Negara: Uni Eropa

  • Mengapa China Tak Takut dengan Ancaman Tarif Trump? Ini Kata Analis

    Mengapa China Tak Takut dengan Ancaman Tarif Trump? Ini Kata Analis

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah analis maupun ahli menyatakan bahwa China bakal bertahan dari tekanan dan ancaman ekonomi yang disebabkan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump.

    Direktur Pusat Penelitian RAND China Jude Blanchette mengatakan bahwa “intimidasi” Trump tidak akan membuat Beijing tertekan. Menurutnya, strategi yang telah disusun Presiden China Xi Jinping dalam mempersiapkan perang dagang AS vs China bakal berhasil. Dengan demikian, China tidak perlu bernegosiasi dengan AS terkait tarif Trump.

    “Beijing tidak mencari negosiasi [dengan Trump],” ujar Blanchette dilansir ABC News pada Jumat (11/4/2025).

    Dia menilai bahwa kedua pemimpin negara itu memiliki pandangan berbeda terkait gejolak ekonomi akibat tarif Trump. Ambil contoh, kata dia, Washington berpandangan bahwa pemberlakuan tarif Trump dapat membuat China tunduk.

    Sebab, menurut AS, China sangat bergantung terhadap ekspor. Di lain sisi, Xi Jinping justru memiliki pandangan bahwa tarif Trump bakal membuat negara-negara enggan berbisnis dengan AS

    “Di sisi lain, Beijing melihat AS semakin lemah secara ekonomi di bawah Trump dan menjauh dari sekutu-sekutunya,” tutur Blanchette.

    Selain Blanchette, Peneliti Politik sekaligus Analis Tiongkok di Asia Society Policy Institute Neil Thomas mengungkap persiapan untuk perang dagang dari Xi Jinping telah dilakukan selama bertahun-tahun.

    Salah satu strategi itu yakni dengan mengembangkan mitra dagang seluas-luasnya. Alhasil, Thomas, menyatakan bahwa wajar apabila Xi Jinping optimistis bakal membuat Trump “tunduk”.

    “Saat ini, Xi tampaknya menghitung bahwa Tiongkok dapat menahan kerusakan dan pada akhirnya Amerika Serikat yang akan mengalah terlebih dahulu,” ujar Thomas.

    Adapun, Thomas mengemukakan bahwa Xi Jinping bisa saja memberikan serangan balik dengan melarang lebih banyak perusahaan AS untuk berbisnis di China.

    Kemudian, China bisa membatasi lebih jauh ekspor bahan-bahan penting ke AS seperti mineral bumi yang langka sekaligus menutup rantai pasokan teknologi canggih.

    Selain itu, pemerintah China juga bisa membatasi film-film Hollywood di China. Meski ini bukan tindakan balasan yang “signifikan”, namun Thomas menilai bahwa tindakan ini sejalan dengan agenda politik Xi Jinping untuk mengurangi pengaruh asing pada masyarakatnya.

    “Tarif akan menyakitkan secara ekonomi, tetapi Xi juga melihat ini sebagai peluang untuk membawa China ke situasi yang lebih sehat dengan mengurangi ketergantungan pada AS,” pungkasnya.

    Lebih jauh, Penasihat Senior Bidang Bisnis dan Ekonomi China Scott Kenney berpendapat bahwa apabila China sudah melakukan serangan balik maka kebijakan tarif Trump itu hanya akan berlangsung sampai 90 hari.

    “Saya pikir China akan membaca ini sebagai kelemahan Presiden Trump dan mereka akan menunggu,” ujar Kenney.

    Seperti diketahui, perang dagang semakin memanas setelah Amerika Serikat mengenakan Tarif Trump 125% kepada China, naik dari sebelumnya yang sebesar 104%. Namun, Trump justru menunda pengenaan tarif bagi negara-negara lain selama 90 hari.

    Dilansir dari Bloomberg, Presiden Amerika Serikat (AS) mengumumkan keputusannya itu melalui media sosial Truth Social pada Rabu (9/4/2025) pukul 13.18 waktu AS. Perubahan sikap itu terjadi sekitar 13 jam setelah bea masuk tinggi terhadap 56 negara dan Uni Eropa mulai berlaku.

    Trump menghadapi tekanan besar dari para pemimpin bisnis dan investor untuk mengubah arah kebijakannya. Pasalnya, tarif Trump dinilai berisiko memicu gejolak pasar dan ketakutan akan resesi ekonomi.

    “Saya pikir orang-orang sedikit keluar jalur … Mereka menjadi sedikit cerewet, sedikit takut,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih ketika ditanya mengapa dia menunda pengenaan tarif, Rabu (9/4/2025) waktu AS.

  • Indonesia Bisa Manfaatkan Peluang Tarif Resiprokal AS Lewat Pengalihan Impor – Halaman all

    Indonesia Bisa Manfaatkan Peluang Tarif Resiprokal AS Lewat Pengalihan Impor – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pasar saham Indonesia memiliki ketahanan yang relatif lebih baik dibanding banyak negara lain, terutama di tengah tekanan pasar global akibat tarif balasan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok,

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, IHSG sempat turun hingga 9 persen di sesi pembukaan dan ditutup melemah 7,9 persen ke level 5.996,14. Namun, posisi Indonesia tetap lebih baik dibandingkan banyak negara lain.

    “Kalau kita lihat banyak negara yang indeks harga sahamnya pada tanggal 8 April dibanding 2 April banyak yang koreksinya sangat dalam hingga 14 persen,” ujar Sri Mulyani Indrawati dikutip, Kamis (10/4/2025).

    Verdhana Sekuritas dalam analisisnya menyatakan, Indonesia bisa memanfaatkan tarif resiprokal yang diberlakukan Pemerintah Amerika Serikat sebagai peluang strategis dengan mengalihkan impor ke produk-produk dari AS seperti produk pertanian, energi, teknologi.

