Negara: Tepi Barat

  • Tolak Rencana Trump, Warga Gaza Khawatir Peristiwa Nakba 1948 Terulang: Ini Tanah Air Saya – Halaman all

    Tolak Rencana Trump, Warga Gaza Khawatir Peristiwa Nakba 1948 Terulang: Ini Tanah Air Saya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Warga Gaza bernama Shaban Shaqaleh (47) dengan tegas menolak rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengusir penduduk Palestina dari Jalur Gaza.

    Setelah rumahnya di Gaza hancur dalam serangan militer Israel, Shaban Shaqaleh bermaksud membawa keluarganya berlibur ke Mesir setelah gencatan senjata Hamas-Israel benar-benar berlaku.

    Namun, ia berubah pikiran setelah Donald Trump mengumumkan rencana untuk memindahkan penduduk Palestina dari Gaza dan membangun kembali daerah kantong itu.

    Trump juga menyatakan penduduk Palestina di Gaza seharusnya tidak memiliki hak untuk kembali.

    Kini warga Palestina khawatir rencana Trump akan seperti peristiwa Nakba atau Malapetaka lainnya, ketika mereka mengalami pengusiran massal pada tahun 1948 dengan pembentukan Israel.

    “Kami ngeri dengan kehancuran, pengungsian berulang kali, dan kematian, dan saya ingin pergi agar saya dapat mengamankan masa depan yang aman dan lebih baik untuk anak-anak saya — sampai Trump mengatakan apa yang dikatakannya,” kata Shaqaleh kepada Reuters.

    “Setelah pernyataan Trump, saya membatalkan rencana itu. Saya takut pergi dan tidak akan pernah bisa kembali. Ini Tanah Air saya,” tegasnya.

    Di bawah skema Trump, sekitar 2,2 juta warga Palestina di Gaza akan dimukimkan kembali dan Amerika Serikat akan mengambil alih kendali dan kepemilikan wilayah pesisir tersebut.

    AS kemudian berencana membangun kembali Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”.

    “Ide menjual rumah saya atau sebidang tanah yang saya miliki kepada perusahaan asing untuk meninggalkan tanah air dan tidak pernah kembali sama sekali ditolak.”

    “Saya berakar dalam di tanah tanah air saya dan akan selalu demikian,” jelas Shaqaleh.

    Adapun lingkungan Tel Al-Hawa di Kota Gaza, menjadi tempat puluhan gedung bertingkat dulu berdiri, kini sebagian besar kosong.

    Tidak ada air bersih atau listrik dan seperti kebanyakan bangunan di sana, rumah Shaqaleh hancur.

    Trump Temui Raja Yordania

    Pada Selasa (11/2/2025), Donald Trump menjamu Raja Yordania Abdullah II di Gedung Putih dan mengulangi desakannya bahwa Gaza entah bagaimana dapat dikosongkan dari semua penduduk, dikontrol oleh AS, dan dibangun kembali sebagai kawasan wisata.

    Dilansir AP News, ini adalah skema yang berani, tetapi sangat tidak mungkin, untuk mengubah Timur Tengah secara dramatis dan akan mengharuskan Yordania dan negara-negara Arab lainnya untuk menerima lebih banyak warga Gaza — sesuatu yang ditegaskan Abdullah setelah pertemuan mereka yang ia tentang.

    Pasangan itu bertemu di Ruang Oval dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio yang juga hadir.

    Trump mengisyaratkan bahwa ia tidak akan menahan bantuan AS ke Yordania atau Mesir jika mereka tidak setuju untuk secara drastis meningkatkan jumlah orang dari Gaza yang mereka tampung.

    “Saya tidak perlu mengancam hal itu. Saya yakin kita berada di atas itu,” kata Trump.

    Hal itu bertentangan dengan usulan presiden dari Partai Republik sebelumnya bahwa menahan bantuan dari Washington adalah suatu kemungkinan.

    Sementara itu, Abdullah berulang kali ditanya tentang rencana Trump untuk membersihkan Gaza dan mengubahnya menjadi resor di Laut Mediterania.

    Ia tidak memberikan komentar substantif tentang hal itu dan tidak berkomitmen pada gagasan bahwa negaranya dapat menerima sejumlah besar warga Gaza.

    Namun, ia mengatakan bahwa Yordania bersedia “segera” menerima sebanyak 2.000 anak di Gaza yang menderita kanker atau sakit lainnya.

    “Saya akhirnya melihat seseorang yang dapat membawa kita melewati garis akhir untuk membawa stabilitas, perdamaian, dan kesejahteraan bagi kita semua di kawasan ini,” kata Abdullah tentang Trump dalam pernyataannya di awal pertemuan.

    DONALD TRUMP – Foto ini diambil pada Selasa (11/2/2025) dari publikasi resmi Donald J. Trump pada 20 November 2024 setelah memenangkan Pilpres Amerika Serikat. Pada 10 Februari 2025, Presiden AS Donald Trump mengancam Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) dengan neraka di Jalur Gaza jika Hamas menunda pembebasan sandera Israel pada Sabtu (15/2/2025). (Facebook Donald J. Trump)

    Abdullah meninggalkan Gedung Putih setelah sekitar dua jam dan menuju Capitol Hill untuk bertemu dengan sekelompok anggota parlemen bipartisan.

    Ia mengunggah di X bahwa selama pertemuannya dengan Trump, “Saya menegaskan kembali posisi teguh Yordania dalam menentang pemindahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.”

    “Ini adalah posisi Arab yang bersatu. Membangun kembali Gaza tanpa mengusir warga Palestina dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan harus menjadi prioritas bagi semua pihak,” ungkap Abdullah.

    Yordania adalah rumah bagi lebih dari 2 juta warga Palestina.

    Menteri luar negeri Yordania, Ayman Safadi, mengatakan minggu lalu bahwa penentangan negaranya terhadap gagasan Trump tentang pemindahan penduduk Gaza adalah “tegas dan tidak tergoyahkan.”

    Selain kekhawatiran akan membahayakan tujuan jangka panjang solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, Mesir dan Yordania secara pribadi telah mengemukakan kekhawatiran keamanan tentang penerimaan sejumlah besar pengungsi tambahan ke negara mereka, meskipun untuk sementara.

    Trump sebelumnya mengisyaratkan bahwa penduduk Gaza bisa saja mengungsi sementara atau permanen, sebuah gagasan yang ditegur keras oleh para pemimpin di seluruh dunia Arab.

    Selain itu, Trump kembali mengusulkan bahwa gencatan senjata yang rapuh antara Hamas dan Israel dapat dibatalkan jika Hamas tidak membebaskan semua sandera yang masih ditahannya paling lambat Sabtu (15/2/2025) siang.

