Negara: Ukraina

  • Perang Dunia 3 Sudah Mulai, Banyak Orang Tak Sadar

    Perang Dunia 3 Sudah Mulai, Banyak Orang Tak Sadar

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perang terjadi di mana-mana, baik dalam bentuk bersenjata maupun konflik dagang. Tanpa disadari, dunia sebenarnya sudah berada dalam bayang-bayang Perang Dunia 3.

    Setidaknya begitu menurut pandangan Dmitry Trenin, peneliti utama di Institut Ekonomi Dunia dan Hubungan Internasional Rusia, yang juga anggota Dewan Urusan Internasional Rusia (RIAC).

    Ia mengatakan Perang Dunia 3 yang mengintai saat ini berbeda dari invasi konvensional seperti di era Perang Dunia 2. Kali ini bentuknya lebih tersembunyi dan menyebar.

    “Perang dunia telah dimulai. Hanya saja, tidak semua orang menyadarinya,” ujar Trenin dalam analisis terbarunya yang pertama kali diterbitkan oleh majalah Profile, beberapa saat lalu.

    Dalam pandangannya, sejak saat itu dunia telah memasuki babak konflik baru yang semakin intensif. Bentuknya bukan sekadar adu kekuatan militer, melainkan konflik menyeluruh yang mencakup sabotase ekonomi, agitasi sosial, serta destabilisasi internal negara-negara lawan.

    Trenin juga menyoroti keterlibatan langsung negara-negara NATO, seperti Inggris dan Prancis, dalam serangan terhadap target Rusia melalui dukungan mereka kepada Ukraina. “Ukraina hanyalah alat. Brussels sedang mempersiapkan perang yang lebih luas,” katanya.

    Ia menilai perang global ini dipicu oleh ketakutan Barat terhadap kebangkitan kekuatan baru seperti Rusia dan China, yang dianggap sebagai ancaman terhadap dominasi geopolitik dan ideologi Barat.

    “Ini bukan sekadar pertarungan geopolitik, ini adalah perang eksistensial bagi Barat. Globalisme tidak mentolerir alternatif,” ujarnya.

    Trenin mendorong Rusia untuk tidak lagi bersikap defensif. Ia menekankan pentingnya mobilisasi nasional yang cerdas, penguatan sektor teknologi, ekonomi, hingga demografi, serta konsolidasi dengan mitra strategis seperti Belarus dan Korea Utara. Dalam analisisnya, kerapuhan dalam kesatuan Uni Eropa harus menjadi celah taktis bagi Rusia.

    Ia juga menyebut bahwa kembalinya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Gedung Putih memberi ruang taktis untuk mengurangi tekanan militer AS terhadap Rusia, namun mengingatkan bahwa kebijakan luar negeri AS tetap pada dasarnya bersifat konfrontatif.

    Dalam pernyataan yang lebih tajam, Trenin bahkan menyebut bahwa jika eskalasi tak dapat dihindari, maka Rusia harus siap melakukan serangan preemptif, termasuk dengan senjata nuklir jika diperlukan.

    “Pencegahan harus aktif. Jika perlu, kita harus siap menggunakan cara khusus dengan kesadaran penuh akan konsekuensinya,” kata dia.

    Menurutnya, kemenangan dalam konflik ini tidak diukur dari pendudukan wilayah, melainkan dari keberhasilan menggagalkan rencana musuh. Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa perang saat ini mencakup seluruh lini: dari militer hingga narasi informasi.

    “Waktu untuk ilusi telah berakhir. Kita berada dalam perang dunia. Satu-satunya jalan ke depan adalah melalui tindakan yang berani dan strategis,” Trenin memungkasi.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Trump-Putin Akan Ketemuan Bahas Ukraina, Zelensky Ingatkan Ini!

    Trump-Putin Akan Ketemuan Bahas Ukraina, Zelensky Ingatkan Ini!

    Jakarta

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengingatkan bahwa “keputusan tanpa Ukraina” tidak akan membawa perdamaian. Dia juga menolak menyerahkan wilayah kepada Rusia.

    “Rakyat Ukraina tidak akan menyerahkan tanah mereka kepada penjajah,” tulisnya di media sosial, dilansir kantor berita AFP, Sabtu (9/8/2025). Hal ini disampaikannya seiring Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin bersiap untuk mengadakan pertemuan minggu depan di Alaska, AS guna membahas perdamaian di Ukraina.

    “Keputusan apa pun yang berlawanan dengan kami, keputusan apa pun tanpa Ukraina, juga merupakan keputusan yang menentang perdamaian. Keputusan itu tidak akan mencapai apa pun,” tegas Zelensky, seraya menambahkan bahwa perang “tidak dapat diakhiri tanpa kami, tanpa Ukraina”.

