Negara: Uni Eropa

  • Microsoft Pensiunkan Windows 10, Begini Cara Beralih ke Windows 11

    Microsoft Pensiunkan Windows 10, Begini Cara Beralih ke Windows 11

    Bisnis.com, JAKARTA— Microsoft resmi mengakhiri dukungan untuk Windows 10 pada 14 Oktober 2025. Langkah tersebut menandai berakhirnya pembaruan fitur dan bantuan teknis untuk sistem operasi yang diluncurkan sejak Juli 2015 tersebut.

    “Setelah 14 Oktober 2025, Microsoft tidak akan lagi menyediakan pembaruan perangkat lunak gratis dari Pembaruan Windows, bantuan teknis, atau perbaikan keamanan untuk Windows 10,” tulis Microsoft dalam laman resminya dikutip pada Rabu (15/10/2025). 

    Microsoft menyebut  PC pengguna akan tetap berfungsi, tetapi pihaknya menyarankan untuk beralih ke Windows 11. Perusahaan mengklaim Windows 11 menawarkan pengalaman modern dan efisien yang dirancang untuk memenuhi tuntutan keamanan yang lebih tinggi saat ini.

    Melansir laman CNET, meskipun Windows 11 telah hadir sejak Oktober 2021, tingkat adopsinya berjalan lebih lambat dari harapan Microsoft. Berdasarkan data per September 2025, sekitar 41% pengguna Windows di seluruh dunia masih menggunakan Windows 10.

    Perusahaan tetap membuka opsi bagi pengguna yang belum beralih ke Windows 11 melalui program Extended Security Updates (ESU). Program tersebut memungkinkan pengguna tetap menerima pembaruan keamanan penting hingga 13 Oktober 2026. 

    Microsoft mulai menawarkan ESU sejak 31 Oktober 2024, sebagai solusi bagi pengguna yang masih membutuhkan waktu untuk beralih ke sistem operasi terbaru.

    Pengguna dapat mendaftar program ESU melalui menu Windows Update di pengaturan perangkat. Setelah memilih opsi “Enroll now,” pengguna akan diminta memilih salah satu dari tiga metode pendaftaran antara lain membayar biaya sebesar US$30 atau sekitar Rp497.610, menautkan pengaturan PC ke Microsoft OneDrive, atau menukar 1.000 poin Microsoft Rewards.

    Khusus untuk pengguna di Uni Eropa, Microsoft memberikan akses gratis tanpa syarat tambahan apa pun, setelah sebelumnya mendapat tekanan dari otoritas perlindungan konsumen yang menilai kebijakan awal melanggar regulasi Digital Markets Act (DMA). Agar dapat mengakses wizard pendaftaran ESU, pengguna harus masuk dengan akun Microsoft dan telah memperbarui sistem ke Windows 10 versi 22H2 dengan pembaruan KB5046613 (build 19045.5131) atau yang lebih baru.

    Microsoft juga mensyaratkan beberapa spesifikasi minimum bagi perangkat yang ingin melakukan pembaruan ke Windows 11, di antaranya prosesor 64-bit berkecepatan 1GHz dengan dua inti atau lebih, RAM minimal 4GB, ruang penyimpanan 64GB, dukungan TPM 2.0, serta UEFI Secure Boot.

    Namun, bagi perangkat yang tidak memenuhi semua syarat tersebut, masih ada cara untuk melakukan pembaruan dengan beberapa penyesuaian teknis. Sejumlah pakar menyebutkan pengguna masih dapat memasang Windows 11 dengan melakukan sedikit modifikasi pada pengaturan sistem. Untuk pengguna dengan komputer lama yang tidak kompatibel, membeli perangkat baru bisa menjadi pilihan paling praktis.

  • IMF: Sikap Negara-Negara Tak Balas Tarif Trump Jaga Ketahanan Ekonomi Dunia

    IMF: Sikap Negara-Negara Tak Balas Tarif Trump Jaga Ketahanan Ekonomi Dunia

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyebut keputusan sebagian besar negara untuk tidak membalas kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi salah satu faktor utama yang menjaga ketahanan ekonomi global.

    “Dunia sejauh ini — dan saya tekankan sejauh ini — memilih untuk tidak melakukan pembalasan dan tetap berdagang sesuai aturan yang berlaku,” ujar Georgieva dalam acara di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia di Washington Yang dikutip dari Reuters, Rabu (15/10/2025).

    Dia menilai langkah tersebut berhasil mencegah terjadinya eskalasi tarif yang bisa melumpuhkan perdagangan global.

    Sebelumnya, IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 3,2% dari perkiraan sebelumnya 3% dalam laporan World Economic Outlook. Namun, lembaga itu memperingatkan bahwa potensi perang dagang baru antara AS dan China yang diancamkan Trump dapat menekan output global secara signifikan.

    Georgieva menambahkan, penurunan tarif efektif AS dari perkiraan awal juga turut menopang perekonomian dunia. Menurut perhitungannya, tarif rata-rata yang diumumkan Trump pada April lalu diperkirakan mencapai 23%, namun turun menjadi sekitar 17,5% setelah adanya kesepakatan dagang AS dengan Uni Eropa, Jepang, dan sejumlah mitra utama lainnya.

    “Tarif efektif yang benar-benar dipungut, setelah mempertimbangkan pengecualian agar ekonomi tetap berjalan, kami hitung berada di kisaran 9%–10%. Jadi, beban tarifnya lebih dari dua kali lebih ringan dari yang kami perkirakan sebelumnya,” jelasnya.

    Selain itu, kebijakan yang lebih baik di berbagai negara untuk mendorong pengembangan sektor swasta dan alokasi sumber daya yang lebih efisien juga membantu menopang pertumbuhan global. 

    Ketangkasan perusahaan dalam menyesuaikan rantai pasok dan mempercepat impor sebelum tarif diberlakukan turut mengurangi dampak negatif kebijakan perdagangan tersebut.

