Negara: Ukraina

  • Akhiri Perang via Dialog Atau Diakhiri dengan Kekerasan

    Akhiri Perang via Dialog Atau Diakhiri dengan Kekerasan

    Beijing

    Presiden Rusia Vladimir Putin melontarkan dua opsi untuk mengakhiri perang dengan Ukraina. Opsi pertama adalah mengakhiri perang melalui perundingan atau dialog, sedangkan opsi kedua adalah Moskow akan mengakhiri perang dengan kekerasan.

    Putin, seperti dilansir Reuters, Kamis (4/9/2025), mengatakan kepada Ukraina bahwa ada peluang untuk mengakhiri perang melalui negosiasi “jika akal sehat menang”. Namun jika negosiasi tidak terwujud, Putin menegaskan dirinya siap untuk mengakhiri perang dengan kekerasan, jika memang itu satu-satunya cara.

    Putin mengatakan dirinya lebih memiliki opsi pertama. Pernyataan terbaru itu disampaikan Putin pada Rabu (3/9) waktu setempat, di akhir kunjungannya ke China.

    Dikatakan Putin bahwa dirinya melihat “sedikit cahaya di ujung terowongan” merujuk pada apa yang disebutnya sebagai upaya tulus Amerika Serikat (AS) untuk mengupayakan penyelesaian bagi perang darat terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.

    “Menurut saya, jika akal sehat menang, akan dimungkinkan untuk menyepakati solusi yang dapat diterima untuk mengakhiri konflik ini. Itulah asumsi saya.” kata Putin saat berbicara kepada wartawan di Beijing.

    “Terutama karena kita dapat melihat suasana hati pemerintahan AS saat ini di bawah Presiden (Donald) Trump, dan kita melihat bukan hanya pernyataan mereka, tetapi juga keinginan tulus mereka untuk mencari solusi,” sebutnya.

    “Dan saya pikir ada sedikit cahaya di ujung terowongan. Mari kita lihat bagaimana situasinya berkembang. Jika tidak, maka kita harus menyelesaikan semua tugas yang ada di hadapan kita dengan kekuatan senjata,” tegas Putin dalam pernyataannya.

    Tonton juga video “Putin Siap Bahas Perdamaian Jika Zelensky Bersedia ke Moskow” di sini:

    Putin, dalam pernyataannya, tidak menunjukkan kesediaan untuk melunakkan tuntutannya yang telah lama diajukan agar Ukraina meninggalkan gagasan untuk bergabung dengan aliansi NATO. Dia juga tidak mencabut pernyataan soal apa yang digambarkan Moskow sebagai diskriminasi terhadap penutur bahasa Rusia dan etnis Rusia di Ukraina.

    Putin juga tidak mundur dari gagasan soal Moskow memiliki kendali penuh setidaknya atas wilayah Donbas di Ukraina bagian timur.

    Dikatakan Putin bahwa dirinya siap berunding dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, jika Zelensky bersedia datang ke Moskow. Otoritas Kyiv mengatakan usulan Putin soal pertemuan di Moskow itu “tidak dapat diterima”, dengan Menteri Luar Negeri Ukraina Andrii Sybiha menyebut ada tujuh negara, termasuk Austria, Vatikan, Swiss, dan tiga negara Teluk, yang siap menjadi tuan rumah pertemuan tersebut.

    Putin kembali menegaskan bahwa dirinya selalu terbuka untuk bertemu Zelensky. Namun dia juga menegaskan kembali sikap Kremlin bahwa pertemuan semacam itu harus dipersiapkan dengan baik sebelumnya dan memastikan ada hasil yang nyata.

    “Mengenai pertemuan dengan Zelensky, saya tidak pernah mengesampingkan kemungkinan pertemuan semacam itu. Tetapi apakah ada gunanya? Kita lihat saja nanti,” kata Putin.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Trump Sesalkan Xi Jinping Tak ‘Mention’ AS di Pidato Parade Militer China

    Trump Sesalkan Xi Jinping Tak ‘Mention’ AS di Pidato Parade Militer China

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump buka suara mengenai parade militer di China. Dia menilai acara itu merupakan ‘upacara yang indah’.

    “Saya pikir itu adalah upacara yang indah. Saya pikir itu sangat, sangat mengesankan,” kata Trump kepada wartawan, dilansir Reuters, Kamis (4/9/2025).

    Trump mengaku menonton pidato Presiden China Xi Jinping. Trump memuji Xi, namun dia menyesalkan Xi tidak menyebut AS dalam pidatonya.

    “Saya menonton pidato tadi malam. Presiden Xi adalah teman saya, tetapi saya pikir Amerika Serikat seharusnya disebutkan tadi malam dalam pidato itu, karena kami sangat, sangat membantu China,” kata Trump.