    Zelensky mengatakan Ukraina “siap untuk keputusan nyata yang dapat membawa perdamaian”, tetapi mengatakan itu harus menjadi “perdamaian yang bermartabat”, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

    Puluhan ribu orang telah tewas sejak Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada Februari 2022, dengan jutaan orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka.

    Tiga putaran negosiasi antara Rusia dan Ukraina tahun ini gagal membuahkan hasil, dan masih belum jelas apakah pertemuan Trump dan Putin pekan depan akan membawa perdamaian lebih dekat.

    Putin sebelumnya telah menolak berbagai seruan dari Amerika Serikat, Eropa, dan Ukraina untuk gencatan senjata.

    Ia juga mengesampingkan kemungkinan mengadakan pembicaraan dengan Zelensky pada tahap ini, sebuah pertemuan yang menurut presiden Ukraina tersebut diperlukan untuk mencapai kemajuan dalam kesepakatan.

    Pada Jumat (8/8) waktu setempat, Trump mengumumkan akan menggelar pertemuan dengan Putin pada hari Jumat (15/9) mendatang di Alaska. Trump mengatakan bahwa “akan ada pertukaran wilayah demi kebaikan Ukraina dan Rusia”, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

    KTT Alaska pada 15 Agustus nanti akan menjadi yang pertama antara presiden AS dan Rusia yang sedang menjabat sejak mantan presiden AS Joe Biden bertemu Putin di Jenewa, Swiss pada Juni 2021.

    Trump dan Putin terakhir kali bertemu pada tahun 2019 di sebuah pertemuan puncak G20 di Jepang selama masa jabatan pertama Trump. Kedua pemimpin telah berbicara melalui telepon beberapa kali sejak Januari lalu.

    Lihat juga Video ‘Drone Ukraina Hantam Stasiun Kereta Api Rusia’:

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Wajib Tahu! Ini Gaya & Modus Terbaru Kuras Rekening Pakai OTP

    Wajib Tahu! Ini Gaya & Modus Terbaru Kuras Rekening Pakai OTP

    Jakarta, CNBC Indonesia – One Time Password (OTP) kerap digunakan sebagai gerbang masuk modus terbaru Malware. Lewat cara ini, pelaku kejahatan dengan mudah masuk ke rekening bank dan mengurasnya hingga habis.

    Laporan dari peneliti ZLabs dari perusahaan keamanan Zimperium menjelaskan terdapat kampanye pencuri SMS besar-besaran. Jumlahnya mencapai lebih dari 107 ribu sampel malware yang terhubung dengan tindakan kejahatan tersebut.

    Para pelaku akan mencoba mengakses ke perangkat pengguna Android. Berikutnya adalah mencuri informasi sensitif para korbannya.

    Modusnya dengan membuat laman download aplikasi palsu atau lewat bot Telegram. Para pelaku akan menyebar iklan aplikasi palsu dan korban yang tertipu akan masuk ke link tersebut.

    Berikutnya, malware akan melakukan tugasnya membuat pengguna ponsel memberikan izin membaca pesan SMS mereka, dikutip dari Mashable, Sabtu (9/8/2025).

    Sementara di Telegram, peneliti menemukan ada 2.600 bot yang melakukan kejahatan. para bot itu akan membuat seakan pengguna tengah ditawari aplikasi Android bajakan gratis.

    Setelah akses di tangan para pelaku, mereka akan menggunakan data pribadi untuk keuntungan finansial. Salah satunya adalah OTP yang digunakan bank dan lembaga keuangan lain sebagai alat verifikasi untuk mengakses platform.

    Tim peneliti menyebutkan 113 negara menjadi korban pencurian tersebut. Mayoritas berada di India dan Rusia, namun korban berjumlah besar juga datang dari Brasil, Meksiko, Amerika Serikat (AS), Ukraina, dan Spanyol.

    Untuk menghindari kejahatan ini, pengguna harus berhati-hati pada link yang diterimanya. Sementara itu Google meminta pengguna memanfaatkan fitur Google Play Protect untuk menghindari infeksi malware pada perangkat.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kena Tarif 50%, Sosok Presiden Ini Ogah Ngemis ke Trump

    Kena Tarif 50%, Sosok Presiden Ini Ogah Ngemis ke Trump

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menegaskan tak akan memohon kepada Presiden AS Donald Trump, meski ekspor Brasil kini dihantam tarif impor hingga 50% mulai Rabu (6/8/2025).

    Ia menyebut menghubungi Trump di saat yang tidak tepat hanya akan menjadi “penghinaan” bagi negaranya.

    Dalam wawancara dengan Reuters di kediaman resminya di Brasilia, Lula menyatakan bahwa pemerintahnya tidak akan segera mengumumkan tindakan balasan berupa tarif serupa, dan masih akan mengandalkan dialog tingkat menteri. Namun, secara pribadi, Lula menolak untuk mengulurkan tangan lebih dulu kepada Trump.

