Negara: Tunisia

  • Uni Eropa Perkuat Sanksi dan Deportasi Demi Batasi Migrasi

    Uni Eropa Perkuat Sanksi dan Deportasi Demi Batasi Migrasi

    Brussels

    Jika merujuk kepada strategi keamanan terbaru Amerika Serikat (AS), yang mengkritik kebijakan migrasi Eropa mengarah pada “penghapusan peradaban,” hal yang mungkin terpikirkan adalah Uni Eropa (UE) sedang membuka lebar pintu perbatasan.

    Faktanya, keberadaan imigran ilegal terus menurun. Terlebih, Uni Eropa baru saja memperbarui kebijakan migrasi menjadi yang paling ketat sepanjang sejarah. Tujuannya, antara lain, untuk memudahkan negara-negara anggota menahan dan mendeportasi para pencari suaka yang ditolak.

    Menteri Imigrasi Denmark Rasmus Stoklund mengatakan bahwa langkah tersebut adalah reformasi baru untuk memperbaiki sistem yang “disfungsional” dan memulihkan “kontrol” negara.

    Namun, langkah ini menuai protes dari organisasi hak asasi manusia (HAM). Amnesty Internasional menuduh bahwa keputusan tersebut serupa dengan, “penangkapan masal, penahanan, dan deportasi yang mengerikan, serta tidak manusiawi di Amerika Serikat.”

    Rencana kirim imigran ke pusat detensi luar negeri

    Pada Senin (08/12), para menteri dalam negeri Uni Eropa mendukung serangkaian reformasi yang mencakup pengesahan hukum atas gagasan yang disebut “pusat pemulangan.” Hal itu bisa berarti pusat penahanan di luar Uni Eropa, tempat para migran dikirim untuk memproses permohonan suaka atau bahkan sebagai bagian dari tiket sekali jalan keluar dari Eropa.

    Namun, revisi aturan ini masih harus dinegosiasikan dengan Parlemen Eropa. Aturan tersebut memungkinkan negara anggota Uni Eropa membuat kesepakatan dengan negara di luar blok dan mengirim migran ke sana, meskipun mereka tidak memiliki keterkaitan dengan negara tersebut.

    Denmark mulai mempertimbangkan cara untuk mengirim migran ke Rwanda pada 2021, tapi negara anggota Uni Eropa pertama yang mencoba menerapkannya secara nyata adalah Italia.

    Pemerintahan sayap kanan di Roma telah mendirikan pusat penanganan migran di negara tetangga non-Uni Eropa, Albania, tahun 2024, tetapi pusat penanganan tersebut menghadapi tantangan hukum dan akhirnya ditangguhkan.

    Namun, pengamat kebijakan migrasi Helena Hahn mengatakan bahwa “masih belum jelas” bagaimana bentuk pusat pemulangan di luar model Italia dan terutama, negara-negara non-UE mana yang bersedia menampung migran yang ditujukan ke Eropa.

    Pengabaian tanggung jawab?

    Lembaga HAM dan Think Tank seperti Human Rights Watch dan Oxfam, mengecam Uni Eropa karena dianggap “mengabaikan tanggung jawab” karena mencoba mendelegasikan proses suaka.

    “Uni Eropa berusaha semakin mendorong tanggung jawabnya kepada negara-negara yang sudah menampung mayoritas pengungsi dengan sumber daya yang jauh lebih terbatas,” kata koalisi masyarakat sipil, pada tahun 2024.

    Pernyataan mereka menegaskan bahwa janji Uni Eropa untuk menegakkan hak-hak migran hanyalah “omong kosong.”

    Menteri Imigrasi Denmark Rasmus Stoklund menolak tuduhan tersebut. “Jika kami mengirim seseorang ke pusat pemulangan, kami akan bertanggung jawab untuk menghormati hak asasi mereka,” ujarnya kepada wartawan setelah pertemuan di Brussels.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Percepat deportasi dengan mendeklarasikan negara ‘aman’

    Negara anggota Uni Eropa juga mendukung proposal rancangan untuk mempercepat deportasi, yang menetapkan hukuman lebih berat bagi para migran yang mengabaikan perintah pengusiran. Dukungan terhadap aturan-aturan ini adalah tindak lanjut dari kesepakatan Uni Eropa dalam rencana untuk mengurangi kerjasama dengan negara-negara yang gagal diajak kerjasama dalam mendukung kebijakan deportasi.

    Para menteri dari negara-negara Uni Eropa juga memberi lampu hijau untuk daftar negara-negara yang dianggap “aman”. Kelompok tersebut adalah negara yang bisa mempercepat pengambilan keputusan untuk menolak izin tinggal bagi mereka yang kecil kemungkinannya untuk mendapat suaka.

    Contohnya, hanya 4% pencari suaka asal Bangladesh yang diterima di Uni Eropa tahun 2024. Bangladesh adalah negara teratas dalam daftar negara yang dianggap “aman” oleh Belgia. Negara-negara lain yang masuk daftar tersebut adalah India, Kolombia, Mesir, Maroko, dan Tunisia.

    Para menteri Uni Eropa sepakat bahwa negara-negara yang menjadi kandidat untuk tergabung di persekutuan seperti Montenegro, Moldova, atau Serbia perlu diberi status aman kecuali saat berada dalam situasi konflik atau pembatasan terhadap hak asasi manusia.

    Tampung para migran atau bayar denda

    Menurut Helena Hahn, Uni Eropa telah menyepakati satu rencana yang sedikit bertentangan dengan tren menuju pembatasan yang lebih ketat.

    Hal yang mereka sebut sebagai “pengumpulan solidaritas” akan membuat negara-negara anggota Uni Eropa di Eropa Utara dan Timur berada dalam posisi menerima lebih banyak migran dari negara-negara Selatan atau turut menyumbang dana untuk mendukung negara-negara seperti Cyprus, Spanyol, Italia, atau Yunani.

    Bagi Hahn, hal tersebut adalah “mekanisme untuk mengorganisir dan mengoordinasikan pembagian tanggung jawab terhadap para pencari suaka di antara negara-negara anggota.” Hal tersebut, menurutnya, dianggap sebagai “langkah besar.”

    “Pertanyaan-pertanyaan seputar relokasi, kuota, dan distribusi pencari suaka di seluruh Eropa dengan cara yang adil sudah selalu menjadi pembicaraan politis yang paling sensitif, yang menghambat implementasi sistem pencarian suaka di Eropa,” ucap Hahn.

    Penentuan soal negara-negara mana yang akan membayar, masih dibicarakan. Akan tetapi, Hungaria, salah satu anggota negara Uni Eropa telah menolak kewajiban denda. Hal ini bisa memunculkan sengketa hukum antara Brussels dan Budapest.

    Rasa khawatir masyarakat dan dinamika kelompok sayap kanan

    Semakin banyak warga Uni Eropa menganggap keberadaan para imigran sebagai masalah besar. Sebuah survei di awal tahun 2025 menunjukkan isu imigran menempati peringkat kedua setelah perang Rusia di Ukraina dalam daftar tantangan terbesar yang dihadapi Uni Eropa. Itu semua berada di atas kekhawatiran warga atas biaya hidup, perubahan iklim, keamanan, dan pertahanan.

