Negara: Uni Eropa

  • Komentar Keras Kanselir Jerman Suruh Pengungsi Suriah Angkat Kaki

    Komentar Keras Kanselir Jerman Suruh Pengungsi Suriah Angkat Kaki

    Jakarta

    Pengungsi Suriah yang berada di Jerman diminta pulang ke negaranya. Perintah itu disampaikan oleh Kanselir Jerman Friedrich Merz.

    Seperti dilansir kantor berita AFP dan Al-Arabiya, Selasa (4/11/2025), Merz mengatakan bahwa saat ini “tidak ada lagi alasan” bagi warga Suriah yang melarikan diri dari perang brutal selama 13 tahun di negara mereka untuk mencari suaka di Jerman. Ini merupakan komentar keras Merz terbaru tentang para pengungsi.

    “Bagi mereka yang menolak untuk kembali ke negara mereka, tentu saja kami dapat mengusir mereka,” katanya saat berkunjung ke Husum, di Jerman utara pada Senin (3/11) waktu setempat.

    Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul pada hari Kamis lalu dalam kunjungannya ke Damaskus, Suriah, mengatakan bahwa potensi warga Suriah untuk kembali ke negara asalnya “sangat terbatas” karena perang telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur negara itu.

    Pernyataan itu memicu reaksi keras dari Partai Uni Demokratik Kristen (CDU) pimpinan Merz dan Wadephul, yang telah berjuang untuk menghindari disalip oleh partai-partai sayap kanan dalam isu migrasi yang eksplosif.

    Merz mengatakan ia telah mengundang Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa, yang pasukannya menggulingkan penguasa lama Bashar al-Assad tahun lalu, untuk mengunjungi Jerman guna membahas “bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah ini bersama-sama.”

    “Suriah membutuhkan seluruh kekuatannya, dan terutama warga Suriah, untuk membangun kembali,” kata Merz, seraya menambahkan ia yakin banyak yang akan kembali dengan sendirinya.

    Sekitar satu juta warga Suriah tinggal di Jerman, sebagian besar telah melarikan diri dari perang dalam eksodus massal pada tahun 2015 dan 2016.

    Pemerintahan Baru Suriah

    Diketahui rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad telah digulingkan pada 8 Desember tahun lalu. Pada saat itu, pemberontak memasuki ibu kota memaksa Assad kabur dari Damaskus.

    Assad telah memimpin Suriah sejak 2000 sebelum digulingkan tahun lalu. Dia menjadi presiden setelah ayahnya, Hafez al-Assad, yang menjadi Presiden Suriah sejak 1971, meninggal pada 2000.

    Usai penggulingan Assad, Suriah kemudian dipimpin oleh Presiden Ahmed al-Sharaa. Sharaa adalah yang memimpin serangan kilat yang menggulingkan rezim Bashar al-Assad.

    Pria yang sebelumnya dikenal dengan nama samaran Abu Mohammed al-Jolani ini adalah pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok dominan dalam aliansi pemberontak.

    Ia kemudian mengatakan HTS harus dihapus dari daftar organisasi teroris yang ditetapkan oleh PBB, AS, Uni Eropa, dan Inggris. HTS awalnya ditetapkan sebagai organisasi teroris lantaran merupakan kelompok sempalan al-Qaeda, walau kemudian memisahkan diri pada 2016.

    Sharaa mengatakan negaranya sudah lelah perang dan tidak akan menjadi ancaman bagi negara-negara tetangganya atau negara-negara Barat. Dalam wawancara dengan BBC di Damaskus, ia menyerukan agar sanksi terhadap Suriah dicabut.

    “Sekarang, setelah semua yang terjadi, sanksi-sanksi harus dicabut karena sanksi-sanksi tersebut ditujukan kepada rezim lama. Korban dan penindas tidak boleh diperlakukan dengan cara yang sama,” kata Sharaa seperti dilansir BBC, (21/12/2024).

    Halaman 2 dari 2

    (lir/lir)

  • Sejak Pandemi COVID-19 Banyak Negara Tidak Siap Hadapi Pandemi Lagi

    Sejak Pandemi COVID-19 Banyak Negara Tidak Siap Hadapi Pandemi Lagi

    JAKARTA – Para ekonom terkemuka, pakar kesehatan dan PBB mengungkapkan ketimpangan yang tinggi membuat dunia rentan terhadap pandemi dan menciptakan “lingkaran setan” yang membahayakan kesehatan masyarakat dan perekonomian global.

    Temuan ini didasarkan pada penelitian selama dua tahun oleh Dewan Global tentang Ketimpangan, AIDS, dan Pandemi yang dibentuk oleh UNAIDS dan diterbitkan dalam sebuah laporan yang dirilis menjelang pertemuan para pemimpin G20 di Afrika Selatan bulan ini.

    “Tingkat ketimpangan yang tinggi, di dalam dan antarnegara, membuat dunia lebih rentan terhadap pandemi, membuat pandemi lebih mengganggu perekonomian dan mematikan, serta membuatnya berlangsung lebih lama,” demikian menurut laporan yang diterbitkan Senin waktu setempat tersebut, dikutip dari AFP.

    “Pandemi pada gilirannya meningkatkan ketimpangan, mendorong hubungan yang siklus dan saling memperkuat,” sambung laporan tersebut.

    Dewan yang menyusun laporan tersebut dipimpin oleh para ahli, termasuk ekonom peraih Nobel Joseph Stiglitz, mantan Ibu Negara Namibia Monica Geingos, dan ahli epidemiologi ternama Sir Michael Marmot.

    “Siklus ketimpangan-pandemi” ini dapat dilihat dalam krisis kesehatan masyarakat global baru-baru ini seperti COVID-19, AIDS, Ebola, influenza, dan mpox,” kata mereka dalam sebuah pernyataan terpisah.

    “Kegagalan untuk mengatasi ketimpangan utama dan determinan sosial sejak COVID-19 telah membuat dunia sangat rentan terhadap, dan tidak siap menghadapi, pandemi berikutnya,” katanya.

    Pandemi COVID-19 khususnya “mendorong 165 juta orang ke dalam kemiskinan sementara orang-orang terkaya di dunia meningkatkan kekayaan mereka lebih dari seperempatnya,” kata mereka.

    Ketimpangan “adalah pilihan politik, dan pilihan berbahaya yang mengancam kesehatan semua orang,” tambah Geingos.

    Laporan tersebut menyerukan para pemimpin dunia untuk meningkatkan kesiapsiagaan pandemi dengan berinvestasi dalam “mekanisme perlindungan sosial” di negara mereka sambil juga mengatasi ketimpangan global, termasuk melalui restrukturisasi utang untuk negara-negara berkembang.

