Negara: Uni Eropa

  • Menang di WTO, Pemerintah Desak Eropa Buka Pasar Ekspor Sawit RI

    Menang di WTO, Pemerintah Desak Eropa Buka Pasar Ekspor Sawit RI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Indonesia akan mendesak Uni Eropa (UE) untuk membuka pasar ekspor produk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), seusai Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 10 Januari 2025 menyatakan UE memberikan perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif terhadap biofuel berbahan baku CPO.

    “Dia harus membuka. Kalau tidak membuka ya… 60 hari kan (diberi waktu penyesuaian kebijakan), kita kasih tau Pak Trump,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kantornya, Jakarta, Jumat (17/1/2025).

    Airlangga mengakui, potensi UE untuk mengajukan banding terhadap keputusan WTO itu tetap ada. Namun, ia menekankan, hasil keputusan WTO itu sudah menjadi bukti bahwa UE melakukan diskriminasi kebijakan perdagangan terhadap Indonesia.

    “Ya potensi di mana-mana tetap ada (banding). Tapi kan ini sudah membuktikan bahwa Indonesia punya kekuatan dan mereka melakukan diskriminasi. Itu poin pentingnya itu ada di sana,” tegas Airlangga.

    Sebagai informasi, pada tahun lalu, kinerja ekspor minyak mentah kelapa sawit atau CPO dan produk turunannya dari Indonesia anjlok ke Eropa, di tengah naiknya harga CPO di tingkat global.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dari Indonesia ke negara-negara di kawasan Uni Eropa sudah terjadi sejak kuartal I-2019. Hal ini diduga merupakan dampak dari kampanye negatif sawit yang kerap diluncurkan negara-negara Benua Biru melalui kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang terbit pada 2018.

    Penurunan ekspor CPO tertinggi terjadi di Belanda mencapai 39% dan Inggris sebesar 22% pada periode Januari-Maret 2019. Penurunan tersebut juga diikuti oleh beberapa negara lain, seperti Jerman, Italia, dan Spanyol.

    Pada Desember 2019 Indonesia akhirnya menggugat pertama kali kebijakan UE yang dianggap menghambat akses pasar kelapa sawit melalui RED II, Delegated Regulation, dan kebijakan Prancis. Kebijakan tersebut meliputi pembatasan konsumsi biofuel berbahan baku kelapa sawit hingga 7%, pengkategorian high ILUC-risk, serta penghentian penggunaan biofuel sawit secara bertahap (phase out). Gugatan ini terdaftar di WTO dengan nomor kasus DS593.

    Dengan kemenangan saat ini, maka berdasarkan aturan WTO, laporan Panel akan diadopsi dalam waktu 20-60 hari jika tidak ada keberatan dari pihak yang bersengketa. Keputusan ini bersifat mengikat, dan UE wajib mematuhi putusan dengan menyesuaikan kebijakannya.

    (arj/mij)

  • Kemendag Siap Hadapi Uni Eropa jika Ajukan Banding Putusan WTO soal Sawit

    Kemendag Siap Hadapi Uni Eropa jika Ajukan Banding Putusan WTO soal Sawit

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengapresiasi keputusan Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait dengan minyak sawit.

    Putusan ini memutuskan bahwa Uni Eropa (UE) terbukti melakukan diskriminasi terhadap bahan bakar nabati (biofuel) berbahan baku minyak sawit asal Indonesia.

    Keputusan ini tertuang dalam laporan hasil putusan panel WTO (panel report) yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025. Kementerian Perdagangan Indonesia menyambut positif putusan tersebut dan berharap kebijakan serupa tidak diterapkan oleh mitra dagang lainnya.

    Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti Widya Putri menyampaikan pihaknya mengapresiasi putusan WTO yang menyebut UE mendiskriminasi biofuel berbahan baku minyak sawit 

    “Kami berharap ini justru akan bisa berkontribusi terhadap nilai perdagangan kita secara keseluruhan otomatis dengan jumlah ekspor kita yang semakin meningkat, ketergantungan kita ke impor juga berkurang,” kata Dyah Roro di Kementerian ESDM, Jumat (17/1/2025).

    Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Djatmiko Bris Witjaksono melihat bahwa keputusan WTO soal biofuel berbahan baku minyak sawit sudah tepat.

    Apalagi, Djatmiko menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa dalam Renewable Energy Directive (RED) II memang diskriminatif terhadap Indonesia.

    Terkait dengan kemungkinan UE bakal melakukan banding, Djatmiko menyebut pemerintah bakal terus melawan banding tersebut.

    “Pemerintah tetap akan lakukan pembelaan kalau Uni Eropa banding,” ujar Djatmiko kepada Bisnis.

    Adapun, Secara umum, Panel WTO menyatakan bahwa Uni Eropa (UE) melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE seperti rapeseed dan bunga matahari.

    Uni Eropa juga terbukti membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.

    Selain itu, Panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (highILUC-risk) serta ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II.

    Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang Panel melanggar aturan WTO.

  • Sesumbar Prabowo ke Uni Eropa & Lika-liku Gugatan Sawit di WTO yang Berbuah Manis

    Sesumbar Prabowo ke Uni Eropa & Lika-liku Gugatan Sawit di WTO yang Berbuah Manis

    E-Paper Bisnis Indonesia merupakan replika digital edisi cetak Harian Bisnis
    Indonesia. Dan bisa mengakses E-Paper Bisnis Indonesia melalui alat-alat digital
    seperti telepon pintar (smartphone), komputer genggam tablet, laptop, atau
    komputer
    meja (desktop). Untuk memperoleh informasi lebih detail tentang berlanganan
    E-Paper
    Bisnis Indonesia, kunjungi https://epaper.bisnis.com/. Konten
    Premium adalah konten yang dapat diakses dengan sistem berlangganan pada situs
    dalam
    jaringan (online). Konten Premium disajikan dengan artikel yang lebih mendalam.

  • Indonesia Ancam ‘Mengadu’ ke Trump jika Eropa Tak Buka Perdagangan Sawit dengan RI

    Indonesia Ancam ‘Mengadu’ ke Trump jika Eropa Tak Buka Perdagangan Sawit dengan RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah berharap ekspor sawit ke Uni Eropa akan kembali lancar usai kemenangan Indonesia di Organisasi Dagang Dunia atau World Trade Organization/WTO yang membuktikan bahwa Uni Eropa melakukan diskriminasi terhadap sawit Tanah Air.

    Kemenangan tersebut kembali memuluskan ekspor produk minyak sawit dan biodiesel Indonesia ke Eropa.

    Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah masih menunggu Uni Eropa membuka keran perdagangannya terhadap produk kelapa sawit Indonesia.

    “[Untuk memperlancar ekspor sawit ke Uni Eropa] dia harus membuka,” ujarnya di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (17/1/2025).

    Adapun Uni Eropa memiliki waktu sampai dengan 60 hari—apabila tidak keberatan atas keputusan Panel WTO—untuk membuka keran perdagangannya dengan Indonesia.

    Pada dasarnya, keputusan panel WTO tersebut baru dapat diadopsi setelah dalam kurun waktu 20—60 hari tidak ada keberatan dari para pihak yang besengketa dalam hal ini UE.

    Apabila sepanjang periode tersebut tak ada banding, peluang produk sawit dan biodiesel Indonesia ke UE semakin terbuka lebar.

    Airlangga bahkan menuturkan akan mengadukan Eropa kepada presiden terpilih AS Donald Trump yang akan resmi menjabat pada 20 Januari 2025, jika Benua Biru tersebut tidak membuka jalur perdagangannya dengan RI.

    “Kalau tidak membuka ya… Kita kasih tahu Pak Trump,” ungkapnya yang diakhiri dengan senyuman sambil tertawa.

    Lebih lanjut, Airlangga menuturkan memang tidak menutup kemungkinan Uni Eropa mengajukan banding terhadap keputusan WTO. Meski demikian, pada intinya WTO telah memutuskan bahwa benar adanya Uni Eropa mendiskriminasi produk sawit Indonesia.

    “Potensi [banding] tetap ada, tetapi ini sudah membuktikan bahwa Indonesia punya kekuatan dan mereka melakukan diskriminasi. Ini kan sudah keputusan, kalau banding, kan, panjang lagi ceritanya,” ujar Airlangga.

