Negara: Ukraina

  • Hari ke-1054 Perang Rusia-Ukraina: Intelijen Ukraina Interogasi 2 Tentara Korea Utara – Halaman all

    Hari ke-1054 Perang Rusia-Ukraina: Intelijen Ukraina Interogasi 2 Tentara Korea Utara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pada hari ke-1054 perang Rusia-Ukraina, situasi di lapangan semakin memanas.

    Pada tengah malam, sekitar 25 UAV Rusia terlihat di wilayah Ukraina, terutama di Poltava dan Chernigov.

    Ledakan terdengar di Kiev saat pertahanan udara Ukraina berupaya menanggulangi serangan drone Rusia.

    Penangkapan Tentara Korea Utara

    Ukraina mengonfirmasi penangkapan dua tentara Korea Utara di wilayah Kursk.

    Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, mengungkapkan bahwa kedua tentara tersebut ditangkap oleh pasukan khusus Ukraina dan kini sedang diinterogasi oleh Badan Intelijen Ukraina (SBU) di Kyiv.

    Menurut SBU, kedua pria tersebut adalah tentara berpengalaman.

    Salah satu dari mereka mengeklaim bahwa dia dikirim ke Rusia untuk pelatihan, bukan untuk berperang.

    SBU juga menunjukkan bahwa salah satu tawanan memiliki kartu identitas militer Rusia yang dikeluarkan atas nama orang lain.

    Zelensky menambahkan bahwa sulit untuk menangkap warga Korea Utara hidup-hidup karena tentara Rusia dan Korea Utara lainnya cenderung menghabisi yang terluka untuk menyembunyikan bukti keterlibatan mereka dalam perang.

    Aktivitas Militer Rusia

    Rusia mengeklaim telah menguasai sebuah desa dekat Pokrovsk, yang merupakan pusat logistik penting bagi Ukraina.

    Militer Ukraina melaporkan bahwa Rusia melancarkan lebih dari 50 serangan terhadap posisi Ukraina dalam 24 jam terakhir.

    Serangan Drone

    Rusia meluncurkan 74 drone ke Ukraina dalam semalam, dengan militer Ukraina mengeklaim berhasil menembak jatuh 47 di antaranya.

    Meskipun demikian, puing-puing dari drone yang jatuh menyebabkan kerusakan pada bangunan dan kendaraan di tujuh wilayah, meskipun tidak ada korban jiwa yang dilaporkan.

    Serangan Balasan Ukraina

    Ukraina juga melancarkan serangan drone ke wilayah Rusia, termasuk dua rumah di daerah Tambov.

    Kementerian Pertahanan Rusia melaporkan bahwa beberapa orang mengalami cedera akibat serangan tersebut, tetapi Ukraina membantah bahwa mereka menyerang sasaran sipil.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Harga Minyak Dunia Melonjak Tembus 80 Dolar AS per Barel, Ini Pemicunya – Halaman all

    Harga Minyak Dunia Melonjak Tembus 80 Dolar AS per Barel, Ini Pemicunya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Harga minyak dunia di perdagangan pasar global dilaporkan naik lebih dari 3 persen, menuju  ke level tertinggi dalam tiga bulan usai Amerika Serikat (AS) memperketat sanksi ke Rusia.

    Mengutip dari Reuters, harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman Maret 2025 ditutup menguat 2,84 dolar AS atau 3,7 persen ke level 79,76 dolar AS per barel, sabtu (11/1/2024).

    Lonjakan serupa juga terjadi pada jenis minyak Brent yang melesat 2,31 dolar AS atau naik 3 persen hingga dibanderol jadi 80 dolar AS per barel untuk pertama kalinya sejak 7 Oktober.

    Kedua kontrak ini melesat ke sesi tertingginya setelah pedagang di Eropa dan Asia mengedarkan dokumen yang tidak diverifikasi yang merinci sanksi AS terhadap Rusia.

    Sumber-sumber dalam perdagangan minyak Rusia mengatakan bahwa sanksi tersebut akan menyebabkan gangguan parah pada ekspor minyak Rusia ke pembeli Asia, terutama India dan China.

    Analis UBS Giovanni Staunovo menyebut sanksi terbaru dari AS dimaksudkan untuk memukul volume ekspor minyak Rusia dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan damai di Ukraina.

    Adapun pihak-pihak yang terkena sanksi mencakup lebih dari 200 entitas dan individu yang terlibat dalam sektor energi Rusia, termasuk dua produsen minyak terbesar Rusia, Gazprom Neft dan Surgutneftegas., pedagang minyak Rusia, penyedia layanan lapangan minyak yang berbasis di Rusia, dan pejabat energi Rusia.

    AS juga menetapkan 180 kapal pengangkut minyak sebagai “properti yang diblokir.” Banyak dari kapal-kapal tersebut adalah bagian dari “armada bayangan” Rusia yang digunakan untuk mengangkut minyak Rusia secara diam-diam ke seluruh dunia.

    Namun imbasnya setelah sanksi diterapkan harga minyak Rusia akan dibanderol jauh lebih mahal, menambah beban bagi pasar Asia yang telah menjadi konsumen minyak Rusia.

    “India dan China (sedang) berjuang keras saat ini untuk menemukan alternatif,” kata Anas Alhajji, mitra pengelola di Energy Outlook Advisors, dalam sebuah video yang diunggah ke jejaring sosial X.

    Selain sanksi Rusia, alasan harga minyak menguat karena cuaca dingin ekstrem di AS dan Eropa yang kemudian memicu lonjakan permintaan minyak dan meningkatkan konsumsi bahan bakar pemanas.

    “Kami memiliki beberapa pelanggan di Pelabuhan New York yang telah melihat peningkatan permintaan minyak pemanas,” kata Alex Hodes, analis di perusahaan pialang StoneX.

    Hal tersebut senada dengan pernyataan Biro cuaca AS yang memperkirakan wilayah tengah dan timur negara itu akan mengalami suhu di bawah rata-rata. Selain itu banyak wilayah di Eropa kemungkinan akan terus mengalami awal tahun yang lebih dingin dari biasanya.

    “Kami mengantisipasi peningkatan permintaan minyak global yang signifikan dari tahun ke tahun sebesar 1,6 juta barel per hari pada kuartal pertama tahun 2025, terutama didorong oleh permintaan minyak pemanas, minyak tanah, dan LPG,” kata analis JPMorgan dalam sebuah catatan pada hari Jumat.

     

  • 2025 Bisa Jadi Tahun Petaka: di mana-mana Panas-Siaga Perang

    2025 Bisa Jadi Tahun Petaka: di mana-mana Panas-Siaga Perang

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – International Crisis Group atau ICG merilis daftar 10 potensi konflik yang harus diantisipasi masyarakat dunia. Berbagai konflik ini merupakan perpanjangan masalah dari konflik yang sudah panas pada tahun-tahun sebelum 2025.

    Konflik ini akan terjadi di berbagai belahan dunia, mulai dari kawasan Amerika, Timur Tengah, Asia Timur, hingga lintas kawasan. Bahkan, potensi konflik bisa makin buruk setelah makin rusaknya norma-norma perdamaian secara global.

    “Jika Israel mencaplok Tepi Barat dengan restu AS, atau Washington secara sepihak mengebom kartel Meksiko, norma-norma yang sudah melemah berisiko semakin hancur. Pihak yang berperang akan lebih sedikit memperhatikan penderitaan sipil,” tuis ICG dalam artikel berjudul 10 Conflicts to Watch in 2025, dikutip Sabtu (11/1/2025).

