Negara: Uni Eropa

  • Pengusaha Sawit Semringah, Implementasi EUDR Ditunda hingga 2026

    Pengusaha Sawit Semringah, Implementasi EUDR Ditunda hingga 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyambut positif penundaan implementasi aturan antideforestasi dalam European Union Deforestation Regulation (EUDR) hingga 2026.

    Ketua Umum Gapki Eddy Martono menyampaikan rentang waktu satu tahun tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengatur lebih lanjut tata kelola pengelolaan sawit, terkhusus dari sisi petani.

    “Penundaan ini bagus, paling tidak masih ada waktu 1 tahun lagi mempersiapkan sebelum EUDR benar-benar diimplementasikan, utamanya untuk petani atau smallholder,” kata Eddy saat dihubungi Bisnis, Kamis (25/9/2025).

    Dia menjelaskan, permasalahan yang terjadi saat ini adalah tidak adanya moratorium untuk petani maupun masyarakat, sementara mereka mengirim tandan buah segar (TBS) kelapa sawit ke perusahaan-perusahaan.

    Menurut Eddy, apabila proses ini tergolong dalam kategori deforestasi yang ditetapkan Uni Eropa, maka minyak sawit yang dihasilkan tidak dapat masuk ke Benua Biru.

    Sementara itu dari sisi perusahaan, dia memaparkan tak akan ada kendala berarti dari penerapan EUDR kelak, mengingat moratorium ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air telah dimulai sejak 2011.

    Hal ini kemudian dipertegas dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/2019 yang menghentikan izin baru pembukaan perkebunan sawit, selaras dengan tenggat waktu EUDR mengenai penggunaan lahan yang termasuk deforestasi pada 31 Desember 2020.

    “Maka dalam waktu 1 tahun perpanjangan, yang harus diselesaikan adalah legalitas petani dan negosiasi kepada EU agar untuk sementara waktu petani dikecualikan,” terangnya.

    Ketika ditanya perihal pengaruh penundaan aturan tersebut terhadap nilai ekspor sawit, dia juga menjelaskan bahwa belum ada perubahan hingga saat ini. 

    “Jadi dengan ditunda tidak berarti ekspor akan naik, sebab EUDR memang belum berlaku,” pungkas Eddy.

    Berdasarkan catatan Bisnis, Uni Eropa berencana kembali menunda implementasi aturan antideforestasi dalam European Union Deforestation Regulation atau EUDR selama setahun. 

    Regulasi ini berisi larangan impor komoditas terkait alih fungsi hutan seperti minyak sawit, kedelai, kakao, kopi, daging sapi, dan kayu.

    Mengutip Reuters, Komisioner Lingkungan Komisi Eropa, Jessika Roswall pada Selasa (23/9/2025) menyampaikan bahwa untuk kedua kalinya, peluncuran aturan tersebut akan ditunda selama setahun. EUDR awalnya bakal mulai bergulir pada 30 Desember 2025 setelah sempat mengalami penundaan selama setahun pada akhir 2024.

  • Bos Pengusaha Beberkan Dampak ICA-CEPA ke Ekspor & Investasi RI

    Bos Pengusaha Beberkan Dampak ICA-CEPA ke Ekspor & Investasi RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha menilai penandatanganan Indonesia—Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA) menjadi langkah strategis dan membuka babak baru bagi ekspor serta investasi Indonesia.

    Pengusaha memandang, perjanjian ICA—CEPA dapat membuka akses ke pasar Kanada yang selama ini kurang tergarap dan memiliki daya beli tinggi serta potensi besar bagi produk-produk unggulan nasional.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menilai, perjanjian ICA-CEPA sebagai momentum strategis untuk memperkuat hubungan perdagangan dan investasi kedua negara.

    “Kami melihat dengan ICA—CEPA ini, Kanada dapat menjadi mitra dagang dan investasi strategis Indonesia untuk membantu percepatan diversifikasi ekspor dan perluasan sumber investasi asing di Indonesia,” kata Shinta kepada Bisnis, Kamis (25/9/2025).

    Menurut Shinta, perjanjian ICA—CEPA hadir pada saat yang tepat mengingat tekanan signifikan pada kinerja ekspor dan investasi Indonesia akibat dampak dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS). 

    “Ini [ICA—CEPA] khususnya penting ketika kinerja ekspor dan investasi Indonesia mengalami tekanan yang tinggi karena efek langsung atau tidak langsung dari kebijakan perdagangan AS,” ujarnya.

    Dari sisi potensi pasar, ujar Shinta, Kanada memiliki peluang ekonomi besar dengan populasi lebih dari 40 juta konsumen dengan daya beli rata-rata lebih dari US$53.000 per tahun. Populasi dan daya beli Kanada lebih tinggi dibandingkan negara-negara rekan dagang utama Indonesia, seperti Belanda dan Australia.

    “Bahkan sebetulnya potensi pasar Kanada tersebut lebih comparable dengan beberapa pasar-pasar ekspor yang lebih tradisional atau lebih dikenal bagi Indonesia seperti UK, Jerman, hingga Korea,” terangnya.

    Menurutnya, sejumlah produk Indonesia yang berpotensi diekspor ke Kanada terdiri dari tekstil, sepatu, ban kendaraan, furniture, produk perikanan, komponen kendaraan dan elektronik, hingga produk pangan dan perkebunan tropis seperti CPO, teh, kopi, dan buah-buahan tropis.

