Negara: Ukraina

  • Sistem Pertahanan Udara Tolga Turki Berhasil Tembak jatuh Drone dalam Uji Coba

    Sistem Pertahanan Udara Tolga Turki Berhasil Tembak jatuh Drone dalam Uji Coba

    JAKARTA – Perusahaan pertahanan Turki, MKE, berhasil menguji sistem anti-drone baru Tolga yang sukses melumpuhkan kendaraan udara tak berawak (UAV) sebagai bagian dari skenario uji coba bulan lalu.

    Uji coba sistem yang dikembangkan di dalam negeri ini, dengan kemampuan pertahanan udara berlapis terhadap UAV mini dan mikro, drone taktis, rudal jelajah, dan amunisi pintar, dilakukan di Komando Kelompok Uji dan Evaluasi Tembak Karapınar Kementerian Pertahanan Nasional di provinsi Konya, Turki tengah.

    Perusahaan ini memperkenalkan sistem ini awal tahun ini di Pameran Industri Pertahanan Internasional (IDEF) 2025, yang diselenggarakan di Istanbul.

    Sistem Pertahanan Drone Udara Dekat Tolga dikembangkan untuk melawan ancaman keamanan generasi baru. Sistem ini, yang mencakup pusat komando dan kendali, sistem radar, senjata turet, dan keluarga amunisi yang dikembangkan secara khusus, menyediakan perisai pertahanan berlapis dan terintegrasi terhadap drone, melansir Daily Sabah dan Anadolu 16 November.

    Sistem ini menggabungkan kemampuan pengacauan elektronik dan penghancuran fisik.

    Sistem pertahanan Tolga. (Sumber: AA Photo) 

    Menurut skenario soft-kill yang telah disiapkan, sebuah drone musuh yang berjarak sekitar 3 kilometer (1,86 mil) terdeteksi oleh radar, diidentifikasi melalui elektro-optik, dan kemudian ditembak jatuh menggunakan sistem pengacauan elektronik.

    Dalam skenario hard-kill, dua meriam tetap 12,7 mm, sebuah meriam putar 12,7 mm yang dipasang di kendaraan, dan sistem persenjataan 20 mm menghancurkan drone yang melakukan serangan jarak dekat di ketinggian rendah. Dengan menggunakan amunisi anti-drone yang dirancang untuk membentuk awan logam di sekitar target dengan struktur fragmentasinya, sistem ini meningkatkan probabilitas kena sasaran ke tingkat yang tinggi.

    Sementara itu, Manajer Umum MKE Ilhami Keleş mengatakan kepada wartawan setelah uji coba, sistem MKE Tolga telah berhasil menunjukkan kemampuannya untuk menyerang target nyata dalam skenario nyata dengan tembakan sungguhan.

    Keleş mencatat, uji coba dilakukan menggunakan jenis drone yang serupa dengan yang banyak digunakan dalam perang Rusia-Ukraina.

    Sistem pertahanan Tolga. (Sumber: AA Photo) 

    Menekankan sistem Tolga menawarkan solusi terintegrasi yang menggabungkan kemampuan soft-kill dan hard-kill, termasuk komando dan kendali, radar, elektro-optik, pengacau elektronik, sistem persenjataan, dan amunisi anti-drone yang dikembangkan secara khusus, ia mengatakan: “Steel Dome yang diumumkan Turki kini telah memiliki lapisan bawah, infrastruktur pertahanan udara dan drone di ketinggian 3.000 meter ke bawah, yang dibangun dengan sistem Tolga.”

    “Kita semua telah menyaksikan contoh nyatanya di sini,” katanya.

    “Sistem-sistem ini adalah sistem yang paling dibutuhkan di dunia saat ini, karena ancaman drone telah menjadi isu utama yang sedang ditangani semua negara,” tandas Keleş.

    Ia juga mencatat, mereka memenuhi kebutuhan Turki di bidang ini dan menemukan peluang untuk meraih pangsa pasar internasional yang signifikan.

    Ia mengindikasikan, mereka akan mengadakan demonstrasi serupa di banyak negara, sesuai jadwal yang telah direncanakan, untuk menunjukkan kemampuan mereka secara global.

    “Hari ini, fakta semua skenario yang direncanakan terlaksana dengan lancar dan sukses, dan sebagian besar target berhasil dinetralisir dengan amunisi yang sangat sedikit, banyak di antaranya hanya dalam tiga hingga empat tembakan pertama, merupakan pencapaian besar dan telah memberi kami keyakinan yang besar,” ujarnya.

    “Kami telah menyelesaikan tahap awal produksi massal. Kami siap memulai produksi skala besar, baik untuk amunisi maupun komponen senjata,” tambahnya.

    Diketahui, sistem pertahanan Tolga dapat digunakan pada platform tetap maupun bergerak dan menyesuaikan responsnya berdasarkan kedekatan ancaman. Dengan berbagai konfigurasi, sistem ini memberikan penghancuran efektif hingga jarak 3.000 meter.

