Negara: Tepi Barat

  • Arab Saudi Umumkan Koalisi Global untuk Dirikan Negara Palestina

    Arab Saudi Umumkan Koalisi Global untuk Dirikan Negara Palestina

    Riyadh

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, mengumumkan peluncuran inisiatif baru untuk mendirikan negara Palestina. Inisiatif itu juga akan menggalang dukungan untuk penerapan solusi dua negara, setelah upaya internasional selama beberapa dekade berujung kegagalan.

    Aliansi global untuk implementasi solusi dua negara itu, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (27/9/2024), diumumkan dalam pidato Pangeran Faisal saat pertemuan yang melibatkan Liga Arab, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Norwegia pada Kamis (26/8) waktu setempat.

    Pangeran Faisal mengatakan bahwa pertemuan perdana untuk aliansi global itu akan digelar di Riyadh, ibu kota Saudi. Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, menambahkan bahwa pertemuan lanjutan pertama juga akan digelar di Riyadh dan Brussels.

    Dalam pidatonya, Pangeran Faisal menyebut inisiatif tersebut merupakan upaya bersama negara-negara Arab dan Eropa.

    “Kita akan melakukan segala upaya untuk mencapai rencana yang bisa diandalkan dan tidak dapat diubah untuk mewujudkan perdamaian yang adil dan komprehensif,” cetusnya.

    Ditegaskan kembali oleh Pangeran Faisal soal perlunya bergerak secara kolektif untuk mengambil keputusan, yang akan membawa hasil nyata menuju gencatan senjata segera dan menerapkan solusi dua negara.

    “Yang terutama adalah negara Palestina yang merdeka,” sebutnya.

    Israel membombardir Jalur Gaza dan memicu kehancuran besar-besaran sejak perang berkecamuk pada Oktober tahun lalu, setelah Hamas melancarkan serangan mengejutkan terhadap Israel bagian selatan hingga menewaskan sekitar 1.200 orang dan membuat lebih dari 250 orang lainnya disandera.

    Lebih dari 41.000 orang dilaporkan tewas di Jalur Gaza akibat rentetan serangan Israel sejauh ini.

    Pangeran Faisal, dalam pidatonya, mengatakan bahwa perang yang sedang berlangsung telah memicu bencana kemanusiaan yang menghancurkan, termasuk juga kejahatan Israel di Tepi Barat, Masjid Al-Aqsa dan tempat-tempat suci umat Muslim dan Kristen lainnya.

    Ditekankan oleh Pangeran Faisal bahwa hak untuk membela diri, yang selalu diklaim oleh Israel dalam serangannya, tidak membenarkan pembunuhan puluhan ribu warga sipil, pemindahan paksa, penggunaan kelaparan sebagai alat perang, penghasutan, dehumanisasi dan penyiksaan sistematis, termasuk kekerasan seksual dan kejahatan lainnya oleh militer Israel.

    Saudi telah berulang kali menegaskan tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tanpa adanya pembentukan negara Palestina, yang didasarkan pada perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

    Namun, Tel Aviv tidak menunjukkan minat untuk melakukan hal tersebut. Mayoritas anggota parlemen Israel, Knesset, menolak solusi dua negara, sedangkan pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu secara konsisten menolak komitmen tersebut.

    Putra Mahkota Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), pekan lalu, mengatakan bahwa Riyadh tidak akan mengakui Israel tanpa adanya negara Palestina. MBS juga mengutuk keras “kejahatan pendudukan Israel” terhadap rakyat Palestina.

    “Kerajaan tidak akan menghentikan upayanya yang tidak kenal lelah menuju pembentukan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, dan kami menegaskan bahwa Kerajaan tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tanpa hal tersebut,” tegas MBS di depan Dewan Syura.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Erdogan Kecam PBB karena Tak Ambil Tindakan Soal Gaza

    Erdogan Kecam PBB karena Tak Ambil Tindakan Soal Gaza

    New York

    Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengecam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena tak mengambil tindakan mengenai Gaza. Erdogan menuduh Israel mengubah wilayah Palestina menjadi “kuburan anak-anak dan perempuan terbesar di dunia”.

    Kecaman itu, seperti dilansir AFP, Rabu (25/9/2024), disampaikan Erdogan saat berpidato di hadapan Majelis Umum PBB yang menggelar pertemuan puncak di New York, Amerika Serikat (AS), pada (24/9) waktu setempat.

    Erdogan dalam pidatonya juga memberikan dukungan untuk Lebanon, yang saat ini sedang digempur secara besar-besaran oleh militer Israel yang mengklaim menargetkan posisi dan persenjataan kelompok Hizbullah.

    Dia mengecam pemerintahan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu yang dituduhnya menyeret kawasan Timur Tengah lebih dalam “ke dalam perang”.

    “Tidak hanya anak-anak tetapi juga sistem PBB sedang sekarat di Gaza,” kata Erdogan saat berpidato di hadapan Majelis Umum PBB.

    “Sebenarnya, nilai-nilai yang diklaim Barat untuk dipertahankan kini sedang sekarat … Saya bertanya secara terbuka: Hei organisasi hak asasi manusia, bukankah mereka yang berada di Gaza dan Tepi Barat adalah manusia?” ucapnya.

    Dalam pidatonya, Erdogan juga mengkritik Dewan Keamanan PBB yang disebutnya gagal memerintahkan penghentian pertempuran. Dia berulang kali mengatakan bahwa “dunia lebih besar dari lima” — yang merujuk pada lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto.

    “Dewan Keamanan PBB, tunggu apa lagi untuk mencegah genosida di Gaza dan mengatakan ‘hentikan’ kekejaman ini, kebiadaban ini?” tanya Erdogan.