    Namun, Georgieva mengingatkan ketahanan ekonomi global dapat diuji oleh valuasi pasar yang sudah terlalu tinggi, terutama di sektor teknologi yang mendorong reli bursa saham sepanjang tahun ini.

    “Ini adalah taruhan besar. Jika berhasil, luar biasa — masalah pertumbuhan rendah akan teratasi karena produktivitas dan pertumbuhan akan meningkat. Tapi jika hasilnya lambat atau tidak terwujud sepenuhnya, apa yang akan terjadi?” ujarnya.

    Sementara itu, Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan lonjakan investasi di bidang kecerdasan buatan (AI) berpotensi memicu gelembung seperti dot-com crash tahun 2000 yang menghanguskan investasi ekuitas. 

    Namun, dia menilai dampaknya tidak akan menimbulkan krisis sistemik karena tidak banyak didanai dengan utang.

  • 2
                    
                        Ironi Diplomasi Prabowo, antara Perdamaian Gaza dan Terkuburnya Solusi Dua Negara
                        Nasional

    2 Ironi Diplomasi Prabowo, antara Perdamaian Gaza dan Terkuburnya Solusi Dua Negara Nasional

    Ironi Diplomasi Prabowo, antara Perdamaian Gaza dan Terkuburnya Solusi Dua Negara
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    KEHADIRAN
    Presiden Prabowo Subianto di Sharm El-Sheikh, Mesir, dalam Konferensi Perdamaian Gaza (Gaza Peace Summit) menjadi salah satu momen penting dalam diplomasi luar negeri Indonesia.
    Dalam forum internasional yang dihadiri puluhan pemimpin dunia tersebut, Prabowo tampil di panggung bersama tokoh-tokoh besar seperti Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, serta sejumlah pemimpin negara Timur Tengah lainnya.
    Bagi publik dalam negeri, penampilan tersebut dipandang sebagai kelanjutan dari pidato tegasnya di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu, ketika Prabowo menyerukan agar perdamaian di Gaza segera diwujudkan dan solusi dua negara dijadikan patokan utama penyelesaian konflik Israel-Palestina.
    Namun, di balik kemeriahan diplomasi dan tepuk tangan di ruang konferensi Mesir tersebut, terdapat ironi yang cukup mendalam dan tragis.
    “Gaza Peace Summit”, yang juga dikenal sebagai peluncuran resmi “Gaza Plan”, sebenarnya tidak sepenuhnya menjawab semangat yang terkandung dalam pidato Presiden Prabowo Subianto di New York.
    Bahkan, jika ditelisik lebih jauh, rencana damai yang didorong Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya tersebut justru berpotensi menjauhkan cita-cita dua negara yang selama ini menjadi fondasi diplomasi Indonesia di dalam isu Palestina.
    Pertemuan di Mesir menjadi bagian dari upaya besar Presiden Donald Trump untuk menegaskan kembali perannya sebagai “pembawa perdamaian” di Timur Tengah di satu sisi dan pembukaan pintuk masuk reintervensi Amerika di sana di sisi lain, yang dalam beberapa waktu belakangan mulai diragukan banyak pihak.
    Dalam pidato pembukaannya, Trump memuji sejumlah pemimpin dunia yang hadir, termasuk Prabowo.
    “He’s a tough man, a great leader from Indonesia,” ujar Trump di hadapan kamera, sebuah komentar yang segera menjadi tajuk utama media di Indonesia.
    Dalam konteks diplomasi, sanjungan tersebut tentu memiliki nilai simbolik dan menandakan pengakuan terhadap peran Indonesia di panggung internasional.
    Prabowo terlihat tersenyum dan tampak akrab berbincang dengan Trump, bahkan sempat terekam meminta kesempatan untuk bertemu dengan Eric Trump, putra mantan presiden AS tersebut.
    Bagi sebagian pengamat, momen tersebut menggambarkan langkah Prabowo dalam membangun jejaring politik global, terutama dengan Amerika Serikat, yang masih menjadi aktor utama di dalam politik Timur Tengah.
    Namun, di sisi lain, sanjungan Trump tidak otomatis berarti dukungan terhadap visi Indonesia mengenai Palestina.
    Rencana damai yang diinisiasi Washington dan disetujui oleh Mesir, Uni Eropa, serta sejumlah negara Arab yang moderat tersebut lebih berfokus pada stabilisasi keamanan dan rekonstruksi fisik Gaza pasca-perang, ketimbang membicarakan masa depan politik rakyat Palestina.
    Dalam dokumen yang dibahas di konferensi tersebut, disebutkan pembentukan “Board of Peace for Gaza”, semacam badan multinasional yang akan mengawasi proses rekonstruksi dan transisi pemerintahan sementara di wilayah itu.
    Namun, baik Hamas maupun Otoritas Palestina (PA) praktis tidak memiliki peran signifikan dalam struktur baru tersebut. Jadi rencana ini sejatinya adalah pengambilalihan kekuasaan di wilayah Gaza dari Hamas maupun Otoritas Palestina.
    Dengan kata lain, rakyat Palestina kembali menjadi objek dari proyek perdamaian yang disusun oleh pihak luar, bukan subyek yang menentukan nasibnya sendiri.
    Gaza, dalam rancangan tersebut, akan dikelola oleh dewan internasional yang beranggotakan perwakilan dari Mesir, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan beberapa negara lain yang selama ini dikenal bersahabat dengan Israel.
    Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa “Board of Peace” pada akhirnya akan berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan Tel Aviv, mengingat sebagian besar anggota dewan adalah negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik, bahkan hubungan strategis erat dengan Israel.
    Masalahnya, Prabowo tampaknya melihat kehadirannya di Mesir sebagai bentuk kesinambungan dari pidato idealisnya di PBB.
    Dalam pandangannya, partisipasi Indonesia di konferensi tersebut merupakan kesempatan untuk menunjukkan bahwa negeri ini siap berperan aktif dalam perdamaian global, terutama di dunia Islam.
    Namun, yang tampak dalam dinamika forum tersebut adalah bahwa “Gaza Plan” tidak dibangun di atas prinsip keadilan politik bagi rakyat Palestina, melainkan atas dasar kompromi strategis antara kekuatan besar dunia untuk mengakhiri perang tanpa menyentuh akar masalahnya.
    Amerika Serikat, bukan Indonesia dan bukan Prabowo Subianto, memanfaatkan momentum itu untuk memproyeksikan diri sebagai “pembawa perdamaian”. Sementara Mesir ingin memperkuat posisinya sebagai mediator utama kawasan.