  • Macron Akan Bertemu Pemimpin Jerman-Inggris di London Bahas Situasi Ukraina

    Macron Akan Bertemu Pemimpin Jerman-Inggris di London Bahas Situasi Ukraina

    Paris

    Presiden Prancis Emmanuel Macron akan bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, dan Kanselir Jerman Friedrich Merz di London pada hari Senin mendatang. Pertemuan itu membahas negosiasi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) terkait situasi Ukraina.

    Dilansir AFP, Minggu (7/12/2025), Macron membuat pengumuman tersebut di X, ketika para pejabat Ukraina dan AS mengadakan perundingan hari ketiga berturut-turut di Miami, AS, untuk membahas rencana mengakhiri perang yang telah berlangsung hampir empat tahun.

    “Saya akan pergi ke London pada hari Senin untuk bertemu dengan Presiden Ukraina, Perdana Menteri Inggris, dan Kanselir Jerman, untuk membahas situasi dan negosiasi yang sedang berlangsung dalam kerangka mediasi AS,” tulis Macron.

    “Kami akan melanjutkan upaya ini dengan Amerika untuk memberikan jaminan keamanan kepada Ukraina, yang tanpanya perdamaian yang kuat dan abadi tidak akan mungkin terwujud,” tambahnya.

    Macron juga mengutuk gelombang serangan Rusia setelah Moskow meluncurkan lebih dari 700 pesawat tak berawak dan rudal pada Sabtu malam ke Ukraina, yang menargetkan fasilitas energi dan kereta api.

    “Kita harus terus menekan Rusia agar memilih perdamaian,” kata Macron.

    (fas/fas)

  • Anak Eks Presiden Afsel Dituduh Rekrut Belasan Pria Bertempur untuk Rusia

    Anak Eks Presiden Afsel Dituduh Rekrut Belasan Pria Bertempur untuk Rusia

    Pretoria

    Duduzile Zuma-Sambudla, anak perempuan mantan Presiden Afrika Selatan (Afsel) Jacob Zuma, dituduh merekrut belasan pria, separuhnya masih kerabatnya, untuk bertempur bersama pasukan Rusia dalam perang di Ukraina.

    Zuma-Sambudla, seperti dilansir CNN, Sabtu (6/12/2025), dilaporkan ke polisi oleh kakak tirinya, atau putri sulung Jacob Zuma, Nkosazana Zuma-Mncube, terkait tuduhan tersebut. Kasus ini membuat hubungan antara anggota keluarga Jacob Zuma semakin merenggang.

    Zuma-Sambudla yang berusia 43 tahun, merupakan salah satu dari hampir dua lusin anak Jacob Zuma, yang mengundurkan diri dari jabatan Presiden Afsel tahun 2018 lalu menyusul rentetan skandal korupsi.

    Sosok Zuma-Sambudla dikenal sebagai pendukung setia Presiden Rusia Vladimir Putin dan telah mengungkapkan kekagumannya via media sosial. Pekan lalu, dia mengundurkan diri dari posisinya di parlemen Afsel, menyusul aduan pidana yang diajukan kakak tirinya tersebut.

    Aduan itu diajukan ke polisi setelah pemerintah Afsel mulai menyelidiki bagaimana 17 pria Afsel terjebak di wilayah Donbas, Ukraina, yang dilanda perang. Otoritas Afsel mendapatkan informasi soal situasi sulit yang dialami belasan pria itu setelah mereka memberikan seruan darurat untuk dipulangkan ke negara asalnya.

    Otoritas Afsel mengungkapkan bulan lalu bahwa belasan pria itu “dibujuk untuk bergabung dengan pasukan tentara bayaran yang terlibat dalam perang Ukraina-Rusia dengan dalih kontrak kerja yang menguntungkan”.

    Dalam aduannya yang meminta penyelidikan resmi terhadap adik tirinya, Zuma-Mncube menuduh Zuma-Sambudla dan dua orang lainnya telah berkontribusi pada situasi yang dialami para pria yang terjebak di Donbas tersebut. Zuma-Sambudla belum menanggapi tuduhan itu secara terbuka.

    Kepolisian Afsel, seperti dilansir AFP, mengatakan pihaknya sedang menyelidiki tuduhan yang menyebut Zuma-Sambudla telah membujuk 17 pria Afsel pergi ke Rusia “untuk berperang dalam perang Ukraina tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka”.

    Penyelidikan itu fokus pada apakah “ada tindakan kriminal, termasuk kemungkinan perdagangan manusia, perekrutan ilegal, eksploitasi, atau penipuan, yang mungkin berkontribusi terhadap perpindahan orang-orang ini ke zona konflik”.

    Berdasarkan aturan hukum Afsel, bertugas untuk militer asing tanpa persetujuan pemerintah merupakan tindakan ilegal atau melanggar hukum.

    Aduan pidana terhadap Zuma-Sambudla juga diajukan oleh Aliansi Demokratik, partai politik terbesar kedua di Afsel. Juru bicara Aliansi Demokratik, Chris Hattingh, mengatakan bahwa belasan pria itu, menurut keterangan keluarga mereka, “benar-benar disesatkan” dan dibujuk ke Rusia dengan kedok “pelatihan keamanan”.