    Partai-partai sayap kanan yang menekankan pesan anti-imigran semakin populer di banyak negara Uni Eropa, sementara kekuatan politik sentris berusaha merebut kembali dukungan suara.

    “Kami melihat agenda imigrasi yang sangat restriktif,” kata Helena Hahn kepada DW. Dia juga mencatat semakin banyak negara berupaya merumuskan “solusi inovatif” untuk mencegah, menahan, dan mendeportasi imigran.

    “Namun, sejauh ini hasilnya sangat sedikit,” paparnya. “Jadi, menurut saya, hal itu juga menunjukkan kelayakan politik dari beberapa gagasan yang tampaknya menyiratkan bahwa akan sangat mudah untuk memindahkan orang dari tempat A ke tempat B, tanpa memperhatikan pertimbangan politik, diplomatik, atau praktis apa pun.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Joan Aurelia Rumengan

    Editor: Muhammad Hanafi

    Tonton juga video “Trump soal Uni Eropa Denda X: Itu Bukan Hal yang Benar!”

    (nvc/nvc)

  • 10 Skandal Korupsi Terbesar yang Bikin Dunia Gempar

    10 Skandal Korupsi Terbesar yang Bikin Dunia Gempar

    Jakarta, Beritasatu.com – Korupsi menjadi salah satu ancaman paling serius bagi stabilitas ekonomi dan politik di berbagai negara. Praktik penyalahgunaan kekuasaan ini tidak hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi hukum.

    Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai skandal besar mencuat dan membuka mata dunia tentang betapa luas serta dalamnya jaringan korupsi dapat bekerja saat pengawasan melemah.

    Fenomena ini menunjukkan korupsi tidak mengenal batas wilayah maupun tingkat kemajuan ekonomi. Baik negara maju maupun negara berkembang dapat terjerat dalam praktik gelap yang melibatkan pejabat tinggi, korporasi besar, hingga lembaga internasional.

    Dampak destruktif yang ditimbulkan membuat setiap pengungkapan kasus selalu menjadi perhatian global dan sering kali mendorong perubahan kebijakan besar-besaran.

    Berikut ini skandal korupsi terbesar di dunia yang pernah terungkap serta bagaimana kasus-kasus tersebut menjadi pelajaran penting bagi upaya pemberantasan korupsi global.

    Daftar Skandal Korupsi Terbesar di Dunia

    Transparency International merangkum berbagai skandal besar yang terjadi sejak 1993 hingga 2019. Beragam kasus tersebut menyeret politisi, pejabat pemerintahan, bahkan pengusaha besar, hingga menjatuhkan rezim di beberapa negara.

    Banyak di antaranya menjadi contoh nyata bagaimana korupsi dapat menyebar luas dan merusak tata kelola negara.

    1. Skandal suap Siemens – Jerman

    Kasus korupsi Siemens pada 2008 menjadi salah satu skandal korporasi terbesar di dunia. Perusahaan teknologi raksasa ini diketahui membayar suap sebesar US$ 1,4 miliar kepada pejabat di berbagai negara untuk memenangkan kontrak bisnis.

    Investigasi otoritas Jerman dan Amerika Serikat (AS) menemukan praktik ini berlangsung bertahun-tahun di berbagai sektor, mulai dari telekomunikasi, listrik, transportasi, hingga alat medis. Suap dilakukan secara sistematis dan terstruktur di banyak lini perusahaan.

    Pada akhir 2008, Siemens mengakui kesalahan dan menyetujui pembayaran denda sebesar US$ 1,6 miliar salah satu denda penindakan korupsi terbesar dalam sejarah.

    2. Sani Abacha menguras aset Nigeria

    Sani Abacha, presiden Nigeria (1993–1998), dikenal sebagai salah satu tokoh paling korup di Afrika. Ia dan kroninya menguras miliaran dolar dari kas negara melalui kontrak fiktif, pencucian uang, dan pengalihan dana bantuan internasional.

    Dana hasil korupsi disimpan melalui jaringan bank internasional dan perusahaan cangkang di Swiss, Luksemburg, hingga Kepulauan Cayman.

    Setelah Abacha meninggal pada 1998, pemerintah Nigeria dan komunitas internasional menelusuri aset yang digelapkan dan menemukan nilai penyelewengan mencapai US$ 3 miliar hingga US$ 5 miliar. Sebagian dana berhasil dipulangkan, meski jumlahnya masih jauh dari total yang hilang.

    3. Korupsi dan pelanggaran HAM era Alberto Fujimori – Peru

    Alberto Fujimori, presiden Peru (1990–2000), dicatat sebagai salah satu pemimpin paling korup dalam sejarah modern. Selain pelanggaran HAM, ia dituduh menggelapkan sekitar US$ 600 juta.

    Tokoh penting lainnya dalam skandal ini adalah Vladimiro Montesinos, penasihat keamanan Fujimori, yang terbukti terlibat dalam praktik suap besar-besaran. Skandal memuncak ketika video Montesinos menyuap anggota parlemen bocor ke publik pada 2000.

    Fujimori melarikan diri ke Jepang sebelum akhirnya ditangkap di Chili dan diekstradisi ke Peru. Pada 2007, ia dijatuhi hukuman 25 tahun penjara.

    4. Dana rahasia Ramzan Kadyrov – Chechnya, Rusia

    Ramzan Kadyrov, pemimpin Chechnya sejak 2007, menjadi sorotan internasional karena dugaan korupsi dan pelanggaran HAM. Ia disebut menerima dana US$ 648 juta–US$ 864 juta per tahun dari pungutan tidak resmi masyarakat.

    Sebagian dana digunakan untuk pembangunan, tetapi sebagian lainnya dipakai untuk kepentingan pribadi, termasuk pesta mewah dan hadiah untuk tokoh ternama. Meski mendapat kritik tajam, Kadyrov tidak pernah diadili.

    5. Monopoli bisnis keluarga Ben Ali – Tunisia

    Pada masa pemerintahan Presiden Ben Ali (1987–2011), Tunisia dikuasai secara ekonomi oleh 220 bisnis milik keluarganya. Pemerintah menerapkan aturan izin khusus bagi perusahaan, sehingga banyak usaha lokal maupun internasional terhambat.

    Keluarga Ben Ali menguasai berbagai sektor industri dan mengumpulkan kekayaan hingga US$ 13 miliar. Setelah Ben Ali digulingkan pada 2011, pemerintah bergerak menyita dan melelang aset keluarga tersebut.

    6. Penyelewengan dana oleh Viktor Yanukovych – Ukraina

    Viktor Yanukovych, presiden Ukraina yang terguling pada 2014, dituduh menggelapkan dana negara sebesar US$ 40 miliar. Uang tersebut dialirkan melalui perusahaan cangkang yang tersebar di berbagai negara.

    Hingga kini, pemerintah Ukraina baru memulihkan sekitar US$ 1,5 miliar, sementara sebagian besar dana masih sulit dilacak.