    Xi Jinping Tak Sebut AS

    Invasi Jepang ke China pada tahun 1937 merupakan eskalasi besar dalam pertempuran yang kemudian memicu Perang Dunia II, dan penyerahan diri Jepang pada tahun 1945 menandai berakhirnya konflik tersebut. AS bergabung dalam perang pada tahun 1941, membantu pasukan China melawan militer Jepang dan memainkan peran penting dalam kekalahan Jepang.

    Dengan memanfaatkan sejarah untuk melancarkan pertempuran politik masa kini, Xi menggambarkan Perang Dunia II sebagai titik balik utama dalam “peremajaan besar bangsa China” yang kini diperintah oleh Partai Komunis Tiongkok dan sekutu-sekutunya.

    Kemarin, Xi mengucapkan terima kasih kepada “pemerintah asing dan sahabat internasional yang telah mendukung dan membantu rakyat China,” menurut seorang pejabat.

    Namun, ia tidak membahas peran Amerika Serikat dalam perang tersebut. Diketahui, hubungan AS-China sedang berada di titik tegang.

    Kedua belah pihak berselisih dalam berbagai masalah keamanan, mulai dari Ukraina hingga Laut Cina Selatan, dan sedang berselisih mengenai kesepakatan perdagangan yang luas untuk mencegah tarif atas barang-barang masing-masing.

    Namun, Trump telah berulang kali memuji hubungan pribadi yang positif dengan Xi, yang menurut para ajudannya dapat mengarahkan dua ekonomi terbesar dunia ke arah yang konstruktif.

    Trump juga mengatakan akan segera bertemu dengan Xi. Dalam sebuah unggahan yang ditujukan kepada Xi di Truth Social saat parade dimulai, Trump berkata, “Sampaikan salam hangat saya kepada Vladimir Putin, dan Kim Jong Un, karena kalian berkonspirasi melawan Amerika Serikat,”.

    Kremlin mengatakan mereka tidak berkonspirasi. Mereka malah menganggap pernyataan itu ironis.

    Halaman 2 dari 2

    (zap/fas)

  • Xi Jinping Unjuk Kekuatan di Parade Militer Bersama Putin-Kim

    Xi Jinping Unjuk Kekuatan di Parade Militer Bersama Putin-Kim

    Jakarta

    Dalam parade militer besar-besaran di Beijing pada hari Rabu (06/09, diapit oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dari Rusia dan Kim Jong Un dari Korea Utara. Presiden Cina Xi Jinping memperingatkan dunia bahwa dunia sedang menghadapi pilihan antara “perdamaian atau perang”.

    Acara yang memperingati 80 tahun kekalahan Jepang pada akhir Perang Dunia II ini sebagian besar dijauhi oleh para pemimpin Barat, karena perang Ukraina dan ambisi nuklir Kim yang hadir sebagai tamu kehormatan.

    Dirancang untuk memproyeksikan kekuatan militer dan pengaruh diplomatik Cina, parade ini juga hadir di saat perang tarif Presiden AS Donald Trump dan kebijakan fluktuatif yang membebani hubungan baik dengan sekutu maupun saingan. “Saat ini, umat manusia dihadapkan pada pilihan damai atau perang, dialog atau konfrontasi, sama-sama menguntungkan atau sama-sama menguntungkan,” ujar Xi kepada lebih dari 50.000 penonton di Lapangan Tiananmen, seraya menambahkan bahwa Cina “berdiri teguh di sisi sejarah yang benar”.

    Menumpang sebuah limusin beratap terbuka, Xi kemudian memeriksa pasukan dan peralatan militer mutakhir seperti rudal hipersonik, drone bawah air, dan ‘robot serigala’ yang dipersenjatai.

    Helikopter yang membawa spanduk besar dan jet tempur terbang dalam formasi selama pertunjukan selama 70 menit yang berpuncak pada pelepasan 80.000 burung ‘perdamaian’.

    Mengenakan setelan tunik dengan gaya yang dikenakan oleh mantan pemimpin Mao Zedong, Xi sebelumnya menyapa lebih dari 25 pemimpin di karpet merah, termasuk Prabowo Subianto dari Indonesia yang tampil mengejutkan meskipun aksi protes meluas di dalam negeri.

    Duduk di antara Putin dan Kim, Xi berulang kali terlibat dalam percakapan dengan kedua pemimpin tersebut sementara ribuan pasukan berlalu lalang di hadapan mereka. Ini menandai pertama kalinya ketiganya tampil bersama di depan umum.

    Dalam sebuah unggahan yang ditujukan kepada Xi di Truth Social saat parade dimulai, Trump menyoroti peran AS dalam membantu Cina mempertahankan kemerdekaannya dari Jepang selama Perang Dunia Kedua.

    “Sampaikan salam hangat saya kepada Vladimir Putin, dan Kim Jong Un, karena kalian berkonspirasi melawan Amerika Serikat,” tambah Trump.