    “Saat intuisi saya mengatakan Trump siap berbicara, saya tak akan ragu untuk meneleponnya,” kata Lula. “Tapi hari ini, intuisi saya mengatakan dia tidak ingin berbicara. Dan saya tidak akan menghina diri saya sendiri.”

    Meskipun ekspor Brasil saat ini menghadapi tarif tertinggi yang diberlakukan Trump, Lula tampak tenang dan tak gentar. Ekonomi terbesar di Amerika Latin itu dinilai cukup tangguh untuk menahan guncangan, memberikan ruang manuver lebih bagi Lula dibandingkan para pemimpin Barat lainnya.

    Situasi diplomatik makin rumit karena Trump mengaitkan tarif baru ini dengan tuntutannya agar Brasil menghentikan proses hukum terhadap mantan presiden sayap kanan Jair Bolsonaro, yang kini diadili atas dugaan keterlibatannya dalam upaya kudeta hasil pemilu 2022.

    Lula mengatakan bahwa Mahkamah Agung Brasil “tidak peduli dengan apa yang dikatakan Trump dan memang tidak seharusnya peduli.” Ia juga menyerukan agar Bolsonaro diadili dalam perkara terpisah atas upayanya memancing campur tangan Trump.

    “Kami telah memaafkan intervensi AS dalam kudeta 1964,” kata Lula, yang karier politiknya dimulai sebagai pemimpin serikat buruh yang menentang pemerintahan militer hasil kudeta tersebut.

    “Tapi yang ini bukan intervensi kecil. Ini adalah presiden Amerika Serikat yang merasa bisa mendikte aturan kepada negara berdaulat seperti Brasil. Itu tidak bisa diterima.”

    Meski demikian, Lula menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki masalah pribadi dengan Trump. Ia membuka kemungkinan pertemuan di forum internasional seperti Majelis Umum PBB bulan depan atau Konferensi Iklim PBB (COP) pada November.

    Namun ia juga mengkritik keras gaya diplomasi Trump yang kerap mempermalukan tamunya.

    “Apa yang dilakukan Trump terhadap Zelensky adalah penghinaan. Itu tidak normal. Apa yang dia lakukan terhadap Ramaphosa juga penghinaan,” kata Lula, mengacu pada Presiden Ukraina dan Presiden Afrika Selatan.

    “Seorang presiden tidak boleh menghina presiden lain. Saya menghormati semua orang dan saya menuntut dihormati.”

    Di tengah kebuntuan diplomatik, Lula menyebutkan bahwa para menterinya kesulitan membuka jalur dialog dengan mitra AS. Untuk itu, pemerintahnya kini fokus pada kebijakan dalam negeri guna meredam dampak ekonomi dari tarif AS, sambil tetap menjaga “tanggung jawab fiskal”.

    Ia menolak memberikan rincian soal langkah-langkah dukungan terhadap perusahaan Brasil, namun diperkirakan bantuan itu mencakup jalur kredit dan insentif ekspor. Ia juga menyampaikan rencana menghubungi negara-negara mitra di kelompok BRICS untuk membahas respons bersama terhadap kebijakan AS.

    “Saat ini belum ada koordinasi antar-BRICS, tapi itu akan ada,” kata Lula.

    Ia membandingkan potensi kekuatan kolektif tersebut dengan kekuatan negosiasi serikat buruh, tempat ia dulu berkiprah. “Apa daya tawar satu negara kecil terhadap Amerika Serikat? Tidak ada.”

    Selain itu, Brasil juga mempertimbangkan kemungkinan mengajukan keluhan bersama dengan negara lain ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

    “Saya lahir sebagai negosiator,” ujar Lula. Meski demikian, ia menegaskan bahwa tidak akan terburu-buru mengambil keputusan retaliasi. “Kita harus sangat berhati-hati,” imbuhnya.

    Ketika ditanya soal kemungkinan tindakan terhadap perusahaan-perusahaan AS, seperti peningkatan pajak terhadap raksasa teknologi, Lula menjawab bahwa pemerintahnya tengah mempelajari cara untuk menyamakan perlakuan pajak antara perusahaan AS dan perusahaan domestik Brasil.

    Di sisi lain, Lula juga mengungkapkan rencana pemerintahnya untuk merumuskan kebijakan nasional baru terkait sumber daya mineral strategis Brasil. Menurutnya, kebijakan ini harus dilandasi prinsip “kedaulatan nasional” agar negara tidak terus-menerus hanya mengekspor bahan mentah tanpa nilai tambah.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Fix! Trump-Putin Akan Ketemuan di Alaska Bahas Ukraina

    Fix! Trump-Putin Akan Ketemuan di Alaska Bahas Ukraina

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyampaikan bahwa ia akan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska, AS. Trump mengisyaratkan bahwa kesepakatan antara Moskow dan Kyiv untuk mengakhiri perang di Ukraina dapat melibatkan pertukaran wilayah.