    Selain itu insentif fiskal juga akan dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan impor AS dan mempertahankan daya saing ekspor. Adapun kuota, lisensi, dan hambatan impor lainnya akan dihapuskan untuk meningkatkan kemudahan berbisnis.

    “Ini adalah sebuah perkembangan besar yang disambut baik oleh komunitas bisnis. Persyaratan TKDN juga akan beralih dari mandat yang kaku ke kerangka kerja berbasis insentif untuk meningkatkan daya saing,” tulis Verdhana dalam laporan terbarunya, Kamis (10/4/2025).

    Berdasarkan analisis Verdhana, untuk mengurangi surplus perdagangan dengan AS, Indonesia hanya perlu mengalihkan sejumlah kecil impor ke AS, yang berpotensi menurunkan tarif.

    “Sebaliknya, negara-negara seperti Vietnam perlu meningkatkan impor mereka ke AS sebanyak 11 kali (sekitar 30 persen dari PDB).

    Hal ini memberikan peluang bagi perusahaan untuk berinvestasi di Indonesia dengan tarif yang berpotensi lebih rendah ke pasar AS,: jelas Verdhana.

    Selain itu pemerintah juga akan memberikan perlindungan sektor padat karya dalam negeri, misalnya tekstil, garmen, dan alas kaki, baik terhadap tarif maupun impor ilegal. Akan ada pembentukan gugus tugas khusus untuk mengurangi risiko PHK.

    Kebutuhan untuk mengeksplorasi pasar baru, seperti Uni Eropa dan kawasan lain, juga merupakan bagian dari rencana pemerintah. Terakhir, reformasi bea cukai, administrasi pajak, dan penegakan hukum akan diprioritaskan untuk mengatasi impor ilegal dan praktik dumping.

    “Pertemuan hari ini semakin mendukung pandangan kami bahwa aksi jual di pasar terlalu berlebihan,” sambungnya.

  • Akhir dari Era Perdagangan Bebas?

    Akhir dari Era Perdagangan Bebas?

    Bisnis.com, JAKARTA – Perdagangan global yang dibangun di atas sistem berbasis aturan (rules-based system) yang dipelopori antara lain oleh Amerika Serikat sejak tahun 1947 (GATT-General Agreement on Tariffs and Trade) dan dilanjutkan dengan pembentukan organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization) tahun 1995 nampak bermasa depan suram.

    Pada tanggal 2 April 2025, dalam sebuah acara dramatis di Gedung Putih, Presiden Donald Trump mengumumkan tarif bea masuk baru untuk beberapa negara mitra dagang sebagai bagian dari upayanya untuk meningkatkan ekonomi Amerika dan melindungi industri dalam negeri. Sekaligus Trump juga mengumumkan tarif timbal balik untuk sejumlah 92 negara yang memiliki defisit perdagangan terbesar dengan AS, termasuk Indonesia.

    Tarif timbal balik ini akan diterapkan mulai tanggal 9 April 2025. Kebijakan ini seharusnya bukan suatu kejutan karena sejak menjabat di periode pertama, Presiden Trump telah menerapkan kebijakan tarifikasi sebagai bagian dari kebijakan “America First” untuk membuat Amerika hebat kembali. Namun, tetap saja skala dan cakupan tarif tersebut mengkonfirmasi bahwa dalam satu gebrakan hari pembebasan (“Liberation Day”), Washington telah membatasi laju arus perdagangan internasional secara signifikan.

    Apa Dasar Penetapan Tarif Timbal Balik AS?

    Trump nampaknya melakukan penilaian kebijakan perdagangan negara mitra–baik tarif, non-tarif, dan manipulasi mata uang yang dianggap menghambat ekspor AS–untuk menetapkan tarif timbal balik tersebut. Satu sumber mengungkapkan bahwa Washington mendasarkan diri kepada ‘bad math’ (matematika yang buruk) karena menggunakan rasio perbandingan antara defisit perdagangan AS dengan Tiongkok, sebagai contoh, dengan nilai ekspor negara dimaksud ke AS. Trump juga disebutkan telah bermurah hati memberikan diskon sebesar 50% kepada Tiongkok.

    Konkritnya, pada tahun 2024 defisit perdagangan AS dengan Tiongkok mencapai USD 295,4 miliar. Impor AS dari Tiongkok sendiri tercatat sebesar USD 438,9 miliar. Dari rasio dimaksud didapatkan angka 67%, yang kemudian didiskon 50% sehingga diperoleh tarif timbal balik sebesar 34%. Tarif ini merupakan tarif tambahan di atas tarif 20% yang sudah diberlakukan sebelumnya atas Tiongkok sehingga total tarif impor mencapai 54%. (https://www.foreignaffairs.com/united-states/age-tariffs-trump-global-economy).

    Lalu bagaimana dengan tarif 34% yang dikenakan terhadap Indonesia yang memiliki suplus sebesar USD 16,8 milyar pada tahun 2024 dengan AS? Dasar pengenaan ini perlu dimintakan klarifikasi ke pihak AS. Bagaimana pula nasib sejumlah 111 negara di mana AS mencatatkan posisi surplus pada neraca perdagangan bilateralnya? Negara-negara tersebut, di antaranya Australia dan Inggris, tetap dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen. Bagaimana pula halnya dengan perdagangan jasa–seperti pariwisata, pendidikan, asuransi dan keuangan, jasa komputer dan informasi dan jasa bisnis–di mana AS mengalami surplus dengan sebagian besar mitra dagangnya? Washington dengan mudahnya menafikan faktor perdagangan jasa ini.

