Negara: Uni Eropa

  • Ukraina akan Berbagi Rencana Perdamaian yang Direvisi dengan AS Hari Ini

    Ukraina akan Berbagi Rencana Perdamaian yang Direvisi dengan AS Hari Ini

    JAKARTA – Ukraina akan berbagi rencana perdamaian yang direvisi dengan Amerika Serikat pada hari Selasa yang bertujuan untuk mengakhiri perang Rusia, setelah perundingan di London antara Presiden Volodymyr Zelensky dengan para pemimpin Prancis, Jerman dan Inggris Hari Senin.

    Menjelang empat tahun perang, Kyiv, di bawah tekanan Gedung Putih untuk segera menyetujui penyelesaian damai, ingin menyeimbangkan rancangan yang didukung AS yang secara luas dianggap menguntungkan Moskow.

    Pertemuan yang diatur antara Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Friedrich Merz dan Presiden Zelensky bertujuan untuk memperkuat posisi Ukraina.

    Presiden Zelensky mengatakan kepada wartawan setelah pertemuan, rencana yang direvisi tersebut terdiri dari 20 poin, tetapi masih belum ada kesepakatan mengenai masalah penyerahan wilayah – yang didorong oleh Moskow.

    “Semangat Amerika, pada prinsipnya, adalah untuk menemukan kompromi,” katanya, melansir Al Arabiya dari Reuters (9/12).

    “Tentu saja, ada masalah kompleks terkait wilayah tersebut, dan belum ada kompromi yang ditemukan di sana,” tandasnya.

    Dalam kesempatan tersebut Ia menegaskan kembali, Ukraina tidak dapat menyerahkan sebidang tanah pun.

    Sebelumnya, sebuah sumber Pemerintah Inggris mengatakan, pertemuan Hari Senin akan berfokus pada penggunaan aset-aset Rusia yang dibekukan di Barat.

    Para pemimpin dari Estonia, Finlandia, Irlandia, Latvia, Lituania, Polandia dan Swedia mendesak Uni Eropa untuk segera menindaklanjuti proposal yang tertunda untuk menggunakan aset-aset tersebut guna menyediakan dana bagi Ukraina.

    PM Starmer, Presiden Macron, Kanselir Merz dan Presiden Zelensky juga berupaya mendapatkan jaminan keamanan AS untuk membantu mencegah serangan lebih lanjut dari Rusia, yang melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada Februari 2022.

    Publikasi rencana gencatan senjata AS bulan lalu telah cukup berhasil memusatkan perhatian para pemimpin Eropa, yang khawatir Kyiv akan dipaksa untuk menerima banyak tuntutan Rusia, yang menurut beberapa pihak dapat mengganggu stabilitas benua tersebut.

    Meskipun para pejabat AS mengatakan mereka berada di tahap akhir mencapai kesepakatan, sejauh ini hanya ada sedikit tanda bahwa Ukraina maupun Rusia bersedia menandatangani kerangka kerja kesepakatan yang disusun oleh para negosiator Trump.

    “Kami mendukung Ukraina dan, jika ingin ada gencatan senjata, itu harus gencatan senjata yang adil dan langgeng,” kata PM Starmer setelah menyambut para pemimpin di kediamannya di Downing Street No. 10.

    Presiden Macron dan Kanselir Merz juga menyatakan tekad mereka untuk melanjutkan rencana yang tegas, di saat yang digambarkan oleh kanselir Jerman sebagai “penentu bagi kita semua.”

    Presiden Zelensky menyoroti langkah penyeimbangan yang rumit yang perlu dilakukan oleh kekuatan-kekuatan Eropa saat mereka mencoba menegosiasikan persyaratan yang lebih baik untuk rencana AS yang diusulkan.

    “Ada beberapa hal yang tidak dapat kita kelola tanpa Amerika, hal-hal yang tidak dapat kita kelola tanpa Eropa; itulah mengapa kita perlu membuat beberapa keputusan penting,” katanya.

    Diketahui, Ukraina sedang mengalami salah satu periode terberat dalam perang ini. Pasukan Rusia terus bergerak maju di timur, dan kota-kota di Ukraina mengalami pemadaman listrik selama berjam-jam akibat serangan Rusia yang semakin intensif terhadap jaringan energi dan infrastruktur penting lainnya.

    Utusan Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff, dan menantunya, Jared Kushner, membawa rencana revisi ke Moskow pekan lalu, kemudian mengadakan pembicaraan beberapa hari lagi dengan para pejabat Ukraina di Miami, yang berakhir pada Hari Sabtu tanpa ada kemajuan.

    Presiden Zelensky menyebut diskusi tersebut konstruktif tetapi tidak mudah. ​​Trump mengatakan pada Hari Minggu bahwa ia “kecewa” dengan Presiden Ukraina, menuduhnya belum membaca proposal terbaru yang didukung oleh AS.

  • Uni Eropa Sepakati Aturan Migrasi Baru, Berlaku 2026

    Uni Eropa Sepakati Aturan Migrasi Baru, Berlaku 2026

    Jakarta

    Uni Eropa pada Senin (8/12) menyetujui perubahan besar terhadap sistem migrasinya, setelah bertahun-tahun menjadi perdebatan politik.

    Para menteri dalam negeri sepakat menerapkan aturan baru terkait deportasi, proses suaka, dan pembagian beban finansial antarnegara anggota.

    Poin utama reformasi migrasi UE:

    Deportasi lebih cepat dan penahanan migran diperketatPenetapan daftar “negara ketiga yang aman” dan “negara asal yang aman”Pembentukan dana kontribusi bersama sebesar €430 juta (sekitar Rp 8,35 triliun)Rencana tambahan relokasi 21.000 orang migranTiga opsi pembagian beban: relokasi, pendanaan, atau langkah alternatifSiprus, Yunani, Italia, dan Spanyol masuk daftar negara yang menerima tekanan migrasi terbesar

    Para menteri mengatakan perubahan ini memungkinkan penolakan permohonan suaka dengan lebih cepat bagi mereka yang tidak memenuhi syarat.

    Menteri Imigrasi Denmark, Rasmus Stoklund, menegaskan, “Kami akan bisa menolak mereka yang tidak punya alasan untuk mencari suaka di Eropa dan memulangkan mereka lebih cepat. Akses ke Eropa tidak boleh dikendalikan oleh penyelundup manusia.”

    Komisioner Migrasi UE, Magnus Brunner, menambahkan bahwa reformasi ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik.