    Perkembangan Terkini Konflik Palestina Vs Israel

    Dikutip dari Al Jazeera, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengancam akan melanjutkan “pertempuran sengit” di Gaza jika Hamas gagal membebaskan tawanan yang ditahan di sana paling lambat Sabtu siang.

    Presiden AS Donald Trump mengatakan kepada wartawan “kami akan mengambil alih” Gaza dan mendesak Raja Yordania Abdullah untuk mengalokasikan tanah bagi warga Palestina yang mengungsi paksa.

    Abdullah mengatakan ia menentang segala bentuk pemindahan warga Palestina dan mengatakan negara-negara Arab akan datang ke AS untuk menanggapi rencana pengambilalihan oleh Washington.

    Mesir mengatakan “rencana komprehensif” tersebut akan berupaya membangun kembali Gaza tanpa memukimkan kembali warga Palestina.

    Di kota Tulkarem, pasukan Israel menyerbu sebuah masjid tempat warga Palestina terlantar dari kamp pengungsi Tulkarem dan Nur Shams yang berdekatan menginap, dan menangkap beberapa orang, Wafa melaporkan.

    Di kota Ramin, timur Tulkarem, tentara Israel menangkap seorang wanita Palestina berusia 45 tahun, Wafa melaporkan.

    Di kota terdekat Kafr al-Labad, pasukan Israel menembak dan melukai seorang pemuda Palestina di kaki.

    Militer Israel juga mengirim bala bantuan militer tambahan ke kamp pengungsi Jenin, Al Jazeera Arabic melaporkan.

    Ada beberapa serangan di kota-kota lain, termasuk Azzun, timur Qalqilya; ad-Dhahiriya, selatan Hebron; dan Urif dan Beita, selatan Nablus, menurut Al Jazeera Arabic.

    Kantor Media Pemerintah Gaza telah memperbarui jumlah korban tewas menjadi sebanyak 61.709 orang, dengan mengatakan ribuan orang yang hilang di bawah reruntuhan kini diduga tewas.

    Sebanyak 1.139 orang tewas di Israel selama serangan 7 Oktober 2023 dan lebih dari 200 orang ditawan.

    (Tribunnews.com/Nuryanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina Vs Israel

  • Temui Raja Abdullah II, Trump Ngebet Usir Warga Gaza: Ada Tanah di Yordania dan Mesir untuk Mereka – Halaman all

    Temui Raja Abdullah II, Trump Ngebet Usir Warga Gaza: Ada Tanah di Yordania dan Mesir untuk Mereka – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Sekutu Israel, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, bertemu dengan Raja Abdullah II dari Yordania di Gedung Putih pada Selasa (11/2/2025).

    Donald Trump mengulangi pernyataannya mengenai penggusuran warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara tetangga termasuk Yordania dan Mesir.

    Ia mengatakan warga Palestina akan hidup aman di tempat lain selain Jalur Gaza.

    “Saya pikir akan ada sebidang tanah di Yordania dan Mesir tepat warga Palestina dapat tinggal,” kata Donald Trump setelah bertemu dengan Raja Yordania Abdullah II di Washington, Selasa.

    “Saya yakin 99 persen bahwa kita akan mampu mencapai sesuatu dengan Mesir juga,” lanjutnya.

    Donald Trump mengulangi pernyataannya dengan mengatakan, “Kami akan mengendalikan Jalur Gaza dan otoritasnya akan berada di tangan Amerika.”

    “Kami akan mengelola Jalur Gaza dengan sangat baik dan kami tidak akan membelinya,” ujarnya.

    Presiden AS menjelaskan pembangunan kembali Jalur Gaza akan berlangsung lama dan menciptakan lapangan pekerjaan.

    “Pembangunan Gaza, yang akan berlangsung lama dari sekarang, akan mendatangkan banyak lapangan pekerjaan bagi wilayah tersebut,” kata Donald Trump.

    Ketika ditanya apakah dia secara pribadi akan melaksanakan proyek pembangunan di Gaza, Donald Trump menjawab, “Tidak.”

    Ketika Trump ditanya tentang penahanan bantuan, ia menolak menjawab. 

    Ia menegaskan Amerika Serikat menyediakan banyak uang dan ia tidak perlu melontarkan ancaman.

    “Saya pikir kita berada di atas itu,” katanya, seperti diberitakan Al Jazeera.

    Ketika ditanya otoritas apa yang dimilikinya atas Gaza, ia berkata Jalur Gaza akan berada di bawah otoritas Amerika Serikat atau dengan kata lain akan diduduki oleh AS.

    Mengenai aneksasi Israel atas Tepi Barat yang diduduki, Donald Trump berkata, “Itu akan berhasil.”

    Tanggapan Raja Yordania

    Mengenai penerimaan warga Palestina, Raja Yordania Abdullah II mengatakan pertanyaannya adalah bagaimana membuat segala sesuatunya berjalan lebih baik untuk semua orang ketika ia berbicara tentang menerima 2.000 anak yang sakit.

    Ketika ditanya tentang ide-ide Donald Trump, Raja Abdullah berkata, “Mari kita tunggu sampai orang Mesir dapat mengemukakan ide.”

    Namun, ketika ditanya apakah ada sebidang tanah yang dapat ditinggali oleh warga Palestina, Raja Yordania mengatakan akan melakukan sesuai kepentingan Yordania.

    “Saya harus melakukan apa pun yang menjadi kepentingan negara saya,” katanya.

    Dia menekankan orang-orang Arab akan datang ke Amerika sebagai tanggapan terhadap rencana Donald Trump mengenai Jalur Gaza.

    Raja Yordania menegaskan akan membahas hal ini di Arab Saudi tentang bagaimana cara bekerja sama dengan Amerika Serikat terkait Jalur Gaza, dan akan ada tanggapan dari beberapa negara.

    Sebelumnya, Mesir dan Yordania menolak usulan Donald Trump untuk menggusur warga Palestina dari Jalur Gaza dan memindahkan mereka secara permanen ke wilayah lain.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel

  • 9 Update Perang Arab: Trump Ngamuk-Israel Rapat Darurat

    9 Update Perang Arab: Trump Ngamuk-Israel Rapat Darurat

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Dinamika baru terus terjadi di wilayah Gaza, Palestina. Hal ini disebabkan panasnya kembali tensi antara Israel dan milisi penguasa wilayah itu, Hamas, menyusul pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang ingin mencaplok daerah pesisir Palestina itu.

    Perdamaian yang diharapkan terjadi setelah gencatan senjata pun terancam tak tercapai.