    Langkah Strategis Indonesia

    Respons cepat Presiden Prabowo untuk mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington guna melakukan negosiasi patut diapresiasi. Meski neraca perdagangan bilateral Indonesia-AS tidak dapat diseimbangkan dalam waktu semalam, tetapi dalam engagement dimaksud kedua negara dapat menyepakati langkah awal untuk mencari solusi saling menguntungkan.

    Untuk keperluan tersebut Indonesia (pemerintah dan pelaku usaha) perlu mempersiapkan posisi trade-off yang spesifik dan terukur dengan memperhatikan kepentingan nasional dan skala prioritas pembangunan ekonomi di dalam negeri. Posisi trade-off dimaksud tentunya mempertimbangkan elemen penting surplus neraca perdagangan yang dinikmati Indonesia dan kebijakan Indonesia yang ditengarai oleh pihak AS sebagai hambatan non-tarif dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers tahun 2025.

    Meskipun demikian perlu diantisipasi juga pelajaran dari kebijakan Trump periode pertama yaitu kesepakatan perjanjian sektoral pengecualian tarif impor besi baja dan alumunium sebesar 25% dan 10% antara AS dengan antara lain Australia, Brazil, Canada, Mexico, Korea Selatan, Uni Eropa, Jepang, dan Inggris. Perjanjian-perjanjian dimaksud dibatalkan secara sepihak oleh Trump pada tanggal 12 Maret 2025 lalu karena terbukti pengecualian itu menyebabkan impor dari negara-negara dimaksud meningkat dari 74% pada tahun 2018 menjadi 82% pada tahun 2024.

    Langkah strategis berikutnya adalah Indonesia perlu segera mengoptimalisasikan kerjasama kemitraan dagang dengan negara-negara partner FTA baik bilateral (Australia, Jepang, Korea, Chile, Uni Emirat Arab) maupun regional (ASEAN, ASEAN-China, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-India, ASEAN-Australia-New Zealand, RCEP) untuk secara kolektif mengurangi dampak negatip tarif AS. Namun, perlu diwaspadai juga fenomena over capacity negara tertentu dan permintaan domestik maupun impor dunia yang lemah sehingga Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan bagi ekspor negara lain, atau sebagai negara ‘fasilitas produksi sementara’ guna menghindari tarif AS (circumvention) apabila Indonesia nantinya mendapatkan pengecualian.

    Akhirnya, sangat disayangkan bahwa Amerika Serikat telah mencederai kepemimpinannya selama ini dalam perdagangan bebas dan sebaliknya memimpin kebangkitan proteksionisme yang justru akan lebih membebani konsumen dan bisnis Amerika sendiri karena tarif tinggi akan meningkatkan harga barang impor dan mendorong inflasi. Hari-hari ini, karena tekanan publik di dalam negeri dan lobby negara mitra dagang, kita akan menyaksikan Gedung Putih menyepakati perjanjian-perjanjian bilateral yang bersifat transaksional.

    Karena perlakuan tersebut tidak bersifat MFN (Most-Favored Nation) sesuai dengan prinsip dasar WTO maka seluruh aturan dan ketentuan perdagangan internasional berbasis WTO akan terancam. Sementara itu, apabila negara mitra menempuh jalur gugatan melalui WTO (seperti Tiongkok dan Kanada) dan Panel memutuskan bahwa AS bersalah, putusan Panel itu tetap sulit memiliki kekuatan hukum yang tetap karena AS tidak akan menerima hasil Panel begitu saja, sementara badan banding WTO diblokir oleh AS. Trump juga dengan mudah dapat memutuskan untuk meninggalkan WTO—sama seperti AS meninggalkan WHO dan Perjanjian Paris.

    Apapun keputusan yang akan diambil Pemerintah Trump, era perdagangan bebas yang ditandai dengan upaya mengurangi hambatan perdagangan dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi nampaknya sulit untuk dikembalikan ke jalur semula.

  • Tarif Impor AS Naik, Komoditas Ekspor Unggulan Lampung Bisa Terdampak

    Tarif Impor AS Naik, Komoditas Ekspor Unggulan Lampung Bisa Terdampak

    Namun, di balik potensi negatif tersebut, Dr. Andala juga melihat adanya peluang positif, terutama dalam hal diversifikasi pasar. Pelaku ekspor Indonesia, termasuk dari Lampung, dapat memperluas jangkauan ke negara-negara non-tradisional seperti India, Timur Tengah, Afrika, hingga Amerika Latin.

    “Kalau selama ini kita terlalu bergantung pada pasar AS, ini saatnya untuk melirik alternatif lain. Selain itu, industri domestik juga perlu mulai fokus pada pengembangan produk bernilai tambah, bukan hanya ekspor bahan mentah,” terang dia.

    Menurutnya, pemanfaatan teknologi, inovasi, efisiensi produksi, serta sertifikasi internasional bisa membuat produk Indonesia tetap kompetitif, meski menghadapi tarif tinggi. Pemerintah juga bisa mendorong negosiasi bilateral yang saling menguntungkan, seperti lewat kerangka kerja Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), atau memanfaatkan skema perdagangan seperti GSP dari Uni Eropa dan perjanjian FTA kawasan seperti RCEP dan ASEAN.

    Di sisi lain, sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Lampung juga perlu bersiap. Produk ekspor berbasis kerajinan dan makanan olahan bisa terdampak oleh penurunan permintaan dari AS. Oleh karena itu, hilirisasi industri menjadi langkah penting agar produk Lampung memiliki nilai jual tinggi.

    “Dampaknya juga bisa terasa ke ketenagakerjaan. Jika ekspor menurun, tentu ada potensi pengurangan tenaga kerja di sektor terkait, yang kemudian memengaruhi pendapatan daerah dari sisi pajak dan retribusi,” jelas dia.