    “Pandemi bukan hanya krisis kesehatan; melainkan krisis ekonomi yang dapat memperdalam ketimpangan jika para pemimpin membuat pilihan kebijakan yang salah,” kata Stiglitz.

    “Ketika upaya menstabilkan ekonomi yang terdampak pandemi dibayar melalui bunga utang yang tinggi dan langkah-langkah penghematan, sistem kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial justru terkuras,” ujarnya.

    Hal ini membuat masyarakat kurang tangguh dan lebih rentan terhadap wabah penyakit.

    “Memutus siklus ini membutuhkan penyediaan ruang fiskal bagi semua negara untuk berinvestasi dalam jaminan kesehatan,” kata Stiglitz.

    Laporan tersebut juga mendesak akses yang lebih setara terhadap perawatan dan teknologi kesehatan antara negara-negara kaya dan miskin, menyerukan peningkatan pendanaan untuk produksi lokal dan regional, serta penghapusan segera hak kekayaan intelektual setelah pandemi dinyatakan.

    Stiglitz dijadwalkan untuk menyampaikan laporan tentang ketimpangan dan kemiskinan global kepada para pemimpin dunia menjelang KTT G20 pada 22 dan 23 November.

    G20 terdiri dari 19 negara ekonomi terkemuka serta Uni Eropa dan Uni Afrika.

  • Mahkamah Agung AS Siap Putuskan Nasib Kebijakan Tarif Trump

    Mahkamah Agung AS Siap Putuskan Nasib Kebijakan Tarif Trump

    Bisnis.com, SURABAYA – Mahkamah Agung Amerika Serikat pada Rabu (5/11/2025) waktu setempat akan mulai menguji legalitas penggunaan wewenang darurat oleh Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan tarif impor besar-besaran.

    Kasus ini dipandang sebagai ujian hukum penting yang dapat mendefinisikan ulang batas kewenangan presiden dalam kebijakan perdagangan.

    Melansir Kantor Berita Anadolu pada Selasa (4/11/2025), koalisi yang terdiri atas sejumlah pelaku usaha kecil dan beberapa negara bagian AS menilai bahwa sebagian besar tarif yang diberlakukan Trump di bawah International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) bersifat ilegal dan seharusnya dibatalkan.

    Adapun, IEEPA merupakan undang-undang tahun 1977 yang memungkinkan sanksi terhadap ancaman tidak biasa dan luar biasa.

    Jika Mahkamah Agung memutuskan mendukung para penggugat, pemerintah federal berpotensi harus mengembalikan sebagian dari total pungutan pajak impor yang mencapai sekitar US$90 miliar sejak kebijakan tarif itu diberlakukan.

    Trump pertama kali menggunakan kewenangan darurat pada Februari untuk mengenakan tarif terhadap produk asal China, Meksiko, dan Kanada, sebelum memperluas cakupan kebijakan tersebut pada April hingga mencakup hampir semua mitra dagang AS. Ia menyebut defisit perdagangan AS sebagai darurat nasional.

    Melalui platform Truth Social, Trump pada Agustus lalu memperingatkan bahwa pembatalan tarif tersebut akan menghancurkan perekonomian AS. Akhir pekan lalu, dia menegaskan tidak akan menghadiri sidang Mahkamah Agung guna menghindari gangguan. 

    Namun, Trump memperingatkan bahwa kekalahan dalam kasus ini akan melemahkan posisi AS dan menghambat negosiasi perdagangan di masa mendatang.

    Para pengkritik menilai bahwa meskipun IEEPA memberi kewenangan kepada presiden untuk mengatur perdagangan, undang-undang tersebut tidak memberikan wewenang untuk menetapkan tarif, yang menurut mereka merupakan hak konstitusional milik Kongres.

    Kasus ini merupakan kelanjutan dari serangkaian putusan di pengadilan tingkat bawah. Pada Agustus, pengadilan banding federal dengan suara 7–4 memutuskan bahwa Trump telah melampaui batas kewenangan hukumnya. 

    Putusan lain pada 29 Agustus 2025 juga menyatakan bahwa kebijakan tarif tersebut diberlakukan secara tidak sah tanpa persetujuan Kongres.

    Keputusan akhir Mahkamah Agung yang dijadwalkan keluar awal tahun depan diperkirakan akan berdampak besar terhadap hubungan dagang AS dengan Uni Eropa dan mitra global lainnya.

  • Pengusaha Semen Lebih Khawatir Aturan Tarif Karbon Australia Ketimbang CBAM Eropa

    Pengusaha Semen Lebih Khawatir Aturan Tarif Karbon Australia Ketimbang CBAM Eropa

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Semen Indonesia (ASI) tidak mengkhawatirkan penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diterapkan Uni Eropa tahun depan. Alih-alih Eropa, industri lokal kini cemas dengan kebijakan serupa yang akan diterapkan Australia.  

    Ketua ASI Lilik Unggul Raharjo mengatakan Eropa bukan menjadi pasar utama ekspor semen nasional. Namun, Australia masuk dalam 3 besar tujuan ekspor produk semen Indonesia. 

    “Kita ekspor dua jenis produk, clinker [setengah jadi] dan semen. Ekspor terbesar untuk clinker ke Bangladesh, lalu Taiwan dan Australia,” kata Lilik saat ditemui Bisnis di Kantor ASI, dikutip pada Minggu (2/11/2025). 

    Lilik menerangkan bahwa ekspor ke Eropa tidak menjadi pilihan lantaran biaya transportasi yang mahal. Alhasil, produk semen RI kalah bersaing dengan negara-negara lain seperti Turki maupun Timur Tengah. 

    Dalam catatan ASI, volume ekspor clinker sekitar 10,9 juta ton, sementara semen jadi hanya sekitar 1 juta ton. Adapun, ekspor clinker ke Australia mencapai 1,1 juta ton atau 10% dari total ekspor per tahun. 

    “Nah, Australia ini, mereka akan menerapkan kebijakan serupa [CBAM] tahun 2027, disebut carbon leakage tariff,” tuturnya. 

    Kedutaan Besar Australia disebut telah memberikan pengumuman terkait kebijakan tersebut dan memperkenalkan skema perhitungannya. Kendati demikian, kebijakan tarif tambahan berbasis karbon itu juga belum final. 

    Lilik menuturkan bahwa pemerintah Australia tengah mempersiapkan pengumuman launching kebijakan tersebut. Namun masih menunggu pemilihan umum dan peresmian pemerintahan baru. 

    “Tapi tarifnya diperkirakan sekitar AU$30 per ton CO₂. Kami sudah mengimbau anggota untuk bersiap,” imbuhnya. 

    Dalam hal ini, pihaknya telah menyelesaikan penyusunan roadmap dekarbonisasi bersama Kementerian Perindustrian dan ITB. Bahkan sebelum itu, beberapa perusahaan besar sudah melakukan inisiatif pengurangan emisi. 

