Negara: Ukraina

  • Video : Putin Minta Ketemu Trump Bahas Perang Ukraina

    Video : Putin Minta Ketemu Trump Bahas Perang Ukraina

    Video :

    Video : Putin Minta Ketemu Trump Bahas Perang Ukraina

    News

    23 menit yang lalu

  • 1.100 Tentara Korea Utara Diduga Tewas saat Bantu Rusia dalam Perang Ukraina – Halaman all

    1.100 Tentara Korea Utara Diduga Tewas saat Bantu Rusia dalam Perang Ukraina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kepala Staf Gabungan Korea Selatan (JCS) mengatakan lebih dari 1.100 tentara Korea Utara tewas atau terluka dalam perang yang dilancarkan Rusia melawan Ukraina.

    “Kami memperkirakan sekitar 1.100 tentara Korea Utara yang baru-baru ini berpartisipasi dalam pertempuran dengan pasukan Ukraina tewas atau terluka,” kata JCS, Senin (23/12/2024).

    Komisi tersebut juga memantau persiapan Korea Utara yang diduga akan mengirim pasukan baru ke Rusia dalam bentuk bala bantuan atau menggantikan mereka yang saat ini bertempur di sana.

    “Kami khususnya tertarik pada kemungkinan penempatan tambahan tentara Korea Utara untuk membantu upaya perang Rusia. Pyongyang dilaporkan bersiap untuk rotasi atau penempatan tambahan tentara,” lanjutnya.

    Informasi yang dikumpulkan oleh intelijen Korea Selatan menunjukkan Korea Utara memproduksi dan mengirim drone dengan sistem penghancuran diri ke Rusia dan juga memasoknya dengan peluncur roket 240 milimeter dan meriam 170 mm.

    “Korea Utara berupaya mengembangkan kemampuan perang konvensionalnya dengan bantuan Rusia, berdasarkan pengalaman Rusia dalam pertempuran melawan pasukan Ukraina,” bunyi pernyataan JCS, dikutip dari CBS News.

    “Hal ini dapat menyebabkan peningkatan ancaman militer dari Utara terhadap kita,” lanjutnya.

    Negara-negara Barat melaporkan ribuan tentara Korea Utara telah dikirim ke Rusia dalam beberapa pekan terakhir untuk mendukung tentara Rusia.

    “Kami menyerukan Korea Utara untuk segera menghentikan bantuan apa pun kepada Rusia di perang ofensifnya terhadap Ukraina, termasuk penarikan tentaranya,” kata Menteri luar negeri Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam pernyataan bersama, Minggu.

    Sementara itu, Korea Utara mengecam Amerika Serikat (AS) dan sekutunya yang mengkritik dukungan Korea Utara untuk Rusia dalam melancarkan perangnya di Ukraina, seperti diberitakan The Moscow Times.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Rusia dan Ukraina

  • 1.000 Tentara Korut Jadi Korban dalam Perang Rusia-Ukraina

    1.000 Tentara Korut Jadi Korban dalam Perang Rusia-Ukraina

    Jakarta

    Lebih dari 1.000 tentara Korea Utara (Korut) tewas atau terluka dalam perang Rusia dengan Ukraina. Demikian disampaikan Kepala Staf Gabungan (JCS) Korea Selatan pada hari Senin (23/12).

    Angka baru tersebut disampaikan menyusul laporan oleh badan mata-mata Seoul kepada anggota parlemen minggu lalu, yang mengatakan sedikitnya 100 tentara Korea Utara telah tewas sejak memasuki pertempuran pada bulan Desember.

    Pyongyang telah mengirim ribuan tentara untuk memperkuat militer Rusia, termasuk ke wilayah perbatasan Kursk, tempat pasukan Ukraina merebut wilayah tersebut awal tahun ini.

    “Melalui berbagai sumber informasi dan intelijen, kami menilai bahwa pasukan Korea Utara yang baru-baru ini terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Ukraina telah menderita sekitar 1.100 korban,” kata JCS dalam sebuah pernyataan, dilansir kantor berita AFP, Senin (23/12/2024).

    “Kami khususnya tertarik pada kemungkinan pengerahan tambahan tentara Korea Utara untuk membantu upaya perang Rusia,” ujarnya.

    Pyongyang dilaporkan “bersiap untuk rotasi atau pengerahan tambahan tentara”, kata JCS.