    Adapun 10 konflik yang perlu diwaspadai sepanjang 2025 menurut ICG sebagai berikut:

    1. Suriah

    Setelah jatuhnya rezim diktator Bashar al-Assad pada akhir tahun lalu, Suriah tampak mulai bangkit meredam perang internal di dalam negerinya sendiri. Namun, ICG menganggap, banyak risiko konflik kembali meletus di negara itu pada 2025.

    Kelompok milisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS), mantan afiliasi al-Qaeda memang telah berhasil mengalahkan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) setelah menyerang pemerintahan Bashar pada 27 November. Pemerintahan Assad pun jatuh dalam waktu kurang dari dua minggu setelah menguasai negara itu selama 54 tahun secara turun menurun.

    Menurut ICG, kekalahan tentara Suriah sebagian disebabkan oleh persiapan matang kekuatan HTS dan sebagian lagi karena pembusukan rezim itu sendiri. Assad, mengandalkan dukungan dari Hizbullah, Iran dan Rusia, mengabaikan pasukannya sendiri, mengandalkan wajib militer, cadangan bergaji rendah, dan milisi predator.

    Melihat kelemahannya, pendukung eksternal Assad berdiri saat pemberontak maju. Sebagian besar unit Hizbullah yang telah membela rezim itu, bagaimanapun, telah kembali ke Lebanon untuk memerangi Israel, di mana mereka menderita kerugian besar.

    Iran, yang tengah sibuk menghadapi Israel, tidak bisa membantu Assad. Rusia, yang kekuatan udaranya telah mengubah gelombang perang hampir satu dekade lalu, terjebak di Ukraina.

    Ketika pertahanan rezim runtuh, Moskow dan Teheran tampaknya telah menerima jaminan HTS bahwa Iran dapat dengan aman menarik aset-asetnya keluar secara aman, dan Rusia menarik kembali pasukannya ke pelabuhan Mediterania di Tartus atau pangkalan udara di Latakia.

    HTS dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa menurut ICG sejauh ini hanya mengamankan kota-kota besar di Suriah, namun untuk di kawasan pedesaan tengah dan barat memiliki risiko konflik yang kacau ke depan. Sebab, pasukan HTS hanya 30.000, tak cukup untuk mengamankan negara seluas 185.180 kilometer persegi.

    Mantan pemberontak lainnya, termasuk beberapa di dalam Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki, lebih sulit diatur. Di Hama, Homs dan Latakia, orang-orang bersenjata telah menjarah, secara acak membunuh anggota kelompok minoritas yang dituduh mendukung rezim Assad, dan secara langsung mengeksekusi beberapa kaki tangannya.

    Bahaya lain berasal dari luar. Ketika Assad jatuh, bom Israel meratakan pangkalan angkatan udara Suriah, fasilitas angkatan laut dan depot senjata, termasuk, menurut Israel, fasilitas senjata kimia.

    Israel, yang mencaplok bagian dari Dataran Tinggi Golan pada 1981, juga mengirim pasukan ke zona demiliterisasi, termasuk posisi puncak bukit di Suriah, meskipun Sharaa, sambil mengkritik pemboman dan serangan, berjanji untuk mematuhi perjanjian yang ada dengan Israel.

    Di timur laut, SNA yang didukung Turki telah mengusir SDF dari beberapa kota, membuat ribuan orang mengungsi. Mereka sekarang mengancam Kobani, kota mayoritas Kurdi di perbatasan Turki.

    Ankara memandang SDF sebagai pelengkap Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang telah diperjuangkan di Turki dan Irak utara selama beberapa dekade. Lebih banyak pertempuran dapat mencabut ribuan nyawa orang lagi dan semakin membebani transisi Suriah.

    SDF menjaga ribuan mantan pejuang ISIS, yang pelariannya dapat memperkuat sisa-sisa kelompok yang sudah berkumpul kembali di padang pasir.

    Turki, harus membiarkan otoritas baru Suriah bernegosiasi dengan SDF tentang reintegrasi timur laut dengan persyaratan yang dapat diterima semua orang. Akhirnya, sanksi Barat dan PBB yang menghalangi bantuan dan investasi yang dibutuhkan Suriah setelah bertahun-tahun perang harus dilonggarkan.

    2. Sudan

    Perang Sudan, dengan jumlah pengungsi dan kelaparan, adalah yang paling menghancurkan di dunia. Sekitar 12 juta orang Sudan – lebih dari sepertiga dari populasi sebelum perang – telah meninggalkan rumah mereka.

    Lebih dari setengahnya menghadapi kekurangan pangan akut, dengan beberapa bagian wilayah Darfur menderita kelaparan. Pejabat PBB menggambarkan tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan sebagai “mengejutkan”. Negara ini tampak menuju konflik kekerasan.

    Milisi Sudan, RSF yang dipimpin Mohamed “Hemedti” Hamdan Dagalo terus melawan tentara Sudan, yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan. Setelah penggulingan Omar al-Bashir pada 2019, Hemedti dan Burhan mulanya berbagi kekuasaan dengan politisi sipil dan kemudian mengusir mereka sebelum saling berbalik.

    Angkatan darat, tanpa banyak infanteri, bergantung pada kekuatan udara, termasuk drone yang dipasok asing, dan tanpa pandang bulu mengebom daerah-daerah di bawah kendali RSF. Mereka telah beralih ke milisi, terutama yang dimobilisasi oleh kaum Islamis yang berpengaruh di bawah Bashir.

    Mantan pemberontak Darfuri telah membantu memukul mundur serangan RSF di ibu kota Darfur Utara, El Fasher. RSF berjuang untuk mempertahankan tanah di luar benteng baratnya tetapi tetap kuat ketika terlibat dalam serangan cepat. Pasukannya sering membawa pembantaian saat mereka maju.

    Namun, perang di Sudan akan semakin kompleks setelah makin maraknya campur tangan asing, salah satunya Uni Emirat Arab melalui bisnis Emirates. Dukungan Emirat untuk RSF (yang dibantah Abu Dhabi, meskipun ada dokumentasi oleh PBB dan lainnya) mencerminkan upaya pencarian pengaruh dan keuntungannya di cekungan Laut Merah.

    Ethiopia, yang memiliki hubungan dekat dengan Uni Emirat Arab, telah berusaha untuk tetap netral, khawatir bahwa tentara Sudan akan membantu oposisi bersenjata Ethiopia, tetapi mungkin masih sebatas dugaan.

    Adapun tentara Sudan, mereka mengandalkan dukungan dari Mesir, terlepas dari hubungan Islamisnya, sebagai taruhan yang lebih baik daripada paramiliter RSF yang sulit diatur. Eritrea, yang curiga terhadap UEA dan ingin memiliki penyangga di perbatasan baratnya, sedang melatih kelompok-kelompok sekutu tentara Sudan. Iran dilaporkan telah memasok tentara dengan senjata termasuk drone canggih.

    Arab Saudi, yang memiliki hubungan dengan kedua belah pihak, telah menjadi tuan rumah pembicaraan perdamaian di Jeddah dengan sedikit keberhasilan.

    Setelah lebih dari setahun perang, Amerika Serikat akhirnya menunjuk utusan Sudan, sebuah langkah yang disambut baik.