    Kremlin kemudian mengonfirmasi pertemuan puncak tersebut, menyebut lokasi tersebut “cukup logis.”

    “Para presiden sendiri pasti akan fokus membahas opsi-opsi untuk mencapai penyelesaian damai jangka panjang atas krisis Ukraina,” kata pejabat Kremlin, Yuri Ushakov, dalam sebuah pernyataan yang diunggah di Telegram pada Jumat (8/8) waktu setempat, dilansir kantor berita AFP, Sabtu (9/8/2025).

    Puluhan ribu orang telah tewas sejak Rusia melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada Februari 2022, dengan jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.

    “Pertemuan yang sangat dinantikan antara saya, sebagai Presiden Amerika Serikat, dan Presiden Vladimir Putin dari Rusia, akan berlangsung Jumat depan, 15 Agustus 2025, di Negara Bagian Alaska,” tulis Trump di platform Truth Social miliknya.

    Sebelumnya, ia mengatakan di Gedung Putih bahwa “akan ada pertukaran wilayah demi kebaikan” Ukraina dan Rusia, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

    “Pertemuan yang sangat dinantikan antara saya, sebagai Presiden Amerika Serikat, dan Presiden Vladimir Putin dari Rusia, akan berlangsung Jumat depan, 15 Agustus 2025, di Negara Bagian Alaska,” tulis Trump di platform Truth Social miliknya.

    Sebelumnya, ia mengatakan di Gedung Putih bahwa “akan ada pertukaran wilayah demi kebaikan” Ukraina dan Rusia, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

    Putin mengadakan konsultasi pada hari Jumat (8/8) waktu setempat dengan para pemimpin China dan India menjelang pertemuan puncak dengan Trump.

    Sebelumnya, tiga putaran negosiasi antara Rusia dan Ukraina gagal membuahkan hasil, dan masih belum jelas apakah pertemuan puncak akan membawa perdamaian lebih dekat.

    Putin telah menolak berbagai seruan dari Amerika Serikat, Eropa, dan Ukraina untuk gencatan senjata.

    Ia juga mengesampingkan kemungkinan mengadakan perundingan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada tahap ini, sebuah pertemuan yang menurut Zelensky diperlukan untuk mencapai kemajuan dalam kesepakatan.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Begini Kondisi Harga Minyak Menanti Pertemuan Trump dan Putin – Page 3

    Begini Kondisi Harga Minyak Menanti Pertemuan Trump dan Putin – Page 3

    Minggu ini, Trump mengancam akan menaikkan tarif terhadap India jika terus membeli minyak Rusia. Trump juga mengatakan Tiongkok, pembeli minyak mentah Rusia terbesar, dapat dikenakan tarif serupa dengan yang dikenakan terhadap impor India.

    “Berbagai pertimbangan non-minyak sedang dipertimbangkan, termasuk kekhawatiran atas dampak tarif dan berita utama yang beredar selama beberapa hari terakhir mengenai pertemuan Trump dan Putin dalam waktu dekat,” kata Analis Pasar Energi Sparta Commodities, Neil Crosby.

    “Risiko utama saat ini sangat kuat, terutama karena adanya perubahan sikap mengenai siapa yang akan hadir dalam pertemuan mengenai Ukraina dan dalam situasi apa,” ungkap dia.

    Analis ANZ Bank mengatakan, Tarif AS yang lebih tinggi atas impor dari sejumlah mitra dagang mulai berlaku pada hari Kamis, meningkatkan kekhawatiran atas aktivitas ekonomi dan permintaan minyak mentah.

    OPEC+ pada hari Minggu sepakat untuk meningkatkan produksi minyak sebesar 547.000 barel per hari untuk bulan September, yang terbaru dalam serangkaian kenaikan produksi yang dipercepat untuk mendapatkan kembali pangsa pasar dan menambah pasokan.

     

  • Di Retret KADIN, Bamsoet Ingatkan 3 Syarat Utama Bangun Iklim Usaha RI

    Di Retret KADIN, Bamsoet Ingatkan 3 Syarat Utama Bangun Iklim Usaha RI

    Jakarta

    Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Politik, Pertahanan, dan Keamanan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bambang Soesatyo (Bamsoet) menuturkan ancaman geopolitik global yang kian kompleks.

    Mulai dari krisis Laut China Selatan hingga fluktuasi harga minyak akibat perang Rusia-Ukraina, memberi tekanan besar terhadap ekonomi negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Dalam situasi tersebut dunia usaha Indonesia membutuhkan pijakan yang kokoh, yakni stabilitas politik, keamanan dan kepastian hukum.