    Sebagai seorang pengkritik vokal terhadap serangan Israel di Jalur Gaza, Erdogan mendesak komunitas internasional untuk menghentikan “Netanyahu dan jaringan pembunuhannya”. Dia bahkan menyamakan Netanyahu dengan pemimpin Nazi Adolf Hitler.

    “Sama seperti Hitler dihentikan oleh aliansi kemanusiaan 70 tahun lalu, Netanyahu dan jaringan pembunuhannya harus dihentikan oleh ‘aliansi kemanusiaan’,” cetusnya.

    Mengenai gelombang serangan terbaru yang dilancarkan Israel terhadap Lebanon, Erdogan mengatakan: “Apa lagi yang Anda tunggu untuk menghentikan jaringan pembantaian yang juga membahayakan nyawa warga negaranya sendiri serta rakyat Palestina dan menyeret seluruh kawasan ke dalam perang demi prospek politiknya?”

    Terakhir, Erdogan menyerukan gencatan senjata segera di Jalur Gaza, di mana rentetan serangan Israel telah menewaskan sedikitnya 41.467 orang.

    “Gencatan senjata segera dan permanen harus dicapai, pertukaran sandera-tahanan harus dilakukan, dan bantuan kemanusiaan harus dikirimkan ke Haza tanpa hambatan dan tanpa gangguan,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Tentara Israel Terekam Video Tendang Mayat dari Atap di Tepi Barat

    Tentara Israel Terekam Video Tendang Mayat dari Atap di Tepi Barat

    Tepi Barat

    Rekaman video yang beredar menunjukkan tentara Israel menyeret dan menendang sesosok mayat dari atap bangunan di wilayah Tepi Barat. Militer Tel Aviv menyebutnya sebagai “insiden serius” dan menyatakan sedang menyelidiki lebih lanjut.

    Sedangkan Amerika Serikat (AS), sekutu Israel, menyebut apa yang ditunjukkan dalam video itu “sangat meresahkan”.

    Video yang beredar luas secara online sejak Kamis (19/9) itu, seperti dilansir AFP dan Reuters, Sabtu (21/9/2024), awalnya menunjukkan tiga tentara Israel berada di atap sebuah bangunan di kota Qabatiyah, dekat Jenin, Tepi Barat.

    Dalam video tersebut, tentara-tentara Israel itu terlihat menyeret, mendorong, melempar, dan bahkan menendang, beberapa mayat dari atap bangunan tersebut.

    Salah satu tentara Israel itu, menurut laporan AFP, tampak menggunakan kakinya untuk menggulingkan mayat-mayat itu ke tepi atap bangunan dan mendorongnya ke bawah, masih dengan kakinya.

    Zakaria Zakarneh, paman dari salah satu pria yang mayatnya ditendang tentara Israel, mengatakan dirinya melihat apa yang terjadi. Dia menuturkan kepada Reuters bahwa tentara-tentara Israel naik ke atap bangunan setelah warga-warga Palestina terbunuh.

    “Mereka berusaha menurunkan jenazah itu dengan buldoser tapi tidak berhasil, sehingga mereka melemparkannya dari lantai dua hingga ke tanah. Saya terluka, sangat sedih dan marah sehingga saya tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Zakarneh.

    Qabatiyah yang terletak di bagian utara Tepi Barat, merupakan lokasi operasi penyerbuan besar-besaran militer Israel sejak akhir Agustus lalu, yang menurut otoritas kesehatan Palestina, telah menewaskan puluhan orang.

    Dalam pernyataan pada Jumat (20/9), militer Israel menyebut empat militan tewas “dalam baku tembak” di Qabatiyah, sedangkan tiga militan lainnya tewas dalam serangan udara terhadap sebuah kendaraan di area tersebut.

    Saat ditanya soal rekaman video yang beredar, militer Israel menyebut tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilainya dan berjanji untuk menyelidikinya, serta memastikan ada pihak yang bertanggung jawab.

    “Ini adalah insiden serius yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan harapan dari pasukan IDF (Angkatan Bersenjata Israel). Insiden ini sedang ditinjau,” sebut militer Tel Aviv dalam pernyataannya.

    AS Sebut Video Tentara Israel Tendang Mayat ‘Sangat Meresahkan’

    AS telah mengomentari video yang beredar tersebut. Gedung Putih menyatakan pihaknya telah menuntut penjelasan dari Israel.

    “Kami telah melihat video itu, dan kami menganggapnya sangat meresahkan,” sebut juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby, dalam pernyataannya.

    “Jika terbukti autentik, maka itu jelas menggambarkan perilaku menjijikkan dan mengerikan yang dilakukan tentara-tentara profesional,” ucap Kirby mengecam.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/dhn)

  • Murka AS Sebab Warganya Ditembak Mati Israel yang Ngaku Tak Sengaja

    Murka AS Sebab Warganya Ditembak Mati Israel yang Ngaku Tak Sengaja

    Jakarta

    Tel Aviv mengklaim tentaranya tidak sengaja menembak mati seorang aktivis Amerika Serikat dalam aksi protes di Tepi Barat pekan lalu. Tindakan Israel itu membuat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken murka.

    Blinken menyebut pembunuhan semacam itu ‘tidak bisa dibenarkan’ dan menyerukan ‘perubahan mendasar’ pada cara pasukan Israel beroperasi di Tepi Barat setelah kematian aktivis perempuan, berkewarganegaraan AS, yang bernama Aysenur Ezgi Eygi tersebut.

    Teguran tajam Blinken itu dilontarkan setelah Angkatan Bersenjata Israel (IDF) mengatakan pada Selasa (10/9) waktu setempat bahwa Eygi “sangat mungkin terkena tembakan IDF secara tidak langsung dan secara tidak disengaja”.