    Kremlin menjawab Putin tidak berkonspirasi melawan Amerika Serikat dan mengisyaratkan bahwa Trump sedang bersikap ironis dalam pernyataannya.

    Visi global Cina

    Xi telah menggambarkan Perang Dunia Kedua sebagai titik balik utama dalam “peremajaan besar bangsa Cina”, di mana ia berhasil mengatasi penghinaan akibat invasi Jepang dan menjadi kekuatan global yang kuat.

    Awal pekan ini, Xi mengungkap visinya tentang tatanan dunia baru di sebuah pertemuan puncak keamanan regional, menyerukan persatuan melawan “hegemonisme dan politik kekuasaan”, sebuah sindiran terselubung terhadap saingannya di seberang Samudra Pasifik.

    “Xi merasa yakin bahwa keadaan telah berbalik. Cina yang kembali memegang kendali sekarang,” kata Wen-Ti Sung, peneliti di Global China Hub Dewan Atlantik, yang bermarkas di Taiwan.

    “Yang dibicarakan tentang sumber utama ketidakpastian dalam sistem internasional adalah unilateralisme ala Trump, bukan diplomasi serigala Cina.”

    Dalam resepsi mewah setelah parade di Balai Agung Rakyat, Xi menyampaikan kepada para tamunya bahwa umat manusia tidak boleh kembali kepada “hukum rimba”.

    Di luar kemegahan dan propaganda, para analis mengamati apakah Xi, Putin, dan Kim akan mengisyaratkan hubungan pertahanan yang lebih erat setelah pakta yang ditandatangani oleh Rusia dan Korea Utara pada Juni 2024, dan aliansi serupa antara Beijing dan Pyongyang, sebuah hasil yang dapat mengubah kalkulasi militer di kawasan Asia-Pasifik.

    Putin telah mencapai kesepakatan energi yang lebih erat dengan Beijing selama kunjungannya ke Cina, sementara pertemuan tersebut telah memberi Kim yang tertutup kesempatan untuk mendapatkan dukungan implisit bagi senjata nuklirnya yang dilarang.

    Sudah 66 tahun sejak seorang pemimpin Korea Utara terakhir kali menghadiri parade militer Cina. Kim juga berjabat tangan dengan Ketua Majelis Nasional Korea Selatan, Woo Won-shik sebelum parade dimulai.

    Pyongyang telah menolak tawaran Seoul baru-baru ini untuk menstabilkan hubungan yang memburuk antara kedua Korea, yang secara teknis berperang sejak Perang Korea 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, namun bukan perjanjian damai.

    Musuh AS

    Bergabung dengan Putin dan Kim termasuk Presiden Iran Masoud Pezeshkian, yang semuanya dianggap sebagai musuh AS. Sekutu dekat Rusia, Presiden Belarus Alexander Lukashenko, berjalan di samping Kim setelah berfoto bersama dengan para pemimpin lainnya.

    Pemimpin-pemimpin Asia selain Presiden Prabowo Subianto, yang hadir di antaranya Raja Kamboja Norodom Sihamoni, Presiden Vietnam Luong Cuong, dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.

    Presiden Zimbabwe Emmerson Mnangagwa dan Presiden Republik Kongo Denis Sassou Nguesso juga masuk dalam daftar tamu. Presiden Kuba Miguel Daz-Canel adalah satu-satunya pemimpin dari Amerika Latin yang hadir.

    Tamu lainnya adalah Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan. Daftar tamu tersebut sangat tumpang tindih dengan pertemuan puncak tahunan Organisasi Kerja Sama Shanghai beberapa hari sebelumnya, tetapi ada beberapa wakil penting yang meninggalkan acara sebelum parade, termasuk perwakilan dari India dan Turki.

    Perdana Menteri India Narendra Modi mengunggah kata-kata hangat tentang pertemuan dengan Xi dan Putin di platform media sosial X. Ia mengunggah foto dirinya dan Putin yang sedang bepergian bersamanya, mengatakan bahwa “percakapan dengannya selalu memberikan wawasan,” dan menulis bahwa ia memiliki “pertemuan yang bermanfaat” dengan Xi.

    Sebagian besar pemimpin Eropa tidak hadir. Selain Putin dan Lukashenko, hanya sedikit pemimpin Eropa yang menghadiri parade tersebut. Serbia mengirimkan Presiden Aleksandar Vucic yang pro-Rusia dan Slowakia mengirimkan Perdana Menteri Robert Fico.

