Negara: Turki

  • Putin Puji Erdogan Jelang Pemilu Turki: Kami Siap Ulurkan Tangan

    Putin Puji Erdogan Jelang Pemilu Turki: Kami Siap Ulurkan Tangan

    Jakarta

    Presiden Rusia Vladimir Putin memuji kepemimpinan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menjelang pemilihan presiden. Bahkan, Putin mengatakan negaranya siap mengulurkan tangan persahabatan kepada Turki.

    Hal ini dikatakan Putin pada peluncuran pembangkit nuklir buatan Rusia di Turki. Dia mengapresiasi kinerja Erdogan dalam hal pertumbuhan ekonomi di Turki.

    “Contoh yang meyakinkan tentang seberapa banyak yang Anda, Tuan Presiden Erdogan, lakukan untuk negara Anda, untuk pertumbuhan ekonominya, untuk semua warga negara Turki,” ujar Putin, dilansir AFP, Kamis (27/4/2023).

    “Saya ingin mengatakannya secara langsung, Anda tahu bagaimana menetapkan tujuan yang ambisius dan dengan percaya diri bergerak menuju implementasinya,” tambah Putin.

    Dia menekankan bahwa Rusia adalah salah satu negara pertama yang mengirim tim penyelamat dan tenaga medis ke Turki setelah gempa dahsyat di bulan Februari lalu.

    “Kami selalu siap mengulurkan tangan persahabatan kepada mitra Turki kami,” katanya.

    Lebih lanjut, Putin, yang berusaha memperkuat hubungan dengan Erdogan di tengah konfrontasi yang semakin dalam dengan Barat, mengatakan pemimpin Turki itu telah melakukan banyak hal untuk hubungan bilateral.

    “Kami tentu mendukung kecenderungan ini dan yakin bahwa kerja sama dan kemitraan yang erat antara Rusia dan Turki saling menguntungkan,” sambungnya.

    Lihat juga Video: Saat Trump Akui Kecerdasan Putin, Xi Jinping, dan Kim Jong Un

    (azh/azh)

  • Sudan Makin Memanas, AS-Turki Evakuasi Warganya

    Sudan Makin Memanas, AS-Turki Evakuasi Warganya

    Khartoum

    Sejumlah negara mengevakuasi warganya dari Khartoum buntut semakin memanasnya pertempuran di Sudan. Deretan negara yang mengevakuasi warganya itu yakni Amerika Serikat (AS) hingga Turki.

    Dilansir AFP, Minggu (23/4/2023), pasukan AS menyerbu dengan helikopter untuk mengevakuasi staf kedutaannya dari Khartoum. Lebih dari 100 pasukan operasi khusus AS mengambil bagian dalam penyelamatan untuk mengekstraksi kurang dari 100 orang.

    Presiden AS Joe Biden mengatakan militer AS “melakukan operasi” untuk mengekstraksi personel pemerintahannya. Biden juga mengutuk kekerasan tersebut, dengan mengatakan “itu tidak masuk akal dan harus dihentikan”.

    Prancis dan Turki pada hari ini waktu setempat juga meluncurkan operasi evakuasi dari negara Afrika timur laut yang dilanda kekacauan itu, di mana pertempuran yang sedang berlangsung telah memasuki minggu kedua.

    Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan bahwa “operasi evakuasi cepat” telah dimulai, dan bahwa warga negara Eropa dan orang-orang dari “negara mitra sekutu” juga akan dibantu, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

    Sementara, Turki memulai operasi penyelamatan saat fajar melalui jalan darat dari kota selatan Wad Medani. Tetapi rencana ditunda dari satu lokasi di Khartoum setelah “ledakan” di dekat masjid yang ditunjuk sebagai tempat berkumpul.

    Lebih dari 150 orang dari berbagai negara juga telah mencapai Arab Saudi setelah pasukan angkatan laut melancarkan penyelamatan melintasi Laut Merah pada hari Sabtu, mengumpulkan warga dan warga negara Saudi dari 12 negara lain dari Port Sudan.

    Tiga pesawat angkut militer Jerman akan kembali pada hari Rabu, menurut mingguan Jerman Der Spiegel.

    Namun perebutan orang asing untuk melarikan diri telah memicu kekhawatiran di antara warga Sudan tentang apa yang akan terjadi ketika diplomat yang dapat bertindak sebagai mediator potensial telah pergi.

