juru Bicara Google.

    Pengumuman putusan ini sebenarnya direncanakan pada 1 September, namun ditunda karena kekhawatiran dapat memengaruhi negosiasi perdagangan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat.

    Denda ini tercatat sebagai kasus antitrust terbesar kedua dalam sejarah Komisi Eropa terhadap Google, setelah sebelumnya perusahaan teknologi asal AS itu diganjar denda US$5 miliar pada 2018 terkait penyalahgunaan sistem operasi Android.

    Keputusan terbaru Uni Eropa juga memicu reaksi keras dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Lewat akun Truth Social, Trump mengkritik serentetan denda dan pajak yang dikenakan kepada perusahaan teknologi AS, termasuk Google dan Apple.

    “Kita tidak boleh membiarkan hal ini merugikan kecerdikan luar biasa dari perusahaan teknologi Amerika. Jika ini terus terjadi, saya akan mempertimbangkan proses Section 301 untuk membatalkan penalti yang tidak adil itu,” tulis Trump.

  • Trump Ancam Tarif Dagang Baru ke Uni Eropa Usai Google Didenda Rp57 Triliun

    Trump Ancam Tarif Dagang Baru ke Uni Eropa Usai Google Didenda Rp57 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengibarkan bendera perang dagang. Kali ini, Uni Eropa jadi sasaran setelah Brussels menjatuhkan denda hampir 3 miliar euro atau sekitar Rp57 triliun (asumsi kurs Rp19.200 per euro) kepada anak usaha Google yaitu Alphabet Inc. atas praktik penyalahgunaan dominasi pasar iklan digital.

    Trump menegaskan tidak akan tinggal diam menghadapi sanksi Uni Eropa. Menurutnya, sanksi itu merupakan diskriminatif terhadap perusahaan teknologi AS. 

    “Sangat tidak adil, dan pembayar pajak Amerika tidak akan diam saja! Pemerintahan saya tidak akan membiarkan tindakan diskriminatif ini terus berlangsung,” tulis Trump di media sosial Truth Social seperti dikutip dari Bloomberg, Sabtu (6/9/2025).

    Trump mengisyaratkan akan membuka investigasi Section 301—instrumen hukum yang kerap dipakai Washington untuk menekan mitra dagang. Jika diterapkan maka langkah itu berpotensi berujung pada pemberlakuan tarif baru atas produk Eropa.

    Sebelumnya, dia telah menggunakan mekanisme yang sama untuk menarget impor Brasil. Kini, Trump kembali memperingatkan negara mana pun yang mengenakan pajak digital terhadap perusahaan Amerika akan dikenai tarif ‘substansial’.

    “Ini bukan soal China atau negara lain. Masalahnya Uni Eropa,” tegas Trump setelah menggelar pertemuan dengan para petinggi teknologi, termasuk CEO Google Sundar Pichai, CEO Meta Mark Zuckerberg, dan CEO Apple Tim Cook.

    Eropa Lawan Dominasi Google

    Adapun Komisi Eropa menyatakan Google melanggar aturan persaingan dengan memberi keunggulan bagi layanan iklannya sendiri.

    “Kebebasan sejati berarti level playing field—semua pemain bersaing setara dan warga punya hak untuk memilih,” ujar Komisioner Antitrust UE Teresa Ribera.

    Google menyatakan akan mengajukan banding atas denda tersebut. Langkah itu menambah panjang daftar penalti dari Brussels terhadap perusahaan teknologi AS, setelah sebelumnya Google diganjar denda Android 4,125 miliar euro dan kasus belanja online 2,42 miliar euro.

    Masalahnya, ancaman tarif baru terhadap UE berpotensi memperlebar ketegangan dagang lintas Atlantik di tengah ekonomi global yang masih rapuh. Total denda yang kini mendekati 10 miliar euro membuat hubungan Washington–Brussels semakin panas, dengan risiko merembet pada stabilitas pasar digital dan perdagangan barang.

  • Ternyata Bukan hanya Foto Prabowo yang Lenyap di Koran Jepang

    Ternyata Bukan hanya Foto Prabowo yang Lenyap di Koran Jepang

    GELORA.CO -Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing baru-baru ini menarik perhatian.  

    Kunjungan untuk menghadiri peringatan 80 Tahun Kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok ini malah menimbulkan beragam spekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. 

    Banyak pengamat yang menyebut kunjungan ini sebagai momen penting yang penuh makna untuk memperkuat posisi diplomasi Indonesia di panggung global. 

    Perayaan ini banyak diliput oleh media global. Dalam momen bersejarah itu, sekitar 25 pemimpin dunia hadir. 