    Untuk diketahui, pada 10 Januari 2025 WTO mensirkulasikan keputsan Panel bahwa Indonesia memenangkan sengketa dagang akan diskriminasi Uni Eropa terhadap kelapa sawit RI di di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Dunia atau Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO.

    Panel WTO menyatakan, Uni Eropa melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari Uni Eropa seperti rapeseed dan bunga matahari.

    Uni Eropa juga membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.

    Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyampaikan pemerintah menyambut baik Putusan Panel WTO pada 10 Januari 2025 lalu pada sengketa dagang terkait kelapa sawit yang telah diperjuangkan sejak 2019.

    “Pemerintah Indonesia menyambut baik Putusan Panel WTO pada sengketa dagang sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim, sebagai dasar agar Uni Eropa tidak sewenang-wenang dalam memberlakukan kebijakan yang diskriminatif,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip pada Jumat (17/1/2025).

    Budi berharap negara mitra dagang lainnya tidak memberlakukan kebijakan serupa yang berpotensi menghambat arus perdagangan global, utamanya sawit.

  • Google Blak-blakan Tolak Aturan Pemerintah

    Google Blak-blakan Tolak Aturan Pemerintah

    Jakarta, CNBC Indonesia – Google menegaskan sikapnya untuk tidak mematuhi aturan yang ditetapkan Uni Eropa (UE). Raksasa teknologi tersebut tak akan menambahkan fitur pengecekan fakta (fact-checking) pada hasil pencarian Search maupun video YouTube.

    Google juga tidak akan menggunakan sistem pengecekan fakta dalam menentukan pemeringkatan konten, dikutip dari Axios, Jumat (17/1/2025).

    Sebagai informasi, Google selama ini memang tidak pernah memasukkan fact-checking sebagai bagian dari proses moderasi konten di platformnya.

    Dalam surat yang ditulis Presiden Urusan Global Google Kent Walker ke petinggi Komisi Eropa Renate Nikolay, disebutkan bahwa syarat baru pada aturan ‘Disinformation Code of Practice’ yang ditetapkan di Uni Eropa tidak layak dan tidak efektif untuk layanan-layanan Google.

    Aturan itu mengharuskan Google melengkapi layanannya dengan fitur fact-checking, serta membangun pemeringkatan dan algoritma layanan berdasarkan fact-checking.

    Walker menegaskan metode pendekatan Google saat ini untuk melakukan moderasi konten terbukti sudah efektif. Buktinya, Google mengklaim terjadi perbaikan moderasi konten pada siklus pemilu global pada 2024.

    Hal itu berkat fitur yang ditambahkan ke YouTube pada tahun lalu, yang memungkinkan pengguna menambahkan catatan kontekstual pada video-video yang dirilis.

    Sebagai informasi, aturan ‘Disinformation Code of Practice’ di Uni Eropa diperkenalkan pada 2022 silam. Di dalamnya memasukkan komitmen sukarela firma teknologi dan perusahaan swasta untuk memperkuat akurasi dalam penyebaran informasi, termasuk melalui fitur fact-checking.

    Komisi Eropa telah menggelar diskusi privat dengan beberapa perusahaan teknologi sepanjang tahun lalu. Lembaga regulator tersebut meminta firma teknologi secara sukarela memperkuat penanganan disinformasi pada layanan mereka.

    Walker mengatakan dalam suratnya pada Kamis (16/1) kemarin, pihaknya telah memberitahu Komisi Eropa terkait penolakan terhadap fitur fact-checking di dalam platformnya.

    Google mengatakan akan terus berinvestasi pada peningkatan praktik moderasi konten yang fokus menyediakan akurasi pada mesin pencari, tanpa harus membubuhkan fact-checking.