    “Mendorong jalan yang aman untuk mengevakuasi warga internasional tanpa secara bersamaan mendorong untuk mengakhiri perang akan sangat mengerikan”, kata peneliti Hamid Khalafallah.

    “Aktor internasional akan memiliki dampak yang lebih kecil begitu mereka berada di luar negeri,” katanya, menambahkan dalam pesan kepada negara-negara asing: “Lakukan semua yang Anda bisa untuk pergi dengan aman, tetapi jangan tinggalkan orang-orang Sudan tanpa perlindungan.”

    Sebagai informasi, pertempuran sengit antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter — di mana terlihat bertempur dengan tank dan jet tempur yang meluncurkan serangan udara — telah menewaskan lebih dari 400 orang dan menyebabkan ribuan orang terluka di kota yang padat penduduk itu.

    Saksi mata mengungkapkan, pertempuran terus berlanjut hingga hari ini dengan deru tembakan otomatis bergema di Khartoum dan pesawat militer Sudan meraung di atas kepala.

    Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

    Saksikan juga ‘Perang Saudara di Sudan! Indonesia Desak Dewan Keamanan PBB Bertindak’:

  • Aksi Main Cambuk Taliban Giring Pecandu Narkoba ke Rehabilitasi

    Aksi Main Cambuk Taliban Giring Pecandu Narkoba ke Rehabilitasi

    Jakarta

    Mohammed Omar mengingat betul masa-masa ketika tentara Taliban tiba-tiba muncul di jembatan Pul-e-Sukhta di Kabul bagian barat. Kelompok Taliban yang kini memerintah Afghanistan menjalankan kampanye agresif demi menyingkirkan pengguna narkoba dari jalanan.

    “Saya sedang mencoba membeli beberapa obat di kolong jembatan ketika saya ditarik dari belakang. Orang itu adalah anggota Taliban. Mereka datang untuk membawa kami,” kata Omar dilansir BBC Indonesia, Sabtu (8/4/2023).

    Jauh sebelum kelompok Islam garis keras itu kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021, kawasan tersebut dikenal sebagai tempat para pecandu narkoba berkumpul.

    Dalam beberapa bulan terakhir, Taliban telah mengumpulkan ratusan orang dari seluruh kota, mulai dari jembatan, taman, hingga puncak bukit.

    Sebagian besar dari mereka dibawa ke bekas pangkalan militer AS, yang telah diubah menjadi pusat rehabilitasi darurat.

    Angka Kecanduan Narkoba di Afghanistan Capai 3,5 Juta Orang

    Angka kecanduan narkoba di Afghanistan tergolong sebagai salah satu yang tertinggi di dunia. Diperkirakan sebanyak 3,5 juta orang – dari total 40 juta populasinya – kecanduan, menurut Biro Narkotika Internasional dan Penegakan Hukum.

    Di bawah jembatan Pul-e-Sukhta, ratusan laki-laki kerap terlihat berjongkok di antara tumpukan sampah, jarum suntik, kotoran, dan terkadang mayat orang yang meninggal akibat overdosis.

    Bau busuk di kolong jembatan ini sangat menyengat. Kawanan anjing tampak mengaduk-aduk tumpukan sampah, mencari sisa-sisa makanan.

    Di atas jembatan, lalu lintas hilir-mudik, pedagang kaki lima menjajakan dagangannya, dan para komuter bergegas mengejar bus di depo lokal.

    “Saya pergi ke sana untuk bertemu teman-teman saya dan mengonsumsi obat. Saya tidak takut mati. Ajal ada di tangan Tuhan,” kata Omar.

    Mayoritas orang-orang yang menganggap tempat ini sebagai rumah telah terlupakan, terlepas dari kebijakan pemerintah sebelumnya untuk mengumpulkan para pecandu dan menempatkan mereka di pusat rehabilitasi.

    Para Pecandu Dicambuk hingga Dipukuli

    Begitu Taliban berkuasa, kampanye antinarkoba di Afghanistan lebih agresif. Para pecandu di pinggir jalan dicambuk dan dipukuli.

    “Mereka menggunakan pipa untuk mencambuk dan memukuli kami,” kata Omar.

    “Jari saya patah karena saya tidak ingin meninggalkan jembatan dan saya melawan. Mereka tetap memaksa kami keluar.”

    Omar kemudian didorong ke dalam bus bersama puluhan orang lainnya.