    Namun yang banyak diliput oleh berbagai media adalah para pemimpin yang berdiri berdampingan di atas mimbar, antara lain Presiden Indonesia Prabowo Subianto., Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Tiongkok Xi Jinping,  Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, serta Presiden Kazakstan Jomart Tokayev. 

    Media China banyak yang menampilkan gambar empat pemimpin; Prabowo Subianto., Vladimir Putin, Xi Jinping, Kim Jong Un. Sementara, media Jepang justru hanya menampilkan tiga pemimpin.

    Yomiuri Shimbun, salah satu surat kabar terbesar di Jepang, hanya menampilkan foto “Trio Blok Timur”, yaitu Xi Jinping, Putin, dan Kim Jong Un. Sosok Prabowo sama sekali tidak ditampilkan. 

    Media sosial pun ramai membahas hal ini. Banyak netizen berspekulasi bahwa foto Prabowo sengaja dipotong karena Indonesia dianggap bukan negara besar. 

    Yomiuri Shimbun nampaknya  lebih memilih fokus pada Xi, Putin, dan Kim, karena acara tersebut adalah;  “peringatan 80 tahun kemenangan dari fasis Jepang”. Bagi publik Jepang, trio itulah yang relevan sebagai musuh tradisional dalam memori sejarah Perang Dunia II.

    Beberapa pendapat yang berseliweran di media sosial menggambarkan bahwa tidak disertakannya foto Prabowo karena Indonesia bukan dari bagian Blok Timur. 

    Beberapa analis justru menegaskan tidak tampilnya gambar Prabowo dalam framing media Jepang juga bukan diartikan berarti Indonesia tidak penting, melainkan karena editorial mereka sedang menegaskan narasi historis yang spesifik.

    Artikel editorial tersebut dimuat dalam versi bahasa Inggris berjudul “China-Russia-N. Korea Cooperation: 3 Regimes Cannot Become a Pillar of World Order. Japan and Europe Must Keep Emerging Nations Close”.

    Atau jika diterjemahkan: “Kerja sama China, Rusia, dan Korea Utara: Tiga rezim ini tidak boleh menjadi pilar utama dunia. Jepang dan Eropa harus merangkul negara-negara berkembang.”

    Isi artikel membahas pertemuan para pemimpin Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara di Beijing untuk menunjukkan sikap menantang Amerika Serikat. Media itu menilai langkah ini sebagai upaya mengubah tatanan dunia yang sudah menopang stabilitas global sejak Perang Dunia II.

    The Yomiuri Shimbun menekankan bahwa negara-negara demokratis, termasuk Jepang, kini berada di persimpangan jalan: apakah mereka mampu membendung pengaruh Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara atau tidak.

    Menurut artikel tersebut, sambutan hangat Beijing terhadap Putin dan Kim Jong Un menunjukkan Tiongkok melawan sentrisme PBB dan diplomasi damai yang selama ini mereka klaim.

    Karena itu, wajar jika Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa memilih tidak mengirimkan perwakilan pemerintah mereka ke Beijing. 

    Media itu juga menyebut bahwa konfrontasi antara kubu negara otoriter (Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara) dengan kubu negara demokratis (Jepang, AS, dan Eropa) bisa menjadi tak terhindarkan.

  • Resiliensi Perdagangan RI-India di Tengah Guncangan Tarif Impor AS

    Resiliensi Perdagangan RI-India di Tengah Guncangan Tarif Impor AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Neraca perdagangan Indonesia dengan India mencatatkan surplus pada Januari-Juli 2025. Tren positif itu terjadi di tengah penurunan harga komoditas serta ketidakpastian ekonomi akibat penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS).

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, India menjadi negara penyumbang surplus neraca perdagangan nonmigas terbesar Indonesia kedua setelah AS pada tujuh bulan pertama 2025. Secara berurutan, Indonesia memperoleh surplus nonmigas dari AS (US$12,13 miliar), India (US$8,13 miliar), serta Filipina (US$5,07 miliar). 

    Surplus nonmigas terbesar yang disumbangkan India berasal dari penjualan bahan bakar mineral US$3,29 miliar, lemak dan minyak hewani/nabati US$2,20 miliar serta besi dan baja US$900 juta dari Indonesia. 

    India juga adalah negara terbesar ketiga tujuan ekspor nonmigas Indonesia, apabila merujuk data BPS per Juli 2025. Nilai ekspornya mencapai US$1,89 miliar dan tumbuh 15,23% dari periode yang sama tahun sebelumnya. 

    Nilai ekspor ke India pada Juli 2025 itu saja sudah masih lebih besar apabila dibandingkan dengan keseluruhan ekspor Indonesia ke Uni Eropa, yang tercatat sekitar US$1,71 miliar. 