    “Stabilitas politik, keamanan dan kepastian hukum adalah syarat utama dalam membangun iklim usaha dan investasi yang sehat di Indonesia. Jika kita gagal menjaga iklim usaha dan stabilitas nasional, maka kita akan kehilangan kepercayaan dari para investor yang sudah susah payah kita bangun selama dua dekade terakhir,” ujar Bamsoet, dalam keterangannya, Jumat (8/8/2025).

    Hal tersebut ia sampaikan saat mendampingi pembekalan Retret KADIN 2025 oleh Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Letjen TNI (Purn) Lodewijk Freidrich Paulus, di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma Jakarta, Jumat (8/8). Hadir antara lain Ketum KADIN Indonesia Anindya Bakrie, para pengurus pusat KADIN Indonesia serta para ketua KADIN provinsi dan asosiasi di bawah KADIN.

    Bamsoet menjelaskan kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat arus keluar dana asing mencapai Rp 28,6 triliun selama kuartal pertama 2025.

    Lemahnya Rupiah menekan biaya impor bahan baku industri, sekaligus meningkatkan tekanan inflasi terhadap sektor riil. Oleh karena itu, Bamsoet menegaskan dunia usaha membutuhkan keyakinan.

    “Dan keyakinan itu tumbuh dari komitmen negara dalam menjaga kepastian hukum, keamanan, iklim politik yang stabil, serta transparansi kebijakan,” kata Ketua DPR RI ke-20 itu.

    Bamsoet menjelaskan negara harus siap menghadapi ancaman siber, kelangkaan energi, dan ketegangan lintas batas. Untuk itu, ketahanan ekonomi nasional harus dibangun di atas fondasi pertahanan nasional yang kokoh. Baik dari segi militer, energi, pangan, hingga keamanan digital. Pemerintah perlu memperkuat ketahanan struktural.

    Selain mendorong proyek strategis nasional, pemerintah juga membangun sistem pertahanan ekonomi melalui perluasan pasar ekspor, penguatan logistik nasional, dan pengamanan energi nasional. Menurut Bamsoet, KADIN terus mendorong pelaku usaha untuk memperkuat manajemen risiko.

    “Mitigasi risiko bukan sekadar formalitas ISO atau pelatihan teknis. Ini kunci keberlanjutan bisnis,” kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

    “Karena ancaman bisa datang kapan saja, dari mana saja,” pungkasnya.

    (akn/ega)

  • Daftar Negara Penikmat Minyak Murah dari Rusia, Siap-siap Dihukum Trump

    Daftar Negara Penikmat Minyak Murah dari Rusia, Siap-siap Dihukum Trump

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan menghukum negara-negara pembeli minyak Rusia dengan mengenakan tarif impor tinggi. Pengumuman ini disampaikan setelah mengenakan tarif tambahan 25% terhadap India, sehingga total tarif yang dikenakan menjadi 50%.

    “Saya mendapati bahwa Pemerintah India saat ini secara langsung atau tidak langsung mengimpor minyak dari Rusia. Oleh karena itu sesuai dengan hukum yang berlaku, barang-barang dari India yang diimpor ke wilayah AS akan dikenakan tarif bea masuk tambahan sebesar 25%,” bunyi perintah eksekutif Trump dikutip dari CNBC, Jumat (8/8/2025).

    Selain India, China juga merupakan importir minyak terbesar Rusia. Seorang pejabat China telah mengisyaratkan bahwa pihaknya akan terus membeli minyak Rusia.

    “Secara teoritis, jika Anda (AS) menghentikan pembelian minyak dari India dan Tiongkok itu akan menjadi pukulan berat bagi ekonomi Rusia, namun itu tidak akan terjadi,” ujarnya.

    Negara penikmat minyak murah Rusia lainnya yakni Netherland, Turki, Italia, Korea Selatan, Bulgaria, Finlandia, Polandia dan lainnya. Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan ancaman Trump terhadap negara-negara pembeli minyak Rusia diperkirakan akan diberlakukan pada Jumat (8/8).

    “Ini adalah ancaman tarif terbaru dari serangkaian ancaman tarif Trump terhadap isu-isu non-perdagangan,” tulis Reuters.

    Sebelumnya, Trump meminta Rusia untuk menyetujui perdamaian dan mengakhiri perang dengan Ukraina. Negara-negara pun diminta untuk setop membeli minyak Rusia yang diyakini sebagai sumber duit terbesar bagi Moskow untuk membiayai invasi di Ukraina.

    “Hampir tidak ada peluang bagi Putin (Presiden Rusia) untuk menyetujui gencatan senjata karena ancaman tarif dan sanksi Trump terhadap Rusia,” kata Eugene Rumer, mantan analis intelijen AS untuk Rusia yang memimpin Program Rusia dan Eurasia di Carnegie Endowment for International Peace.