    Rekaman dari kejadian itu kemudian dirilis oleh pemerintahan Taliban. Tayangan video menunjukkan bagaimana tentara Taliban membersihkan kawasan pecandu yang meninggal karena overdosis. Jenazah mereka dibawa dengan syal abu-abu gelap. Yang masih hidup, digotong menggunakan tandu karena tidak sadarkan diri.

    Rumah sakit rehabilitasi tempat Omar dirawat memiliki 1.000 tempat tidur, namun kini menampung hingga 3.000 pasien.

    Kondisinya kumuh. Orang-orang itu ditahan di pusat rehabilitasi tersebut selama sekitar 45 hari, di mana mereka menjalani program intensif sebelum dibebaskan.

    Tidak ada jaminan bahwa pasien ini tidak akan kambuh.

    Sementara mereka yang disingkirkan dari jalanan sebagian besar adalah laki-laki. Beberapa perempuan dan anak-anak juga dibawa ke pusat rehabilitasi khusus.

    Omar, seperti pecandu lainnya, sangat kurus. Pakaian cokelatnya yang diberikan oleh pihak berwenang, tampak longgar. Wajahnya juga tirus.

    Sambil duduk di tepi tempat tidurnya, dia menggambarkan kehidupan yang pernah dia jalani.

    “Suatu hari saya berada di Dubai, besoknya di Turki dan terkadang Iran. Saya berkeliling dunia sebagai pramugara dengan Kam Air. Kami sering kedatangan tamu VIP seperti mantan presiden di pesawat.”

    Dia kehilangan pekerjaannya ketika Kabul jatuh ke tangan Taliban. Menghadapi kesulitan ekonomi dan masa depan yang tidak pasti, dia terjerumus menggunakan narkoba.

    Ketika Taliban berkuasa pada 1990-an, mereka membasmi budidaya opium. Padahal perdagangan narkoba menjadi sumber pendapatan utama bagi mereka selama 20 tahun pemberontakan.

    Sekarang Taliban mengatakan bahwa mereka telah memerintahkan agar perdagangan opium diakhiri dan berupaya menegakkan kebijakan ini. Namun menurut PBB, budidaya opium justru meningkat 32% pada 2022 dibandingkan 2021.

    Sementara itu, ekonomi Afghanistan berada di ambang kehancuran. Mereka kehilangan dukungan internasional, menghadapi tantangan keamanan, masalah iklim, dan inflasi pangan global.

    Sejak datang ke pusat rehabilitasi, Omar bertekad untuk sembuh.

    “Saya ingin menikah, berkeluarga dan hidup normal,” kata dia.

    “Dokter-dokter ini sangat baik. Mereka mencoba yang terbaik untuk membantu kami.”

    Bagi para dokter di pusat rehabilitasi, ini adalah operasi yang sangat terbatas. Taliban terus mengirimkan lebih banyak orang untuk direhabilitasi, sementara para staf kesulitan menemukan ruang untuk mereka.

    “Kami butuh bantuan. Komunitas internasional telah pergi dan menghentikan bantuan mereka. Tapi masalah kami belum selesai,” kata seorang dokter kepada saya.

    “Ada banyak profesional di antara para pecandu ini. Orang-orang pintar dan terpelajar yang pernah memiliki kehidupan yang baik. Tetapi karena kesulitan yang dihadapi masyarakat kami, kemiskinan dan kurangnya pekerjaan membuat mereka mencari pelarian.”

    Meskipun penuh sesak dan kekurangan sumber daya, para dokter tetap berkomitmen untuk melakukan segala yang mereka bisa demi membantu para pecandu ini.

    “Tidak ada jaminan bahwa pasien ini tidak akan kambuh begitu mereka pergi. Tapi kami harus terus berusaha dan yang terpenting, kami perlu memberi mereka harapan untuk masa depan. Saat ini, harapan itu tidak ada.”

    (taa/taa)

  • Pengadilan Swedia Cabut Larangan Bakar Al-Qur’an Saat Unjuk Rasa

    Pengadilan Swedia Cabut Larangan Bakar Al-Qur’an Saat Unjuk Rasa

    Stockholm

    Pengadilan Swedia membatalkan keputusan kepolisian setempat dalam melarang aksi pembakaran Al-Qur’an saat unjuk rasa di negara tersebut.