    Intelijen juga menunjukkan bahwa Korea Utara yang bersenjata nuklir “memproduksi dan menyediakan drone-drone yang dapat menghancurkan diri sendiri” ke Rusia, untuk lebih membantu Moskow dalam perangnya melawan Ukraina, tambah JCS.

  • 2025, Lemhannas Prediksi Persaingan Ekonomi dan Politik Warnai Dinamika Geopolitik Global

    2025, Lemhannas Prediksi Persaingan Ekonomi dan Politik Warnai Dinamika Geopolitik Global

    loading…

    Gubernur Lemhannas Ace Hasan Syadzily dalam konferensi Pers Refleksi dan Rilis Akhir Tahun 2024 dan Outlook 2025 Lemhannas RI di kantornya, Senin (23/12/1024). FOTO/DANAN DAYA ARYA PUTRA

    JAKARTA – Lembaga Ketahanan Nasional ( Lemhannas ) memprediksi konflik yang dipicu oleh persaingan ekonomi akan mewarnai geopolitik global pada 2025. Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke luar negeri adalah bagian dari tantangan geopolitik tersebut.

    Hal itu disampaikan Gubernur Lemhannas Ace Hasan Syadzily dalam konferensi Pers Refleksi dan Rilis Akhir Tahun 2024 dan Outlook 2025 Lemhannas RI di kantornya, Senin (23/12/1024).

    “Menyongsong tahun 2025 kami memprediksi bahwa konflik yang dipicu oleh persaingan ekonomi maupun politik masih akan tetap mewarnai perjalanan dinamika geopolitik global,” kata Ace.

    Dia mengatakan, dalam konteks rivalitas negara adidaya, perkembangan geopolitik global menunjukan pergeseran dari hegemoni unipolar menuju multipolar. Dia menyebut ketika Amerika Serikat dan Uni Eropa menghadapi persaingan kuat dari Tiongkok dan Rusia, hal itu akan berdampak menimbulkan konflik regional.

    “Rivalitas ini akan berdampak pada konflik regional seperti Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel, ketegangan di Timur Tengah dan ketegangan di kawasan Indo Pasifik,” sambungnya.

    Di sisi lain, Ace memaknai kunjungan Presiden Prabowo seperti ke Republik Rakyat Tiongkok, America Serikat, inggris, Peru, Brazil dan juga Mesir memiliki posisi strategis untuk menjawab tantangan geopolitik tersebut.

    “Kunjungan presiden Prabowo merupakan perjalanan diplomasi perdamaian dan sekaligus mengukuhkan Indonesia sebagai pemain global,” katanya.

    (abd)

  • Tegaskan Roman Nazarenko Tak Terkait Freddy Pratama, Mabes Polri: Thailand Surganya Buronan Narkoba

    Tegaskan Roman Nazarenko Tak Terkait Freddy Pratama, Mabes Polri: Thailand Surganya Buronan Narkoba

    Jakarta, Beritasatu.com – Mabes Polri menegaskan, Roman Nazarenko (RN) yang kendalikan pabrik narkoba di Bali, tak terkait dengan gembong narkoba internasional, Freddy Pratama meski keduanya sama-sama berada di Thailand. Adapun Thailand dikenal sebagai surga bagi buronan kasus narkoba.  

    Dirtipidnarkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Mukti Juharsa menyebut, Thailand telah menjadi tempat yang nyaman bagi buronan narkoba. “Thailand mungkin surganya para pelarian-pelarian narkotik,” kata Mukti kepada wartawan Senin (23/12/2024).

    Mukti menyebut, selain RN dan Freddy Pratama, ada sejumlah buronan kasus narkoba lain juga terindikasi sembunyi di Thailand. Kendati demikian, dia tidak memerinci lebih jauh berapa buronan yang saat ini masih di Thailand seusai RN ditangkap.

    Mukti hanya menyampaikan, saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri untuk menangkap para buronan tersebut, termasuk Freddy Pratama di Thailand

    “Dengan bantuan dari Hubinter Polri, kita bisa sama-sama ke sana untuk melakukan penangkapan lagi. Ya, kalau Freddy pasti akan kita tangkap,” kata dia.

    Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri telah membawa pria berinisial RN, warga negara asing (WNA) asal Ukraina Roman Nazarenko, yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Dia diduga sebagai pengendali praktik clandestine lab atau laboratorium narkotika di Kabupaten Badung, Bali.

    Adapun Thailand dikenal sebagai surga bagi buronan kasus narkoba.  

  • Mengapa Kim Jong-un Abaikan Cita-cita Penyatuan Korut dengan Korsel?

    Mengapa Kim Jong-un Abaikan Cita-cita Penyatuan Korut dengan Korsel?

    Jakarta

    Kim Jong-un mengumumkan pergeseran ideologis terbesar dalam 77 tahun sejarah Korea Utara. Reunifikasi dua negara di Semenanjung Korea merupakan tujuan utama Korea Utara yang didirikan Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un, pada tahun 1947.

    Cita-cita satu Korea, di bawah Kim Jong-un, sekarang sudah ditinggalkan sepenuhnya. Dan pengabaian ini bukan sekadar penurunan prioritas seperti yang sebelumnya terjadi.

    Dalam deklarasinya, Kim Jong-Un menyebut reunifikasi tidak lagi menjadi tujuan negara komunis itu. Dia mengatakan Korea Selatan telah menjadi “musuh utama”.

    Julukan ini sebelumnya hanya ditujukan terhadap Amerika Serikat.

    Kim Jong-un tidak berhenti di deklarasi itu saja.

    Dia membongkar badan dialog dan kerja sama antar-Korea, menghancurkan Gapura Reunifikasi yang menjadi simbol, serta menghancurkan jalan dan rel kereta api yang dirancang untuk menghubungkan kedua negara ketika mereka menjadi satu.

    BBC

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Istilah reunifikasi, atau tongil dalam bahasa Korea, juga dihapus dari surat kabar dan buku pelajaran sekolah.

    Kata itu bahkan dihapus dari satu stasiun kereta bawah tanah di Pyongyangnamanya diganti menjadi Moranbong.

    Semua ini terjadi di tengah ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan.

    Sebelumnya, meski fase konflik dan fase pemulihan hubungan terjadi silih berganti dalam beberapa dekade terakhir, kedua Korea tidak pernah sekalipun mempertanyakan tujuan suci reunifikasi.

    Jadi, ada apa di balik perubahan paradigma Kim yang radikal?

    Pentingnya reunifikasi

    Semenanjung Korea, dan rakyat Korea, telah terbagi menjadi Utara dan Selatan selama hampir delapan dekade.

    Barangkali 80 tahun terlihat seperti waktu yang lama.

    Akan tetapi, periode ini relatif sebentar jika dibandingkan dengan masa bersatunya wilayah Korea selama lebih dari 12 abad di bawah dinasti dan kekaisaran yang berbeda dari tahun 668 hingga 1945.

    Ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet memecah belah Korea setelah Perang Dunia II Utara yang komunis dan Selatan yang kapitalis pemisahan Korea dipandang sebagai anomali sejarah yang harus diperbaiki sesegera mungkin.

    Kim Il-sung, pendiri Korea Utara dan kakek dari pemimpin saat ini, mencoba melakukannya dengan kekerasan dan hampir berhasil ketika ia menginvasi Korea Selatan pada tahun 1950.

    Getty ImagesKim menghancurkan Gapura Reunifikasi yang dibangun di selatan Pyongyang pada tahun 2001.

    “Kim memberikan banyak tekanan kepada Stalin dan Mao untuk mengizinkannya menginvasi Korea Selatan hingga berhasil pada 1950, dengan tujuan utama untuk mencapai reunifikasi sesuai keinginannya dengan mengambil alih kendali atas Korea Selatan,” jelas akademisi Sung-Yoon Lee, profesor kajian Korea di Wilson Center di Washington DC, kepada BBC Mundo.

    Akan tetapi, Perang Korea (1950-1953) menewaskan lebih dari dua juta orang di kedua belah pihak. Hal ini kemudian mengkonsolidasikan pembagian Korea.

    Gencatan senjata yang mengakhiri konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan tidak pernah dilanjutkan dengan perjanjian damai.

    Secara teknis, Korea Utara dan Selatan masih dalam keadaan perang dan dipisahkan Zona Demiliterisasi (DMZ) yang hampir tidak dapat dilewati.