    Berikut sejumlah perkembangan terbarunya, Selasa (11/2/2025):

    1. Hamas Hentikan Pembebasan Sandera

    Hamas memutuskan untuk menghentikan pembebasan sandera Israel di Gaza hingga pemberitahuan lebih lanjut. Hal ini terjadi setelah Israel melanggar gencatan senjata pasca kematian tiga warga Gaza hari Minggu lalu.

    “Pembebasan sandera berikutnya… yang dijadwalkan Sabtu depan, 15 Februari 2025, akan ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut,” kata seorang juru bicara sayap bersenjata Hamas, Brigade Ezzedine al-Qassam, Abu Ubaida, dikutip AFP.

    “Pertukaran sandera-tahanan menunggu kepatuhan pendudukan (Israel) dan pemenuhan kewajiban minggu lalu secara retroaktif,” ujarnya.

    Pernyataan tersebut dikeluarkan pula di tengah rencana bertemunya para negosiator perdamaian Gaza dalam beberapa hari mendatang di Qatar untuk membahas penerapan fase pertama gencatan senjata selama 42 hari, serta kemungkinan fase berikutnya yang belum diselesaikan. Pembicaraan tentang fase kedua dimaksudkan untuk memulai hari ke-16 gencatan senjata, tetapi Israel menolak untuk mengirim negosiatornya ke Doha untuk itu.

    2. Israel Rapat Darurat

    Seorang pejabat Israel memberi tahu Reuters bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengadakan konsultasi keamanan setelah Hamas mengumumkan penangguhan pembebasan tawanan Gaza yang dijadwalkan pada hari Sabtu.

    Radio Angkatan Darat Israel melaporkan Netanyahu bertemu dengan pimpinan angkatan darat dan keamanan di hadapan Menteri Pertahanan Israel Katz, Menteri Luar Negeri Gideon Saar, dan Menteri Urusan Strategis Ron Dermer.

    Kabinet keamanan juga akan bertemu pada Selasa pagi, kata pejabat itu.

    3. Militer Israel Perkuat Kehadiran di Gaza

    Tentara Israel mengatakan akan “memperkuat secara signifikan” wilayah di sekitar Gaza setelah Hamas mengumumkan akan berhenti membebaskan tawanan Israel hingga pemberitahuan lebih lanjut atas pelanggaran gencatan senjata oleh Israel.

    “Sesuai dengan penilaian situasi, diputuskan untuk meningkatkan tingkat kesiapan dan menunda cuti bagi prajurit tempur dan unit operasional di Komando Selatan,” kata Tentara Israel dalam sebuah pernyataan.

    “Selain itu, diputuskan untuk memperkuat wilayah tersebut secara signifikan dengan pasukan tambahan untuk misi pertahanan.”

    4. Israel Mau ‘Ubah’ Demografi Tepi Barat

    Menurut kelompok hak asasi Israel B’Tselem, tentara Israel sedang melancarkan “perang habis-habisan terhadap rakyat Palestina”.

    “Sejak gencatan senjata dimulai di Gaza, Tepi Barat telah terbakar,” katanya dalam sebuah posting di X, mengacu pada perjanjian gencatan senjata yang menghentikan perang Israel yang menghancurkan di Gaza pada 19 Januari.

    Hal yang sama juga disampaikan Gubernur wilayah Tulkarem Palestina, Abdallah Kamil. Ia menyebut ada niatan untuk menggeser dominasi warga Palestina di wilayah tersebut.

    “Tujuan dari operasi ini bukan terkait keamanan tetapi politik,” kata Kamil.

    “Mereka menghancurkan segalanya,” katanya tentang militer Israel. “Mereka mencoba mengubah demografi wilayah tersebut.”

    5. Trump Ancam Hamas

    Presiden AS Donald Trump turun tangan setelah Hamas mengumumkan akan menangguhkan pembebasan tawanan. Ia menyebut akan ada tenggat waktu yang perlu ditetapkan sebelum memang perjanjian gencatan senjata batal.

    “Jika semua sandera Gaza tidak dikembalikan pada hari Sabtu pukul 12 siang, saya akan mengatakan batalkan gencatan senjata,” kata Trump. “Namun, itu terserah Israel.”

    6. Sikap Hamas atas Rencana Trump

    Anggota biro politik Hamas, Izzat Al Risheq, mengatakan pernyataan terbaru Trump tentang kepemilikan AS atas Gaza sebagai ‘tidak masuk akal’.

    “Pernyataan tersebut mencerminkan ketidaktahuan yang mendalam tentang Palestina dan wilayah tersebut. Pendekatan Trump terhadap perjuangan Palestina akan gagal,” tambahnya.

    7. Seruan Penangguhan Israel

    Para peserta konferensi yang diadakan di Oslo menyerukan penangguhan keanggotaan Israel di organisasi internasional. Konferensi tersebut, yang diselenggarakan oleh kelompok Free Speech, Jewish Voice, dan Lower the Arms, dan dihadiri oleh akademisi, tokoh politik, dan advokat hak asasi manusia dari 13 negara, menyerukan gerakan rakyat untuk meningkatkan tekanan mereka pada pemerintah Barat agar menegakkan hukum internasional di Palestina.

    Para peserta, termasuk European-Palestinian Initiative Against Apartheid and Colonial Settlement, juga menyerukan sanksi Eropa terhadap Israel jika gagal mengakhiri pendudukan ilegalnya di wilayah Palestina.

    Departemen Anti-Apartheid dari Organisasi Pembebasan Palestina berpartisipasi dalam konferensi tersebut, dengan kepala departemen Ramzi Rabah berbicara tentang situasi kemanusiaan yang mengerikan di Gaza dan tindakan Israel terhadap UNRWA.

    8. Potensi Perang Baru Israel-Hizbullah

    Potensi perang baru antara Israel dengan milisi Lebanon Hizbullah tidak dapat dihindari. Hal ini disampaikan analis politik Robert Inlakesh dalam sebuah kolom di Russia Today.

    Dalam pernyataannya, ia meramalkan bahwa perang baru yang mungkin muncul kembali antara keduanya akan berlangsung lebih parah. Hal ini disebabkan kegagalan Israel dan Hizbullah untuk mencapai tujuannya dalam perang yang berlangsung tahun lalu.

    “Pada akhir November, Israel gagal membuat kemajuan yang berarti di wilayah Lebanon selatan dan tidak mencapai tujuannya untuk mencapai wilayah Sungai Litani,” ungkapnya.

    “Sementara itu, Hizbullah tidak mampu menyamai tingkat kehancuran yang dilakukan Israel terhadap kota-kota Lebanon dengan menggunakan strategi rudal mereka, mereka juga bertempur dengan mata tertutup dan berdiri dengan satu kaki setelah pukulan yang dideritanya.”