    “Kita perlu meyakinkan masyarakat bahwa kita kembali mengendalikan apa yang terjadi,” ujarnya.

    Ia menyerukan anggota parlemen untuk menolak langkah tersebut, memperingatkan bahwa kebijakan baru itu “akan menimbulkan dampak serius bagi para migran dan komunitas yang menerima mereka.”

    Anggota parlemen Partai Hijau Prancis, Melissa Camara, juga menilai reformasi ini sebagai “pengingkaran terhadap nilai-nilai dasar dan hak asasi manusia.”

    Reformasi suaka picu gesekan politik baru

    Reformasi ini merupakan bagian dari Pakta Migrasi dan Suaka dari UE yang baru, yang mencakup perluasan mekanisme deportasi serta pembentukan “pusat pemulangan” bagi pencari suaka yang ditolak. Pusat tersebut bisa berada di dalam atau di luar wilayah Uni Eropa. Austria dan Denmark diperkirakan akan mencari negara mitra di luar UE untuk menampung pusat-pusat ini.

    Namun, tidak semua negara anggota sepakat. Sejumlah pemerintah tetap menolak menerima pencari suaka atau memberikan dukungan dana. Seusai pertemuan pada Senin (8/12), Menteri Dalam Negeri Jerman Alexander Dobrindt menegaskan bahwa Jerman tidak akan menerima tambahan pencari suaka maupun memberikan kontribusi finansial.

    Reformasi ini dirancang untuk menjembatani perpecahan politik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun sejak krisis migrasi 2015, ketika lebih dari satu juta orang datang ke Eropa untuk melarikan diri dari konflik di Suriah dan Irak.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu dan Adelia Dinda Sani

    Editor: Melisa Ester Lolindu

    Tonton juga video “Platform X Kena Denda Fantastis Uni Eropa, Apa Alasannya?”

    (ita/ita)

  • Setahun Setelah Assad, Bagaimana Situasi Suriah Kini?

    Setahun Setelah Assad, Bagaimana Situasi Suriah Kini?

    Jakarta

    Tanggal 8 Desember 2025 menandakan genap setahun sejak rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad tumbang. Selama lebih dari 50 tahun dinasti Alawi itu berkuasa, dimulai oleh Hafez al-Assad sejak 1971 dan dilanjutkan putranya, Bashar, pada tahun 2000. Kekuasaan lalim dinasti Assad berakhir perlahan, dimulai dari gerakan Musim Semi Arab pada 2011 yang kemudian berkembang menjadi perang saudara brutal hampir 14 tahun.

    Kejatuhan Assad terjadi pada 8 Desember 2024 melalui serangan kilat kelompok milisi oposisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang nyaris tanpa perlawanan berarti. Assad dikabarkan melarikan diri ke Moskow melalui pangkalan militer Rusia.

    Pada Januari berikutnya, pemimpin HTS Ahmad al-Sharaa, yang sempat menghuni daftar teror Amerika Serikat, ditunjuk sebagai presiden sementara Suriah. Setahun berlalu, berbagai perubahan terjadi, tetapi tantangan besar masih membayangi seisi negeri.

    Aman tapi genting

    Saat ini, tidak ada lagi serangan udara militer Rusia atau pengeboman terhadap fasilitas kesehatan, yang dulu menjadi simbol kekejaman pasukan pemerintah. Namun, laporan Dewan Keamanan PBB pada November menyebut Suriah masih menghadapi “lanskap keamanan yang terfragmentasi”.

    Ibu kota Damaskus dikabarkan relatif tenang, dan tingkat kekerasan dilaporkan menurun tajam, bahkan mencapai titik terendah pada pertengahan November. Meski demikian, bentrokan masih terjadi antara pasukan pemerintah yang baru dan kelompok lain di berbagai wilayah, termasuk kelompok Kurdi dan Druze. Sisa-sisa pendukung Assad juga masih beroperasi secara sembunyi-sembunyi, sementara kelompok ekstremis Negara Islam (ISIS) memanfaatkan celah keamanan untuk memperluas jejaringnya.

    Badan Suaka Uni Eropa mencatat, otoritas baru Suriah belum sepenuhnya menguasai seluruh wilayah negeri. Insiden pelanggaran hukum, kriminalitas, dan aksi balas dendam masih sering dilaporkan.

    Jalan panjang menuju keadilan

    Kekerasan yang masih terjadi sebagian dipicu aksi balas dendam terhadap mereka yang dituduh berkolaborasi dengan rezim lama. Karena itu, keadilan transisi dinilai krusial, demi membongkar semua kejahatan dari era Assad, tulis wadah pemikir Syria Justice and Accountability Centre (SJAC) di Washington, September silam.

    Namun, SJAC menilai progres masih timpang. Ketika komisi pencari orang hilang relatif aktif, proses penyelidikan kejahatan rezim dinilai “berjalan lambat karena minim dukungan pemerintah pusat.”

    Kelompok hak asasi juga mengkritik fokus penyelidikan yang dinilai hanya menyasar kejahatan era Assad, tanpa menelaah dugaan pelanggaran oleh kelompok lain, termasuk HTS.

    Demokrasi di usia prematur

    Suriah menggelar pemilu parlemen yang relatif lebih bebas awal tahun ini, meskipun belum dilakukan secara langsung dan masih melalui mekanisme majelis pemilih. Al-Sharaa akan tetap menjabat presiden sementara hingga konstitusi baru disahkan.

    Penyusunan konstitusi tengah berlangsung disertai dialog nasional. Namun, perbedaan pandangan antara pemerintah sementara dan berbagai kelompok masyarakat masih tajam. Sejumlah pengamat juga mengkhawatirkan kuatnya konsolidasi kekuasaan di tangan al-Sharaa, dan betapa sang penguasa berlaku kian lalim.

    Analis menilai masih terlalu dini membicarakan demokrasi di negeri yang masih dipenuhi konflik tersevzt. Meski demikian, kemunculan institusi-institusi baru dipandang sebagai langkah awal bagi Suriah untuk kembali ke arena politik elektoral, dengan risiko masa depan yang masih terbuka antara demokratisasi atau kembalinya otoritarianisme.

    Diplomasi: Terbuka tapi rentan

    Perubahan paling mencolok terlihat dalam diplomasi luar negeri. Kantor-kantor perwakilan di seluruh dunia kembali dibuka, dan pejabat tinggi kembali aktif melakukan kunjungan internasional. Al-Sharaa, yang sebelumnya masuk daftar sanksi dan pernah diburu dengan hadiah jutaan dolar, kini bahkan berpidato di depan Majelis Umum PBB dan menjadi pemimpin Suriah pertama yang mengunjungi Gedung Putih sejak 1946.