    Baca juga:

    Sejak itu, dua sistem yang tidak dapat didamaikan mempertahankan cita-cita yang sama: penyatuan kembali alias reunifikasi.

    Di Korea Selatan, Pasal 4 Konstitusi 1948 yang masih berlaku hingga saat ini menetapkan tujuan “penyatuan kembali bangsa di bawah prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi yang damai.”

    Di sisi lain, Korea Utara, mengusulkan “penyatuan kembali bangsa berdasarkan kemerdekaan, unifikasi damai dan persatuan nasional yang besar,” menurut Pasal 9 Konstitusi mereka.

    Konstitusi mereka juga menyebutkan “kemenangan sosialisme” sebagai tujuan.

    Penyatuan kembali secara damai atau dipaksakan?

    Akan tetapi, bagaimana caranya agar negara dan rakyat Korea dapat bersatu kembali?

    Di sinilah kedua negara berbeda pendapatmasing-masing ingin melakukan reunifikasi dengan caranya sendiri.

    Di Korea Selatan, dengan jumlah penduduk dua kali lipat lebih banyak dari Korea Utara dan PDB hampir 60 kali lebih besar menurut data pada 2023, pilihan yang paling banyak diminati dalam beberapa dekade terakhir adalah model Jerman: menyerap tetangganya di bawah sistem pasar bebas yang demokratis.

    Adapun Pyongyang secara tradisi berkeinginan untuk menerapkan sosialisme di seluruh semenanjung.

    Sejak 1980-an, mereka juga sempat mengajukan gagasan tentang negara konfederasi tunggal dengan dua sistem, seperti China dan Hong Kong.

    Getty Images Kim Il-sung menginvasi Korea Selatan dengan tujuan menyatukan semenanjung ini ke dalam sistem komunis di bawah komandonya.

    Penyatuan kembali secara damai dengan koeksistensi dua sistem merupakan tujuan yang dinyatakan dalam deklarasi bersama yang ditandatangani pada Juni 2000.

    Pemimpin Korea Utara saat itu, Kim Jong-il (ayah Kim Jong-un) dan Kim Dae-jung dari Korea Selatan menandatangani deklarasi bersejarah tersebut.

    Tahun demi tahun berlalu dan deklarasi menjelma menjadi surat mati.

    “Penyatuan secara paksa, tidak peduli berapa banyak nyawa yang hilang, selalu menjadi tujuan nasional tertinggi rezim Kim, dari Kim Il-sung hingga Kim Jong-un,” kata Profesor Lee.

    Getty Images Pemimpin Korea Selatan dan Utara saat itu, Kim Dae-jung dan Kim Jong-il, berjanji untuk menyatukan kembali semenanjung tersebut pada pertemuan bersejarah di tahun 2000.

    Cendekiawan dari Wilson Center ini meyakini bahwa, pada intinya, “metodologi prioritas Pyongyang selalu menjadi ‘model Vietnam’, yaitu memaksa Amerika Serikat untuk meninggalkan Korea Selatan melalui kombinasi kekuatan dan diplomasi.”

    Kim Jong-un telah menyerukan agar Konstitusi Korea Utara diamandemen untuk menghapus referensi tentang reunifikasi dan menyebut Korea Selatan sebagai “negara yang tidak bersahabat”.

    Hal ini menandai pergeseran ideologi yang mengejutkan di negara komunis tersebut sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dicari oleh pemimpin Korea Utara.

    Kami menganalisis berbagai hipotesis yang mencoba menjawabnya.

    Apa motif Kim?

    Kim mengaitkan pergeseran ideologinya dengan “provokasi” yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat.

    Beberapa bentuk “provokasi” yang dimaksud antara lain memperkuat kerja sama dengan Jepang, membentuk grup untuk melakukan koordinasi menanggapi serangan nuklir, atau memperluas Komando PBB.

    Akan tetapi, ketegangan di semenanjung Korea bahkan yang lebih serius sudah sering terjadi dalam beberapa dekade terakhir.

    Baru kali ini Korea Utara mempertimbangkan untuk meninggalkan cita-cita reunifikasi.

    Mengapa hal ini bisa terjadi?

    Getty Images Kim Jong-un mungkin mencoba mengacaukan stabilitas Korea Selatan tanpa meninggalkan ide unifikasi dengan paksaan, menurut beberapa ahli.

