Negara: Ukraina

  • Politikus AS Akui Rusia Sudah Menangkan Ronde Pertama Melawan Trump – Halaman all

    Politikus AS Akui Rusia Sudah Menangkan Ronde Pertama Melawan Trump – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Seorang politikus Partai Demokrat di Amerika Serikat (AS) mengklaim Rusia telah memenangkan ronde pertama dalam pertarungan melawan Presiden AS Donald Trump.

    Jake Auchinos, nama politikus tersebut, mengatakan hal itu setelah Trump dalam beberapa hari belakangan berupaya mengakhiri perang Ukraina-Rusia.

    “Rusia telah memenangkan ronde pertama melawan Trump. Kremlin telah dinormalisasi dalam diplomasi bilateral tanpa menyertakan Ukraina dan NATO, dan Rusia tidak menyerahkan apa pun sebagai imbalannya,” kata Auchinos dalam tulisannya di media sosial X hari Kamis, (20/2/2025).

    Trump dan pemerintahannya menimbulkan kegemparan di Barat lantaran membahas upaya mengakhiri perang tanpa mengundang Ukraina dan NATO untuk ikut berbicara.

    Emma Ashford, seorang peneliti di lembaga kajian bernama Stimson Center di Washington, mengatakan tindakan pemerintahan Trump yang melakukan pembicaraan secara terbatas mungkin saat ini bisa dibenarkan.

    “Bahwa Ukraina tidak berada di dalam ruangan [pembicaraan] tentunya bukan hal yang ideal. Meski demikian, saya meyakini kelak Ukraina akan ikut dalam pembicaraan itu,” kata Ashford dikutip dari Reuters.

    “Namun, pemerintahan Trump barangkali benar karena menyertakan berbagai rekan Eropa di ruang pembicaraan mungkin bisa memunculkan terlalu banyak suara dan susah mencapai kemajuan apa pun.”

    Beberapa waktu lalu Trump menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin. Lalu, awal pekan ini para pejabat senior Rusia dan AS bertemu di Arab Saudi guna berembuk tentang upaya memperbaiki hubungan Rusia-AS yang memburuk saat Biden berkuasa.

    Trump memuji peran Arab Saudi dalam memfasilitasi pertemuan itu dan menyebutnya sangat sukses. Lalu, dia menekankan kembali upaya pemerintahannya untuk mengakhiri krisis Ukraina.

    Di sisi lain, pertemuan itu memicu ketegangan antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Zelensky berkata perundingan itu seharusnya tidak dilakukan tanpa keterlibatan Ukraina.

    Pernyataan Zelensky kemudian dikritik oleh Trump. Tak hanya itu, Trump menyebut Zelensky sebagai “diktator tanpa pemilu” yang menguras sumber daya AS dan tidak berusaha mencari solusi diplomatik dengan Rusia.

    Trump mengklaim Zelensky ingin “terus mendapat uang banyak dengan usaha kecil”.

    Zelensky tak bungkam saja atas kritik Trump. Sebelumnya, dia pernah menuding Trump menyebarkan “disinformasi dari Rusia” perihal angka kepuasan terhadap Zelensky yang kecil di Ukraina.

    Sementara itu, tiga pejabat intelijen Barat menyebut tidak ada bukti yang menunjukkan tujuan Putin telah berubah. 

    Ketiganya mengatakan Putin tetap ingin mempertahankan wilayah Ukraina yang sudah dicaplok Rusia. Lalu, Putin juga masih punya tujuan jangka panjangnya, yakni memperpanjang cengkeramannya di Eropa.

    “Putin tidak akan berhenti di Ukraina,” kata Darius Jauniskis, Direktur Departemen Keamanan Negara.

    Pakar: Rusia sudah menang lawan Barat

    Seorang sejarawan dan pakar politik internasional asal Jerman bernama Tarik Cyril Amar mengklaim Rusia telah menang melawan Barat setelah Trump menelepon Putin.

    “Itu jelas kabar baik bagi dunia karena AS akhirnya mengakhiri kebijakan buruk antidiplomasi terhadap Rusia, negara besar lainnya dengan banyak senjata nuklir,” kata Amar dikutip dari Russia Today.

    “Poin terpenting dari perbincangan telepon kemarin adalah bahwa Rusia sudah menang dalam perang melawan Barat.”

    Amar mengatakan perang di Ukraina adalah perang setengah proksi. Barat melawan Rusia secara tidak langsung, dan sering dengan setengah hati.

    Menurut dia, kekalahan Barat ini sebenarnya bisa dengan mudah dihindari jika Barat bersedia berkompromi dengan Rusia atau tetap menjauh dari perang antara Rusia dan Ukraina.

    “Sekaranga realitas terbarunya adalah bahwa Barat bisa dihentikan dan dipaksa untuk berunding dengan syarat-syarat dari musuhnya (Rusia), dan seluruh dunia mengetahui ini sebagai fakta yang telah teruji, empiris.”

    “Ini titik balik yang bersejarah dan kabar baik bagi kemanusiaan. Gaungnya akan terdengar selama puluhan tahun.”

    Amar berkata perang di Ukraina adalah tragedi yang begitu besar dan sebenarnya tidak diperlukan.

    Lalu, dia mengatakan apa yang bakal terjadi antara AS dan Rusia belum bisa diprediksi. Meski demikian, dia menyebut hubungan buruk antara AS dan Rusia bisa jadi akan mereda.

    Trump: Mengatasi konflik di Timteng dan Ukraina jadi tujuan utama

    Trump mengatakan mengatasi konflik di Timur Tengah dan Ukraina adalah tujuan utama kebijakan luar negeri AS saat ini.

    Politikus Partai Republik itu menegaskan kembali keinginannya untuk dikenang sebagai seorang “pencipta perdamaian” dan sosok pemersatu.

    Lalu dia, Trump mengklaim kemenangannya dalam Pilpres AS 2024 sangatlah penting demi mencegah pecahnya Perang Dunia Ketiga.

    Trump berujar jika lawannya saat itu, Kamala Harris, menang pilpres, perang berskala dunia bisa muncul hanya dalam waktu setahun.

    “Tak ada keuntungan apa pun bagi seseorang yang terlibat dalam Perang Dunia Ketiga, dan kalian tidak jauh-jauh amat dari perang itu,” ucap Trump dalam acara di Miami Beach hari Rabu, (20/2/2025), dikutip dari Sputnik.

    “Jika pemerintahan ini (Joe Biden) berlanjut hingga tahun berikutnya, kalian akan masuk ke dalam Perang Dunia Ketiga, dan sekarang perang ini tak akan terjadi.”

    Adapun dalam pidato perpisahan di Kementerian Luar Negeri bulan lalu, Joe Biden yang saat itu masih menjadi presiden berkata bahwa tujuan terbesarnya ialah “menyatukan dunia dan membela Ukraina” dan “mencegah perang di antara dua negara nuklir.”

    Trump mengkritik Biden dan para anak buahnya yang menurut Trump tak becus sekali. Dia kerap berujar bahwa berkat kepemimpinannya, ketegangan akibat Ukraina tidak akan memburuk menjadi konflik bersenjata.