    Bahkan, Shinta menilai standar produk Kanada juga relatif sejalan dengan pasar AS dan Uni Eropa, sehingga pelaku usaha yang sudah mengekspor ke pasar tradisional tersebut dapat dengan relatif mudah memasuki pasar Kanada.

    “ICA—CEPA sangat strategis untuk menangkap potensi pasar Kanada,” imbuhnya.

    Berdasarkan laporan Economic Impact Assessment 2021, Indonesia berpotensi memperoleh peningkatan penerimaan produk domestik bruto (PDB) sebesar US$1,4 miliar dan peningkatan ekspor ke Kanada sebesar US$1,1 miliar atau naik 47% dari baseline.

    Meski begitu, Shinta mengingatkan bahwa pasar Kanada masih relatif kurang dikenal oleh pelaku usaha nasional sehingga perlu adanya sosialisasi, fasilitasi, edukasi, dan dukungan pemerintah agar ekspor Indonesia ke Kanada dapat tumbuh signifikan dan menyeimbangkan defisit perdagangan bilateral yang ada.

    “Jadi kunci keberhasilan kita terletak pada seberapa gencar dan efektif pemerintah Indonesia dapat memperkenalkan dan memfasilitasi pelaku usaha atau eksportir nasional untuk penetrasi pasar Kanada melalui penggunaan ICA—CEPA,” ujarnya.

    Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang melihat, perjanjian ICA—CEPA dapat membuka peluang besar bagi ekspor produk unggulan Indonesia seperti agrikultur, yakni kopi, teh, dan rempah-rempah.

    Selain itu, juga membuka peluang pada produk makanan dan minuman olahan, karet, tekstil dan garmen, produk kayu dan furnitur, serta produk organik dan aneka produk unggulan/khas berbagai daerah di Indonesia.

    “Harapan kami dengan adanya kesepakatan ICA—CEPA target ekspor produk Indonesia ke Kanada bisa meningkat hingga US$11,8 miliar atau sekitar Rp196,94 triliun pada 2030,” ujar Sarman kepada Bisnis.

    Untuk itu, lanjut dia, kementerian terkait bersama Kadin perlu melakukan penjajakan bisnis (business matching) dengan pengusaha Kanada agar terjalin komunikasi yang efektif dan saling mengenal kebutuhan pasar.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso sebelumnya mengatakan ICA—CEPA menandai babak baru hubungan ekonomi antara Indonesia dan Kanada. Menurut Budi, ICA—CEPA menandai kerja sama dagang komprehensif pertama Indonesia dengan negara di kawasan Amerika Utara, dan yang pertama bagi Kanada dengan negara di Asia Tenggara.

    “Perjanjian ini [ICA—CEPA] membuka akses pasar yang lebih luas, serta memperkuat daya saing produk dan jasa Indonesia di Kanada,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Kamis (25/9/2025).

    Melalui ICA—CEPA, kata Budi, lebih dari 90% atau sekitar 6.573 pos tarif Indonesia mendapat preferensi di pasar Kanada. Dalam hal ini, sejumlah produk yang potensial dari Indonesia, mulai dari tekstil, alas kaki, furnitur, makanan olahan, elektronik ringan dan elektronik otomotif, hingga sarang burung walet diprediksikan akan semakin kompetitif.

    Bukan hanya itu, sejumlah produk akan langsung menikmati tarif 0% saat perjanjian sudah berlaku (entry into force), seperti makanan olahan, hasil laut, produk kerajinan berbahan serat alam, peralatan rumah tangga, hingga granit dan marmer.

    Sementara itu, Indonesia membuka pasar sebesar 85,54% atau sekitar 9.764 pos tarif untuk produk prioritas Kanada, antara lain daging sapi beku, gandum, kentang, makanan hasil laut, dan makanan olahan.

    Budi menuturkan bahwa perjanjian ICA—CEPA harus dilihat lebih luas dari sekadar angka dan tarif. Perjanjian ini justru membuka peluang bagi pelaku usaha dan generasi muda Indonesia untuk menembus pasar Kanada.

    Di samping itu, investor dan perusahaan Kanada akan memiliki peluang untuk menemukan mitra strategis di Indonesia.

    “Tugas kita selanjutnya adalah memastikan perjanjian ini memberi manfaat nyata bagi masyarakat, pelaku usaha, dan investor di kedua negara. Indonesia terbuka untuk kemitraan,” tandasnya.

  • Ekonom Beberkan Keuntungan RI Usai ICA-CEPA Resmi Diteken

    Ekonom Beberkan Keuntungan RI Usai ICA-CEPA Resmi Diteken

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai penandatanganan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia dengan Kanada atau Indonesia—Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA) dapat membuka peluang perdagangan dan investasi lebih luas bagi kedua negara. Perjanjian ICA—CEPA resmi diteken pada Rabu (24/9/2025) di Ottawa, Kanada.

    Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai perjanjian ICA—CEPA sebagai kelanjutan positif dari strategi pemerintah dalam memperluas jaringan perdagangan dengan negara mitra.

    Adapun sehari sebelum ICA—CEPA diteken, pemerintah telah merampungkan perjanjian Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU—CEPA) pada Selasa (23/9/2025). Diketahui, negosiasi antara Indonesia dengan Uni Eropa memakan waktu selama 10 tahun.

    “Kita perlu mengapresiasi prestasi ini, setelah FTA [Free Trade Agreement] dengan Peru, sekarang dengan Kanada, dan dalam waktu dekat dengan Uni Eropa. Dua jempol untuk Pak Prabowo Subianto yang telah memberi energi tambahan bagi diplomasi politik dan perdagangan kita,” kata Wijayanto kepada Bisnis, Kamis (25/9/2025).