    Inlakesh mengatakan meskipun kemenangan taktis Israel kini telah mengubah perang propaganda untuk membuat Hizbullah tampak seperti sedang sekarat, hal itu masih jauh dari kata kemenangan. Faktanya, Hizbullah masih memiliki pasukan darat yang tangguh sekitar 100.000 pejuang, kapasitas produksi senjata dalam negeri, dan amunisi yang melimpah, yang dipahami dengan baik oleh militer Israel.

    9. Presiden Iran Kecam Trump

    Presiden Iran Masoud Pezeshkian menuduh Presiden AS Donald Trump berusaha menggulingkan tapuk kekuasaan di Iran, saat negara itu menandai revolusi 1979 yang berhasil menggulingkan Shah bekingan Washington .

    “Trump berkata, ‘Kami ingin berunding’, dan (lalu) dia menandatangani sebuah memorandum berisi semua konspirasi untuk membuat revolusi kami bertekuk lutut,” kata Presiden Masoud Pezeshkian kepada kerumunan, merujuk pada penerapan kembali sanksi Trump terhadap Teheran awal bulan ini.

    “Kami tidak mencari perang,” katanya, sambil menambahkan bahwa Iran “tidak akan pernah tunduk kepada pihak asing”.

    Sambil meneriakkan slogan-slogan anti-AS dan anti-Israel, kerumunan terbentuk pada hari Senin di jalan-jalan Shiraz dan Bandar Abbas di Selatan, Rasht di Utara, Kermanshah dan Sanandaj di Barat, dan kota suci Mashhad di Timur.

    (luc/luc)

  • Seenak-enaknya Israel Ganti Nama Tepi Barat

    Seenak-enaknya Israel Ganti Nama Tepi Barat

    Jakarta

    Israel seenak-enaknya mengubah nama Tepi Barat dengan Yudea dan Samaria. Langkah Israel membuat Palestina geram.

    Dirangkum detikcom, Selasa (11/2/2026), parlemen Israel menyetujui rancangan undang-undang (RUU) untuk mengganti sebutan Tepi Barat dengan Yudea dan Samaria. Otoritas Palestina mengecam keras langkah parlemen Israel tersebut sebagai eskalasi serius yang bertujuan untuk mencaplok wilayah pendudukan tersebut.

    Kementerian Luar Negeri Palestina dalam pernyataannya, seperti dilansir Anadolu Agency, mengecam persetujuan yang diberikan oleh Komite Legislasi Kabinet pada parlemen Israel atau Knesset terhadap RUU yang mengubah nama Tepi Barat tersebut.

    “Eskalasi tindakan sepihak dan ilegal Israel yang berbahaya, membuka jalan bagi aneksasi penuh terhadap Tepi Barat, penerapan hukum Israel dengan kekerasan, dan secara sistematis melemahkan kemungkinan pembentukan negara Palestina dan penyelesaian konflik melalui cara-cara politik damai,” kecam Kementerian Luar Negeri Palestina dalam pernyataannya.

    “Undang-undang ini, bersama dengan langkah-langkah pendudukan lainnya, tidak menciptakan hak sah bagi Israel atas tanah Negara Palestina. Undang-undang ini batal demi hukum, ilegal dan merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan resolusi PBB, yang merupakan ancaman langsung terhadap keamanan dan stabilitas regional dan global,” sebut pernyataan tersebut.

    Kementerian Luar Negeri Palestina juga menyerukan intervensi internasional yang mendesak “untuk menghentikan upaya Israel untuk mengubah status politik, hukum, dan geografis Negara Palestina yang diakui secara internasional”.

    Palestina Geram

    Foto: Ilustrasi di Tepi Barat (REUTERS/Ammar Awad)

    Kementerian Luar Negeri Palestina juga menyerukan intervensi internasional yang mendesak “untuk menghentikan upaya Israel untuk mengubah status politik, hukum, dan geografis Negara Palestina yang diakui secara internasional”.

    Pernyataan Kementerian Luar Negeri Palestina itu mendesak semua negara untuk mengkondisikan hubungan mereka dengan Israel berdasarkan kepatuhannya terhadap hukum internasional dan kepatuhan terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Knesset, pada 29 Januari lalu, meloloskan pembahasan awal RUU yang mengizinkan para pemukim Israel untuk mendaftarkan diri mereka sebagai pemilik tanah yang sah di Tepi Barat yang diduduki.

    Palestina dan organisasi sayap kiri Israel berpendapat bahwa pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu mempercepat upaya untuk menerapkan hukum Israel di Tepi Barat sebagai persiapan untuk aneksasi penuh.

    Dalam beberapa bulan terakhir, para menteri pemerintahan Israel dan Netanyahu secara terbuka menyatakan niat untuk mencaplok Tepi Barat, yang berada di bawah pendudukan Israel sejak tahun 1967 silam.

    Halaman 2 dari 2

    (whn/whn)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Abu Obaida: Penundaan Pembebasan Sandera Berlanjut Hingga Israel Setop Serangan Terhadap Warga – Halaman all

    Abu Obaida: Penundaan Pembebasan Sandera Berlanjut Hingga Israel Setop Serangan Terhadap Warga – Halaman all

    Abu Obaida: Penundaan Berlanjut Hingga Israel Setop Serangan Terhadap Warga Palestina yang Kembali

    TRIBUNNEWS.COM- Hamas mengatakan pihaknya akan menunda pembebasan tawanan Israel tahap berikutnya “sampai pemberitahuan lebih lanjut”, menuduh Israel gagal mematuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata.

    Gerakan Palestina mengatakan bantuan yang lebih besar perlu masuk ke Gaza dan serangan terhadap warga Palestina yang kembali harus dihentikan.

    Gerakan ini dijadwalkan membebaskan sejumlah warga Israel pada hari Sabtu, 15 Februari, dengan imbalan tahanan dan tahanan Palestina.

    Namun, Abu Obaida, juru bicara sayap bersenjata Hamas, Brigade Qassam, mengatakan hal itu akan “ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut, sambil menunggu kepatuhan pendudukan dan pemenuhan kewajiban beberapa minggu terakhir secara retroaktif”.

    “Kami menegaskan kembali komitmen kami terhadap ketentuan perjanjian selama pendudukan mematuhinya,” tambahnya.

    Abu Obaida mengatakan penundaan akan terus berlanjut hingga Israel menghentikan serangannya terhadap warga Palestina yang kembali ke rumah mereka di Gaza dan mengizinkan bantuan ke daerah kantong itu pada tingkat yang telah disepakati sebelumnya.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengatakan tindakan Hamas merupakan “pelanggaran total terhadap perjanjian gencatan senjata dan kesepakatan untuk membebaskan para sandera”.