    (*)

  • Zelensky Bertemu Utusan AS usai Disebut Trump Diktator

    Zelensky Bertemu Utusan AS usai Disebut Trump Diktator

    Jakarta

    Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky bertemu dengan utusan Amerika Serikat (AS) Keith Kellogg setelah Presiden Donald Trump menyebutnya diktator. Namun, tak ada pernyataan bersama antara Zelensky maupun Kellogg usai pertemuan itu.

    Diketahui, Amerika Serikat telah memberikan dana dan senjata penting ke Ukraina. Namun kini, presiden AS telah mengguncang Kyiv dan para pendukungnya di Eropa dengan membuka pembicaraan dengan Moskow.

    Di tengah perang kata-kata antara Kyiv dan sekutu terbesarnya, juru bicara Zelensky mengatakan tidak akan ada pernyataan publik di Kyiv setelah pembicaraan dengan Kellogg.

    Biasanya utusan yang berkunjung, terutama dari pendukung dekat, akan mengadakan konferensi pers bersama setelah pembicaraan.

    “Atas permintaan pihak Amerika, format pertemuan tersebut menyediakan perekaman protokol dan tidak menyertakan pernyataan atau pertanyaan,” kata juru bicara Zelensky Sergiy Nykyforov kepada wartawan.

    Di Amerika Serikat, penasihat keamanan utama Trump mengatakan pada hari Kamis bahwa kritik Zelensky terhadap presiden AS “tidak dapat diterima” dan mendesaknya untuk menandatangani kesepakatan yang memberikan akses istimewa ke mineral dan sumber daya alam penting Ukraina.

    “Kami mendapatkan semua penolakan ini… mereka perlu meredamnya dan mencermati serta menandatangani kesepakatan itu,” kata Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz kepada Fox News.

    Diketahui, tensi hubungan AS dan Ukraina memanas. Presiden AS Donald Trump melontarkan kritik kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai diktator.

    “Seorang diktator tanpa pemilu, Zelensky lebih baik bergerak cepat atau dia tidak akan punya negara yang tersisa,” tulis Trump di platform Truth Social dilansir AFP, Kamis (20/2/2025).

    Pernyataan Trump ini menambah ketegangan yang melibatkan Trump dan Zelensky dalam upaya mengakhiri konflik Rusia dan Ukraina. Zelensky sempat menyebut Trump menerima informasi yang salah dari Rusia usai Presiden Amerika itu menyebut Ukraina sebagai pemicu perang dengan Rusia.

    Dalam kritik yang dilontarkan di platform Truth Social, Trump juga mempertanyakan legitimasi Zelensky sebagai Presiden Ukraina. Jabatan Zelensky sedianya berakhir tahun lalu, namun diperpanjang atas pertimbangan darurat militer.

    “Dia menolak untuk mengadakan pemilu, nilainya sangat rendah dalam jajak pendapat di Ukraina, dan satu-satunya hal yang dia kuasai adalah mempermainkan (Joe) Biden ‘seperti biola,’” kata Trump dalam postingan Truth Social.

    (aik/aik)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • 7 Fakta Baru Good Bye Perang Rusia: Putin Buka Suara-Ukraina Kritis

    7 Fakta Baru Good Bye Perang Rusia: Putin Buka Suara-Ukraina Kritis

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perang antara Rusia dan Ukraina masih terus terjadi hingga hari ini. Meski Moskow sudah bertemu delegasi dari Amerika Serikat (AS), yang merupakan sekutu dan penyokong utama Kyiv, belum ada tanda-tanda yang jelas kapan peperangan tersebut akan berhenti.

    Sebelumnya, Rusia melancarkan serangan skala besar terhadap Ukraina Timur atau Donbass pada 24 Februari 2024. Moskow berupaya merebut wilayah itu dengan alasan diskriminasi rezim Kyiv terhadap wilayah itu, yang mayoritas dihuni etnis Rusia, serta niatan Ukraina untuk bergabung bersama aliansi pertahanan Barat, NATO.

    Hingga saat ini, peperangan masih terus terjadi. Berikut perkembangan terbarunya sebagaimana dirangkum dari berbagai sumber oleh CNBC Indonesia, Kamis (19/2/2025):

    1. Putin Buka Suara soal Pertemuan AS-Rusia

    Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan diskusi itu sebagai awalan perdamaian yang baik. Meski belum menghasilkan perjanjian konkret, Putin menyebut pertemuan keduanya membuka kembali keran kerja sama AS-Rusia di berbagai konflik seperti Ukraina dan Timur Tengah.

    “Saya mengidentifikasi beberapa bidang yang berpotensi menjadi kepentingan bersama bagi Moskow dan Washington, termasuk kerja sama di Timur Tengah, khususnya mengenai konflik Israel-Palestina dan situasi di Suriah, serta kolaborasi ekonomi, upaya bersama di pasar energi internasional, dan eksplorasi ruang angkasa. Namun konflik yang sedang berlangsung di Ukraina tetap menjadi fokus utama bagi kedua negara,” ujarnya dikutip Russia Today (RT).

    Putin juga mengalamatkan pernyataan keras kepada sejumlah negara Eropa dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang merasa terganggu karena tidak dilibatkan dalam pembicaraan terkait perang Moskow dan Kyiv. Menurutnya, pembicaraan itu hanya membahas hubungan AS dan Rusia.

    “Apakah ada yang ingin bertindak sebagai perantara antara Rusia dan AS? Tuntutan seperti itu berlebihan. Membangun kembali kepercayaan antara Rusia dan AS sangat penting untuk mengatasi sejumlah masalah mendesak, termasuk menyelesaikan konflik Ukraina,” tambahnya.

    2. Trump Sebut Zelensky Diktator

    Sindiran keras juga dialamatkan Presiden AS Donald Trump. Presiden yang baru dilantik 20 Januari lalu itu bahkan menyebut Zelensky sebagai seorang diktator karena Zelensky tidak dipilih secara demokratis kembali untuk menjadi presiden. Diketahui, pemilihan umum di Ukraina ditunda karena perang.

    “Zelensky membujuk AS untuk menghabiskan US$ 350 miliar dolar, untuk terlibat dalam perang yang tidak dapat dimenangkan. Zelensky menolak untuk menyelenggarakan pemilu, posisinya sangat rendah dalam jajak pendapat Ukraina. Seorang diktator tanpa pemilu, Zelensky sebaiknya bergerak cepat atau dia tidak akan memiliki negara lagi,” kata Trump memperingatkan presiden Ukraina itu di akun X resminya.

    Di kesempatan yang berbeda, Trump juga mengatakan bahwa para pemimpin Ukraina itu seharusnya tidak pernah membiarkan konflik dimulai, yang mengindikasikan bahwa Kyiv seharusnya bersedia memberikan konsesi kepada Rusia sebelum mengirim pasukan ke Ukraina pada tahun 2022.

    “Hari ini saya mendengar, ‘Oh, baiklah, kami tidak diundang.’ Ya, Anda sudah berada di sana selama tiga tahun. Anda seharusnya mengakhirinya tiga tahun lalu,” kata Trump kepada wartawan di kediamannya di Florida. “Anda seharusnya tidak pernah memulainya. Anda bisa membuat kesepakatan.”