    Seperti dilansir AFP, Rabu (5/4/2023), pembakaran Al-Qur’an yang dilakukan di luar gedung Kedutaan Besar Turki di Stockholm pada Januari lalu telah memicu kemarahan umat Muslim sedunia, dengan rentetan unjuk rasa digelar selama berminggu-minggu dan muncul seruan boikot produk-produk Swedia.

    Bahkan proses bergabungnya Swedia dengan aliansi militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tertunda.

    Mahkamah Agung Administratif Swedia membatalkan keputusan polisi untuk melarang dua aksi protes yang melibatkan pembakaran Al-Qur’an pada Februari lalu. Ditegaskan Mahkamah Agung dalam putusannya bahwa kekhawatiran soal risiko keamanan tidak cukup untuk membatasi hak untuk berunjuk rasa.

    “Otoritas kepolisian tidak memiliki dukungan yang cukup untuk keputusannya,” sebut hakim Eva-Lotta Hedin dalam putusannya.

    Dalam tanggapannya, Kepolisian Swedia bersikeras membela keputusannya melarang unjuk rasa melibatkan pembakaran Al-Qur’an.

    “Kami berpendapat bahwa keputusan kami sudah benar,” tegas juru bicara Kepolisian Swedia Ola Osterling kepada kantor berita TT.

    Kepolisian Swedia sebelumnya menolak menerbitkan izin bagi aksi pembakaran Al-Qur’an yang digelar di luar Kedutaan Besar Turki dan Kedutaan Besar Irak di Stockholm pada Februari lalu, dengan alasan unjuk rasa serupa pada Januari lalu telah membuat Swedia sebagai ‘target prioritas yang lebih tinggi untuk serangan’.

    Saksikan juga ‘RI Protes ke Dubes Swedia soal Pembakaran Al-Quran’:

  • Korban Mutilasi Susah Dikenali, Bagaimana Teknik Identifikasinya?

    Korban Mutilasi Susah Dikenali, Bagaimana Teknik Identifikasinya?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pembunuhan disertai mutilasi memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk dipecahkan. Kondisi korban yang terpotong-potong, bahkan dibakar, mempersulit penemuan bukti kejahatan. Bagaimana cara mengidentifikasi korban sekaligus membongkar kasusnya?

    Kasus terbaru adalah pembunuhan dengan modus jual beli senjata api di Mimika, Papua, Selasa (22/8) pukul 21.50 WIT. Korbannya adalah Arnold Lokbere, Irian Nigiri, Leman Nigiri, dan Atis Tini.

    Mereka dibunuh dan dibuang ke Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka dalam kondisi termutilasi serta dibungkus dalam enam karung.

    Hasil investigasi aparat berujung pada penetapan enam prajurit TNI dari Satuan Brigif R 20/IJK sebagai tersangka. Mereka terancam pidana seumur hidup.

    Nasib berbeda terjadi pada kasus pembunuhan jurnalis pengkritik rezim Arab Saudi Jamal Khashoggi (59) di dalam konsulat Saudi di Istanbul, Turki, 2 Oktober 2018.

    Sejumlah pejabat sempat melontarkan dugaan bahwa Khashoggi tewas dibunuh dengan cara mutilasi saat diinterogasi di dalam gedung. Jejak DNA pun dicari di semua bagian.

    Namun, Turki, yang sedang butuh investasi termasuk dari Timur Tengah, menyerahkan kasus Khashoggi ke Arab Saudi tanpa mengungkap dalangnya.

    Seberapa sulit memangnya kasus mutilasi ini?

    Dalam jurnal yang diterbitkan Walsh Medical Media dengan judul Establishing Identity and Cause of Death in Mutilated and Un Identifiable Corpses: A Challenging Task for Medico Legal Expert, tiga akadimisi dari Departemen Kedokteran Forensik dan Toksikologi, The Grant Government Medical College, India, mengungkap ada tingkat kesulitan berbeda untuk identifikasi kasus mutilasi.

    Pengenalan korban post-mortem (pasca-kematian) dalam kondisi normal adalah dengan menggunakan sidik jari, bukti gigi atau kerangka. Namun beda halnya pada kematian akibat kebakaran, ledakan, kecelakaan pesawat terbang, atau mutilasi.

    “Pelaku sering menggunakan api untuk untuk menghancurkan tubuh, menghancurkan fitur yang digunakan dalam identifikasi korban (misalnya, wajah atau sidik jari), dan/atau menghancurkan bukti terkait dengan keadaan sekitar kematian,” tulis mereka.