    7. Skandal Ricardo Martinelli – Panama

    Ricardo Martinelli, presiden Panama (2009–2014), diekstradisi pada 2018 karena tuduhan penyalahgunaan dana publik, pelanggaran privasi, dan penyalahgunaan wewenang.

    Ia diduga memanipulasi tender proyek pemerintah serta menggunakan dana negara untuk memata-matai lebih dari 150 tokoh publik, termasuk jurnalis dan oposisi.

    8. Skandal 1MDB – Malaysia

    Skandal 1MDB menjadi salah satu korupsi keuangan terbesar di Asia. Lembaga investasi ini dibentuk pada 2009 oleh Najib Razak namun kemudian terbukti disalahgunakan.

    Investigasi internasional menemukan penyelewengan lebih dari US$ 4,5 miliar melalui transaksi ilegal yang melibatkan pejabat, pengusaha, dan pelaku industri keuangan. Kasus ini mengguncang politik Malaysia hingga Najib akhirnya dijatuhi hukuman penjara pada 2020.

    9. Skema pencucian uang Russian Laundromat – Rusia

    Russian Laundromat merupakan skema pencucian uang lintas benua dengan nilai hingga US$ 20 miliar–US$ 80 miliar. Modusnya menggunakan perusahaan cangkang di Inggris serta jalur bank di Moldova dan Latvia sebelum dana masuk ke Eropa Barat. Kasus ini memicu penyelidikan internasional dan menyeret sejumlah bank besar.

    10. Skandal korupsi Gurtel – Spanyol

    Skandal Gurtel pada 2009 melibatkan jaringan besar yang melakukan suap, penggelapan dana publik, dan transaksi ilegal dalam skala luas. Tokoh utama, Francisco Correa, dijatuhi 51 tahun penjara, sementara mantan bendahara Partai Rakyat Luis Bárcenas, dihukum 33 tahun penjara.

    Daftar korupsi terbesar di dunia menunjukkan betapa kompleks dan sistematisnya penyalahgunaan kekuasaan di berbagai negara. Dari skema pencucian uang lintas benua hingga penyelewengan dana publik oleh pejabat tinggi, setiap kasus membuktikan korupsi merusak perekonomian, demokrasi, dan kepercayaan masyarakat.

  • Puji Desain UMKM Naik Kelas, Mendag Serahkan Penghargaan GDI ke 51 Produk

    Puji Desain UMKM Naik Kelas, Mendag Serahkan Penghargaan GDI ke 51 Produk

    Jakarta

    Menteri Perdagangan Budi Santoso menyerahkan penghargaan kepada 51 produk pemenang ajang Good Design Indonesia (GDI) 2025. Ajang ini hadir sebagai penegasan desain produk Indonesia mampu menjawab dinamika dan tuntutan pasar internasional.

    Acara dengan tema ‘Good Design, Good Impact: Sustainability & Adaptive Design’ ini digelar di Auditorium Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (4/12) kemarin. GDI 2025 merupakan program strategis di bawah Indonesia Design Development Center (IDDC) bersama Klinik Desain dan Designer Dispatch Service (DDS).

    Acara tersebut menjadi wadah untuk membangun identitas produk, kekuatan cerita (storytelling), dan daya tarik visual yang selaras dengan selera global. Kementerian Perdagangan mendukung jalannya program tersebut sebagai upaya memperkuat kapasitas desain produk Indonesia dalam menembus pasar global.

    “Kualitas desain semakin menjadi faktor pembeda yang menunjukkan kemampuan produk menembus pasar internasional. Untuk memperkuat kapasitas desain nasional, diberikan pendampingan berupa konsultasi dan penguatan kualitas desain bagi pelaku usaha. Upaya ini akan mendorong terciptanya produk Indonesia yang kompetitif dan memiliki nilai tambah,” ujar Busan dalam keterangannya, Rabu (5/12/2025).

    Busan mengatakan, untuk menjaga kinerja positif ekspor Indonesia, desain produk menjadi salah satu kunci keberhasilannya. Produk-produk yang didesain dengan baik tidak hanya meningkatkan daya saing, tetapi juga membuka peluang ekspor, termasuk bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

    “Banyak produk UMKM yang awalnya belum optimal packaging maupun desainnya, kini berhasil menembus pasar global setelah didesain ulang oleh para desainer,” katanya.

    Untuk mendorong UMKM memanfaatkan peluang ekspor, Kemendag memiliki Program UMKM Berani Inovasi, Siap Adaptasi (BISA) Ekspor. Program ini memfasilitasi pelaku usaha kecil hingga menengah untuk mempresentasikan produk mereka kepada perwakilan perdagangan RI di 33 negara.

    Program ini sekaligus menjadi sarana bagi UMKM untuk mendapatkan masukan desain dan kesamaan sehingga produk mereka semakin siap bersaing di pasar global.

    Busan menyampaikan, Kemendag juga menekankan pengembangan UMKM di tingkat desa melalui program UMKM Desa Bisa Ekspor. Desain produk-produk desa akan distandarkan melalui fasilitasi pelatihan-pelatihan desain. Tujuannya, agar memenuhi standar kualitas dan dapat ikut dalam program UMKM Bisa Ekspor.

    Pemerintah juga membuka akses pasar untuk produk Indonesia ke pasar global. Indonesia telah memiliki 20 perjanjian dagang terimplementasi serta lima perjanjian terbaru yang telah selesai tahun ini.

    Beberapa perjanjian terbaru Indonesia, yaitu Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Indonesia-Canada CEPA, Indonesia-Peru CEPA, Indonesia-Eurasian Economic Union Free Trade Agreement (Indonesia-EAEU FTA), serta Indonesia-Tunisia PTA.

    Menilai Kontribusi Nyata

    Terdapat enam kategori produk pada GDI 2025, yaitu Aksesori, Barang Pakai, Perlengkapan Rumah Tangga, Mobilitas, Perlengkapan Perumahan, serta Furnitur dan Fasilitas Publik. Sebanyak 347 produk telah mendaftar sepanjang 10 April-7 Juni 2025. Seluruh produk dinilai melalui proses seleksi ketat yang berlangsung dalam dua tahap, yaitu pada 10-13 Juni dan 1 Juli 2025.

    Penilaian ini didasarkan pada lima kriteria utama, yaitu inovasi, kebaruan, potensi komersial, orientasi ekspor, serta dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.

    Dari total pendaftar yang melalui 2 tahap penjurian telah terkurasi 51 produk penerima penghargaan. Berdasarkan penilaian akhir, terpilih 41 produk Good Design, 10 produk Best Design. Kemudian, di antara 10 produk Best Design tersebut dipilih 1 produk terbaik yang dianugerahi gelar Best Design of the Year.

    Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Fajarini Puntodewi, menyampaikan, penilaian GDI 2025 dapat terlaksana dengan baik berkat kerja sama yang solid antara Kemendag dengan berbagai pihak, di antaranya JDP, Japan External Trade Organization (JETRO), serta para dewan juri.