    Suriah juga menjalin komunikasi dengan seluruh anggota tetap Dewan Keamanan PBB, termasuk Rusia dan Cina. Namun, operasi militer Israel di wilayah Suriah masih menjadi sumber ketegangan utama, yang menurut PBB mengancam transisi politik dan keamanan rapuh negara tersebut.

    Kepulangan menuju reruntuhan

    Sekitar 2,9 juta warga Suriah tercatat telah kembali, baik dari pengungsian di dalam negeri maupun luar negeri. Akan tetapi, kebanyakan pengungsi akan pulang ke kampung halaman yang telah hancur. Hampir semua pemukiman penduduk mengalami kerusakan infrastruktur, dengan sekolah dan rumah sakit yang tak berfungsi, atau maraknya sengketa kepemilikan lahan.

    Lebih dari separuh jaringan air dan sebagian besar jaringan listrik nasional rusak atau tidak beroperasi. Biaya rekonstruksi diperkirakan mencapai 250–400 miliar dolar AS. Meski ada tanda-tanda pemulihan, seperti renovasi ratusan sekolah dan penambahan aliran listrik di beberapa wilayah, dampaknya belum merata.

    Secara ekonomi, sekitar seperempat warga Suriah masih hidup dalam kemiskinan ekstrem. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sekitar 1 persen pada 2025, ditopang pencabutan sanksi era Assad dan investasi dari negara-negara Teluk. Namun, dampak nyata bagi kehidupan sehari-hari warga dinilai masih belum terasa.

    Setahun setelah kejatuhan Assad, Suriah memang memasuki babak baru. Namun, jalan menuju stabilitas, keadilan, dan kesejahteraan masih panjang dan penuh ketidakpastian.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid


    (ita/ita)

  • Elon Musk (X) Balas Blokir Akun Iklan Komisi Eropa Setelah Didenda Rp2,3 Triliun

    Elon Musk (X) Balas Blokir Akun Iklan Komisi Eropa Setelah Didenda Rp2,3 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketegangan antara platform X, platform media sosial milik Elon Musk, dan regulator Uni Eropa memuncak pada akhir pekan ini. 

    Manajemen X secara resmi menutup akun iklan milik Komisi Eropa tak lama setelah lembaga tersebut menjatuhkan denda sebesar US$140 juta dollar atau sekitar Rp2,3 triliun kepada perusahaan milik Elon Musk tersebut.

    Sanksi finansial itu merupakan denda pertama yang dikeluarkan Komisi Eropa di bawah aturan Digital Services Act (DSA). 

    Regulator menilai sistem verifikasi berbayar centang biru X bersifat menyesatkan dan membuat pengguna rentan terhadap penipuan serta peniruan identitas. Selain itu, repositori iklan X juga dinilai gagal memenuhi standar transparansi yang diwajibkan undang-undang.

    Melansir dari TechCrunch Senin (08/12/2025), Head of Product X, Nikita Bier, merespons dengan mengumumkan langkah balasan yang kontroversial. 

    Bier menegaskan bahwa penutupan akun iklan Komisi Eropa bukan disebabkan oleh denda yang dijatuhkan, melainkan karena temuan teknis mengenai aktivitas akun tersebut.

    Bier menuduh Komisi Eropa telah masuk ke dalam “akun iklan yang tidak aktif” (dormant ad account) untuk memanfaatkan celah keamanan pada fitur Ad Composer. 

    Celah ini diduga digunakan untuk memposting tautan yang menipu pengguna agar mengira konten tersebut adalah video, sekaligus untuk meningkatkan jangkauan postingan secara artifisial.

    “Seperti yang Anda ketahui, X percaya bahwa setiap orang harus memiliki suara yang setara di platform kami. Namun, tampaknya Anda (Komisi Eropa) percaya bahwa aturan tidak berlaku untuk akun Anda,” tulis Bier dikutip Senin (08/12/2025).

    Bier menambahkan bahwa akun iklan Komisi tersebut kini telah dihentikan. Dia juga mengklaim bahwa celah tersebut belum pernah disalahgunakan sedemikian rupa sebelumnya dan saat ini telah diperbaiki.

    Di sisi lain, pemilik X, Elon Musk, memberikan reaksi keras terhadap denda tersebut. Dalam unggahannya, Musk menyebut keputusan denda itu sebagai “omong kosong” dan menyuarakan sentimen anti-Uni Eropa dengan tagar “AbolishTheEU”.

    Menanggapi tuduhan X, juru bicara Komisi Eropa memberikan klarifikasi kepada TechCrunch. Pihaknya membantah melakukan manipulasi dan menegaskan bahwa Komisi selalu menggunakan platform media sosial dengan itikad baik.

    “Komisi hanya menggunakan alat yang disediakan oleh platform itu sendiri untuk akun korporat kami, dalam hal ini adalah alat ‘Post Composer’ di X,” ujar juru bicara tersebut.

    Pihak Komisi Eropa menekankan bahwa mereka mengharapkan alat-alat yang disediakan platform sejalan dengan syarat dan ketentuan serta kerangka hukum yang berlaku. Menariknya, juru bicara tersebut juga mengungkapkan fakta bahwa Komisi sebenarnya telah menangguhkan aktivitas periklanan berbayar di X sejak Oktober 2023, dan kebijakan tersebut masih berlaku hingga saat ini.

    Terlepas dari perseteruan ini, X kini dihadapkan pada ultimatum ketat. Regulator memberikan waktu 60 hari bagi X untuk menanggapi masalah centang biru dan 90 hari untuk pelanggaran transparansi iklan. Jika gagal mematuhi tenggat waktu tersebut, perusahaan berisiko menghadapi hukuman tambahan. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • Eropa Menuju ke Arah yang Sangat Buruk

    Eropa Menuju ke Arah yang Sangat Buruk

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperingatkan bahwa Eropa sedang menuju arah yang sangat buruk. Trump meminta Eropa untuk berhati-hati.

    Dilansir AFP, Selasa (9/12/2025), Trump juga mengecam denda sebesar $140 juta oleh Uni Eropa terhadap jejaring sosial X milik taipan teknologi Elon Musk. Namun Trump mengakui bahwa ia tidak tahu banyak tentang denda tersebut.

    “Lihat, Eropa harus sangat berhati-hati. (Mereka) melakukan banyak hal. Kami ingin Eropa tetap menjadi Eropa,” kata Trump kepada para wartawan di Gedung Putih.