    Dalam penyelidikan awal terhadap insiden itu, IDF mengatakan tembakan tersebut tidak ditargetkan terhadap sang aktivis, namun terhadap ‘penghasut utama’ dari ‘kerusuhan dengan kekerasan’ yang terjadi di Persimpangan Beita, yang diklaim menjadi lokasi warga Palestina membakar ban dan melemparkan batu ke arah pasukan Israel. Tidak disebutkan lebih lanjut nama tersangka penghasut yang dimaksud.

    Gerakan Solidaritas Internasional (ISM), di mana Eygi menjadi sukarelawan, mengatakan bahwa aksi protes kelompoknya pada 6 September lalu di Tepi Barat berlangsung damai.

    Dalam konferensi pers di London, pada Selasa (10/9), Blinken menyebut pembunuhan Eygi ‘tidak beralasan dan tidak bisa dibenarkan’. Dia menuntut perubahan aturan keterlibatan pasukan Israel yang beroperasi di wilayah Tepi Barat.

    “Tidak seorang pun, tidak seorang pun boleh ditembak dan dibunuh karena menghadiri aksi protes. Tidak seorang pun boleh mempertaruhkan nyawanya hanya karena mengutarakan pandangan mereka,” tegas Blinken dalam pernyataannya dilansir CNN, Rabu (11/9/2024).

    “Sekarang ada warga Amerika kedua yang terbunuh di tangan pasukan keamanan Israel. Itu tidak bisa diterima. Itu harus berubah. Dan kita akan memperjelas hal ini kepada anggota-anggota paling senior dalam pemerintahan Israel,” ucapnya.

    Warga Amerika pertama yang tewas di tangan pasukan Israel adalah Rachel Corrie, yang berstatus warga negara AS, yang terbunuh tahun 2003 silam saat berusaha menghentikan buldoser Israel menghancurkan rumah-rumah warga Palestina di Jalur Gaza.

    Blinken menambahkan bahwa AS “sudah sejak lama melihat” laporan soal pasukan Israel yang mengabaikan tindak kekerasan para pemukim Yahudi ekstremis terhadap warga Palestina di Tepi Barat, juga laporan soal penggunaan kekuatan berlebihan oleh tentara Tel Aviv terhadap warga Palestina.

    Tindak kekerasan Israel di wilayah Tepi Barat semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir, terutama setelah perang berkecamuk di Jalur Gaza pada Oktober tahun lalu. Dalam beberapa bulan terakhir, AS telah menjatuhkan rentetan sanksi menargetkan para pemukim Yahudi yang melakukan tindak kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

    Keluarga Aktivis AS Tak Percaya Investigasi Israel, Tuntut Penyelidikan Independen

    Keluarga aktivis AS berusia 26 tahun itu tidak mempercayai klaim Israel soal penembakan yang menewaskan Eygi dilakukan secara tidak disengaja. Mereka menyerukan kepada pemimpin-pemimpin AS untuk melakukan penyelidikan independen atas kematian Eygi.

    “Kami sangat tersinggung dengan anggapan bahwa pembunuhannya oleh seorang penembak jitu terlatih adalah hal yang tidak disengaja,” demikian pernyataan keluarga aktivis AS tersebut.

    Eygi yang lahir di Turki dan baru saja lulus dari Universitas Washington ini, ditembak saat berpartisipasi dalam aksi protes mingguan menentang permukiman Israel di dekat desa Beita, Palestina. Semua permukiman Yahudi yang dibangun Israel di Tepi Barat dianggap ilegal di bawah hukum internasional.

    Keluarga Eygi menyebut temuan penyelidikan Israel “sama sekali tidak memadai”.

    “Ini tidak boleh disalahartikan sebagai apa pun kecuali serangan yang disengaja, ditargetkan dan terarah oleh militer terhadap seorang warga sipil yang tidak bersenjata,” tegas pihak keluarga Eygi.

    Halaman 2 dari 2

    (whn/whn)

  • Tentara Israel Terekam Video Tendang Mayat dari Atap di Tepi Barat

    Serangan Drone Israel Hantam Tepi Barat, 5 Warga Palestina Tewas

    Tepi Barat

    Serangan udara Israel menghantam area Tubas di Tepi Barat hingga menewaskan sedikitnya lima warga Palestina. Militer Tel Aviv mengklaim serangannya itu menargetkan “sel teroris” di wilayah tersebut.

    Juru bicara Bulan Sabit Merah Palestina Ahmed Jibril, seperti dilansir AFP, Rabu (11/9/2024), mengatakan bahwa lima orang tewas “akibat serangan udara Israel (terhadap) sekelompok warga di Tubas”.

    Dia menambahkan bahwa para korban tewas telah “dipindahkan ke rumah sakit pemerintah Turki di Tubas”.

    Menurut Bulan Sabit Merah Palestina, serangan drone itu terjadi di dekat sebuah masjid di area Tubas sekitar waktu subuh.

    Militer Israel, dalam pernyataannya, menyebut pasukannya “saat ini melakukan aktivitas kontraterorisme di area Tubas dan Tammun” dan bahwa salah satu pesawat tempurnya “menyerang sel teroris bersenjata” selama operasi di Tubas, Tepi Barat bagian utara.

    Namun militer Tel Aviv tidak menyebutkan lebih lanjut soal korban jiwa.

    Seorang saksi mata mengatakan kepada AFP bahwa pasukan Israel “menyerbu kota Tubas dan kota Tammun di sebelah timur”.

    Pada akhir Agustus lalu, militer Israel melancarkan serangan besar-besaran di wilayah Tepi Barat bagian utara, termasuk area Tubas, bertempur melawan militan Palestina dan memicu kehancuran yang luas.