    Israel tampak sangat diuntungkan, karena dengan adanya Gaza Plan, Tel Aviv tidak perlu lagi berhadapan langsung dengan Hamas atau PA dalam negosiasi politik.
    Dalam rancangan baru tersebut, keamanan di Gaza dijamin oleh pasukan internasional di bawah pengawasan
    Board of Peace
    , sedangkan pembangunan ekonomi dan sosialnya akan dibiayai oleh konsorsium donor Barat.
    Di permukaan, semua ini tampak positif. Perang berakhir, bantuan mengalir, dan Gaza mulai dibangun kembali.
    Namun secara fundamental, rencana tersebut justru berpotensi memperkuat realitas “solusi satu negara”, yakni situasi di mana Israel tetap menjadi kekuatan dominan, mengendalikan keamanan dan ruang gerak Palestina, sementara entitas Palestina hanya eksis dalam bentuk administratif dan ekonomi, tanpa kedaulatan politik yang nyata.
    Inilah paradoks besar yang menyelimuti kehadiran Presiden Prabowo di Mesir. Di satu sisi, ia hadir untuk merayakan langkah menuju perdamaian. Di sisi lain, ‘tanpa disadarinya’, konferensi tersebut juga menjadi simbol terkuburnya impian yang selama ini ia justru gaungkan, yakni solusi dua negara yang hidup berdampingan secara damai dan setara di antara dua negara.
    Perlu pula diingat bahwa gagasan dua negara bukan sekadar isu diplomatik, tetapi juga menyangkut legitimasi moral perjuangan rakyat Palestina.
    Selama tujuh dekade, berbagai resolusi PBB telah menegaskan bahwa solusi dua negara merupakan jalan paling adil untuk menyelesaikan konflik di kawasan tersebut.
    Namun, dengan realitas politik di lapangan, terus meluasnya permukiman ilegal Israel di Tepi Barat (West Bank), fragmentasi internal di tubuh Palestina, dan absennya kemauan politik dari pihak Israel, konsep tersebut sesungguhnya sudah semakin kehilangan pijakan.
    “Gaza Plan” yang diusung dalam konferensi di Mesir hanya mempercepat proses tersebut. Gaza Plan menormalisasi keadaan pasca-perang tanpa memberikan kedaulatan sejati bagi rakyat Palestina.
    Dalam konteks ini, pujian Donald Trump terhadap Prabowo sebagai “tough man” mungkin terdengar kontras dengan kenyataan diplomatik yang terjadi.
    Kekuatan sejati seorang pemimpin bukan hanya terletak pada keberaniannya hadir di forum internasional, melainkan pada kemampuannya menjaga prinsip yang diyakininya di tengah tekanan geopolitik.
    Presiden Prabowo memang tampil percaya diri di Mesir. Namun, di balik senyum diplomatik dan foto bersama, sulit menampik bahwa posisi Indonesia nyaris tidak memiliki ruang tawar dalam menentukan arah kebijakan perdamaian yang sesungguhnya.
    Lebih jauh, euforia kehadiran Indonesia di konferensi tersebut berpotensi mengaburkan peran kritis yang seharusnya diambil, terutama sebagai penyeimbang moral yang mengingatkan dunia bahwa perdamaian sejati tidak mungkin lahir tanpa keadilan.
    Ketika dunia bertepuk tangan menyambut gencatan senjata dan rencana rekonstruksi, siapa yang menjamin bahwa rakyat Gaza akan benar-benar merdeka menentukan masa depannya sendiri?
    Siapa yang bisa memastikan bahwa mereka bukan hanya pekerja dalam proyek besar pembangunan yang dikendalikan oleh kekuatan asing?
    Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur, karena jika tidak, konferensi seperti yang telah berlangsung di Mesir itu hanya akan menambah daftar panjang diplomasi simbolik yang tidak menyentuh akar persoalan.
    Perdamaian yang dibangun di atas ketimpangan politik akan tetap rapuh, dan cepat atau lambat, konflik baru akan muncul dalam bentuk lain.
    Presiden Prabowo, sebagai pemimpin baru Indonesia, tentu memiliki ambisi besar untuk menjadikan negaranya pemain penting dalam percaturan global.
    Namun dalam isu Palestina, ambisi tersebut seharusnya tidak menjauhkan Indonesia dari nilai-nilai dasar yang telah menjadi bagian dari politik luar negeri sejak era Presiden Soekarno, yakni menolak penjajahan dalam bentuk apa pun dan memperjuangkan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
    Kehadiran Prabowo di Mesir memang memberi warna baru dalam diplomasi Indonesia, tetapi juga mengingatkan bahwa politik luar negeri yang aktif tidak boleh kehilangan arah moralnya.
    Perdamaian bukan sekadar berhentinya perang, melainkan hadirnya keadilan. Dan keadilan, dalam konteks Palestina, hanya mungkin terwujud jika rakyatnya diberi hak penuh untuk membangun negaranya sendiri, bukan sekadar menjadi objek dari proyek-proyek damai yang ditentukan oleh orang lain.
    Pendeknya, “Gaza Plan” yang hari ini dirayakan dunia, berpotensi bisa menjadi paradoks sejarah yang menandai berakhirnya perang di Gaza, tapi sekaligus menandai semakin jauhnya solusi dua negara dari kenyataan.
    Dan di tengah gemuruh tepuk tangan di ruang konferensi Sharm El-Sheikh, mungkin hanya sedikit yang menyadari bahwa apa yang disebut sebagai perdamaian, sesungguhnya sedang mengubur cita-cita kemerdekaan Palestina secara perlahan dengan cara yang tampak damai, tapi secara moral menyesakkan.
    Bahkan, yang paling berbahaya dari semua ini adalah jika “Gaza Plan” dan konferensi di Mesir hanya menjadi panggung unjuk peran personal bagi para pemimpin dunia untuk menaikkan reputasi politik masing-masing.
    Jika Trump menjadikannya batu loncatan menuju legitimasi politik baru, jika Presiden el-Sisi menggunakannya untuk memperkuat citra Mesir sebagai penjaga stabilitas regional, dan jika Prabowo Subianto memaknainya sebagai bukti pengakuan dunia atas kepemimpinannya, maka yang dikorbankan bukan hanya prinsip keadilan, tetapi juga kedaulatan rakyat Palestina itu sendiri.
    Padahal perdamaian sejati tidak boleh lahir dari ambisi pribadi dan diplomasi pencitraan, tapi harus tumbuh dari keberanian moral untuk memastikan bahwa rakyat Palestina menjadi subyek utama dari masa depan mereka sendiri, bukan sekadar latar belakang bagi reputasi global para pemimpin dunia, termasuk Presiden Prabowo.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia Dibayangi Babak Baru Perang Dagang AS-China

    Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia Dibayangi Babak Baru Perang Dagang AS-China

    Bisnis.com, JAKARTA – Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Washington pekan ini yang semula dijadwalkan membahas ketahanan ekonomi global kini dibayangi oleh memanasnya kembali perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

    Melansir Reuters pada Senin (13/10/2025), pertemuan yang dihadiri lebih dari 10.000 peserta dari 190 negara tersebut, semula direncanakan membahas ketahanan ekonomi global di tengah tekanan geopolitik dan perlambatan ekonomi AS. 

    Namun, eskalasi baru antara Washington dan Beijing kini mendominasi agenda, menyusul ancaman Trump untuk membalas kebijakan ekspor China yang diperluas secara drastis terhadap komoditas logam tanah jarang.

    Selama lima bulan terakhir, kedua negara sebenarnya telah membangun gencatan dagang yang menurunkan bea masuk dari level tiga digit dan mendorong peningkatan proyeksi pertumbuhan global versi IMF. Harapan sempat menguat menjelang rencana pertemuan Trump dan Presiden China Xi Jinping akhir bulan ini.

    Namun, optimisme tersebut runtuh pada Jumat (10/10/2025) setelah Trump mengancam akan membatalkan pertemuan dan menaikkan tarif impor China secara masif, disertai langkah-langkah balasan lainnya.

    Situasi semakin tegang setelah Beijing membalas dengan mengenakan tarif pelabuhan baru terhadap kapal buatan atau berbendera AS, menyamai kebijakan biaya pelabuhan baru yang diberlakukan Washington untuk kapal asal China.

    Menurut Martin Muehleisen, mantan kepala strategi IMF yang kini di Atlantic Council, ancaman Trump bisa jadi merupakan strategi tawar-menawar, namun tetap menimbulkan ketidakpastian besar di pasar. “Semoga nalar menang. Jika Trump benar-benar kembali ke tarif 100% untuk barang China, pasar akan sangat terpukul,” ujarnya.

    Ancaman Trump memicu aksi jual saham terbesar di AS dalam beberapa bulan terakhir, di tengah kekhawatiran atas gelembung pasar saham yang dipicu euforia investasi kecerdasan buatan (AI).

    Sementara itu, masih belum jelas apakah Menteri Keuangan AS Scott Bessent, yang memimpin negosiasi perdagangan dengan China, akan bertemu pejabat Beijing selama pertemuan di Washington.

    IMF Tetap Optimistis

    Sebelum ketegangan kembali meningkat, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyoroti ketahanan ekonomi global dalam menghadapi berbagai guncangan, mulai dari biaya tarif, ketidakpastian ekonomi, pelemahan pasar tenaga kerja AS, hingga lonjakan adopsi AI.

    Dalam pratinjau World Economic Outlook yang akan dirilis Selasa mendatang, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2025 hanya sedikit melambat dari 3,3% pada 2024. 

    IMF bahkan telah menaikkan proyeksi pertumbuhan 2025 menjadi 3,0% pada Juli lalu, berkat penurunan bea masuk AS–China yang sempat meredakan ketegangan dagang.

    “Kita melihat ketahanan nyata di dunia, tapi ini tetap masa yang sangat tidak pasti. Risiko pelemahan masih mendominasi,” ujar Georgieva.

    Agenda AS di IMF–Bank Dunia

    AS juga mendorong IMF dan Bank Dunia untuk kembali fokus pada mandat utama, yakni stabilitas keuangan dan pembangunan, ketimbang isu iklim dan kesetaraan gender.

    Pertemuan ini sekaligus menjadi debut publik Dan Katz, Deputi Direktur Pelaksana IMF yang baru, mantan bankir investasi dan kepala staf Bessent. Negara anggota akan mengamati bagaimana Katz melaksanakan agenda AS, termasuk dorongan agar IMF lebih keras mengkritik kebijakan ekonomi China yang berbasis negara.

    Selain itu, dukungan AS terhadap Argentina, peminjam terbesar IMF, akan turut menjadi sorotan, terutama karena Presiden Argentina Javier Milei dijadwalkan bertemu Trump di Gedung Putih pekan ini. Georgieva menyambut langkah tersebut sebagai upaya menjaga reformasi berbasis pasar di Buenos Aires tetap berjalan.