    Namun begitu, dia menilai Lampung masih punya potensi besar. Keberadaan Pelabuhan Panjang memungkinkan pengiriman ekspor ke negara alternatif menjadi lebih mudah. Ini bisa dimanfaatkan untuk memperluas pasar ekspor, sekaligus mendorong penguatan hilirisasi industri kopi, sawit, singkong, hingga pisang.

    “Dengan dukungan kebijakan pemerintah yang pro terhadap pelaku usaha dan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, Lampung bisa keluar dari ketergantungan pada ekspor mentah dan mempercepat pengembangan industri pengolahan,” dia memungkasi.

     

  • Apa Itu “Liberation Day” dan Mengapa Dunia Dagang Jadi Panas Dingin?

    Apa Itu “Liberation Day” dan Mengapa Dunia Dagang Jadi Panas Dingin?

    Jakarta: Awal April 2025, dunia perdagangan internasional kembali gonjang-ganjing. Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif besar-besaran yang dijuluki “Liberation Day” atau Hari Pembebasan. 
     
    Alih-alih melegakan, kebijakan ini justru memicu ketegangan global dan membuat pasar finansial makin tak menentu.
     
    Apa sebenarnya yang terjadi Mengapa langkah ini bisa berisiko terhadap ekonomi global? Dan apa dampaknya ke negara-negara seperti Indonesia?
    Apa itu “Liberation Day”? bukan perayaan, tapi peringatan ekonomi
    Pada 2 April, Gedung Putih mengumumkan serangkaian kebijakan tarif baru sebagai bagian dari strategi “pembebasan ekonomi”. Paket kebijakan ini jauh lebih ketat dari yang diperkirakan pasar.

    Berikut rincian utamanya:
     
    – Tarif 10 persen untuk semua impor ke AS, mulai berlaku 5 April.
    – Tarif resiprokal untuk sekitar 60 negara, termasuk China, Uni Eropa, Jepang, Vietnam, hingga Indonesia yang efektif 9 April.
     
    Penghapusan pengecualian “de minimis” untuk paket kecil dari luar negeri, yang sebelumnya bebas bea.
     
    Langkah ini mengangkat tarif efektif AS ke atas 20 persen, tertinggi dalam lebih dari 100 tahun terakhir. Tarif sebesar itu akan berdampak langsung pada rantai pasok global, biaya produksi, hingga harga barang konsumsi.
     

    Apakah ini tanda-tanda krisis global baru?
    Meski terlihat serius, menurut tim riset Bank of Singapore yang dipublikasikan OCBC dan dirangkum oleh Medcom.id, masih terlalu dini untuk menyebut ini sebagai awal resesi global.
     
    Namun, perlu dicatat jika semua tarif diberlakukan penuh sepanjang 2025, dan masing-masing negara membalas dengan kebijakan serupa, potensi perlambatan ekonomi global bisa jadi nyata. Ini karena:
     
    – Biaya barang naik
    – Daya beli turun
    – Pendapatan perusahaan bisa menurun
    – Inflasi bisa meroket
    – Investor mulai lari ke aset aman seperti emas
    Dampak langsung: pasar jadi lebih goyang
    Aset berisiko seperti saham diperkirakan akan berfluktuasi tajam selama beberapa bulan ke depan, seiring kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang meningkat.
     
    Proses negosiasi antarnegara pun diprediksi akan berlangsung alot setidaknya selama dua kuartal. 
     
    Ini berarti ketidakpastian akan berlangsung cukup lama, sehingga investor dan pelaku pasar harus menyesuaikan strategi.
    Trump main tarik-ulur? ini soal politik juga
    Kebijakan tarif ini juga tidak lepas dari konteks politik domestik. Trump disebut memanfaatkan momentum menjelang pemilu paruh waktu untuk mengambil langkah populis. 
     
    Tapi, modal politiknya terbatas dan bila dampak ekonomi terlalu besar, bukan tidak mungkin kebijakan ini akan dikaji ulang.
     
    Menariknya, pernyataan Trump dan timnya kerap berubah-ubah. Maka, masih belum jelas apakah tarif resiprokal ini akan sepenuhnya diterapkan, atau sekadar jadi “senjata” awal negosiasi dagang.
    Sektor-sektor yang masih menarik dilirik
    Di tengah ketidakpastian ini, tim riset Bank of Singapore menyarankan investor tetap selektif. Beberapa sektor yang dianggap punya prospek lebih tahan banting adalah:
     
    – Saham berkualitas dengan valuasi rendah, yang tidak terlalu terdampak tarif
    – Perusahaan berbasis teknologi dan AI, yang punya sumber pendapatan baru dari adopsi digital
    – Sektor kesehatan dan barang konsumsi pokok, yang cenderung stabil di tengah gejolak ekonomi
    Obligasi dan emas
    Untuk pasar obligasi, disarankan untuk hati-hati terhadap obligasi high yield, baik dari pasar negara berkembang maupun negara maju. 
    Ketidakpastian ekonomi dan tekanan imbal hasil bisa membuat pasar ini jadi sangat sensitif.
     
    Sementara itu, prospek emas justru semakin bersinar. Potensi stagflasi—yaitu inflasi tinggi di tengah pertumbuhan ekonomi yang stagnan bisa mendorong harga emas makin tinggi, karena investor mencari aset pelindung nilai (safe haven).

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Ini Alasan Uni Eropa Tunda Implementasi Tarif Balasan ke AS

    Ini Alasan Uni Eropa Tunda Implementasi Tarif Balasan ke AS

    Bisnis.com, JAKARTA – Uni Eropa akan menunda penerapan tarif balasannya terhadap AS atas bea masuk 25% yang dikenakan Presiden Donald Trump pada ekspor baja dan aluminium blok tersebut selama 90 hari.