    Lihat juga Video Trump Ancam Naikkan Tarif Impor untuk India gegara Beli Minyak Rusia

    (aid/rrd)

  • Trump-Putin Segera Bertemu, Zelenskyy Telepon Prancis-Jerman

    Trump-Putin Segera Bertemu, Zelenskyy Telepon Prancis-Jerman

    JAKARTA – Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Donald Trump akan bertemu dalam beberapa hari mendatang.

    Pengumuman ini muncul sehari setelah utusan Trump, Steve Witkoff, mengadakan pembicaraan selama tiga jam dengan Putin di Moskow.

    Trump sebelumnya mengancam sanksi baru terhadap Rusia dan negara-negara yang membeli ekspornya mulai hari Jumat kecuali Putin setuju untuk mengakhiri konflik 3-1/2 tahun, yang paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.

    Pada Rabu, Trump mengenakan tarif yang lebih tinggi terhadap India karena membeli minyak Rusia dan mengatakan bea tambahan serupa mungkin akan diberlakukan terhadap Tiongkok, pembeli utama minyak mentah Rusia lainnya.

    Belum jelas apakah ia akan mengumumkan langkah lebih lanjut setelah batas waktu yang ditetapkan pada Jumat berakhir.

    Penasihat Kremlin, Yuri Ushakov, mengatakan Rusia dan AS telah sepakat untuk mengadakan pertemuan puncak Putin-Trump “dalam beberapa hari mendatang”.

    Putin dalam pertemuan dengan presiden Uni Emirat Arab, mengatakan UEA akan menjadi tempat yang “sepenuhnya cocok” untuk pertemuan tersebut, tetapi tidak mengonfirmasi negara Teluk tersebut akan menjadi tuan rumah.

    Tidak ada pertemuan puncak antara pemimpin AS dan Rusia sejak Putin dan Joe Biden bertemu di Jenewa pada Juni 2021.

    Rusia berperang di Ukraina pada Februari 2022, dengan alasan ancaman terhadap keamanannya sendiri dan menjerumuskan hubungan ke dalam krisis yang mendalam.

    Kyiv dan sekutu Baratnya menggambarkan invasi tersebut sebagai perampasan tanah ala kekaisaran.

    Trump telah bergerak untuk memperbaiki hubungan dengan Rusia dan mencoba mengakhiri perang, meskipun dalam komentar publiknya ia tampak antara mengagumi dan mengkritik tajam Putin.

    Indeks pasar saham utama Rusia, MOEX, naik hingga 5% setelah berita tersebut, level tertingginya dalam dua bulan. Rubel mencapai level tertinggi dalam dua minggu terhadap dolar AS dan yuan China.

    “Saham Rusia sedang melonjak. Investor berharap pertemuan (Trump-Putin) akan menjadi langkah menuju normalisasi situasi geopolitik,” kata analis Alfa Bank dalam catatan.

    Seorang pejabat Gedung Putih juga mengatakan Trump dapat bertemu Putin paling cepat minggu depan.

    The New York Times melaporkan Trump memberi tahu para pemimpin Eropa melalui panggilan telepon dia bermaksud bertemu dengan Putin dan kemudian menindaklanjutinya dengan pertemuan trilateral yang melibatkan pemimpin Rusia dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

    Para pemimpin Ukraina dan Eropa telah lama mengkhawatirkan Trump dapat bersekutu dengan Putin untuk memaksakan kesepakatan terhadap Zelenskyy yang akan sangat merugikan Kyiv.

    Zelenskyy berbicara pada Kamis, 7 Agustus, dengan para pemimpin Prancis dan Jerman serta dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, dan mengatakan bahwa Eropa harus terlibat dalam proses perdamaian.

    “Perang sedang terjadi di Eropa, dan Ukraina merupakan bagian integral dari Eropa – kami sudah bernegosiasi untuk bergabung dengan Uni Eropa. Oleh karena itu, Eropa harus menjadi peserta dalam proses yang relevan,” ujarnya pada X dilansir Reuters, Kamis, 7 Agustus.

    Zelenskyy mengatakan perang harus diakhiri dengan “perdamaian yang bermartabat”, dan penyelesaian apa pun yang dicapai akan membentuk lanskap keamanan Eropa selama beberapa dekade mendatang.

    Menurutnya, Rusia masih belum menyatakan siap untuk gencatan senjata.

    “Dalam waktu dekat harus ditunjukkan konsekuensi apa yang akan terjadi jika Rusia terus memperpanjang perang dan mengganggu upaya konstruktif,” kata Zelenskyy.

    Mykola Bielieskov dari Institut Nasional untuk Studi Strategis di Kyiv mengatakan tawaran Putin untuk bertemu dengan Trump sama saja dengan memberinya hadiah tanpa imbalan apa pun. Hal ini, katanya, memberi Rusia “kesan keluar dari isolasi dan berbicara secara setara”.