    3. Ukraina Kritis

    Kemajuan di medan perang kembali didapatkan oleh Rusia. Putin mengatakan Rusia telah memasuki Wilayah Sumy di timur laut Ukraina untuk pertama kalinya sejak 2022.

    Berbicara singkat tentang situasi medan perang dengan wartawan di St. Petersburg, Putin menyebut pada Rabu dini hari, para prajurit dari Brigade Infanteri Angkatan Laut ke-810 “melintasi perbatasan antara Federasi Rusia dan Ukraina dan memasuki wilayah musuh.”

    “Pasukan kami melakukan serangan di semua bagian garis depan,” tambahnya, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

    Kementerian Pertahanan Rusia kemudian mengunggah video rudal balistik Iskander yang menghantam posisi artileri Ukraina di Wilayah Sumy. Selain itu, ada juga rekaman prajurit infanteri Angkatan Laut Rusia yang menerbangkan pesawat nirawak kamikaze ke parit yang diisi tentara Kyiv.

    4. Trump Sebut Dirinya ‘Juru Selamat’ PD 3

    Presiden AS Donald Trump berpendapat bahwa kemenangan elektoralnya sangat penting dalam mencegah Perang Dunia III (PD3). Ia mengklaim bahwa jika mantan Wakil Presiden Kamala Harris terpilih November lalu, konflik global akan muncul dalam waktu satu tahun.

    Trump menegaskan kembali keinginannya untuk dikenang sebagai pembawa perdamaian dan pemersatu. Ia mengatakan bahwa menyelesaikan konflik di Timur Tengah dan Ukraina adalah tujuan utama kebijakan luar negerinya.

    “Tidak ada keuntungan bagi siapa pun dalam Perang Dunia III, dan Anda tidak begitu jauh darinya,” kata Trump kepada hadirin. “Jika kita memiliki pemerintahan ini selama satu tahun lagi, Anda akan berada dalam Perang Dunia III, dan sekarang itu tidak akan terjadi.”

    5. Zelensky Tuding Trump

    Presiden Ukraina Zelensky mengungkapkan bahwa Presiden AS Donald Trump telah melempar kampanye disinformasi terhadapnya. Hal ini terjadi setelah Trump mengklaim tingkat penerimaan terhadap Zelensky sangat rendah, hingga 4%.

    Dalam pernyataannya, Zelensky mengutip jajak pendapat Ukraina sebagai bukti yang bertentangan dengan skeptisisme Trump tentang tingkat dukungan publik yang dinikmatinya.

    “Pejabat Ukraina menyadari disinformasi ini dan menyadari bahwa itu berasal dari Rusia. Saya menekankan jika ada yang ingin menggantikan saya sekarang, itu tidak akan terjadi,” ujarnya.

    6. Kremlin Bahas Pertemuan Trump-Putin

    Presiden Rusia Vladimir Putin dan mitranya dari AS, Donald Trump, dapat bertemu pada akhir Februari. Hal ini dikatakan Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov. Dalam pernyataannya, ia menyebut masih ada kendala yang harus diselesaikan mengenai pengaturan pertemuan, yang mungkin memakan waktu lebih lama.

    “Kedua pemimpin itu bisa bertemu bulan ini. Mungkin diperlukan lebih banyak waktu untuk mengatur pertemuan tatap muka pertama antara presiden Rusia dan AS sejak 2021, mungkin. Atau mungkin tidak,” kata Peskov.

    7. Warga Eropa Teriak

    Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengecilkan pengaruhnya dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) membuat warga di negara anggota aliansi itu resah. Keresahan dirasakan warga di negara NATO yang berbatasan dengan Rusia, yang bersitegang dengan aliansi itu setelah Moskow menyerang Ukraina.

    Mengutip Reuters, langkah-langkah Trump terhadap Ukraina, Rusia, dan pertahanan Eropa dalam beberapa hari terakhir telah menjungkirbalikkan keyakinan lama bahwa Washington akan bertindak sebagai penjamin keamanan benua itu.

    Dan dengan Trump yang tampaknya menyalahkan Kyiv karena memulai konflik dan pada saat yang sama mencairkan hubungan dengan Moskow, beberapa warga Polandia khawatir bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin akan merasa berani untuk menyerang lebih banyak negara, termasuk sejumlah negara NATO yang berbatasan dengannya.

    “Kebijakan luar negeri AS sangat menakutkan saya. Saya merasakan stabilitas ini, dan setelah Polandia bergabung dengan NATO, setelah bergabung dengan Uni Eropa, saya pikir kita memiliki momen perdamaian ini, tetapi ternyata itu hanya sesaat,” kata seorang warga Polandia bernama Katarzyna Paprota.

    Pensiunan Latvia bernama Silvija Spriedniece, 84 tahun, juga khawatir tentang kemungkinan agresi Rusia. Menurutnya, dengan kebijakan Trump yang sedikit melepaskan tangannya untuk Eropa, Putin dapat menjelma menjadi agresor.

    “Saya bukan politisi, tetapi saya mengerti bahwa Trump ini bukan pertanda baik bagi kita. Putin sudah menjadi agresor seperti Stalin, Hitler, dan yang lainnya. Kita tidak bisa mengharapkan sesuatu yang baik di sana,” tandasnya

    (sef/sef)

  • Macron Jadi Penjamin, Beberkan Isi Pertemuan Darurat Dedengkot Uni Eropa soal Perdamaian Ukraina – Halaman all

    Macron Jadi Penjamin, Beberkan Isi Pertemuan Darurat Dedengkot Uni Eropa soal Perdamaian Ukraina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Negara-negara di Eropa yang bermitra dengan Ukraina menjalin persatuan dalam situasi perang dengan Rusia.

    Mereka menyatakan akan terus mendukung Ukraina dan memikul tanggung jawab atas perdamaian dan keamanan di Eropa.

    Demikian dikatakan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron setelah pertemuan darurat dengan mitranya di Uni Eropa dan Kanada, Islandia, serta Norwegia.

    “Kami mendukung Ukraina dan akan bertanggung jawab penuh untuk memastikan perdamaian dan keamanan di Eropa. Ini adalah kepentingan mendasar Prancis dan saya adalah penjaminnya,” tulis Presiden Prancis di  X pada Kamis (20/2/2025) pagi.

    Ia menekankan, Prancis dan mitra-mitranya memiliki pandangan yang sama dengan Presiden AS Donald Trump dalam mengakhiri perang yang dilancarkan Rusia terhadap Ukraina.

    Dalam upaya mereka untuk mencapai perdamaian, mitra Eropa akan terus mematuhi prinsip-prinsip berikut:

    Ukraina harus selalu diikutsertakan, dan hak-haknya harus dihormati.
    Perdamaian harus abadi dan disertai dengan jaminan yang kuat dan dapat dipercaya.
    Kekhawatiran keamanan orang Eropa harus diperhitungkan.

    “Kami yakin akan perlunya meningkatkan anggaran dan kemampuan pertahanan dan keamanan kami untuk Eropa dan masing-masing negara kami. Keputusan akan diambil dalam beberapa hari dan minggu mendatang,” tambahnya.

    Macron mengadakan pertemuan setelah utusan khusus Presiden AS untuk Rusia dan Ukraina, Keith Kellogg, menyatakan, AS tidak menganggap Eropa sebagai mitra di meja perundingan  untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina.