    “Tim Juri GDI 2025 terdiri atas enam profesional yang kompeten di bidangnya, termasuk satu perwakilan juri dari Good Design Award Jepang dan satu perwakilan juri dari Taiwan Design Research Institute,” ucap Puntodewi.

    Ketua Juri GDI asal Indonesia, Prananda L. Malasan, mengatakan, proses penjurian difokuskan untuk menangkap kualitas desain yang tidak hanya unggul dari sisi estetika dan fungsi, tetapi juga memiliki kontribusi nyata terhadap keberlanjutan dan kemampuan beradaptasi.

    “Di era industri yang terus berkembang, desain berkelanjutan bukan lagi pilihan, tapi menjadi kebutuhan. Mari kita ciptakan masa depan berkelanjutan melalui kekuatan desain. Penguatan tema ini bukan hanya relevan, tetapi menjadi strategi penting agar desain Indonesia memiliki nilai yang sangat tinggi sekaligus mendorong desainer dan pelaku industri untuk mengedepankan inovasi yang berdampak,” tutur Prananda.

    Pemenang GDI of the Year 2025, Diaz Hensuk dari perusahaan Format, menyampaikan apresiasinya kepada Kemendag yang telah memberikan wadah bagi para pelaku usaha dan desainer untuk menyalurkan karya mereka agar lebih dikenal di pasar global.

    “Kemendag telah memberi wadah bagi pelaku usaha dan desainer untuk menyalurkan karya mereka dan diperkenalkan ke pasar global. Selain itu, kami memperoleh koneksi baru, lead project baru, serta account baru yang memiliki potensi untuk kolaborasi atau proyek,” jelas Diaz.

    GDI kini memasuki tahun ke-9 sebagai ajang strategis bagi desainer dan pelaku usaha nasional sejak diluncurkan pada 2017 bersama Japan Institute of Design Promotion (JDP). Hingga 2025, lebih dari 1.300 produk telah berpartisipasi pada GDI. Ratusan pemenang telah dinobatkan, termasuk yang telah berhasil menembus pasar ekspor.

    GDI 2025 juga berhasil membawa desain Indonesia menembus kancah internasional. Sebanyak delapan produk Indonesia meraih Good Design Award (G-Mark) 2025 di Jepang pada 4 November 2025 lalu. Produk-produk tersebut meliputi tas gaya hidup ramah lingkungan, furnitur, bahan konstruksi inovatif, hingga kendaraan listrik.

    Tonton juga video “Mendag Ungkap Ada Aturan Baru soal Penyaluran MinyaKita”

    (anl/ega)

  • Langit Arab Akan Gelap Total Saat Gerhana Matahari Terlama Abad Ini

    Langit Arab Akan Gelap Total Saat Gerhana Matahari Terlama Abad Ini

    Jakarta

    Lima negara Arab akan diliputi kegelapan saat terjadi gerhana Matahari total pada 2 Agustus 2027. Ini adalah fenomena langit langka, karena merupakan gerhana Matahari terlama abad ini, menurut NASA.

    Gerhana Matahari total akan melintasi langit Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, dan Mesir, sebelum berlanjut ke Arab Saudi dan Yaman. Gerhana ini menjanjikan pemandangan spektakuler karena diperkirakan akan menjadi gerhana Matahari terlama di abad ke-21, berlangsung hingga enam menit 26 detik.

    Meskipun gerhana Matahari total bukanlah fenomena yang jarang terjadi, fenomena ini umumnya hanya berlangsung sebentar. Namun, gerhana ini akan menjadi fenomena yang menonjol bukan hanya karena durasinya, tetapi juga karena kelangkaannya di wilayah tersebut. Fenomena ini juga akan mengubah siang menjadi seperti malam.

    Terakhir kali gerhana Matahari total yang berlangsung lama seperti itu terjadi adalah pada 2009. Para astronom menyebutkan, fenomena serupa baru akan terjadi lagi pada 2114, sehingga peristiwa ini akan menjadi peristiwa langka.

    Dikutip dari Gulf News, NASA mengonfirmasi bahwa gerhana Matahari total 2027 tidak hanya akan menjadi gerhana terpanjang abad ini, tetapi juga akan menjadi pertunjukan langit yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi mereka yang berada di jalur yang dilaluinya.

    Fase totalitas, saat Bulan menutupi Matahari sepenuhnya, akan berlangsung selama lebih dari enam menit, memberikan kesempatan lebih lama bagi para pengamat langit untuk menyaksikan kegelapan yang menakjubkan yang menyelimuti lanskap yang ditutupinya.

    Selama fase ini, korona Matahari, lingkaran cahaya yang hanya terlihat selama totalitas, akan terlihat, memungkinkan pandangan yang jelas terhadap atmosfer luar Matahari.

    Gerhana ini memiliki arti penting bukan hanya karena kelangkaannya, tetapi juga karena pentingnya dalam studi ilmiah. Gerhana Matahari total menawarkan kesempatan unik bagi para astronom untuk mempelajari korona Matahari, medan magnetnya, dan dampak radiasi Matahari.

    Gerhana 2027, khususnya, akan memberikan kesempatan utama bagi para peneliti untuk mengumpulkan data berharga tentang dinamika Matahari, dan peristiwa ini dapat menghasilkan wawasan baru tentang perilaku Matahari.

    Di luar komunitas ilmiah, gerhana ini juga akan menjadi pengingat akan misteri alam semesta dan ketertarikan manusia yang sudah lama terhadap fenomena langit. Pada zaman dahulu, gerhana Matahari sering dianggap sebagai pertanda, yang memicu rasa takut dan heran. Namun, saat ini, peristiwa ini dirayakan oleh para pengamat langit, ilmuwan, dan penonton yang penasaran.

    Seiring dengan terus berlanjutnya hitungan mundur hingga 2 Agustus 2027, berbagai persiapan telah dilakukan di negara-negara yang terkena dampak. Tempat-tempat pengamatan akan disiapkan, dan tindakan pencegahan keselamatan akan ditekankan untuk memastikan orang-orang dapat menyaksikan gerhana tanpa risiko bahaya bagi mata mereka.

    Gerhana Matahari di 2027 disebut-sebut akan menjadi peristiwa yang tak terlupakan, yang akan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di langit dunia Arab untuk generasi mendatang.

    (rns/rns)

  • Kemendag percepat pemanfaatan akses dagang baru

    Kemendag percepat pemanfaatan akses dagang baru

    ANTARA – Indonesia menuntaskan perjanjian dagang dengan Peru dan Tunisia yang kini menunggu waktu penandatanganan resmi. Menteri Perdagangan Budi Santoso di Jakarta, Selasa (25/11), mendorong pelaku usaha segera memanfaatkan akses pasar baru untuk memperkuat ekspor nasional. (Putri Hanifa/Rayyan/Gracia Simanjuntak)

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Eder Militao Mengalami Cedera Saat Memperkuat Brasil, Absen Bela Real Madrid Lawan Elche

    Eder Militao Mengalami Cedera Saat Memperkuat Brasil, Absen Bela Real Madrid Lawan Elche

    JAKARTA – Bek Real Madrid, Eder Militao, mengalami cedera kaki kanan saat bermain untuk Brasil. Los Blancos mengatakan bahwa tes medis menunjukkan bahwa Militao mengalami cedera otot abduktor saat pertandingan persahabatan Brasil melawan Tunisia pada Rabu, 19 November 2025, dini hari WIB.