    Sementara itu, Hemedti tampaknya bersedia untuk berbicara tetapi menginginkan tentara baru – dan peran komando di dalamnya untuk loyalis, sesuatu yang ditentang dengan keras oleh para kepala militer, Islamis, dan mantan pemberontak Darfuri. Politisi sipil yang berfaksi juga tidak dapat bersatu di belakang persyaratan gencatan senjata dan pengaturan tindak lanjut.

    Yang mengkhawatirkan, beberapa orang di Sudan, terutama di antara para pengikut rezim Bashir, berbicara tentang partisi, dengan alasan bahwa penyalahgunaan RSF mengesampingkan hidup berdampingan. Mereka menuntut pemotongan, meninggalkan tentara yang mengendalikan utara dan timur, termasuk Khartoum, dan RSF menguasai barat dan tambal sulam daerah-daerah lain.

    3. Ukraina dan Keamanan Eropa

    Presiden terpilih AS Donald Trump telah berjanji untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina dengan mengajukan negosiasi kepada Presiden Rusia Vladimir Putin. Pembicaraan gencatan senjata dalam negosiasi itu menurut ICG sulit terealisasi apalagi kesepakatan damai.

    Pertahanan Ukraina mungkin tidak akan runtuh dalam waktu dekat, sebab ICH memperoleh informasi dari sumber-sumber di Rusia yang mengatakan Putin cenderung mengharapkan keuntungan bertahap, bukan kekalahan mendadak Ukraina.

    Titik mencuatnya masalah adalah Putin menuntut agar Ukraina melakukan demiliterisasi, atau setidaknya membatasi ukuran tentaranya, dan melupakan jaminan keamanan. Kyiv dan ibukota Eropa, pada gilirannya, melihat bahaya eksistensial dalam kesepakatan semacam itu. karena pasukan Rusia akan maju lagi. bahkan berpotensi berani menakut-nakuti Moldova,

    4. Israel-Palestina

    Serangan Israel ke Gaza, yang diluncurkan sebagai tanggapan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, telah menghancurkan jalur Gaza.

    Menewaskan lebih dari 45.000 warga Palestina. Sebagian besar adalah warga sipil – setidaknya sepertiga dari mereka anak-anak. Ribuan mayat lainnya hilang, mungkin di bawah puing-puing. Dua pertiga bangunan dan infrastruktur rusak atau hancur, dengan seluruh lingkungan diratakan.

    Sementara banyak pemimpin Hamas telah terbunuh dan aset militer kelompok itu hancur, pejabat Barat dan bahkan beberapa orang Israel diam-diam mengakui bahwa tidak ada otoritas yang dapat memerintah Gaza atau menjalankan fungsi sipil tanpa persetujuan Hamas.

    Perubahan apa yang akan dibawa oleh Presiden AS Donald Trump yang akan datang tidak jelas. Dia dilaporkan telah mengatakan kepada Netanyahu bahwa dia ingin perang Gaza berakhir sebelum dia menjabat tetapi tanpa mengisyaratkan syaratnya. Secara keseluruhan, pilihan kabinetnya sebagian besar tampaknya cenderung memberi Netanyahu keleluasaan yang lebih banyak.

    Pertempuran lain terletak di Tepi Barat, yang tampaknya siap untuk dianeksasi Israel. Di bawah Menteri Keuangan ultranasionalis Bezalel Smotrich, Israel mengalihkan pengelolaan wilayah dari militer ke kontrol sipil, memperluas kedaulatan, memerintahkan lebih banyak rumah Palestina dihancurkan, dan melegalkan pos-pos pemukim.

    Bahkan tanpa aneksasi formal, Israel dapat lebih mempercepat taktik yang telah digunakan selama bertahun-tahun: memindahkan lebih banyak pemukim dan memeras warga Palestina ke kantong-kantong yang lebih kecil dengan paksa.

    5. Iran vs AS dan Israel

    Serangan Israel terhadap Iran pada akhir Oktober menurunkan pertahanan udara dan simpanan rudalnya. Ketika pemberontak Suriah menggulingkan Presiden Bashar al-Assad pada awal Desember, Iran kehilangan sekutu yang telah dibiayai miliaran dolar untuk menopang Iran, serta rute udara dan darat utama yang digunakan untuk memasok kembali Hizbullah.

    Teheran masih memiliki ribuan rudal balistik (pada bulan Oktober, sekitar 30 dari 180 rudal Israel yang menembus pertahanan), ditambah milisi sekutu di Irak dan Houthi, yang terus menembaki Israel dari Yaman.

    Hizbullah mungkin masih bisa berkumpul kembali. Tetapi di sekitar perimeter Israel, Poros Perlawanan, yang dilihat Iran sebagai pencegah terhadap serangan Israel atau AS, rusak. Dari perspektif Teheran, juga mengkhawatirkan seberapa mampu badan-badan intelijen Israel dan seberapa tinggi toleransi risikonya.

    Pemimpin Tertinggi Iean Ayatollah Ali Khamenei tampaknya masih melihat konsesi nuklir sebagai tiket untuk mencabut sanksi dan memulai ekonomi yang terhenti. Dia mungkin juga khawatir bahwa badan intelijen Israel atau AS dapat mendeteksi upaya Iran untuk memprosuksi nuklir sebagai persenjataan.

    Beberapa penasihat Trump, seperti beberapa orang Israel, melihat kelemahan Iran sebagai peluang untuk melumpuhkan program nuklirnya atau bahkan pemerintahnya. Mencoba menggulingkan rezim, yang tidak populer tetapi tidak rapuh.

    Kematiannya akan memicu kekacauan seperti yang terjadi di Irak pasca-2003, dengan Garda Revolusi garis keras kemungkinan akan menjadi yang teratas. Bahkan menghancurkan situs nuklir, yang terletak jauh di bawah tanah, akan membutuhkan kampanye udara yang melibatkan amunisi penghancur bunker.

    Serangan semacam itu mungkin mendorong rezim, melihat bahaya eksistensial, untuk menanggapi dengan semua yang dimilikinya. Sementara jangkauan Teheran sering dilebih-lebihkan, ribuan rudal yang ditembakkan ke Israel, bersama dengan serangan terhadap pasukan AS di Irak dan serangan Houthi di jalur pelayaran Laut Merah, dapat menyeret Amerika Serikat ke dalam perang yang tidak diinginkan Trump.

    6. Haiti

    Sejak pembunuhan Presiden Jovenel Moïse pada Juli 2021, geng-geng telah merebut sebagian besar Haiti.

    Pada awal 2024, aliansi geng yang sebelumnya bertikai, yang dikenal sebagai Viv Ansanm, mengepung ibu kota Port-au-Prince. Ariel Henry, seorang perdana menteri yang tidak populer yang mengambil alih setelah Moïse terbunuh, berada di Nairobi pada saat itu mengawasi pembentukan misi polisi dan tidak dapat terbang pulang.

    Henry mengundurkan diri, di bawah tekanan dari tetangga Karibia, Amerika Serikat dan lainnya.

    Pada bulan Juni, pasukan Kenya mulai berdatangan, diberi mandat untuk bekerja dengan polisi Haiti untuk memerangi geng-geng, yang anggotanya diperkirakan berjumlah 12.000 orang.

    Pada 2024 saja, kekerasan yang melibatkan geng menewaskan lebih dari 5.300 orang, membuat 700.000 orang mengungsi, dan menyebabkan hampir setengah dari warga Haiti menghadapi kerawanan pangan akut.