    Ketika tiba di Rusia, sebut Hattingh, pakaian dan paspor pria-pria Afsel itu “diduga dibakar”, kemudian ponsel mereka “disita secara bertahap” hingga akhirnya tidak ada lagi kontak dengan keluarga mereka.

    Tonton juga video “Presiden Afsel Ramaphosa Undang Prabowo Hadiri KTT G20 di Johannesburg”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Geger Drone Misterius Terdeteksi di Pangkalan Kapal Selam Nuklir Prancis

    Geger Drone Misterius Terdeteksi di Pangkalan Kapal Selam Nuklir Prancis

    Paris

    Sejumlah drone misterius terdeteksi mengudara di atas pangkalan Prancis, yang menampung kapal selam balistik nuklir dengan pengamanan ketat. Militer Prancis menggunakan alat pengacau sinyal atau jammer untuk melumpuhkan drone-drone misterius tersebut.

    Ini menjadi insiden terbaru dari serangkaian penampakan drone misterius di atas bandara dan lokasi militer serta kawasan industri sensitif yang marak di kawasan Eropa beberapa waktu terakhir.

    Sekitar 3,5 tahun setelah invasi Rusia ke Ukraina, muncul kekhawatiran yang berkembang bahwa gangguan semacam itu bisa menjadi bagian dari taktik perang hyrbrid Moskow melawan Uni Eropa, yang selama ini mendukung Kyiv.

    Asal drone-drone misterius itu belum bisa dipastikan secara jelas. Jaksa Prancis, seperti dilansir AFP, Sabtu (6/12/2025), telah meluncurkan penyelidikan terhadap kemunculan drone misterius tersebut.

    Insiden itu terjadi di area pangkalan kapal selam di Ile Longue, sebuah semenanjung di lepas pantai Brittany, Prancis bagian barat laut, pada Kamis (4/12) malam waktu setempat.

    “Tidak ada hubungan dengan campur tangan asing sejauh ini,” kata jaksa Prancis, Frederic Teillet, yang terlibat penyelidikan.

    Penyelidikan ini, sebut Teillet, harus “mengonfirmasi apakah ini drone atau bukan” dan menentukan “jenis serta jumlah perangkatnya”.

    Disebutkan jaksa Prancis dalam pernyataannya bahwa tidak ada drone yang ditembak jatuh dan tidak ada pilot yang teridentifikasi sejauh ini. “Marinir menembakkan jammer, bukan menggunakan senjata api,” ucapnya.

    Seorang sumber yang memahami penyelidikan kasus ini mengatakan kepada AFP bahwa setidaknya lima drone terdeteksi mengudara di atas pangkalan itu pada Kamis (4/12), sekitar pukul 18.30 GMT.

    Menurut sumber tersebut, operasi anti drone dan pencarian telah diluncurkan, dengan batalion marinir Prancis, yang melindungi pangkalan tersebut, melepaskan beberapa tembakan anti-drone.

    Juru bicara prefektur maritim setempat, Guillaume Le Rasle, mengatakan kepada AFP bahwa “infrastruktur sensitif tidak terancam” akibat insiden itu.

    Pangkalan Ile Longue merupakan “rumah” bagi empat kapal selam rudal balistik Prancis, yakni Le Triomphant, Le Temeraire, Le Vigilant, dan Le Terrible. Setidaknya satu kapal selam itu berada di lautan secara permanen untuk memastikan pencegahan nuklir.

    Pangkalan itu sangat dijaga ketat, dengan sebanyak 120 petugas kepolisian maritim yang berkoordinasi dengan Marinir melindungi kompleks tersebut.

    Menteri Pertahanan Catherine Vautrine mengatakan kepada televisi TF1 bahwa penerbangan apa pun di atas pangkalan militer dilarang di Prancis. Dia memuji respons personel militer yang ada di pangkalan tersebut.

    “Aduan telah diajukan, penyelidikan sedang dilakukan, dan penyelidikan inilah yang akan menentukan apa sebenarnya motif di balik penerbangan di atas area tersebut,” ucap Vautrine.

    Tonton juga video “Drone Rusia Hantam Kharkiv Ukraina, 32 Orang Luka-luka”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Senyum Lebar Trump Saat Jadi Penerima Pertama FIFA Peace Prize

    Senyum Lebar Trump Saat Jadi Penerima Pertama FIFA Peace Prize

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tersenyum sangat lebar saat menjadi penerima pertama hadiah perdamaian (peace prize) terbaru Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) pada Jumat (5/12) waktu setempat.

    Penghargaan yang diberikan langsung oleh Presiden FIFA Gianni Infantino dalam seremoni pengundian Piala Dunia 2026 di Kennedy Center, Washington DC itu menjadi semacam kompensasi untuk Trump yang sangat mendambakan Nobel Perdamaian. Infantino selama ini dikenal sebagai sekutu dekat Trump.

    Trump, seperti dilansir AFP, Sabtu (6/12/2025), menyebut penghargaan dari FIFA ini sebagai “kehormatan besar” dalam hidupnya. Sang Presiden AS berusia 79 tahun itu bahkan tampak tersenyum lebar setelah menerima FIFA peace prize tersebut.