    (fab/fab)

  • Ini Bukti bahwa Indonesia Bisa Fight dan Kita Menang

    Ini Bukti bahwa Indonesia Bisa Fight dan Kita Menang

    Jakarta, Beritasatu.com – Perjalanan panjang melawan diskriminasi Uni Eropa terhadap komoditas kelapa sawit Indonesia di telah menemui titik terang. Melalui Panel Report (Laporan Hasil Putusan Panel) pada 10 Januari 2025 lalu, World Trade Organization (WTO) memutuskan bahwa Uni Eropa telah melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang tidak adil dan merugikan bagi minyak sawit dan biofuel Indonesia.

    “Kemarin kita menang di WTO untuk kelapa sawit. Jadi itu satu hal yang membuktikan bahwa dalam kasus kelapa sawit dan biodiesel, diakui Eropa melakukan diskriminasi terhadap Indonesia. Kemenangan ini merupakan bukti bahwa negara Indonesia kita bisa fight dan kita bisa menang. Kemarin khusus untuk sawit, kita fight di REDD dan kita menang. Sehingga biodiesel yang sekarang kita ambil sebagai sebuah kebijakan, itu mau gak mau dunia harus menerima, bahwa tidak hanya biodiesel berbasis rapeseed, soybean, dan yang lain, tetapi juga yang berbasis daripada CPO,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (17/1/2025).

    Selanjutnya, WTO juga berpendapat bahwa Uni Eropa tidak melakukan evaluasi yang tepat terhadap data yang digunakan untuk menetapkan biofuel yang berasal dari alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk), serta terdapat kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi risiko rendah ILUC (low ILUC-risk) dalam Renewable Energy Directive (RED) II.

    Dalam putusan WTO tersebut juga menyebutkan bahwa dalam konteks implementasi dari The French TIRIB (The Incentive Tax Relating to Incorporation Biofuels) atau insentif pajak penggunaan biofuel dalam sistem transportasi Prancis telah terbukti melakukan diskrimisasi terhadap biofuel berbasis kelapa sawit. Pihak Uni Eropa hanya menerapkan insentif pajak bagi biofuel berbasis minyak rapeseed dan soybean.

    Adapun putusan tersebut akan diadopsi dalam waktu 60 hari dan akan mengikat bagi Indonesia dan Uni Eropa. Dengan demikian, Uni Eropa diminta untuk dapat menyesuaikan kebijakan dalam Delegated Regulation terkait hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan dari WTO.

    Lebih lanjut, Menko Airlangga juga menyebutkan bahwa keputusan tersebut tentu akan berdampak pada kebijakan yang diambil Uni Eropa yakni European Union Deforestation Regulation (EUDR), dimana sebelumnya Uni Eropa secara resmi mengadopsi proposal penundaan implementasi EUDR selama 1 tahun hingga 30 Desember 2025 mendatang yang mengindikasi ketidaksiapan Uni Eropa.

    Keputusan WTO tersebut tentu tambahan kekuatan bagi Indonesia yang tengah berupaya menentang kebijakan EUDR. Indonesia akan terus menentang kebijakan yang bersifat diskriminatif dan tidak pro rakyat, terlebih mempertimbangkan terdapat lebih dari 41% penggarap kebun kelapa sawit di Indonesia merupakan pekebun rakyat.

    Selain itu, Menko Airlangga juga menyebutkan bahwa momen ini dapat memberikan kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk kian memperkuat strategi implementasi agar komoditas sawit tidak mengalami diskriminasi kembali.

    “Dengan kemenangan ini, saya berharap bahwa cloud ataupun yang selama ini menghantui perundingan IEU-CEPA ini bisa hilang dan dan kita bisa segera selesaikan IEU-CEРА,” pungkas Menko Airlangga.

  • Sawit RI Menang, Airlangga: Kita Bisa Selesaikan IEU-CEPA

    Sawit RI Menang, Airlangga: Kita Bisa Selesaikan IEU-CEPA

    Jakarta, FORTUNE – Perjuangan panjang Indonesia melawan diskriminasi Uni Eropa terhadap komoditas Kelapa Sawit akhirnya membuahkan hasil. Pada 10 Januari 2025, World Trade Organization (WTO) merilis Panel Report yang menyatakan Uni Eropa telah melakukan diskriminasi terhadap minyak sawit dan biofuel Indonesia.

    Keputusan ini menjadi tonggak penting dalam upaya melindungi komoditas strategis Indonesia di pasar internasional.