    Sebelumnya, pada Senin (17/2/2025), Presiden Prancis mengadakan pertemuan darurat yang dihadiri oleh para pemimpin negara-negara utama Uni Eropa dan Inggris – totalnya delapan negara – bersama dengan Sekretaris Jenderal NATO dan pejabat senior Uni Eropa.

    Menlu AS Membantah

    Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, pada hari Minggu (16/2/2025), menegaskan Uni Eropa akan ikut serta menjadi bagian dari setiap “perundingan nyata” untuk mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina.

    Pernyataan ini, dikemukakan Rubio guna menjawab sejumlah tudingan yang keluar setelah munculnya kabar AS bakal menggelar pertemuan minggu ini dengan Rusia.

    Rubio membantah tudingan yang menyebut, Uni Eropa tak akan dilibatkan dalam negosiasi damai di Ukraina setelah Rusia dan Amerika Serikat menggelar pertemuan di Arab Saudi dalam beberapa hari mendatang.

    Dikutip dari wawancaranya dengan CBS, Rubio mengatakan, proses perundingan belum dimulai secara serius kala kedua negara bertemu di Saudi pekan ini.

    Diplomat Amerika tersebut, mengaku Uni Eropa baru dilibatkan jika pembicaraan terkait negosiasi damai berkembang.

    Rubio memastikan, Ukraina dan negara-negara Eropa lainnya akan dilibatkan dalam setiap perundingan yang bermakna.

    “Pada akhirnya, kita harus menunggu hingga mencapai titik di mana pertemuan ini (dengan Rusia) menghasilkan sebuah perundingan nyata, dan kita belum sampai di sana” ungkap Rubio dalam acara “Meet the Press” di CBS.

    “Akan tetapi, jika kesepakatan itu terjadi, Ukraina harus dilibatkan karena mereka negara yang diserang, dan Eropa harus dilibatkan karena mereka juga memberlakukan sanksi terhadap Putin dan Rusia,” lanjut Rubio.

    “Tapi terus terang, Kita belum sampai di tahapan sana,” pungkas mantan senator Florida tersebut.

    Sebelumnya pada hari Minggu, Reuters melaporkan pejabat AS telah memberikan kuesioner kepada pejabat Eropa, antara lain menanyakan berapa banyak pasukan yang dapat mereka sumbangkan untuk menegakkan kesepakatan damai antara Ukraina dan Rusia.

    “Presiden Trump berbicara dengan Vladimir Putin minggu lalu, dan dalam percakapan itu, Vladimir Putin menyatakan minatnya pada perdamaian, dan presiden menyampaikan keinginannya untuk melihat konflik ini berakhir dengan cara yang tahan lama serta melindungi kedaulatan Ukraina,” kata Rubio.

    “Sekarang, jelas itu harus diikuti dengan tindakan, jadi beberapa minggu dan hari ke depan akan menentukan apakah ini serius atau tidak. Pada akhirnya, satu panggilan telepon belum bisa menciptakan perdamaian.” sambung Rubio

    Rubio mengatkan, pertemuan di Arab Saudi bukanlah hal yang mendadakan karena dirinya sebelumnya sudah dijadwalkan untuk melakukan kunjungan resmi jauh hari sebelum dialog dengan Rusia diumumkan.

    Ia juga mengaku, komposisi delegasi Rusia yang akan ditemuinya masih belum final.

    Ketika ditanya apakah ia telah membahas pencabutan sanksi terhadap Rusia selama panggilan telepon dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada hari Sabtu (15/2/2025), Rubio menolak memberikan konfirmasi.

    Rubio hanya mengatakan, mereka tidak membahas detail pembicaraan apa pun untuk saat ini.

    Di lain pihak, Moskow menyatakan, kedua belah pihak telah membahas penghapusan “hambatan sepihak” yang diberlakukan oleh pemerintahan AS sebelumnya dalam hubungan dengan Rusia.

    Rubio mengatakan, ia memang membahas kondisi operasional “yang sulit” dari kedutaan AS di Moskow dengan Lavrov.

    Jika ada kemajuan dalam upaya perdamaian di Ukraina, baik Rusia maupun AS membutuhkan kedutaan yang berfungsi dengan baik di negara masing-masing, tambahnya.

    Kekhawatiran Uni Eropa

    EMMANUEL MACRON – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English pada Jumat (14/2/2025) yang menampilkan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Emmanuel Macron menghelat KTT darurat Uni Eropa pada hari Senin (17/2/2025) terkait perang di Ukraina. (Tangkap layar YouTube Al Jazeera English)

    Prasangka buruk terhadap pertemuan antara AS dan Rusia ini secara terang-terangan disampaikan oleh sejumlah pemimpin di negara-negara Uni Eropa.

    Hal ini terlihat dari upaya Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang menghelat KTT darurat Uni Eropa pada hari Senin (17/2/2025) terkait perang di Ukraina.

    KTT darurat tersebut, digelar karena banyak pejabat di Uni Eropa yang mengaku terkejut dan “terguncang” oleh langkah-langkah administrasi Trump terkait Ukraina, Rusia, dan pertahanan Eropa dalam beberapa hari terakhir.

    Kekhawatiran utama mereka adalah, mereka tidak lagi dapat mengandalkan perlindungan militer AS.

    Selain itu, sejumlah petinggi Uni Eropa menilai Trump akan berusaha menandatangani kesepakatan damai dengan Putin secara sepihak tanpa mengikutsertakan masukan dari Uni Eropa di dalamnya.

    Upaya tersebut, diyakini Uni Eropa dilakukan Trump dan Putin untuk melemahkan Kyiv dan keamanan kontinental Eropa secara keseluruhan.

    Adapun pembicaraan yang direncanakan di Arab Saudi pada minggu ini, juga bertepatan dengan upaya AS untuk mencapai kesepakatan dengan Kyiv guna menguasai kekayaan sumber daya alam Ukraina.

    Dalam wawancara dengan NBC yang disiarkan pada hari Minggu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mempertanyakan apakah mineral di wilayah yang dikuasai Rusia akan diberikan kepada Putin.

    Trump, yang melakukan panggilan dengan Putin pada hari Rabu (12/2/2025) menyatakan bahwa pemimpin Rusia itu menginginkan perdamaian.

    Ia juga mengatakan pada hari Minggu, Putin tidak akan berusaha menguasai seluruh wilayah Ukraina.

    “Itu akan menjadi masalah besar bagi saya, karena Anda tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Saya pikir dia ingin mengakhirinya,” kata Trump kepada wartawan di West Palm Beach, Florida.

    Trump menambahkan, Zelenskyy akan dilibatkan dalam pembicaraan untuk mengakhiri konflik tersebut.

    (Tribunnews.com/ Chrysnha, Bobby)

    Artikel Lain Terkait Donald Trump dan Konflik Rusia vs Ukraina

  • IHSG BEI ditutup melemah ikuti bursa kawasan Asia

    IHSG BEI ditutup melemah ikuti bursa kawasan Asia

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    IHSG BEI ditutup melemah ikuti bursa kawasan Asia
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 20 Februari 2025 – 18:12 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore ditutup turun mengikuti pelemahan bursa saham kawasan Asia.