    Ia mengatakan Kremlin akan terus mengulur waktu, menggunakan fakta pertemuan tersebut sebagai bukti keterbukaan terhadap negosiasi tanpa konsesi apa pun.

    Zelenskyy mengatakan berbagai kemungkinan format pertemuan bilateral dan trilateral telah dibahas dengan Trump dan sekutu Ukraina di Eropa.

    “Ukraina tidak takut dengan pertemuan dan mengharapkan pendekatan berani yang sama dari pihak Rusia,” kata Presiden Ukraina.

  • Daftar Negara Penikmat Minyak Murah dari Rusia, Siap-siap Dihukum Trump

    Mampukah AS Paksa India-China Stop Beli Minyak Rusia?

    Jakarta

    India dan Cina dengan tegas menolak ancaman sanksi sekunder Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sanksi tersebut merupakan hukuman bagi negara yang nekat masih membeli minyak Rusia. Selama ini, pendapatan dari ekspor minyak dipercaya merupakan sumber duit terbesar bagi Moskow demi membiayai invasi di Ukraina.

    Beijing dan New Delhi menegaskan, akan melindungi ketahanan energi dan kedaulatan ekonominya, dari apa yang oleh Beijing disebut secara lugas sebagai “pemaksaan dan tekanan” dari Amerika Serikat. Cina merupakan importir minyak terbesar Rusia pada tahun 2022.

    India, di sisi lain, menuding Barat bersikap hipokrit. Mereka menyoroti fakta bahwa Uni Eropa tetap mengimpor energi dari Rusia, meskipun telah secara signifikan mengurangi kebergantungan sejak perang dimulai.

    New Delhi juga mengingatkan bahwa Washington sebelumnya justru mendorong India membeli minyak dari Rusia, demi menstabilkan harga minyak global yang meningkat tajam setelah invasi Rusia dimulai.

    Pembelian minyak India dari Rusia meningkat hampir 19 kali lipat dalam empat tahun terakhir, dari 0,1 menjadi 1,9 juta barel per hari, sementara pembelian Cina naik 50% menjadi 2,4 juta barel per hari.

    Petras Katinas, analis energi yang berbasis di Lituania dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), mengatakan kepada DW bahwa India—pembeli minyak terbesar kedua dari Rusia—menghemat hingga USD 33 miliar ongkos pembelian energi antara 2022 hingga 2024. Penghematan tersebut merupakan hasil dari potongan harga besar-besaran oleh Moskow setelah AS dan Eropa mengurangi impor minyak dan gas Rusia.

    Kebijakan lama India yang menyeimbangkan hubungan dengan AS, Rusia, dan Cina, tanpa memprioritaskan salah satu negara, menurut Katinas, menjadi landasan keputusan untuk membeli minyak mentah Rusia dengan diskon besar. “New Delhi memprioritaskan keamanan dan keterjangkauan energi,” ujarnya.

    Ancaman Trump guncang pasar global

    Alhasil, harga minyak naik hampir 1% setelah pengumuman tersebut. Media India melaporkan, tarif baru dapat meningkatkan tagihan impor minyak India hingga US$ 11 miliar. New Delhi menyebut kebijakan Trump sebagai “tidak adil, tak berdasar, dan tidak masuk akal.”

    Trump menyatakan tarif akan berlaku dalam waktu 21 hari, memberi waktu bagi India dan Rusia untuk bernegosiasi dengan AS terkait pajak impor tersebut. Presiden AS juga diperkirakan akan mengumumkan sanksi sekunder yang lebih luas terhadap negara dan entitas yang masih berdagang dengan Rusia.

    Sanksi sekunder dipercaya akan menjadi pukulan besar bagi ekonomi Rusia yang melambat akibat sanksi Barat. Dengan belanja militer kini melampaui 6% dari PDB dan inflasi riil diperkirakan sejumlah analis mencapai 15–20%, Rusia membakar cadangan devisa dan menghadapi tekanan besar terhadap anggaran dan industri senjata nasional.

    Bagi pasar global, sanksi baru dapat memicu guncangan besar pada harga energi dan arus perdagangan, seperti yang terjadi pada 2022, ketika harga minyak melonjak dan Rusia menyiasati sanksi Barat dengan menjual dengan harga murah kepada dua ekonomi terbesar dunia.

    “Kalau India tidak membeli minyak Rusia pada 2022, tidak ada yang tahu harga minyak akan berapa — USD 100, USD 120, atau USD 300 per barel,” ujar Sumit Ritolia, analis minyak di New Delhi dari lembaga riset perdagangan Kpler, kepada DW. Minyak mentah WTI sempat bertahan antara USD 74 hingga USD 95 per barel dalam beberapa minggu sebelum invasi.