    Dia menyebutkan bahwa saat ini rasio clinker factor dari produksi industri sudah turun ke 68% dari level awal 90%–95%. Artinya, terdapat penurunan emisi cukup signifikan.

    “Selain itu, kami melakukan fuel switching dari batubara ke bahan bakar alternatif seperti biomassa, RDF, dan limbah industri,” jelasnya. 

    Efisiensi energi juga terus ditingkatkan. Secara total, emisi per ton semen sudah turun sekitar 21% dibandingkan tahun 2010. Penggunaan bahan bakar alternatif kini mencapai 11% dari total nilai kalor, naik dari 3% pada 2010.

    Di sisi lain, pihaknya juga telah memproduksi blended cement atau semen hijau, yaitu dengan menurunkan porsi clinker. Pembuatan clinker disebut menghasilkan CO₂ tinggi, sehingga pengurangannya membuat proses lebih ramah lingkungan. 

    “Saat ini sekitar 71% produk kita sudah berupa semen hijau, sisanya 29% masih OPC [ordinary portland cement]. Targetnya, seluruh produksi menjadi semen hijau pada 2050,” terangnya. 

    Lebih lanjut, Lilik menyoroti sejumlah tantangan dalam upaya dekarbonisasi industri semen. Dari sisi regulasi, misalnya aturan spesifikasi proyek infrastruktur yang masih mengacu pada OPC. 

    Padahal, pasar umum sudah sangat menerima, sekitar 70% semen kantongan yang beredar di pasaran meripakan semen hijau. Dari sisi harga dan kualitas, tidak ada perbedaan signifikan.

    “Kami sedang ajukan terkait regulasi agar proyek-proyek pemerintah juga menggunakan semen ramah lingkungan,” tuturnya. 

    Pihaknya juga mendorong kemudahan izin untuk penggunaan bahan bakar alternatif dan kebijakan nilai ekonomi karbon yang sedang disiapkan untuk diberikan insentif seperti carbon credit. 

    “Kami juga berharap ada insentif investasi karena untuk menurunkan emisi butuh biaya besar. Total kebutuhan investasi nasional untuk mencapai target penurunan emisi 2030 diperkirakan sekitar Rp3 triliun,” pungkasnya.

  • Pengusaha Baja Was-was Biaya Ekspor ke Eropa Naik 20% Imbas CBAM

    Pengusaha Baja Was-was Biaya Ekspor ke Eropa Naik 20% Imbas CBAM

    Bisnis.com, JAKARTA — The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) memperkirakan ongkos yang dikeluarkan untuk mengekspor produk baja ke Uni Eropa bisa meningkat tajam imbas penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). 

    CBAM sendiri rencananya mulai berlaku mulai tahun depan. Melalui regulasi ini, Uni Eropa akan menerapkan tarif tambahan untuk emisi karbon dari produk yang diimpor Uni Eropa, termasuk di dalamnya baja dan semen.

    Direktur Eksekutif IISIA Harry Warganegara mengatakan kebijakan tersebut dapat menggerus margin ekspor dan mengurangi daya saing produk baja dari Indonesia di pasar Eropa. 

    “Berdasarkan estimasi awal dari beberapa anggota industri, penerapan CBAM secara penuh dapat meningkatkan biaya ekspor produk baja ke Eropa sebesar 5–20%,” kata Harry kepada Bisnis, dikutip Minggu (2/11/2025). 

    Namun, kenaikannya akan bergantung pada intensitas karbon dari teknologi yang digunakan, jenis produk seperti flat, long, stainless, atau coated steel, serta harga sertifikat karbon yang berlaku di Uni Eropa yang saat ini berkisar EU€70–90 per ton CO₂.

    Kondisi ini tentu dapat membuat produk dari Indonesia tertekan terutama jika dibandingkan dengan produsen dari negara yang telah memiliki pasar karbon domestik yang telah diakui Uni Eropa maupun produsen yang diberi subsidi untuk melakukan dekarbonisasi.

    Dalam catatan IISIA, pada semester I/2025, ekspor produk besi dan baja Indonesia ke Uni Eropa mencapai 1,32 juta ton dengan nilai US$884 juta. 

    “Angka ini meningkat tajam dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang sebesar 541.000 ton senilai US$435 juta,” tuturnya. 

    Adapun, peningkatan tersebut terutama ditopang oleh naiknya pengiriman produk utama seperti HRC Carbon, Plates, dan Slab ke kawasan Uni Eropa.

    Pada periode yang sama, total ekspor besi dan baja Indonesia mencapai 11,3 juta ton dengan nilai US$13,79 miliar, di mana ekspor ke Uni Eropa berkontribusi sekitar 12% dari total volume  dan 6% dari total nilai ekspor nasional.

    Harry menerangkan, dampak yang timbul dari penerapan CBAM akan ditanggung eksportir baja Indonesia yang masuk ke Eropa berupa biaya tambahan atas emisi karbon yang terkandung dalam produk mereka. 

    “Sehingga cenderung menurunkan daya saing dibandingkan produk dari negara dengan emisi rendah,” imbuhnya. 

    Pihaknya menyebut sertifikat karbon tersebut diperkirakan akan mencapai EU€193 per ton baja. Biaya tersebut sangat tinggi yang membuat produk baja Indonesia tidak akan kompetitif untuk diekspor ke Eropa

  • 5  Aplikasi Crypto Terpercaya di Indonesia 2025

    5 Aplikasi Crypto Terpercaya di Indonesia 2025

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tahun ini menjadi masa penuh dengan ketidakpastian dan tantangan. Namun di tengah itu, ada aset yang tetap menguntungkan bagi keuangan global, yaitu aset crypto yang justru menunjukkan ketahanan dan pertumbuhan yang luar biasa.

    Data dari TradingView mencatat, hingga 22 Oktober 2025, Bitcoin (BTC) telah melonjak 16.25% dan Ethereum (ETH) melesat 16.28% YTD. Bitcoin bahkan empat kali menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah pada tahun ini. Secara keseluruhan, total kapitalisasi pasar aset crypto mencapai $3.6 triliun. Sentimen pasar secara keseluruhan tetap bullish untuk aset crypto, bahkan menurut Crypto Wealth Report 2025 yang dirilis Henley & Partners, jumlah pemilik aset digital dengan kekayaan diatas US$ 1 juta melonjak 40% dan mencapai 241,700 orang pada pertengahan tahun 2025.