    Namun Muehleisen mengingatkan dominasi AS berisiko menggeser peran IMF sebagai lembaga multilateral. “Apakah IMF masih lembaga global yang independen, atau mulai menjadi perpanjangan tangan Departemen Keuangan AS?” katanya.

    Selain isu AS–China, para menteri keuangan negara G7 dijadwalkan membahas langkah memperketat sanksi terhadap Rusia untuk mengakhiri perang di Ukraina. Inggris mendorong aksi bersama G7 dan Uni Eropa guna memangkas pendapatan energi Rusia dan membatasi akses Moskow terhadap aset luar negeri.

    Salah satu opsi yang dibahas adalah rencana Uni Eropa untuk menggunakan aset beku Rusia sebagai jaminan pinjaman sebesar 140 miliar euro (US$162 miliar) bagi Ukraina.

  • “Perang” Trump Nggak Ngefek! Ekspor China Lampaui Target, Naik 8,3%

    “Perang” Trump Nggak Ngefek! Ekspor China Lampaui Target, Naik 8,3%

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ekspor China melonjak hingga 8,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada bulan September. Data terbaru disampaikan General Administration of Customs (Administrasi Umum Kepabeanan), Senin (13/10/2025).

    Angka tersebut melampaui proyeksi 6% dan meningkat dari kenaikan 4,4% pada Agustus. Perdagangan luar negeri China tumbuh lebih cepat dari perkiraan bulan lalu, di tengah kekhawatiran baru akan eskalasi besar dalam perang tarif antara China dan Amerika Serikat (AS).

    Mengutip Trading Economics, ekspor meningkat ke level tertinggi tujuh bulan sebesar US$328,6 miliar pada September 2025. Hal ini menandai laju pengiriman keluar tercepat sejak Maret, karena produsen menemukan pasar baru di luar AS sementara kesepakatan tarif dengan Presiden Donald Trump masih belum tercapai.

    Secara year-to-date, ekspor China naik 6,1% yoy, mencapai total US$ 2,78 triliun. Selama periode tersebut, pertumbuhan ekspor tercatat dalam beberapa kategori, antara lain produk pertanian (1,4%), pupuk (59,6%), produk keramik (0,8%), sirkuit terpadu (23,3%), mobil (10,8%), modul layar panel datar CD (9,6%), dan kapal (21,4%).

    Ekspor meningkat ke Jepang (4,4%), Hong Kong (12,6%), Taiwan (11,1%), Australia (4,3%), India (12,9%), ASEAN (14,7%), dan Uni Eropa/UE (8,2%). Sebaliknya, ekspor ke AS merosot sebesar 16,9% sementara ekspor ke Rusia (-11,3%) dan Korea Selatan (Korsel) turun sebesar 0,3%.

    Sebelumnya, kekhawatiran meningkat selama akhir pekan bahwa perang dagang tahun ini antara dua ekonomi terbesar dunia akan semakin memburuk menyusul ancaman Trump untuk mengenakan tarif tambahan 100% terhadap semua barang China. Beijing, pada gilirannya, menuduh Washington bertindak tidak adil, dengan Kementerian Perdagangannya pada hari Minggu menyebut ancaman tersebut sebagai “contoh tipikal ‘standar ganda’”.

    Trump menyampaikan nada yang lebih lunak pada hari Minggu. Ia menulis dalam sebuah unggahan media sosial bahwa AS “ingin membantu China, bukan merugikannya”.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Prabowo Bakal Hadiri KTT Perdamaian Gaza di Mesir

    Prabowo Bakal Hadiri KTT Perdamaian Gaza di Mesir

    Jakarta

    Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyebut Presiden Prabowo Subianto diundang untuk menghadiri KTT perdamaian Gaza di Sharm el-Sheikh, Mesir. Prabowo disebut akan bertolak ke Mesir malam ini.

    “Malam hari ini tadi Bapak Presiden menyampaikan kepada kita semua bahwa kemarin secara khusus beliau mendapatkan undangan. Memang juga agak mendadak kalau dari sisi waktu, tetapi bahwa undangan tersebut betul-betul memohon kesediaan kehadiran dari Bapak Presiden Prabowo,” kata Prasetyo kepada wartawan di Jakarta, (12/10/2025).

    Pras berharap KTT perdamaian Gaza di Mesir bisa membawa perdamaian di Gaza, Palestina. Menurutnya, Prabowo akan hadir dalam pertemuan dengan para pemimpin dunia di Mesir.

    “Bapak Presiden menyampaikan kepada kita semua bahwa untuk menjaga hubungan baik dan itu bagian juga dari ikhtiar kita selama ini, bahwa Bapak Presiden memutuskan untuk menghadiri undangan tersebut,” ucapnya.

    Seperti diketahui, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi akan memimpin KTT perdamaian Gaza di Sharm el-Sheikh, besok. Pertemuan untuk mengakhiri perang di Gaza itu akan dihadiri lebih dari 20 pemimpin dunia dan juga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan bahwa sebuah dokumen untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza diperkirakan akan ditandatangani selama pertemuan bersejarah tersebut.

    “KTT tersebut bertujuan untuk meresmikan babak baru perdamaian dan keamanan… dan meringankan penderitaan rakyat Palestina di Gaza,” tulis pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir.

    Terpisah, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memastikan dirinya akan hadir. Demikian pula Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, dan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez.

    Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga akan berkunjung ke Sharm el-Sheikh. Dewan Eropa akan diwakili oleh presidennya, Antonio Costa.

    “Rencana untuk Gaza menawarkan peluang nyata untuk membangun perdamaian yang adil dan berkelanjutan, dan Uni Eropa berkomitmen penuh untuk mendukung upaya ini dan berkontribusi pada implementasinya,” kata juru bicara Dewan Eropa.

    Raja Yordania, Abdullah II, juga diperkirakan akan hadir. Namun, hingga saat ini belum ada kabar langsung mengenai kehadiran Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Sementara Hamas telah menyatakan tidak akan berpartisipasi.