    Ia mengatakan telah menginstruksikan militer “untuk bersiap pada tingkat kewaspadaan tertinggi terhadap kemungkinan skenario apa pun di Gaza”.

    Demikian pula, anggota parlemen sayap kanan yang berpengaruh, Itamar Ben-Gvir, menyerukan “serangan udara dan darat besar-besaran terhadap Gaza dan penghentian total bantuan kemanusiaan, termasuk listrik, bahan bakar, dan air”.

    Namun, Forum Sandera dan Keluarga Hilang, yang mengadvokasi para tawanan Israel, mengatakan pihaknya telah meminta negara-negara penengah untuk melakukan intervensi “yang akan memulihkan pelaksanaan kesepakatan” dan meminta pemerintah untuk “menahan diri dari tindakan yang membahayakan pelaksanaan perjanjian yang telah ditandatangani”.

    Rumah tahanan yang dibebaskan digerebek

    Pada hari Sabtu, Hamas membebaskan tiga tawanan Israel dari Gaza, dan Israel membebaskan 183 tahanan dan narapidana Palestina dari penjara di seluruh negeri.

    PBB mengatakan ” sangat menyedihkan” melihat tahanan yang dibebaskan di kedua belah pihak tampak kurus kering setelah dibebaskan.

    Hamas dan pejuang Palestina lainnya menangkap 250 orang selama serangan mereka di Israel selatan pada 7 Oktober 2023. Sementara itu, Israel menahan sekitar 10.000 tahanan dan tahanan Palestina, termasuk 365 anak-anak.

    Masih ada 17 warga Israel yang akan dibebaskan selama tahap pertama perjanjian gencatan senjata yang dimulai bulan lalu dan 73 orang masih ditawan, banyak di antaranya diyakini telah tewas.

    Pasukan Israel menyerbu rumah sejumlah tahanan Palestina yang dibebaskan pada hari Sabtu, kata Kantor Media Tahanan Palestina. Penggerebekan tersebut terjadi di seluruh wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki. 

    Tujuh warga Palestina yang dibebaskan dibawa ke rumah sakit pada hari Sabtu. Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan beberapa dari mereka dalam kondisi serius. 

    Minggu lalu Presiden AS Donald Trump mengatakan kepada wartawan bahwa dia tidak dapat memastikan apakah gencatan senjata akan berlaku. 

    Dalam konferensi pers yang menggemparkan bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump mengatakan AS akan “mengambil alih” Jalur Gaza dan “memilikinya”, dengan paksa mengusir warga Palestina dari daerah kantong tersebut. 

    “Jika perlu, kami akan melakukannya; kami akan mengambil alih bagian itu. Kami akan mengembangkannya, menciptakan ribuan lapangan kerja, dan itu akan menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan oleh seluruh Timur Tengah.”

    Hamas mengecam rencana Trump, dengan mengatakan bahwa rencana tersebut akan “menghancurkan mereka sebagaimana kami menghancurkan proyek-proyek sebelumnya”.

    Hamas, dan sejumlah warga Israel, juga menuduh pemerintah mengulur-ulur negosiasi.

    Pemimpin oposisi Yair Lapid menuduh Netanyahu mengulur waktu dan mempertaruhkan nyawa orang-orang yang masih ditahan di Gaza.

     

    SUMBER: MIDDLE EAST EYE

  • Hamas Tunda Pembebasan Sandera, Tuding Israel Langgar Gencatan Senjata

    Hamas Tunda Pembebasan Sandera, Tuding Israel Langgar Gencatan Senjata

    PIKIRAN RAKYAT – Sayap Militer Kelompok Hamas Palestina yaitu Brigade Al-Qassam telah menunda pembebasan warga Israel yang mereka sandera karena Tel Aviv melanggar kesepakatan gencatan senjata Gaza.

    Hamas mencatat berbagai pelanggaran yang dilakukan Israel penjajah yaitu menunda kembalinya pengungsi Palestina ke Gaza utara, menembaki berbagai wilayah di Jalur Gaza, dan mencegah masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza yang tidak sesuai kesepakatan gencatan senjata.

    “Oleh karena itu, pembebasan tahanan Zionis yang dijadwalkan Sabtu, 15 Februari 2025 mendatang akan ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut, sambil menunggu kepatuhan penuh penjajah terhadap perjanjian gencatan senjata,” ucap Brigade Al-Qassam, Abu Obaida.

    Obaida menegaskan bahwa pihak Hamas tetap berkomitmen menjalankan kesepakatan gencatan senjata selama Israel juga mematuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian.

    Menyusul pengumuman, pejabat pertahanan Israel Katz telah memerintahkan tentara untuk bersiap pada tingkat kewaspadaan tertinggi untuk setiap kemungkinan skenario kejadian di Gaza.

    Sementara itu, keluarga Israel yang menjadi tahanan di Gaza mendesak Benjamin Netanyahu untuk tidak menghalangi kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas.

    “Kamis telah meminta bantuan dari negara-negara penengah (Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat) untuk membantu memulihkan dan melaksanakan kesepakatan yang ada secara efektif,” ucap Forum Sandera.

    Forum tersebut juga meminta otoritas Israel untuk menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat membahayakan kesepakatan dan tetap komitmen untuk mengamankan pengembalian 76 warga Israel yang disandera.

    Diketahui, kesepakatan gencatan senjata akan melalui tiga fase yang berlaku sejak 19 Januari 2025 dengan tujuan menghentikan perang genosida Israel yang telah menewaskan lebih dari 48.000 korban dan menghancurkan daerah kantong Palestina.

    Pada fase pertama gencatan senjata akan berlangsung sampai awal Maret dan sebanyak 33 warga Israel yang disandera Hamas akan dibebaskan dengan imbalan sejumlah tahanan Palestina.

    Pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas yang keenam kalinya dijadwalkan pada pekan ini.

    Sebelumnya, Israel dan Hamas telah menyelesaikan pertukaran tawanan dan sandera yang kelima dalam fase pertama perjanjian gencatan senjata Gaza.

    Kronologi dan Peristiwa Penting Terkait Pertukaran Sandera

    – Pada 19 Januari 2025 kesepakatan gencatan senjata Gaza mulai berlaku dan pada fase ini berlangsung 42 hari dari perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang difasilitasi oleh Mesir dan Qatar dengan dukungan dari Amerika Serikat. Dihari yang sama tiga wanita Israel yang dibebaskan dari penahanan hamas di Gaza.