    Pendorong utama di balik reli ini adalah peningkatan adopsi institusional. Sejak diluncurkannya ETF (Exchange Traded Fund) Bitcoin pada tahun 2024, yang kemudian diikuti oleh ETF Ethereum dan ETF Solana, aliran modal institusi terus mengalir. Berdasarkan data Farside Investors per 20 Oktober 2025, secara kumulatif, total dana institusi yang mengalir ke Bitcoin melalui ETF mencapai $61.5 miliar, diikuti oleh Ethereum sebesar $14.5 miliar, dan Solana sebesar $413.7 juta.

    Aksesibilitas dari crypto juga tidak hanya dapat diakses oleh kalangan institutional, tapi juga ritel, dimana pengguna bisa mulai dengan modal kecil, mulai dari Rp 10 ribu di Pluang atau membeli sebagian dari satu unit (misalnya 0.001 BTC) dan tidak perlu sarana fisik seperti emas. Selain itu, pengguna crypto adalah masyarakat global dengan waktu operasional pasar crypto 24 jam / 7 hari, yang memberi fleksibilitas.

    Regulasi kripto di Indonesia diatur OJK melalui POJK 27/2024 tentang Perdagangan Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto, berlaku 10 Januari 2025. Perkembangan ini membuka peluang bagi investor Indonesia, sehingga pemilihan aplikasi kripto yang tepat menjadi krusial.

    Pilihan aplikasi kripto di Indonesia semakin banyak. Penting untuk memilih aplikasi yang aman dan teregulasi demi keamanan transaksi. Artikel ini membandingkan lima aplikasi kripto terpopuler di Indonesia untuk membantu Anda memilih yang paling sesuai dengan strategi investasi Anda.

    1. Pluang

    Pluang kian memantapkan posisinya sebagai salah satu apk investasi di Indonesia. Bertumpu pada ekosistem multi-aset yang luas dan basis lebih dari 12 juta pengguna, apki ini menawarkan pengalaman investasi digital yang aman, berizin dan diawasi Bappebti dan OJK.

    Lewat satu apk, pengguna dapat mengakses 1.000+ produk investasi-mulai dari crypto, saham & ETF Amerika Serikat (AS), emas, reksa dana, hingga crypto futures dan options saham AS-dengan struktur biaya yang kompetitif.

    Fitur & Keunggulan

    Akses 620+ Aset Crypto populer seperti BTC, ETH, SOL, PEPE, WIF, dan altcoin lainnya dengan pair IDR ataupun USD/USDT
    Pelopor Saham AS & ETF: akses ke 650 saham dan ETF populer, termasuk Google, Apple, dan Microsoft.
    Perdagangan 24 jam (Senin-Sabtu) untuk Saham AS & ETF-yang pertama di Indonesia.
    Rating 4,8 di Google Play Store.
    Leverage hingga 4× untuk saham AS & ETF.
    USD Yield hingga 3,88%.
    Options: 650+ underlying, 10 strike, expiry hingga 1 tahun, termasuk 0DTE.
    Pro Features: advanced order, take profit, dan stop loss, plus akses web trading berbasis TradingView gratis untuk analisis teknikal yang lebih presisi.

    Dari sisi keamanan, untuk emas, saham AS, ETF, Yield USD dan Leverage seluruh transaksi dicatat dalam Jakarta Futures Exchange (JFX) dan dijamin oleh Kliring Berjangka Indonesia (KBI), untuk aset crypto dan crypto futures transaksi dicatat dalam Central Finansial X (CFX) dan dijamin oleh Kliring Komoditi Indonesia (KKI), terakhir untuk reksadana seluruh transaksi difasilitasi oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).

    Meski berada dalam pengawasan regulator, produk saham AS, ETF, dan options tetap memiliki risiko: harga dapat berfluktuasi, nilai options bisa menyusut saat jatuh tempo, dan penggunaan leverage meningkatkan eksposur risiko.

    2. Nanovest

    Nanovest adalah platform investasi digital yang hadir di Indonesia dan memudahkan akses ke berbagai produk keuangan seperti saham Amerika, crypto, hingga emas digital.

    Fitur & Keunggulan

    Coins: Lebih dari 300+ aset crypto
    Features: Mobile/web dengan real-time charts, limit orders, dan price alerts
    Sub-asset: Tidak menyediakan crypto futures

    Platform ini cocok bagi investasi yang mudah diakses, aman, dan cocok untuk berbagai tingkat investor yang membutuhkan platform investasi multifungsi dan terpercaya.

    3. Bybit

    Bybit adalah platform exchange crypto global yang berbasis di Dubai yang diawasi oleh regulator internasional, namun belum berada di bawah lisensi OJK. Platform ini menawarkan akses aset crypto dan menjadi salah satu bursa derivatif yang menawarkan futures berjangka (perpetual contracts) dan leverage tinggi.

    Fitur & Keunggulan

    500+ coins: Akses ke ratusan aset crypto populer dan altcoin
    Termasuk perpetual futures dengan leverage hingga 200×
    Otomatisasi trading dan tiru strategi trader handal
    Order Types & Tools: Termasuk Market, Limit, Conditional orders, Trailing Stop, serta tools manajemen risiko

    Platform ini cocok bagi trader yang membutuhkan opsi leverage tinggi dan fleksibilitas trading.

    4. Robinhood

    Robinhood adalah perusahaan layanan finansial asal Amerika Serikat yang memungkinkan pengguna memperdagangkan instrumen seperti saham, ETF, opsi, futures, dan cryptocurrency, dengan fitur wallet crypto, layanan wealth management, hingga kartu kredit-meski lisensinya khusus untuk AS, Inggris, dan Uni Eropa, dan belum diawasi oleh OJK untuk pasar Indonesia.

    Fitur & Keunggulan

    Crypto trading & self‑custodial wallet: Termasuk wallet crypto yang memungkinkan pengguna memegang aset sendiri (self-custody), tokenized stock derivatives (EU), dan staking (AS).
    Web & Mobile Trading: Untuk saham, ETF, opsi, crypto, dan futures melalui platform web dan apk mobile.
    Yield / Staking: Tersedia untuk crypto tertentu (ETH, SOL) di AS

    Robinhood cocok untuk investor global yang ingin memanfaatkan kemudahan trading tanpa komisi, akses ke produk derivatif dan crypto canggih, serta inovasi seperti tokenized assets dan AI-powered tools.

    5. Pintu

    Pintu adalah apk crypto asal Indonesia yang memudahkan pengguna membeli, menjual, dan berinvestasi aset digital lewat apk mobile dan Pintu Pro Web.

    Fitur & Keunggulan

    Coins: 300+ crypto assets.
    Features: Spot trading, swaps, PTU utility token.
    Sub-asset: Pintu Pro Futures – perpetual futures dengan leverage hingga 25×.