    (fas/fas)

  • Menanti Pemimpin Dunia Kumpul di Mesir Bahas Perdamaian Gaza

    Menanti Pemimpin Dunia Kumpul di Mesir Bahas Perdamaian Gaza

    Jakarta

    Para pemimpin dunia akan berkumpul di Mesir untuk menggelar pertemuan puncak internasional untuk mengakhiri perang di Gaza, Palestina. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hingga Presiden Prancis Emmanuel Macron direncanakan hadir.

    Dilansir Channel News Asia, Minggu (12/10/2025), pertemuan para pemimpin dunia itu akan digelar di kota Sharm el-Sheikh, Mesir, pada Senin (13/10). Pertemuan untuk menyelesaikan kesepakatan mengakhiri perang di Gaza itu akan dihadiri oleh lebih dari 20 pemimpin dunia.

    Perdana Menteri Inggris Keir Starmer akan berkunjung ke Mesir untuk menghadiri KTT Perdamaian Sharm El Sheikh. Para pemimpin dunia akan menandatangani perjanjian perdamaian yang ditengahi AS yang bertujuan mengakhiri konflik di Gaza.

    Fase pertama dari rencana tersebut akan dimulai dengan pembebasan sandera dan tahanan Palestina pada Senin (13/10). Pemerintah Inggris menyebut hal itu menandai ‘titik balik bersejarah’ setelah 2 tahun perang.

    Starmer disebut akan memberikan penghormatan atas peran Trump dan upaya diplomatik Mesir, Qatar, dan Turki dalam menengahi kesepakatan tersebut. Starmer diperkirakan akan menyerukan koordinasi internasional yang berkelanjutan untuk melaksanakan fase selanjutnya, yang mencakup pengerahan misi pemantauan gencatan senjata dan pembentukan pemerintahan transisi di Gaza.

    Starmer akan menegaskan kembali ‘dukungan teguh’ Inggris untuk membantu mengamankan gencatan senjata dan mengirimkan bantuan kemanusiaan. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga akan bertolak ke Mesir untuk membahas implementasi rencana perdamaian yang diajukan oleh Trump.

    Macron juga akan menegaskan kembali komitmen Prancis terhadap solusi dua negara sebagai dasar perdamaian, keamanan, dan rekonstruksi abadi di kawasan tersebut. Trump dan Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi, diperkirakan akan memimpin KTT tersebut.

    Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, dan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio telah membahas pengaturan pertemuan tersebut. Termasuk soal partisipasi internasional dalam KTT Sharm El-Sheikh, serta persiapan implementasi fase pertama kesepakatan.

    Dipimpin Trump dan Presiden El-Sisi

    Presiden AS Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi akan memimpin KTT perdamaian Gaza di Sharm el-Sheikh, Mesir, besok. Pertemuan untuk mengakhiri perang di Gaza, Palestina, itu akan dihadiri para pemimpin dunia dan juga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    “Pertemuan ini akan bertujuan untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza, meningkatkan upaya untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah, dan mengawali era baru keamanan regional,” demikian pernyataan kantor Presiden El-Sisi, dilansir AFP, Minggu (12/10).

    Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan bahwa sebuah dokumen untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza diperkirakan akan ditandatangani selama pertemuan bersejarah tersebut.

    “KTT tersebut bertujuan untuk meresmikan babak baru perdamaian dan keamanan… dan meringankan penderitaan rakyat Palestina di Gaza,” tulis pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir.

    Terpisah, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memastikan dirinya akan hadir. Demikian pula Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, dan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez.

    Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga akan berkunjung ke Sharm el-Sheikh. Dewan Eropa akan diwakili oleh presidennya, Antonio Costa.

    “Rencana untuk Gaza menawarkan peluang nyata untuk membangun perdamaian yang adil dan berkelanjutan, dan Uni Eropa berkomitmen penuh untuk mendukung upaya ini dan berkontribusi pada implementasinya,” kata juru bicara Dewan Eropa.

    Raja Yordania, Abdullah II, juga diperkirakan akan hadir. Namun, hingga saat ini belum ada kabar langsung mengenai kehadiran Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Sementara Hamas telah menyatakan tidak akan berpartisipasi.

    Halaman 2 dari 2

    (fas/fas)

  • Trump dan Presiden El-Sisi Bakal Pimpin KTT Perdamaian Gaza di Mesir

    Trump dan Presiden El-Sisi Bakal Pimpin KTT Perdamaian Gaza di Mesir

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi akan memimpin KTT perdamaian Gaza di Sharm el-Sheikh, Mesir, besok. Pertemuan untuk mengakhiri perang di Gaza, Palestina, itu akan dihadiri para pemimpin dunia dan juga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Dilansir kantor berita AFP, Minggu (12/10/2025), KTT perdamaian Gaza digelar di kota resor Laut Merah. Rencananya 20 pemimpin negara akan hadir.

    “Pertemuan ini akan bertujuan untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza, meningkatkan upaya untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah, dan mengawali era baru keamanan regional,” demikian pernyataan kantor Presiden El-Sisi.

    Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan bahwa sebuah dokumen untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza diperkirakan akan ditandatangani selama pertemuan bersejarah tersebut.

    “KTT tersebut bertujuan untuk meresmikan babak baru perdamaian dan keamanan… dan meringankan penderitaan rakyat Palestina di Gaza,” tulis pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir.

    Terpisah, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memastikan dirinya akan hadir. Demikian pula Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, dan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez.

    “Rencana untuk Gaza menawarkan peluang nyata untuk membangun perdamaian yang adil dan berkelanjutan, dan Uni Eropa berkomitmen penuh untuk mendukung upaya ini dan berkontribusi pada implementasinya,” kata juru bicara Dewan Eropa.