    Klub tidak menyebutkan perkiraan waktu pemulihannya. Namun, menurut laporan ESPN, ia kemungkinan tidak akan bermain pada Senin, 24 November 2025, dini hari WIB, melawan Elche.

    Militao harus digantikan di babak kedua saat Brasil bermain imbang 1-1. Klub mengatakan pembaruan lebih lanjut akan menyusul mengenai pemulihan sang bek tengah.

    Real Madrid, yang akan menghadapi Elche di LaLiga, unggul tiga poin atas Barcelona setelah 12 pertandingan.

    Dean Huijsen, Eduardo Camavinga, dan Kylian Mbappe juga diragukan tampil untuk Real Madrid pada laga pertama setelah jeda internasional.

  • Menghidupkan Sejarah, Peta Digital Ungkap Jalan Romawi Kuno

    Menghidupkan Sejarah, Peta Digital Ungkap Jalan Romawi Kuno

    Jakarta

    Ungkapan “banyak jalan menuju Roma” ternyata ada benarnya. Jalan-jalan itu menjadi urat nadi Kekaisaran Romawi, membentang dari Britania Raya hingga Afrika Utara. Di sepanjang rute tersebut, masyarakat bermukim, pasukan bergerak, dan barang serta pengetahuan berpindah ke wilayah paling jauh. Sisa-sisa jalur kuno itu masih terlihat dalam lanskap Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara hingga kini.

    Sebuah proyek penelitian digital berskala besar mengubah cara kita memandang infrastruktur kuno tersebut. Tim akademisi internasional yang mengembangkan proyek Itiner-e merilis set data digital beresolusi tinggi yang memetakan seluruh jaringan jalanan Romawi. Sebanyak 299.000 kilometer jalan berhasil direkonstruksi secara digital, mencakup sekitar 4 juta kilometer persegi wilayah kekaisaran, hampir dua kali lebih panjang dari perkiraan sebelumnya.

    Peta digital ini membuka peluang baru untuk memahami bagaimana infrastruktur kuno membentuk pergerakan manusia, sistem pemerintahan, hingga hubungan politik dari masa Romawi sampai Eropa modern.

    Itiner-e: Memetakan peradaban Romawi kuno secara digital

    Untuk membangun peta digital ini, para peneliti menelusuri berbagai sumber sejarah yang paling dapat dipercaya. Mereka memeriksa situs arkeologi, catatan perjalanan, hingga peta kuno seperti Tabula Peutingeriana. Semua informasi tersebut kemudian dicocokkan dengan foto dari udara dan citra satelit agar rekonstruksi jaringan jalan bisa dilakukan dengan lebih akurat.

    Salah satu temuan penting adalah pola pembagian lahan khas Romawi, yaitu cara mereka membagi wilayah baru menjadi petak-petak persegi yang tertata rapi. Pola seperti papan catur ini dulunya menjadi batas lahan, jalan kecil, atau rute perjalanan. Sampai sekarang, jejak pola tersebut masih bisa terlihat dari udara, terutama di Italia utara, Prancis selatan, dan Tunisia.

    Pada tahap akhir, tim peneliti menyusun 14.769 segmen jalan ke dalam sistem informasi geografis (GIS) dengan tingkat akurasi hingga 50 meter. Setiap segmen dilengkapi metadata regional, sumber rujukan, indikator kualitas, dan tautan ke lokasi permukiman kuno. Kombinasi data ini memberi gambaran baru tentang mobilitas, administrasi, hingga penyebaran penyakit di dalam Kekaisaran Romawi.

    Perpaduan metode digital dan penyelidikan arkeologi

    Selain memetakan lebih dari 100.000 kilometer jalan utama, tim juga menelusuri 195.000 kilometer jalan sekunder yang menggambarkan mobilitas masyarakat di pelosok kekaisaran.

    Jalan sebagai fondasi kekuatan Kekaisaran Romawi

    Itiner-e memperlihatkan bagaimana kemampuan logistik Kekaisaran Romawi berperan besar dalam ekspansi wilayahnya. Jaringan jalan utama dipenuhi penanda jarak, pos militer, dan pusat administrasi yang membantu pemerintah mengelola wilayah yang sangat luas.

    Sementara itu, jalan-jalan sekunder menunjukkan dinamika ekonomi lokal dan mobilitas sehari-hari masyarakat. Dalam sejumlah wilayah, jejaknya masih terlihat jelas. Namun, di wilayah lain jejak tersebut harus direkonstruksi berdasarkan catatan sejarah dan analisis digital. Temuan ini membuka banyak ruang bagi riset lanjutan.

    Memetakan yang tak terlihat: Misteri jalan Romawi

    Itiner-e juga menunjukkan bahwa banyak rute jalan Romawi tidak bisa dipastikan secara tepat. Perubahan bentuk lanskap selama berabad-abad dan perbedaan catatan sejarah membuat sejumlah jalur hanya bisa direkonstruksi berdasarkan perkiraan.

    Dari keseluruhan jaringan yang dipetakan, hanya 2,7% jalan yang bisa dipastikan secara arkeologis. Sekitar 90% hanya bisa diperkirakan, dan 7,4% sisanya bersifat hipotetis.

    Data tersebut disajikan transparan dalam Confidence Maps, yaitu peta yang menunjukkan mana saja segmen jalan yang masih memerlukan penelitian atau penggalian lebih lanjut. Pendekatan ini menjadi terobosan penting dalam penelitian arkeologi modern.

    Mengukur ulang jalan Romawi, menulis ulang sejarah Eropa

    Proyek Itiner-e menunjukkan bahwa jaringan jalan Romawi jauh lebih panjang, lebih rumit, dan lebih berlapis daripada yang diperkirakan sebelumnya.

    Peta digital ini membuka banyak ruang kosong dalam pengetahuan kita sekaligus memberi peluang bagi penemuan baru tentang sejarah pergerakan manusia. Setiap celah arkeologis menjadi pengingat bahwa masih banyak yang belum terungkap tentang bagaimana dunia Romawi membentuk perkembangan Eropa dan dunia modern hari ini.

    Artikel ini diterjemahkan dari artikel berbahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu

    Editor: Tezar Aditya Rahman

    Tonton juga video “Mesir Temukan Artefak Kuno Era Romawi di Bawah Laut”

    (ita/ita)

  • Dubes Ungkap Makna Khusus Bilateral RI-Tunisia, Ungkit Kisah Sukarno

    Dubes Ungkap Makna Khusus Bilateral RI-Tunisia, Ungkit Kisah Sukarno

    Jakarta

    Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Tunisia, Zuhairi Misrawi, mengatakan hubungan bilateral Indonesia-Tunisia mempunyai makna khusus tersendiri. Zuhairi mengatakan hal itu ditandai dengan persahabatan pemimpin besar Indonesia dan Tunisia sejak dulu kala antara Presiden pertama RI Sukarno dengan Presiden Habib Bourguiba.