    Bagi Ellen Kim, peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington DC, “rezim Korea Utara tidak lagi menginginkan reunifikasi khususnya demi mempertahankan sistemnya sendiri.”

    “Mereka khawatir akan popularitas film, musik, dan serial televisi Korea Selatan di kalangan generasi muda di Korea Utara,” kata akademisi tersebut kepada BBC Mundo.

    Dia menjelaskan bahwa “dengan semakin banyaknya informasi yang dikirim ke Korea Utara dari luar, meningkatnya kesadaran publik akan kemakmuran ekonomi Korea Selatan dan seluruh dunia kemungkinan akan membuat kepemimpinan Kim Jong-un dipertanyakan.”

    “Cara yang paling efektif bagi rezim untuk membuat warga Korea Utara berbalik melawan Korea Selatan adalah dengan menjadikan Korea Selatan sebagai musuh utama,” paparnya.

    Getty ImagesAmerika Serikat saat ini memiliki 28.500 tentara yang dikerahkan di Korea Selatan, sekutu yang sering melakukan latihan militer bersama.

    Christopher Green, seorang konsultan untuk semenanjung Korea di lembaga wadah pemikir International Crisis Group (ICG), menyatakan pendapat yang sama: Kim Jong-un mencoba untuk mengekang “pengaruh budaya dan politik Korea Selatan yang semakin besar” terhadap penduduk Korea Utara.

    “Selama 30 tahun terakhir, budaya pop Korea Selatan sebagian besar K-pop, opera sabun dan film menerobos masuk ke Korea Utara dan menantang kontrol rezim atas aliran informasi.”

    “Pyongyang sudah berupaya menghalangi agar konten semacam itu tidak masuk ke perbatasannya, tetapi mereka tidak begitu berhasil,” jelasnya dalam sebuah kolom yang diterbitkan di situs web ICG.

    Baca juga:

    Green menggarisbawahi bahwa Kim sebelumnya sudah memperberat hukuman bagi yang menjual atau mengonsumsi konten asing sejak 2020.

    “Langkah baru Kim merupakan cerminan institusional dari tren yang telah berkembang selama beberapa tahun terakhir,” ujar pakar itu.

    Dia menambahkan bahwa langkah ini bertujuan untuk “melestarikan narasi yang melegitimasi rezim dan mempertahankan kontrol ideologis.”

    Getty ImagesHingga saat ini, Korea Utara mengibarkan bendera reunifikasi, lambang netral semenanjung Korea yang dirancang pada tahun 1990-an.

    Rezim Korea Utara “unggul tidak hanya dari segi provokasi yang diperhitungkan terhadap AS dan Korea Selatan, atau dalam mencuci otak penduduknya, tetapi juga dalam manipulasi psikologis rakyat Korea Selatan,” kata akademisi tersebut.

    Dia menambahkan bahwa “gagasan untuk meninggalkan reunifikasi damai menciptakan ketegangan politik dan sosial di Korea Selatan”.

    “Tidak ada alasan untuk percaya bahwa Kim Jong-un benar-benar putus asa dalam keinginannya merebut wilayah Korea Selatan dan rakyatnya secara paksa,” ujar Lee.

    Pakar ini juga percaya bahwa dengan memandang negara Korea Selatan sebagai “musuh”, pemimpin komunis itu berada dalam posisi yang lebih nyaman untuk membenarkan tindakan permusuhan.

    “Mulai dari menerbangkan balon berisi tinja ke arah Selatan hingga mengirim pasukan tempur ke Rusia untuk memerangi Ukraina, atau terus-menerus mengancam untuk ‘memusnahkan’ Korea Selatan,” ujarnya.

    Sebuah momen penting

    Bagaimanapun, pergeseran ideologi Kim terjadi pada saat yang krusial di panggung regional dan internasional.

    Korea Utara dan Rusia telah menunjukkan pemulihan hubungan terdekat mereka sejak Perang Dingin, dengan Pyongyang memasok senjata, sesuatu yang bertentangan dengan sanksi internasional yang juga disetujui Moskow pada saat itu, dan masuknya pasukannya ke dalam konflik di Ukraina.

    Getty ImagesHubungan antara Kim dan Putin berada dalam kondisi terbaiknya di tengah-tengah perang di Ukraina

    Ditambah lagi dengan ketidakpastian seputar pergantian pemerintahan di Washington setelah kemenangan Donald Trump pada November, yang pada masa jabatan sebelumnya menjadi presiden AS pertama yang bertemu dengan pemimpin Korea Utara.