    Tarif sekunder Trump sebesar 25% dapat memaksa India mengurangi sebagian perdagangan minyaknya dengan Rusia. Sanksi tambahan hanya akan memperburuk keadaan.

    Katinas menyebut sanksi sekunder sebagai eskalasi besar. “Sanksi itu mengancam akses perusahaan India ke sistem keuangan AS dan membuat bank, kilang, serta perusahaan pelayaran terpapar dampak besar, mengingat keterlibatan mereka dalam pasar global,” katanya.

    Harga minyak melonjak, inflasi mengancam

    Jika suplai 5 juta barel minyak Rusia per hari tiba-tiba lenyap dari pasar, para analis memperkirakan harga akan kembali melonjak, karena negara-negara yang terdampak harus berebut pasokan lain. Meskipun kartel minyak OPEC baru-baru ini meningkatkan produksi, mengganti volume sebesar itu dalam waktu singkat akan sangat sulit karena kapasitas cadangan yang terbatas dan kendala logistik.

    “Tak ada pasokan yang bisa menggantikan 5 juta barel itu dengan cukup cepat untuk mencegah lonjakan harga,” ujar Alexander Kolyandr, peneliti senior di Center for European Policy Analysis, kepada The Independent.

    Ritolia mengatakan kepada DW bahwa perusahaan India mungkin butuh waktu hingga satu tahun untuk mengurangi ketergantungan pada minyak Rusia, jika memang harus dilakukan.

    Harga minyak yang lebih tinggi akan memicu kenaikan tajam inflasi, baik di AS maupun secara global. Bank Sentral AS memperkirakan, setiap kenaikan USD 10 pada harga minyak mentah akan menambah sekitar 0,2 poin persentase pada inflasi. Bank sentral India mencapai kesimpulan serupa.

    Jika harga naik dari USD 66 menjadi USD 110–120 per barel, kenaikan inflasi sekitar 1 poin persentase akan menaikkan biaya hidup bagi konsumen dan dunia usaha, terutama di sektor energi, transportasi, dan pangan.

    Cina diampuni, India kena imbas?

    Analis energi Katinas berpendapat, Cina—yang total volume perdagangannya dengan AS empat kali lebih besar dari India—”mungkin akan dikecualikan” dari kebijakan baru Gedung Putih. Dengan nilai perdagangan bilateral melebihi USD 580 miliar, skala ekonomi Cina memberi mereka daya tawar yang tidak dimiliki India.

    Cengkeraman Cina atas pasokan mineral tanah jarang — isu panas dalam hubungan AS-Cina — menjadi salah satu pengungkit yang digunakan Beijing untuk meredam sikap Trump.

    Dengan India tak memiliki pengaruh serupa, Trump awal pekan ini menggandakan tekanan pada New Delhi. Dia menyatakan bahwa dampak dari sanksi baru terhadap Rusia dan India akan “menjatuhkan dua ekonomi itu secara bersamaan.”

    Keuntungan India dari minyak Rusia menyusut

    Sementara itu, India tak lagi menikmati keuntungan besar seperti pada 2022, ketika diskon minyak Rusia mencapai USD 15–20 per barel. “Kini, margin itu menyusut menjadi sekitar USD 5,” menurut Ritolia dari Kpler.

    Berupaya mengisi kembali pundi-pundi perangnya, Rusia kini makin agresif memaksimalkan pendapatan energi. Permintaan dari Turki — yang kini menjadi pelanggan minyak terbesar ketiga Rusia — serta negara-negara Asia lainnya, yang mengimpor minyak Rusia dengan label alternatif untuk menghindari sanksi AS, membantu mengangkat harga.

    Meski begitu, kilang-kilang India terus melaku pembelian dari Rusia. Impor minyak mentah dari Rusia pada Juni mencapai level tertinggi dalam 11 bulan, yakni 2,08 juta barel per hari, menyumbang 44% dari total pasokan minyak mentah India — lonjakan tajam yang didorong oleh pertimbangan geopolitik dan harga.

    Di luar retorika, respons Cina tampaknya akan mengikuti pola sebelumnya saat menghadapi sanksi sekunder. Bank-bank Cina makin enggan menangani transaksi Rusia, bahkan dalam mata uang yuan, memaksa Moskow bergantung pada perantara bayangan dan jalur pihak ketiga.

    Bagi Beijing, impor minyak adalah prioritas yang relatif terlindungi dari tekanan politik. Sementara itu, India dipandang lebih mungkin mengambil sikap hati-hati: mengurangi pembelian jika ditekan, tapi tidak serta-merta menghentikan impor minyak Rusia.

    Ritolia berspekulasi bahwa India mungkin akan “mengurangi” impor minyaknya dari Rusia, namun menambahkan, “Saya tidak melihat India akan turun ke angka nol dalam waktu dekat.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Agus Setiawan

    (ita/ita)