    Pasalnya, pembakaran membuat jaringan biologis sulit dikenali, menjadi hitam pekat serupa materi lainnya; tulang pun berubah warna, rapuh, dan sangat terfragmentasi.

    Untuk menjawab identitas korban, jenis kelamin, umur, hingga penyebab kematian korban mutilasi atau insiden fatal lainnya, perlu “pemeriksaan otopsi lengkap ini antara lain: pemeriksaan gigi dan analisis DNA”.

    DNA merupakan materi genetik yang diturunkan dari orang tua ke anak. Materi ini unik dan berbeda di tiap orang, tak berubah sepanjang hayat, dan mengikuti Hukum pewarisan Mendel.

    Untuk mengungkap identitas korban, biasanya petugas mengambil sampel DNA dari keluarga sedarah, terutama orang tua atau anak. DNA itu kemudian dicocokkan dengan sampel yang didapat dari sisa jasad korban.

    Tantangan berikutnya adalah mengambil sampel dari korban mutilasi yang dibakar. Kualitas dan kuantitas DNA, misalnya, dari tulang pun berkurang.

    Para pakar menyebut “gigi merupakan sumber bahan DNA yang sangat baik”. Pasalnya, organ ini tahan terhadap pembakaran, perendaman, mutilasi, dan dekomposisi atau penguraian.

    Banyak metode

    Para ahli mengambil sampel dari 51 kasus di mana identitas dan penyebab korban sulit diidentifikasi. Dari sampel-sampel itu, 39 kasus (76,47 persen) di antaranya adalah kasus korban kebakaran dan tubuhnya hangus.

    Sementara, 13,7 persen kasus lainnya merupakan korban pembunuhan, dan 7,8 persen kasus sisanya adalah korban mutilasi. 

    Para ahli itu kemudian melihat bahwa analisis DNA menjadi metode yang paling sering digunakan untuk memeriksa korban, dilakukan pada 34 kasus (66,7 persen).

    Di urutan kedua, aparat biasanya menggunakan pemeriksaan gigi (9,80 persen), sisanya memanfaatkan barang milik pribadi (5,9 persen), baju korban (9,8 persen), foto (1,96 persen), tato (1,96 persen), dan tak teridentifikasi, (3,9 persen).

    “Jejak DNA adalah metode yang dominan digunakan untuk identifikasi dan terbukti lebih membantu dalam 34 kasus, diikuti pemeriksaan gigi,” tulis para ahli tersebut. 

    Menurut para ahli itu, DNA menjadi metode identifikasi yang sangat berguna dikarenakan manusia memiliki DNA yang unik dengan kode yang sama pada anggota keluarga. Sehingga mencocokkan DNA korban dengan keluarga dapat secara mudah mengungkap identitas korban.

    Namun demikian, mengambil DNA dari korban mutilasi bukan perkara gampang. Pasalnya, kualitas DNA bisa menurun terutama jika tulang-belulang korban sudah lama terendam air, dibakar, atau terkubur dalam waktu yang lama. 

    Keampuhan teknik pencocokan DNA ini pernah terbukti di kasus mutilasi dengan pelaku Very Idham Henyansyah alias Ryan Jombang pada 2008. 

    Kasus ini pertama kali diungkap setelah Polda Metro Jaya menangkap Ryan atas tuduhan memutilasi teman dekatnya, Heri Santoso, di Depok pada 11 Juli 2008. Setelah itu, kepolisian mengungkap sejumlah korban lain Ryan.

    Beberapa korban lantas ditemukan di pekarangan rumah orang tua Ryan di Jombang. Sayangnya, ada satu korban yang masih belum diketahui identitasnya karena tidak ada sampel DNA dari pihak keluarga.

    Menurut para ahli dari India itu, pemeriksaan anatomi rangka dan DNA memang penting untuk menganalisis identitas. Namun, tetap perlu ada penggunaan metode lainnya. Misalnya, penilaian radiologis usia, cedera, benda asing, data tubuh, dan gigi.

    “Analisis kimia sampel mungkin terbukti membantu dalam beberapa kasus. Pendekatan multifaktor diperlukan untuk menetapkan identitas dan penyebab kematian,” tulis ketiga pakar itu.

    (lom/lth)

    [Gambas:Video CNN]