    Hal tersebut disampaikan Zuhairi saat menggelar Kuliah Umum tentang Diplomasi Persahabatan Indonesia-Tunisia di Universitas Jandouba dikutip Sabtu (15/11/2025). Kegiatan tersebut dihadiri oleh Rektor Universitas Jandouba, Hisyam Sibai, Wakil Rektor, Para Dekan, guru besar, dosen, dan para mahasiswa Universitas Jandouba.

    “Kami sampaikan, bahwa hubungan bilateral Indonesia-Tunisia mempunyai makna khusus dan spesial, karena dimulai dengan persahabatan dua pemimpin besar kedua negara, Presiden Sukarno dan Presiden Habib Bourguiba,” ujarnya.

    Zuhairi mengatakan hal itu harus menjadi semangat kaum muda memperkokoh hubungan bilateral kedua negara. Dia mengatakan anak muda harus mencontoh kedua tokoh itu dengan memberikan pengabdian terbaik dan kerja-kerja besar untuk kemaslahatan kedua negara.

    “Fakta ini harus memompa semangat kaum muda untuk memperkokoh hubungan bilateral kedua negara sembari meningkatkan kerjasama ekonomi, kebudayaan, pendidikan, pariwisata, dan politik. Jika para pemimpin kita di masa lalu berhasil membangun persahabatan, maka kita semua, khususnya kaum muda harus memberikan pengabdian terbaik dan kerja-kerja besar untuk kemaslahatan kedua negara,” ujar Duta Besar Republik Indonesia lulusan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir ini.

    “Kaum muda harus mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi, cinta Tanah Air sembari membangun jembatan diplomasi. Karena diplomasi merupakan salah satu solusi membangun peradaban. Belajar dari pengalaman Indonesia dan Tunisia, diplomasi telah memberikan manfaat besar bagi kemajuan kedua negara,” ujarnya.

    Dubes Zuhairi Misrawi juga melakukan pertemuan khusus dengan Rektor dan Wakil Rektor Universitas Jandouba, serta para guru besar, dosen, dan perwakilan mahasiswa. Pertemuan itu membahas kerja sama Universitas Jandouba dengan berbagai universitas di Indonesia. Kegiatan juga dimeriahkan dengan tarian-tarian Nusantara.

    (whn/gbr)

  • Jerman Butuh Perawat Asing, Tapi Apakah Mereka Bisa Betah?

    Jerman Butuh Perawat Asing, Tapi Apakah Mereka Bisa Betah?

    Jakarta

    Lebih dari 300.000 orang meninggalkan tanah kelahiran mereka dalam beberapa tahun terakhir untuk pindah dan merawat lansia serta pasien sakit di Jerman. Hal ini tentu menguntungkan bagi Jerman — tetapi apakah juga menyenangkan bagi para perawat itu sendiri? Banyak negara kini bersaing untuk mendapatkan tenaga mereka.

    Para peneliti menamai fenomena ini sebagai industri migrasi internasional, sebuah ‘bisnis’ yang mengatur tenaga kerja migran seperti pemain di pasar yang bersaing mendapatkan karyawan baru. Ahli geografi Stefan Kordel dari Universitas Erlangen-Nrnberg di selatan Jerman mengatakan kepada DW bahwa migrasi tenaga kerja di sektor perawatan kini sudah sangat profesional. Pemerintah, sektor swasta, bahkan klinik dan panti jompo individual, bersaing untuk mendapatkan tenaga perawat dan peserta pelatihan. Kepentingan ekonomi ikut dipertaruhkan.

    Dalam kasus ekstrem, rekan Kordel, Tobias Weidinger, menambahkan, situasinya bisa seperti ini: “Mereka mengatakan kepada agen perekrutan, ‘Tolong kirimkan kami lima imigran untuk tahun pelatihan berikutnya. Jika salah satu dari mereka kembali ke negara asal, kirim saja yang lain. Kami minta lima orang, jadi kirim lima, ya!”

    Di media sosial, klinik sering menyoroti betapa pentingnya memiliki orang dengan latar belakang imigran sebagai bagian dari tim. Lebih dari 25% populasi Jerman memiliki apa yang disebut di Jerman sebagai “latar belakang imigran”, sebuah kategori statistik untuk menggambarkan seseorang yang berimigrasi ke Jerman atau memiliki setidaknya satu orang tua kelahiran luar negeri.

    Menurut Badan Tenaga Kerja Federal, sektor perawatan di Jerman akan “runtuh” tanpa kaum pekerja migran ini: “Hampir satu dari empat tenaga perawat di panti jompo adalah warga negara asing.” Dan di semua profesi perawatan, satu dari lima orang berasal dari luar negeri. Tren ini terus meningkat. Banyak perawat akan segera pensiun, sementara yang lain meninggalkan profesi karena beban kerja yang berlebihan.

    Penelitian: Bagaimana nasib perawat dengan latar belakang migran di Jerman?

    Selain tenaga perawat baru yang baru tiba dari luar negeri, banyak spesialis Jerman di klinik atau perawatan geriatri adalah warga Jerman dengan latar belakang migran. Banyak dokter dan perawat adalah mantan pengungsi dari Suriah atau Ukraina. Mereka semua membantu memastikan pasien sakit dan lansia di Jerman dirawat — setidaknya untuk saat ini.

    Namun, seiring penuaan masyarakat, permintaan meningkat tajam, dan pertanyaannya tetap: Apakah tenaga perawat ini merasa cukup nyaman di Jerman untuk tetap tinggal?

    Dalam studi mereka berjudul Inclusion of Care Workers and Nurses with a Migration Background, para peneliti menggambarkan apa saja yang penting untuk kesejahteraan: di tempat kerja sektor perawatan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari di luar pekerjaan.

    Perekrutan: Brosur warna-warni — siapa yang menang?

    “Berlin itu cantik, Heidelberg itu romantis,” demikian isi brosur warna-warni yang mempromosikan Jerman, papar Kordel, seraya menambahkan bahwa banyak imigran akhirnya berakhir di daerah pedesaan, di mana kehidupan sangat berbeda dari yang digambarkan brosur.

    Bagi tenaga perawat, sering kali soal kebetulan fasilitas mana yang mereka tempati dan seberapa banyak bantuan yang mereka dapat untuk membangun kehidupan baru.

    Ada program pemerintah yang disebut “triple win” untuk negara-negara tertentu seperti Filipina, India, Indonesia, dan Tunisia. Tujuannya adalah semua pihak diuntungkan: Negara asal, Jerman, dan para peserta misalnya biaya kursus bahasa dan tiket pesawatnya ditanggung. Agen swasta bisa memperoleh cap persetujuan pemerintah yang menjamin: “Rekrutmen Perawat secara Adil di Jerman”.