    Pekan lalu, otoritas medis Palestina melaporkan serangan udara Israel menghantam sebuah mobil di area Tubas hingga menewaskan lima orang.

    Pada saat itu, militer Israel mengklaim pasukannya melancarkan “tiga serangan terarah terhadap teroris-teroris bersenjata” dan menyebut mereka yang tewas termasuk Muhammad Zakaria Zubeidi, yang merupakan “teroris penting dari wilayah Jenin”.

    Israel menduduki Tepi Barat sejak tahun 1967 silam, dan semakin meningkatkan serangan mematikan di wilayah tersebut sejak perang berkecamuk di Jalur Gaza pada Oktober tahun lalu.

    Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, sedikitnya 698 warga Palestina tewas di Tepi Barat oleh militer dan pemukim Israel sejak Oktober tahun lalu. Di kubu Israel, sedikitnya 23 orang termasuk personel pasukan keamanan tewas dalam serangan di Tepi Barat pada periode yang sama.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel Tak Sengaja Tembak Mati Warga Amerika di Tepi Barat, AS Murka!

    Israel Tak Sengaja Tembak Mati Warga Amerika di Tepi Barat, AS Murka!

    London

    Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken murka dan mengecam keras sekutunya, Israel, setelah militer Tel Aviv mengaku tentaranya “tidak sengaja” menembak mati seorang aktivis Amerika dalam aksi protes di Tepi Barat pekan lalu.

    Blinken menyebut pembunuhan semacam itu “tidak bisa dibenarkan” dan menyerukan “perubahan mendasar” pada cara pasukan Israel beroperasi di Tepi Barat setelah kematian aktivis perempuan, berkewarganegaraan AS, yang bernama Aysenur Ezgi Eygi tersebut.

    Demikian seperti dilansir CNN, Rabu (11/9/2024).

    Teguran tajam Blinken itu dilontarkan setelah Angkatan Bersenjata Israel (IDF) mengatakan pada Selasa (10/9) waktu setempat bahwa Eygi “sangat mungkin terkena tembakan IDF secara tidak langsung dan secara tidak disengaja”.

    Dalam penyelidikan awal terhadap insiden itu, IDF mengatakan tembakan tersebut tidak ditargetkan terhadap sang aktivis, namun terhadap “penghasut utama” dari “kerusuhan dengan kekerasan” yang terjadi di Persimpangan Beita, yang diklaim menjadi lokasi warga Palestina membakar ban dan melemparkan batu ke arah pasukan Israel. Tidak disebutkan lebih lanjut nama tersangka penghasut yang dimaksud.

    Gerakan Solidaritas Internasional (ISM), di mana Eygi menjadi sukarelawan, mengatakan bahwa aksi protes kelompoknya pada 6 September lalu di Tepi Barat berlangsung damai.

    Dalam konferensi pers di London, pada Selasa (10/9), Blinken menyebut pembunuhan Eygi “tidak beralasan dan tidak bisa dibenarkan”. Dia menuntut perubahan aturan keterlibatan pasukan Israel yang beroperasi di wilayah Tepi Barat.

    “Tidak seorang pun, tidak seorang pun boleh ditembak dan dibunuh karena menghadiri aksi protes. Tidak seorang pun boleh mempertaruhkan nyawanya hanya karena mengutarakan pandangan mereka,” tegas Blinken dalam pernyataannya.

    “Sekarang ada warga Amerika kedua yang terbunuh di tangan pasukan keamanan Israel. Itu tidak bisa diterima. Itu harus berubah. Dan kita akan memperjelas hal ini kepada anggota-anggota paling senior dalam pemerintahan Israel,” ucapnya.

    Warga Amerika pertama yang tewas di tangan pasukan Israel adalah Rachel Corrie, yang berstatus warga negara AS, yang terbunuh tahun 2003 silam saat berusaha menghentikan buldoser Israel menghancurkan rumah-rumah warga Palestina di Jalur Gaza.

    Blinken menambahkan bahwa AS “sudah sejak lama melihat” laporan soal pasukan Israel yang mengabaikan tindak kekerasan para pemukim Yahudi ekstremis terhadap warga Palestina di Tepi Barat, juga laporan soal penggunaan kekuatan berlebihan oleh tentara Tel Aviv terhadap warga Palestina.

    Tindak kekerasan Israel di wilayah Tepi Barat semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir, terutama setelah perang berkecamuk di Jalur Gaza pada Oktober tahun lalu. Dalam beberapa bulan terakhir, AS telah menjatuhkan rentetan sanksi menargetkan para pemukim Yahudi yang melakukan tindak kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

    Keluarga Aktivis AS Tak Percaya Investigasi Israel, Tuntut Penyelidikan Independen

    Keluarga aktivis AS berusia 26 tahun itu tidak mempercayai klaim Israel soal penembakan yang menewaskan Eygi dilakukan secara tidak disengaja. Mereka menyerukan kepada pemimpin-pemimpin AS untuk melakukan penyelidikan independen atas kematian Eygi.

    “Kami sangat tersinggung dengan anggapan bahwa pembunuhannya oleh seorang penembak jitu terlatih adalah hal yang tidak disengaja,” demikian pernyataan keluarga aktivis AS tersebut.

    Eygi yang lahir di Turki dan baru saja lulus dari Universitas Washington ini, ditembak saat berpartisipasi dalam aksi protes mingguan menentang permukiman Israel di dekat desa Beita, Palestina. Semua permukiman Yahudi yang dibangun Israel di Tepi Barat dianggap ilegal di bawah hukum internasional.

    Keluarga Eygi menyebut temuan penyelidikan Israel “sama sekali tidak memadai”.