    Di sisi lain, rezim Kim Jong-un, terus memperkuat teknologi dan persenjataan militernya dalam beberapa tahun terakhir dengan rudal dan hulu ledak nuklir yang semakin banyak, kuat, dan canggih.

    Menurut para ahli, semua ini adalah bagian dari strategi pemimpin Korea Utara untuk memperkuat posisinya di panggung internasional, mencari sekutu strategis yang memungkinkannya untuk melawan tekanan Barat dan memproyeksikan pengaruhnya di luar semenanjung Korea.

    Lihat juga Video ‘Bertemu Menhan Belousov, Kim Jong Un ‘Bersumpah’ Korut Selalu Dukung Rusia’:

    (haf/haf)

  • WN Ukraina Pengendali Lab Narkoba di Bali, Roman Nazarenko Terancam Hukuman Mati

    WN Ukraina Pengendali Lab Narkoba di Bali, Roman Nazarenko Terancam Hukuman Mati

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menyampaikan pengendali laboratorium narkoba di Bali, Roman Nazarenko terancam hukuman mati.

    Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Mukti Juharsa mengatakan Roman, yang merupakan warga negara Ukraina, berperan sebagai otak dalam produksi mephedrone dan ganja hidroponik di Bali.

    Perbuatan Roman diduga telah melanggar Pasal 114 subsidair Pasal 112 dan subsidair Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

    “Pasal yang dilanggar adalah pasal 114, subsider 112, subsider 127. Ancaman hukumannya mati, minimal 5 tahun dengan denda 10 miliar rupiah,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Senin (23/12/2024).

    Selain itu, Mukti juga menyatakan bahwa Roman juga akan terkena pasal tindak pidana pencucian uang atau TPPU dalam kasus yang menjeratnya.

    “Yang kan saya bilang namanya bandar, kita akan TPPU-kan,” tambah Mukti.

    Sebelumnya, Roman telah ditangkap di Bandara U-Tapao Rayong, Thailand saat hendak berangkat menuju Dubai pada Kamis (19/12/2024) malam.

    Keberangkatan Roman itu terendus kepolisian Thailand atau Royal Police Thai. Kemudian, kepolisian Thailand berkoordinasi dengan Polri untuk penjemputan otak lab narkoba tersebut. 

    Roman kemudian tiba di Jakarta melalui Bandara Soekarno Hatta pada Minggu (22/12/2024) malam.

    Di lain sisi, Mukti menuturkan dua rekan Roman yang sebelumnya ditangkap telah dilimpahkan ke Kejaksaan atau tahap dua. 

    Keduanya ditangkap dalam penggerebekan lab narkoba pada Mei 2024. Dalam penggerebekan itu, kepolisian telah menyita alat cetak ekstasi, hidroponik ganja 9,7 kg, mephedrone 437 gram, bahan kimia dan sejumlah peralatan pembuatan narkotika.

    “Dua orang kemarin, orang Ukraina dan orang Rusia juga sudah di tahap dua, sudah persiapan sidang oleh pihak JPU dan Kejaksaan,” pungkasnya.

  • Drone Ukraina Tabrak Gedung di Kazan Rusia

    Drone Ukraina Tabrak Gedung di Kazan Rusia

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pesawat nirawak Ukraina menghantam sebuah gedung apartemen di Kota Kazan, Rusia, pada Sabtu (21/12).

    Serangan itu merusak gedung bertingkat tinggi tersebut namun tak meninggalkan korban jiwa.

    “Hari ini Kazan mengalami serangan drone besar-besaran,” kata kepala Tatarstan, Rustam Minnikhanov, dalam unggahan di Telegram.

    “Jika dulu perusahaan industri yang diserang, kini musuh menyerang warga sipil di pagi hari,” lanjut dia, seperti dikutip AFP.

    Ini merupakan serangan udara besar-besaran terbaru yang diluncurkan Ukraina ke Rusia. Serangan dengan jarak sejauh ini jarang terjadi.

    Meskipun begitu, Ukraina telah beberapa kali menargetkan Kazan dan wilayah sekitarnya, Tatarstan, dengan drone-drone mereka.