    Menurutnya, perjanjian ICA—CEPA membawa potensi besar karena struktur produk ekspor antara Indonesia dan Kanada bersifat saling melengkapi dan tak bersaing secara langsung.

    Kendati demikian, Wijayanto mengingatkan bahwa potensi tersebut hanya bisa dioptimalkan jika Indonesia mampu meningkatkan daya saing produk dalam negeri.

    “Tentunya ini merupakan peluang bagus. Produk kita dan Kanada tidak bersaing, justru komplementari sifatnya. Tetapi, apapun itu kendati pintu sudah terbuka, apakah kita akan mampu memanfaatkan kesempatan ini sangat tergantung dari daya saing produk kita,” terangnya.

    Terlebih, dia menyebut, perbaikan iklim investasi dan penguatan industri manufaktur nasional juga menjadi pekerjaan rumah mendesak bagi pemerintah agar Indonesia tak hanya menjadi pasar, melainkan pemain utama dalam rantai nilai global.

    “Perbaikan iklim investasi dan daya saing industri merupakan PR mendesak kita,” ujarnya.

    Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan ICA—CEPA menandai babak baru hubungan ekonomi antara Indonesia dan Kanada. Menurutnya, ICA—CEPA menandai kerja sama dagang komprehensif pertama Indonesia dengan negara di kawasan Amerika Utara, dan yang pertama bagi Kanada dengan negara di Asia Tenggara.

    “Perjanjian ini [ICA—CEPA] membuka akses pasar yang lebih luas, serta memperkuat daya saing produk dan jasa Indonesia di Kanada,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Kamis (25/9/2025).

    Melalui ICA—CEPA, ujar Budi, lebih dari 90% atau sekitar 6.573 pos tarif Indonesia mendapat preferensi di pasar Kanada. Dalam hal ini, sejumlah produk yang potensial dari Indonesia, mulai dari tekstil, alas kaki, furnitur, makanan olahan, elektronik ringan dan elektronik otomotif, hingga sarang burung walet diprediksikan akan semakin kompetitif.

    Tak hanya itu, sejumlah produk akan langsung menikmati tarif 0% saat perjanjian sudah berlaku (entry into force), seperti makanan olahan, hasil laut, produk kerajinan berbahan serat alam, peralatan rumah tangga, hingga granit dan marmer.

    Sementara itu, Indonesia membuka pasar sebesar 85,54% atau sekitar 9.764 pos tarif untuk produk prioritas Kanada, antara lain daging sapi beku, gandum, kentang, makanan hasil laut, dan makanan olahan.

    Budi menuturkan bahwa perjanjian ICA—CEPA harus dilihat lebih luas dari sekadar angka dan tarif. Perjanjian ini justru membuka peluang bagi pelaku usaha dan generasi muda Indonesia untuk menembus pasar Kanada.

    Di samping itu, investor dan perusahaan Kanada akan memiliki peluang untuk menemukan mitra strategis di Indonesia.

    “Tugas kita selanjutnya adalah memastikan perjanjian ini memberi manfaat nyata bagi masyarakat, pelaku usaha, dan investor di kedua negara. Indonesia terbuka untuk kemitraan,” ucapnya.

    Sepanjang Januari—Juli 2025, total perdagangan Indonesia dan Kanada mencapai US$2,72 miliar, naik sekitar 30% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$2,09 miliar.

    Data tersebut menunjukkan, nilai ekspor Indonesia mencapai US$1,01 miliar, sementara impor dari Kanada mencapai US$1,71 miliar.

    Kemendag mencatat, produk ekspor utama Indonesia terdiri dari karet alam, alas kaki, kakao, mentega dan minyak nabati, serta tekstil. Sedangkan impor utama dari Kanada, yaitu gandum, pupuk, kedelai, bubur kayu kimia, dan emas.

  • Penerapan UU PDP Belum Optimal Tanpa Lembaga Pengawas

    Penerapan UU PDP Belum Optimal Tanpa Lembaga Pengawas

    Bisnis.com, JAKARTA— Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disahkan pada 2022 disebut sebagai tonggak penting dalam memperkuat regulasi privasi dan keamanan data digital di Indonesia. 

    Namun, dari perspektif keamanan siber, implementasi aturan tersebut dinilai tidak sederhana. Pakar keamanan siber sekaligus Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha menekankan keberhasilan UU PDP sangat bergantung pada pembentukan lembaga pengawas yang diamanatkan dalam undang-undang.

    “Tanpa adanya otoritas independen yang bertugas mengawasi, memberi sanksi, serta memastikan kepatuhan, eksekusi UU PDP menghadapi tantangan serius, baik secara teknis maupun kelembagaan,” kata Pratama kepada Bisnis pada Kamis (25/9/2025) 

    Menurutnya, salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan antara regulasi dan kesiapan infrastruktur siber di Indonesia. Banyak organisasi, terutama sektor swasta menengah ke bawah, belum memiliki standar keamanan data yang memadai. Kondisi tersebut diperburuk dengan rendahnya literasi digital, baik di kalangan masyarakat maupun pelaku usaha.

    Dia mengatakan, ketika UU PDP menuntut adanya standar teknis dan prosedural dalam pengelolaan data pribadi, implementasinya berisiko terhambat oleh keterbatasan sumber daya, kurangnya tenaga ahli keamanan siber, serta belum adanya model penegakan hukum yang jelas.