    Melansir Bloomberg pada Kamis (10/4/2025), Uni Eropa akan melanjutkan tarif yang akan dikenakan pada sekitar €21 miliar atau US$23,2 miliar barang-barang AS dan kemudian segera menangguhkannya saat mulai berlaku, menurut juru bicara Komisi Eropa, yang menangani masalah perdagangan untuk blok tersebut.

    Langkah tersebut dilakukan hanya beberapa jam setelah Trump mengumumkan jeda 90 hari sebelum tarif “timbal balik” 20% ditetapkan untuk hampir semua ekspor UE. Tarif tersebut sekarang akan menjadi 10%.

    Presiden Komisi Ursula von der Leyen mengatakan dia ingin memberi kesempatan pada negosiasi dengan AS.

    “Jika negosiasi tidak memuaskan, tindakan balasan kami akan dimulai. Pekerjaan persiapan untuk tindakan balasan lebih lanjut terus berlanjut. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, semua opsi tetap tersedia,” tulis von der Leyen di X.

    Selain tarif 25% untuk ekspor baja dan aluminium Uni Eropa, AS juga mengenakan tarif 25% untuk mobil dan beberapa suku cadang mobil di blok tersebut. Trump mengatakan akan mengumumkan tarif tambahan untuk kayu, chip semikonduktor, dan produk farmasi. Semua tarif baru Trump tersebut akan dikenakan pada barang-barang Uni Eropa senilai sekitar €380 miliar.

    Tindakan balasan yang disiapkan UE, yang didukung oleh semua negara anggota kecuali Hungaria, akan menargetkan negara-negara bagian Amerika yang sensitif secara politik dan mencakup produk-produk seperti kacang kedelai dari Louisiana, serta berlian, produk pertanian, unggas, dan sepeda motor.

    Blok tersebut telah mempersiapkan tanggapan terhadap berbagai tindakan Trump. Von der Leyen sebelumnya mengatakan UE “memegang banyak kartu,” termasuk tarif pembalasan dan menargetkan perusahaan-perusahaan jasa dan teknologi Amerika.

    Prancis, Jerman, dan negara-negara lain telah meminta komisi tersebut untuk mempertimbangkan penggunaan instrumen anti-paksaan atau anti-coercion instrument. Kebijakan itu merupakan instrumen perdagangan Uni Eropa yang paling kuat dan dirancang untuk menyerang balik negara-negara yang menggunakan tindakan perdagangan dan ekonomi secara paksa.

    Secara paralel, blok tersebut mengikuti strategi menunggu hingga dampak ekonomi dan finansial dari tarif global Trump terjadi, sementara juga mendiversifikasi dan memperluas hubungan perdagangan dengan negara-negara yang berpikiran sama di seluruh dunia.

    Trump telah berulang kali menyerang Uni Eropa, mitra dagang terbesar AS, dengan mengatakan bahwa UE dibentuk untuk “mengacaukan” AS dan bahwa surplus perdagangan barang blok tersebut merupakan bukti hubungan yang tidak adil. Tarif rata-rata tertimbang perdagangan Uni Eropa adalah 2,7% pada tahun 2023, menurut data Organisasi Perdagangan Dunia.

    “Mereka membuat aturan dan regulasi yang hanya dirancang untuk satu alasan: Anda tidak dapat menjual produk Anda di negara-negara tersebut,” kata Trump awal minggu ini. “Dan kami tidak akan membiarkan itu terjadi.”

    Kepala perdagangan Uni Eropa, Maros Sefcovic, membahas parameter kemungkinan keterlibatan dalam isu perdagangan dengan mitranya dari Amerika pada Selasa malam, tetapi pembicaraan sejauh ini hanya menghasilkan sedikit kemajuan dan pejabat AS tampaknya belum memiliki mandat negosiasi yang jelas dari Trump, menurut orang-orang yang mengetahui diskusi tersebut.

    Seorang juru bicara Uni Eropa mengatakan dia tidak mengetahui adanya pertemuan yang direncanakan antara Sefcovic dan AS.

    Komisi tersebut sedang mengerjakan “term sheet” dari area potensial untuk negosiasi, termasuk tarif, regulasi, dan standar yang lebih rendah, Bloomberg sebelumnya melaporkan.

    Sambil mengurangi semua tarif lainnya menjadi 10%, AS menaikkan apa yang disebut bea masuk timbal baliknya terhadap China menjadi 125%, yang berdampak bersih pada penurunan tarif rata-rata AS hanya sedikit menjadi 26,25%, dari 26,85% sebelum posting Truth Social Trump pada 9 April, menurut analisis Bloomberg Intelligence.

    Para duta besar Uni Eropa diharapkan berdiskusi tentang perang dagang China, kata orang-orang tersebut. Para pejabat Uni Eropa telah menyuarakan kekhawatiran tentang kemungkinan bahwa Beijing berupaya mengalihkan barang-barangnya ke Eropa dan dalam kasus tersebut blok tersebut perlu mencari solusi.

  • Produsen Alas Kaki Tetap Waspada Meski Tarif Trump Ditunda

    Produsen Alas Kaki Tetap Waspada Meski Tarif Trump Ditunda

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) akan tetap waspada dan mencari upaya antisipatif untuk menghadapi dampak dari penerapan tarif resiprokal impor Amerika Serikat (AS) atas produk Indonesia sebesar 32% yang saat ini ditunda. 

    Direktur Eksekutif Aprisindo Yoseph Billie Dosiwoda mengatakan, penundaan tersebut merupakan kabar baik. Namun, pelaku usaha dan pemerintah masih perlu mengupayakan proses negosiasi agar tarif impor tersebut dapat diturunkan. 

    “Artinya, 3 bulan ke depan atau 90 hari, tetap mendukung pemerintah untuk melakukan negosiasi sebagai jalan yang dipilih dari delegasi menteri yang dikirim agar nanti hasilnya [tarif] tidak setinggi ini,” kata Billie kepada Bisnis, Kamis (10/4/2025). 