    “Eropa sedang menuju ke arah yang buruk. Ini sangat buruk, sangat buruk bagi rakyatnya. Kami tidak ingin Eropa berubah begitu banyak. Mereka sedang menuju ke arah yang sangat buruk,” imbuhnya.

    Komentar Republikan ini menyusul kritik dalam strategi keamanan nasional AS yang baru dirilis minggu lalu yang menyebut Eropa terlalu diatur dan menghadapi “penghapusan peradaban” akibat migrasi.

    Trump dan Eropa juga semakin berselisih mengenai rencana AS untuk mengakhiri perang di Ukraina. Eropa khawatir bahwa Washington bertujuan untuk memaksa Kyiv menyerahkan wilayahnya kepada Rusia.

    Posisi Trump terhadap Eropa menggemakan posisi Musk, mantan sekutu presiden, yang telah berulang kali melontarkan klaim yang menghasut tentang migrasi di Uni Eropa.

    Musk mengatakan setelah X didenda karena melanggar aturan digital Uni Eropa, blok tersebut harus “dihapuskan.” Brussels menepis pernyataannya sebagai “benar-benar gila.”

    Ketika ditanya tentang denda tersebut, Trump mengatakan bahwa “Saya rasa itu tidak benar” sebelum mengklarifikasi bahwa “Elon belum menghubungi saya untuk meminta bantuan terkait hal itu” dan mengatakan ia akan mendapatkan detail lebih lanjut nanti.

    Lihat juga Video Trump Mau Ikutan Nimbrung Polemik Netflix Akuisisi Warner Bros

    (lir/lir)

  • Kami Diminta Membayar dengan Tubuh Kami

    Kami Diminta Membayar dengan Tubuh Kami

    Jakarta

    Esther tengah terlelap di suatu sudut jalanan Lagos, Nigeria, tatkala seorang perempuan mendekatinya, menjanjikan pekerjaan dan rumah di Eropa. Perempuan itu memang bermimpi memiliki hidup baru di Eropa. Tujuannya pun jelas: Inggris.

    Setelah diusir dari panti asuhan yang penuh kekerasan, ia merasa tak ada alasan lagi untuk bertahan di Nigeria.

    Namun, ada hal-hal yang ia tidak ketahui saat meninggalkan Lagos pada 2016 dengan cara melintasi guru menuju Libya. Dia bakal terjebak dalam dunia prostitusi dan selama bertahun-tahun harus mengajukan suaka dari satu negara ke negara lain.

    Sebagian besar imigran dan pencari suaka tidak berdokumen (sekitar 70%) adalah laki-laki, menurut Badan Suaka Eropa.

    Hanya saja, seiring waktu jumlah perempuan seperti Esther yang datang ke Eropa untuk mencari perlindungan terus meningkat.

    “Kami melihat kenaikan jumlah perempuan yang bepergian sendirian, baik di rute Mediterania maupun Balkan,” kata Irini Contogiannis dari International Rescue Committee di Italia.

    Pada 2024, lembaga itu mencatat lonjakan 250% perempuan dewasa tanpa pendampingan yang tiba di Italia melalui jalur Balkan. Sementara mereka yang berkeluarga naik 52%.

    Tahun 2024, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat 3.419 kematian atau orang hilang di Eropa. Ini merupakan jumlah tertinggi yang pernah tercatat.

    Bagi perempuan, potensi bahaya yang mengintai bisa berkali-kali lipat dan berlapis. Kalau pun selamat dari rute yang berbahaya, mereka berpotensi menerima eksploitasi dan kekerasan seksual.

    Itulah yang menimpa Esther. Perempuan yang sempat menjanjikan masa depan cerah, belakangan mengkhianatinya.

    “Ia mengurung saya di salah satu kamar, lalu membawa seorang pria. Saya masih perawan, tapi ia memaksa,” kata Esther.

    “[Rupanya] itu yang mereka lakukan berkeliling desa-desa di Nigeria, mengambil anak perempuan dan membawa mereka ke Libya untuk dijadikan budak seks.”

    Kepada BBC, Ugochi Daniels dari IOM mengatakan, “Pengalaman para perempuan berbeda-beda dan sering lebih berisiko.”

    “Kalau pun bepergian dalam kelompok, perempuan sering tak punya perlindungan yang pasti. Mereka tetap rentan diserang penyelundup, pelaku perdagangan orang, atau sesama migran.”

    Sebagian besar imigran yang tiba di Trieste, Italia, melalui rute Balkan adalah laki-laki. (Barbara Zanon/Getty Image)

    Para perempuan, menurut IOM, sebenarnya tahu potensi bahaya tersebut, tapi mereka tetap berangkat.

    Sebagai siasat, mereka terkadang justru membawa kondom atau bahkan memasang alat kontrasepsi untuk berjaga-jaga jika diperkosa selama perjalanan.

    Untuk perjalanan yang penuh mara bahaya tersebut, kata Hermine Hermine dari jaringan antiperdagangan orang Stella Polare, “Semua imigran harus membayar kepada penyelundupnya.”

    “Namun, bagi perempuan, mereka sering diharapkan membayar dengan tubuh mereka,” ujar Hermine.

    Gbedo mendampingi migran perempuan di Trieste, kota pelabuhan yang terletak di timur laut Italia.

    Kota ini sudah sejak lama menjadi titik persinggahan budaya serta pintu masuk utama ke Uni Eropa bagi mereka yang datang melalui Balkan.

    Dari kota ini, perjalanan kemudian berlanjut ke negara lain seperti Jerman, Prancis, hingga Inggris.

    BBC

    Setelah empat bulan dieksploitasi di Libya, Esther melarikan diri dan menyeberangi Laut Tengah dengan perahu karet. Ia kemudian diselamatkan penjaga pantai Italia dan dibawa ke Pulau Lampedusa.

    Esther mengajukan suaka sebanyak tiga kali, sebelum akhirnya berhasil menerima status pengungsi.

    Pencari suaka yang datang dari negara yang dinilai aman, umumnya ditolak.

    Esther kala itu dapat diterima lantaran pemerintah Italia masih mengategorikan Nigeria sebagai negara tidak aman.

    Penilaian itu berubah dua tahun lalu, seiring pemerintah di berbagai negara Eropa memperketat aturan negara masing-masing.

    Pengetatan itu diambil setelah terjadi lonjakan migrasi sepanjang 2015 hingga 2016.

    Sejak saat itu pula, seruan pembatasan lebih lanjut terhadap pemohon suaka menjadi semakin nyaring.