    “Terima kasih banyak. Ini sungguh merupakan salah satu kehormatan besar dalam hidup saya,” ucap Trump.

    “Dan di luar penghargaan, Gianni dan saya sedang mendiskusikan hal ini, kita telah menyelamatkan jutaan nyawa. Dunia sekarang menjadi tempat yang lebih aman,” ujarnya.

    Infantino, dalam pernyataannya, mengatakan bahwa Trump memenangkan penghargaan itu atas tindakan “luar biasa ” dalam mempromosikan perdamaian dan persatuan di seluruh dunia. Infantino menghadiahkan trofi emas dan sertifikat serta medali kepada Trump.

    “Ada juga medali indah untuk Anda yang bisa Anda pakai ke mana pun ke mana Anda ingin pergi,” kata Infantino kepada Trump.

    Trump dengan segera mengalungkan sendiri medali itu di lehernya, sambil berkata: “Saya akan memakainya sekarang juga”.

    Trump tersenyum lebar saat menjadi penerima pertama FIFA Peace Prize Foto: Getty Images via AFP/DAN MULLAN

    FIFA mengumumkan penghargaan tahunan itu pada November lalu, dengan mengatakan bahwa penghargaan tersebut akan diberikan kepada orang-orang yang membawa “harapan bagi generasi mendatang”.

    Namun, penerima pertamanya tidak lagi menjadi kejutan. Infantino menjalin hubungan erat dengan Trump, mengunjungi Gedung Putih lebih sering daripada pemimpin dunia mana pun sejak Trump kembali menjabat pada Januari lalu.

    Sang Presiden AS itu telah sering menegaskan dirinya pantas menerima Nobel Perdamaian atas perannya dalam mengakhiri apa yang dia klaim sebanyak delapan konflik dalam setahun. Konflik-konflik itu mencakup gencatan senjata rapuh di Gaza, meskipun dia belum berhasil mengakhiri perang Rusia di Ukraina.

    Infantino telah melakukan perjalanan jauh hingga ke Mesir dan Malaysia untuk menghadiri tiga seremoni penandatanganan perjanjian damai yang dimediasi Trump dalam beberapa bulan terakhir.

    Trump juga menempatkan dirinya sebagai ketua “dewan perdamaian” untuk Gaza yang dilanda perang. Namun Trump diabaikan oleh Komite Nobel Norwegia bulan lalu, dengan memberikan Nobel Perdamaian kepada pemimpin oposisi Venezuela, Maria Corina Machado.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Kenapa Trump Cawe-cawe Melulu Urusan Negara Lain?

    Kenapa Trump Cawe-cawe Melulu Urusan Negara Lain?

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengecam kebijakan migrasi Eropa, mendukung kandidat-kandidat presiden sayap kanan, dan mengutuk upaya perlindungan iklim global. Kelanjutan dari perang budaya nasional, dia bawa ke panggung internasional.

    Dalam pemilihan presiden di Honduras, terlihat pertarungan yang sangat ketat. Pada satu titik dalam penghitungan, hanya sekitar 500 suara yang memisahkan dua kandidat terkuat: Salvador Nasralla dari kubu sentris dan Nasry Asfura dari kubu konservatif kanan.

    Bagi Trump, hal itu sudah cukup menjadi alasan untuk kembali membela Asfura secara terang-terangan. Ia menuduh otoritas pemilu menguntungkan lawan Asfura.

    “Kelihatannya Honduras sedang mencoba memanipulasi hasil pemilihan presiden,” tulis Donald Trump di platform daringnya, Truth Social.

    Jika hal itu terjadi, ia mengancam akan memberikan konsekuensi serius. “Jika mereka melakukannya, mereka akan menanggung akibatnya dengan pahit!”

    Memang, sudah beredar rumor selama berhari-hari tentang kecurangan pemilu — dari kedua belah pihak. Di Honduras, hal semacam ini bukan hal baru: Pemilu tahun 2013 dan 2017 pun dibayangi tuduhan penipuan serius. Selain itu, Honduras adalah negara kecil yang secara geopolitik relatif tidak signifikan. Mengapa reaksi Presiden AS kali ini begitu keras?

    Berpikir dalam “lingkup kepentingan”

    Donald Trump tampaknya menyukai gagasan tentang zona pengaruh politik, ujar Cathryn Clver-Ashbrook, pakar transatlantik dari Yayasan Bertelsmann-Stiftung: “Ia memahami perannya di Gedung Putih hampir secara imperial, dan ia senang ketika dunia bergerak sesuai kepentingannya — khususnya di belahan bumi Barat. Dan perlu ditekankan bahwa itu adalah kepentingannya pribadi, bukan kepentingan klasik kebijakan luar negeri Amerika.”

    Ia juga merujuk pada pertukaran mata uang senilai 20 miliar dolar AS dengan Argentina yang diprakarsai Trump untuk membantu Presiden Javier Milei keluar dari krisis likuiditas. “Ini menunjukkan munculnya kebijakan baru yang sudah lama tidak dilakukan AS terhadap negara-negara tetangganya di Amerika Latin dan Selatan.”