    Namun, beberapa agen memungut biaya tinggi dari tenaga perawat, lapor Stefan Kordel: “Beberapa orang harus membayar €12.000 (sekitar Rp200 juta), dengan mengambil pinjaman di bank atau mengumpulkan uang dari keluarga mereka.” Lalu mereka harus mengambil pekerjaan kedua selain pekerjaan perawatan untuk melunasi utang-utang itu. Kordel mengatakan bahwa karena itu informasi yang lebih baik, pemeriksaan, dan sanksi sangat dibutuhkan.

    Kekecewaan terhadap pekerjaan keperawatan di Jerman

    Di banyak negara asal, keperawatan tidak diajarkan sebagai program pelatihan kejuruan seperti di Jerman, melainkan bagian dari gelar universitas. Mereka yang tidak diberi informasi dengan benar, bisa mendulang kecewa di Jerman, karena alih-alih melakukan tugas medis, mereka diharapkan menghabiskan banyak waktu untuk memberikan perawatan dasar, memandikan orang, atau menyajikan makanan. Di banyak negara lain, tugas-tugas ini sering dilakukan oleh anggota keluarga atau asisten.

    Ada rasa kekecewaan sangat besar ketika tenaga perawat terlatih dari Filipina tidak diizinkan memasang infus atau kateter di Jerman, lapor Myan Deveza-Grau dari organisasi diaspora Filipina PhilNetz e.V. kepada DW: “Mereka tidak mengerti: Kenapa saya tidak diizinkan melakukan tugas itu?”

    Belajar bahasa Jerman: Dialek dan beban ganda

    “Saya harus belajar bahasa Jerman banyak di malam hari. Itu sebabnya saya tidak punya waktu. Di akhir pekan, kami harus mempersiapkan ujian dan kursus bahasa Jerman. Dan kami juga harus menghadiri kursus bahasa Jerman pada hari Minggu.” Begitulah seorang peserta pelatihan dari Vietnam mendeskripsikan keseharian sebagai peserta pelatihan dalam studi tersebut. Situasi ini hampir tidak memberinya waktu untuk membangun kontak sosial. Di samping itu, birokrasinya “bikin sakit kepala”, keluh mereka. Hal ini membuat program pendampingan dan pengertian dari rekan kerja menjadi semakin penting.

    Peserta pelatihan dan tenaga perawat mengikuti kursus bahasa Jerman di negara asal mereka dan membawa sertifikat bahasa. Namun, sering kali ada penantian lama sebelum mereka bisa masuk ke Jerman. Dan di beberapa wilayah Jerman, orang berbicara dengan dialek tertentu kadang sulit dipahami. Para peneliti di FAU merekomendasikan agar kursus bahasa yang terarah ditawarkan bersamaan dengan bekerja, dan institusi sebaiknya membangun jejaring regional untuk tujuan ini.

    Beberapa perubahan dalam sistem keperawatan bisa membuat hidup lebih mudah bagi semua orang, kata para peneliti. Misalnya, ada tim shift pagi yang bersikeras semua pasien dimandikan sebelum pukul 8:30 agar bisa ada waktu istirahat. Namun jika seorang perawat harus mengantar anaknya dulu ke tempat penitipan anak dan tidak bisa mengandalkan anggota keluarga lain karena mereka tinggal di luar negeri, perawat itu baru bisa mulai bekerja pada pukul 8:30 pagi.

    Jadi, mengapa tidak memperkenalkan shift lebih lambat untuk ibu atau ayah, yang bisa memandikan beberapa pasien lebih lambat? Ini juga akan membantu orang tua yang bukan imigran dan juga menyenangkan pasien yang ingin tidur lebih lama.

    Di beberapa tempat, jarangnya moda angkutan publik beroperasi pada malam hari setelah shift malam selesai atau tidak ada apartemen terjangkau dekat tempat kerja — juga jadi masalah. Mencari solusi untuk mengatasi hambatan seperti ini akan menguntungkan seluruh tenaga kerja, bukan hanya imigran.

    Diskriminasi dan rasisme

    “Apa saran yang akan Anda berikan kepada seseorang dari luar negeri yang ingin bekerja di bidang keperawatan di Jerman?” tanya para peneliti kepada tenaga perawat.

    Seorang perempuan dari Guinea yang sudah tinggal di Jerman lebih dari sepuluh tahun dan memiliki paspor Jerman menjawab: “Anda pasti akan menghadapi rasisme.”

    Seperti yang ditunjukkan oleh studi, kasusnya bukanlah yang terisolasi. Klinik dan panti jompo telah berusaha meningkatkan kesadaran di antara pegawai mereka. Namun, hampir tidak ada peningkatan kesadaran untuk pasien dan kerabat mereka. Weidinger mengatakan: “Jika orang yang dirawat berkata, ‘Saya tidak mau dirawat oleh orang kulit hitam,’ maka situasi menjadi sulit.”

    Diskriminasi terhadap kaum minoritas ada di semua bidang kehidupan, sebagaimana studi lain juga menunjukkan: di kantor pemerintah, transportasi umum, jalanan, dan pasar perumahan.

    Tanggung jawab ada pada masyarakat secara keseluruhan agar tenaga perawat merasa nyaman, tandas Stefan Kordel. “Pengalaman diskriminasi dan rasisme memengaruhi keputusan untuk tetap tinggal — atau meninggalkan tempat kerja, tempat tinggal, bahkan Jerman.”

    Tenaga perawat Filipina juga khawatir tentang populisme sayap kanan dan Partai Alternatif bagi Jerman atauAlternative for Germany (AfD), lapor Deveza-Grau. Beberapa orang berkata, “Saya tetap akan coba bekerja. Jika tidak berhasil, saya pergi ke tempat lain.” Negara Kanada, misalnya, aktif merekrut tenaga asing.

    Perawat di Jerman: Tetap atau pindah?

    Orang ingin diterima dan merasa seperti di rumah, seperti yang didokumentasikan studi: “Saya akan tinggal di tempat keluarga saya baik-baik saja. Di tempat saya tidak dilecehkan dan punya teman.”

    Para peneliti Universitas Erlangen-Nrnberg merekomendasikan lebih banyak jejaring antara pembuat keputusan politik, agen penempatan, dan fasilitas perawatan, terutama dengan mereka yang memang sudah menjadi imigran. Ini juga yang diinginkan organisasi Filipina, tandas Myan Deveza-Grau.

    Banyak orang kini menyadari bahwa budaya ramah sangat dibutuhkan, kata peneliti Weidinger. “Membuat imigran berpartisipasi, berintegrasi, dan bertahan adalah proses jangka panjang,” pungkasnya. Ini soal “menciptakan kondisi kerja dan hidup yang menarik dalam jangka panjang, dengan memperhatikan keadaan khusus imigran. Itu berarti menciptakan kondisi kerja dan hidup yang menarik bagi semua orang.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Rizki Nugraha

    Tonton juga Video: Industri Mobil Jerman Mulai Beralih ke Produksi Suku Cadang Drone


    (ita/ita)

  • Nasib Pengungsi Anak di Laut: Perjalanan Sendirian yang Mematikan

    Nasib Pengungsi Anak di Laut: Perjalanan Sendirian yang Mematikan

    Jakarta

    “Tak seorang pun akan mempertaruhkan nyawanya di laut jika ada cara yang lebih baik. Tapi tidak ada alternatif. Itulah mengapa kami mempertaruhkan nyawa kami.”