    AFP via Getty ImagesIlustrasi. Unjuk rasa solidaritas yang ditunjukkan warga Zagreb, Kroasia, November 2025. Mereka mendesak pemerintah Kroasia membuka pintu untuk para imigran yang melarikan diri dari perang dan berbagai kejahatan.

    Nicola Procaccini, salah seorang anggota parlemen dari pemerintahan sayap kanan mengatakan, “Tidak mungkin mempertahankan migrasi besar-besaran.”

    “Itu mustahil,” kata Procaccini.

    “Kami bisa menjamin kehidupan aman bagi perempuan yang benar-benar dalam bahaya, tapi tidak untuk semuanya.”

    Peneliti di lembaga riset konservatif, Policy Exchange, Rakib Ehsan, menambahkan, “Pemerintah kami harus tegas.”

    “Prioritasnya adalah perempuan dan anak perempuan yang berada dalam risiko langsung di wilayah terdampak konflik, di mana pemerkosaan digunakan sebagai senjata perang.”

    Ehsan menilai, prioritas itu belum berjalan secara konsisten.

    Meski mengaku berempati terhadap perempuan yang menempuh rute berbahaya menuju Eropa, ia berdalih, “kuncinya adalah belas kasih yang masih terkontrol.”

    AFP via Getty ImagesSeorang imigran perempuan bersama anaknya dari Republik Kongo tiba di Bugarama, Rwanda, 5 Desember lalu, dalam proses pencarian suaka.

    Sejumlah perempuan dari negara-negara yang dikategorikan aman mengatakan, mendapat kehidupan yang baik di kampung halaman adalah hal mustahli.

    Mereka berkata, kekerasan berbasis gender masih terjadi.

    Hal itu yang dialami Nina, perempuan 28 tahun dari Kosovo.

    “Orang-orang berpikir semuanya baik-baik saja di Kosovo, padahal tidak,” kata Nina.

    “Situasinya sangat buruk bagi perempuan.”

    Nina mengaku bahwa ia dan adiknya mengalami kekerasan seksual oleh pacar masing-masing yang kemudian memaksa mereka masuk ke prostitusi.

    Laporan OSCE pada 2019 menunjukkan 54% perempuan di Kosovo pernah mengalami kekerasan psikologis, fisik, atau seksual dari pasangan intim sejak usia 15 tahun.

    Corbis via Getty ImagesSebuah keluarga di Vietnam melarikan diri dari Perang Vietnam pada 7 September 1965. Foto ini memenangkan anugerah foto terbaik versi Pulitzer karena menunjukkan kengerian perang yang memicu gelombang pengungsian.

    Berdasarkan Konvensi Istanbul dari Dewan Eropa, perempuan yang menghadapi penganiayaan berbasis gender sebenarnya berhak mendapat suaka.

    Ini kemudian diperkuat oleh pengadilan tertinggi Uni Eropa tahun lalu.

    Konvensi ini mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai kekerasan psikologis, fisik, dan seksual, termasuk mutilasi genital perempuan (FGM).

    Penerapan konvensi ini masih belum berlaku seragam di banyak negara, menurut sejumlah kelompok advokasi.

    “Banyak petugas suaka di lapangan adalah laki-laki yang tidak cukup terlatih menangani isu sensitif seperti FGM, baik secara medis maupun psikologis,” ujar Marianne Nguena Kana, Direktur End FGM European Network.

    Alhasil, menurut Nguena Kana, banyak perempuan yang kemudian mendapat penolakan suaka yang berhulu pada asumsi keliru bahwa mereka tidak lagi berisiko karena pernah menjalani FGM.

    “Kami pernah mendengar hakim mengatakan: ‘kamu sudah dimutilasi, jadi tidak berbahaya kembali ke negara asalmu. Mereka tidak bisa melakukannya lagi’,” kata Nguena Kana, mengisahkan kekeliruan pemahaman tersebut.

    Corbis via Getty ImagesSeorang imigran perempuan di New York, Amerika Serikat, berteriak agar personel Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) tak menangkapnya pada Juni 2025. Perempuan ini memiliki anak berumur 15 tahun yang berpotensi sebatang kara jika dia ditangkap.

    Dalam kasus kekerasan seksual, proses pembuktian memang seringkali jauh lebih sulit, kata Carenza Arnold dari lembaga Women for Refugee Women yang berbasis di Inggris.

    Kekerasan semacam ini tidak selalu meninggalkan jejak fisik seperti penyiksaan.Hal ini diperparah oleh perasaan tabu dan sensitivitas budaya yang membuat perempuan semakin berat untuk menceritakannya.

    “Perempuan sering didorong untuk menyelesaikan proses dengan cepat,” kata Arnold.

    “[Tapi] tidak mungkin mereka mampu mengungkapkan kekerasan seksual yang dialami kepada petugas imigrasi yang notabene baru saja mereka temui.”

    Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi, banyak kekerasan yang dialami perempuan terjadi selama perjalanan.

    “Perempuan biasanya melarikan diri dari kekerasan seksual oleh pasangan mereka di negara asal, tapi di perjalanan mereka malah kembali mengalaminya,” kata Ugochi Daniels.

    Itulah yang menimpa Nina dan adiknya.

    Setelah kabur dari pasangan yang abusif di Kosovo, mereka memulai perjalanan menuju Italia.

    Bepergian bersama sekelompok perempuan lain, mereka menyeberangi hutan-hutan di Eropa Timur untuk menghindari aparat.

    Namun, pada momen itulah para migran laki-laki dan penyelundup menyerang kelompok mereka.

    “Meski kami sudah jauh di pegunungan, dalam gelap, suara teriakan mereka tetap terdengar,” kenang Nina.

    “Para pria itu datang membawa senter, menyorot wajah kami, memilih siapa yang mereka mau, lalu membawa perempuan yang mereka pilih itu lebih jauh ke dalam hutan.”

    Dalam keadaan seperti itu, Nina mengaku, “Saya mendengar adik saya menangis, memohon pertolongan.”

    Nina dan adiknya mengatakan kepada otoritas Italia bahwa mereka akan dibunuh oleh mantan pacar masing-masing jika kembali ke Kosovo

    Mereka pun akhirnya diberi suaka.

    Lain lagi kisah Esther yang mengaku perjuangannya untuk mendapat status pengungsi lebih panjang dan berliku.

    Ia pertama kali mengajukan suaka kepada Pemerintah Italia pada 2016.

    Setelah menunggu lama tanpa kejelasan, ia pindah ke Prancis lalu Jerman.