    “Ini tidak boleh disalahartikan sebagai apa pun kecuali serangan yang disengaja, ditargetkan dan terarah oleh militer terhadap seorang warga sipil yang tidak bersenjata,” tegas pihak keluarga Eygi.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Pemukim Ekstremis Israel Kian Gencar Rebut Tanah Warga Palestina

    Pemukim Ekstremis Israel Kian Gencar Rebut Tanah Warga Palestina

    Jakarta

    Pada Oktober silam, seorang nenek Palestina, Ayesha Shtayyeh mengatakan bahwa seorang laki-laki menodongkan pistol ke kepalanya lalu menyuruhnya meninggalkan rumah yang telah dia tinggali selama 50 tahun.

    Kepada BBC, dia mengatakan bahwa ancaman bersenjata tersebut merupakan puncak dari tindakan pelecehan dan intimidasi yang kian kejam sejak tahun 2021, setelah sebuah pos pemukim ilegal didirikan di dekat rumahnya di wilayah Tepi Barat yang diduduki.

    Jumlah pos-pos ini telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, berdasarkan analisis terbaru BBC.

    Saat ini, setidaknya ada 196 pos di Tepi Barat dan 29 di antaranya didirikan tahun lalu, lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya.

    Pos-pos tersebut yang bisa berupa pertanian, klaster perumahan, atau bahkan sekumpulan karavan sering kali tidak memiliki batas-batas yang jelas. Pos-pos ini juga ilegal berdasarkan hukum Israel dan internasional.

    Namun, BBC World Service telah melihat dokumen-dokumen yang menunjukkan bahwa organisasi-organisasi yang berhubungan erat dengan pemerintah Israel telah menyediakan uang dan tanah yang digunakan untuk mendirikan pos-pos ilegal baru.

    BBC juga telah menganalisis sumber intelijen terbuka untuk mengecek penyebarannya, dan telah menyelidiki pemukim yang menurut Ayesha Shtayyeh mengancamnya.

    Tidak ada data resmi perihal pos-pos tersebut. Namun BBC Eye meninjau daftar pos-pos tersebut dan lokasinya yang dikumpulkan oleh organisasi-organisasi pengawas anti-permukiman Israel, Peace Now dan Kerem Navot serta Otoritas Palestina, yang memerintah di sebagian wilayah Tepi Barat.

    Kami menganalisis ratusan citra satelit untuk melakukan verifikasi pos-pos telah yang dibangun di lokasi-lokasi tersebut untuk mengonfirmasi tahun pendiriannya.

    BBC juga memeriksa unggahan media sosial, publikasi pemerintah Israel, dan sumber-sumber berita untuk menguatkan hal ini dan menunjukkan bahwa pos-pos tersebut masih digunakan.

    Analisis kami menunjukkan bahwa hampir setengah (89) dari 196 pos yang kami verifikasi telah dibangun sejak tahun 2019.

    BBC

    Beberapa di antara pos-pos tersebut berkaitan dengan meningkatnya kekerasan terhadap komunitas Palestina di Tepi Barat.

    Pada awal tahun ini, pemerintah Inggris memberikan sanksi kepada delapan pemukim ekstremis karena menghasut atau melakukan kekerasan terhadap warga Palestina. Setidaknya enam orang di antaranya telah mendirikan, atau tinggal di pos-pos ilegal.

    Seorang mantan komandan tentara Israel di Tepi Barat, Avi Mizrahi, mengatakan bahwa sebagian besar pemukim adalah warga negara Israel yang taat hukum, namun dia mengakui bahwa keberadaan pos-pos tersebut kekerasan lebih mungkin terjadi.

    “Setiap kali mereka menempatkan pos-pos secara ilegal di daerah tersebut, itu menimbulkan ketegangan dengan warga Palestina yang tinggal di daerah yang sama,” kata Mizrahi.

    Salah satu pemukim ekstremis yang diberi sanksi oleh Inggris adalah Moshe Sharvit, laki-laki yang menurut Ayesha mengancamnya dengan todongan senjata.

    AS menjatuhkan sanksi terhadap Sharvit dan pos yang dia dirikan kurang dari 800 meter dari rumah Ayesha. Posnya digambarkan sebagai “markas tempat dia melakukan kekerasan terhadap warga Palestina”.

    “Dia membuat hidup kami seperti di neraka,” kata Ayesha, yang kini harus tinggal bersama putranya di sebuah kota yang dekat dengan Nablus.

    BBC

    Pos-pos ini tidak mengantongi persetujuan berdasarkan perencanaan resmi Israel, berbeda dengan permukiman yang biasanya lebih besar, berbentuk kawasan, atau kantong-kantong Yahudi yang dibangun di seluruh Tepi Barat, yang legal menurut hukum Israel.

    Keduanya dianggap ilegal di bawah hukum internasional, yang melarang pemindahan penduduk sipil ke wilayah pendudukan.

    Namun, banyak pemukim yang tinggal di Tepi Barat mengeklaim bahwa, sebagai orang Yahudi, mereka memiliki hubungan religius dan historis dengan tanah tersebut.

    Pada Juli, pengadilan tertinggi PBB, dalam putusan penting, mengatakan bahwa Israel harus menghentikan semua aktivitas permukiman baru dan mengevakuasi semua pemukim dari Wilayah Palestina yang Diduduki.

    Israel menolak pendapat tersebut dan menyebutnya “salah secara fundamental” serta berat sebelah.

    Meskipun pos-pos permukiman tidak memiliki status hukum, hanya ada sedikit bukti bahwa pemerintah Israel berupaya mencegah pertumbuhan jumlah pemukim yang cepat.

    BBC telah melihat bukti baru yang menunjukkan bagaimana dua organisasi yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah Israel telah menyediakan dana dan tanah yang digunakan untuk mendirikan pos-pos baru di Tepi Barat.