    TANTANGAN HUBUNGAN INDONESIA-INDIA

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual memperkirakan tantangan ke depan akan semakin besar setelah penerapan tarif impor oleh AS. Bagi Indonesia, para eksportir sudah melakukan pengiriman barang lebih cepat (frontloading) ke AS sebelum berlakunya tarif impor bulan lalu. 

    Hal itulah yang membuat kinerja ekspor Indonesia Juli 2025 tercatat sebesar US$24,75 miliar atau melesat hingga 9,86% dari Juli 2024. Ekspor itu ditopang oleh komoditas nonmigas yang mencapai US$23,81 miliar, dengan pertumbuhan tembus 12,83% dari periode yang sama tahun sebelumnya. 

    “Itu juga yang membantu ekspor kita meningkat di bulan lalu termasuk juga dibantu oleh pemulihan harga CPO. Ke depan ini kan mulai diterapkan tarif dan mungkin akan berpengaruh juga ke demand. Jadi kami melihat mungkin outlook-nya untuk trade balance ini mungkin akan enggak setinggi yang sebelum-sebelumnya. Akan mengecil,” jelasnya kepada Bisnis, dikutip Sabtu (6/9/2025). 

    Akibatnya, David memperkirakan kinerja surplus neraca dagang Indonesia pada akhir tahun ini nantinya bakal menyusut akibat penerapan tarif impor sebesar 19% itu. 

    “Proyeksinya surplus perdagangan menyusut dari US$31 miliar 2024 ke sekitar US$25 miliar di 2025,” terang David. 

    Adapun di India, pemerintah juga sudah bersiap-siap untuk memberikan bantuan kepada eksportir yang terdampak tarif 50% oleh AS. Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman menyebut pemerintah akan menyalurkan bantuan untuk meringankan beban eksportir.

    “Pemerintah akan melakukan sesuatu untuk membantu mereka yang terdampak oleh tarif 50%,” ujar Nirmala kepada CNBC TV18, dikutip dari Reuters, Jumat (5/9/2025). 

    Sebagaimana diketahui, Indonesia dan India adalah di antara negara ekonomi terbesar di dunia yang turut terdampak tarif impor oleh Presiden AS Donald Trump. AS, serta Indonesia dan India juga adalah negara anggota G20. Negara Paman Sam itu mengenakan tarif impor ke barang-barang dari Indonesia sebesar 19%, sedangkan dari India 50%. Tarif itu diberlakukan Agustus 2025. Namun demikian, di tengah ketidakpastian yang ditimbulkan akibat tarif tersebut, perdagangan antara Indonesia dan India mencatatkan tren positif. 

  • Trump Ancam Batalkan Kesepakatan Dagang Jika Kalah di MA

    Trump Ancam Batalkan Kesepakatan Dagang Jika Kalah di MA

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden AS Donald Trump mengancam membatalkan kesepakatan dagang dengan Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan jika Mahkamah Agung (MA) AS menguatkan putusan yang menyatakan tarif-tarifnya ilegal.

    Berbicara di Gedung Putih pada Rabu (3/9/2025) waktu setempat, Trump mengatakan pemerintahannya akan meminta Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan banding AS pekan lalu yang menyatakan banyak tarif yang diberlakukannya ilegal. 

    Meski demikian, Trump yakin pemerintahannya akan menang dalam perkara tersebut.

    “Kami sudah membuat kesepakatan dengan Uni Eropa di mana mereka membayar hampir US$1 triliun. Dan Anda tahu apa? Mereka senang. Semua kesepakatan itu sudah selesai. Tapi saya rasa kami harus membatalkannya,” ujarnya dikutip dari Reuters, Jumat (5/9/2025).

    Pernyataan tersebut menjadi yang pertama kali secara eksplisit menyinggung bahwa kesepakatan dagang dengan mitra utama—yang dinegosiasikan terpisah di luar kebijakan tarif—berpotensi tidak berlaku jika Mahkamah Agung menguatkan putusan pekan lalu.

    Trump menegaskan pencabutan tarif akan sangat merugikan AS. Namun, para ekonom mencatat bahwa bea masuk sebenarnya dibayar oleh importir di AS, bukan perusahaan asal negara pengekspor, dan berpotensi mendorong inflasi domestik.

    “Negara kita punya peluang untuk menjadi sangat kaya kembali. Tapi juga bisa menjadi sangat miskin kembali. Jika kita kalah dalam kasus itu, negara kita akan menderita begitu hebat,” kata Trump.

    Putusan pengadilan banding menyoal legalitas tarif “resiprokal” yang diberlakukan Trump sejak April sebagai bagian dari perang dagang, serta tarif tambahan yang dikenakan Februari lalu terhadap China, Kanada, dan Meksiko. 