    *Editor: Rizki Nugraha

    Tonton juga Video Putin Disambut Hangat Xi Jinping dalam Pertemuan di China

    (ita/ita)

  • Rusia Ngotot Minta Pengakuan Dunia Atas Wilayah Ukraina yang Dicaplok

    Rusia Ngotot Minta Pengakuan Dunia Atas Wilayah Ukraina yang Dicaplok

    Moskow

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov mengatakan negaranya tetap mengupayakan pengakuan internasional atas sebagian wilayah Ukraina yang dianeksasi dan diduduki oleh pasukan Moskow.

    Menurut Lavrov, seperti dilansir AFP, Rabu (3/9/2025), pengakuan bahwa wilayah-wilayah Ukraina yang dianeksasi itu memang bagian dari wilayah Rusia akan bisa dinyatakan sebagai bagian dari perjanjian damai.

    Ukraina telah menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah menerima kendali Rusia atas wilayah mana pun yang diduduki pasukan Moskow. Kyiv juga bersumpah untuk merebut kembali wilayah-wilayahnya yang dianeksasi oleh Rusia.

    Moskow mengklaim telah menganeksasi lima wilayah Ukraina, yakni Donetsk, Lugansk, Kherson, dan Zaporizhzhia, serta Semenanjung Crimea yang direbut pada tahun 2014 lalu.

    “Demi perdamaian abadi, realitas teritorial baru yang muncul… harus diakui dan diresmikan sesuai dengan hukum internasional,” ujar Lavrov dalam pernyataan yang dipublikasikan otoritas Rusia pada Rabu (3/9).

    Siapa yang akan menguasai wilayah-wilayah Ukraina yang direbut dan diduduki Rusia dalam operasi ofensifnya menjadi poin penting dalam perundingan damai yang terhenti antara kedua negara.

    Ukraina menginginkan adanya gencatan senjata terlebih dahulu sebelum membahas soal wilayah. Namun Rusia menolak untuk menghentikan serangan-serangannya hingga kesepakatan penuh tercapai.

    Menlu Ukraina Andriy Sybiga. dalam tanggapannya, mengatakan bahwa Rusia merespons upaya perdamaian yang dipimpin oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan “ultimatum lama”.

    “Rusia belum mengubah tujuan agresifnya dan tidak menunjukkan tanda-tanda kesiapan untuk negosiasi yang bermakna,” kata Sybiga dalam pernyataannya.

    “Sudah waktunya untuk menghantam mesin perang Rusia dengan sanksi-sanksi baru yang berat dan menyadarkan Moskow,” cetusnya.

    Turki, yang menjadi tuan rumah tiga putaran perundingan langsung Rusia-Ukraina, mengatakan pekan lalu bahwa Presiden Vladimir Putin menawarkan untuk membekukan garis depan pertempuran di wilayah Kherson dan Zaporizhzhia jika Kyiv sepenuhnya menyerahkan wilayah Donetsk.

    Menurut analisis AFP terhadap data Institut Studi Perang (ISW), Rusia telah menguasai hampir sepenuhnya wilayah Lugansk dan menguasai sekitar 80 persen wilayah Donetsk. Moskow juga merebut sebagian besar wilayah Kherson dan Zaporizhzhia, meskipun Ukraina masih menguasai ibu kota di kedua wilayah itu.

    Lihat juga Video Putin Terima Kasih ke Kim Jong-un Atas Bantuan Korut Lawan Ukraina

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • India Tawarkan Hapus Tarif, Trump Soroti Ketimpangan Perdagangan – Page 3

    India Tawarkan Hapus Tarif, Trump Soroti Ketimpangan Perdagangan – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan  bahwa India telah menawarkan untuk memangkas tarif bea masuk atau tarif impor barang dari AS hingga nol persen. Meski begitu, ia tetap menilai hubungan dagang kedua negara selama ini sebagai “bencana sepihak”.

    Dikutip dari CNN, Rabu (3/9/2025), AS menarik tarif impor sebesar 50% untuk barang asal India, termasuk penalti 25% akibat penolakan Delhi untuk menghentikan pembelian minyak dari Rusia. Tarif tinggi ini mulai berlaku pekan lalu.

    India belum memberikan tanggapan langsung atas komentar terbaru Trump. Namun, perang kata-kata soal minyak Rusia membuat hubungan Delhi dengan Washington berada di titik terendah.

    Pernyataan keras Trump juga bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri India Narendra Modi ke KTT Shanghai Co-operation Organisation (SCO) di Tianjin. Di sana, Modi bertemu Presiden China Xi Jinping serta Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Washington menuding India secara tidak langsung membantu pendanaan perang Rusia di Ukraina lewat impor minyak dan senjata.

    “India membeli sebagian besar minyak dan produk militernya dari Rusia, sangat sedikit dari AS,” tulis Trump, seraya menambahkan bahwa Delhi seharusnya sudah menurunkan tarif “bertahun-tahun lalu”.

    Sementara itu, India menegaskan impor minyak dari Rusia penting untuk memenuhi kebutuhan energi penduduknya yang besar.