    – Pada 20 Januari 2025 israel membebaskan 90 tahanan Palestina dari penjara Ofer yang terletak disebelah barat Ramallah di tepi Barat, hanya beberapa jam setelah tiga sandera Israel dibebaskan.

    – Pada 25 Januari 2025 Gaza menyaksikan pertukaran sandera kedua saat Hamas membebaskan empat tentara wanita Israel dengan imbalan 200 tahanan Palestina. Tak lama, Dinas Penjara Israel mengumumkan bahwa 200 tahanan Palestina akan dibebaskan.

    – 30 Januari 2025, Israel setuju untuk membebaskan 110 tahanan Palestina, termasuk 30 anak dibawah umur yang membatalkan putusan sebelumnya untuk menunda pertukaran. Langkah itu menyusul pembebasan tiga sandera Israel dan lima sandera Thailand oleh Hamas dalam gencatan senjata Gaza.

    – 1 Februari 2025, Hamas membebaskan tiga sandera Israel dalam gelombang keempat dari tahap pertama pertukaran tahanan dan kesepakatan gencatan senjata. Sebagai balasan Israel membebaskan 183 tahanan Palestina dan mengizinkan 50 warga Palestina yang terluka dan sakit meninggalkan Gaza untuk menjalani perawatan medis di luar negeri.

    – 4 Februari 2025, Hamas mengatakan pembicaraan tentang tahap kedua kepeakatan gencatan senjata Gaza dengan Israel dimulai dengan fokus pada tempat berlindung, bantuan, dan rekonstruksi di daerah kantong Palestina yang hancur.

    – 8 Februari 2025, dalam pertukaran tahanan-sandera kelima, tiga sandera Israel yang sebelumnya ditawan oleh Hamas dipindahkan dari Gaza tengah ke Pasukan Pertahanan Israel dan Badan Keamanan Israel dan menyeberangi perbatasan ke Israel.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Israel Ganti Nama Tepi Barat Jadi Yudea dan Samaria, Palestina Geram!    
        Israel Ganti Nama Tepi Barat Jadi Yudea dan Samaria, Palestina Geram!

    Israel Ganti Nama Tepi Barat Jadi Yudea dan Samaria, Palestina Geram! Israel Ganti Nama Tepi Barat Jadi Yudea dan Samaria, Palestina Geram!

    Ramallah

    Parlemen Israel menyetujui rancangan undang-undang (RUU) untuk mengganti sebutan Tepi Barat dengan Yudea dan Samaria. Otoritas Palestina mengecam keras langkah parlemen Israel tersebut sebagai eskalasi serius yang bertujuan untuk mencaplok wilayah pendudukan tersebut.

    Kementerian Luar Negeri Palestina dalam pernyataannya, seperti dilansir Anadolu Agency, Selasa (11/2/2025), mengecam persetujuan yang diberikan oleh Komite Legislasi Kabinet pada parlemen Israel atau Knesset terhadap RUU yang mengubah nama Tepi Barat tersebut.

    “Eskalasi tindakan sepihak dan ilegal Israel yang berbahaya, membuka jalan bagi aneksasi penuh terhadap Tepi Barat, penerapan hukum Israel dengan kekerasan, dan secara sistematis melemahkan kemungkinan pembentukan negara Palestina dan penyelesaian konflik melalui cara-cara politik damai,” kecam Kementerian Luar Negeri Palestina dalam pernyataannya.

    “Undang-undang ini, bersama dengan langkah-langkah pendudukan lainnya, tidak menciptakan hak sah bagi Israel atas tanah Negara Palestina. Undang-undang ini batal demi hukum, ilegal dan merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan resolusi PBB, yang merupakan ancaman langsung terhadap keamanan dan stabilitas regional dan global,” sebut pernyataan tersebut.

    Kementerian Luar Negeri Palestina juga menyerukan intervensi internasional yang mendesak “untuk menghentikan upaya Israel untuk mengubah status politik, hukum, dan geografis Negara Palestina yang diakui secara internasional”.

    Pernyataan Kementerian Luar Negeri Palestina itu mendesak semua negara untuk mengkondisikan hubungan mereka dengan Israel berdasarkan kepatuhannya terhadap hukum internasional dan kepatuhan terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Knesset, pada 29 Januari lalu, meloloskan pembahasan awal RUU yang mengizinkan para pemukim Israel untuk mendaftarkan diri mereka sebagai pemilik tanah yang sah di Tepi Barat yang diduduki.

    Palestina dan organisasi sayap kiri Israel berpendapat bahwa pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu mempercepat upaya untuk menerapkan hukum Israel di Tepi Barat sebagai persiapan untuk aneksasi penuh.

    Dalam beberapa bulan terakhir, para menteri pemerintahan Israel dan Netanyahu secara terbuka menyatakan niat untuk mencaplok Tepi Barat, yang berada di bawah pendudukan Israel sejak tahun 1967 silam.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Perang Arab Memanas! Hamas Ngamuk, Trump Usir Warga Gaza Selamanya

    Perang Arab Memanas! Hamas Ngamuk, Trump Usir Warga Gaza Selamanya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kondisi jazirah Arab kembali memanas. Sejumlah perkembangan terjadi di Timur Tengah, khususnya karena eskalasi Israel dan Palestina.

    Kemungkinan peperangan terjadi lagi kini mencuat setelah Israel melanggar gencatan senjata pasca kematian tiga warga Gaza, Minggu. Hamas menghentikan pembebasan sandera Israel di Gaza hingga pemberitahuan lebih lanjut, Senin, menunjuk Israel perlu memenuhi “kewajibannya”.

    “Pembebasan sandera berikutnya… yang dijadwalkan Sabtu depan, 15 Februari 2025, akan ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut,” kata seorang juru bicara sayap bersenjata Hamas, Brigade Ezzedine al-Qassam, Abu Ubaida, dikutip AFP, Selasa (11/2/2025).

    “Pertukaran sandera-tahanan menunggu kepatuhan pendudukan (Israel) dan pemenuhan kewajiban minggu lalu secara retroaktif,” ujarnya.

    Pernyataan tersebut dikeluarkan pula di tengah rencana bertemunya para negosiator perdamaian Gaza dalam beberapa hari mendatang di Qatar untuk membahas penerapan fase pertama gencatan senjata selama 42 hari, serta kemungkinan fase berikutnya yang belum diselesaikan. Pembicaraan tentang fase kedua dimaksudkan untuk memulai hari ke-16 gencatan senjata, tetapi Israel menolak untuk mengirim negosiatornya ke Doha untuk itu.