    Permohonan kepada dua negara ini ditolak karena aturan Uni Eropa mensyaratkan pencari suaka harus mengajukan permohonan di negara pertama tempat mereka masuk..

    Esther akhirnya mendapat status pengungsi dari Italia pada 2019.

    Lalu, apakah ia berbahagia?

    Satu dekade berselang usai meninggalkan Nigeria, Esther mengaku masih bertanya-tanya apakah kehidupan baru ini sepadan dengan seluruh penderitaan yang telah dilaluinya.

    “Saya bahkan tidak tahu lagi alasan saya datang ke tempat ini,” pungkas Esther.

    (ita/ita)

  • Kunjungan Kanselir Jerman ke Israel Disorot di Tengah Kritik Soal Gaza

    Kunjungan Kanselir Jerman ke Israel Disorot di Tengah Kritik Soal Gaza

    Jakarta

    Tujuh bulan menjabat sebagai kanselir, Friedrich Merz melakukan kunjungan resmi pertamanya ke Israel. Perjalanan yang berlangsung kurang dari 24 jam itu menuai sorotan tajam, terutama di Jerman, karena dinilai berpotensi mengirimkan sinyal yang keliru di tengah konflik yang terus berlangsung di Gaza dan meningkatnya kekerasan di Tepi Barat.

    Di mata publik Israel, Merz masih relatif tidak dikenal, kata sejarawan Moshe Zimmermann kepada DW.

    “Kalau Anda melakukan survei dan bertanya, siapa Kanselir Jerman saat ini, mungkin tidak lebih dari 10% orang Israel yang tahu namanya Friedrich Merz,” ujar Zimmermann. “Bagi banyak orang, Angela Merkel masih dianggap sebagai kanselir dan ia sangat populer di sini.”

    Belakangan, semakin banyak suara kritis dari Jerman terkait operasi militer Israel di Gaza, sesuatu yang dianggap cukup tidak biasa oleh banyak warga Israel.

    Perbedaan pandangan soal isu Palestina

    Semua perhatian tertuju pada pernyataan bersama dan konferensi pers antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Friedrich Merz untuk melihat apakah hubungan kedua negara terdampak oleh situasi terkini. Meski mengakui adanya perbedaan pandangan dalam beberapa isu, keduanya menegaskan kembali kuatnya hubungan bilateral.

    “Kunjungan ini menegaskan kuatnya hubungan bilateral. Komitmen Jerman terhadap Israel dan komitmen Israel terhadap Jerman terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Jeremy Issacharoff, mantan duta besar Israel untuk Jerman periode 2017-2022.

    “Konferensi pers itu menunjukkan hubungan kedua negara tetap solid, meski ada perbedaan terutama soal bagaimana melangkah ke depan terkait isu Palestina,” tambah Issacharoff.

    Dalam pertemuan dengan Presiden Israel Isaac Herzog malam sebelumnya, Merz mengakui bahwa waktu kunjungannya “tidak ideal”. Proses gencatan senjata di Gaza belum memasuki fase kedua, serangan udara harian masih menimbulkan korban di wilayah yang hancur, dan Israel masih menunggu pemulangan jenazah sandera terakhir dari Gaza.

    Sementara itu, di Tepi Barat yang diduduki Israel, lonjakan serangan kekerasan oleh pemukim terhadap warga Palestina serta kebijakan aneksasi Israel memicu keprihatinan negara-negara Eropa.

    “Ini kunjungan yang bersifat simbolis, tapi juga penting,” kata Shimon Stein, mantan duta besar Israel untuk Jerman periode 2001-2007.

    “Merz sejak awal menunjukkan solidaritas dan persahabatan dengan Israel. Namun, kunjungan ini terjadi di tengah banyak konflik terbuka, baik di dalam negeri maupun di kawasan.” tambah Shimon.

    Perbedaan soal solusi dua negara

    Seperti banyak pemimpin Barat lainnya, Kanselir Jerman kembali menegaskan dukungan pada solusi dua negara, meski kondisi saat ini membuat terwujudnya negara Palestina terasa semakin jauh.

    “Keyakinan kami adalah bahwa pendirian negara Palestina di samping Israel menawarkan prospek terbaik untuk masa depan,” ujar Merz, seraya menambahkan bahwa solusi dua negara hanya dapat lahir di akhir proses perundingan, bukan di awal, dan menegaskan kembali penolakan Jerman untuk mengakui negara Palestina saat ini.

    Zimmermann menilai tidak banyak hal baru dari pendekatan kanselir tersebut. “Kanselir tentu menyebut bahwa Jerman menolak pengambilalihan wilayah Tepi Barat, tapi itu hal yang memang sudah seharusnya diucapkan. Tak ada penjelasan tentang apa yang benar-benar terjadi di sana hari ini,” kata Zimmermann kepada DW.

    “Sebagai kanselir Jerman, ia mengonfirmasi kebijakan lama, yaitu tidak mengakui negara Palestina, berbeda dengan beberapa negara Eropa.”

    Kanselir Jerman tidak mengunjungi Tepi Barat untuk bertemu pemimpin Palestina atau perwakilan masyarakat sipil. Kantornya hanya menyebut adanya panggilan telepon dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas sebelum perjalanan regional ini.

    Perdana Menteri Netanyahu segera menepis gagasan negara Palestina. Pemerintahan sayap kanannya berkali-kali menolak kemungkinan negara Palestina yang merdeka dan lebih memilih mendorong perdamaian regional yang lebih luas.

    “Kami percaya ada jalan untuk memajukan perdamaian lebih luas dengan negara-negara Arab dan perdamaian yang dapat dijalankan dengan tetangga Palestina kami,” kata Netanyahu. “Namun, kami tidak akan menciptakan sebuah negara yang berpotensi mengancam keberadaan kami tepat di depan pintu kami.” ucapnya tegas

    Embargo bantuan senjata dianggap keputusan situasional

    Persoalan lain yang menjadi sumber ketegangan tampaknya telah mereda. Meskipun Merz mengakui bahwa tindakan militer Israel di Gaza telah menempatkan Jerman dalam “dilema” dan mendesak Israel untuk menghormati hukum internasional, ia menekankan bahwa keputusan untuk menangguhkan pengiriman senjata hanya dilakukan sekali.

    Jerman menangguhkan sejumlah pengiriman senjata ke Israel pada Agustus lalu karena meningkatnya kekhawatiran atas korban sipil di Gaza. Penangguhan itu dicabut pada November setelah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.