    Pemerintah Delhi bahkan menyebut tarif baru dari AS sebagai kebijakan yang “tidak adil dan tidak masuk akal”.

  • Energi, Kolaborasi, dan Masa Depan ASEAN

    Energi, Kolaborasi, dan Masa Depan ASEAN

    Jakarta

    Tahun 2025 menandai Golden Jubilee ASEAN Council on Petroleum (ASCOPE), forum kerja sama sektor energi regional yang beranggotakan 10 perusahaan migas nasional dan otoritas energi negara ASEAN. ASCOPE telah menjadi wadah penting bagi kolaborasi energi lintas negara ASEAN, mulai dari mengelola potensi migas, membangun infrastruktur strategis, hingga memperkuat ketahanan energi kawasan.

    ASCOPE merupakan penghubung antarnegara lewat proyek migas untuk memenuhi kebutuhan pasokan energi yang terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi ASEAN. Secretary In Charge ASCOPE sekaligus SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero) Henricus Herwin menjelaskan organisasi ini harus terus beradaptasi dengan perubahan peta energi global, tantangan geopolitik, serta tuntutan transisi menuju energi bersih agar tetap relevan dan memperkuat eksistensinya di masa depan.

    “Setengah abad perjalanan ASCOPE merupakan cermin perjalanan energi ASEAN dari era eksplorasi minyak lepas pantai, pembangunan pipa gas lintas negara, hingga memasuki babak transisi energi,” ungkap Henricus dalam keterangan tertulis, Rabu (3/9/2025).

    Tonggak Sejarah Migas ASEAN

    ASCOPE dibentuk tahun 1975, ketika negara-negara ASEAN tengah gencar mengeksplorasi sumber daya minyak dan gas untuk mendukung pembangunan ekonomi. Saat itu, kebutuhan forum kerja sama lintas negara amat terasa, terutama karena infrastruktur energi regional masih terfragmentasi. Dari sinilah lahir ASCOPE yang bertugas untuk membangun jejaring kolaborasi energi ASEAN.

    Warisan terpenting ASCOPE adalah Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) proyek yang diinisiasi oleh Gas Advocacy Task Force. Kini, lebih dari 3.600 kilometer jaringan pipa gas telah terhubung lintas negara menghubungkan Thailand, Malaysia, Singapura, hingga Indonesia. Infrastruktur ini bukan hanya simbol kerja sama, tetapi juga sebagai instrumen strategis untuk memastikan ketersediaan energi kawasan.

    Seiring berkembangnya LNG sebagai virtual pipeline, ASCOPE turut mendorong pembangunan fasilitas regasifikasi dengan kapasitas lebih dari 58 juta ton per tahun (Mtpa) yang memperluas mobilitas gas lintas negara. Infrastruktur ini menawarkan fleksibilitas bagi negara-negara untuk memindahkan energi dari pusat produksi ke pusat konsumsi, bahkan melampaui keterbatasan jaringan pipa fisik.

    ASCOPE juga menginisiasi ASEAN Petroleum Security Agreement (APSA), perjanjian solidaritas energi untuk menghadapi potensi krisis pasokan. APSA menegaskan pentingnya perspektif keamanan energi kolektif di ASEAN.

    Disamping itu, Exploration and Production Task Force (EPTF) meluncurkan ASCOPE Decommissioning Guideline yang menstandarisasi proses penonaktifan fasilititas migas (facility decommissioning) secara aman dan andal.

    Transisi Energi Jadi Tantangan Baru

    ASEAN Energy Outlook 2024 memproyeksikan konsumsi energi kawasan akan melonjak dua kali lipat pada 2050 seiring pertumbuhan populasi yang mencapai 680 juta jiwa. Dalam hal tersebut, gas bumi akan memegang peran vital sebagai energi transisi. Tetapi dalam jangka panjang, negara-negara ASEAN sudah berkomitmen mencapai net zero emissions pada paruh kedua abad ini.

    ASCOPE tidak lagi bisa berfokus semata-mata pada migas, tetapi juga harus menjadi pendorong dalam pengembangan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), pengurangan emisi metana, hingga integrasi energi terbarukan serta pemanfaatan infrastruktur gas untuk transportasi hidrogen.

    Langkah Nyata telah Dilakukan

    Policy, Research and Capability Building Task Force menggagas penyusunan template perjanjian lintas negara untuk CCUS. Pada 2023, ASCOPE membentuk Clean Energy Task Force untuk mengeksplorasi peluang teknologi rendah karbon, memperluas diskusi mekanisme perdagangan karbon, insentif investasi energi hijau, serta strategi penggunaan jaringan pipa gas untuk transportasi hidrogen di masa depan.