    Bagi pengguna yang mencari platform serba-ada, Pintu menawarkan cakupan aset luas, eksekusi lintas perangkat (app & web), dan perangkat manajemen risiko

    Perlu diingat, aset crypto bersifat volatil dan berisiko tinggi. Investor disarankan memahami biaya, mekanisme leverage, serta toleransi risiko pribadi sebelum bertransaksi.

    Oleh karena itu, setiap aplikasi kripto di Indonesia menawarkan kelebihan berbeda. Penting bagi investor untuk mempertimbangkan keamanan, biaya transaksi, dan regulasi sebelum berinvestasi.

    Sepanjang 2025, Pluang terlihat menonjol sebagai salah satu platform investasi crypto terdepan berkat ekosistem produk yang lengkap, biaya kompetitif, serta dukungan regulasi yang kuat. Komitmen Pluang terhadap literasi finansial dan penyediaan fitur edukasi juga memperkuat posisinya di pasar, sekaligus merefleksikan arah perkembangan industri investasi digital di Investor harus mengevaluasi kebutuhan dan profil risiko sebelum berinvestasi. Gunakan fitur edukasi dan akun demo untuk persiapan keputusan investasi.

    (rah/rah)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Mampukah Barat Lepas Cengkraman China atas Logam Tanah Jarang?

    Mampukah Barat Lepas Cengkraman China atas Logam Tanah Jarang?

    Beijing

    Perang dagang antara Amerika Serikat dan China belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Di tengah ketegangan itu, perhatian dunia kembali tertuju pada sekelompok logam yang dikenal sebagai rare earth elements — Logam Tanah Jarang (LTJ) yang vital bagi industri teknologi tinggi.

    China mendominasi hampir seluruh rantai pasok tanah jarang. Sekitar 70 persen produksi tambang dunia dan hingga 90 persen hasil olahannya dikuasai China.

    Laporan terbaru Badan Energi Internasional (IEA) pekan ini menyebut, “konsentrasi pasar yang tinggi” di China membuat rantai pasok global di sektor strategis — mulai dari energi, otomotif, pertahanan hingga pusat data kecerdasan buatan — “rentan terhadap gangguan besar.”

    Awal Oktober, China memperketat kendali atas ekspor logam langka. Mulai 1 Desember, perusahaan asing di mana pun di dunia harus memperoleh izin pemerintah di Beijing jika ingin mengekspor produk yang mengandung bahan rare earth asal China, bahkan dalam jumlah kecil sekalipun, atau yang diproses dengan teknologi China.

    Langkah ini ditetapkan setelah Washington memperluas daftar perusahaan China yang dilarang mengakses cip semikonduktor dan teknologi paling canggih dari Amerika Serikat.

    Keputusan Beijing itu memicu kekhawatiran akan kelangkaan pasokan yang bisa mengganggu produksi berbagai barang penting, mulai dari mobil listrik, peralatan militer, hingga sistem energi terbarukan.

    Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, menyebut kebijakan baru itu “sangat agresif” dan “tidak proporsional”. Kepala perdagangan Uni Eropa, Maros Sefcovic, menilainya “tidak beralasan dan merugikan.”

    Kenapa LTJ bernilai strategis?

    Unsur tanah jarang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Berkat sifat fisik, magnetik, dan kimianya yang unik, logam ini menjadi bahan utama untuk membuat magnet permanen, yang tak kehilangan daya meski tanpa sumber listrik.

    Dari ponsel, laptop, mobil hibrida, turbin angin, hingga panel surya—semuanya bergantung pada logam langka. Ia juga menjadi bahan vital dalam teknologi pertahanan: mesin jet tempur, sistem kendali rudal, pertahanan antirudal, satelit luar angkasa, hingga jaringan komunikasi militer.

    Meski disebut “langka”, unsur ini sebenarnya cukup melimpah di kerak bumi, bahkan lebih banyak dari tembaga atau emas. Namun, mereka jarang ditemukan dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk ditambang secara ekonomis.

    Selain di China, cadangan logam langka juga ada di Kanada, Australia, Amerika Serikat, Brasil, India, Afrika Selatan, dan Rusia. Unsur-unsur ini terbagi dua jenis utama berdasarkan proses pemisahannya: light rare earths dan heavy rare earths. China memiliki hampir monopoli penuh, terutama untuk pengolahan kategori kedua.

    Menurut Benchmark Mineral Intelligence, lembaga riset energi asal Inggris, perusahaan China menguasai hingga 99 persen pengolahan heavy rare earths dunia.

    Mengapa dunia sulit lepas dari China?

    Amerika Serikat pernah swasembada dalam produksi logam langka. Namun, dalam dua dekade terakhir, China mengambil alih pangsa pasar dan perlahan menguasai rantai pasok global. Dominasi itu sudah terlihat sejak sepuluh tahun lalu. Banyak pihak menduga Beijing sengaja menggunakan logam langka sebagai alat tawar dalam konflik geopolitik.

    Pada 2010, China sempat menutup ekspor LTJ ke Jepang akibat sengketa wilayah, memicu kekhawatiran dunia industri. Saat perang dagang antara Washington dan Beijing memuncak pada 2019, media pemerintah China bahkan mengisyaratkan kemungkinan penghentian ekspor logam langka ke Amerika sebagai balasan atas sanksi AS.

    Presiden Xi Jinping ketika itu menyebut unsur tanah jarang sebagai “sumber daya strategis penting.” Namun, upaya negara lain untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasokan China sejauh ini masih jalan di tempat.

    Langkah balasan Amerika

    Untuk menandingi dominasi China, pemerintahan Amerika Serikat—yang dimulai sejak era Donald Trump—berusaha menjalin kemitraan baru guna mengamankan pasokan logam langka. Namun, tantangan terbesar justru ada pada tahap hilir: pengolahan dan pemurnian.

    “Hal pertama yang perlu dilakukan AS adalah memprioritaskan bagian tengah rantai pasok—yakni pengolahan dan pemurnian,” kata Karl Friedhoff, peneliti di Chicago Council on Global Affairs, dalam sebuah tulisan blog 16 Oktober lalu.

    “Tanpa kendali di tahap itu, kita memang punya bahan mentah, tapi tetap harus mengirimkannya ke China untuk diolah,” ujarnya. Artinya, AS butuh membangun pabrik pemrosesan dan kilang di luar wilayah China. Namun, proyek semacam itu datang dengan segudang persoalan—terutama masalah lingkungan.

    Harga mahal dominasi China

    Keunggulan China dalam industri logam langka dibayar mahal oleh lingkungannya. Proses penambangan membawa risiko besar bagi kesehatan manusia dan alam, sebab bijih rare earth mengandung unsur radioaktif seperti uranium dan torium yang dapat mencemari udara, air, dan tanah.