    Sejumlah video yang beredar di media sosial menunjukkan drone Kyiv menabrak gedung-gedung pencakar langit di Rusia hingga memicu api.

    Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova, dua drone Ukraina telah menggempur blok apartemen 37 lantai.

    Sementara itu, tiga drone ditembak jatuh dan tiga lainnya dilumpuhkan oleh sistem pertahanan udara.

    Otoritas penerbangan sipil Rusia sempat menutup sementara bandara internasional Kazan imbas serangan drone ini. Beberapa warga juga dievakuasi serta sejumlah acara di wilayah itu dibatalkan.

    Saat ini, bandara Kazan sudah beroperasi kembali.

    (blq/rds)

    [Gambas:Video CNN]

  • Rusia Kebobolan! Putin Menggila di Ukraina, Siapkan Aksi Balas Dendam

    Rusia Kebobolan! Putin Menggila di Ukraina, Siapkan Aksi Balas Dendam

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Rusia Vladimir Putin berjanji akan melakukan pembalasan setelah serangan drone Ukraina menghantam gedung-gedung residensial di kota Kazan, wilayah Tatarstan, Rusia. Dalam pernyataan yang disampaikan melalui tautan video pada acara pembukaan jalan, Putin memberikan peringatan tegas kepada Ukraina.

    “Siapapun yang mencoba menghancurkan negara kita, mereka akan menghadapi kehancuran yang jauh lebih besar dan akan menyesali apa yang mereka lakukan,” kata Putin kepada pemimpin lokal Tatarstan, dilansir Al Jazeera, Senin (23/12/2024).

    Pada Sabtu pagi, enam drone Ukraina menghantam gedung-gedung residensial di Kazan, sementara satu drone lainnya menargetkan fasilitas industri. Meski tidak ada laporan resmi tentang korban jiwa, laporan media menyebutkan tiga orang mengalami luka ringan akibat pecahan kaca jendela yang pecah.

    Video yang beredar di media sosial Rusia menunjukkan momen ketika drone menghantam gedung tinggi berlapis kaca dan memicu bola api besar. Meski begitu, tidak ada korban jiwa yang dilaporkan akibat serangan tersebut.

    Kazan terletak lebih dari 1.000 kilometer dari perbatasan Ukraina, dan meskipun Ukraina tidak secara resmi mengeklaim bertanggung jawab atas serangan itu, banyak pihak yang menganggapnya sebagai balasan atas serangan rudal Rusia terhadap Kyiv.

    Putin sebelumnya telah mengancam akan menyerang pusat kota Kyiv dengan rudal balistik hipersonik sebagai tanggapan atas serangan Ukraina di wilayah Rusia. Ancaman terbaru ini menambah ketegangan di tengah eskalasi konflik antara kedua negara.

    Kemajuan Rusia di Medan Perang

    Sementara itu, Rusia mengklaim telah mencapai kemajuan baru di medan perang di wilayah timur Ukraina. Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan melalui Telegram bahwa pasukannya telah “membebaskan” desa Lozova di wilayah timur laut Kharkiv dan Krasnoye, yang disebut Sontsivka oleh Ukraina.

    Krasnoye terletak di dekat pusat sumber daya Kurakhove, yang hampir dikepung oleh pasukan Rusia dan dianggap sebagai target strategis penting dalam upaya Moskow untuk merebut seluruh wilayah Donetsk.

    Dalam beberapa bulan terakhir, Rusia telah mempercepat serangannya di timur Ukraina, dengan tujuan menguasai sebanyak mungkin wilayah sebelum Presiden terpilih AS, Donald Trump, resmi menjabat pada Januari mendatang.

    Adapun Trump telah berjanji untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung hampir tiga tahun ini dengan cepat, meskipun belum memberikan rincian konkret terkait kesepakatan gencatan senjata atau perdamaian.

    Tentara Rusia mengeklaim telah merebut lebih dari 190 permukiman Ukraina sepanjang tahun ini. Di sisi lain, Kyiv terus berjuang mempertahankan wilayahnya di tengah kekurangan tenaga dan amunisi.

    (luc/luc)

  • Prabowo & Sri Mulyani Benar! Dunia Sedang Tidak Baik-Baik Saja

    Prabowo & Sri Mulyani Benar! Dunia Sedang Tidak Baik-Baik Saja

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Prabowo Subianto hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah blak-blakan menilai aktivitas ekonomi global pada 2025 akan suram.