    Campur tangan juga di Eropa

    Dan tidak hanya di sana. Di Polandia, Trump secara terbuka mendukung Karol Nawrocki, seorang nasional-konservatif yang skeptis terhadap Uni Eropa. Di Hungaria ia mendukung Viktor Orbn.

    Di Jerman, hubungan antara pemerintah AS dan partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) belakangan semakin intens. Beberapa hari lalu, AS bahkan menginstruksikan para diplomatnya di Eropa untuk mendorong kebijakan migrasi yang lebih ketat.

    Organisasi-organisasi yang dekat dengan gerakan “Make America Great Again”- MAGA, seperti Heritage Foundation, melakukan lobi melawan kebijakan iklim Uni Eropa. Ini adalah organisasi yang menerbitkan “Project 2025”, sebuah dokumen yang dipandang sebagai skenario perombakan negara Amerika Serikat.

    Pada tahun pertama masa jabatan keduanya, Presiden AS telah mengubah kebijakan luar negerinya secara drastis; lebih radikal dibanding banyak pendahulunya. Ia meninggalkan prinsip tak tertulis untuk tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara sekutu.

    Tujuan: Membawa perang budaya Amerika ke luar negeri

    Menurut sebuah studi dari European Council on Foreign Relations (ECFR), bagi Presiden AS, kebijakan dalam negeri dan luar negeri pada dasarnya adalah satu hal yang sama. Ia memahami kebijakan luar negerinya sebagai perpanjangan internasional dari perang budaya yang sedang berlangsung di dalam negeri.

    “Kaum kiri dan Demokrat adalah musuh di dalam; terutama orang Eropa dianggap sebagai kelanjutan mereka di luar negeri,” tulis penulis studi tersebut, Celia Belin.

    Trump memandang Uni Eropa (UE) sebagai “parasit” yang memanfaatkan Amerika, sama seperti ia menuduh kubu Demokrat di AS melemahkan negara.

    Clver-Ashbrook menjelaskan bahwa “pengideologian kebijakan luar negeri Amerika dapat ditemukan di seluruh dokumen inti Project 2025”. Menurut dokumen tersebut, kebijakan luar negeri AS harus jauh lebih didasarkan pada nilai-nilai konservatif yang ketat.

    Hal ini sejalan dengan pernyataan Steve Bannon — mantan penasihat kampanye Trump dan tokoh penting gerakan MAGA — yang baru-baru ini menyebut Rusia sebagai “bangsa Kristen yang saleh” dan “sekutu tradisional” AS.

    Dengan itu, menurutnya, pemerintahan Trump benar-benar meninggalkan fondasi utama kebijakan luar negeri Amerika dan melakukan “pergeseran ideologis besar” yang didorong oleh “ambisi geopolitik yang sangat strategis.”

    Penghinaan terbuka terhadap Eropa

    Menurut Clver-Ashbrook, orang Eropa tidak hanya kerap dibuat tersinggung dalam perundingan mengenai Ukraina. Ketidaksukaan sebagian anggota pemerintahan AS terhadap kaum Eropa yang berhaluan liberal kiri sudah berkali-kali terlihat. Ia mencontohkan sebuah percakapan yang bocor melalui majalah AS The Atlantic mengenai serangan AS di Yaman.

    Dalam chat tersebut, Wakil Presiden AS JD Vance dikabarkan mengatakan bahwa orang Eropa akan terlalu banyak diuntungkan dari serangan itu, dan Menteri Perang Pete Hegseth membalas: “Saya sepenuhnya berbagi kebencian Anda terhadap sifat Eropa yang selalu menumpang. Itu menyedihkan.”

    Perang ideologi melalui kebijakan luar negeri

    Menurut Pawel Zerka dari ECFR, Eropa kini berada di tengah sebuah panggung perang budaya yang diimpor Amerika. Pemerintah AS sedang melancarkan pertarungan ideologis terbuka mengenai isu migrasi, iklim, wokeisme, dan kebebasan berpendapat.

    Pada saat yang bersamaan, Trump mendukung kelompok “Kanan Baru” di mana pun ia bisa, dan menormalkan posisi-posisi radikal mereka. Strategi yang didorong ideologi MAGA ini juga mencakup campur tangan aktif dalam pemilu untuk mendukung kandidat-kandidat konservatif, serta membangun semacam “MAGA International” melalui jaringan sayap kanan, serta mempromosikan media dan konferensi kanan seperti CPAC.

    Bisakah Eropa melawan?

    Menurut Zerka, Eropa sebaiknya tidak membiarkan pemerintahan Trump mengendalikan arah kebijakannya. Alih-alih terus melihat diri sebagai pihak yang bergantung pada AS, Eropa perlu bersama-sama menegaskan kepentingannya secara berdaulat — bahkan jika itu berarti menghadapi tekanan Washington.

    Mayoritas negara UE masih dipimpin oleh pemerintahan yang pro-Eropa. Potensi itu harus dimanfaatkan untuk tampil lebih bersatu, bukan terpecah oleh kepentingan nasional atau partai politik.