    IHSG ditutup melemah 6,83 poin atau 0,10 persen ke posisi 6.788,04. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 2,32 poin atau 0,28 persen ke posisi 780,79.

    “IHSG dan bursa saham regional Asia melemah seiring sikap pelaku pasar yang merespons notulen risalah The Fed Amerika Serikat (AS) dan ketidakpastian perdamaian Rusia dan Ukraina,” sebut Tim Riset Pilarmas Investindo Sekuritas dalam kajiannya di Jakarta, Kamis.

    Dalam risalah The Fed, yang mana kesiapan mempertahankan suku bunga di tengah inflasi yang tinggi dan ketidakpastian kebijakan ekonomi.

    Keputusan The Fed tentunya mencermati dinamika atas kebijakan dari Presiden AS Donald Trump, karena kebijakan tarif berpotensi akan mendorong inflasi dan juga gejolak perekonomian global.

    Hal itu memberikan dasar The Fed untuk menahan suku bunga hingga inflasi terlihat membaik, sehingga pasar mempunyai gambaran bahwa The Fed berpotensi menahan suku bunga acuan lebih lama lagi, yang tentunya juga berefek terhadap prospek suku bunga bank-bank sentral dunia.

    Selain itu, perhatian pasar lainnya pada kondisi harapan perdamaian Rusia-Ukraina yang juga menjadi perhatian Presiden AS Donald Trump.

    Pasar mengkhawatirkan rencana misi perdamaian gagal, sebelumnya Donald Trump mengecam Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy sebagai diktator dan memperingatkan bahwa harus bergerak cepat untuk mengamankan perdamaian atau berisiko kehilangan negaranya, sehingga ini akan memperdalam perseteruan antara kedua pemimpin tersebut yang telah membuat khawatir para pejabat Eropa.

    Dibuka melemah, IHSG betah di teritori negatif hingga penutupan sesi pertama perdagangan saham. Pada sesi kedua IHSG masih betah di zona merah hingga penutupan perdagangan saham.

    Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, dua sektor menguat yaitu dipimpin sektor teknologi yang naik sebesar 6,69 persen, diikuti oleh sektor barang baku yang naik sebesar 1,41 persen.

    Sementara itu, sembilan sektor menurun yaitu sektor properti turun paling dalam minus sebesar 1,23 persen, diikuti oleh sektor kesehatan dan sektor barang konsumen primer yang masing-masing turun sebesar 1,19 persen dan 1,17 persen.

    Adapun saham-saham yang mengalami penguatan terbesar yaitu SKBM, DWGL, RSCH, EDGE dan DATA. Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar yakni BUVA, PURI, KDSI, MTFN, dan STTP.

    Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 1.258.000 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 17,96 miliar lembar saham senilai Rp12,13 triliun. Sebanyak 261 saham naik 353 saham menurun, dan 341 tidak bergerak nilainya.

    Bursa saham regional Asia sore ini antara lain Indeks Nikkei melemah 486,57 poin atau 1,24 persen ke 38.678,04, indeks Shanghai melemah 0,76 poin atau 0,02 persen ke 3.350,78, indeks Kuala Lumpur melemah 3,21 persen atau 0,20 poin ke posisi 1,577,867, dan indeks Straits Times menguat 6,53 poin atau 0,17 persen ke 3.927,51.

    Sumber : Antara

  • Di Forum Parlemen se-Asia, Puan Maharani Tekankan Dunia yang Setara bagi Semua Negara

    Di Forum Parlemen se-Asia, Puan Maharani Tekankan Dunia yang Setara bagi Semua Negara


    PIKIRAN RAKYAT
    – Ketua DPR Puan Maharani berbicara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-15 forum parlemen negara-negara di Asia atau Asian Parliamentary Assembly (APA) yang digelar di Baku, Azerbaijan. Ia pun menyinggung soal isu kesetaraan semua negara hingga pentingnya tercipta perdamaian global, termasuk bagi Palestina.

    KTT APA atau APA Pleanary Meeting ke-15 digelar di Gedung Milli Majlis (Majelis Nasional) Azerbaijan di Baku. Puan bersama ketua parlemen negara-negara Asia lain menggunakan shuttle bus dari tempat penginapan menuju lokasi acara untuk menghadiri upacara pembukaan pada Rabu (19/2/2025) pagi waktu setempat.

    Inagurasi pembukaan APA Pleanary Meeting ke-15 dilangsungkan di Ruang Paripurna Milli Majlis Azerbaijan dipimpin oleh Ketua Parlemen Azerbaijan Sahiba Gafarova sebagai tuan rumah sekaligus Presiden APA tahun ini. Para ketua parlemen yang hadir mendapat giliran bicara di mana Puan menjadi urutan ke-3 usai Bahrain dan Bhutan.

    “Pertama dan terutama, saya ingin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Milli Majlis Republik Azerbaijan karena telah menjadi tuan rumah Sidang Pleno ke-15 Majelis Parlemen Asia (APA),” kata Puan di awal sambutannya seperti keterangan tertulis yang diperoleh Parlementaria.

    Adapun KTT APA ke-15 mengambil tema ‘Peran Diplomasi Parlemen dalam Memperkuat Kerja Sama Multilateral di Asia’. Puan pun menekankan saat ini masyarakat dunia, termasuk warga Asia hidup di era ketidakpastian besar yang telah menciptakan dampak dan gangguan mendalam di banyak sektor, termasuk dalam hubungan internasional.

    “Tahun ini, kita juga telah memasuki akhir kuartal pertama abad ke-21. Periode yang telah ditandai oleh banyak peluang dan tantangan,” sebut perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.

    Meskipun ada banyak kemajuan, Puan menilai dunia masih dihadapkan pada berbagai krisis. Seperti persaingan kekuatan besar, perang, bencana alam, dan perubahan iklim.

    “Sebagian orang mungkin bertanya ke mana kita akan melangkah dari sini? 25 tahun ke depan, akan menjadi momen krusial. Apakah kita akan mampu mewujudkan Abad Asia, Asia yang damai, stabil, dan sejahtera?” tutur Puan.

    Menurutnya, periode saat ini juga ditandai oleh dunia yang lebih multipolar. Situasi tersebut dianggap Puan telah memberikan kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk memainkan peran yang lebih besar dalam urusan internasional.

    “Kita perlu memastikan bahwa multipolaritas akan membawa dunia yang lebih setara bagi semua negara. Multipolaritas akan memungkinkan kita untuk menghindari hegemoni kekuatan besar,” tegasnya.

    “Namun, tanpa sistem multilateral yang efektif, multipolaritas dapat menyebabkan dunia yang tidak stabil,” sambung Puan.

    Untuk mengurangi ketidakpastian yang besar, mantan Menko PMK itu menilai dibutuhkan multilateralisme yang lebih kuat berdasarkan hukum internasional. Puan menyebut, kerja sama multilateral berfungsi sebagai platform bersama bagi komunitas internasional untuk memobilisasi kolaborasi global.

    “Di era krisis berganda, kita harus memobilisasi kerja sama internasional, dan tidak mengambil tindakan sepihak. Kita tidak boleh memajukan kepentingan nasional kita, dengan mengorbankan negara lain,” urainya.