    Geopolitik dan Diplomasi Energi

    Permintaan energi yang tinggi dan perubahan iklim bukan menjadi satu-satunya alasan mengapa peran ASCOPE kian relevan. Geopolitik global dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan betapa rapuhnya rantai pasok energi internasional. Krisis energi yang dipicu konflik Rusia-Ukraina, serta lonjakan harga minyak dan gas pada 2022-2023, menjadi pengingat bahwa diversifikasi pasokan, pembangunan infrastruktur bersama, dan solidaritas regional bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.

    Berbeda dengan organisasi energi lain, ASCOPE beranggotakan langsung otoritas energi nasional dan BUMN migas, seperti Petroleum Authority (Brunei Darussalam), Ministry of Mines and Energy (Cambodia), Pertamina (Indonesia), Petroliam Nasional Berhad/PETRONAS (Malaysia), Lao State Fuel Company (Lao PDR), Myanma Oil and Gas Enterprise/MOGE (Myanmar), Philippine National Oil Company PNOC (Philippines), Singapore LNG Corporation Pte Ltd/SLNG (Singapore), PTT (Thailand), dan Petrovietnam (Vietnam). Kolaborasi BUMN energi ini memberi daya tawar kolektif ASEAN di panggung global dan menjadikan ASCOPE sebagai aktor strategis dalam diplomasi energi.

    Momentum 50 Tahun

    Setengah abad ASCOPE bisa dibaca sebagai cermin perjalanan energi ASEAN dari era eksplorasi minyak lepas pantai, pembangunan pipa gas lintas negara, hingga memasuki babak transisi energi. Namun agar tetap relevan, ada empat catatan penting yang perlu diperhatikan.

    1. Adanya penguatan kelembagaan

    Untuk menghadapi tantangan baru, diperlukan payung hukum dan tata kelola yang lebih kokoh, melalui ASCOPE Charter dan Governance & Institutional Framework. Piagam ini diharapkan menjadi dasar komitmen bersama dalam kerja sama energi lintas batas.

    2. Perluasan fokus ke energi bersih

    Gas bumi akan selalu memegang peran penting, tetapi relevansi ASCOPE ke depan ditentukan oleh kemampuannya mengintegrasikan agenda transisi energi. Pengembangan CCUS, mekanisme perdagangan karbon, hingga peluang hidrogen hijau perlu menjadi bagian dari peta jalan baru organisasi.

    3. Peningkatan daya tarik investasi

    ASCOPE mendorong skema insentif dan kemudahan regulasi lintas negara untuk menarik investasi energi bersih dan infrastruktur strategis ASEAN.

    4. Penguatan riset dan inovasi

    ASEAN tidak bisa hanya bergantung pada teknologi impor. Kolaborasi penelitian, pembangunan pusat riset bersama, hingga kemitraan dengan swasta dan akademisi akan menentukan seberapa cepat kawasan ini beradaptasi.

    Dahulu, cerita energi ASEAN dimulai dari kilang dan anjungan minyak. Sekarang cerita itu berkembang menjadi jaringan pipa gas lintas negara hingga integrasi energi bersih dalam sistem kelistrikan regional. Golden Jubilee ASCOPE adalah momentum emas untuk mendefinisikan babak baru energi ASEAN dengan menegaskan komitmennya menjadi motor penggerak transisi menuju masa depan energi yang lebih hijau, tangguh, dan inklusif bagi Asia Tenggara.

    (ega/ega)

  • Trump Ogah Turunkan Tarif Impor 50% untuk India

    Trump Ogah Turunkan Tarif Impor 50% untuk India

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump menegaskan tidak akan menurunkan tarif impor India setelah menggandakan bea menjadi 50% sebagai hukuman atas pembelian minyak Rusia.

    Saat ditanya apakah akan memangkas sebagian tarif yang telah dijatuhkan, Trump menjawab singkat, “tidak”.

    “Kami berhubungan baik dengan India,” ujar Trump dalam sebuah acara di Gedung Putih dikutip dari Bloomberg, Rabu (3/9/2025). 

    Namun, dia menilai hubungan dagang kedua negara selama ini tidak seimbang akibat tingginya tarif impor yang diberlakukan New Delhi.

    “India selama bertahun-tahun menerapkan tarif yang sangat tinggi, mungkin yang tertinggi di dunia,” katanya.

    Kebijakan tarif AS tersebut mengejutkan pejabat India, meski kedua negara telah menjalani negosiasi berbulan-bulan. Menurut pejabat perdagangan, tarif tinggi dan kebijakan proteksionis India kerap membuat frustrasi tim negosiator Washington.

    Trump awalnya menetapkan bea masuk 25% untuk produk ekspor India, sebelum menggandakannya menjadi 50% pekan lalu. Langkah ini berdampak pada lebih dari 55% barang yang dikirim ke AS, pasar ekspor terbesar bagi India.