    Menteri Pertahanan Israel Israel Katz mengatakan pengumuman Hamas merupakan “pelanggaran total” terhadap perjanjian gencatan senjata. Ini, klaimnya menandakan bahwa pertempuran dapat dilanjutkan.

    “Saya telah menginstruksikan IDF (militer) untuk bersiap pada tingkat kewaspadaan tertinggi untuk setiap kemungkinan skenario di Gaza,” kata Katz dalam sebuah pernyataan pernyataan.

    Militer Israel kemudian mengatakan bahwa mereka telah meningkatkan “tingkat kesiapan” di sekitar Gaza. Termasuk memutuskan untuk memperkuat wilayah tersebut secara signifikan.

    Di sisi lain, kelompok Kampanye Forum Sandera dan Keluarga Hilang mengatakan pada hari Senin bahwa mereka telah meminta bantuan dari negara-negara penengah untuk membantu memulihkan dan menerapkan kesepakatan yang ada secara efektif. Kementerian kesehatan di Gaza mengatakan perang tersebut telah menewaskan sedikitnya 48.208 orang di wilayah tersebut.

    Trump Usir Warga Gaza Selamanya

    Sementara itu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengindikasikan “pengusiran warga Palestina di Gaza selamanya”. Ia mengatakan warga Palestina tidak akan memiliki hak kembali ke Jalur Gaza berdasarkan usulannya untuk membangun kembali daerah kantong itu, meski bertentangan dengan ucapan pejabatnya sendiri, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, yang telah menyarankan warga Gaza hanya akan direlokasi sementara.

    Dalam kutipan wawancara Fox News yang dirilis pada hari Senin, Trump menambahkan bahwa ia pikir ia dapat membuat kesepakatan dengan Yordania dan Mesir untuk mengambil alih warga Palestina yang mengungsi. Ia mengatakan AS memberi kedua negara “miliaran dan miliaran dolar setahun”.

    Saat ditanya apakah warga Palestina akan memiliki hak untuk kembali ke Gaza, Trump mengatakan “Tidak, mereka tidak akan melakukannya karena mereka akan memiliki perumahan yang jauh lebih baik”. Ia menegaskan “Saya berbicara tentang membangun tempat permanen untuk mereka” seraya menambahkan bahwa “akan butuh waktu bertahun-tahun bagi Gaza untuk dapat dihuni lagi”.

    Dalam pengumuman mengejutkan pada tanggal 4 Februari setelah bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu di Washington, Trump mengusulkan untuk memukimkan kembali 2,2 juta warga Palestina di Gaza. AS mengambil alih kendali daerah kantong tepi laut itu, membangunnya kembali menjadi “Riviera Timur Tengah”.

    Penduduk Gaza secara umum menolak setiap usulan untuk pindah dari jalur tersebut, seperti halnya Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Hamas yang mengelola Gaza. Pejabat senior Hamas Sami Abu Zuhri mengatakan pernyataan Trump bahwa warga Palestina tidak akan dapat kembali ke Gaza adalah “tidak bertanggung jawab”.

    (sef/sef)

  • Jenderal IDF: Karena Gaza, Israel Hadapi Bahaya Kepunahan Setara Penghancuran Bom Nuklir – Halaman all

    Jenderal IDF: Karena Gaza, Israel Hadapi Bahaya Kepunahan Setara Penghancuran Bom Nuklir – Halaman all

    Jenderal IDF: Israel Hadapi Bahaya Kepunahan Setara Penghancuran Bom Nuklir

    TRIBUNNEWS.COM – Mantan Kepala Militer Israel (IDF), Mayor Jenderal (Purn) Yitzhak Brick memberikan analisisnya terkait perkembangan situasi konflik yang dihadapi Israel di Gaza dan secara regional di Timur Tengah.

    Dalam analisisnya tersebut, Brick memperingatkan bahwa Israel menghadapi ancaman eksistensial yang mirip (setara) dengan penghancuran bom nuklir yang diawali dari penanganan yang salah atas Jalur Gaza sebagai respons serangan Banjir Al-Aqsa Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.

    Dalam sebuah artikel di surat kabar Israel Maariv, Brick menilai kalau rencana Israel dan Amerika Serikat (AS) saat ini tidak memberi Hamas dan warga Gaza horison (cakrawala) dan solusi apa pun untuk masa depan Palestina.

    Rencana Israel-AS ini tergambar melalui niat mereka untuk mengusir penduduk Gaza dan merampas tanah mereka.

    Situasi ini, tambah Brick, dia kaitkan kalau Hamas masih ada dan pelucutan senjata gerakan pembebasan Palestina itu tidak terjadi.

    Artinya, tanpa ada solusi jelas, selain pengusiran dan perampasan tanah, Hamas terus akan melawan dan menghasilkan kerugian bagi Israel. 

    Di sisi lain, Israel terbukti memiliki langkah deterrent yang lemah. Dalam aksi ofensif, IDF juga terbukti gagal dalam invasi darat ke Jalur Gaza selama 15 bulan belakangan.

    Di skenario ini, dia menambahkan kalau saat ini militer Israel telah melemah dan belum mengembangkan konsep keamanan untuk perang saat ini maupun di masa mendatang yang dia prediksi akan menghadirkan lawan gabungan bagi Israel.

    Lawan gabungan ini akan menghadirkan perang multi-front yang lebih kompleks bagi Israel yang dalam 15 bulan agresi di Gaza terbukti kewalahan hanya menghadapi Hamas Cs di Gaza dan Hizbullah di Lebanon. 

    Di sisi lain, Brick menggambarkan, pasukan darat Israel merupakan, “kekuatan kecil dan tidak mampu bertempur di lebih dari satu medan tempur.”

    TENTARA ISRAEL – Foto ini diambil pada Minggu (9/2/2025) dari publikasi resmi Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada Sabtu (8/2/2025) memperlihatkan tentara Israel dari Pasukan Komando Selatan dikerahkan ke beberapa titik di Jalur Gaza. (Telegram IDF)

    Jenderal purnawirawan itu mengatakan bahwa ancaman eksistensial terhadap Israel saat ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ancaman di masa depan yang datang dari berbagai arah.

    Dia juga menekankan kalau “Israel menghadapi krisis keamanan yang mendesak dan dapat sama menghancurkannya dengan serangan nuklir.”

    Ia lalu mengkritik kepemimpinan militer dan politik Israel, dan menyerukan penggantiannya segera untuk mempersiapkan apa yang ia lihat sebagai “tantangan keamanan paling serius” dalam sejarah negara pendudukan tersebut.