    “Kita boleh bersaing dengan negara lain, tetapi pada saat yang sama kita harus mempromosikan kerja sama bilateral yang bersahabat. Kita harus memajukan kepentingan nasional kita, sementara pada saat yang sama menghormati tatanan global, dan hukum internasional,” sambung Puan.

    Lebih lanjut Puan menyinggung adanya beberapa organisasi sub-regional di Asia, namun APA menjadi platform yang mencakup seluruh parlemen Asia.

    “Di sini, diplomasi parlementer di APA memiliki potensi untuk menjembatani kerja sama regional di antara organisasi-organisasi sub-regional di Asia,” ungkapnya.

    Puan menambahkan, APA memungkinkan parlemen di Asia untuk membahas isu-isu kepentingan bersama. Mulai dari perdamaian, ketahanan pangan hingga perlindungan lingkungan.

    “Pada saat yang sama, penting juga untuk memberikan ruang bagi diskusi tentang pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender di APA,” jelas Puan.

    Puan mengatakan, diskusi dalam APA sebagai forum parlemen negara-negara di Asia dapat dibawa ke negara asal masing-masing dan diterjemahkan ke dalam kerja sama konkret di antara negara-negara Asia.

    Melalui APA, parlemen se-Asia dinilai Puan juga dapat berkontribusi untuk menghadirkan kepastian di kawasan ini dengan berkonsultasi satu sama lain. 

    “Dengan demikian, kita dapat lebih memahami kebijakan masing-masing. Ini akan menjadi kontribusi penting karena perdamaian dan stabilitas merupakan prasyarat bagi pembangunan dan kemakmuran,” terangnya.

    Puan mengingatkan, diplomasi parlementer harus secara aktif berkontribusi untuk menciptakan perdamaian yang adil dan langgeng. Hal ini penting untuk menyelesaikan masalah global karena masalah tersebut secara langsung memengaruhi konstituen anggota dewan di lapangan.

    “Kita perlu mendukung penyelesaian damai atas perang dan konflik, di Gaza, Ukraina, dan bagian lain dunia,” ucap Puan.

    Mengenai masalah Palestina, Puan mengajak seluruh parlemen Asia memastikan bahwa gencatan senjata di Gaza dihormati dan dilaksanakan, sekaligus menjamin akses bantuan kemanusiaan bagi rakyat Palestina.

    “Kita juga harus menolak gagasan untuk merelokasi penduduk Gaza dari tanah air mereka,” tukas cucu Bung Karno tersebut.

    Dalam forum APA ini, Ketua atau pimpinan Parlemen Asia juga banyak yang membicarakan isu perang Palestina.

    Di sisi lain, Puan mendorong semua yang hadir pada KTT APA ke-15 untuk mengambil tindakan berani dan mengesampingkan perbedaan. Apalagi saat ini dunia berada dalam era ketidakpastian yang besar.

    “Sehingga Asia dapat bangkit lebih kuat dari ketidakpastian saat ini. Bersama-sama, kita dapat menciptakan Asia dan dunia yang stabil, damai, dan sejahtera,” kata Puan.

    Usai Inagurasi pembukaan APA Pleanary Meeting ke-15, semua delegasi kemudian diundang menghadiri jamuan makan siang oleh parlemen Azerbaijan. Sidang Umum APA ke-15 di Baku akan diselenggarakan hingga tanggal 21 Februari mendatang.

    Sebagai bagian dari acara tersebut, akan diadakan pertemuan Dewan Eksekutif APA, sesi pleno, dan komite tentang urusan politik, ekonomi, anggaran, dan sosial. Rancangan resolusi tentang isu-isu utama akan dibahas pada pertemuan yang dihadiri lebih dari 30 parlemen ini dan organisasi internasional, hingga nantinya akan ada Deklarasi Baku dan laporan akhir Sekretariat APA untuk diadopsi bersama. 

    Pada kegiatan ini, Puan didampingi oleh Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Mardani Ali Sera, Wakil Ketua Komisi IX DPR Charles Honoris, dan Anggota Komisi III DPR Gilang Dhielafararez. Di sela-sela acara, Puan melakukan pertemuan bilateral dengan sejumlah Ketua Parlemen negara di Asia untuk membahas berbagai peningkatan kerja sama antar masing-masing negara.

    Puan telah bertemu Ketua Parlemen Azerbaijan Sahiba Gafarova pada Selasa (18/2) kemarin. Hari ini Puan akan melakukan pertemuan bilateral dengan Ketua Parlemen Belarus dan Bahrain.

    Follow Media Sosial DPR RI:

    Instagram: @dpr_ri

    Facebook: DPR RI

    Youtube: DPR RI

    TikTok: @dpr_ri

    X: @DPR_RI. ***

     

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Puing Misterius dari Angkasa Jatuh di Belakang Rumah, Penghuni Kaget

    Puing Misterius dari Angkasa Jatuh di Belakang Rumah, Penghuni Kaget

    Jakarta

    Seorang pria Polandia bernama Adam Borucki kaget bukan kepalang kala menemukan sesuatu yang tidak biasa di halaman belakang rumahnya. Obyek warna hitam itu kemudian diduga merupakan sisa-sisa roket Falcon 9 besutan SpaceX.

    Borucki melaporkan objek besar berukuran sekitar 1 sampai 1,5 meter tersebut ke polisi setempat. “Kami sedang menyelidiki bagaimana objek itu berakhir di lokasi ini, tetapi yang terpenting adalah tidak ada yang terluka,” kata juru bicara polisi Andrzej Borowiak.

    Menurut Badan Antariksa Polandia, tampaknya objek itu milik roket Falcon 9 yang masuk tanpa kendali di atas Polandia. Insiden itu jadi pengingat risiko nyata jatuhnya roket tanpa kendali ke Bumi.

    Sebelumnya sudah ada beberapa contoh serpihan SpaceX jatuh di wilayah berpenduduk, dari area pertanian Australia hingga di kepulauan Turks dan Caicos. Di Polandia, objek tak dikenal menyerupai tanki juga ditemukan karyawan sebuah perusahaan di dekat kota Poznan. Namun, tak jelas apakah objek tersebut terkait dengan objek yang ditemukan Borucki di halaman belakang rumahnya.

    “Kami mengamankan tempat kejadian untuk menjelaskan keadaan bagaimana objek ini berakhir di lokasi itu,” kata polisi. “Kami tahu bagian-bagian dari roket Falcon terbang di atas Polandia, tapi apakah ini bagian darinya, kami belum dapat memastikannya saat ini,” tambah mereka.

    Astrofisikawan Harvard Jonathan McDowell menilai benda yang ditemukan di kantor itu ukuran dan bentuknya tepat untuk tangki lapis komposit pada bagian atas Falcon 9. “Dan Poznan berada tepat di jalur masuk kembali sehingga semuanya saling terkait,” paparnya. Tanki serupa ditemukan di sebuah peternakan di Washington di 2021 .

    Roket Falcon itu diluncurkan dari Pangkalan Angkatan Udara Vandenberg di California pada 1 Februari, mengirimkan satelit Starlink SpaceX ke orbit. Dikutip detikINET dari Futurism, sisa-sisa roket yang terbakar menerangi langit malam tidak hanya di Polandia, tetapi juga di negara tetangga Jerman dan Ukraina.