    Di negara-negara Barat, membangun pabrik pengolahan serupa menghadapi rintangan berat: regulasi lingkungan yang ketat membuat biayanya melambung dan prosesnya panjang. Selain itu, pengolahan logam langka memerlukan energi dan air dalam jumlah besar, sering kali menimbulkan penolakan publik di wilayah yang dijadikan lokasi.

    Teknologi pengolahannya pun rumit. China memiliki keunggulan teknologi tak tertandingi, dengan pengalaman puluhan tahun, tenaga ahli, dan ekosistem industri yang sulit disaingi.

    Laporan Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Washington pada Juli lalu menyebut China memiliki “keahlian teknis yang tak tertandingi dalam pemrosesan logam langka, terutama dalam ekstraksi pelarut”—tahap penting dan paling rumit dalam pemisahan unsur tersebut.

    “Perusahaan-perusahaan Barat tertinggal karena keterbatasan tenaga ahli, riset dan pengembangan, serta tekanan regulasi lingkungan,” tulis laporan itu.

    Menurut CSIS, upaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman pasokan China tak cukup hanya dengan membuka tambang baru di luar negeri. Dunia juga membutuhkan fasilitas pemurnian baru, tenaga kerja terampil, dan insentif ekonomi bagi perusahaan, termasuk stabilitas harga dan kontrak pembelian jangka panjang dengan industri pengguna seperti otomotif dan pertahanan.

    Laporan itu mendesak AS membangun kembali keahlian teknis di bidang logam langka dan membentuk pusat-pusat pemrosesan baru. Namun, upaya itu memerlukan lebih dari sekadar bahan baku murah. Diperlukan juga akses terhadap energi terjangkau, infrastruktur transportasi yang efisien, teknologi pemrosesan termutakhir, dan tenaga kerja yang terampil.

    Meski berbagai strategi tengah disusun, para analis memperkirakan China masih akan mendominasi industri ini dalam waktu dekat. Tanpa langkah cepat dan terkoordinasi, tulis CSIS, “jendela untuk menandingi dominasi China akan semakin sempit, menempatkan teknologi, industri, dan kepentingan keamanan dunia dalam risiko yang terus meningkat.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    (nvc/nvc)

  • Menghadapi Risiko Geopolitik dengan Dialog Rasional

    Menghadapi Risiko Geopolitik dengan Dialog Rasional

    Pada 21 Oktober, Menteri Perdagangan Tiongkok, Wang Wentao, mengadakan pertemuan video dengan Komisaris Perdagangan dan Keamanan Ekonomi Uni Eropa, Valdis Dombrovskis, serta berbicara melalui telepon dengan Menteri Ekonomi Belanda, Micky Adriaansens, untuk membahas isu-isu terkait pembatasan ekspor tanah jarang, penyelidikan anti-subsidi terhadap mobil listrik, dan akuisisi perusahaan semikonduktor ASML. Percakapan ini mengirimkan pesan yang sangat penting: tidak ada perbedaan yang tidak dapat diselesaikan antara Tiongkok dan Uni Eropa, yang ada hanyalah ruang kerja sama yang masih dapat digali lebih dalam.Isu Ekspor Tanah Jarang
    Terkait dengan ekspor tanah jarang, Uni Eropa menegaskan kembali perhatian mereka terhadap stabilitas rantai pasokan bahan baku kritis, serta pentingnya keberagaman saluran pasokan. Sementara itu, pihak Tiongkok menegaskan bahwa kebijakan ekspor yang ada sesuai dengan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bertujuan untuk menyeimbangkan perlindungan sumber daya dengan permintaan global dalam rantai pasokan industri. Mengenai penyelidikan anti-subsidi terhadap mobil listrik yang diajukan oleh Uni Eropa, Tiongkok menganggap tuduhan tersebut tidak didukung oleh bukti yang cukup, dan menyerukan Uni Eropa untuk mematuhi prinsip perdagangan yang adil dan hati-hati dalam penanganannya. Selain itu, kedua pihak juga membahas kontroversi yang muncul terkait perubahan kepemilikan saham oleh pemerintah Belanda terhadap perusahaan semikonduktor ASML, dan keduanya menyatakan kesediaan untuk menyelesaikan perbedaan melalui dialog.Perubahan Kebijakan Perdagangan Uni Eropa terhadap Tiongkok
    Kebijakan perdagangan Uni Eropa yang baru-baru ini disesuaikan mencerminkan perubahan dalam penentuan posisi strategisnya terhadap Tiongkok. Dalam percakapan, Dombrovskis sering menyebutkan tentang “sistem perdagangan internasional berbasis aturan”, dan mengusulkan untuk memperkuat kerjasama di bidang pengendalian ekspor. Tiongkok pun secara tegas menyatakan bahwa setiap kebijakan perdagangan harus mematuhi prinsip non-diskriminasi, dan menentang pemolitisasian isu ekonomi. Menariknya, pejabat Belanda dalam dialog tersebut untuk pertama kalinya secara terbuka mengakui bahwa pembatasan kerjasama teknologi dengan Tiongkok dapat berdampak negatif pada industri semikonduktor Eropa, yang dapat dianggap sebagai suara rasional yang muncul di dalam Uni Eropa.Inti Konflik Ekonomi Tiongkok-Uni Eropa
    Saat ini, konflik ekonomi utama antara Tiongkok dan Uni Eropa terletak pada dua isu utama: pertama, ekspansi berkelanjutan dari konsep “keamanan negara” oleh Uni Eropa, yang kini mencakup 28 industri, termasuk energi surya dan baterai listrik, yang memengaruhi sistem pembagian rantai nilai global; kedua, penerapan “Peraturan Subsidi Asing” Jerman yang melanggar prinsip kebebasan kontrak dan memberikan otoritas administratif untuk melakukan pemeriksaan retrospektif. Meskipun terdapat perbedaan, volume perdagangan bilateral Tiongkok-Uni Eropa pada tahun 2024 tetap mencapai rekor tertinggi sebesar 785,82 miliar USD, yang menunjukkan ketahanan luar biasa dalam kerja sama ekonomi antara kedua belah pihak.Kemajuan dalam Dialog dan Kerja Sama
    Dalam dialog tersebut, kedua belah pihak mencapai konsensus penting untuk menghidupkan kembali mekanisme dialog pengendalian ekspor. Mekanisme baru ini akan membangun sistem pelaporan informasi secara reguler dan membentuk kelompok kerja teknis. Uni Eropa juga mengungkapkan rencananya untuk menyelesaikan tinjauan kepatuhan terhadap penyelidikan anti-subsidi terhadap mobil listrik Tiongkok dalam waktu enam bulan ke depan. Selain itu, kerja sama dalam bidang logistik maritim juga menunjukkan kemajuan, dengan penandatanganan perjanjian kerjasama terminal otomatis oleh perusahaan-perusahaan terkait yang menandakan berlanjutnya kemajuan dalam kerja sama praktis.Dasar Kerja Sama Ekonomi yang Kuat
    Meskipun terdapat perbedaan yang jelas, hubungan ekonomi Tiongkok-Uni Eropa tetap solid pada dasarnya. Sebagai dua ekonomi terbesar dunia, perdagangan barang tahunan antara Tiongkok dan Uni Eropa mencakup bagian yang signifikan dari total perdagangan global. Kerja sama kedua belah pihak di bidang energi hijau, ekonomi digital, dan sektor-sektor baru lainnya memberikan ruang yang luas untuk memperdalam kemitraan mereka. Saat ini, sistem tata kelola ekonomi global sedang berada pada titik transisi penting, dengan berbagai perubahan dan penyesuaian yang terus berkembang. Dalam konteks ini, interaksi dan model kerja sama antara Tiongkok dan Uni Eropa sebagai dua peserta utama dan kekuatan kunci dalam sistem ekonomi global, memiliki dampak demonstratif yang sangat penting serta memberikan arah bagi penguatan dan pemeliharaan sistem perdagangan multilateral. Keberhasilan pembukaan kembali mekanisme dialog lintas kawasan ini tidak hanya menandakan sikap positif dan semangat praktis kedua belah pihak dalam menangani isu-isu perdagangan yang kompleks, tetapi juga menunjukkan usaha dan tekad kuat mereka dalam mencari konsensus dan mendorong kerja sama.