    Meski demikian, Pratama mengakui UU PDP tetap memberikan kerangka hukum yang lebih kuat untuk mengurangi risiko kebocoran data dan serangan siber. Adanya kewajiban notifikasi insiden, persetujuan eksplisit pemilik data hingga sanksi administratif maupun pidana, pada prinsipnya mendorong perusahaan meningkatkan standar keamanan.

    Namun, aturan hukum ini bukan berarti mampu menutup seluruh celah teknis maupun regulasi. 

    “Dari sisi teknis, serangan seperti ransomware, phishing, hingga supply chain attack tetap dapat mengeksploitasi kelemahan sistem yang tidak terlindungi dengan baik, meski perusahaan sudah berusaha mematuhi regulasi,” kata Pratama.

    Lebih jauh, dia menekankan absennya lembaga pengawas membuat sanksi dalam UU PDP belum bisa dijalankan secara tegas. Hal ini menimbulkan ruang abu-abu di mana perusahaan bisa saja hanya memenuhi syarat administratif tanpa benar-benar memperkuat pertahanan siber mereka.

    “Para peretas akan tetap memanfaatkan kelemahan tersebut, khususnya karena mereka sadar bahwa pengawasan dan penegakan hukum belum berjalan optimal,” ungkapnya.

    Dalam konteks global, Pratama mengingatkan meningkatnya serangan siber lintas negara dan tensi perang dagang berbasis teknologi membuat Indonesia berada pada posisi rawan. 

    Negara dengan standar perlindungan data ketat, seperti Uni Eropa dengan General Data Protection Regulation (GDPR), cenderung lebih tegas dalam melindungi kedaulatan digitalnya. Sementara Indonesia menurut Pratama masih dalam tahap transisi, yang berarti data pribadi warganya berpotensi menjadi sasaran empuk bagi aktor asing, baik peretas negara maupun kelompok kriminal transnasional.

    Pratama pun menegaskan, jika UU PDP tidak ditegakkan secara optimal, konsekuensinya bisa serius. Masyarakat akan rentan menjadi korban pencurian identitas, penipuan digital, atau eksploitasi data untuk manipulasi politik dan ekonomi. 

    “Di sisi lain, perusahaan menghadapi risiko besar berupa kerugian finansial, reputasi, hingga hilangnya kepercayaan publik dari konsumen maupun mitra internasional,” katanya. 

  • Pemerintah Ingin Ekonomi Digital Jadi Sumber Pertumbuhan, Bagaimana Nasib Padat Karya?

    Pemerintah Ingin Ekonomi Digital Jadi Sumber Pertumbuhan, Bagaimana Nasib Padat Karya?

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pemerintah akan menjadikan ekonomi digital sebagai mesin pertumbuhan baru ke depan.

    Airlangga menjelaskan selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang komoditas primer seperti batu bara, CPO, nikel, hingga migas. Meski masih akan dipertahankan, namun Airlangga menyatakan Indonesia perlu mesin ekonomi baru.

    “Indonesia kuat karena komoditas, tahun 70-an karena oil boom, di tahun 2000-an kita kuat dengan sawit, hilirisasi. Tetapi next engine of growth [mesin pertumbuhan baru] itu harus sumber daya manusia dan digitalisasi. Baru kita bisa menyusul kemajuan yang ada di Jepang, Korea, China,” kata Airlangga dalam Kagama Leaders Forum #3 di Kantor RRI, Jakarta, Rabu (25/9/2025).

    Untuk capai itu, dia mengungkapkan pemerintah telah menandatangani kesepakatan dagang komprehensif dengan Uni Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) pada Selasa (23/9/2025).

    Airlangga tidak menampik sejumlah negara Asean lain seperti Vietnam dan Singapura juga sudah terlebih dahulu mempunyai CEPA dengan Uni Eropa. Kendati demikian, menurutnya, CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa lebih mutakhir karena juga menyangkut ekonomi digital.

    “Perjanjian ini adalah yang paling terakhir, paling modern, paling up to date, karena perjanjian dagang sebelumnya itu tidak ada digital cluster-nya, tidak ada terkait dengan digitalisasi,” ungkapnya.

    Skala Ekonomi Indonesia

    Apalagi, Airlangga mencatat skala nilai ekonomi Indonesia dengan 27 negara yang tergabung dalam Uni Eropa mencapai US$31 triliun atau sekitar Rp517 kuadriliun (asumsi kurs JISDOR 24 September 2025 senilai Rp16.680 per dolar AS). Adapun total penduduk Indonesia dan Uni Eropa mencapai 732 juta jiwa.

    Oleh sebab itu, dia menekankan pentingnya Indonesia mempersiapkan diri untuk memanfaatkan potensi ekonomi digital yang besar lewat perjanjian IEU-CEPA

    Airlangga menambahkan, kesiapan digital Indonesia sudah diakui secara internasional. Dia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di Asean yang sudah dinyatakan siap mengadopsi teknologi digital oleh UNESCO melalui Readiness Assessment Methodology.

    Selain itu, sambungnya, Indonesia terus membangun infrastruktur digital meski menghadapi tantangan geografis. Dia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki  17 ribu pulau sehingga tidak seluruh wilayah bisa dijangkau melalui fiber optik.