    Clver-Ashbrook melihat ancaman tambahan bagi Eropa: “Organisasi dengan kekuatan finansial besar — termasuk yang berada di belakang Heritage Foundation dan Project 2025 — kini bersiap mempengaruhi Eropa, termasuk melalui sumbangan kepada partai-partai politik.”

    Seperti yang juga diperingatkan oleh lembaga pengawas Lobbycontrol, aturan pendanaan partai di Jerman dan banyak negara Eropa dinilai terlalu lemah dan dapat menjadi “pintu masuk untuk campur tangan asing, termasuk dari dana negara atau dana yang dikendalikan pemerintah AS.”

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jernman

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Trump Ketiduran Pas Menterinya Lagi Pada Ngomong”

    (nvc/nvc)

  • Harga Minyak Hari Ini 6 Desember Sentuh Level Tertinggi 2 Mingguan

    Harga Minyak Hari Ini 6 Desember Sentuh Level Tertinggi 2 Mingguan

    New York, Beritasatu.com – Harga minyak menguat mendekati 1% dan mencapai level tertinggi dalam dua pekan pada perdagangan Sabtu (6/12/2025). Kenaikan ini dipicu meningkatnya ekspektasi bahwa bank sentral Amerika Serikat (The Fed) akan memangkas suku bunga pekan depan.

    Kontrak Brent naik 49 sen atau 0,8% menjadi US$ 63,75 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat 41 sen atau 0,7% menjadi US$ 60,08 per barel. Kedua patokan tersebut mencatat penutupan tertinggi sejak 18 November.

    Secara mingguan, Brent naik sekitar 1% dan WTI menguat sekitar 3%, membukukan kenaikan dua pekan beruntun. Investor juga mencerna laporan inflasi AS dan menyesuaikan ekspektasi pemangkasan suku bunga pada pertemuan The Fed 9-10 Desember.

    Belanja konsumen AS meningkat moderat pada September setelah tiga bulan berturut-turut mencatatkan pertumbuhan solid, mengindikasikan momentum ekonomi mulai melemah akibat pasar tenaga kerja yang lesu dan meningkatnya biaya hidup. Pelaku pasar memperkirakan peluang 87% untuk pemangkasan suku bunga 25 basis poin pekan depan berdasarkan CME FedWatch.

    Pada sisi lain, investor turut mencermati perkembangan dari Rusia dan Venezuela untuk menilai potensi kenaikan atau penurunan pasokan minyak dari dua anggota OPEC+ yang dikenai sanksi tersebut. Gagalnya pembicaraan AS di Moskow untuk mencapai terobosan signifikan terkait perang Ukraina menjadi sentimen penguatan harga minyak sepanjang pekan.

    Negara-negara Group of Seven (G7) dan Uni Eropa sedang membahas penggantian batas harga ekspor minyak Rusia dengan larangan penuh layanan maritim guna menekan pendapatan minyak Rusia yang digunakan

  • Harga Minyak Melompat Tersengat 2 Faktor Ini

    Harga Minyak Melompat Tersengat 2 Faktor Ini

    Liputan6.com, Jakarta – Harga minyak stabil pada perdagangan Jumat, 5 Desember 2025. Pergerakan harga minyak dunia itu didukung oleh perundingan damai Ukraina yang terhenti meskipun kenaikan tersebut diimbangi oleh harapan kelebihan pasokan minyak.

    Mengutip CNBC, Sabtu (6/12/2025), harga minyak Brent naik 49 sen atau 0,77% ke posisi USD 63,75 per barel. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) bertambah 41 sen atau 0,69% ke posisi USD 60,08 per barel.

    “Harga minyak mentah hari ini cukup mendatar dan pekan ini memiliki rentang perdagangan yang sempit,” ujar Analis Pasar Minyak PVM, Tamas Vargas.

    Ia mengatakan, kemajuan dalam perundingan damai Ukraina yang berkurang memberikan latar belakang yang bullish, tetapi di sisi ain, produksi OPEC yang tangguh memberikan penghalang. “Kedua kekuatan yang berlawanan ini membuat perdagangan tampak sepi,” kata dia.

    Analis menuturkan, pasar juga menilai dampak dari kemungkinan penurunan suku bunga The Fed AS dan ketegangan dengan Venezuela, yang keduanya dapat mendorong harga minyak.

    Dari para ekonom yang disurvei dalam jajak pendapat Reuters yang berlangsung dari 28 November hingga 4 Desember, 82% memperkirakan penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan kebijakan Federal Reserve minggu depan. Pemangkasan suku bunga akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.

    “Ke depannya, faktor pasokan tetap menjadi fokus. Kesepakatan damai dengan Rusia akan membawa lebih banyak barel ke pasar dan kemungkinan akan menekan harga,” kata Spesialis Riset Senior di LSEG, Anh Pham.

    “Di sisi lain, setiap eskalasi geopolitik akan mendorong harga lebih tinggi. OPEC+ telah sepakat untuk mempertahankan produksi hingga awal tahun depan, sehingga hal ini juga memberikan dukungan bagi harga,” ia menambahkan.