    7. AS-Meksiko

    Selama kampanye pemilu AS, Donald Trump – sekarang presiden terpilih – berjanji untuk mengenakan tarif tinggi pada Meksiko, mengirim kembali jutaan migran, dan bahkan mengebom kartel.

    Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum Pardo telah membalas ancaman Trump, menyarankan bahwa – tanpa kerja sama Meksiko – karavan migran menuju ke utara akan dilanjutkan. Dia telah meminta Washington untuk mendeportasi migran ke negara asal mereka, bukan Meksiko. Dia juga mungkin berharap bahwa memperkuat peran Meksiko sebagai penyangga migran atau koordinasi kontranarkotika yang lebih ketat akan menenangkan Trump.

    Aksi militer sepihak terhadap kartel hampir pasti akan menjadi bumerang. Menyingkirkan lebih banyak pemimpin geng akan memicu lebih banyak perang wilayah dan fragmentasi, sementara bila tidak melakukan apa pun untuk mengekang produksi narkoba, laboratorium fentanil berteknologi rendah dan mudah dibangun kembali.

    Meksiko akan membalas, mungkin dengan langkah melawan kepentingan ekonomi AS. Hubungan antara dua negara yang saling berhubungan dengan perdagangan, investasi, dan ikatan keluarga akan menimbulkan bencana bagi keduanya.

    8. Myanmar

    Pertengahan tahun 2024, rezim militer Myanmar tampaknya terhuyung-huyung, karena pemberontak telah merebut sebagian besar dataran tinggi serta pangkalan militer utama. Sejak itu, China, yang khawatir akan keruntuhan Myanmar, terlibat aktif di negara itu.

    Tetapi junta masih menghadapi perlawanan yang gigih. Pemungutan suara pada 2025, jika berjalan sesuai rencana, akan membawa pertumpahan darah lebih lanjut.

    Perang saudara yang telah merobek Myanmar sejak militer merebut kekuasaan pada 2021 telah membuat negara itu mundur beberapa dekade: Lebih dari 3 juta orang mengungsi secara internal, sistem kesehatan dan pendidikan telah runtuh, kemiskinan meroket, dan mata uang Myanmar, kyat, telah jatuh.

    9. Semenanjung Korea

    24 dimulai dengan pidato mengejutkan oleh pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, di mana ia membatalkan kebijakan penyatuan damai Korea Utara yang telah berlangsung selama beberapa dekade dengan Korea Selatan dan menyatakan Seoul sebagai musuh utama Pyongyang.

    Dalam pidatonya pada Januari, Kim bertujuan untuk lebih menutup Korea Utara, terutama dari ekspor budaya Korea Selatan – K-Pop, dengan kata lain – sambil memperketat cengkeramannya pada ekonomi.

    Tetapi memutuskan hubungan lebih lanjut, termasuk hampir semua komunikasi antar-Korea, membuat negara-negara itu memiliki sedikit pilihan untuk mengelola insiden pada saat gesekan meningkat.

    Kembalinya Trump menambah lapisan ketidakpastian lainnya. Terlepas dari ketidaksukaannya pada sekutu, dia tidak mungkin menarik Washington keluar dari perjanjian pertahanannya dengan Korea Selatan atau menarik pasukan AS.

    Tetapi dia mungkin menuntut agar Seoul membayar lebih banyak untuk perlindungan. Itu akan meningkatkan seruan, terutama di kalangan warga Korea Selatan biasa, agar Seoul memperoleh persenjataan nuklirnya sendiri. Setiap ambiguitas tentang komitmen Washington terhadap Seoul juga berisiko membuat Kim berani.

    Terlepas dari peringatan dari pengamat Korea, Kim tampaknya tidak mungkin meluncurkan perang besar-besaran, yang akan berisiko menjadi nuklir, menimbulkan bencana bagi Asia dan ekonomi dunia, dan kemungkinan berujung pada kematiannya sendiri.

    10. China-AS

    Orang-orang di lingkaran Trump berpikir Washington harus membatasi diri untuk menghalangi kekuatan Beijing di Asia. Eksekutif teknologi Elon Musk, yang melakukan bisnis di China, menginginkan hubungan yang lebih bersahabat.

    Trump sendiri telah mengirim sinyal yang beragam: konfrontatif dalam perdagangan, suam-suam kuku pada pertahanan Taiwan, tidak peduli tentang komitmen AS kepada sekutu Asia, dan sering mengagumi otoritas Xi.

    Janji kampanye Trump untuk mengenakan tarif setidaknya 60 persen pada barang-barang China – kenaikan tajam dari tarif masa jabatan pertamanya, yang sebagian besar dipertahankan Biden – tampaknya lebih mungkin menjadi salvo pembuka dalam pembicaraan daripada pendahuluan perang dagang.

    Tarif akan melemahkan perlambatan pertumbuhan China, tetapi Beijing dapat membalas – seperti yang sudah dimulai – dengan melarang ekspor mineral penting, misalnya, atau meluncurkan penyelidikan antimonopoli ke raksasa teknologi AS.

    Seberapa serius bahaya yang ditimbulkan Trump terhadap perdamaian yang rapuh di sekitar Taiwan tidak jelas. Selama beberapa dekade, Amerika Serikat telah bertujuan untuk mencegah Tiongkok menginvasi Taiwan dengan memperkuat pertahanan pulau itu, tanpa memperluas jaminan keamanan sambil mencegah Taipei untuk mendeklarasikan kemerdekaan atau memprovokasi Beijing.

    Tetapi presiden baru Taiwan, Lai Ching-te, lebih bermusuhan daripada pendahulunya. Tiongkok telah meningkatkan serangan ke wilayah udara Taiwan dan latihan agresif di sekitar pulau itu, termasuk latihan Desember baru-baru ini – operasi maritim terbesarnya dalam beberapa dekade menurut Taiwan – yang melibatkan hampir 90 kapal angkatan laut dan penjaga pantai.

    Begitu dia menjabat, Trump mungkin akan kembali mengungkapkan skeptisisme tentang apakah membela Taiwan layak atau mencoba membuat pulau itu, yang secara teratur dia tuduh menunggangi kemurahan hati AS, untuk batuk lebih banyak untuk pertahanannya. Atau dia juga dapat mengizinkan penjualan senjata ofensif yang lebih cepat ke Taiwan dan lebih banyak operasi angkatan laut AS di Selat Taiwan. Kedua jalur dapat meminta tanggapan.

    Yang lebih genting adalah Laut Cina Selatan, di mana klaim maritim Tiongkok tumpang tindih dengan klaim negara-negara lain (seperti yang dikonfirmasi oleh putusan pengadilan khusus tahun 2016 mengenai Filipina, meskipun Beijing menolak putusan tersebut). Di sekitar bebatuan dan terumbu karang yang disengketakan di lepas pantai Filipina, sekutu perjanjian A.S., gesekan telah meningkat menjadi bentrokan di laut.

    Presiden Ferdinand Marcos Jr. telah mengupayakan hubungan yang lebih dekat dengan Amerika Serikat, memberikan akses ke lebih banyak pangkalan militer Filipina, termasuk beberapa yang dekat dengan Taiwan, melakukan latihan bersama, dan bekerja sama lebih erat dengan sekutu AS lainnya. Xi menuduh Manila memainkan insiden untuk mendapatkan peralatan dan investasi militer AS tambahan, dan Washington, pada gilirannya, mengeksploitasi gesekan untuk menarik pemerintah Asia ke dalam jaringan anti-China.