    Keduanya menegaskan kondisi dunia saat ini tidak baik-baik saja, membuat prospek pertumbuhan ekonomi global akan berjalan stagnan pada tahun depan. Bahkan, berpotensi anjlok.

    Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro menjelaskan penyebab sentimen negatif terhadap kondisi ekonomi global pada 2025 menyeruak di Kabinet Merah Putih.

    Ia mengatakan, sentimen ini muncul saat para menteri keuangan dunia menghadiri acara pertemuan tahunan World Bank-IMF Annual Meeting pada Oktober 2024 silam.

    Dalam pertemuan itu, Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill dan dan Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mewanti-wanti peserta rapat aktivitas ekonomi akan turun pada 2025.

    “Kalau kita melihat level global growth sekarang yang di sekitar 3%, ya mereka mengatakan paling banter hanya di sekitar 3% itu. Bahkan mereka khawatir bisa di bawah 3%,” kata Bambang dalam program Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Senin (23/12/2024).

    Ketika prospek pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh di level 3%, Bambang menekankan, artinya masyarakat dunia sulit mengharapkan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara pasar berkembang atau emerging markets, termasuk Indonesia, sulit tumbuh tinggi atau bahkan di atas 5%.

    “Negara maju itu tumbuhnya di bawah 2%, emerging market ini yang tumbuhnya mendekati 5%, sehingga kalau dibuat rata-rata ya 3% itu sebagai pertumbuhan global,” tegas Bambang.

    Masalahnya, prospek terbaru kondisi ekonomi global ini kata Bambang muncul sebelum jelasnya hasil Pemilu AS 2024. Maka, ketika hasil pemilu telah resmi keluar pada November 2024 bahwa Donald Trump kembali menang sebagai Presiden AS, prospek ekonomi global makin suram.

    Trump yang sudah pernah menjadi Presiden AS pada 2017-2021 dikenal dengan kebijakan proteksionismenya, yang membuat aktivitas perdagangan dunia menjadi tidak sehat karena kebijakan pemberlakuan tarif perdagangan yang tinggi.

    Yang menjadi masalah, kini kebijakan proteksionismenya makin menjadi, karena akan dikenakan terhadap aliansinya sendiri dalam kelompok perdagangan bebas North American Free Trade Agreement atau NAFTA, yakni Kanada dan Meksiko. Bukan lagi terhadap rival ekonominya, yaitu China.

    “Dalam tanda petik kalau bahasa gaulnya, raja teganya itu adalah ketika dia secara tanpa alasan yang jelas ingin menerapkan tarif yang tinggi untuk Kanada dan Meksiko,” ungkap Bambang.

    “Padahal kalau kita ingat spirit dari free trade atau globalisasi di masa lalu adalah dimulai dari North American Free Trade Agreement yang melibatkan Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada,” tegasnya.

    Permasalahan itu, kata Bambang, menjadi penambah beban akumulasi yang membuat ekonomi global penuh ketidakpastian pada tahun depan. Sebab, perang bersenjata atau konflik geopolitik juga tak kunjung berakhir, seperti antara Rusia dan Ukraina, hingga Israel dengan Palestina, Suriah, dan Lebanon.

    “Jadi barangkali itu yang membuat atau dirangkum sebagai kesimpulan 2025 sangat menantang. Sehingga wajar kalau ada yang mengatakan ini benar-benar gelap karena belum kelihatan di mana sinar terangnya yang bisa muncul karena belum ada memang,” ucap Bambang.

    Kondisi ini terjadi saat negara-negara dunia baru saja ingin sembuh dari luka dalam akibat krisis Pandemi Covid-19. Hingga kini, saat terlepas dari Pandemi, dunia dihadapkan oleh tingginya tekanan inflasi, hingga membuat arah kebijakan suku bunga acuan bank sentralnya menjadi sangat tinggi.

    “Tingkat bunga tinggi akhirnya agak melemahkan pertumbuhan ekonomi baik di negara-negara yang mengalami tingkat bunga tinggi itu maupun negara-negara yang menjadi partner dagang atau investasi dari negara-negara maju tersebut, sehingga akhirnya dampaknya global,” tutur Bambang.

    (arj/haa)