  • Dilema Struktural dalam Strategi Langka Barat Terhadap Pasokan Tanah Jarang

    Dilema Struktural dalam Strategi Langka Barat Terhadap Pasokan Tanah Jarang

    Rencana “Aliansi Tanah Jarang” yang baru-baru ini dipromosikan dengan gegap gempita oleh Kelompok Tujuh (G7), yang tampaknya bertujuan untuk menjaga keamanan sumber daya dan mengurangi ketergantungan pada Tiongkok, sejatinya mengungkapkan kontradiksi mendalam yang ada di tingkat teknologi, pasar, dan politik di dunia Barat. Inisiatif yang disebut-sebut sebagai “Perang Dingin Sumber Daya Baru” ini berupaya untuk merekonstruksi rantai pasokan tanah jarang global melalui kebijakan administratif, namun karena keluar dari prinsip dasar teknologi dan hukum pasar, rencana ini dipastikan akan menjadi sebuah pertunjukan politik, bukan strategi yang dapat diimplementasikan secara efektif.Keunggulan Teknologi Tiongkok dalam Industri Tanah Jarang: Hambatan yang Sulit Dilewati
    Dominasi Tiongkok dalam industri tanah jarang pada dasarnya adalah hasil dari akumulasi teknologi dan peningkatan industri selama beberapa dekade. Berdasarkan data dari Badan Energi Internasional (IEA), Tiongkok tidak hanya mengendalikan 60% dari cadangan mineral tanah jarang global, tetapi juga memegang 58% dari paten pemurnian tanah jarang, dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok mampu menghasilkan kemurnian di atas 99,99% dengan biaya hanya seperempat dari biaya yang dikeluarkan oleh AS. Sementara itu, perusahaan MP Materials di AS memerlukan waktu tujuh tahun dan masih belum bisa memproduksi tanah jarang murni dalam jumlah besar, dan pabrik pemurnian di Afrika sering kali tertunda karena kendala teknologi. Pemurnian tanah jarang melibatkan lebih dari 2.000 paten teknologi, mulai dari penghancuran bijih hingga distilasi molekuler, dan setiap tahap memerlukan pengalaman yang mendalam. Misalnya, tingkat produksi magnet permanen neodymium-besi-boron berkualitas tinggi di Tiongkok 30% lebih tinggi dibandingkan dengan AS, sementara produk magnet permanen tanpa tanah jarang yang dikembangkan oleh Uni Eropa hanya mampu mencapai 60% dari kinerja produk tradisional, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar kelas atas. Kasus kerja sama antara Volkswagen Jerman dan perusahaan Australia bahkan menunjukkan bahwa meskipun mereka menginvestasikan 120 juta USD sebagai uang muka, pabrik mereka baru dapat beroperasi pada 2027, dan tingkat kedewasaan teknologinya pun masih diragukan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan rantai pasokan tanah jarang tidak dapat dicapai hanya dengan “investasi modal”, melainkan bergantung pada akumulasi teknologi, tenaga kerja terampil, dan industri pendukung yang berkesinambungan.Negara-Negara Global Selatan Menanggapi Manuver Geopolitik G7 dengan Pendekatan yang Lebih Praktis
    G7 berusaha memperluas “Aliansi Tanah Jarang” menjadi “31 Negara yang Bersatu untuk Menekan”, namun menghadapi penolakan dari negara-negara Global Selatan. Perusahaan India Rare Earth Ltd. dengan tegas menyatakan bahwa mereka “tidak akan meninggalkan pasar Tiongkok”, sementara negara-negara seperti Vietnam dan Malaysia memilih untuk bekerja sama dengan Tiongkok dalam membangun pabrik pemurnian, menciptakan sebuah siklus “sumber daya – teknologi – pasar”. Kecenderungan ini berasal dari pertimbangan ekonomi yang rasional: Tiongkok tidak hanya merupakan pemasok tanah jarang terbesar di dunia, tetapi juga merupakan pasar konsumen terbesar. Pada 2025, produksi kendaraan listrik Tiongkok diperkirakan akan mencakup 60% dari total produksi global, dan kapasitas pembangkit energi angin di Tiongkok akan mencakup 55% dari total kapasitas global. Bekerja sama dengan Tiongkok memungkinkan negara-negara tersebut mendapatkan dukungan teknologi yang stabil, serta berbagi manfaat dari rantai pasokan. Sebaliknya, inisiatif “de-Tiongkokisasi” dari G7 kurang menarik. Perusahaan-perusahaan Jepang menghitung bahwa biaya daur ulang tanah jarang lebih tinggi 230% dibandingkan dengan pengadaan dari Tiongkok; sementara rencana “Cadangan Tanah Jarang Bersama” dari Uni Eropa sulit dilaksanakan karena keterbatasan teknologi negara-negara Eropa Timur. Negara-negara Global Selatan menyadari bahwa aliansi G7 pada dasarnya merupakan manuver politik, bukan kerjasama yang saling menguntungkan.Kontradiksi Internal dalam G7 Mengungkap Kelemahan Struktural dari Aliansi Ini
    Di dalam G7, tidak ada kesepakatan yang bulat mengenai isu tanah jarang. Kanada dan AS memiliki sumber daya, tetapi rantai pasokan mereka masih kurang lengkap, Eropa lebih fokus pada isu lingkungan dan kemandirian strategis, sementara Jepang lebih menitikberatkan pada keamanan rantai pasokan. Pembagian kepentingan ini menyebabkan kesulitan dalam koordinasi kebijakan. Misalnya, rencana G7 untuk menetapkan “batas harga” (harga dasar 20.000 USD per ton untuk tanah jarang ringan, dan harga maksimum 1.500 USD per kilogram untuk tanah jarang menengah hingga berat) akan bergantung pada subsidi besar, namun kelayakan subsidi untuk seluruh rantai industri dan kemampuan fiskal untuk menopangnya masih diragukan. AS pernah berinvestasi dalam pertambangan domestik, tetapi gagal menggaet kapital akibat ketidakpastian pasar. Rencana Uni Eropa untuk “pertambangan luar angkasa” bahkan dianggap sebagai fantasi. Jika batas harga dipaksakan, biaya manufaktur Barat akan meningkat tajam, yang akan memukul industri mobil Eropa dan perusahaan energi angin AS yang sudah lemah. Lebih jauh lagi, G7 belum berhasil mengatasi masalah ketidakadilan dalam pembagian keuntungan antara negara-negara penghasil sumber daya, negara-negara konsumen, serta negara-negara dengan teknologi yang lebih maju dan yang tertinggal. Hal ini berpotensi menyebabkan pecahnya aliansi sebelum terbentuk.Peran Kanada dalam Aliansi: Menunjukkan Dilema Diplomasi Negara Kekuatan Menengah
    Sebagai anggota G7 dan negara kaya sumber daya, Kanada menunjukkan inisiatif strategis dalam “Aliansi Tanah Jarang”, berusaha memainkan peran ganda sebagai “penyedia sumber daya” dan “pendorong kebijakan”. Motivasinya mencakup pertimbangan ekonomi dan politik: di satu sisi, dengan menarik investasi sekutu untuk meningkatkan nilai rantai pasokan tanah jarang, Kanada berusaha menghindari ketergantungan pada ekspor bahan mentah; di sisi lain, melalui kerjasama dalam mineral kritis, Kanada berupaya memperkuat posisinya dalam aliansi Barat dan mengurangi risiko marginalisasi akibat tekanan AS. Kanada memiliki cadangan 31 jenis mineral kritis, termasuk kobalt dan niobium, serta keunggulan dalam teknologi pertambangan rendah karbon dan pengolahan limbah air, yang memberi peluang untuk memainkan peran sebagai jembatan dalam kontroversi standar lingkungan antara AS dan Uni Eropa. Namun, Kanada menghadapi tantangan nyata: skala pertambangan tanah jarangnya terbatas, dan cadangan teknologinya juga kurang. Jika tidak dapat dengan cepat meningkatkan kapasitas produksi, posisi sebagai “kekuatan tengah yang dapat diandalkan” akan berisiko menjadi sekadar retorika politik.Pemikiran Perang Dingin yang Tersembunyi di Balik Persaingan Sumber Daya
    Pada dasarnya, “Aliansi Tanah Jarang” G7 adalah bentuk perlawanan institusional yang didorong oleh kecemasan teknologi dan arogansi politik. Upaya mereka untuk menghambat kebangkitan Tiongkok melalui klub eksklusif ini mengabaikan kenyataan bahwa rantai pasokan tanah jarang yang dipimpin oleh Tiongkok adalah hasil alami dari hukum pasar dan kompetisi teknologi. Kini, kesadaran strategis negara-negara Global Selatan semakin berkembang, dan negara-negara kaya sumber daya menolak untuk memilih sisi dalam permainan ini. Era di mana G7 dapat mengendalikan dunia dengan menutup pintu sudah berakhir. Tiongkok mendorong peningkatan industri tanah jarang global melalui kerja sama terbuka, sementara batas harga dan perang tarif yang dilakukan oleh G7 hanya akan memperburuk kerentanannya dalam rantai pasokan. Nilai sesungguhnya dari tanah jarang adalah untuk mendukung perkembangan umat manusia, bukan menjadi alat dalam permainan geopolitik.