    Bentrokan yang mengakibatkan kematian Filipina dapat menyebabkan Marcos meminta pakta pertahanan negaranya dengan Washington. Trump, bahkan jika enggan menanggapi dengan tegas, akan menghadapi tekanan dari pejabat Departemen Pertahanan untuk melakukannya. Triknya adalah menghindari spiral eskalasi tanpa menandakan kepasifan yang dapat membuat Beijing berani, terutama jika para pemimpin China melihat tanda-tanda lain dari hubungan AS dengan sekutu.

    Sekutu AS lainnya, termasuk Jepang dan Korea Selatan, telah meningkatkan pengeluaran pertahanan mereka, yang ketakutan oleh perilaku Tiongkok dan inkonsistensi AS. Konstituen besar di Tokyo dan Seoul percaya negara mereka harus memperoleh pencegah nuklir mereka sendiri. Spekulasi tentang tawar-menawar besar Trump-Xi hampir tidak menenangkan saraf, bahkan jika kesepakatan seperti itu tampak mengada-ada. Di tengah persaingan yang semakin intensif antara dua kekuatan besar dunia, pandangan redup Trump tentang aliansi mengguncang Asia hampir sama seperti halnya Eropa.

    (dce)

  • Analisis Rencana Pertemuan Trump-Putin: Dampak bagi Ukraina – Halaman all

    Analisis Rencana Pertemuan Trump-Putin: Dampak bagi Ukraina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden terpilih AS, Donald Trump, baru-baru ini mengungkapkan niatnya untuk bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, terkait konflik yang sedang berlangsung di Ukraina.

    Dalam pernyataannya di kediamannya di Mar-a-Lago, Florida, Trump menyatakan, “Dia [Putin] ingin bertemu dan kami sedang mengaturnya.”

    Pernyataan ini memberikan sinyal bahwa dia ingin berkontribusi dalam menyelesaikan masalah stabilitas di kawasan tersebut.

    Apa Yang Diharapkan dari Pertemuan Trump dan Putin?

    Trump menekankan pentingnya dialog untuk mengakhiri perang yang dianggapnya sebagai “kekacauan”.

    Menjelang pelantikannya pada 20 Januari, Trump berjanji selama masa kampanyenya untuk menghentikan perang di Ukraina dengan segera.

    Pertemuan ini juga mendapat respons positif dari Putin.

    Pada 19 Desember, Putin menyatakan bahwa ia siap bertemu dengan Trump kapan saja untuk membahas solusi bagi konflik tersebut.

    Namun, di balik harapan tersebut, ada kekhawatiran mengenai apakah Ukraina akan ditekan untuk menerima syarat-syarat yang mungkin tidak menguntungkan, termasuk potensi kehilangan wilayah yang saat ini diduduki oleh Rusia.

    Analisis: Apa Dampak dari Pertemuan Ini bagi Trump dan Putin?

    Menurut analisis dari eutoday.net, pertemuan Trump dan Putin adalah taruhan besar bagi kedua pemimpin.

    Untuk Trump, keberhasilan dalam pertemuan ini bisa memvalidasi pendekatan kebijakan luar negerinya serta memperkuat posisinya baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.

    Namun, kegagalan dapat menimbulkan kerugian politik yang signifikan dan merusak kredibilitas Amerika Serikat dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi.

    Di sisi lain, bagi Putin, pertemuan ini adalah kesempatan untuk menguji komitmen pemerintahan baru AS dan sekaligus memajukan tujuan strategis Rusia.

    Namun, apakah dialog ini dapat menghasilkan solusi yang nyata masih dipertanyakan.

    Terdapat ketidaksesuaian yang jelas antara posisi Rusia dan usulan yang diajukan oleh Trump dan para penasihatnya.

    Putin memiliki tuntutan yang jelas, seperti kontrol penuh atas wilayah Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia, serta jaminan bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO.

    Di sisi lain, Trump dikabarkan mendukung gencatan senjata di sepanjang garis depan saat ini dan memperkenalkan pengerahan pasukan penjaga perdamaian dari negara-negara anggota NATO, yang kemungkinan besar akan ditolak oleh Rusia.

    Selain itu, ada ketegangan antara dukungan Trump untuk mempersenjatai Ukraina dan tuntutan Rusia untuk demiliterisasi negara tersebut.

    Dengan adanya perbedaan posisi yang signifikan ini, jelas bahwa menemukan resolusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak bukanlah hal yang mudah.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Putin Krisis Pasukan, AS Sebut 700.000 Tentara Rusia Tewas Jadi Korban Perang Ukraina – Halaman all

    Putin Krisis Pasukan, AS Sebut 700.000 Tentara Rusia Tewas Jadi Korban Perang Ukraina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – AS mengungkapkan bahwa Rusia kini tengah mengalami krisis pasukan setelah lebih dari 700.000 tentara menjadi korban sejak memulai invasi ke Ukraina pada tahun 2022.

    Hal itu diungkap oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin melalui laman resmi Menhan AS.

    “Sejak 2022, Rusia telah menderita lebih dari 700.000 korban di Ukraina. Jumlah itu lebih banyak dari yang dialami Moskow dalam semua konfliknya sejak Perang Dunia II digabungkan,” imbuh Austin melansir Defense.gov.

    “Korban Rusia di Ukraina kini melebihi dua pertiga dari total kekuatan tentara Rusia pada awal perang yang dipilih Putin. Pada bulan November 2024 saja, Rusia kehilangan hampir 1.500 tentara per hari,” imbuhnya.

    Senada dengan proyeksi AS, Angkatan Bersenjata Ukraina memperkirakan 707.540 tentara Rusia tewas atau terluka hingga November 2024. 
     
    Sementara Pemerintah Inggris melaporkan sekitar 700.000 tentara Rusia tewas atau terluka pada November 2024.

    Rusia Rekrut Tentara Korut

    Mengantisipasi kurangnya pasukan di medan perang, Sekitar 10.000 tentara asal Korea Utara (Korut) dilaporkan tiba di Kursk, wilayah garda depan konflik Rusia dan Ukraina.

    Tak hanya pasukan tempur, Korut disebut turut mengirimkan sejumlah jenderal ke medan perang untuk membantu Rusia melawan Ukraina.

    Pengerahan puluhan ribu tentara Korea Utara itu merupakan eskalasi yang signifikan dari keterlibatan Pyongyang dalam invasi Rusia di Ukraina.

    Publik menuduh pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menjual pasukannya untuk perang agresi yang ilegal.

    Lantaran kehadiran tentara Korut hanya dianggap sebagai martir perang bagi Rusia dalam menghadapi serangan Ukraina.

    Sementara itu pemerintah Rusia diketahui menjanjikan bayaran sebesar 2.000 dolar AS atau sekitar Rp 31 Juta per bulan bagi tentara Korea Utara (Korut) yang bersedia untuk ditugaskan ke Kursk.

    Jumlah gaji yang dibayarkan oleh Moskow menunjukkan peningkatan fantastis hingga 10 kali lipat jika dibandingkan dengan gaji sebelumnya.

    Dimana pada bulan lalu, Radio Free Asia melaporkan bahwa gaji rata-rata untuk personel militer Korut hanya berkisar antara 100 dan 300 won.

    Rusia Krisis Populasi

    Terpisah, imbas perang yang tak kunjung rampung, kini Rusia dihadapkan masalah krisis populasi.

    Angka kelahiran Rusia diketahui telah mencapai titik terendah dalam sejarah. Menurut laporan terakhir, hanya ada sekitar 599.600 anak yang lahir pada paruh pertama tahun 2024. Jumlah tersebut menjadi yang terendah selama 25 tahun.