    Putusan itu tidak mencakup tarif yang dikeluarkan berdasarkan otoritas hukum lain, seperti pada impor baja dan aluminium.

    Menurut sejumlah pakar perdagangan, pernyataan Trump soal biaya pencabutan tarif dimaksudkan untuk meyakinkan Mahkamah Agung bahwa penghapusan tarif akan menimbulkan kekacauan ekonomi besar.

    Ryan Majerus, mantan pejabat senior perdagangan AS yang kini menjadi mitra di firma hukum King & Spalding, mengatakan sejak awal sudah jelas bahwa kesepakatan dengan Uni Eropa dan mitra lain hanyalah kerangka kerja yang bisa berubah, bukan perjanjian dagang penuh.

    “Pernyataan presiden hari ini bahwa kesepakatan bisa dibatalkan mencerminkan upaya memaksimalkan posisi tawar AS,” ujarnya.

    Para pakar hukum dan perdagangan menilai mayoritas hakim Mahkamah Agung yang didominasi pilihan Partai Republik, 6 hakim berbanding 3, bisa sedikit meningkatkan peluang Trump untuk mempertahankan sebagian tarif, setelah sebelumnya pengadilan banding memutuskan 7 banding 4 bahwa tarif tersebut ilegal. 

    Namun, arah putusan akhir tetap sulit diprediksi mengingat sifat perkara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

    Sementara itu, Senator Ron Wyden, Demokrat teratas di Komite Keuangan Senat, menilai komentar Trump justru memperburuk kebingungan.

    “Pemerintahan Trump tidak konsisten apakah kesepakatan dagangnya masih sah jika tarif itu dibatalkan,” ujarnya.

  • FAO: Harga Pangan Dunia Capai Level Tertinggi Dalam 2 Tahun Terakhir

    FAO: Harga Pangan Dunia Capai Level Tertinggi Dalam 2 Tahun Terakhir

    Bisnis.com, JAKARTA — Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat harga pangan dunia pada Agustus 2025 mencapai level tertinggi dalam lebih dari dua tahun terakhir, terutama didorong oleh kenaikan harga daging, gula, dan minyak nabati.

    Mengutip Reuters pada Jumat (5/9/2025), Indeks Harga Pangan FAO berada pada level 130,1 poin per Agustus 2025, naik tipis dari 130 poin pada Juli 2025. Angka ini tercatat lebih tinggi 6,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Level indeks ini juga menjadi yang tertinggi sejak Februari 2023, meskipun berada 18,8% di bawah puncak harga pangan pada Maret 2022 atau setelah invasi Rusia ke Ukraina.

    Lembaga urusan pangan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ini juga mencatat harga minyak nabati naik 1,4% pada bulan kedelapan tahun ini, menuju posisi tertinggi dalam lebih dari tiga tahun.

    Dorongan terbesar datang dari rencana Indonesia meningkatkan kadar wajib minyak sawit dalam biodiesel. Kebijakan tersebut dinilai mengerek harga minyak sawit, bunga matahari, dan rapeseed, sementara minyak kedelai turun akibat proyeksi pasokan yang melimpah.

    Lebih lanjut, harga biji-bijian pangan global menyusut 0,8% secara bulanan, melanjutkan tren penurunan lima bulan berturut-turut. Gandum melemah karena panen besar di Uni Eropa dan Rusia, sedangkan jagung justru naik didorong oleh permintaan pakan dan etanol di Amerika Serikat (AS).

    Sementara itu, harga beras tercatat turun mengikuti pelemahan rupee India dan ketatnya persaingan eksportir, sehingga mencapai level terendah dalam tiga tahun.

    Pada saat bersamaan, indeks harga daging meningkat 0,6%, terutama ditopang permintaan kuat daging sapi di Amerika Serikat dan China. Harga daging kambing ikut naik, daging babi stabil, sementara unggas turun akibat suplai melimpah dari Brasil.

    Produk susu justru melemah 1,3% karena turunnya harga mentega, keju, dan susu bubuk. Permintaan yang lesu dari pasar Asia disinyalir menjadi penyebabnya.

    Harga gula naik tipis 0,2% setelah turun dalam lima bulan berturut-turut. Kenaikan ini dipicu kekhawatiran terhadap panen tebu Brasil dan tingginya permintaan global.

    Dalam laporan terpisah, FAO juga memperkirakan produksi biji-bijian pangan dunia pada tahun ini akan mencapai rekor 2.961 miliar ton, naik dari proyeksi sebelumnya 2.925 miliar ton.

    Kenaikan terutama ditopang outlook positif jagung di Amerika Serikat, Brasil, dan Meksiko, sedangkan produksi Uni Eropa diprediksi turun akibat cuaca kering.