    “Kemarin kita menang di WTO untuk kelapa sawit. Ini membuktikan bahwa dalam kasus sawit dan biodiesel, Uni Eropa diakui melakukan diskriminasi terhadap Indonesia. Kemenangan ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu berjuang dan menang di panggung internasional,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam keterangannya, Jumat (17/1).

    Poin-Poin penting putusan WTO

    WTO memutuskan Uni Eropa tidak melakukan evaluasi tepat terhadap data dalam menetapkan biofuel dari alih fungsi lahan kelapa sawit sebagai high ILUC-risk (risiko perubahan penggunaan lahan tidak langsung yang tinggi).

    Selain itu, terdapat kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi risiko rendah ILUC (low ILUC-risk) dalam kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II.

    Dalam kasus terkait Prancis, WTO juga menyoroti The French TIRIB (“The Incentive Tax Relating to Incorporation Biofuels”) yang terbukti mendiskriminasi biofuel berbasis kelapa sawit. Uni Eropa hanya memberikan insentif pajak untuk biofuel berbasis rapeseed dan soybean, sementara biofuel berbasis crude palm oil (CPO) tidak mendapatkan perlakuan yang sama.

    Putusan ini akan diadopsi dalam waktu 60 hari dan bersifat mengikat bagi Indonesia dan Uni Eropa. Uni Eropa diminta menyesuaikan kebijakan terkait, termasuk Delegated Regulation, agar sesuai dengan aturan WTO.

    Pengaruh pada EUDR dan IEU-CEPA

    Airlangga mengatakan keputusan WTO itu akan berdampak pada kebijakan Uni Eropa lainnya, seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR).

    Sebelumnya, Uni Eropa telah menunda implementasi EUDR selama satu tahun hingga 30 Desember 2025, yang menunjukkan indikasi ketidaksiapan mereka.

    Kemenangan di WTO ini memberikan tambahan kekuatan bagi Indonesia untuk terus menentang kebijakan EUDR yang dianggap diskriminatif. Hal ini penting mengingat lebih dari 41 persen penggarap kebun kelapa sawit di Indonesia merupakan pekebun rakyat.

    “Keputusan ini juga menjadi kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memperkuat strategi agar diskriminasi terhadap sawit tidak terulang. Dengan kemenangan ini, saya berharap hambatan yang selama ini mengganggu perundingan IEU-CEPA bisa hilang dan kita segera merampungkan kesepakatan tersebut,” kata Airlangga.

    Kemenangan ini bukan hanya soal kebijakan perdagangan, tetapi juga menyangkut nasib jutaan pekebun kelapa sawit di Indonesia. Dengan putusan WTO, peluang untuk memperluas akses pasar bagi produk sawit rakyat semakin terbuka. Hal ini menjadi sinyal positif bagi keberlanjutan ekonomi sektor sawit, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian di berbagai daerah.

  • Putusan WTO Uni Eropa Diskriminatif terhadap Kelapa Sawit, Airlangga Klaim Jadi Kemenangan Indonesia – Halaman all

    Putusan WTO Uni Eropa Diskriminatif terhadap Kelapa Sawit, Airlangga Klaim Jadi Kemenangan Indonesia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, putusan World Trade Organization (WTO) bahwa Uni Eropa terbukti melakukan diskriminasi kelapa sawit, merupakan kemenangan untuk Indonesia.

    “Kemarin kita menang di WTO untuk kelapa sawit. Jadi itu satu hal yang membuktikan bahwa dalam kasus kelapa sawit dan biodiesel, diakui Eropa melakukan diskriminasi terhadap Indonesia,” ucap Airlangga Hartarto di Kantornya, Jumat (17/1/2025).

    “Dan kemenangan ini merupakan bukti bahwa negara Indonesia kita bisa fight dan kita bisa menang,” imbuhnya menegaskan.

    Airlangga menyebut bahwa kemenangan ini juga bakal berdampak pada kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR). Sebab, sebelumnya pemerintah Eropa memperpanjang waktu implementasinya selama satu tahun.