    Salah satunya adalah Organisasi Zionis Dunia (World Zionist Organization/WZO), sebuah badan internasional yang didirikan lebih dari seabad yang lalu dan berperan penting dalam pendirian negara Israel.

    WZO memiliki Divisi Permukiman, yang bertanggung jawab mengelola area yang luas di tanah yang diduduki Israel sejak 1967. Divisi ini didanai sepenuhnya oleh anggaran publik Israel dan menggambarkan organisasinya sebagai “perpanjangan tangan negara Israel”.

    Kontrak-kontrak yang diperoleh oleh Peace Now, yang kemudian dianalisis oleh BBC, menunjukkan bahwa Divisi Permukiman telah berulang kali mengalokasikan lahan untuk membangun pos-pos pemukiman.

    Di dalam kontrak-kontrak tersebut, WZO melarang pembangunan bangunan apapun dan mengatakan bahwa lahan tersebut hanya boleh digunakan untuk peternakan atau pertanian. Namun citra satelit mengungkapkan bahwa setidaknya dalam empat kasus, pos-pos ilegal dibangun di atasnya.

    Salah satu kontrak ini ditandatangani oleh Zvi Bar Yosef pada tahun 2018. Sama seperti Moshe Sharvit, dia dijatuhi sanksi oleh Inggris dan Amerika Serikat pada awal tahun ini karena melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap warga Palestina.

    Kami menghubungi WZO untuk menanyakan apakah mereka mengetahui bahwa beberapa bidang tanah yang dialokasikan untuk menggembala ternak dan pertanian digunakan untuk pembangunan pos-pos ilegal. Mereka tidak memberikan tanggapan. Kami juga mengajukan pertanyaan kepada Zvi Bar Yosef, tetapi tidak mendapat jawaban.

    BBC juga menemukan dua dokumen yang mengungkapkan bahwa organisasi pemukim utama lainnya Amana, meminjamkan ratusan ribu shekel untuk membantu mendirikan pos-pos.

    Dalam satu kasus, organisasi ini meminjamkan NIS 1.000.000 (setara Rp4,2 miliar) kepada seorang pemukim untuk membangun rumah-rumah kaca di sebuah pos terdepan yang dianggap ilegal berdasarkan hukum Israel.

    BBCDokumen pengadilan mengenai sengketa perdata yang melibatkan pemukim mengungkapkan bahwa Amana menyediakan dana yang digunakan untuk membangun pos-pos

    Amana didirikan pada tahun 1978 dan telah bekerja sama dengan pemerintah Israel untuk membangun permukiman di seluruh Tepi Barat sejak saat itu.

    Namun dalam beberapa tahun terakhir, bukti-bukti yang berkembang menunjukkan bahwa Amana juga mendukung pos-pos permukiman.

    Dalam sebuah rekaman dari pertemuan para eksekutif pada tahun 2021 yang dibocorkan oleh seorang aktivis, terdengar CEO Amana Zeev Hever menyatakan: “Dalam tiga tahun terakhir… satu operasi yang telah kami kembangkan adalah peternakan penggembalaan [pos terdepan].”

    “Saat ini, area [yang mereka kuasai] hampir dua kali lebih luas dari pemukiman yang telah dibangun.”

    Tahun ini, pemerintah Kanada memasukkan Amana ke dalam daftar sanksi terhadap individu dan organisasi yang bertanggung jawab atas “tindakan kekerasan dan destabilisasi terhadap warga sipil Palestina serta harta benda mereka di Tepi Barat”. Sanksi tersebut tidak menyebutkan pos-pos.

    BBC telah menghubungi Amana untuk menanyakan mengapa mereka memberikan pinjaman yang digunakan untuk mendirikan pos-pos. Mereka tidak menanggapi pertanyaan BBC.

    Ada juga kecenderungan pemerintah Israel secara retroaktif melegalkan pos-pos yang secara efektif mengubahnya menjadi permukiman.

    Pada tahun lalu, misalnya, pemerintah Israel telah memproses legalisasi 10 pos, dan telah melegalkan setidaknya enam pos lainnya.

    Pada bulan Februari, Moshe Sharvit, pemukim yang mengusir Ayesha dari rumahnya, mengadakan acara di posnya yang divideokan oleh seorang juru kamera lokal.

    Secara terang-terangan, dia menjelaskan betapa efektifnya pos-pos terdepan ini untuk merebut tanah.

    “Penyesalan terbesar ketika kami [pemukim] membangun permukiman adalah kami terjebak di dalam pagar dan tidak bisa berkembang,” kata dia kepada orang banyak.

    “Kebun ini sangat penting, tetapi yang paling penting bagi kami adalah daerah sekitarnya.”

    Dia mengeklaim bahwa dia sekarang menguasai sekitar 7.000 dunam (tujuh kilometer persegi) lahan, yang lebih luas daripada permukiman berpenduduk ribuan orang di Tepi Barat.

    Tujuan utama beberapa pemukim yang mendirikan dan tinggal di pos-pos ini adalah menguasai wilayah luas yan seringkali mengorbankan masyarakat Palestina, kata Hagit Ofran dari Peace Now.

    “Para pemukim yang tinggal di puncak bukit [pos-pos] menganggap diri mereka sebagai ‘pelindung tanah’ dan pekerjaan sehari-hari mereka adalah mengusir warga Palestina dari daerah tersebut,” kata Ofran.

    Ayesha mengatakan bahwa Moshe Sharvit memulai aksi pelecehan dan intimidasi tak lama setelah dia mendirikan posnya pada akhir 2021.

    Ketika suaminya, Nabil, menggembala kambingnya di padang rumput yang telah dia gunakan selama puluhan tahun, Sharvit akan segera tiba dengan ATV dan mengusir hewan-hewan itu.