    “Jenderal Brick (76 tahun) dijuluki “Nabi Murka” di Israel, karena ia meramalkan serangan ribuan militan Palestina terhadap permukiman di sekitar Gaza, mirip dengan Operasi “Banjir Nuh”, dan ia juga meramalkan serangan besar-besaran Palestina dalam waktu dekat terhadap para pemukim di Tepi Barat,” kata ulasan Khaberni, dikutip Senin (9/2/2025).

    BERJALAN BERBARIS – Pasukan infanteri militer Israel (IDF) berjalan berbaris di waktu yang tidak dicantumkan di wilayah pendudukan mereka di Palestina. IDF dilaporkan mundur dari Poros Netzarim setelah tercapai kesepakatan pertukaran sandera dengan Gerakan Hamas per 19 Januari 2025. (khaberni/tangkap layar)

    Bencana Memalukan

    Dalam artikel tersebut, Brick menyebut Israel kini dipimpin oleh para pemimpin militer dan politik yang tidak cakap.

    Terbukti, baik dari sisi militer maupun politik, Israel tidak berhasil menuntaskan apa yang ditargetkan saat melancarkan agresi dan bombardemen selama 15 bulan di Gaza.

    “Kepemimpinan yang membawa kita pada bencana yang memalukan dan tak termaafkan di Jalur Gaza tidak memenuhi syarat dan tidak layak untuk memimpin kebijakan keamanan Negara Israel di tahun-tahun mendatang,” katanya.

    Situasi yang dihadapi Israel saat ini, kata dia, sudah berada di ambang perang regional yang nantinya akan melibatkan banyak negara dan milisi perlawanan.

    “Negara Israel hampir memasuki perang regional dan mengancam eksistensinya. Hal itu hanya dapat dicegah oleh mukjizat, karena Hizbullah tidak datang untuk berperang melawan kita pada saat yang sama ketika Hamas menyerang permukiman pada 7 Oktober 2023. Negara yang mengandalkan mukjizat dan bukan kekuatan militer yang nyata tidak akan bertahan lama,” lanjutnya.

    Menurut artikel Brick, “Perang regional bisa saja terjadi dalam situasi yang lebih berbahaya, dan di luar nalar. Beberapa minggu setelah 7 Oktober 2023, ketika kabinet perang memutuskan untuk melancarkan serangan ke Gaza, Kepala Staf Herzi Halevi dan Menteri Pertahanan Yoav Galant menuntut, dalam sebuah diskusi kabinet, agar tentara melancarkan perang melawan Hizbullah secara bersamaan.”

    Jenderal purnawirawan itu yakin, tindakan seperti itu akan berujung pada perang regional, yang akan menimbulkan kerusakan dahsyat dan kerugian sangat besar di dalam negeri Israel, sebab tentara Israel dan dalam negeri sama sekali tidak siap menghadapinya.

    “Brick yakin bahwa Kepala Staf dan Menteri Pertahanan terus berkoar dengan cara dan perspektif yang sama, seperti yang mereka lakukan sebelum Hamas menyerang permukiman Yahudi Israel di sekitar Jalur Gaza,” tulis ulasan tersebut. 

    “Mereka bergabung dengan komentator hukum di saluran televisi utama, yang mengatakan bahwa setelah mengalahkan Hamas di Jalur Gaza, tentara Israel perlu mengalahkan Hizbullah di Lebanon,” kata Brick.

    “Pendekatan ini merupakan kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan kenyataan. Mereka tidak belajar apa pun dari pukulan mengerikan yang kami alami dalam perang Gaza, yang merupakan kesalahan langsung mereka, dan mereka terus melanjutkan pernyataan mereka seolah-olah tidak terjadi apa-apa, sekali lagi kesombongan, keangkuhan, dan keterpisahan yang sama dari kenyataan,” kata Brick.

    Ia mengakhiri artikelnya dengan mengatakan, “Rakyat Israel harus berdoa agar ditemukan orang yang bertanggung jawab dan dewasa yang akan mencegah tindakan gegabah ini yang dapat membawa kita pada bencana yang puluhan kali lebih besar daripada bencana yang terjadi di Jalur Gaza.”

     

    (oln/khbrn/*)

     
     

  • Israel Sahkan RUU Ganti Nama Tepi Barat Palestina Jadi Yudea & Samaria

    Israel Sahkan RUU Ganti Nama Tepi Barat Palestina Jadi Yudea & Samaria

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Luar Negeri Palestina mengecam langkah parlemen Israel yang menyetujui RUU yang mengganti istilah “Tepi Barat” dengan “Yudea dan Samaria”, Minggu waktu setempat. Badan itu menyebut hal yang dilakukan Komite Kabinet Knesset untuk Legislasi itu sebagai eskalasi serius yang bertujuan untuk mencaplok wilayah yang diduduki.

    “Kementerian tersebut menggambarkan RUU tersebut sebagai eskalasi berbahaya dari tindakan sepihak ilegal Israel, yang membuka jalan bagi pencaplokan penuh Tepi Barat, penerapan hukum Israel dengan kekerasan, dan pelemahan sistematis terhadap kemungkinan pembentukan negara Palestina dan menyelesaikan konflik melalui cara politik yang damai,” tulis Anadolu Agency, dikutip Senin (10/2/2025).

    “Undang-undang ini, bersama dengan tindakan pendudukan lainnya, tidak menciptakan hak yang sah bagi Israel atas tanah Negara Palestina. Undang-undang ini batal demi hukum, ilegal, dan merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan resolusi PBB, yang menimbulkan ancaman langsung terhadap keamanan dan stabilitas regional dan global,” pernyataan tersebut menambahkan.

    Kementerian tersebut menyerukan intervensi internasional untuk mendesak dan menghentikan upaya Israel mengubah status politik, hukum, dan geografis Negara Palestina, yang diakui secara internasional. Kementerian tersebut juga mendesak semua negara untuk mensyaratkan hubungan mereka dengan Israel berdasarkan kepatuhannya terhadap hukum internasional dan kepatuhan terhadap resolusi PBB.

    Pada tanggal 29 Januari, Knesset meloloskan pembacaan awal RUU yang mengizinkan pemukim ilegal Israel untuk mendaftarkan diri mereka sebagai pemilik tanah yang sah di Tepi Barat yang diduduki.

    Warga Palestina dan organisasi sayap kiri Israel berpendapat bahwa pemerintah Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu sedang mempercepat upaya untuk memberlakukan hukum Israel di Tepi Barat sebagai persiapan untuk aneksasi penuh.

    Dalam beberapa bulan terakhir, menteri pemerintah Israel, termasuk Netanyahu sendiri, telah secara terbuka menyatakan niat mereka untuk mencaplok Tepi Barat. Area itu sudah dijajah Israel sejak tahun 1967.

    (sef/sef)