    “EU Deforestation Law-nya itu, yang mereka setengah mengakui dengan memundurkan implementasi yang harusnya di tahun ini diundur satu tahun,” ucap dia.

    “Nah ini memberi kesempatan juga kepada Indonesia dan Malaysia untuk memperkuat strategi kita untuk implementasi agar sawit juga tidak didiskriminasi,” sambungnya.

    Di satu sisi, Airlangga berharap kemenangan ini akan berdampak pada Indonesia dalam mempercepat perundingan European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA).

    “Nah dengan kemenangan ini, saya berharap bahwa ke cloud ataupun yang selama ini menghantui perundingan EU CEPA, ini bisa hilang dan kita bisa segera selesaikan EU CEPA,” jelasnya.

    Mengutip Kompas.com, Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) memutuskan Uni Eropa terbukti melakukan diskriminasi kelapa sawit dari Indonesia.

    Putusan itu tertuang dalam Laporan Hasil Putusan Panel WTO atau panel report yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025.

    Dispute Settlement Body World Trade Organization atau Badan Penyelesaian Sengketa WTO menyatakan, Uni Eropa (UE) melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia, dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE, seperti rapeseed dan bunga matahari.

    Uni Eropa juga membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih ke produk sejenis yang diimpor dari negara lain, seperti kedelai.

    Selain itu, WTO menilai Uni Eropa gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk).

    Uni Eropa juga dinilai kurang dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II.

    Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang panel melanggar aturan WTO.

  • Indonesia Menang di WTO Atas Kebijakan Sawit Uni Eropa

    Indonesia Menang di WTO Atas Kebijakan Sawit Uni Eropa

    Jakarta, FORTUNE – Indonesia mengapresiasi putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan RI atas sengketa aturan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit  olehUni Eropa. Pemerintah berharap Uni Eropa segera menyesuaikan kebijakannya agar sesuai dengan rekomendasi WTO.

    Langkah hukum ini diajukan Indonesia, produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, ke badan penyelesaian sengketa WTO pada 2019. Gugatan tersebut awalnya dipicu oleh  kebijakan Uni Eropa yang memutuskan biodiesel berbasis sawit tidak lagi diklasifikasikan sebagai biofuel.

    Uni Eropa mengaitkan kebijakan tersebut dengan isu Deforestasi, dan berencana menghapus penggunaannya sebagai bahan bakar transportasi pada 2023 hingga 2030.

    Indonesia menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk proteksionisme perdagangan yang berlindung di balik alasan lingkungan. Menteri Perdagangan, Budi Santoso, berharap tidak ada lagi kebijakan serupa di masa depan agar tidak menghambat perdagangan global.

    “Pemerintah Indonesia menyambut baik keputusan panel WTO. Kami berharap kebijakan serupa tidak akan diterapkan oleh mitra dagang lain karena berpotensi mengganggu arus perdagangan dunia,” ungkap Budi dalam pernyataannya pada Kamis (16/1), mengutip Reuters.

    Dalam putusannya, panel WTO mengakui bahwa langkah Uni Eropa untuk mengurangi emisi gas rumah kaca memiliki dasar logis. Uni Eropa juga dinilai beralasan menetapkan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit sebagai produk dengan risiko tinggi terhadap deforestasi.

    Namun, panel tersebut mengidentifikasi sejumlah pelanggaran dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Uni Eropa dinilai gagal melakukan peninjauan data secara tepat waktu untuk menentukan risiko, serta tidak memenuhi sejumlah kewajiban transparansi yang telah diatur.

    Selain itu, panel WTO menyatakan bahwa Uni Eropa memperlakukan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit dari Indonesia dengan perlakuan yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari Uni Eropa sendiri atau negara ketiga lainnya.

    Dampak putusan ke perdagangan global

    Kementerian Perdagangan Indonesia optimistis Uni Eropa akan menyesuaikan kebijakan mereka untuk mematuhi keputusan WTO tersebut. Di sisi lain, Indonesia  akan terus memantau perkembangan perubahan aturan di Uni Eropa untuk memastikan rekomendasi WTO diimplementasikan dengan baik.