    “Saya menjawab bahwa kami akan pergi jika pemerintah, atau polisi, atau hakim menyuruh kami pergi,” kata Nabil.

    “Dia mengatakan kepada saya: ‘Saya pemerintah, dan saya hakim, dan saya polisi.”

    Baca juga:

    Kepala Komisi Perlawanan Permukiman dan Penjajah dari Otoritas Palestina, Moayad Shaaban mengatakan bahwa dengan membatasi akses ke lahan penggembalaan, para pemukim seperti Moshe Sharvit membuat petani Palestina semakin terdesak.

    “Ini mencapai titik di mana warga Palestina tidak memiliki apa-apa lagi. Mereka tidak bisa makan, tidak bisa menggembala, tidak bisa mendapatkan air,” katanya.

    Setelah serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel Selatan dan operasi balasan Israel di Gaza, tindakan pelecehan oleh Moshe Sharvian menjadi kian agresif, kata Ariel Moran yang mendukung komunitas Palestina menghadapi agresi pemukim.

    Sharvit selalu membawa pistol ke ladang, tetapi sekarang dia mulai mendekati para aktivis dan warga Palestina dengan senapan serbu yang disampirkan di bahunya. Ancamannya menjadi lebih mengerikan, kata Ariel.

    “Saya rasa dia melihat kesempatan untuk mengambil jalan pintas dan tidak perlu menunggu satu atau dua tahun lagi untuk secara bertahap membuat mereka [keluarga-keluarga Palestina] lelah,” tutur Ariel.

    “Lakukan saja dalam semalam. Dan itu berhasil.”

    Banyak keluarga, seperti keluarga Ayesha, meninggalkan rumah mereka setelah mendapat ancaman dari Moshe Sharvit. Itu terjadi beberapa pekan setelah 7 Oktober.

    Di seluruh Tepi Barat, OCHAKantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB mengatakan bahwa eskalasi kekerasan oleh pemukim telah mencapai “tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya”.

    Dalam 10 bulan terakhir, tercatat lebih dari 1.100 serangan pemukim terhadap warga Palestina. Setidaknya 10 warga Palestina tewas dan lebih dari 230 lainnya terluka oleh para pemukim sejak 7 Oktober, menurut OCHA.

    Selain itu, lima pemukim telah tewas dan setidaknya 17 orang terluka oleh warga Palestina di Tepi Barat dalam kurun waktu yang sama.

    Pada Desember 2023, dua bulan setelah mereka dipaksa meninggalkan rumah mereka, kami merekam Ayesha dan Nabil saat kembali untuk mengambil beberapa barang mereka.

    Ketika sampai, mereka melihat rumah itu telah diobrak-abrik. Di dapur, lemari-lemari lepas dari engselnya. Di ruang tamu, seseorang telah mencabik dudukan sofa dengan pisau.

    “Saya tidak menyakiti dia. Saya tidak melakukan apa pun padanya. Apa yang telah saya lakukan sehingga saya pantas menerima ini?” kata Ayesha.

    Ketika mereka mulai memilah-milah kerusakan, Moshe Sharvit muncul dengan buggy. Tak lama kemudian, polisi dan tentara Israel tiba.

    Mereka mengatakan kepada pasangan itu, dan para aktivis perdamaian Israel yang menemani mereka, bahwa mereka harus meninggalkan daerah itu.

    “Dia tidak meninggalkan apa pun untuk kami,” kata Ayesha kepada BBC.

    Kami menghubungi Moshe Sharvit beberapa kali untuk meminta tanggapannya atas tuduhan yang dilontarkan kepadanya, tetapi dia tidak merespons.

    Pada Juli 2023, BBC menghampirinya secara langsung di posnya untuk meminta tanggapannya atas tuduhan tersebut dan juga untuk menanyakan apakah dia akan mengizinkan warga Palestina seperti Ayesha untuk kembali ke daerah tersebut.

    Dia mengatakan bahwa dia tidak tahu apa yang kami bicarakan dan menyangkal bahwa dia adalah Moshe Sharvit.

    Grafis oleh Kate Gaynor dan tim Jurnalisme Visual World Service

    Baca juga:

    (ita/ita)

  • Erdogan Serukan Negara-negara Islam Bikin Aliansi Melawan Israel

    Erdogan Serukan Negara-negara Islam Bikin Aliansi Melawan Israel

    Istanbul

    Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan negara-negara Islam untuk membentuk aliansi guna melawan Israel. Erdogan mencetuskan aliansi negara-negara Islam itu harus melawan apa yang disebutnya sebagai “ancaman ekspansionisme yang semakin berkembang” dari Tel Aviv.

    Seruan dari Erdogan itu, seperti dilansir Reuters, Senin (9/9/2024), disampaikan setelah dia membahas apa yang disebut para pejabat Palestina dan Turki sebagai pembunuhan oleh pasukan Israel terhadap seorang wanita keturunan Turki-Amerika yang ikut unjuk rasa menentang perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat.

    “Satu-satunya langkah yang akan menghentikan arogansi Israel, banditisme Israel, dan terorisme negara Israel adalah aliansi negara-negara Islam,” cetus Erdogan saat berbicara dalam acara asosiasi sekolah-sekolah Islam di dekat Istanbul.

    Erdogan mengatakan bahwa langka-langkah baru-baru ini yang diambil Turki untuk meningkatkan hubungan dengan Mesir dan Suriah bertujuan untuk “membentuk garis solidaritas dalam melawan meningkatnya ancaman ekspansionisme”, yang menurutnya juga mengancam Lebanon dan Suriah.

    Pekan ini, Erdogan menjamu Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi di Ankara. Kunjungan itu yang pertama dalam 12 tahun terakhir bagi seorang Presiden Mesir untuk mendatangi Turki. Keduanya membahas soal perang Gaza dan cara-cara untuk memperbaiki hubungan kedua negara yang sejak lama membeku.