    Oleh sebab itu, Airlangga menjelaskan bahwa Indonesia salah satu negara awal yang menggunakan Low Earth Orbit Satellite. Menurutnya, saat ini sudah ada 100 ribu pelanggan Low Earth Orbit Satellite di daerah 3 terdepan, terluar, dan tertinggal.

    Dengan infrastruktur yang berkembang, pemerintah menargetkan kebutuhan 10,7 juta talenta digital hingga 2030. Untuk mendukung hal ini, Indonesia telah menandatangani sejumlah kerja sama internasional termasuk Tech X Program dengan Singapura untuk membuka peluang kerja digital lintas negara.

    “Jadi talenta digital, lulusan [keahlian digital] ataupun siapapun yang bersedia untuk bekerja di negara lain, itu pintunya terbuka,” tutup Airlangga.

    Sitimulus Padat Karya 

    Presiden Prabowo Subianto meluncurkan sejumlah program stimulus perekonomian guna memacu pertumbuhan ekonomi pada 2025 dan 2026. Paket stimulus juga ada yang disiapkan khusus untuk mendorong penyerapan tenaga kerja.

    Salah satu sektor yang paling banyak mendapatkan manfaat dari stimulus ini adalah sektor padat karya. Setidaknya, sebelum pengumuman yang dilakukan hari ini, Senin (15/9/2025), sektor padat karya sudah mendapatkan stimulus berupa pembebasan pajak karyawan atau Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP).

    “Terkait dengan perluasan PPh 21 ditanggung pemerintah, yang kemarin sudah diperlakukan untuk sektor padat karya,” terang Menko Perekonomian Airlangga dikutip, Selasa (16/9/2025).

    Pemerintah pun akan menanggung PPh 21 dari sektor padat karya sampai dengan 2026. Pembebasan pajak karyawan itu akan menyasar pada industri alas kaki, tekstil, pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang kulit. Target penerima adalah bagi mereka yang berpenghasilan di bawah Rp10 juta per bulan, dan menyasar sebanyak 1,7 juta pekerja.

    “Alokasi tahun ini sudah disediakan Rp800 miliar. Dan ini pun akan dilanjutkan tahun depan,” kata Menko Perekonomian sejak 2019 itu.

    Berikut daftar stimulus perekonomian yang akan diterima oleh sektor padat karya Prabowo:

    1. PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor padat karya sampai dengan 2026. Sasaran industri yakni alas kaki, tekstil, pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang kulit, dengan target penerima 1,7 juta pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp10 juta per bulan. Anggaran yang disiapkan Rp800 miliar tahun ini dan dilanjutkan hingga tahun depan.

    2. Perluasan diskon iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) pada 2026 hingga ke petani, pedagang, nelayan, buruh bangunan, pekerja rumah tangga. Targetnya 9,9 juta orang dan perkiraan anggarannya Rp753 miliar.

    3. Padat Karya Tunai (cash for work) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) untuk 609.465 orang.

    4. Paket program penyerapan tenaga kerja untuk program prioritas yakni Koperasi Desa Merah Putih, diperkirakan bisa menyerap 681.000 dan targetnya mencapai 1 juta orang pada Desember 2025.

    5. Paket program penyerapan tenaga kerja untuk Kampung Nelayan Merah Putih yang ditargetkan untuk 100 desa, dan diharapkan menyerap 8.645 tenaga kerja. Pada jangka panjang, program itu diharapkan bisa menyerap 200.000 pekerja di 4.000 titik. Kemudian, terkait revitalisasi tambak di Pantura, aksesnya 20.000 hektare dan menyerap 168.000 tenaga kerja.

    6. Paket program penyerapan tenaga kerja untuk modernisasi 1.000 kapal nelayan. Program tersebut diperkirakan bisa menciptakan 200.000 lapangan kerja baru dan menyasar kepada kapal 30 GT, 150 GT dan unitnya untuk Kampung Nelayan Merah Putih.

    7. Paket program penyerapan tenaga kerja untuk perkebunan rakyat meliputi penanaman kembali 870.000 hektare oleh Kementerian Pertanian, Harapannya bisa membuka lebih dari 1,6 juta lapangan kerja, dengan komoditas prioritas antara lain, tebu, kakao, kelapa, kopi, dan pala.

  • IEU-CEPA Diteken, Kadin: Jangan Sampai RI Jadi Pasar Produk Impor

    IEU-CEPA Diteken, Kadin: Jangan Sampai RI Jadi Pasar Produk Impor

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mewanti-wanti agar kesepakatan dalam Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) tidak membuat Indonesia menjadi pasar bagi produk impor Eropa. 

    Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, kesepakatan yang akan berlaku efektif pada 2027 tersebut menjadi peluang besar untuk meningkatkan akses ke pasar Uni Eropa, transfer teknologi antar kedua negara, dan foreign direct investment (FDI). 

    “Tetapi harus mengutamakan prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak. Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan pasar bagi produk impor,” kata Saleh kepada Bisnis, Rabu (24/9/2025). 

    Dia menekankan bahwa pemerintah tetap perlu mengutamakan kepentingan nasional ketika ingin menyetujui perjanjian ini. Meskipun tak dipungkiri bahwa IEU-CEPA menjadi angin segar di tengah ketidakpastian pasar global. 

    Pengusaha menilai hal ini dapat menjadi cara bagi Indonesia untuk diversifikasi pasar dan rantai pasok sehingga dapat mendukung perkembangan industri dalam negeri. 