    Kerja sama pertahanan tetap menjadi pilar penting dalam hubungan Jerman dan Israel, meskipun perang di Gaza telah memicu kritik keras. Komite PBB bahkan menyebut perang tersebut sebagai genosida, tuduhan yang ditolak oleh Israel.

    Netanyahu menekankan bahwa 80 tahun setelah Holokaus, Israel justru menjadi pihak yang menjaga keamanan Jerman dan Eropa, dengan merujuk pada akuisisi sistem pertahanan Arrow Defense 3 oleh Berlin sebagai buktinya.

    Pengaruh Jerman yang terbatas

    Perdana Menteri Israel juga menegaskan bahwa perkembangan politik terkait Gaza akan dibahas di Washington akhir bulan ini, saat ia dijadwalkan mengunjungi Gedung Putih. Banyak pengamat sepakat bahwa peran politik Jerman di kawasan saat ini sangat terbatas. Baik Jerman maupun Uni Eropa tidak berada di posisi penentu kebijakan, kata Shimon Stein. Keputusan utama ada di Washington.

    “Dengan Trump mendorong rencananya sendiri, Israel setelah serangan 7 Oktober menjadi sangat bergantung pada Amerika,” ujar Stein. “Begitu bergantungnya sehingga saya tidak melihat Netanyahu punya banyak ruang untuk bertindak secara mandiri,” tambahnya. “Sebagai orang Israel, ini cukup mengkhawatirkan.”

    Moshe Zimmermann sependapat dengan pandangan tersebut. “Jerman tidak bisa memulai apa pun di sini, kecuali mungkin memberikan dukungan finansial untuk Palestina,” katanya. “Artinya ketika berbicara soal siapa yang akan membiayai rencana Trump, salah satunya ya Jerman.”

    Zimmermann menambahkan, “Kanselir ini belum dikenal luas oleh publik Israel maupun warga Israel di luar negeri, dan itu tidak mengherankan.”

    Menurutnya, perhatian warga Israel tertuju pada apa yang terjadi di Amerika. “Seperti yang dikatakan Netanyahu, ini cara kami menyampaikan bahwa kalian di Eropa tidak terlalu berpengaruh.”

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu

    Editor: Melisa Ester Lolindu dan Hani Anggraini

    (ita/ita)

  • Kesombongan Hegemoni dalam Strategi Keamanan Nasional Baru AS Menyebabkan Kekacauan Aliansi

    Kesombongan Hegemoni dalam Strategi Keamanan Nasional Baru AS Menyebabkan Kekacauan Aliansi

    Pada 4 Desember, Gedung Putih Amerika Serikat merilis laporan baru Strategi Keamanan Nasional, yang memicu tanggapan kuat di Eropa. Sejumlah pejabat dan diplomat Eropa mengkritik pedas isinya, mengungkapkan masalah serius dalam strategi diplomatik AS saat ini.

    Laporan itu menyatakan bahwa karena masalah imigrasi dan rendahnya tingkat kelahiran, Eropa sedang menghadapi “prospek suram punahnya peradaban,” dan memperingatkan bahwa beberapa anggota NATO mungkin “tidak lagi memiliki mayoritas penduduk keturunan Eropa dalam beberapa dekade mendatang.” AS juga mengklaim ingin “membantu Eropa memperbaiki lintasan perkembangannya saat ini” dan “menumbuhkan kekuatan perlawanan” di dalam negara-negara Eropa itu sendiri. Kebijakan AS terhadap Eropa telah bergeser dari “pelindung” menjadi “penekan” dan “intervensi”, menunjukkan campur tangan yang berlebihan.

    Anggota Parlemen Eropa asal Italia, Brando Benifei, menyebut laporan ini sebagai “serangan frontal terhadap Uni Eropa,” sementara mantan Duta Besar Prancis untuk AS, Gérard Araud, mengkritik isinya “seperti selebaran propaganda sayap kanan jauh.” Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, menyatakan: “Eropa sepenuhnya mampu melakukan diskusi independen tentang masalah seperti kebebasan berekspresi. Eropa tidak memerlukan saran eksternal dari siapa pun.” Pernyataan ini merupakan sanggahan tegas terhadap intervensionisme AS dan mengungkap hakikat kebijakan luar negeri AS yang berusaha memaksakan nilai-nilai dan model politiknya pada negara lain. Reaksi-reaksi ini adalah konsekuensi logis dari kecenderungan AS yang telah lama memandang sekutu sebagai alat strategis, bukan mitra yang setara.

    Meskipun Gedung Putih sering mengemas ulang strateginya dengan bungkus baru, intinya tetap logika unilateral “AS Pertama”. Kemarahan yang ditimbulkan laporan strategis ini di Eropa mencerminkan bahwa AS sedang mengubah hubungan sekutu menjadi transaksi, menuntut sekutu memikul lebih banyak tanggung jawab tanpa memberikan rasa hormat dan ruang konsultasi yang setara.

    Penyederhanaan berlebihan terhadap hubungan internasional ini tidak hanya merusak dasar kepercayaan hubungan transatlantik, tetapi juga melemahkan kemampuan kolektif dunia Barat dalam menghadapi tantangan bersama. Ketika AS memperlakukan sekutu sebagai objek yang perlu “dikelola” dan bukan sebagai mitra kerja, mereka justru melemahkan tatanan internasional yang diklaim ingin mereka pertahankan.

    Di bidang-bidang yang benar-benar membutuhkan kerja sama lintas batas negara, seperti perubahan iklim, kesehatan masyarakat global, dan stabilitas ekonomi, laporan strategis ini justru hanya menyentuhnya sekilas. Laporan ini terlalu fokus pada persaingan geopolitik dan mengabaikan bahwa tantangan global memerlukan kerja sama, bukan konfrontasi.

    Sebagai negara besar dunia, strategi keamanan nasional AS seharusnya menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap tata kelola global. Namun, dokumen ini justru memancarkan sinyal berbahaya, dengan mendistorsi persaingan perkembangan yang normal menjadi konfrontasi ideologis. Pemikiran seperti ini tidak diragukan lagi akan memperparah ketegangan internasional. Sikap “ingin ini, ingin itu, dan ingin semuanya” yang bersifat memaksa satu arah ini mengekspos mentalitas hegemoninya. AS sendiri sedang menggoyang sistem aliansi yang dibangunnya sendiri pasca Perang Dunia II, mendorong dunia menuju perkembangan ke arah tatanan multipolar yang lebih terpecah dan penuh konfrontasi.