    AS keberatan atas keputusan India melanjutkan pembelian energi dari Rusia, yang menurut New Delhi diperlukan untuk menjaga harga minyak domestik tetap rendah. 

    Para pengkritik menilai pembelian energi oleh India dan China justru membantu menopang ekonomi Rusia dan melemahkan efektivitas sanksi Barat yang ditujukan untuk menghentikan perang di Ukraina.

    Trump mengatakan dirinya memantau secara ketat langkah Presiden Rusia Vladimir Putin terkait upaya pertemuan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, serta mengisyaratkan adanya kemungkinan langkah tambahan jika negosiasi tidak berkembang.

    Sementara itu, Trump sempat menulis di media sosial pada Senin bahwa India menawarkan memangkas tarifnya hingga nol. Namun, dia tidak menjelaskan kapan tawaran itu disampaikan atau apakah Gedung Putih berencana membuka kembali perundingan dagang dengan New Delhi.

    “Mereka seharusnya melakukan itu sejak lama. Sekarang sudah terlambat,” ucap Trump.

  • Kallas Peringatkan Perpecahan Uni Eropa Terkait Gaza Merusak Kredibilitas Blok Tersebut

    Kallas Peringatkan Perpecahan Uni Eropa Terkait Gaza Merusak Kredibilitas Blok Tersebut

    JAKARTA – Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Kaja Kallas memperingatkan pada Hari Senin, kredibilitas blok tersebut dirusak oleh perpecahannya di Timur Tengah, terutama serangan Israel di Jalur Gaza, Palestina.

    Berbicara di Forum Strategis Bled di Slovenia, Kallas mengakui negara-negara anggota masih terpecah belah mengenai pendekatan mereka terhadap konflik ini, tidak seperti di Ukraina, di mana konsensus telah tercapai.

    “Saya terus mendesak, sangat keras, karena saya juga merasa kredibilitas Uni Eropa yang dipertaruhkan, bahwa kita harus, Anda tahu, bersatu dalam respons ini,” ujarnya, melansir Daily Sabah 2 September.

    Kendati demikian, Kallas menolak klaim Uni Eropa, yang tidak menangguhkan perjanjian asosiasinya dengan Israel atau menjatuhkan sanksi apa pun, tidak aktif di Gaza, menekankan blok tersebut merupakan salah satu penyedia bantuan kemanusiaan terbesar dan tetap menjadi pendukung terkuat Otoritas Palestina.

    “Kami melakukan semampu kami, tetapi itu tidak cukup, karena bencana kemanusiaan ini masih berlangsung. Jadi, saya terus bekerja sama dengan negara-negara anggota untuk mencapai posisi yang sama,” tandasnya.

    Diketahui, jumlah negara Uni Eropa yang mengakui dan berencana mengakui Negara Palestina terus bertambah. Terbaru, Belgia menyatakan rencananya mengakui Negara Palestina dalam Sidang Majelis Umum PBB bulan ini.

    Dalam unggahannya di media sosial X Menteri Luar Negeri Maxime Prevot menuliskan, Belgia akan bergabung dengan para penandatangan Deklarasi New York, yang membuka jalan bagi solusi dua negara, atau Negara Palestina yang hidup berdampingan secara damai dengan Israel.

    Keputusan ini diambil “mengingat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina, khususnya di Gaza, dan sebagai tanggapan atas kekerasan yang dilakukan oleh Israel yang melanggar hukum internasional,” tambah Menlu Prevot, dikutip dari Reuters.

    Sebelumnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan negaranya akan mengakui Negara Palestina dalam Sidang Majelis Umum PBB bulan ini.

    Dikutip dari Anadolu, hingga rencana pengakuan Prancis, ada 12 negara UE yang sudah atau akan mengakui Negara Palestina. Sebelumnya Polandia, Hongaria, Rumania, Slovakia, Bulgaria, Spanyol, Swedia, Norwegia, Irlandia, Slovenia dan Siprus Yunani sudah terlebih dahulu mengakui Negara Palestina.

  • RSUP Prof Ngoerah Denpasar Kremasi 25 Jenazah Telantar, Termasuk 5 WNA
                
                    
                        
                            Denpasar
                        
                        2 September 2025

    RSUP Prof Ngoerah Denpasar Kremasi 25 Jenazah Telantar, Termasuk 5 WNA Denpasar 2 September 2025