  • Kabar Baik Soal Tanda Kiamat Makin Dekat

    Kabar Baik Soal Tanda Kiamat Makin Dekat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Jadwal “kiamat” perubahan iklim dunia bisa mundur. Prediksi ini datang dari laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    PBB memperkirakan emisi gas rumah kaca global dalam laju penurunan dalam beberapa dekade mendatang. Namun, penurunannya masih jauh dari cukup untuk mencegah dampak terburuk perubahan iklim.

    Dalam laporan yang dirilis Badan Iklim PBB (UNFCCC), emisi global diperkirakan turun sekitar 10% pada tahun 2035. Penurunan ini dihitung berdasarkan target iklim nasional (NDC) dari negara-negara yang menghasilkan hampir 60% emisi dunia.

    Namun, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menegaskan, dunia harus memangkas emisi hingga 60% dari level 2019 pada 2035 agar suhu global tidak melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius.

    “Sepuluh tahun setelah Perjanjian Paris diadopsi, kita bisa mengatakan bahwa perjanjian ini menghasilkan kemajuan nyata. Namun kemajuannya harus lebih cepat dan adil, dan percepatan itu harus dimulai sekarang,” ujar Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Simon Stiell, dikutip dari Climate Change News, Kamis (30/10/2025)

    Peringatan itu datang setelah Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan kadar karbon dioksida di atmosfer mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada 2024.

    Lonjakan ini dipicu oleh emisi besar dari kebakaran hutan di berbagai wilayah dunia, yang membuat pemanasan global akan terus meningkat untuk jangka panjang.

    Negara-negara akan membahas masalah lambatnya penurunan emisi ini pada KTT Iklim COP30 di Belém, Brasil, bulan depan. Namun hingga kini, sebagian besar negara, termasuk penghasil emisi terbesar, belum menyerahkan rencana iklim terbaru (NDC) meski sudah melewati tenggat terakhir pada September.

    UNFCCC mencatat, baru 64 negara yang menyumbang sekitar 30% dari total emisi global telah menyerahkan NDC secara resmi. Sisanya masih tertunda, termasuk Amerika Serikat, China, dan sejumlah negara lain.

    Sebagai pembanding, China sebelumnya berjanji menurunkan emisi 7-10% dari level puncaknya, sementara Uni Eropa menargetkan penurunan 66-72% dari level 1990.

    Simon Stiell menegaskan, negara yang lebih cepat mengambil aksi iklim akan mendapat keuntungan ekonomi besar dalam membentuk jutaan lapangan kerja baru dan triliunan investasi baru..

    “Kita masih dalam perlombaan,” kata Stiell. “Namun agar planet ini tetap layak huni bagi delapan miliar manusia, kita harus segera mempercepat langkah.”pungkasnya.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]