    Angka ini bahkan 16 ribu lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023. 

    Pemerintah Rusia menyebut situasi ini sebagai ‘bencana besar bagi masa depan bangsa’.

    Untuk mengatasi ancaman krisis populasi, Salah satu kota di Rusia mengeluarkan aturan baru yaitu memberikan hadiah insentif uang pada wanita muda di bawah usia 25 tahun yang mau memiliki anak. 

    Mengutip laporan Money Control, jumlah hadiah insentif yang ditawarkan sejumlah 100 ribu rubel Rusia (Rp 15,8 juta). 

    Uang tersebut diberikan khusus untuk wanita berusia di bawah 25 tahun yang masih terdaftar sebagai mahasiswa universitas atau perguruan tinggi yang tinggal di wilayah Karelia.

    Selain pemberian insentif tersebut, nantinya ibu juga bakal mendapatkan dukungan tambahan untuk perawatan anak dan pemulihan pasca persalinan.

    Hal ini dilakukan untuk mendorong angka kelahiran di Rusia yang perlahan menurun.

    Karelia bukan menjadi satu-satunya daerah yang menerapkan program insentif untuk mendorong angka kelahiran. 

    Setidaknya ada 11 pemerintah daerah di Rusia yang menawarkan insentif serupa, salah satunya di Tomsk.

    Sementara itu Pemerintah pusat Rusia sendiri dilaporklan turut meningkatkan anggaran tunjangan bersalin untuk para ibu hamil. 

    Menurut informasi yang beredar mulai tahun 2025, ibu yang pertama kali melahirkan akan menerima insentif akan menerima sekitar 677 ribu rubel Rusia (Rp 101,5 juta),.

    Jumlah tersebut meningkat dari 630.400 (Rp 94,5 juta) rubel pada tahun 2024.

    (Tribunnews.com / Namira)

  • Rusia Vs Sanksi: Bagaimana Negara Ini Mengatasi Tekanan Internasional? – Halaman all

    Rusia Vs Sanksi: Bagaimana Negara Ini Mengatasi Tekanan Internasional? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden, baru-baru ini mengumumkan paket sanksi besar yang secara khusus menargetkan sektor minyak dan gas Rusia.

    Pengumuman tersebut disampaikan oleh Departemen Keuangan AS pada tanggal 10 Februari 2025.

    Sanksi ini diharapkan dapat mengganggu sumber pendapatan utama Rusia yang digunakan untuk mendanai konflik di Ukraina.

    Langkah Serupa oleh Inggris dan Jepang

    Setelah AS, Inggris juga mengambil langkah yang serupa dengan menjatuhkan sanksi terhadap Gazprom Neft dan Surgutneftegas.

    Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menyatakan bahwa pendapatan dari sektor minyak adalah sumber utama bagi ekonomi perang Rusia.

    Dengan menargetkan perusahaan-perusahaan tersebut, Inggris berharap dapat mengurangi kemampuan Rusia dalam melanjutkan konflik.

    Jepang tidak ketinggalan dalam menanggapi situasi ini.

    Negara tersebut baru-baru ini menyetujui sanksi tambahan yang mencakup pembekuan aset bagi puluhan individu dan kelompok, serta larangan ekspor ke sejumlah organisasi di Rusia dan negara-negara yang diduga membantu Rusia menghindari sanksi.

    Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshimasa Hayashi, menyatakan bahwa persetujuan sanksi ini menunjukkan komitmen Jepang terhadap upaya Kelompok Tujuh (G7) untuk memperkuat sanksi terhadap Rusia.

    Seberapa Besar Dampak Sanksi Ini?

    Dengan serangkaian sanksi baru yang diberlakukan oleh AS, Inggris, dan Jepang, diharapkan dapat mengurangi pendapatan Rusia yang digunakan untuk mendanai perang di Ukraina.

    Sejak invasi Moskow pada Februari 2022, lebih dari 12.300 warga sipil dilaporkan tewas.

    Para pejabat AS memperkirakan bahwa Rusia bisa kehilangan miliaran dollar per bulan akibat sanksi ini.

    Apakah Rusia Terpengaruh oleh Sanksi?

    Meskipun sanksi terus diberlakukan, Presiden Vladimir Putin mengeklaim bahwa Rusia tidak mengalami kerugian signifikan akibat tindakan tersebut.

    Dia menyatakan, “Kami mengalami pertumbuhan sementara mereka mengalami penurunan.” Sementara itu, stimulus fiskal besar yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia selama pandemi Covid-19 serta dukungan untuk perang telah membantu menahan pertumbuhan ekonomi dan menjaga tingkat pengangguran tetap rendah.

    Rusia juga melaporkan keberhasilan dalam mendukung nilai rubel dan menekan inflasi.

    Meskipun sanksi yang ada, Rusia masih mampu menjual minyak ke luar negeri dengan harga di atas batas yang telah ditetapkan oleh G7, dengan sekitar 1.000 kapal tanker bayangan digunakan untuk pengiriman.

    Di Mana Rusia Mengalihkan Penjualannya?

    Badan Energi Internasional mencatat bahwa Rusia masih mengekspor sekitar 8,3 juta barrel minyak per hari, dengan sebagian besar dikirim ke India dan China.

    Peneliti di King’s College London juga menemukan bahwa Rusia masih dapat mengimpor barang-barang Barat yang dikenakan sanksi, dengan membeli melalui negara-negara seperti Georgia, Belarus, dan Kazakhstan.

    Sanksi baru yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang merupakan upaya signifikan untuk menekan pendapatan Rusia yang digunakan untuk mendanai perang di Ukraina.

    Namun, dengan klaim keberhasilan ekonomi yang dikeluarkan oleh Rusia, masih ada pertanyaan mengenai efektivitas sanksi ini dalam mengubah dinamika konflik yang sedang berlangsung.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Pengaruh Rusia di Afrika Melemah Usai Jatuhnya Assad di Suriah – Halaman all

    Pengaruh Rusia di Afrika Melemah Usai Jatuhnya Assad di Suriah – Halaman all

    Setelah jatuhnya diktator Bashar Assad, ketidakpastian menaungi masa depan pangkalan militer Rusia di Suriah.

    Pangkalan angkatan laut di Tartus dan pangkalan udara di Hmeimim adalah satu-satunya pos militer Rusia di luar bekas Uni Soviet dan telah memainkan peran penting dalam aksi Kremlin di Afrika dan Timur Tengah.

    Hilangnya pangkalan militer di Suriah akan mempersulit operasi Korps Afrika, bekas Grup Wagner, di Mali, Burkina Faso, Niger, Republik Afrika Tengah, dan Libya, kata Beverly Ochieng, seorang analis keamanan di konsultan risiko Control Risks di Senegal. “Kami telah melihat kelompok al-Qaeda di Mali merayakan peristiwa di Suriah dan melihatnya sebagai jalan masuk yang potensial untuk lebih merusak kerja sama antara Rusia dan Mali,” kata Ochieng kepada BBC.

    Tentara bayaran menstabilkan junta

    Tentara bayaran Rusia telah membantu rezim militer tetap memegang kendali di negara-negara Sahel, yang kini berharap kepada Moskow atau Korps Afrika Rusia untuk mendapatkan dukungan.