    Sebab, keputusan penerapan tarif resiprokal sebesar 32% ditambah tarif dasar 10% pun menjadi kejutan tak terduga bagi pengusaha alas kaki. Kebijakan ini dapat banyak memengaruhi kinerja ekspor RI secara signifikan. 

    Tak hanya itu, Aprisindo terus berharap agar Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) sebagai free trade agreement (FTA) dengan Uni Eropa segera dirampungkan oleh pemerintah. 

    “Agar Eropa menjadi akses alternatif pasar bagi Indonesia,” imbuhnya. 

    Di samping itu, Billie menerangkan bahwa kondisi permintaan sejak pengumuman tarif oleh Presiden AS Donald Trump pada 2 April lalu masih belum terpengaruh. 

    “Sementara tidak ada, syukur masih aman karena pesanan kan diawal pembayarannya, tadinya kalau 9 ini jadi diterapkan baru yang terjadi kecemasan dan perhitungan ulang serta penyesuaian ulang dengan tarif menjadi harga baru yang lebih tinggi,” jelasnya. 

    Namun, situasi masih normal setelah pengumuman tarif Trump ditunda. Alhasil, dampak buruk yang tidak diinginkan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak terjadi hingga demand masih terkendali. 

    “Bila tidak ada pembatalan Trump, untuk tidak terjadi PHK tentu kita ajukan insentif dari pemerintah seperti insentif pajak, fiskal, bantuan usaha keringanan biaya listrik, gas, dan lainnya,” pungkasnya. 

  • Wamenlu: Tarif AS jadi momentum ASEAN memperkuat kemandirian regional

    Wamenlu: Tarif AS jadi momentum ASEAN memperkuat kemandirian regional

    Ini adalah momentum yang sangat baik bagi ASEAN untuk menciptakan kemandirian regional yang strategis dalam bidang ekonomi.

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI Arif Havas Oegroseno menilai bahwa tarif timbal balik atau resiprokal Amerika Serikat (AS) menjadi momentum bagi ASEAN untuk memperkuat kemandirian regional dalam bidang ekonomi.

    “Ini adalah momentum yang sangat baik bagi ASEAN untuk menciptakan kemandirian regional yang strategis dalam bidang ekonomi,” ujar Arif Havas dalam “Public Forum: Regional Response to Trump 2.0” yang digelar oleh CSIS Indonesia, dipantau dari Jakarta, Kamis.

    Havas menyampaikan bahwa kontribusi AS dalam perdagangan global berkisar di angka 14-15,5 persen. Berdasarkan hal tersebut, Havas menyoroti potensi 80 persen aktivitas perdagangan global yang bisa dieksplore di luar AS.

    Selain itu, Havas juga menyoroti nilai perdagangan global AS yang berada di kisaran 400 miliar dolar AS atau sekitar Rp6.811 triliun (kurs Rp17.027,72).

    “Menariknya, perdagangan antar-ASEAN pada 2024 itu mencapai 759 miliar dolar AS (Rp12.924 triliun),” kata Havas.

    Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa perdagangan antar-negara anggota ASEAN berjalan dengan sangat baik, bahkan melebihi kontribusi yang dimiliki oleh AS di tingkat global.

    Maka dari itu, Havas menilai penting bagi ASEAN memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat kemandirian regional.

    “Mungkin, kami perlu meninjau kembali atau setidaknya mengevaluasi perjanjian perdagangan bebas ASEAN,” ujarnya lagi.

    Havas menyampaikan bahwa ASEAN harus belajar dari Uni Eropa ihwal bagaimana negara-negara barat tersebut meniadakan hambatan perdagangan antarnegara anggota.

    Meskipun pasar internal Uni Eropa jauh lebih maju dibandingkan ASEAN, kata dia, namun ada baiknya bagi ASEAN untuk memiliki mekanisme perdagangan yang serupa dengan Uni Eropa.

    Wabilkhusus, mekanisme untuk mempermudah pergerakan orang, pergerakan barang, dan pergerakan jasa di dalam ASEAN.

    “Ini (memperkuat independensi regional) sangat memungkinkan. Saya meyakini dalam ASEAN sendiri, kita harus melihat peluang-peluang itu dan menemukan jalan untuk memperdalam ini,” kata Havas.

    Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia.

    Indonesia terkena tarif resiprokal 32 persen, sementara negara-negara ASEAN lainnya, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen, dan Vietnam 46 persen.

    Akan tetapi, pada Rabu (9/4) sore waktu AS, Trump telah mengumumkan penundaan selama 90 hari atas tarif resiprokal ke berbagai negara mitra dagang, namun tetap menaikkan bea masuk kepada China sebesar 125 persen.

    Negara yang rencananya akan dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi itu, hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen, yang mana untuk baja, aluminium, dan mobil akan sama.

    Pewarta: Putu Indah Savitri
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

  • Daftar Lengkap Negara yang Kena Dampak Usai Jeda 90 Hari

    Daftar Lengkap Negara yang Kena Dampak Usai Jeda 90 Hari

    Jakarta: Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kembali mengambil langkah tegas soal perdagangan internasional. Kali ini, ia mengumumkan jeda tarif selama 90 hari bagi sebagian besar negara kecuali kepada Tiongkok, yang justru mengalami kenaikan tarif signifikan.
     
    Melansir The Guardian, Kamis, 10 April 2025, kemarin Trump menaikkan tarif impor untuk produk dari Tiongkok dari 34 persen menjadi 125 persen.
     
    Sementara untuk negara lain yang belum menerapkan balasan terhadap tarif dari AS, akan diberikan penangguhan dan hanya dikenakan tarif sebesar 10 persen hingga bulan Juli.

    Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyatakan bahwa kenaikan tarif terhadap Tiongkok diambil karena “Saat Amerika Serikat diserang, Presiden Trump akan membalas dengan lebih keras,”
     

    Tarif awal vs tarif baru sementara
    Berikut daftar lengkap tarif yang awalnya diancamkan Trump dan tarif terbaru yang diperbarui per negara:

    Tiongkok: dari 34% menjadi 125%
    Uni Eropa: dari 20% menjadi 10%
    Vietnam: dari 46% menjadi 10%
    Taiwan: dari 32% menjadi 10%
    Jepang: dari 24% menjadi 10%
    India: dari 26% menjadi 10%
    Korea Selatan: dari 25% menjadi 10%
    Thailand: dari 36% menjadi 10%
    Swiss: dari 31% menjadi 10%
    Indonesia: dari 32% menjadi 10%
    Malaysia: dari 24% menjadi 10%
    Kamboja: dari 49% menjadi 10%
    Inggris Raya: tetap 10%
    Afrika Selatan: dari 30% menjadi 10%
    Brasil: tetap 10%
    Bangladesh: dari 37% menjadi 10%
    Singapura: tetap 10%
    Israel: dari 17% menjadi 10%
    Filipina: dari 17% menjadi 10%
    Chile: tetap 10%
    Australia: tetap 10%
    Pakistan: dari 29% menjadi 10%
    Turki: tetap 10%
    Sri Lanka: dari 44% menjadi 10%
    Kolombia: tetap 10%
    Peru: tetap 10%
    Nicaragua: dari 18% menjadi 10%
    Norwegia: dari 15% menjadi 10%
    Kosta Rika: tetap 10%
    Yordania: dari 20% menjadi 10%
    Republik Dominika: tetap 10%
    Uni Emirat Arab: tetap 10%
    Selandia Baru: tetap 10%
    Argentina: tetap 10%
    Ekuador: tetap 10%
    Guatemala: tetap 10%
    Honduras: tetap 10%
    Madagaskar: dari 47% menjadi 10%
    Myanmar: dari 44% menjadi 10%
    Tunisia: dari 28% menjadi 10%
    Kazakhstan: dari 27% menjadi 10%
    Serbia: dari 37% menjadi 10%
    Mesir: tetap 10%
    Arab Saudi: tetap 10%
    El Salvador: tetap 10%
    Pantai Gading: dari 21% menjadi 10%
    Laos: dari 48% menjadi 10%
    Botswana: dari 37% menjadi 10%
    Trinidad dan Tobago: tetap 10%
    Maroko: tetap 10%
    Aljazair: dari 30% menjadi 10%
    Oman: tetap 10%
    Uruguay: tetap 10%
    Bahamas: tetap 10%
    Lesotho: dari 50% menjadi 10%
    Ukraina: tetap 10%
    Bahrain: tetap 10%
    Qatar: tetap 10%
    Mauritius: dari 40% menjadi 10%
    Fiji: dari 32% menjadi 10%
    Islandia: tetap 10%
    Kenya: tetap 10%
    Liechtenstein: dari 37% menjadi 10%
    Guyana: dari 38% menjadi 10%
    Haiti: tetap 10%
    Bosnia dan Herzegovina: dari 35% menjadi 10%
    Nigeria: dari 14% menjadi 10%
    Namibia: dari 21% menjadi 10%
    Brunei: dari 24% menjadi 10%
    Bolivia: tetap 10%
    Panama: tetap 10%
    Venezuela: dari 15% menjadi 10%
    Makedonia Utara: dari 33% menjadi 10%
    Ethiopia: tetap 10%
    Ghana: tetap 10%
    Moldova: dari 31% menjadi 10%
    Angola: dari 32% menjadi 10%
    Republik Demokratik Kongo: dari 11% menjadi 10%
    Jamaika: tetap 10%
    Mozambik: dari 16% menjadi 10%
    Paraguay: tetap 10%
    Zambia: dari 17% menjadi 10%
    Libanon: tetap 10%
    Tanzania: tetap 10%
    Irak: dari 39% menjadi 10%
    Georgia: tetap 10%
    Senegal: tetap 10%
    Azerbaijan: tetap 10%
    Kamerun: dari 11% menjadi 10%
    Uganda: tetap 10%
    Albania: tetap 10%
    Armenia: tetap 10%
    Nepal: tetap 10%
    Sint Maarten: tetap 10%
    Pulau Falkland: dari 41% menjadi 10%
    Gabon: tetap 10%
    Kuwait: tetap 10%
    Togo: tetap 10%
    Suriname: tetap 10%
    Belize: tetap 10%
    Papua Nugini: tetap 10%
    Malawi: dari 17% menjadi 10%
    Liberia: tetap 10%
    British Virgin Islands: tetap 10%
    Afghanistan: tetap 10%
    Zimbabwe: dari 18% menjadi 10%
    Benin: tetap 10%
    Barbados: tetap 10%
    Monako: tetap 10%
    Suriah: dari 41% menjadi 10%
    Uzbekistan: tetap 10%
    Republik Kongo: tetap 10%
    Jibouti: tetap 10%
    French Polynesia: tetap 10%
    Cayman Islands: tetap 10%
    Kosovo: tetap 10%
    Curaçao: tetap 10%
    Vanuatu: dari 22% menjadi 10%
    Rwanda: tetap 10%
    Sierra Leone: tetap 10%
    Mongolia: tetap 10%
    San Marino: tetap 10%
    Antigua and Barbuda: tetap 10%
    Bermuda: tetap 10%
    Eswatini: tetap 10%
    Marshall Islands: tetap 10%
    Saint Pierre and Miquelon: tetap 10%
    Saint Kitts and Nevis: tetap 10%
    Turkmenistan: tetap 10%
    Grenada: tetap 10%
    Sudan: tetap 10%
    Turks and Caicos Islands: tetap 10%
    Aruba: tetap 10%
    Montenegro: tetap 10%
    Saint Helena: tetap 10%
    Kirgistan: tetap 10%
    Yaman: tetap 10%
    Saint Vincent and the Grenadines: tetap 10%
    Niger: tetap 10%
    Saint Lucia: tetap 10%
    Nauru: dari 30% menjadi 10%
    Equatorial Guinea: dari 13% menjadi 10%
    Iran: tetap 10%
    Libya: dari 31% menjadi 10%
    Samoa: tetap 10%
    Guinea: tetap 10%
    Timor Leste: tetap 10%
    Montserrat: tetap 10%
    Chad: dari 13% menjadi 10%
    Mali: tetap 10%
    Maladewa: tetap 10%
    Tajikistan: tetap 10%
    Cabo Verde: tetap 10%
    Burundi: tetap 10%
    Guadalaraja: tetap 10%
    Bhutan: tetap 10%
    Martinique: tetap 10%
    Tonga: tetap 10%
    Mauritania: tetap 10%
    Dominica: tetap 10%
    Micronesia: tetap 10%
    Gambia: tetap 10%
    Guyana Prancis: tetap 10%
    Christmas Island: tetap 10%
    Andora: tetap 10%
    Republik Afrika Tengah: tetap 10%
    Kepulauan Solomon: tetap 10%
    Mayotte: tetap 10%
    Anguilla: tetap 10%
    Cocos (Keeling) Islands: tetap 10%
    Eritrea: tetap 10%
    Cook Islands: tetap 10%
    Sudan Selatan: tetap 10%
    Comoros: tetap 10%
    Kiribati: tetap 10%
    São Tomé and Príncipe: tetap 10%
    Norfolk Island: tetap 10%
    Gibraltar: tetap 10%
    Tuvalu: tetap 10%
    British Indian Ocean Territory: tetap 10%
    Tokelau: tetap 10%
    Guinea-Bissau: tetap 10%
    Svalbard and Jan Mayen: tetap 10%
    Heard and McDonald Islands: tetap 10%
    Réunion: tetap 10%