    Pasar juga terus bersiap menghadapi potensi serangan militer AS ke Venezuela setelah Presiden Donald Trump mengatakan akhir pekan lalu bahwa AS akan mulai mengambil tindakan untuk menghentikan pengedar narkoba Venezuela di darat “segera”.

     

     

  • Serangan Drone Ukraina Picu Kebakaran di Pelabuhan Rusia

    Serangan Drone Ukraina Picu Kebakaran di Pelabuhan Rusia

    Moskow

    Serangan drone Ukraina kembali menghantam sebuah pelabuhan di wilayah Rusia pada Jumat (5/12) waktu setempat. Akibat serangan drone tersebut, kebakaran terjadi di kompleks pelabuhan di tepi Laut Azov.

    Pusat darurat lokal dalam pernyataannya, seperti dilansir Reuters, Jumat (5/12/2025), menyebut kebakaran terjadi di kompleks pelabuhan Temryuk, yang terletak di tepi Laut Azov, Rusia. Disebutkan bahwa kebakaran itu disebabkan oleh serangan drone Ukraina.

    “Terjadi kebakaran… Layanan khusus dan darurat sedang bekerja di lokasi,” kata pusat tanggap darurat setempat dalam pernyataan via Telegram.

    Pelabuhan Temryuk diketahui menangani liquefied petroleum gas (LPG), produk-produk minyak dan petrokimia, serta biji-bijian dan komoditas pangan curah lainnya.

    Tidak diketahui secara jelas apakah ada korban jiwa atau korban luka akibat kebakaran tersebut. Belum diketahui seberapa besar kerusakan yang terjadi di kompleks pelabuhan tersebut.

    Dua sumber sektor industri mengatakan kepada Reuters bahwa kebakaran terjadi di terminal transshipment LPG Maktren-Nafta, yang memuat LPG dari produsen-produsen Rusia dan Kazakhstan untuk ekspor.

    Dalam 10 bulan pertama tahun 2025, menurut para pedagang, terminal tersebut telah menangani sekitar 220.000 ton LPG.

    Kementerian Pertahanan Rusia, dalam pernyataannya, mengatakan bahwa sistem pertahanan udaranya telah mencegat dan menghancurkan 41 drone Ukraina dalam semalam. Salah satu drone itu ditembak jatuh di atas wilayah Krasnodar, yang menjadi lokasi pelabuhan Temryuk berada.

    Belum ada pernyataan resmi Ukraina soal serangan tersebut. Namun beberapa waktu terakhir, Kyiv menargetkan infrastruktur energi Moskow dalam rentetan serangannya, untuk membalas serangan-serangan Rusia.

    Tonton juga video “Progres Perdamaian di Ukraina Masih Gitu-gitu Aja”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Jepang-Korsel Waspadai Diplomasi Transaksional Trump

    Jepang-Korsel Waspadai Diplomasi Transaksional Trump

    Jakarta

    Jepang dan Korea Selatan (Korsel) mencermati langkah terbaru pemerintahan Donald Trump terkait Ukraina dan Cina. Keduanya melihat sinyal bahwa Amerika Serikat (AS) semakin menerapkan diplomasi yang bersifat transaksional secara keseluruhan, sesuatu yang pada akhirnya dikhawatirkan dapat menggoyahkan struktur aliansi lama di Asia Timur Laut.

    Proposal “28 poin rencana perdamaian” yang diajukan pemerintahan Trump untuk Ukraina awalnya dianggap sebagai penyesuaian dari tuntutan yang diusulkan oleh Rusia. Meski versi yang lebih lunak kemudian dirilis dan pembicaraan terus berjalan, AS berkali-kali memberi isyarat bahwa mereka siap mengambil jarak dari Ukraina.

    Terkait Cina, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan bahwa Trump berencana bertemu dengan Presiden Xi Jinping sebanyak empat kali pada 2026, termasuk kunjungan kenegaraan ke Beijing pada April dan kunjungan balasan ke AS pada akhir tahun. Menurut Bessent, pertemuan ini ditujukan untuk membawa “stabilitas besar” dalam hubungan bilateral, saat Trump berusaha memperbaiki hubungan dengan Xi Jinping pascapeluncuran perang dagang yang sengit.

    Secara resmi, Jepang dan Korea Selatan belum memberi komentar. Namun, banyak pengamat di Seoul dan Tokyo menafsirkan kebijakan luar negeri Washington sebagai dukungan Trump terhadap seorang diktator yang berusaha menaklukkan negara tetangga yang lebih kecil di Eropa. Persepsi ini menambah kekhawatiran bahwa hal serupa dapat terjadi di kawasan Pasifik, dengan Taiwan sebagai titik rawan yang paling jelas.

    Mempertanyakan reliabilitas AS

    “Pengkhianatan Trump terhadap Ukraina menjadi bayang-bayang besar bagi Asia dan para sekutu Paman Sam di kawasan tersebut, yang kini mulai mempertanyakan seberapa dapat diandalkannya aliansi mereka dengan AS,” kata Jeff Kingston, Direktur Studi Asia di Temple University Tokyo.

    “Jepang dan Korea Selatan melihat Trump mendekati para pemimpin otoriter di Rusia, Cina, dan Korea Utara, sementara mereka justru diabaikan dalam isu perdagangan. Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika muncul krisis terkait Taiwan,” ujarnya kepada DW.