    Korps Afrika Rusia menggantikan Grup Wagner, yang sebelumnya dipimpin oleh Yevgeny Prigozhin yang tewas dalam kecelakaan pesawat pada bulan Agustus 2023. Kremlin membantah terlibat dalam kematian Prigozhin.

    Rezim militer di Mali, Burkina Faso, dan Niger, semua negara yang dulunya merupakan koloni Prancis, dalam beberapa tahun terakhir telah memaksa Paris untuk menarik ribuan pasukan. Prancis awalnya mengerahkan personel militer di Afrika Barat atas permintaan negara-negara yang mencari bantuan dalam memerangi kelompok teror jihadis, yang terus mengancam stabilitas regional.

    Setelah beralih ke Rusia untuk mendapatkan senjata dan personel militer, junta di Afrika juga diuntungkan karena Moskow tidak mendesakkan pemulihan demokrasi.

    Cara baru bangun ketahanan

    Dengan ketidakpastian di Suriah, Rusia kemungkinan harus menunda penambahan pasukan di Burkina Faso dan Niger. Ochieng menjelaskan, setelah mengusir pasukan Barat, kedua negara menunggu Rusia mengirimkan bantuan. “Kedua negara itu berpotensi berisiko. Mereka perlu mulai melatih pasukan lokal atau mencari cara lain untuk membangun ketahanan,” kata Ochieng.

    Pada tahun 2024, Rusia dan Sudan dilaporkan setuju untuk mendirikan pangkalan angkatan laut di Port Sudan, yang memungkinkan Rusia mengakses Laut Merah. Namun Sudan menghadapi ketidakstabilan politik di tengah perang saudara. Infrastruktur di Port Sudan juga dalam kondisi buruk, kata pengamat.

    Menurut Hager Ali, ilmuwan politik dan peneliti di Institut Jerman untuk Studi Global dan Area, GIGA, konflik di Sudan penting bagi Rusia dalam perangnya melawan Ukraina. Dengan memasok senjata ke Angkatan Bersenjata Sudan, SAF, dan Pasukan Dukungan Cepat, RSF, Rusia telah memperoleh akses ke tambang emas Sudan.

    Emas menjadi semakin penting bagi Rusia saat mencoba menghindari sanksi. “Memicu perang di Sudan membantu membebaskan ekonomi Rusia agar tidak bergantung pada dolar dan melawan sanksi internasional,” kata Ali kepada DW.

    Serdadu Rusia, banyak dari mereka adalah mantan tentara bayaran Wagner, juga menguasai tambang emas Intahaka di Mali utara, aset penting yang strategis yang telah lama diperebutkan oleh berbagai kelompok bersenjata.

    Di Niger, Rusia secara aktif mengejar konsesi uranium, yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh Prancis atas sumber daya penting. Analis mengatakan ini merupakan bagian dari strategi geopolitik Rusia yang lebih luas untuk menantang dominasi Barat atas mineral dan cadangan energi Afrika, dan memposisikan dirinya sebagai pemain kunci dalam persaingan sumber daya global.

    Akses ke Sahel dari Libya

    Libya secara logistik lebih dekat ke Sahel daripada Sudan, menurut Ochieng. Rusia saat ini memiliki hampir 2.000 personel bersenjata di Libya pada akhir tahun 2024. Negara yang luas dan kaya sumber daya itu terbagi. Pemerintah yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa berada di ibu kota Tripoli di barat, sementara pemerintahan saingan Jenderal Khalifa Haftar di Tobruk mengendalikan wilayah Libya timur, termasuk Benghazi.

    Libya tetap berada dalam kelumpuhan politik setelah penundaan pemilihan umum pada akhir tahun 2021. Meski demikian, negeri di utara Afrika itu merupakan pangkalan penting bagi Rusia, paling tidak karena terbatasanya kapasitas negara membuat Rusia mudah untuk bergerak diam-diam, kata Ali.

    Dari Libya, Rusia dapat memperoleh akses ke seluruh Sahel, kata Ali. “Rusia memasok perang di Libya melalui Khalifa Haftar dengan menyelundupkan senjata ke zona konflik dan emas keluar dari negara tersebut. Ada peluang untuk memperdalam hubungan dengan Haftar dan mengakses konflik lainnya,” katanya kepada DW.

    Ulf Laessing, direktur program Sahel di Konrad Adenauer Foundation (KAS) di Mali, berpendapat bahwa memasok pangkalan militer di benua Afrika dari Libya akan menjadi jauh lebih mahal. “Tidak mungkin lagi membawa material melalui kapal, jarak penerbangan jauh lebih jauh dan sangat tidak aman.”

    “Rusia pertama-tama harus berinvestasi besar di pangkalan ini untuk mengatur penerbangan ke negara-negara Afrika,” jelasnya.

    Tidak ada perluasan lebih lanjut di Afrika

    “Dalam beberapa minggu terakhir, kita telah melihat bagaimana peralatan militer telah diterbangkan keluar dari Suriah, beberapa di antaranya ke Libya dan Libya timur,” kata Laessing.

    Rusia telah mendukung Khalifa Haftar, yang telah menyerahkan empat pangkalan untuk digunakan oleh Rusia. Namun, masa depan Haftar yang berusia 81 tahun tidak pasti, kata Laessing. “Dia telah berupaya menjalin hubungan dengan Barat, Prancis, AS, dan Italia. Sejauh ini mereka telah memberikan tekanan kepada Haftar agar tidak memberi Rusia pangkalan lagi.”

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

  • Putin Siap Bertemu Trump, Kremlin Jamin Tak Pakai Syarat-Bilang Gini

    Putin Siap Bertemu Trump, Kremlin Jamin Tak Pakai Syarat-Bilang Gini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Rusia Vladimir Putin menyambut terbuka rencana pembicaraan dengan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Hal ini disampaikan oleh Kremilin pada Jumat (10/1/2025).

    “Presiden (Putin) telah berulang kali menyatakan keterbukaannya untuk berhubungan dengan para pemimpin internasional, termasuk presiden AS, termasuk Donald Trump,” kata juru bicara Putin Dmitry Peskov kepada wartawan, seperti dikutip AFP.

    Kremlin juga menyambut baik kesiapan Trump untuk menyelesaikan masalah melalui dialog. Peskov kemudian menambahkan, Moskow tidak memiliki prasyarat untuk mengadakan pertemuan.

    “Tidak ada syarat yang diperlukan. Apa yang diperlukan adalah keinginan bersama dan kemauan politik untuk memecahkan masalah melalui dialog,” kata Peskov.

    Sebelumnya pada Kamis (9/1/2025), Trump mengatakan pertemuan dengan Putin sedang diatur.

    “Dia ingin bertemu, dan kami sedang menyiapkannya,” kata Trump pada pertemuan dengan gubernur Republik di resor Mar-a-Lago di Palm Beach, Florida.

    “Presiden Putin ingin bertemu, dia mengatakan bahwa bahkan secara terbuka, dan kita harus menyelesaikan perang itu, itu adalah kekacauan berdarah,” katanya.

    Trump, yang akan dilantik pada 20 Januari, telah berulang kali mengatakan ia dapat mengakhiri konflik hampir tiga tahun antara Rusia dan Ukraina. Namun ia tidak menjelaskan rencana tersebut secara konkret.

    Harapan Trump untuk mengakhiri konflik dengan cepat telah memicu kekhawatiran di Kyiv bahwa Ukraina dapat dipaksa untuk menerima kesepakatan damai dengan syarat yang menguntungkan Moskow.