    Itulah kata-kata seorang bocah berusia 15 tahun dari Guinea yang diselamatkan sebagai anak yang tidak didampingi di laut oleh NGO yang berbasis di Berlin, SOS Humanity.

    Organisasi yang telah menyelamatkan pengungsi dan migran di laut selama satu dekade ini memperingatkan bahwa semakin banyak anak-anak dan remaja yang berangkat sendirian dari Libya atau Tunisia menuju Eropa dengan kapal yang terlalu penuh dan sering kali tidak layak laut. Sekitar seperlima dari mereka yang diselamatkan adalah anak di bawah umur.

    Esther, seorang psikolog klinis asal Jerman, menjadi relawan sebagai petugas kesehatan mental dalam misi penyelamatan di Mediterania pada November dan Desember 2024.

    Dalam konferensi pers di Berlin pada Selasa, di mana Esther tidak menyebutkan nama belakangnya, ia mengatakan bahwa selama berada di laut, enam kapal yang membawa 347 orang berhasil diselamatkan. Di antara mereka terdapat 43 orang muda, sebagian besar anak yang tidak didampingi, dalam kondisi fisik dan mental yang buruk.

    “Sering kali mereka berada di laut tanpa makanan atau minuman selama beberapa hari dan malam, mengalami dehidrasi, mabuk laut, dan sering memiliki luka bakar akibat bahan bakar dan air laut. Banyak juga yang menderita scabies atau infeksi dan luka lainnya, karena mereka telah berada di kamp-kamp di Libya dalam waktu lama. Semua mereka kelelahan secara emosional,” ujarnya.

    Anak-anak sangat berisiko di kamp-kamp Libya

    Selama bertahun-tahun, Libya, yang berdasarkan kesepakatan multimiliar euro dengan Uni Eropa seharusnya mengambil alih pengendalian perbatasan dan secara drastis mengurangi jumlah migran, menghadapi kritik keras atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
    “Orang muda menceritakan kepada saya tentang kekerasan seksual ekstrem, penyiksaan, kerja anak, kehilangan anggota keluarga, dan kasus perdagangan manusia yang melibatkan perempuan,” kenang Esther. “Beberapa dari mereka menunjukkan bukti fisik dari apa yang mereka alami. Beberapa memiliki bekas luka akibat penyiksaan, serta foto dan video yang diambil di kamp-kamp Libya yang menunjukkan mereka diikat dan dipukuli.”

    Lebih dari 3.500 anak hilang atau meninggal

    Anak-anak yang berhasil melarikan diri dari kamp menghadapi bahaya yang lebih besar selama perjalanan.

    Menurut perkiraan UNICEF pada April, sekitar 3.500 anak telah meninggal atau hilang dalam 10 tahun terakhir saat mencoba mencapai Italia melalui rute Mediterania tengah. Ini berarti hampir satu anak meninggal atau hilang setiap hari selama satu dekade penuh.

    Statistik ini membuat SOS Humanity menyerukan penghentian segera kerja sama UE dengan Libya dan Tunisia.

    “Proporsi anak-anak di antara mereka yang melarikan diri sebenarnya meningkat secara stabil selama 10 tahun terakhir. Sekitar seperlima dari semua kedatangan di Italia adalah anak-anak. Dalam penyelamatan kami, rata-ratanya bahkan lebih dari sepertiga,” kata Till Rummenhohl, direktur pelaksana SOS Humanity.

    “Kami baru-baru ini mengevakuasi seluruh kapal yang hanya berisi anak-anak, 120 orang. Mereka adalah anak-anak yang benar-benar panik, bepergian sendirian dan meloncat ke air karena takut terhadap penjaga pantai Libya,” tambahnya.

    Kebijakan Trump potong bantuan USAID berdampak dramatis

    Jumlah anak-anak dan remaja yang semakin banyak menempuh perjalanan berbahaya ke Eropa kemungkinan akan meningkat di masa depan, kata Lanna Idriss, kepala SOS Children’s Villages Worldwide. Penyebabnya: pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump telah membubarkan badan bantuan pembangunan USAID, dengan konsekuensi dramatis.

    Dalam sebuah studi yang diterbitkan musim panas ini, jurnal medis The Lancet menghitung bahwa pemotongan USAID dapat mengakibatkan lebih dari 14 juta kematian global dalam lima tahun ke depan, termasuk hingga 5 juta anak di bawah usia 5 tahun. Jerman juga telah memotong bantuan pembangunan hampir €1 miliar (sekitar Rp19,3 triliun).

    “Kita sedang memasuki siklus buruk yang akan membuat lebih banyak anak-anak menempuh rute ini,” kata Idriss, dengan mengutip Somalia sebagai contoh. “Negara itu 80% bergantung pada USAID. Tahun lalu, kami menjangkau 4,5 juta anak-anak dan remaja di Somalia; tahun ini, hanya 1,3 juta. Mengapa? Karena kamp-kamp yang seharusnya mendukung anak-anak ini kosong sejak musim panas.”

    Vera Magali Keller memimpin firma hukum di Berlin yang berspesialisasi mendukung organisasi kemanusiaan, termasuk yang melakukan penyelamatan di laut.

    Anak-anak dan remaja harus diberikan perlindungan dan evakuasi prioritas selama penyelamatan di laut, kata pengacara itu kepada DW, merujuk pada Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang telah disepakati semua negara anggota PBB.

    “Di beberapa negara Eropa, ada prospek khusus untuk mendapatkan izin tinggal, hak perlindungan, dan hak reunifikasi keluarga. Di Italia, misalnya, hal ini sering berlaku sampai usia dewasa secara hukum. Secara umum, anak-anak dan remaja harus ditempatkan terpisah dari orang dewasa dan diberi perlindungan khusus. Penahanan harus dihindari sejauh mungkin,” kata Keller.

    Pemerintah Jerman memotong dana untuk penyelamatan laut

    SOS Humanity telah mengumumkan rencana untuk mengerahkan kapal penyelamat lain di Mediterania pada 2026. Kapal ini akan beroperasi terutama di lepas pantai Tunisia, mencari kapal migran dan memantau pelanggaran hak asasi manusia.

    Untuk melakukannya, organisasi penyelamatan laut ini akan mengandalkan donasi, karena pemerintah Jerman telah menghentikan dana tahunan €2 juta (sekitar Rp38,6 miliar) untuk penyelamatan laut sipil. Ini menjadi salah satu alasan Keller pesimis tentang masa depan.

    “Mengingat perkembangan politik dan hukum saat ini, saya tidak melihat prospek yang positif. Saya khawatir kriminalisasi dan penindasan terhadap penyelamatan laut sipil akan meningkat di bawah koalisi saat ini. Standar perlindungan dan penerimaan bagi pengungsi di Eropa yang sudah buruk kemungkinan akan terus memburuk,” katanya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Rahka Susanto

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga Video: Alasan Pengungsi Perang Thailand-Kamboja Tak Mau Kembali ke Rumah

    (ita/ita)