    RSUP Prof Ngoerah Denpasar Kremasi 25 Jenazah Telantar, Termasuk 5 WNA
    Editor
    DENPSAR, KOMPAS.com
    – Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof IGNG Ngoerah atau RSUP Sanglah Denpasar, Bali, melakukan kremasi terhadap 25 jenazah telantar, termasuk lima warga negara asing (WNA).
    Kremasi jenazah itu dilaksanakan pada hari ini hingga besok, Selasa-Rabu (2-3/9/2025) di Krematorium Dharma Kerthi Dalem Kerobokan, Kabupaten Badung, Bali.
    Selama ini, 25 jenazah itu dititipkan di Instalasi Kedokteran Forensik dan Pemulasaran RSUP Prof Dr IGNG Ngoerah. Jenazah itu tersimpan sejak 2021 hingga Juli 2025.
    “Ada sebanyak 25 jenazah, yang terdiri dari lima WNA. Jenazah terlama tersimpan sejak 2021 dan yang terbaru Juli 2025,” Kasubag Humas RSUP Prof Ngoerah Denpasar I Dewa Ketut Kresna, Selasa (2/9/2025), seperti dikutip
    Antara
    .
    Menurut Kresna, semua jenazah itu sudah mendapatkan surat pembebasan untuk dilakukan kremasi, baik dari kepolisian, Dinsos, dan konsulat negara yang bersangkutan.
    Upacara kremasi tersebut dibiayai oleh Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali.
    Sementara itu, biaya perawatan, baik saat menjadi pasien, biaya perawatan dan biaya penyimpanan jenazah selama dititip di RS Ngoerah untuk semua jenazah tersebut sebesar Rp 3.585.888.350. Biaya ini ditanggung oleh pihak rumah sakit.
    “Ini menjadi tanggungan RSUP Prof Ngoerah,” kata dia.
    Adapun lima jenazah WNA tersebut terdiri dari dua jenazah orang Rusia, dua Ukraina, dan satu Australia.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bertemu Xi Jinping, Putin Puja-puji Hubungan Rusia dan China

    Bertemu Xi Jinping, Putin Puja-puji Hubungan Rusia dan China

    Beijing

    Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan kepada Presiden China Xi Jinping bahwa hubungan kedua negara kini berada pada “level yang belum pernah terjadi sebelumnya”.

    Hal tersebut, seperti dilansir AFP, Selasa (2/9/2025), disampaikan Putin saat kedua kepala negara melakukan pembicaraan di Beijing pada Selasa (2/9) waktu setempat, menjelang parade militer besar-besaran menandai 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II.

    Parade militer yang menjadi unjuk kekuatan Beijing, pada Rabu (3/9) besok, dimanfaatkan oleh Putin dan Xi sebagai kesempatan untuk mengadakan pembicaraan tatap muka yang langka, dengan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un diperkirakan juga akan menggelar pertemuan puncak dengan keduanya.

    Xi sendiri telah memulai serangkaian pertemuan diplomatik pekan ini, termasuk menghadiri pertemuan puncak Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) di kota Tianjin, China. Forum SCO dipandang oleh Beijing sebagai alternatif dari kerja sama internasional yang didominasi Barat.

    “Komunikasi erat kita mencerminkan sifat strategis hubungan Rusia-China, yang saat ini berada pada level yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Putin saat bertemu Xi pada Selasa (2/9 waktu setempat.

    Menghargai kerja sama antara kedua negara selama perang, Putin mengatakan bahwa: “Kita selalu bersama saat itu, dan kita tetap bersama sekarang.”

    Parade militer besar-besaran itu akan dihadiri oleh sekitar dua lusin pemimpin dunia, termasuk Kim Jong Un dalam kunjungan pertamanya ke China sejak tahun 2019 lalu.

    Menurut seorang anggota parlemen Korea Selatan (Korsel) Lee Seong Kweun yang mendapatkan pengarahan badan intelijen, Kim Jong Un diperkirakan akan berbaur dengan para pemimpin dunia lainnya dalam sebuah gala pertunjukan, serta bertemu Xi dan Putin untuk berunding.

    Dalam pertemuan SCO, pemimpin China dan Rusia mengkritik pemerintah Barat, dengan Xi mengecam “perilaku bullying” dari negara-negara tertentu — sebuah referensi terselubung untuk Amerika Serikat (AS). Sedangkan Putin membela invasi Rusia ke Ukraina dan menyalahkan Barat sebagai pemicu konflik.

    “Hubungan China-Rusia telah melewati ujian perubahan internasional,” kata Xi kepada Putin dalam pertemuan keduanya pada Selasa (2/9).

    Xi menambahkan bahwa Beijing bersedia untuk bekerja sama dengan Moskow untuk “mempromosikan pembangunan sistem tata kelola global yang lebih adil dan masuk akal”.

    Kedua pemimpin berkomunikasi secara berkala, dan pada Mei lalu, Xi mengunjungi Moskow untuk menghadiri perayaan Rusia atas kekalahan Nazi dalam Perang Dunia II. Dalam pertemuan sebelum Putin memerintahkan invasi ke Ukraina, kedua negara mendeklarasikan “kemitraan tanpa batas”.

    Tonton juga Video: Momen Pertemuan Putin dan Xi Jinping di KTT BRICS

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)