    Washington telah mengirimkan bantuan puluhan miliar dolar ke Ukraina sejak Rusia meluncurkan serangan militer skala penuh pada Februari 2022.

    (dce)

  • Indonesia Gabung BRICS, Bahlil Buka Peluang Impor Minyak Rusia

    Indonesia Gabung BRICS, Bahlil Buka Peluang Impor Minyak Rusia

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membuka kemungkinan Indonesia membeli minyak dari Rusia. Hal ini seiring dengan bergabungnya Indonesia dengan forum ekonomi BRICS.

    BRICS merupakan aliansi negara yang dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Sebelumnya, BRICS juga telah berhasil menambah beberapa negara anggota baru, yakni Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.

    Bahlil menuturkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut azas bebas aktif. Dengan kata lain, Indonesia bisa menjalin kerja sama dengan negara mana saja selama tidak melanggar aturan.

    Oleh karena itu, dia mengatakan sah-sah saja jika kelak ada peluang untuk RI bisa membeli minyak dari Rusia. Di sisi lain, saat ini Rusia masih menerima sanksi dari negara Barat imbas invasi ke Ukraina.

    “Ketika kita bangun dengan BRICS, dan kemudian ada peluang untuk kita mendapatkan minyak dari Rusia, selama itu sesuai aturan, dan tidak ada persoalan, kenapa tidak?” kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/1/2025).

    Dia pun mengatakan Indonesia bakal tetap mengambil peluang kerja sama dengan negara mana saja selama itu menguntungkan. Menurutnya, hal ini tak hanya berlaku bagi negara anggota BRICS, tetapi juga dengan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

    “Artinya, semua peluang yang menguntungkan Indonesia, baik bergabung dengan BRICS maupun dengan OECD, itu saya pikir nggak ada masalah,” kata Bahlil.

    Sebelumnya, Pemerintah Rusia menyambut baik bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh forum ekonomi BRICS. Pernyataan tersebut disampaikan melalui keterangan Kementerian Luar Negeri Rusia.

    Rusia mengatakan pencalonan Indonesia telah diajukan dan disetujui sebelumnya selama fase pertama ekspansi BRICS pada KTT di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 2023.

    “Namun, karena pemilihan presiden 2024, Indonesia memutuskan untuk menunda permintaan resmi Jakarta sambil menunggu pelantikan kepala negara yang baru dan penunjukan kabinet yang baru,” demikian ungkap Kemlu Rusia dalam keterangan resminya.

    Kemlu Rusia mengatakan Indonesia memiliki kesamaan nilai dengan BRICS yang mendukung kerja sama multilateral berdasarkan prinsip-prinsip saling menghormati, keterbukaan, pragmatisme, solidaritas, dan konsensus.

    “Keanggotaan Indonesia dalam BRICS akan membantu meningkatkan otoritas dan prestise kelompok ini lebih jauh lagi,” ungkapnya.

    Rusia mengatakan pihaknya akan memfasilitasi konsolidasi yang konsisten antara negara-negara Selatan dan Timur untuk membangun tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang.

  • Zelensky Usul Tendang Negara Ini dari NATO, Ukraina Penggantinya

    Zelensky Usul Tendang Negara Ini dari NATO, Ukraina Penggantinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Ukraina dilaporkan telah menawarkan diri untuk menggantikan Hungaria di NATO dan Uni Eropa (UE). Hal ini terjadi saat Budapest terus mengambil langkah yang kontra dengan bantuan aliansi itu ke Ukraina dan mengkritik langkah Kyiv yang tak mau memperpanjang kontrak transit gas dengan musuhnya, Rusia.

    Dalam pernyataan yang dipublikasikan pada hari Rabu (8/1/2025), Kementerian Luar Negeri Ukraina menulis bahwa Hungaria telah mengambil langkah provokatif dengan menentang keputusan Kyiv yang tak memperpanjang kontrak transit gas Moskow, yang mengalir via negara itu ke Eropa. Padahal, hal ini tidak akan berdampak besar pada UE.

    “Padahal Komisi Eropa dengan jelas mengindikasikan bahwa keputusan Ukraina yang diumumkan sebelumnya tidak berdampak buruk pada keamanan energi negara-negara UE atau harga konsumen di pasar Eropa,” tulis pernyataan itu.

    Kementerian itu mengatakan bahwa hanya dua dari 27 negara UE yang berjuang untuk mengamankan ekonomi dan warga negara mereka dengan pasokan energi alternatif dari Amerika Serikat dan Timur Tengah. Tanpa menjelaskan dua negara itu, Kyiv menuding bahwa keduanya sedang mempertahankan hubungan yang kuat dengan Moskow.

    “Kedua negara berada dalam upaya mempertahankan hubungan energi dengan Rusia telah secara efektif menghalangi akses ke pasar energi Eropa untuk sumber daya dari Amerika Serikat dan mitra lainnya,” tambah Kyiv.

    Setelah pernyataan tersebut, Ukraina langsung mengalamatkan kembali tudingan kepada Hungaria. Kyiv menyebut bahwa dengan sikap seperti ini, Budapest harusnya keluar dari NATO dan UE.

    “Jika pihak Hungaria memprioritaskan penguatan Rusia daripada UE dan Amerika Serikat, mereka harus mengakuinya secara terbuka. Ukraina akan siap mengisi kekosongan di UE dan NATO jika Hungaria memilih untuk mengosongkannya demi keanggotaan di CIS atau CSTO (Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif dan Persemakmuran Negara-negara Merdeka),” tulis pernyataan itu lagi, menyebut dua organisasi tandingan yang dibentuk Rusia.

    Hal ini sontak menimbulkan reaksi Hungaria. Menteri Luar Negeri Hungaria Péter Szijjártó kembali mengkritik RUU parlemen Ukraina yang mengusulkan penutupan rute transportasi gas alam dan minyak bumi dari Rusia selama keadaan perang. Ia juga menyebut keputusan bergabung dengan UE harus disepakati semua pihak.

    “Ukraina perlu fokus pada realitas: di negara-negara anggota UE memutuskan dengan suara bulat tentang perekrutan anggota baru. Dengan kata lain, setiap negara anggota harus memberikan suara setuju,” tuturnya.

    “Hak kedaulatan setiap negara untuk memutuskan dari mana dan melalui rute mana ia mengambil pembawa energi yang diperlukan untuk operasinya. Tidak ada pihak luar yang memiliki hak dalam hal ini. Tidak ada pihak yang berhak memaksakan pengadaan energi yang lebih mahal dan tidak aman pada negara lain.”

    Ukraina dan Hungaria pernah berselisih beberapa kali karena hubungan dekat Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Perdana Menteri Viktor Orbán. Budapest juga menentang berbagai sanksi Eropa terhadap Rusia.

    Budapest kemudian memperluas impor gas Rusia sejak perang dimulai hampir empat tahun lalu dan telah menyuarakan penentangannya terhadap bantuan militer dan keuangan Eropa untuk Ukraina.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah mendorong untuk ‘memajukan; masuknya Kyiv ke NATO sebagai bagian dari ‘rencana kemenangannya’ yang diperkenalkan pada musim gugur 2024. Banyak negara, termasuk Hungaria, menentang langkah ini.

    Ukraina juga mengajukan permohonan untuk bergabung dengan UE segera setelah perang dimulai pada Februari 2022. UE kemudian memutuskan untuk memulai negosiasi aksesi dengan Kyiv pada 2023, dengan pertemuan pertama berlangsung pada Juni 2024.

    (luc/luc)