    Raja Yordania, Abdullah II, juga diperkirakan akan hadir. Namun, hingga saat ini belum ada kabar langsung mengenai kehadiran Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Sementara Hamas telah menyatakan tidak akan berpartisipasi.

    (fas/whn)

  • Shutdown Pemerintah AS, Kadin: Ekonomi dan Dunia Usaha Jalan Terus

    Shutdown Pemerintah AS, Kadin: Ekonomi dan Dunia Usaha Jalan Terus

    Bisnis.com, JAKARTA – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkap potensi dampak dari penutupan (shutdown) Pemerintahan Amerika Serikat terhadap perekonomian RI.

    Ketua Kadin Indonesia Anindya Bakrie menjelaskan penutupan pemerintahan AS bukan yang pertama kali terjadi jika melihat selama 10 tahun terakhir. Meski mengalami shutdown, Anin menuturkan pemerintahan AS tidak sepenuhnya lumpuh. 

    Anin memaparkan, hal tersebut terbukti dari sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh Presiden AS Donald Trump ataupun menteri-menteri kabinetnya. Oleh karena itu, Anin menyebut kegiatan perekonomian dan perdagangan antara AS dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia, tetap berjalan.

    “Kalau tidak salah Pak Luhut (Binsar Pandjaitan) sedang di sana berbicara dengan Menteri Perdagangan AS. Kemudian, Presiden Trump juga terus aktif mencari jalan perdamaian di Gaza. Jadi, saya rasa sih ekonomi dan dunia usaha jalan terus,” kata Anin saat ditemui dalam Indonesia International Sustainability Forum di Jakarta pada Jumat (10/10/2025).

    Dia menuturkan, hal paling penting yang perlu dilakukan Indonesia di tengah shutdown Pemerintahan AS adalah melanjutkan ekspor-ekspor produk yang dibutuhkan Negeri Paman Sam seperti alas kaki, tekstil, garmen, furnitur, hingga elektronik.

    Anin juga berharap kondisi ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan kapasitas ekspornya ke AS untuk produk-produk tersebut. 

    Anin juga mengatakan peningkatan ekspor juga perlu dilakukan ke Uni Eropa dan Kanada sejalan dengan perjanjian kemitraan ekonomi yang baru saja ditandatangani antara Indonesia dengan keduanya.

    “Jadi fokus kita ialah bagaimana bisa menggunakan likuiditas yang ada untuk meningkatkan kapasitas untuk fokus kepada industri yang berbasis ekspor,” ujarnya.

    Untuk diketahui, pemerintah AS resmi shutdown sejak Rabu (1/10/2025) setelah terjadi kebuntuan negosiasi antara pemerintah yang kini dikuasai Partai Republik dan kongres dari Partai Demokrat. 

    Sebelumnya, pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS) tetap melakukan perundingan dan penyusunan dokumen hukum (legal drafting) terkait dengan penerapan tarif impor kendati di tengah government shutdown. 

    Berdasarkan catatan Bisnis, pertemuan itu dikoordinasikan oleh Kedeputian Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian.   

    “Saat ini masih sedang berlangsung pertemuan intersesi [intercession meeting] secara online dengan pihak USTR, yang dikoordinasikan Pak Edi Pambudi [Deputi 2],” terang Sekretaris Kemenko (Sesmenko) Perekonomian Susiwijono Moegiarso

    Adapun, Susi enggan memerinci lebih lanjut mengenai pelaksanaan intercession meeting itu. Namun, dia menyebut pemerintah RI dan AS masih dijadwalkan menggelar beberapa putaran pertemuan bilateral ke depannya. “Masih ada beberapa putaran intersesi, seingat saya dalam bulan Oktober ini terjadwal enam kali intersesi,” terangnya.

  • Prancis Krisis Fiskal, Bisakah Reformasi ala Italia Jadi Solusi?

    Prancis Krisis Fiskal, Bisakah Reformasi ala Italia Jadi Solusi?

    Jakarta

    Krisis politik di Prancis masih terus berlanjut. Perdana Menteri Sebastien Lecornu mengundurkan diri setelah hanya 27 hari menjabat. Hal ini membuat Prancis akan memiliki perdana menteri kedelapan dalam lima tahun terakhir.

    Presiden Emmanuel Macron diperkirakan akan segera menunjuk perdana menteri baru. Upaya ini bisa mencegah diadakannya pemilihan umum. Namun, ketidakstabilan politik Prancis tetap berdampak besar pada ekonomi negara.

    Seperti yang terjadi pada 2024, anggaran untuk 2026 mungkin tidak akan disetujui tepat waktu. Tahun lalu, karena situasi politik yang kacau, Prancis harus menggunakan anggaran lama sampai anggaran baru disetujui pada Februari.

    Meskipun langkah sementara ini mencegah pemerintah berhenti beroperasi seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat, masalah ekonomi jangka Panjang, seperti utang dan kondisi keuangan negara, tetap belum terselesaikan.

    Prancis dalam prahara utang

    Setelah pengunduran diri perdana menteri terbaru, lembaga pemeringkat memberikan peringatan baru mengenai masalah fiskal Prancis. Fitch, yang menurunkan peringkat Prancis menjadi A tunggal bulan lalu, mengatakan bahwa situasi politik membuat penyelesaian masalah fiskal negara itu tampak tidak mungkin.

    Sementara itu, S&P Global menekankan perlunya Prancis menerapkan anggaran yang memungkinkannya mematuhi kewajiban traktat Uni Eropa (UE), karena Prancis telah lama melanggar aturan pinjaman dan utang yang ketat dari Pakta Stabilitas dan Pertumbuhan UE.

    Sejak Mei 2017, selama masa jabatan Macron, pengeluaran publik meningkat signifikan, sementara ia juga memberlakukan pemotongan pajak besar. Akibatnya, utang nasional meningkat lebih dari €1 triliun (sekitar Rp19,173 kuadriliun), meskipun pertumbuhan PDB juga meningkat 30% selama periode tersebut.