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Ketegasan pemerintah menata hutan kunci keberlanjutan lingkungan

    Ketegasan pemerintah menata hutan kunci keberlanjutan lingkungan

    Kawasan hutan memiliki peran krusial dalam menjaga ekosistem, mencegah bencana alam, dan mendukung keberlanjutan ekonomi jangka panjang

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto berpendapat sikap tegas pemerintah melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk menertibkan dan menata kawasan hutan menjadi kunci keberlanjutan lingkungan dan ekonomi.

    “Kawasan hutan memiliki peran krusial dalam menjaga ekosistem, mencegah bencana alam, dan mendukung keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, upaya penertiban yang dilakukan Satgas PKH adalah langkah maju dalam memastikan lingkungan tetap lestari tanpa mengabaikan aspek ekonomi,” kata Rasminto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Menurut dia, pendekatan itu selaras dengan teori ekologi yang menekankan pentingnya keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan konservasi lingkungan.

    “Sebagai contoh bahwa deforestasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan dampak buruk seperti banjir dan kekeringan, yang pada akhirnya juga merugikan sektor ekonomi, khususnya masyarakat yang bergantung pada hasil hutan dan pertanian,” tuturnya.

    Rasminto menilai landasan Satgas PKH ini sangat jelas dan punya mekanisme yang transparan dan berkeadilan.

    “Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 telah mengatur mekanisme penertiban secara transparan dan berkeadilan. Penindakan hanya dilakukan terhadap lahan yang terbukti digunakan secara ilegal dan merusak ekosistem,” kata dia.

    Dia pun menyoroti adanya anggapan bahwa kebijakan ini dapat merusak citra investasi Indonesia. Namun, kata dia, sebaliknya kepastian hukum dalam pengelolaan sumber daya alam akan meningkatkan kepercayaan investor.

    “Investor yang berorientasi jangka panjang tentu akan lebih percaya kepada negara yang memiliki regulasi lingkungan yang jelas dan dijalankan dengan konsisten,” paparnya

    Pakar Geografi Manusia Universitas Islam 45 (Unisma) ini juga menegaskan bahwa Uni Eropa justru menerima ekspor sawit dari negara-negara yang berkomitmen jaga lingkungannya.

    “Uni Eropa membuka pintu bagi ekspor produk sawit dari negara-negara yang berkomitmen pada penghentian deforestasi dan menjaga keberlanjutan lingkungan,” tuturnya.

    Fakta ilmiah menunjukkan bahwa kelapa sawit merupakan tanaman yang efisien dalam penggunaan lahan. Menurut penelitian International Union for Conservation of Nature (IUCN), kelapa sawit sembilan kali lebih efisien dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya, sehingga secara ekologis memiliki keunggulan dalam produktivitas per hektare.

    “Hal ini menjadi salah satu argumen kuat bagi negara produsen seperti Indonesia untuk terus mendorong ekspor sawit berkelanjutan ke pasar Uni Eropa melalui penataan kawasan hutannya,” kata Rasminto.

    Pada tahun 2024, Uni Eropa mengadopsi Peraturan Bebas Deforestasi (European Union Deforestation Regulation/EUDR) yang bertujuan memastikan bahwa produk impor, termasuk minyak kelapa sawit, tidak berkontribusi terhadap deforestasi.

    “Aturan ini mengharuskan perusahaan membuktikan bahwa produk mereka tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah tahun 2020. Sehingga, ketegasan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Satgas PKH ini bentuk komitmen Indonesia dalam penataan lahan dan penindakan perusahaan sawit nakal yang melakukan deforestasi,” tegasnya.

    Pewarta: Syaiful Hakim
    Editor: Ganet Dirgantara
    Copyright © ANTARA 2025