    Selain kerja sama antarpemerintah, pelaku usaha juga dapat memanfaatkan kesepakatan tersebut untuk meningkatkan kerja sama sesama business-to-business (B2B) yang memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan peningkatan kerja sama investasi. 

    “Kami juga harus mempelajari regulasi teknis dan ketentuan yang berlaku dalam kerangka kerja sama tersebut sehingga dapat memanfaatkan fasilitas kerja sama secara optimal,” imbuhnya. 

    Untuk bersiap jelang pemberlakuan efektif IEU-CEPA 2027 mendatang, Kadin menilai pemerintah harus mulai melakukan harmonisasi regulasi dan standar agar produk Indonesia dapat diakui di pasar Uni Eropa (mutual recognition agreement). 

    Kemudian, penyediaan infrastruktur sertifikasi dan laboratorium uji sesuai standar internasional, serta pendampingan bagi UMKM dan industri kecil melalui pelatihan, fasilitasi sertifikasi, dan dukungan pembiayaan.

    Tak hanya itu, pihaknya juga meminta perbaikan sistem logistik dan digitalisasi dokumen untuk memperlancar ekspor dan sosialisasi serta monitoring dan evaluasi berkala atas dampak implementasi IEU-CEPA terhadap industri nasional.

    Sementara itu, dari sisi pengusaha akan melakukan pemahaman menyeluruh terhadap regulasi Uni Eropa terutama terkait standar teknis, keamanan, dan keberlanjutan.

    “Lalu, pemenuhan sertifikasi internasional yang diakui di pasar Uni Eropa dan peningkatan kualitas produk dan proses produksi melalui modernisasi fasilitas dan penguatan pengendalian mutu,” jelasnya. 

    Dari segi kesiapan modal untuk membiayai sertifikasi, audit, dan investasi perbaikan fasilitas juga harus dipersiapkan, serta penguatan rantai pasok dengan memastikan legalitas dan keberlanjutan bahan baku.

    Tak kalah penting, menjalin kemitraan strategis dengan asosiasi industri maupun mitra dagang di Uni Eropa. Adapun, dalam perjanjian ini sejumlah produk lokal berpotensi makin gencar ke Eropa yakni minyak sawit, tekstil dan alas kaki.

    Sementara itu, Eropa juga mendapatkan tarif hingga 0% untuk produk dari industri pertanian, pangan, kimia, mesin, dan otomotif. Langkah ini diperkirakan akan meningkatkan ekspor UE ke Indonesia setidaknya sebesar 30%, atau sekitar €3 miliar.

  • IEU-CEPA Diteken, Ekspor Tekstil Bisa Melesat Jika Penuhi Standar Eropa

    IEU-CEPA Diteken, Ekspor Tekstil Bisa Melesat Jika Penuhi Standar Eropa

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut akses pasar ekspor ke Uni Eropa makin terbuka seiring dengan kesepakatan Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). 

    Wakil Ketua API David Leonardi mengatakan kebijakan IEU-CEPA yang akan membebaskan tarif bea masuk produk Indonesia ke Eropa dapat meningkatkan kinerja ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia pada 2027 dengan signifikan. 

    “Pertumbuhan ekspor TPT diperkirakan akan bergerak positif, meski sangat bergantung pada kemampuan industri dalam memenuhi standar kualitas, keberlanjutan, dan regulasi teknis Uni Eropa yang ketat,” kata David kepada Bisnis, dikutip pada Rabu (24/9/2025). 

    Penurunan tarif bea masuk ke Eropa membuat daya saing produk Indonesia makin kompetitif di wilayah tersebut. IEU-CEPA memberikan peluang percepatan ekspor, diversifikasi produk, dan peningkatan nilai tambah. 

    Bahkan, kebijakan tersebut juga dinilai akan mendorong masuknya investasi baru ke Indonesia, baik dari investor asing maupun domestik. 

    “Dengan terbukanya pasar Eropa, Indonesia akan makin menarik bagi investor untuk membangun pabrik, memperluas kapasitas produksi, serta meningkatkan alih teknologi dalam rantai pasok TPT,” tuturnya. 

    Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk hulu tekstil (HS 50-54) ke wilayah Eropa Barat mencapai US$24,6 juta pada 2024 dengan volume 8,17 kg, sementara ke Eropa Utara mencapai US$986,080 dengan volume 365,691 kg. 

    Di sisi lain, ekspor produk serupa ke Eropa Selatan mencapai US$24,6 juta dengan volume 8,4 juta kg pada 2024, sedangkan ekspor ke Eropa Timur mencapai US$6,5 juta dengan volume 5 juta kg pada tahun lalu. 

    Kendati demikian, David melihat terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi industri tekstil dan produk tekstil. Pertama, produk yang berbahan serat alam khususnya rayon dari Indonesia harus lulus sertifikasi European Union Best Available Techniques (EU-BAT). 

    “Jika tidak maka benang atau kain berbahan rayon Indonesia tidak dapat dipasarkan di Eropa,” tuturnya. 

    Kedua, adanya kewajiban fabric forward atau two-steps process, di mana pakaian jadi yang diekspor ke Uni Eropa harus menggunakan kain yang ditenun atau dirajut di Indonesia.

    Menurut David, ketentuan ini berpotensi meningkatkan aktivitas produksi industri pertenunan, perajutan, dan penyempurnaan kain dalam negeri. Namun, mesti didukung dengan kebijakan strategis untuk meregulasi impor kain sehingga kebutuhan bahan baku ekspor dapat dipenuhi oleh industri lokal.