    Prancis tidak pernah menyeimbangkan anggarannya selama beberapa dekade dan biasanya lebih boros dibandingkan negara OECD lain. Namun, krisis baru-baru ini, seperti pandemi COVID-19, perang Rusia di Ukraina, dan lonjakan harga energi, telah mendorong pengeluaran meningkat dan memperlebar defisit anggaran.

    Defisit, yang sebesar 3,4% saat Macron menjabat, kini mencapai 5,8% dan terus meningkat. Ketidakstabilan politik yang muncul setelah Macron mengadakan pemilihan mendadak pada musim panas 2024 untuk mencegah partai kanan sayap ekstrem National Rally (RN), membuat penyelesaian masalah fiskal semakin sulit.

    Pemilihan tersebut menghasilkan parlemen yang lebih terpecah, tanpa blok politik yang memiliki mayoritas absolut, sehingga ketidakstabilan semakin kuat.

    Alexandra Roulet, ekonom dari INSEAD Business School, mengatakan bahwa pengeluaran selama krisis baru-baru ini, dikombinasikan dengan pemotongan pajak, adalah alasan utama lonjakan utang.

    “Kebijakan ini terbukti mengecewakan dalam hal efeknya terhadap anggaran Prancis,” katanya kepada DW. “Harapannya adalah mendorong investasi dan meningkatkan ekonomi sedemikian rupa sehingga pendapatan fiskal meningkat meskipun tarif pajak turun, tetapi kita belum melihat hal ini terjadi.”

    “Pekerjaan Italia”

    Jika situasi politik Prancis akhirnya stabil, beberapa ahli melihat Italia sebagai model yang bisa diikuti untuk menata kembali keuangan fiskal.

    Meskipun negara tetangganya masih memiliki rasio utang terhadap PDB lebih tinggi daripada Prancis, yaitu 138%, Melanie Debono, ekonom senior Eropa di Pantheon Macroeconomics, mengatakan situasi fiskal Italia “telah membaik secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir,” menyoroti bahwa defisit anggarannya turun menjadi 3,4%, mendekati tingkat 3% yang ditetapkan UE.

    Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, baru-baru ini mengumumkan bahwa ia memperkirakan defisit Italia akan turun menjadi 3% dari PDB tahun ini, memungkinkan Roma keluar dari program UE untuk negara dengan defisit berlebih lebih cepat dari perkiraan.

    Berbicara dengan DW, Debono mengatakan pemerintah Meloni telah “hati-hati,” memangkas bonus konstruksi dan berupaya mengumpulkan pajak yang belum dibayar, sambil tetap berhasil memangkas pajak penghasilan dan pajak bisnis.

    Ia melihat kemiripan antara situasi fiskal Italia dan Prancis “dalam hal keduanya menderita tantangan struktural terkait pengeluaran tinggi yang kronis dan meningkat, serta sisi pasokan yang lemah dalam ekonomi yang kesulitan menghasilkan cukup pendapatan untuk menutupi pengeluaran yang dijanjikan.”

    Namun, sementara situasi Italia membaik, situasi Prancis justru memburuk. “Defisit Prancis semakin melebar karena pengeluaran terus meningkat dan lemahnya pendapatan pajak,” katanya.

    Dalam hal pelajaran langsung dari Italia, ia menilai sistem politik yang berbeda membuat perbandingan menjadi sulit.

    “Tidak jelas bagi kami bahwa stabilitas relatif di Italia dapat dijadikan panduan bagi apa yang seharusnya dilakukan Prancis,” kata Debono. “Prancis tidak dibantu oleh sistem Republik Kelima, di mana presiden dan parlemen mudah bentrok ketika yang terakhir tidak memiliki mayoritas untuk mendukung kebijakan presiden.”

    Namun, ia mencatat bagaimana Italia telah menangani pensiun sejak krisis utang negara pada awal 2010-an, menaikkan usia pensiun tiga bulan setiap dua tahun, kecuali pada tahun-tahun tertentu ketika kenaikan dibekukan.

    Prancis bisa mengikuti contoh ini, kata Debono, tetapi menekankan bahwa Paris membutuhkan lebih dari sekadar reformasi pensiun untuk mendekati target 3% UE.

    “Prancis membutuhkan pemotongan pengeluaran yang radikal dan/atau peningkatan pajak.”

    Italia sebagai model reformasi?

    Selama bertahun-tahun setelah krisis utang zona euro, Italia dianggap sebagai “anak bermasalah” yang berpotensi memicu bencana keuangan berikutnya di Eropa. Pada 2018 dan 2019, kombinasi stabilitas politik yang terus-menerus goyah dan tingkat utang yang membingungkan merupakan kombinasi berbahaya yang kini akrab di telinga orang Prancis.

    Pada saat itu, kekuatan politik ekstrem, seperti Gerakan Bintang Lima (M5S) dan Lega, terang-terangan bermain dengan ide untuk menarik Italia keluar dari zona euro atau UE secara keseluruhan.

    Akhirnya, Meloni dan partainya, Brothers of Italy, memantapkan kekuasaan dan telah berkuasa sejak Oktober 2022. Pemerintahan Meloni dipuji karena disiplin fiskalnya, mengejutkan banyak pihak dengan bagaimana mereka membalikkan citra Italia dalam pengelolaan keuangan.

    Prancis juga telah menghadapi kekuatan besar dari pihak kanan yang mencoba berkuasa selama bertahun-tahun. Namun, Debono mengatakan jika National Rally akhirnya berkuasa, tidak ada jaminan bahwa mereka akan menerapkan disiplin fiskal.

    “RN memang pengurang pajak/pengeluaran sesuai program mereka, tetapi kemungkinan besar mereka hanya akan memotong pajak dan akan sangat sulit memotong pengeluaran,” katanya.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Rahka Susanto

    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)