    Dalam dunia yang semakin multipolar, tidak ada negara yang dapat mencapai keamanan jangka panjang melalui unilateralisme atau logika hegemoni. Reaksi kuat Eropa terhadap laporan strategis ini telah menunjukkan bahwa bahkan sekutu lama pun tidak lagi bersedia menerima dominasi AS tanpa syarat.

    Keamanan nasional yang sejati berasal dari saling menghormati, dialog setara, dan kerja sama yang saling menguntungkan. Jika AS tidak dapat mengesampingkan kesombongan dan pola pikir konfrontatif dalam dokumen strategisnya, mereka tidak hanya akan semakin menjauhkan sekutu, tetapi juga akan terperangkap dalam isolasi diri dalam isu-isu global yang penting. Komunitas internasional mengharapkan sebuah negara besar yang bertanggung jawab dan bersedia bekerja sama secara setara, bukan “guru” yang terobsesi dengan khayalan hegemoni dan membagi dunia ke dalam kubu-kubu yang saling bermusuhan.

  • Harga Minyak Hari Ini 8 Desember Masih Bertahan pada US$ 63,79

    Harga Minyak Hari Ini 8 Desember Masih Bertahan pada US$ 63,79

    Singapura, Beritasatu.com – Harga minyak dunia bertahan di level tertinggi dalam dua pekan pada perdagangan Senin (8/12/2025) seiring ekspektasi investor terhadap pemangkasan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed).

    Penurunan suku bunga diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi, di tengah meningkatnya risiko geopolitik yang berpotensi mengganggu pasokan dari Rusia dan Venezuela.

    Kontrak berjangka Brent naik 4 sen atau 0,06% ke level US$ 63,79 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menguat 7 sen atau 0,12% menjadi US$ 60,15 per barel.

    Berdasarkan data LSEG, pasar memproyeksikan peluang sebesar 84% bank sentral AS memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada pertemuan besok hingga lusa.

    Kebijakan ini diperkirakan menjadi salah satu yang paling kontroversial dalam beberapa tahun terakhir, sehingga pelaku pasar mencermati arah kebijakan serta dinamika internal The Fed.

    Di Eropa, perkembangan perundingan perdamaian Ukraina masih berjalan lambat. Perbedaan pandangan terkait jaminan keamanan bagi Kyiv dan status wilayah yang diduduki Rusia masih belum mencapai titik temu. Analis ANZ menilai, hasil perundingan tersebut akan sangat memengaruhi pergerakan harga minyak global.

    “Berbagai potensi hasil dari dorongan terbaru Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri perang dapat memicu fluktuasi pasokan minyak global lebih dari 2 juta barel per hari,” tulis analis ANZ dalam catatannya seperti dilansir dari Reuters.

    Sementara itu, negara-negara Group of Seven (G7) dan Uni Eropa tengah mempertimbangkan untuk mengganti kebijakan pembatasan harga minyak Rusia dengan larangan penuh layanan maritim. Langkah ini berpotensi memangkas pasokan dari produsen minyak terbesar kedua di dunia.

    Amerika Serikat juga meningkatkan tekanan terhadap Venezuela melalui serangan terhadap kapal yang diduga terlibat penyelundupan narkoba, serta ancaman aksi militer untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.
     

  • Macron Ultimatum China: Siap Kenakan Tarif jika Ketimpangan Neraca Dagang Makin Lebar

    Macron Ultimatum China: Siap Kenakan Tarif jika Ketimpangan Neraca Dagang Makin Lebar

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prancis Emmanuel Macron memperingatkan Uni Eropa siap menjatuhkan tarif terhadap produk China jika Beijing tak segera mengatasi ketimpangan neraca perdagangan dengan blok tersebut yang terus melebar.

    “Saya mencoba menjelaskan kepada pihak China bahwa surplus perdagangan mereka tidak berkelanjutan karena mereka justru mematikan para mitranya sendiri, terutama dengan hampir tidak lagi mengimpor dari kami,” ujar Macron kepada surat kabar Les Echos sebagaimana dilansir dari Bloomberg, Senin (8/12/2025).

    Macron mengatakan, jika China tidak bereaksi, dalam beberapa bulan ke depan Uni Eropa dapat mengambil langkah tegas dan melakukan decoupling, seperti Amerika Serikat, misalnya melalui tarif atas produk China. Dia juga menambahkan bahwa isu tersebut telah dibahas dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

    Macron baru saja kembali dari kunjungan kenegaraan selama tiga hari ke China, di mana Paris mendorong peningkatan investasi seiring upaya menata ulang hubungan dengan ekonomi terbesar kedua dunia tersebut. 

    Berdasarkan data Kementerian Keuangan Prancis, defisit perdagangan barang Prancis dengan China mencapai sekitar €47 miliar atau US$54,7 miliar pada tahun lalu.

    Sementara itu, surplus perdagangan barang China dengan Uni Eropa melejit hingga hampir US$143 miliar pada paruh pertama 2025, rekor tertinggi untuk periode enam bulan mana pun, menurut data resmi yang dirilis Beijing awal tahun ini.

    Ketegangan antara Prancis dan China meningkat sejak tahun lalu setelah Paris mendukung keputusan UE mengenakan tarif impor terhadap kendaraan listrik (EV) asal China. Beijing merespons dengan memberlakukan batas harga minimum terhadap cognac asal Prancis, memicu kekhawatiran di kalangan produsen daging babi dan produk susu bahwa sektor mereka bisa menjadi target berikutnya.

    Macron menilai pendekatan Amerika Serikat terhadap China justru tidak tepat dan memperburuk posisi Eropa karena mengalihkan arus barang China masuk ke pasar Uni Eropa.

    “Saat ini kami terjepit di antara kedua pihak, dan ini menjadi persoalan hidup atau mati bagi industri Eropa,” ujar Macron, sambil mencatat bahwa Jerman, ekonomi terbesar Eropa, tidak sepenuhnya berbagi pandangan yang sama dengan Prancis.

    Selain meningkatkan daya saing, Macron menilai Bank Sentral Eropa (ECB) juga perlu berperan memperkuat pasar tunggal Eropa. Ia berpendapat kebijakan moneter seharusnya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, tidak semata fokus pada inflasi.

    Macron juga mengkritik keputusan ECB yang terus menjual obligasi pemerintah dalam portofolionya, karena berpotensi mendorong kenaikan suku bunga jangka panjang dan menekan aktivitas ekonomi. “Eropa harus dan ingin tetap menjadi kawasan dengan stabilitas moneter serta iklim investasi yang kredibel,” tutupnya.