    Ketiga, seluruh produk yang masuk ke pasar Eropa diwajibkan menggunakan energi ramah lingkungan, sedangkan mayoritas industri TPT Indonesia masih bergantung pada energi berbasis batu bara.

    “Ini menuntut adanya dukungan pemerintah, terutama dalam penyediaan fasilitas dan harga gas yang kompetitif, agar industri mampu bertransformasi menuju energi yang lebih bersih dan berdaya saing,” jelasnya. 

    Dengan memahami peluang, tantangan, dan potensi investasi tersebut, pihaknya berkomitmen memanfaatkan IEU-CEPA secara maksimal melalui peningkatan kapasitas produksi berbasis teknologi, pemenuhan standar keberlanjutan, serta optimalisasi bahan baku dalam negeri.

    Namun, dukungan pemerintah dan kolaborasi lintas sektor akan sangat menentukan agar perjanjian ini tidak hanya membuka pasar, tetapi juga mendorong transformasi struktural industri TPT Indonesia menjadi lebih kuat, modern, berdaya saing, dan menarik bagi investasi jangka panjang.

  • Segmen Industri Tertekan, Uni Eropa Lobi AS Kurangi Tarif Baja dan Aluminium

    Segmen Industri Tertekan, Uni Eropa Lobi AS Kurangi Tarif Baja dan Aluminium

    Bisnis.com, JAKARTA – Uni Eropa (UE) berupaya menghidupkan kembali pembahasan dengan Amerika Serikat untuk memangkas tarif impor baja dan aluminium yang dianggap membebani industri Eropa

    Kepala Perdagangan UE Maros Sefcovic dijadwalkan bertemu dengan Perwakilan Dagang AS (USTR) Jamieson Greer pekan ini di sela-sela pertemuan menteri Asean di Kuala Lumpur. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menghidupkan kembali pembahasan soal penghapusan atau pengurangan signifikan bea masuk baja dan aluminium asal Eropa.

    Sefcovic mengatakan Komisi Eropa telah mengajukan usulan untuk menetapkan tariff-rate quota dengan tarif rendah bahkan nol persen. 

    “Langkah paling logis adalah menerapkan kuota tarif rendah atau tanpa tarif sama sekali. Namun, hingga saat ini kami belum menerima tanggapan resmi dari AS,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, Rabu (24/9/2025).

    Menurut dia, isu ini sangat penting bagi industri Eropa sehingga selalu dibawa dalam setiap pembicaraan dengan AS. AS sendiri menyatakan bahwa kebijakan tarif logam ditangani oleh Departemen Perdagangan. Namun, lembaga tersebut belum memberikan komentar resmi.

    Usulan terbaru UE merupakan tindak lanjut dari kesepakatan politik perdagangan dengan AS pada Juli lalu. 

    Berdasarkan kesepakatan itu, AS menetapkan tarif 15% untuk sebagian besar produk UE, sementara UE berjanji menghapus bea masuk barang industri asal AS. Keduanya juga berkomitmen menurunkan tarif 50% terhadap baja dan aluminium asal Eropa.

    Namun, situasi makin rumit setelah AS menambahkan 400 produk baru berbahan baja dan aluminium ke dalam daftar tarif 50% pada Agustus 2025.

    “Kami sedang menyiapkan proposal konkret untuk menyelesaikan masalah ini dan langsung menyampaikannya ke pemerintahan Trump. Sayangnya, belum ada reaksi nyata,” kata Sefcovic.

    Kanselir Jerman Friedrich Merz pekan lalu menyebut solusi atas tarif tinggi baja dan aluminium sudah berada di jalurnya, meski tanpa rincian lebih lanjut. Sejumlah negara anggota UE, termasuk Jerman, sebelumnya mengkritik kesepakatan perdagangan dengan AS. 

    Namun, Komisi Eropa menegaskan bahwa kesepakatan tersebut merupakan pilihan terbaik untuk memberi kepastian bagi industri Eropa sekaligus menjaga kerja sama transatlantik dalam isu strategis seperti keamanan dan pertahanan, khususnya terkait Ukraina.

    Meski demikian, AS belum menunaikan sejumlah komitmen utama dalam kesepakatan tersebut, terutama pemangkasan tarif mobil UE dari 27,5% menjadi 15%.

    Perselisihan baja dan aluminium antara UE dan AS sudah berlangsung sejak Presiden Donald Trump pertama kali mengenakan tarif tinggi pada masa jabatan perdananya. Ketika kembali ke Gedung Putih, Trump mencabut seluruh pengecualian dan kembali menaikkan tarif menjadi 50%.

    Adapun pada 2024, Uni Eropa mengekspor sekitar 3,8 juta ton baja ke AS, turun sekitar 1 juta ton dibandingkan sebelum Trump pertama kali menjabat.

  • Rusia Tegaskan Tak Ada Pilihan Selain Lanjutkan Serangan di Ukraina

    Rusia Tegaskan Tak Ada Pilihan Selain Lanjutkan Serangan di Ukraina

    Moskow

    Kantor kepresidenan Rusia atau Kremlin menegaskan bahwa pihaknya tak punya pilihan selain melanjutkan serangan militer di Ukraina. Hal ini disampaikan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan bahwa Ukraina bisa merebut kembali seluruh wilayahnya yang diduduki Rusia selama perang.

    Pernyataan terbaru Trump itu menandai perubahan besar dalam sikapnya terhadap Rusia setelah perang berkecamuk selama tiga setengah tahun terakhir. Trump, dalam pernyataannya, juga menyebut perang telah membuat Rusia tampak seperti “macan kertas”, dengan perekonomian yang sedang merosot.