    Melalui putusan ini, Indonesia menegaskan posisinya dalam memperjuangkan keadilan dalam perdagangan global, khususnya untuk komoditas minyak kelapa sawit yang menjadi andalan ekonomi nasional. Pemerintah berharap keputusan ini dapat menjadi preseden positif, mencegah diskriminasi terhadap produk serupa di masa depan.

    Di samping itu, putusan ini juga diharapkan memberi dampak signifikan dalam menjaga kelancaran arus perdagangan biodiesel berbasis minyak sawit Indonesia dengan berbagai mitra dagang di seluruh dunia.

  • WTO Putuskan Uni Eropa Diskriminasi Kelapa Sawit Indonesia

    WTO Putuskan Uni Eropa Diskriminasi Kelapa Sawit Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Indonesia berhasil membuktikan adanya diskriminasi oleh Uni Eropa (UE) dalam sengketa dagang kelapa sawit di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia atau Dispute Settlement Body World Trade Organization (DSB WTO). Hal ini menegaskan bahwa sebelumnya UE telah bersikap tidak adil terhadap Indonesia.

    “Keputusan ini membuktikan bahwa dalam kasus kelapa sawit dan biodiesel, Uni Eropa telah diakui melakukan diskriminasi terhadap Indonesia. Kemenangan ini adalah bukti bahwa negara kita bisa berjuang dan menang,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, kepada media di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Jumat (17/1/2025).

    Keputusan sengketa diskriminasi kelapa sawit Indonesia ini tertuang dalam laporan hasil putusan panel WTO (panel report) yang dipublikasikan pada 10 Januari 2025.

    Panel WTO menyatakan bahwa UE mendiskriminasi Indonesia dengan memberikan perlakuan kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dibandingkan dengan produk serupa dari UE, seperti rapeseed dan bunga matahari. Selain itu, UE memberikan perlakuan istimewa terhadap produk sejenis yang diimpor dari negara lain, seperti kedelai.

    “Dunia harus menerima bahwa tidak hanya biodiesel berbasis rapeseed dan soybean yang diakui, tetapi juga biodiesel berbasis CPO,” jelas Airlangga.

    Kemenangan dari sengketa diskriminasi kelapa sawit Indonesia ini juga diperkirakan akan memengaruhi pelaksanaan European Union Deforestation Regulation (EUDR). Sebelumnya, Parlemen Eropa telah memperpanjang tenggat waktu implementasinya selama satu tahun. Menurut Airlangga, hal ini secara tidak langsung menunjukkan pengakuan UE atas tindak diskriminasi yang telah dilakukan.

    “Ini memberi peluang bagi Indonesia dan Malaysia untuk memperkuat strategi agar sawit tidak lagi didiskriminasi,” kata Airlangga.

    Airlangga juga berharap kemenangan ini dapat mempercepat proses perundingan European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA).

    “Dengan kemenangan ini, saya berharap kendala yang selama ini menghantui perundingan EU-CEPA bisa teratasi, sehingga kita dapat segera menyelesaikan kesepakatan tersebut,” tuturnya.

    Menteri Perdagangan Budi Santoso, juga menyambut baik putusan panel WTO dalam sengketa dagang kelapa sawit ini. Menurutnya, keputusan tersebut menjadi dasar agar Uni Eropa tidak lagi memberlakukan kebijakan diskriminatif yang menghambat perdagangan global dengan dalih isu perubahan iklim.

    “Kami berharap di masa depan, negara mitra dagang lainnya tidak memberlakukan kebijakan serupa yang berpotensi menghambat arus perdagangan global,” ujar Budi.

    Panel WTO menilai bahwa UE gagal meninjau data yang digunakan untuk mengategorikan biofuel dari kelapa sawit sebagai bahan bakar berisiko tinggi alih fungsi lahan (high ILUC-risk).

    Selain itu, terdapat kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II. Karena itu, UE diwajibkan menyesuaikan kebijakan dalam Delegated Regulation yang dianggap melanggar aturan WTO.

    “Indonesia melihat kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme dengan alasan kelestarian lingkungan, yang sering dijadikan dalih oleh Uni Eropa,” tutup Budi dalam menanggapi hasil sengketa dari diskriminasi kelapa sawit Indonesia oleh UE.