    Kingston menambahkan bahwa Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi kemungkinan merasa “kecewa” karena Trump tidak langsung menyatakan dukungan ketika dia terlibat ketegangan dengan Cina.

    Cina bereaksi keras, menuntut Jepang tidak ikut campur dalam “urusan dalam negeri” Beijing dan kemudian mengambil sejumlah langkah, termasuk meminta warganya tidak bepergian ke Jepang, menunda perilisan film Jepang, serta membatalkan berbagai acara dan pertukaran budaya.

    Takaichi menolak untuk menarik kembali pernyataannya, tapi dia tampaknya tidak mendapatkan jaminan kuat setelah Presiden AS diberitakan mengatakan kepadanya melalui sambungan telepon pada 24 November bahwa Takaichi sebaiknya tidak “memprovokasi” Cina.

    Hal yang dikhawatirkan Jepang dan Korea Selatan dari Trump dan Cina

    “Setelah keberhasilan kunjungan Trump ke Tokyo dan komitmen Takaichi untuk berinvestasi di AS, saya pikir dia berharap mendapat sesuatu yang lebih,” kata Jeff Kingston. “Dia pasti ingin Trump menegaskan kembali bahwa Jepang adalah ‘pondasi perdamaian’ di kawasan ini dan menyoroti kekuatan aliansi tersebut.”

    “Memberitahunya untuk tidak ‘memprovokasi’ Cina bukanlah pernyataan tegas yang dia harapkan,” tambahnya.

    “Kekhawatiran di Jepang saat ini adalah prospek Amerika Serikat dan Cina dalam membentuk ‘G-2’ yang akan mengabaikan Jepang dan menunjukkan penurunan pengaruh Tokyo,” katanya. “Dan Korea Selatan akan memiliki kekhawatiran yang sama.”

    Pada saat yang sama, Jepang telah memenuhi keinginan Trump untuk menginvestasikan 550 miliar dolar AS (Rp8,8 kuadriliun) di industri Amerika. Korea Selatan kemudian setuju memberikan investasi tunai 350 miliar dolar AS (Rp5,6 kuadriliun), serta tambahan 150 miliar dolar AS (Rp2,4 kuadriliun) untuk kerja sama pembangunan kapal.

    “Tentu itu tidak adil dan tentu saja banyak yang tidak senang, tetapi kami juga sadar bahwa Korea Selatan sangat bergantung pada AS,” kata Lim Eun-jung, profesor studi internasional di Kongju National University.

    Presiden Korea Selatan saat ini, Lee Jae-myung, berasal dari partai kiri yang secara ideologis bukan pasangan alamiah bagi pemerintahan AS, kata Lim. Namun, dia juga seorang “pragmatis” dalam urusan aliansi negara.

    Kekhawatiran pengurangan pasukan AS di Korea Selatan

    Korea Selatan semakin waspada terhadap meningkatnya agresi Cina di kawasan tersebut, termasuk masuknya kapal-kapal Beijing ke perairan sengketa di Laut Kuning. Polanya mengingatkan akan perebutan atol dan wilayah perairan di Laut Cina Selatan oleh Beijing satu dekade lalu.

    Lim mengatakan Korea Selatan tidak tahu sejauh mana AS memperhatikan sengketa ini atau apakah pemerintahan AS saat ini akan memberikan bantuan jika pelanggaran wilayah Cina semakin intensif dan meluas.

    “Kami juga khawatir terhadap kemungkinan skenario penarikan, yakni pengurangan pasukan AS di Korea Selatan sebagai bagian dari pendekatan transaksional Trump dalam hubungan internasional,” ujarnya.

    Dalam masa jabatannya yang kedua, Trump belum mengancam akan menarik pasukan AS jika Korsel tidak membayar lebih untuk biaya pangkalan. Namun, tekanan terkait biaya kehadiran militer ini pernah menjadi alat tawar yang digunakan Trump pada masa jabatan pertamanya dan dapat kembali muncul sewaktu-waktu.

    Jepang memiliki kekhawatiran serupa. Takaichi mungkin berhasil meredakan sebagian tekanan itu dengan mengumumkan bahwa anggaran tahun 2026 akan menaikkan belanja pertahanan menjadi 2 persen dari PDB Jepang. Angka itu mungkin masih belum memenuhi tuntutan Trump, tapi Jepang akan berargumen bahwa peningkatan tersebut merupakan langkah ke arah yang benar.

    Meski begitu, belum jelas apakah langkah tersebut cukup.

    Dalam sebuah wawancara dengan Fox News, Trump ditanya apakah Cina merupakan “teman” bagi AS, merujuk pada ketegangan terbaru antara Cina dan Jepang.

    “Banyak sekutu kami juga bukan teman kami,” kata Trump. “Cina telah memanfaatkan kami dengan sangat besar…para sekutu kami bahkan lebih banyak memanfaatkan kami dalam perdagangan dibandingkan Cina.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalan bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh: Ausirio Sangga Ndolu

    Editor: Muhammad Hanafi

    (ita/ita)