    Dalam tanggapannya, seperti dilansir AFP, Rabu (24/9/2025), juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak pernyataan “macan kertas” yang dilontarkan Trump, yang tampaknya dimaksudkan untuk menyebut Moskow lemah.

    Peskov membalas komentar Trump itu dengan mengatakan bahwa Rusia lebih diasosiasikan dengan “beruang”.

    “Istilah ‘macan kertas’ digunakan dalam kaitannya dengan ekonomi kita,” ucapnya, menepis komentar Trump.

    “Rusia lebih diasosiasikan dengan beruang. Dan beruang kertas itu tidak ada. Rusia adalah beruang sungguhan,” cetus Peskov.

    Peskov, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa Rusia tidak memiliki pilihan lainnya selain melanjutkan serangan militer terhadap Ukraina.

    “Kami melanjutkan operasi militer khusus kami untuk memastikan kepentingan kami dan mencapai tujuan (yang ditetapkan oleh Presiden Vladimir Putin),” kata Peskov, menggunakan istilah Moskow untuk menyebut invasi terhadap Ukraina.

    “Kami melakukan ini baik untuk masa kini dan masa depan negara kami. Untuk banyak generasi mendatang. Oleh karena itu, kami tidak memiliki alternatif,” tegasnya dalam wawancara dengan surat kabar Rusia.

    Dalam pernyataannya, Peskov mengakui bahwa perekonomian Rusia — yang melambat setelah tiga tahun pertumbuhan pesat dan inflasi yang membandel — menghadapi beberapa hambatan.

    “Rusia menjaga stabilitas makroekonominya,” ujar Peskov, sembari menambahkan: “Iya, Rusia sedang mengalami ketegangan dan masalah-masalah di berbagai sektor ekonomi.”

    Trump, dalam pernyataan via media sosial miliknya, Truth Social pada Selasa (23/9), mengatakan Ukraina, dengan didukung Uni Eropa, bisa memulihkan perbatasannya seperti sebelum invasi Rusia. Dia juga mencetuskan Kyiv bertindak sekarang saat Moskow menghadapi masalah ekonomi “besar”.

    “Putin dan Rusia berada dalam masalah ekonomi BESAR, dan inilah saatnya bagi Ukraina untuk bertindak,” cetusnya.

    Trump juga mengatakan perang membuat Rusia tampak seperti “macan kertas”, dengan menyebut perang telah memakan dana yang besar untuk Moskow.

    “Rusia telah bertempur tanpa tujuan selama tiga setengah tahun, sebuah perang yang seharusnya hanya membutuhkan waktu kurang dari seminggu bagi kekuatan militer sejati untuk menang. Hal ini membuat Rusia berbeda. Malah, hal ini justru membuat mereka tampak seperti ‘macan kertas’,” sebutnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Top! Inggris Perbarui Peta Negara, Ada Palestina

    Top! Inggris Perbarui Peta Negara, Ada Palestina

    Jakarta, CNBC Indonesia – Inggris telah menggambar ulang peta Timur Tengahnya untuk pertama kalinya dengan label “Negara Palestina”. Ini dilakukan setelah Perdana (PM) Menteri Keir Starmer mengumumkan pengakuan resmi London atas kenegaraan Palestina pada 21 September.

    Peta dan pengakuan yang diperbarui ini muncul di tengah konflik yang sedang berlangsung di Gaza dan meningkatnya tekanan internasional terhadap Israel atas operasi militer dan perluasan permukimannya di Tepi Barat. Dua fakta itu telah dikritik keras oleh pemerintahan Starmer.

    Pembaruan ini muncul di situs web Kementerian Luar Negeri, termasuk imbauan perjalanan, daftar kedutaan, dan peta regional. “Menghadapi meningkatnya kengerian di Timur Tengah, kami bertindak untuk menjaga peluang perdamaian dan solusi dua negara,” kata Starmer, dikutip laman Intellines, Rabu (24/9/2025).

    Foto: Peta baru Israel dan Palestina di situs web pemerintah Inggris. (via CC: FCDO)
    Peta baru Israel dan Palestina di situs web pemerintah Inggris. (via CC: FCDO)

    Inggris bergabung dengan Kanada dan Australia dalam mengakui Palestina, sementara Spanyol, Irlandia, dan Norwegia telah melakukannya lebih awal pada tahun 2025. Para diplomat memperkirakan lebih banyak anggota Uni Eropa (UE) akan mengikuti, meskipun Washington tetap menentang, bersikeras bahwa status kenegaraan harus dicapai melalui perundingan langsung dengan Israel.

    Sementara itu, Arab Saudi dan Prancis membuat konferensi terkait pengakuan dua negara (two state solution) di Majelis Umum PBB. Belgia juga mengakui Palestina, dengan Menteri Luar Negeri Maxime Prévot memperingatkan kemungkinan sanksi terhadap Israel.

    “Perubahan peta ini merupakan manifestasi nyata dari pergeseran kebijakan Inggris, yang bergerak melampaui pernyataan diplomatik menuju implementasi praktis di seluruh platform pemerintah,” muat laman itu lagi.

    “Menurut versi terbaru situs web tersebut, peta halaman Israel juga telah diubah untuk mencerminkan pengakuan pemerintah Inggris terhadap Negara Palestina,” muat laman itu lagi.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]