    Rekaman di media sosial menunjukkan serangkaian besar bagian roket di atas Berlin. Tak seperti pendorong Falcon 9 SpaceX yang dirancang kembali ke Bumi dalam keadaan utuh untuk dipakai lagi, bagian tahap keduanya dimaksudkan untuk jatuh ke Bumi dan hancur di atmosfer setelah mengirim muatan roket ke orbit.

    (fyk/fay)

  • Pemerintah Baru Jerman Akan Hadapi Tantangan Kebijakan Luar Negeri

    Pemerintah Baru Jerman Akan Hadapi Tantangan Kebijakan Luar Negeri

    Berlin

    Pemerintah baru Jerman akan menghadapi tantangan kebijakan luar negeri yang sangat besar ketika mulai berkuasa. Banyak yang menyebut momen dalam sejarah Jerman ini sebagai awal dari sebuah era baru, di mana negara ini harus melakukan reorientasi di hampir semua bidang. Atau dengan kata lain: Perpisahan terakhir dengan posisi nyaman sebagai negara yang kuat secara ekonomi, tapi secara geopolitik harus berhati-hati.

    Selama beberapa dekade setelah Perang Dunia II, Jerman Barat tetap berkomitmen kuat terhadap Barat, menjadi duta multilateralisme dan pendukung demokrasi serta supremasi hukum. Keputusan kebijakan luar negeri dibuat melalui kerja sama yang erat dengan negara-negara Barat yang bersahabat, sementara Amerika Serikat (AS) bertanggung jawab atas keamanan negara.

    Lalu sekarang? Pada Konferensi Keamanan Mnchen (MSC) pada pertengahan Februari 2025, Wakil Presiden AS yang baru, JD Vance, mengumumkan bahwa Eropa harus membayar biaya pertahanannya sendiri dan bertanggung jawab atas pertahanannya sendiri.

    Dalam sebuah wawancara dengan DW, Friedrich Merz, Ketua Uni Demokratik Kristen (CDU) yang beraliran tengah-kanan dan kemungkinan besar akan menjadi kanselir Jerman berikutnya, mengungkapkan kekesalannya: “Kita berada pada titik bersejarah: Jaminan keamanan dari AS dipertanyakan dan Amerika mempertanyakan lembaga-lembaga demokrasi.”

    Amerika Serikat dan China

    Roderich Kiesewetter, pakar urusan luar negeri dari kelompok parlemen CDU, mengatakan bahwa negara ini sedang berada di persimpangan jalan. Ia percaya bahwa Jerman harus memahami bahwa demokrasi dan supremasi hukumnya semakin terancam. China, misalnya, saat ini melakukan segala cara untuk memperluas pengaruhnya dan membuat negara-negara demokratis seperti Jerman semakin tergantung.

    Dalam wawancara dengan DW, Kiesewetter menganjurkan kebijakan yang mengutamakan kepentingan nasional dan ekonomi Jerman.

    “Jika tidak, dampak ekonominya akan sangat besar, dan NATO tidak akan efektif lagi sebagai penangkal,” kata Kiesewetter.

    “Untuk mencapai hal ini, bagaimanapun juga diperlukan reorientasi strategis dan politik yang jelas terhadap kebijakan luar negeri dan keamanan. Pemikiran kuno yang menenangkan dan kenaifan terhadap China bukanlah jalan ke depan, melainkan kontraproduktif,” tambahnya.

    Pasukan penjaga perdamaian Jerman di Ukraina?

    Bahkan ketika menyangkut topik kebijakan Ukraina yang masih dominan, tidak ada yang akan tetap sama. Setelah perang agresi Rusia terhadap Ukraina dimulai pada musim semi 2022, Jerman menjadi pendukung terbesar Ukraina setelah AS, baik secara militer maupun dalam hal menerima pengungsi.

    Kini, sebuah kesepakatan untuk mengakhiri perang tampaknya sedang dalam proses, yang mungkin akan dinegosiasikan hanya antara AS dan Rusia. Jerman dan negara-negara lain, yang kemungkinan besar berasal dari Eropa, akan bertanggung jawab untuk menjaga kesepakatan tersebut dengan tentara mereka sendiri. Bagaimanapun, Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan bahwa ia tidak ingin berkontribusi.

    Apakah para pemilih Jerman akan menerima hal ini atau tidak, masih harus dilihat: Dalam survei yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat Forsa, 49% mengatakan bahwa mereka mendukung pengerahan pasukan semacam itu, sementara 44% tidak.

    Angkatan bersenjata Jerman sedang diperluas besar-besaran

    Yang pasti, Jerman harus fokus untuk memastikan pertahanannya sendiri yang efektif, lebih baik lagi jika bekerja sama dengan negara anggota Uni Eropa lainnya. Anggota parlemen dari Partai Hijau, Anton Hofreiter, memperkirakan biayanya mencapai € 500 miliar atau sekitar Rp 8,5 kuadriliun, jumlah yang sangat besar.

    Selain itu, menurut kandidat kanselir CDU Friedrich Merz, Jerman harus mengambil inisiatif di Eropa.

    “Semua orang mengharapkan Jerman mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk kepemimpinan,” kata Merz kepada DW.

    “Saya sudah berulang kali menyerukan hal ini. Jerman merupakan negara terpadat di Eropa. Jerman terletak di pusat geostrategis benua Eropa. Kita harus memenuhi peran ini.”

    Bagi Merz, persenjataan Jerman tidak hanya penting terkait Ukraina: “Ini untuk memastikan perdamaian di Eropa dari agresi Rusia, yang kita hadapi di Jerman setiap hari ancaman terhadap infrastruktur kita, ancaman terhadap jaringan data kita, ancaman terhadap kabel data di bawah Laut Baltik.”

    Akankah anggaran pertahanan meningkat hampir dua kali lipat setelah tahun 2028?

    Apa artinya semua ini secara praktis? Ini mungkin berarti peningkatan kemampuan militer yang dibawa oleh Menteri Pertahanan saat ini, Boris Pistorius (SPD), pada bulan Oktober 2023 ketika dia mengatakan bahwa negara harus “siap untuk berperang.”

    Sejak musim panas 2022, ada dana khusus (yang dibiayai dengan utang baru) sekitar €100 miliar atau Rp1,7 kuadriliun untuk mempersenjatai ulang Bundeswehr, tetapi dana ini akan habis pada 2028.

    Namun, menurut Kieswetter, jika Jerman tidak membangun kekuatan militernya, maka Jerman tidak akan lagi dianggap serius di Washington: “Sehubungan dengan kemitraan trans-Atlantik di masa depan, Eropa harus memberikan kontribusi minimum yang diperlukan untuk memastikan bahwa AS tetap menjadi mitra yang kuat di Eropa dan NATO.”

    Tidak ada perubahan kebijakan terhadap Israel

    Di sisi lain, di Timur Tengah, pengaruh Jerman akan tetap terbatas, seperti di masa lalu. Pemerintah mendatang akan terus dipandu oleh prinsip “alasan bernegara”, yang berarti dengan tegas menjunjung tinggi hak Israel untuk hidup. Dan akan terus mengadvokasi “solusi dua negara” antara Israel dan Palestina. Meskipun hal ini semakin kecil kemungkinannya.

    Mitra Baru: Arab Saudi dan negara-negara Amerika Latin?

    Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock telah berulang kali menyerukan Eropa sebagai jawaban atas semua perubahan di dunia.

    “Kami adalah 450 juta orang. Kami adalah pasar tunggal terbesar di dunia,” katanya dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Jerman, ZDF.

    “Kami telah menjalin kemitraan baru. Dan sekarang kita harus memanfaatkan semua ini bersama-sama dan tidak tersesat dalam hal-hal kecil,” tambahnya.

    Kemitraan baru itu mencakup perjanjian dengan negara-negara di kawasan Teluk bersama dengan negara-negara Mercosur, yaitu Argentina, Brasil, Paraguay, dan Uruguay, sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani dengan Uni Eropa pada Desember 2024.

    Singkatnya, Jerman sedang berada di awal perubahan yang menakjubkan dalam kebijakan luar negerinya.

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Putin Puji Dialog AS-Rusia di Saudi: Langkah Pertama Pulihkan Hubungan

    Putin Puji Dialog AS-Rusia di Saudi: Langkah Pertama Pulihkan Hubungan

    Moskow

    Presiden Rusia Vladimir Putin memuji pembicaraan yang dilakukan oleh pejabat tinggi negaranya dan Amerika Serikat (AS) di Arab Saudi. Putin menyebut pembicaraan itu sebagai “langkah pertama” untuk memulihkan hubungan Moskow dengan Washington.

    Para pejabat kedua negara, termasuk para Menteri Luar Negeri (Menlu), melakukan pertemuan di Riyadh pada Selasa (18/2) waktu setempat. Ini menjadi pertemuan tingkat tinggi pertama antara Rusia dan AS dalam tiga tahun terakhir.

    Pertemuan ini membahas cara-cara untuk mengakhiri perang di Ukraina dan memulihkan hubungan AS-Rusia, serta membuka jalan bagi pertemuan puncak antara Putin dan Presiden AS Donald Trump.

    “Saya sudah diberi pengarahan (soal pembicaraan itu). Saya menilainya sangat tinggi, dan ada hasilnya,” ucap Putin mengomentari pertemuan di Riyadh, saat mengunjungi pabrik drone di Saint Petersburg, seperti dilansir AFP, Kamis (20/2/2025).

    “Menurut pendapat saya, kita mengambil langkah pertama untuk memulihkan pekerjaan di berbagai bidang yang menjadi kepentingan bersama,” sebutnya.

    Putin menambahkan bahwa Trump mulai menerima “informasi objektif”, tanpa menjelaskan lebih lanjut, namun memperingatkan kedua pihak perlu membangun kepercayaan untuk menyelesaikan perang Ukraina.

    “Tidak mungkin untuk menyelesaikan banyak masalah, termasuk krisis Ukraina, tanpa meningkatkan level kepercayaan antara Rusia dan Amerika Serikat,” cetusnya.

    Trump, sejak kembali menjabat bulan lalu, telah secara efektif mengakhiri kebijakan pemerintahan AS sebelumnya yang mengisolasi Rusia, dan menyerahkan kudeta diplomatik kepada Putin.

    Dalam konferensi pers pada Selasa (18/2) waktu AS, Trump melontarkan banyak poin pembicaraan Rusia saat membahas soal perang yang berkecamuk selama tiga tahun terakhir di Ukraina.

    Dia menyalahkan Kyiv karena telah “memulai” pertempuran dan menyebut Presiden Volodymyr Zelensky sangat tidak populer di kalangan rakyatnya.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • ‘Pintu Kematian’ NATO Terbuka Gegara Trump, Warga Eropa Teriak

    ‘Pintu Kematian’ NATO Terbuka Gegara Trump, Warga Eropa Teriak

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengecilkan pengaruhnya dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) membuat warga di negara anggota aliansi itu resah. Keresahan dirasakan warga di negara NATO yang berbatasan dengan Rusia, yang bersitegang dengan aliansi itu setelah Moskow menyerang Ukraina.

    Mengutip Reuters, langkah-langkah Trump terhadap Ukraina, Rusia, dan pertahanan Eropa dalam beberapa hari terakhir telah menjungkirbalikkan keyakinan lama bahwa Washington akan bertindak sebagai penjamin keamanan benua itu. Dan, dengan Trump yang tampaknya menyalahkan Kyiv karena memulai konflik dan pada saat yang sama mencairkan hubungan dengan Moskow, beberapa warga Polandia misalnya, khawatir bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin akan merasa berani untuk menyerang lebih banyak negara termasuk sejumlah negara NATO yang berbatasan dengannya.

    “Kebijakan luar negeri AS sangat menakutkan saya. Saya merasakan stabilitas ini, dan setelah Polandia bergabung dengan NATO, setelah bergabung dengan Uni Eropa, saya pikir kita memiliki momen perdamaian ini, tetapi ternyata itu hanya sesaat,” kata seorang warga Polandia bernama Katarzyna Paprota, Kamis (20/2/2025).

    Pensiunan Latvia bernama Silvija Spriedniece, 84 tahun, juga khawatir tentang kemungkinan agresi Rusia. Menurutnya, dengan kebijakan Trump yang sedikit melepaskan tangannya untuk Eropa, Putin dapat menjelma menjadi agresor.

    “Saya bukan politisi, tetapi saya mengerti bahwa Trump ini bukan pertanda baik bagi kita. Putin sudah menjadi agresor seperti Stalin, Hitler, dan yang lainnya. Kita tidak bisa mengharapkan sesuatu yang baik di sana,” tandasnya.

    Sejumlah pemimpin Eropa pun telah berupaya memadamkan kekhawatiran publik ini. Para pemimpin Benua Biru seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri (PM) Inggris Keir Starmer, PM Italia Giorgia Meloni, serta Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte telah menggelar pertemuan di Paris Senin lalu terkait hal ini.

    Setelah pertemuan di Paris, PM Inggris Starmer mengatakan harus ada komitmen keamanan AS bagi negara-negara Eropa untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian pascaperang ke Ukraina, meskipun ia mengatakan masih terlalu dini untuk mengatakan berapa banyak pasukan Inggris yang bersedia ia kerahkan.

    “Eropa harus memainkan perannya, dan saya siap mempertimbangkan untuk mengerahkan pasukan Inggris di lapangan bersama negara-negara lain jika ada perjanjian perdamaian yang langgeng, tetapi harus ada jaminan AS, karena jaminan keamanan AS adalah satu-satunya cara untuk secara efektif mencegah Rusia menyerang Ukraina lagi,” ungkap Starmer kepada wartawan.

    Namun, imbauan Eropa ini masih memicu ketakutan besar pada warga kawasan tersebut, dengan Washington masih belum memberikan tanggapan yang rinci soal pernyataan Starmer. Pensiunan Imants Robeznieks, 73 tahun, mengatakan bahwa ia berharap Eropa dapat memberikan tanggapan dan konkret dalam menangani ancaman yang datang dari Moskow.

    “Saya merasa terganggu bahwa Putin dan Trump, atau sebaliknya, benar-benar akur. Semoga sekarang Paris akan memikirkan sesuatu, Eropa akan memikirkan sesuatu… kalau tidak, semuanya akan menjadi buruk,” tuturnya.

    (sef/sef)