    Hubungan antara Ankara dan Kairo mulai mencair pada tahun 2020 ketika Turki memulai upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan dengan negara-negara yang bermusuhan di kawasan.

    Erdogan mengatakan pada Juli lalu bahwa Turki akan menyampaikan undangan kepada Presiden Suriah Bashar al-Assad “kapan saja” untuk kemungkinan melakukan pembicaraan guna memulihkan hubungan antara kedua negara bertetangga itu, yang memutuskan hubungan tahun 2011 lalu usai konflik Suriah pecah.

    Lihat Video ‘Erdogan Kecam Militer Israel yang Tembak Mati Aktivis Turki-AS di Tepi Barat’:

    Israel belum memberikan komentar atas pernyataan Erdogan tersebut.

    Militer Israel mengatakan setelah insiden pada Jumat (6/9) lalu bahwa pihaknya sedang menyelidiki laporan soal wanita warga negara asing “tewas akibat tembakan di Tepi Barat”. Disebutkan bahwa detail insiden itu dan situasi yang melingkupinya masih dalam peninjauan.

    Kantor Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu juga belum berkomentar atas insiden penembakan itu.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Pria Yordania Tembak Mati 3 Warga Israel di Perbatasan Tepi Barat

    Pria Yordania Tembak Mati 3 Warga Israel di Perbatasan Tepi Barat

    Jakarta

    Seorang pengemudi truk menyerang warga Israel di perbatasan antara Tepi Barat dengan wilayah yang diduduki oleh Yordania. Serangan ini mengakibatkan tiga penjaga keamanan dari kalangan sipil Israel meninggal dunia.

    Dilansir AFP, Minggu (8/9/2024), Kementerian dalam negeri Yordania melakukan investigasi awal kasus tersebut. Pria penyerang itu teridentifikasi adalah sebagai warga negara Yordania bernama Maher Diab Hussein al-Jazi.

    Serangan langka di perbatasan Jembatan Allenby terjadi di tengah meningkatnya kekerasan di Tepi Barat dengan serangan besar-besaran Israel dan serangan oleh warga Palestina, dan dengan latar belakang perang Israel-Hamas Gaza, yang sekarang memasuki bulan ke-12.

    Militer Israel mengatakan “seorang teroris” mencapai area penyeberangan, yang juga dikenal sebagai Jembatan Raja Hussein, dengan truk “dari Yordania”.

    Pengemudi “keluar dari truk dan melepaskan tembakan ke pasukan keamanan Israel yang beroperasi di jembatan”, kata pernyataan militer.

    “Tiga warga sipil Israel dinyatakan tewas akibat serangan itu,” katanya, mengklarifikasi kepada AFP bahwa mereka adalah “penjaga keamanan” dan bukan tentara atau polisi.

    Militer Israel menambahkan bahwa penyerang ditembak mati.

    Hamas memuji serangan itu tetapi tidak mengklaim bertanggung jawab atasnya, menambahkan bahwa itu “menegaskan penolakan masyarakat Arab terhadap pendudukan (Israel), kejahatannya, dan ambisinya di Palestina dan Yordania”.

    Penyeberangan, di Lembah Yordan, adalah satu-satunya pintu gerbang internasional bagi warga Palestina dari Tepi Barat yang tidak mengharuskan memasuki Israel, yang telah menduduki wilayah itu sejak 1967.

    (aik/aik)

  • Tentara Israel Terekam Video Tendang Mayat dari Atap di Tepi Barat

    Pasukan Israel Lanjutkan Penyerbuan di Tepi Barat, 5 Orang Tewas

    Tepi Barat

    Otoritas medis Palestina melaporkan sedikitnya lima orang tewas dalam serangan yang menargetkan sebuah mobil di wilayah Tubas, Tepi Barat. Penyerangan ini terjadi saat operasi penyerbuan oleh militer Israel terhadap Tepi Barat terus berlanjut.

    “Lima orang tewas dan satu lainnya luka parah dalam serangan terhadap sebuah mobil di Tubas,” sebut Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir AFP, Kamis (5/9/2024).

    Militer Israel, secara terpisah, mengatakan pasukannya melakukan operasi dengan melibatkan pesawat tempur di wilayah Tepi Barat yang diduduki.

    “Melakukan tiga serangan yang ditargetkan terhadap teroris-teroris bersenjata (di Tubas)” demikian pernyataan militer Israel.

    Beberapa saksi mata menuturkan kepada AFP bahwa sejumlah besar tentara Israel menyerbu kamp pengungsi Faraa di Provinsi Tubas, di mana rentetan ledakan terdengar.

    Militer Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap wilayah Tepi Barat bagian utara sejak 28 Agustus lalu, yang disebut bertujuan untuk memerangi militan Palestina yang didukung Iran. Operasi penyerbuan Tel Aviv itu memicu kehancuran yang luas di Tepi Barat.

    Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, lebih dari 30 warga Palestina tewas dalam penyerbuan militer Israel. Terdapat anak-anak di antara korban tewas.

    Namun sebagian besar korban tewas diklaim sebagai anggota Hamas atau Jihad Islam yang bermarkas di Jalur Gaza.

    Satu tentara Israel dilaporkan terbunuh dalam operasi militer di Jenin, yang menjadi lokasi sebagian besar warga Palestina tewas saat penyerbuan berlangsung.

    Israel telah menduduki Tepi Barat sejak tahun 1967 silam, dan militer Tel Aviv telah meningkatkan serangan mematikan di wilayah tersebut sejak perang berkecamuk melawan Hamas di Jalur Gaza selama 11 bulan terakhir.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)